Satu tahun sesudah kelahiran Al-Hasan, cucu Rasulullah SAW, tanggal 3 Sya’ban tahun keempat Hijriah, Rasulullah SAW menerima kabar gembira dengan kelahiran Al-Husain. Maka, beliau pun segera menuju rumah Sayyidina Ali dan Sayyidah Zahra, dan berkata kepada Asma binti ‘Umais, “Hai Asma, tolong bawa kemari anakku itu.” Asma pun lalu membawa bayi yang terbungkus kain putih itu dan memberikannya kepada Rasulullah SAW. Beliau begitu gembira lalu mendekapnya. Dibacakannya adzan di telinga kanan bayi itu, dan iqamat di telinga kirinya. Kemudian ditidurkannya cucunya itu di kamarnya, lalu beliau menangis tersedu-sedu.
Mendengar tangis Rasulullah SAW itu, bertanyalah Asma, “Demi ayah dan ibuku, siapa yang engkau tangisi ya Rasulullah?” “Anakku ini,” jawab beliau. “Dia anak zaman,” kata Asma. “Wahai Asma, dia kelak akan dibunuh oleh sekelompok pembangkang sesudahku, yang syafaatku tidak akan sampai kepada mereka,” kata Rasulullah menjelaskan. Kemudian beliau berkata pula, “Wahai Asma, jangan engkau sampaikan apa yang kukatakan tadi kepada Fatimah, dia baru saja melahirkan.”
Kemudian Rasulullah SAW bertanya kepada Ali, “Engkau beri nama siapa anakku ini?” “Saya tidak berani mendahului Anda, ya Rasulullah,” jawab Ali. Allah SWT kemudian menurunkan wahyu yang suci kepada kekasih-Nya Muhammad SAW, dengan membawa nama yang diberikan-Nya untuk anak itu. Dan ketika beliau telah menerima perintah untuk memberi nama anaknya tersebut, beliau menatap Ali dan berkata, “Namai dia Husain.”
Pada hari yang ketujuh, Rasulullah SAW bergegas datang ke rumah Az-Zahra, lalu menyembelih seekor domba sebagai aqiqah untuk Husain, mencukur rambutnya, dan bersedekah dengan perak seberat timbangan rambut itu, lantas menyuruh agar cucunya itu dikhitan. Begitulah, telah dilakukan untuk Al-Husain upacara sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW untuk kakaknya Al-Hasan.
Kedudukan Al-Husain
Kedudukan Sayyidina Husain mempunyai kedudukan yang luhur yang tak mungkin dicapai kecuali oleh ayahnya, ibunya, kakaknya serta para imam yang merupakan putera-puteranya. Dalam kesempatan yang terbatas ini, kami akan mencoba mengemukakan hal-hal penting yang akan memperlihatkan kedudukan Al-Husain dalam pandangan syariat Islam.
Al-Quran Al-Karim, dokumen Ilahi yang agung yang tidak mengandung kebatilan di dalamnya, mengungkapkan dalam banyak ayatnya sebagian besar dari derajat luhur di sisi Allah yang diraih Al-Husain. Beberapa di antara ayat-ayat tersebut adalah :
1. Ayat Tathhir : “Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.”(QS. Al-Ahzab : 33).
Para penyusun kitab-kitab hadis shahih menuturkan, sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat ini adalah, bahwa suatu kali Nabi SAW meminta diambilkan kain lalu muncullah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Maka Nabi SAW pun berdoa, “Allahumma, ya Allah, mereka ini adalah Ahlul Baitku, karena itu hilangkanlah dosa dari mereka, dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.” Maka turunlah ayat ini dalam hubungannya dengan peristiwa tersebut. Ayat ini merupakan kesaksian dari Allah tentang kesucian Ahlul Bait dan tingginya kedudukan mereka di sisi Allah, dan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepribadian paling luhur dalam Islam.
2. Ayat Mubahalah : “Barangsiapa yang membantahmu tentang Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah kepadanya, marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, diri kami dan diri kamu, kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta.” (QS. Ali Imran : 61).
Tentang sebab turunnya ayat ini, para ahli tafsir dan orang-orang yang berilmu berpendapat, ayat ini diturunkan ketika orang-orang Nasrani Najran bersepakat dengan Nabi SAW untuk bermubahalah. Masing-masing pihak bersaksi kepada Allah agar barangsiapa yang berdusta dalam pengakuannya, hendaknya ditimpa bencana (mati). Di tempat mubahalah yang dijanjikan, Rasulullah SAW datang dengan membawa Ahlul Baitnya. Nabi menggendong Al-Husain dan menggandeng Al-Hasan, Fatimah berjalan di belakang beliau, kemudian Ali menyusul berjalan di belakang mereka. Lalu Nabi SAW berkata, “Apabila nanti aku berdoa, aminkanlah ….” Akan tetapi orang-orang Nasrani, ketika melihat wajah-wajah yang suci dan mulia yang sedang mereka hadapi itu, segera meminta maaf kepada Rasulullah SAW dan membatalkan mubahalah. Mereka lalu tunduk kepada kekuasaan Negara beliau dan membayar jizyah. Disini bisa dilihat bahwa ayat yang mulia ini mengakui Al-Hasan dan Al-Husain sebagai “anak-anak kami”, sedangkan diri beliau sendiri dan diri Ali dinyatakan sebagai “diri kami”, sedangkan Fatimah yang mewakili seluruh wanita kaum mukminin yang ada saat itu dinyatakan sebagai “wanita-wanita kami” – suatu hal yang secara jelas dan tegas mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan oleh Ahlul Bait tersebut mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Allah, yang tak mungkin bisa dicapai oleh orang lain. Sebab, kalau tidak demikian, niscaya saat itu Rasulullah SAW membawa orang-orang lain selain mereka untuk bermubahalah.
3. Ayat Mawaddah : “Katakanlah, aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku, kecuali kasih saying terhadap keluargaku.”(QS. As-Syura : 23).
Para ahli tafsir mengatakan bahwa, ayat tersebut diturunkan mengenai Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain. Jabir bin Abdullah mengatakan, “Ada seorang Arab dusun datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Muhammad, tuturkan kepadaku tentang Islam.” Nabi berkata, “Hendaknya engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, yang Maha Esa dan tanpa sekutu, dan bahwasanya Muhammad itu hamba dan utusan-Nya.” “Apakah untuk ini engkau meminta upah?” Tanya orang itu pula. “Tidak,” jawab Nabi, “Kecuali kasih sayang terhadap keluarga (mawaddah fi al-qurba).” “Kasih sayang terhadap keluargaku atau keluargamu?” tanya orang itu pula. “Keluargaku,” jawab Nabi SAW. Orang Arab itu lalu berkata, “Baik, mari sekarang aku baiat engkau, dan kepada orang yang tidak mencintaimu dan keluargamu, hendaknya laknat Allah ditimpakan kepadanya.” “Amin,” kata Nabi.
Dari ayat-ayat tersebut diatas, tampak jelaslah kedudukan Al-Husain dan Ahlul Bait Rasul, serta kedudukan mereka yang tinggi di sisi Allah SWT. Selain itu, perlu ditambahkan di sini sebagian nash yang diterima dari Rasulullah SAW mengenai Al-Husain yang tercermin dalam risalah dan umat, antara lain adalah :
1. Dalam Shahih Al-Turmudzi diriwayatkan hadis dari Ya’la bin Murrah, katanya, Nabi bersabda, “Husain merupakan bagian dariku, dan aku merupakan bagian darinya. Allah akan mencintai orang yang mencintai Husain, dan Husain adalah cucu di antarav segala cucu.” [Fadha’il Al-Khamsah]
2. Dari Salman Al-Farisi, “Aku mendengar Rasulullah SAW berkata, Al-Hasan dan Al-Husain adalah dua orang anakku. Barangsiapa yang mencintai mereka berdua berarti mencintaiku, dan barangsiapa mencintaiku, pasti Allah mencintainya, dan barangsiapa dicintai Allah, niscaya Dia memasukkannya ke dalam surga. Barangsiapa membenci mereka berdua, berarti membenciku, dan barangsiapa membenciku, pasti Allah membencinya, dan barangsiapa dibenci Allah, niscaya Dia memasukkannya ke dalam neraka dengan mukanya terlebih dahulu.” [Al-Thibrisi, I’lam Al-Wara]
3. Dari Al-Barra’ bin ‘Azib, “Aku melihat Rasulullah SAW menggendong Husain bin Ali di atas pundaknya, seraya berdoa, “Ya Allah, aku sungguh mencintainya, karena itu cintailah dia.” [Ibn Al-Shabagh, Al-Fushul Al-Muhimmah]
4. Dari Abdullah bin Mas’ud, “Rasulullah SAW berkata tentang Al-Hasan dan Al-Husain, mereka berdua adalah dua orang anakku. Barangsiapa mencintai mereka berdua, berarti mencintai aku, dan barangsiapa membenci mereka berdua, berarti membenciku.”
5. Dari Ali ibn Al-Hasan, dari ayahnya, dari kakeknya, “Rasulullah SAW menggandeng tangan Al-Hasan dan Al-Husain, dan berkata, barangsiapa mencintai aku dan mencintai kedua anak ini dan kedua orangtua mereka, niscaya berada bersamaku di dalam surga.” [Ibn Al-Jauzi, Tadzkirat Al-Khawwash]
Al-Husain dan Peristiwa Karbala
Ketika Sayyidina Ali ditunjuk sebagai Khalifah setelah terbunuhnya Utsman, ia berusaha untuk menegakkan kembali keadilan Islam. Ia mendapat perlawanan yang tidak terhenti dari para penguasa Bani Umayyah. Para pengikutnya mengkhianatinya. Seorang demi seorang dari sahabatnya yang setia dipanggil Tuhan. Sementara itu, para tiran menggunakan kekayaan dan kekerasan untuk menguasai rakyat banyak. Dan menjelang akhir Ramadhan 40 H, di dalam relung mihrabnya, Ali dibunuh ketika shalat subuh.
Hasan bin Ali, anak lelaki pertama Ali bin Abi Thalib, diangkat menjadi Khalifah. Ia melihat ketakutan dan kezaliman telah menyelimuti Madinah, Kufah, Basrah dan kota-kota besar dunia Islam. Kaum muslimin yang shaleh tidak henti-hentinya mendapat penganiayaan. Muawiyah juga terus menerus memfitnah keluarga Nabi dan menyebarkan keresahan. Setelah berunding dengan saudaranya Al-Husain, ia memutuskan untuk menghentikan semua derita umat ini melalui perjanjian damai dengan Muawiyah.
Segera setelah perjanjian damai itu, Muawiyah masuk ke Kufah. Ia berkata: “Hai, penduduk Kufah. Adakah kamu mengira aku memerangi kalian agar shalat, zakat dan haji. Aku tahu kalian sudah melakukan shalat, zakat dan haji. Kuperangi kalian untuk menguasai kalian. Untuk itu, aku akan tumpahkan darah, dan seluruh perjanjian yang telah aku buat akan aku letakkan di bawah injakan kakiku.” Ia melanggar perjanjian itu, Pertama, membunuh Sayyidina Hasan dengan racun. Hasan syahid pada 50 H. Kedua, ia meneruskan pembantaian dan penganiayaan pada para pengikut Imam Ali. Ketiga, ia dan para pejabatnya menggunakan harta umat (Baytul Mal) untuk kepentingan pribadi dan keempat, ia mengangkat anaknya Yazid sebagai putra mahkota dan memerintahkan dengan paksa agar rakyat menerimanya.
“Yazid manusia yang selalu berbuat dosa dan maksiat, peminum khamar, pembunuh orang yang tidak bersalah. Ia lakukan kefasikan dan kemaksiatannya secara terbuka. Orang sepertiku tidak mungkin berbaiat kepada orang seperti Yazid,” kata Husain. Cucu Rasulullah SAW itu akhirnya memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Yazid. Orang yang menghabiskan malam dalam beribadat kepada Tuhan, dan siang dalam berkhidmat kepada insan, sekarang berhadapan dengan orang yang menghabiskan malam untuk bermaksiat kepada Yang Mahakuasa dan siang untuk berkhianat kepada manusia. Al-Husain beserta keluarga meninggalkan Madinah menuju Mekkah. Begitu sampai di Mekkah, ia menerima 12000 surat dari Kufah. Mereka mengundang Imam Husain untuk datang ke Kufah dan membaiatnya sebagai Khalifah. Al-Husain mengirim Muslim bin Aqil untuk membuktikan keseriusan penduduk Kufah tersebut.
Dari Mekkah, dengan meninggalkan wuquf di Arafah, Husain beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya berangkat menuju Kufah. Kerabatnya mendesak Al-Husain untuk membatalkan kepergiannya, tetapi Husain berkata: “Aku berangkat bukan karena ambisi, bukan untuk berbuat zalim atau untuk menimbulkan kerusakan. Aku berangkat untuk mendatangkan kemaslahatan pada umat kakekku. Aku ingin memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar.” Maka berangkatlah kafilah Husain, dalam terik matahari musim panas yang membakar, untuk menempuh perjalanan sejauh 1800 Km.
Ketika kafilah Husain sampai di dekat Kufah, ia menerima berita yang sangat mengejutkan. Muslim bin Aqil dan dua orang pendukungnya di Kufah sudah dibunuh Ibnu Ziyad, gubernur Kufah. Husain mengumpulkan pengikutnya dan menceritakan berita itu. Karena ketakutan, sebagian pengikutnya meninggalkan Husain. Al-Husain melanjutkan perjalanan sampai ia berhadapan dengan 1000 penunggang kuda yang dipimpin oleh Al-Hurr. Ia didesak ke sebuah tempat yang disebut Karbala, pada tanggal 2 Muharram, 61 H. Ibnu Ziyad mengirim pasukan tambahan di bawah pimpinan Umar bin Sa’ad. Pada 9 Muharram, pasukan Umar mengepung kemah-kemah Al-Husain. Ia meminta Umar untuk menangguhkan serangan sampai keesokan harinya. Bersama para pengikutnya yang setia Imam Husain menghabiskan malam dalam ibadat. Imam berkata: “Musuh hanya menghendaki nyawaku. Dengan senang aku izinkan kalian untuk pulang.” Pengikutnya berkata: “Demi Allah, tidak mungkin dan tidak pernah terjadi. Kami hidup bersama Anda atau mati bersama Anda.”
Pada 10 Muharram atau Asyura, berhadapanlah 72 pecinta Tuhan dengan 5000 penyembah setan, segelintir penegak keadilan dengan ribuan pendukung kezaliman. Sudah beberapa hari kelompok keluarga Rasulullah kehausan karena jalan ke sungai Eufrat ditutup musuh. Beberapa saat sebelum terjadi pertempuran Al-Hurr menyesali perbuatannya dan bergabung dengan Al-Husain. Menjelang sore hari, sudah 70 orang pengikut Husain syahid, setelah perjuangan yang sangat keras di tengah-tengah sengatan matahari dan kehausan. Musuh bertindak sangat kejam, dengan secara membuta membunuh siapa saja, termasuk Ali Asghar 6 bulan, yang bersimbah darah di tangan Al-Husain. Mereka juga membakar kemah-kemah para perempuan dan anak-anak. Pembantaian keluarga Nabi ini berakhir, ketika ribuan tentara mengeroyok seorang Husain. Syimr melepaskan kepala Imam Husain dan ribuan kuda mencabik-cabik dan menginjak-injak jenazahnya. Kepalanya bersama kepala-kepala para syuhada lainnya ditancapkan di ujung tombak dan diarak sepanjang 965 Km. di samping dan di belakang mereka, perempuan-perempuan dan anak-anak diseret dalam belenggu. Sebuah prosesi yang paling mengharukan dalam sejarah umat manusia. Sebuah prosesi yang melambangkan perlawanan tanpa henti terhadap kepongahan para tiran. Bagi setiap mukmin, setiap hari adalah ASYURA dan setiap bumi adalah KARBALA.
--------------------------------------------------------------------------
Ibnu Al-Jauzi dalam kitabnya Tadzkirah Al-Khawas menukil dari Abu
Sa’id dalam Thabaqat-nya menyebutkan putra putri Sayyidina Hasan ra
adalah: Muhammad Al-Ashghar, Ja’far, Hamzah, Muhammad Al-Akbar, Zaid,
Hasan Al-Mutsana, Fatimah, Ummul Hasan, Umul Khair, Ummu Abdurrahman,
Ummu Salmah, Ummu Abdullah, Ismail, Ya’qub, Abubakar, Thalhah dan
Abdullah.
Muhammad Ali Shabban dalam bukunya ‘Teladan Suci Keluarga Nabi’
mengatakan keturunan Sayyidina Hasan ra yang sahih yang ada sekarang
adalah Zaid dan Hasan Al-Mutsana. Zaid lebih tua dari saudaranya Hasan
Al-Mutsana. Sesudah pamannya (Sayyidina Husein ra) meninggal, ia
membai’at Abdullah bin Zubair sebagai khalifah. Menurut salah satu
pendapat, Zaid hidup selama seratus tahun.
Sedangkan Hasan Al-Mutsana, ikut pamannya (Sayyidina Husein ra) di
Karbala, dan mendapat luka-luka dalam perang melawan pasukan Yazid
Muawiyyah. Ketika pihak musuh hendak mengambil kepalanya, mereka dapati
ia masih bernafas, lalu Asma bin Kharijah Al-Fazzari berkata: ‘Biarkan
dia kubawa!” Kemudian dibawanya ke Kufah dan diobati sampai sembuh.
Setelah itu, Hasan Al-Mutsana kembali ke Madinah.
Habib Ali Zainal Abidin Assegaf, pengurus Naqobatul Asyrof Al-Kubro
(lembaga pemeliharan, penelitian, sejarah dan pencatatan silsilah
Alawiyin) mengungkapkan mayoritas habib (sayyid) di Indonesia yang
ber-fam Al-Hasani berasal dari putra Sayyidina Hasan yang bernama Hasan
Al-Mutsana. Pemilik fam Al-Hasani, kata dia, tak sebanyak jumlah fam di
keluarga Bani Alawi yang merupakan keturunan Sayyidina Husein ra.
“Al-Hasani itu mastur (tidak banyak, langka dan tersembunyi, red),” ujar
Chaidar.
Al-Hasani memang mastur, tapi diantara yang sedikit itu saat muncul
ke permukaan sangat masyhur (sangat terkenal). Beberapa figur ternama
yang memiliki fam Al-Hasani adalah Sulthanul Awlia (Pemimpin Para Wali)
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Syekh Saman Al-Madani (pendiri Tarekat
Sammaniyah), Abul Hasan Asy-Syadzili (Sufi besar asal Maroko), Sayyid
Alwi bin Abbas Al-Maliky dan putranya Al Imam As Sayyid Muhammad bin
Alwi Al-Maliky al Hasani.
Beliau, Al Imam As Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al Maliki Al Hasani
(wafat dan di makamkan di pemakaman Ma’la, Makkah Al Mukarromah pada 15
Ramadhan 1425H / 29 Oktober 2004), adalah seorang Muhaddits & tokoh
Ulama Sunni abad ini, seorang mufassir yang ahli dalam ilmu Fiqh,
Aqidah, Tasawwuf, dan Sirah. Diantara kitab karya monumental beliau yang
telah mendapat sambutan tidak kurang dari 40 ulama besar dunia. adalah :
Mafahim Yajibu An Tushahhah (Pemahaman-pemahaman yang harus
diluruskan).
Beliau (Abuya Al Maliki), sebagaimana diceritakan oleh Ketua
Tanfidziyah PB NU, Prof DR. KH Said Agil Siraj MA dalam majalah Sabili
No. 14 (4 Febr 2010), pernah melakukan debat terbuka dengan Syeikh Abdul
Azis bin Baz (Mufti Kerajaan Arab Saudi). Debat tsb Alhamdulillah
dimenangkan oleh Abuya Al Maliki, tapi oleh pemerintah Saudi dokumentasi
debat ini tidak boleh disebarluaskan. Akhirnya, abuya Al Maliki
menuliskan hasil debat tersebut dengan bahasa yang sudah diperhalus,
serta dengan tidak menyebutkannya sebagai hasil debat, dalam kitab
beliau: Mafahim Yajibu An Tushahhah.
Dari kediaman beliau di Makkah Al mukarromah yang juga merupakan
Majelis Ilmu dan Ribath Sunni, telah bermunculan ulama-ulama besar yang
membawa panji Rasulullah ke seluruh penjuru dunia. Murid-murid beliau
dapat kita jumpai di India, Pakistan, Afrika, Eropa, Amerika dan
terutama Asia. Di Indonesia, Haiah As Shofwah adalah wadah bagi para
alumni dari ma’had beliau.
Sayyidina Husein Bin Ali Bin Abi Thalib ra.
Sayyidina Husein ra (Abu Abdillah) adalah cucu Rasulullah saw dan
beliau adalah adik dari Sayyidina Hasan ra. Beliau ra lahir pada hari ke
5 bulan Sya’ban tahun ke 4 hijriyah. Sayyidina Husein ra gugur sebagai
syahid dalam usia 57 tahun, pada hari Jum’at, hari ke 10 (Asyura) dari
bulan Muharram, tahun 61 Hijriyah di padang Karbala, suatu tempat di
Iraq yang terletak antara Hulla dan Kuffah.
Menurut al-Amiri, Sayidina Husein dikarunia 6 anak laki-laki dan 3
anak perempuan. Dan dari keturunan Sayyidina Husein ra yang meneruskan
keturunannya hanya Ali al-Ausath yang diberi gelar “ALI ZAINAL ABIDIN”.
Sedangkan Muhammad, Ja’far, Ali al-Akbar, Ali al-Asghar , Abdullah,
tidak mempunyai keturunan (ketiga nama terakhir gugur bersama ayahnya
sebagai syahid di Karbala). Sedangkan anak perempuannya adalah: Zainab,
Sakinah dan Fathimah.
Kaum Alawiyyin adalah keturunan dari Rasulullah saw melalui Imam Alwi
bin Ubaydillah bin AHMAD AL MUHAJIR bin Isa bin Muhammad bin Ali Al
Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin ALI ZAINAL
ABIDIN bin SAYYIDINA HUSAIN RA. Istilah Alawiyin atau Ba’alawi digunakan
untuk membedakan keluarga ini dari keluarga para Sayyid yang lain yang
sama –sama keturunan Rasulullah saw.
Prof. Dr. Hamka mengutip kata-kata mutiara dari al Imam Asy Syafi’i
saat menulis kata sambutan dalam sebuah buku karangan Al Habib Hamid Al
Husaini yang berjudul Al-Husain bin Ali Pahlawan Besar sbb: “Jika saya
akan dituduh (sebagai) orang Syiah karena saya mencintai keluarga
Muhammad saw, maka saksikanlah oleh seluruh manusia dan jin, bahwa saya
ini adalah penganut Syi’ah.”
Beliau juga pernah mengatakan : “Tidak layak untuk tidak mengetahui
bahwa Alawiyyin Hadramaut berpegang teguh pada madzhab Syafi’i. Bahkan,
yang mengokohkan madzhab ini di Indonesia, khususnya di tanah Jawa,
adalah para Ulama Alawiyin Hadramaut.”
Di beberapa negara, sebutan untuk dzurriyat rasul saw ini
berbeda-beda. Di Maroko dan sekitarnya, mereka lebih dikenal dengan
sebutan Syarif, di daerah Hijaz (Semenanjung Arabia) dengan sebutan
Sayyid, sedangkan di nusantara umumnya mereka dikenal dengan sebutan
Habib. Di Indonesia sendiri ada lembaga khusus yang berpusat di Jakarta,
bernama Rabithah Alawiyah, yang mencatat nasab (silsilah) para
Alawiyin. Sehingga benar-benar gelar Habib atau Sayyid tidak
disalahgunakan oleh seseorang.
Dalam buku “Sejarah masuknya Islam di Timur Jauh”, Prof DR. Hamka
menyebutkan bahwa: “Gelar Syarif khusus digunakan bagi keturunan
Sayyidina Hasan ra dan Sayyidina Husain ra apabila menjadi raja. Banyak
dari para Sultan di Indonesia adalah keturunan baginda Rasulullah saw.
Diantaranya Sultan di Pontianak mereka digelari Syarif. Sultan Siak
terakhir secara resmi digelari Sultan Sayyid Syarif Qasim bin Sayyid
Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin. Demikian pula dengan pendiri kota
Jakarta yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, beliau digelari
Syarif Hidayatullah.”
Kemudian Buya Hamka menjelaskan bahwa dalam sebuah hadits Rasulullah
saw bersabda, yang artinya “Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin
(sayyid) pemuda ahli surga” (Seraya menunjuk kedua cucu beliau,
Sayyidina Hasan dan Husain). Berlandaskan hadits tsb, sudah menjadi
tradisi turun temurun bahwa setiap keturunan Sayyidina Hasan ra dan
Sayyidina Husain ra digelari Sayyid.
Dipandang sangat tidak hormat kepada Rasulullah, jika ada yang
mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak memiliki keturunan dan mengatakan
bahwa orang yang mengaku keturunan beliau adalah seorang yang berbohong.
Tidak akan mengatakan perkataan seperti ini kecuali orang yang iri dan
dengki. (Seperti didalam Al Qur’an Surat Al Kautsar).
Pada sekitar abad 9 H sampai 14 H, mulai membanjirnya hijrah kaum
Alawiyin keluar dari Hadramaut. Mereka menyebar ke seluruh belahan
dunia, hingga sampailah ke nusantara ini. Diantara mereka ada yang
mendirikan kerajaan atau kesultanan yang masih dapat disaksikan hingga
kini, diantaranya: Kerajaan Al Aydrus di Surrat (India), Kesultanan Al
Qadri di Kepulauan Komoro dan Pontianak, Kesultanan Al Bin Syahab di
Siak dan Kesultanan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawiyin pada masa
itu adalah Al Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad (Shahibur Ratib Al
Haddad). Sejarawan Hadramaut, Syaikh Muhammad Bamuthrif, mengatakan,
bahwa Alawiyin atau Qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar
jumlahnya di Hadramaut, dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan
Afrika.
Riwayat Al Imam Ahmad Al Muhajir
---------------------------------------------------------------------------------------------------
biasanya para ulama menceritakan ini di pesantren, untuk bekal
pengetahuan bagi calon2 ulama…sedangkan klo di mesjid2, ulama lebih
fokus pada masalah akidah ahlaq dan fiqih.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Al Aydrus, Al Attas, Al Muhdhor, Al Haddad, Al Jufri, Al Basyaiban,
Al Baharun, Al Jamalullail, Al Bin Syihab, Al Hadi, Al Banahsan, Al Bin
Syaikh Abu Bakar, Al Haddar, Al Bin Jindan, Al Musawa, Al Maulachila, Al
Mauladdawilah, Al Bin Yahya, Al Hinduan, Al Aidid (–bukan Aidit–), Al
Ba’bud, Al Qadri, Al Bin Syahab, dan lain lain) termasuk juga para Wali
Songo, yang menyebar ke pedalaman – pedalaman Papua , Sulawesi, Pulau
Jawa , mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat
syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa
senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan
kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia,
sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah
bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma
dan Qiyas.
Khusus para Wali Songo, menurut Al Habib Salim bin Abdullah Asy
Syathiri (pengasuh Rubat Tarim Hadramaut), silsilah mereka sampai kepada
Paman dari Al Faqih Al Muqaddam, yaitu Al Imam Alwi bin Muhammad Shahib
Marbad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi Alawiyin bin Ubaydillah
bin Imam Ahmad Al Muhajir.
Mereka (para Wali Songo) selalu berpegang teguh kepada para
leluhurnya, yaitu bermadzhab Syafi’i secara Fiqih, dan secara aqidah
mereka menganut teologi Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi,
sedangkan manhaj dakwah mereka mengikuti thariqah Ba’alawi.
Maka benarlah sabda Baginda Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu :
أَتَاكُمْ أَهْلَ اْليَمَن هُمْ أَرَقُّ أَفْئِدَةً وَأَلْيَنُ قُلُوْبًا اَلْإِيْمَانُ يَمَانٌ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَّةٌ
“ Datang kepada kalian penduduk Yaman, mereka lebih ramah perasaannya
dan lebih lembut hatinya, iman adalah pada penduduk Yaman, dan hikmah
kemuliaan ada pada penduduk Yaman .” ( Shahih Al Bukhari )
Para ulama ahlu Yaman sejak berabad –abad tahun yang lalu didakwahi
pertama kali oleh sayyidina Ali bin Abi Thalib kw dan sayyidina Mu’adz
bin Jabal ra . Sayyidina Mu’adz bin Jabal ke Yaman Utara dan sayyidina
Ali bin Abi Thalib ke Yaman Selatan, Hadramaut . Demikian dakwah kedua
shahabat ini membuka Yaman menjadi wilayah muslimin , dan disabdakan
oleh Rasul yang berdoa:
اَللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنَا
“ Ya Allah limpahkanlah keberkahan untuk wilayah Syam, Ya Allah limpahkanlah keberkahan untuk Yaman “
Syam adalah wilayah Jordan dan sekitarnya , mengapa Rasulullah
mendoakan keberkahan untuk wilayah yaman ? , karena beliau mengetahui
bahwa nanti stelah beliau wafat akan ada Al Imam Ahmad Al Muhajir
keturunan beliau hijrah ke Yaman dari Baghdad dan kemudian terus
menyebar Al Imam Ibn Hajar Al Asqalany di dalam Fathul Bari bisyarh
Shahih Al Bukhari menjelaskan hadits ini , beliau berkata bahwa hadits
ini terikat pada kaum Anshar karena ternyata kaum Anshar itu adalah
keturunan orang –orang Yaman , yang mana Rasulullah telah bersabda :
مَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُمُ اللهُ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُمُ اللهُ
“ Barangsiapa yang mencintai Anshar maka ia dicintai Allah , dan siapa yang membenci Anshar maka ia dibenci Allah “
Anshar adalah keturunan orang Yaman , bahkan Hujjatul Islam
wabarakatul anam Al Imam An Nawawy alaihi rahmatullah menjelaskan bahwa
penduduk Makkah pun ketika di masa datangnya Siti Hajar ‘alaihassalam
yang ditinggalkan oleh nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang ketika itu
sayyidah Hajar bersama putranya yaitu nabi Ismail alaihissalam ditinggal
di Makkah, ketika itu datang kafilah dari Bani Tihamah dari Yaman ,
jadi penduduk Makkah pun asal muasalnya dari Yaman juga , ternyata
Makkah dan Madinah awalnya juga dari Yaman, demikian pula muslimin yang
sampai ke Indonesia awalnya juga dari Yaman. Maka benarlah sabda Baginda
Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan kemuliaan ahlu
Yaman. Subhanallah.
(Diolah dari berbagai sumber)
Daftar Rujukan:
- 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia; Abdul Qadir Umar Mauladawilah.
– Petunjuk Monogran Silsilah Berikut Biografi dan Arti Gelar Masing-masing Leluhur Alawiyin; Al Habib Muhammad Hasan Aidid.
– 60 Hadits tentang Ahlul Bait Nabi saw; Al Imam al Hafizh Jalaluddin as Suyuthi.
– Katakan Inilah Jalanku; Ceramah Al Habib Jindan bin Novel bin salim bin Jindan.
– Kemuliaan Ahlu Yaman, Ceramah Al Habib Munzir Al Musawa, 8 Februari 2010.
– Mutiara Ahlul Bait dari Tanah Haram; Al habib Muhsin bin Ali Hamid Ba’alawi
---------------------------------------------------------------------------------------
mempelajari silsilah nabi kita Muhammad saw dan kuturunannya itu sangat
baik untuk menambah kecintaan kita kepada beliau baginda Rasulillah saw.
juga perlu mempelajari sejarah kehidupan, perjalanan dan perjuangan
beliau untuk kita teladani. sayyidina Husain adalah salah seorang cucu
Nabi kita dan salah seorang ahlul bait yang sangat mulya. bahkan Nabi
kita sendiri mengakui akan kemulyaan cucunya itu. kita juga sangat
memulyakan beliau. namun ada beberapa kelompok orang yang memulyakan
beliau dengan cara yang tidak wajar. nah, untuk teman-teman yang suka
membaca buku tentang kisah ahlul bait, saya sarankan bacalah buku yang
benar-benar bisa dipercaya. sumbernya jelas, pengarangnya adalah ulama
yang masyhur. perhatikan juga referensi penulisnya. hati-hati terhadap
buku-buku sejarah ahlul bait yang belakangan ini banyak sekali
bertebaran di toko buku bahkan di kaki lima. banyak dari buku-buku
tersebut yang tidak sesuai dangan kejadian yang sebenarnya. banyak yang
di kurangi banyak juga yang di tambahi. hal itu sengaja mereka lakukan
untuk memasukkan pengaruh dari ajaran sekte mereka. banyak juga
tulisan-tulisan atau artikel yang mereka tulis di media cetak seperti
koran dan majalah. bahkan di sosial media pun mereka aktif menyisipka
faham-faham mereka.
WASSALAAM. Semoga kita senantiasa mendapat petunjuk dari ALLAH AZZA WA JALLA. Aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar