Selasa, 17 Juni 2014

Keistimewaan waniat 1

 Muqaddimah
Seiring dengan pesatnya gerakan feminisme, muncul wacana adanya gugatan terhadap hukum-hukum agama, terutama hukum Islam. Hukum Islam oleh kaum feminis dipandang sebagai salah satu basis yang menjadi akar pandangan diskriminatif terhadap perempuan. Gugatan tersebut pada gilirannya dialami juga oleh al-Qur’ân sebagai sumber hukum tertinggi dari hukum Islam. Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab antara pria dan perempuan telah semarak di panggung modernisasi dewasa ini. Sebagai peluang buat musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam untuk menyebarkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagai propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak perempuan Islam.[1] Dikesankan bahwa perempuan-perempuan muslimah yang menjaga kehormatan dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah perempuan-perempuan pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya, direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya. Sehingga teropinikan perempuan muslimah itu tak lebih dari sekedar calon ibu rumah tangga yang tahunya hanya dapur, sumur, dan kasur. Oleh karena itu agar perempuan bisa maju, harus direposisi ke ruang publik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara apapun seperti halnya kaum lelaki di masa modern dewasa ini.[2]
Karena gencarnya arus feminisme tersebut, para pemikir muslim kontemporer kemudian menelaah kembali hukum Islam. Dari penelaahan tersebut akhirnya tersimpulkan bahwa yang salah bukanlah al-Qur’ânnya, akan tetapi penafsiran atasnya lah yang keliru. Mereka pun lalu berusaha untuk menafsirkan ulang ayat-ayat al-Qur’ân yang berkaitan dengan perempuan. Dari situlah kemudian muncul berbagai macam produk penafsiran baru yang sangat beragam. Produk-produk tafsir baru ini memang rata-rata sangat emansipatoris, humanis dan populis. Namun sayangnya, penafsiran yang mereka lakukan sering kali tidak ditopang oleh metode dan kaidah penafsiran yang benar sebagaimana yang telah disepakati para ulama. Atau dengan bahasa yang lebih ekstrem, mereka seringkali menyeret maksud al-Qur’ân dari maksudnya yang sebenarnya hanya demi tujuan agar al-Qur’ân bisa tampil populer di era emansipasi ini dan tidak terkesan ketinggalan jaman.[3]
            Akibatnya, bagaimana sebenarnya al-Qur’ân berbicara tentang kedudukan perempuan pun menjadi  kabur. Oleh karena itulah maka perlu kiranya menggali kembali dari ayat-ayat al-Qur’ân yang berbicara tentang perempuan tanpa melupakan kondisi yang ada saat ini dengan mempertimbangkan secara seimbang dan proporsional tiga hal yang sangat penting dalam penafsiran, yaitu teks, konteks (kondisi sosio-kultural pada saat turunnya al-Qur’ân dan masa kini) serta kontekstualisasi.[4]
            Al-Qur’ân sendiri sebenarnya sangat banyak dalam membicarakan perempuan. Perempuan dalam al-Qur’ân diekspresikan dengan kata al-Nisa, al-Zaujah, al-Umm, al-Bint, al-Untsâ, kata sifat yang disandarkan pada bentuk mu’annats dan berbagai kata ganti (pronoun) yang menunjuk jenis kelamin perempuan. Khusus mengenai kata al-Nisâ, kata ini adalah bentuk jamak dan kata al-Mar’ah yang dalam al-Qur’ân berarti manusia yang berjenis kelamin perempuan (QS al-Nisâ’ [4]: 7) dan istri-istri (QS al-Baqarah [2]: 222). Kata al-Nisâ’ dengan berbagai bentuknya disebutkan dalam al-Qur’ân sebanyak 59 kali. Sehingga jelaslah bahwa al-Qur’ân sebenarnya sangat peduli dengan makhluk bernama perempuan ini. [5] Lalu bagaimana sebenarnya al-Qur’ân berbicara mengenai kedudukan perempuan dalam konteks saat ini?

Asal Kejadian Perempuan
Berbicara tentang kedudukan perempuan dalam al-Qur’ân, perlu terlebih dulu mengetahui asal kejadian makhluk bernama perempuan dan hikmah dibalik itu menurut pandangan al-Qur’ân. Hal ini menjadi penting karena penafsiran yang salah atasnya biasanya menjadi pemicu awal anggapan yang rendah terhadap perempuan.
Ayat yang berbicara tentang awal kejadian/penciptaan perempuan adalah firman Allâh dalam surat al-Nisâ’ ayat 1:
“Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama) dan darinya Allâh menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allâh memperkembangkan lelaki dan perempuan yang banyak.” (QS al-Ni’â’ [4]: 1)
Tokoh tafsir bi al-Ra’yi, yaitu Imam Zamakhsyari mengartikan kata “nafs” dengan Adam.[6] Begitu juga tokoh tafsir bi al-Ma’tsur, yaitu Ibnu Katsîr dan al-Qurthubi. Para pakar tafsir lain yang mengartikan kata nafs dengan Adam di antaranya adalah Jalaluddin al-Suyuthi, Ibn ‘Abbas, al-Biqa’i, Abu Al-Su’ud, al-Baidhawiy, dan lain-lain.[7] Memang banyak sekali para mufassirin klasik yang berpendapat demikian sehingga tidaklah berlebihan kiranya apabila al-Tabarsi, salah seorang ulama tafsir bermazhab Syi’ah (abad 6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam.[8] Bahkan lebih tegas lagi, al-Razy berani mengatakan, seluruh orang Islam sepakat bahwa yang dimaksud oleh kata nafs di sini adalah Adam.
Tentunya pernyataan al-Tabarsi dan al-Razi tersebut adalah berdasarkan pengamatan mereka terhadap ulama tafsir yang hidup sebelum, atau paling tidak sezaman dengan masing-masing keduanya. Meskipun banyak juga mufassir modern yang masih mengikuti pendapat ulama klasik, seperti Wahbah al-Zuhailiy, Muhammad ‘Ali Al-Shabuniy, dan Sa’id Hawwa, namun penilaian keduanya tidak relevan lagi apabila kita berlakukan saat ini, karena ternyata banyak juga para pemikir Islam modern yang tidak berpendapat seperti itu.[9]
Al-Thabaththabâ’i dalam tafsirnya menulis, “Perempuan (Hawa) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam dan ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung faham sementara mufassir yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam.” Begitu juga pendapat Rasyid Ridho dalam tafsir al-Manarnya dan rekannya al-Qasimi. Mereka mengartikan kata nafs tidak sebagai Adam, tapi mengartikannya dengan jenis. Artinya, Adam dan Hawa diciptakan dari jenis yang sama, bukannya Hawa diciptakan dari Adam.[10]
Ide penafsiran kata nafs dengan Adam menurut Rasyid Ridho adalah akibat adanya pengaruh dari apa yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang mengatakan bahwa ketika Adam tertidur lelap, maka diambil oleh Allâh sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging, maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam tersebut, dibuat Tuhan seorang perempuan. Selanjutnya dia mengatakan, seandainya tidak tercantum kisah kejadian perempuan dalam Perjanjian Lama seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang mengatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak akan pernah terlintas dalam benak seorang Muslim.[11]
Pendapat penciptaan perempuan dari tulang rusuk ada agaknya bersumber dari sebuah hadits Nabi,
“Saling berpesanlah untuk berbuat baik pada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.”(HR. Tirmidzi dll.).
Ulama-ulama klasik memahami hadits tersebut secara harfiah sehingga timbul pemahaman seperti itu. Sedangkan para ulama kontemporer banyak yang memahami secara metafora, bahkan ada yang menolak keshahihan hadits tersebut. Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadits tesebut berisi peringatan untuk kaum laki-laki agar senantiasa bersikap hati-hati, bijaksana dan tidak kasar dalam menghadapi perempuan karena mereka mempunyai sifat, karakter dan kecenderungan yang tidak sama dengan laki-laki. Kaum laki-laki tidak akan mampu merubah karakter dan sifat bawaan perempuan yang kadang membuat mereka kesal, atau bahkan emosional tersebut. Kalaupun mereka berusaha, maka akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Sebenarnya dalam masalah ini lebih cenderung pada pendapat jumhur ulama. Alasannya adalah, Rasyid Ridho tidak bisa membuktikan secara empiris pengaruh Perjanjian Lama terhadap penafsiran para ulama klasik. Pernyataan Rasyid Ridho bahwa penafsiran terciptanya perempuan dari diri Adam merupakan pengaruh dari “Israiliyyat” (Perjanjian Lama) adalah baru sebatas hipotesa. Pada kenyataannya, tidak satu pun kitab tafsir yang berpendapat demikian menjelaskan bahwa pengartian yang seperti itu bersumber pada cerita ahli kitab atau Perjanjian Lama. Sehingga kalau ternyata sama, menurut hemat penulis, persamaan itu adalah merupakan suatu kebetulan saja.
Seandainya pun dugaan adanya pengaruh Isarailiyyat memang ternyata benar, hal itu tidak menjadi masalah dan tidak menyebabkan penafsiran tersebut tidak layak diikuti. Dalam Ilmu Tafsir, Israiliyyat dibenarkan untuk diadopsi selama tidak bertentangan dengan nash-nash al-Qur’ân dan Sunnah. Pada kenyataannya tak ada satu pun ayat al-Qur’ân yang bertentangan dengan pemahaman terciptanya perempuan dari Adam, justru ada hadits yang mendukungnya apabila dilihat dzôhiril lafdzi-nya.      Perempuan memang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Namun yang perlu ditekankan adalah, jangan sampai penafsiran tersebut mempunyai implikasi anggapan rendah terhadap makhluk bernama perempuan. Karena yang berkembang selama ini, pandangan tersebut seringkali dijadikan legitimasi pandangan minus terhadap perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Tanpa lelaki perempuan tidak pernah ada dan dia diciptakan adalah semata-mata untuk melayani laki-laki.
Faidah diciptakannya perempuan pertama (Hawa) dari laki-laki (Adam) adalah untuk menunjukkan kekuasaan Allâh yang mampu menciptakan sesuatu yang hidup dari yang hidup dengan tanpa melalui proses reproduksi sebagaimana Dia mampu menciptakan sesuatu yang hidup dari benda mati. Dengan demikian, Adam diciptakan dari debu, Isa dari perempuan tanpa laki-laki, sedangkan Hawa diciptakan dari laki-laki tanpa perempuan. Allâh berkuasa atas segala sesuatu.
Adapun hikmah dari disebutkannya hal itu dalam surat al-Nisâ’ ayat 1 adalah agar manusia merasa mempunyai persamaan satu sama lain. Manusia berasal dari nasab yang satu, bapak yang satu, yaitu Adam, sehingga sudah seharusnyalah mereka hidup bersaudara, saling tolong-menolong dan mengasihi, bukannya berseteru dan menindas satu sama lain.
Dengan demikian, anggapan rendah terhadap perempuan yang didasarkan pada al-Nisâ’ ayat 1 adalah tidak tepat sama sekali. Diciptakannya perempuan dan laki-laki sama sekali tidak bisa dijadikan legitimasi lebih tingginya derajat kemanusiaan laki-laki atas perempuan, karena al-Qur’ân berkali-kali menegaskan persamaan laki-laki dan perempuan. Dalam surat Ali’Imrân ayat 195 Allâh berfirman, “Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain.”
Maksudnya adalah, laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, begitu juga perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, tak ada kelebihan satu sama lain dalam penilaian iman dan amalnya. Bahkan keduanya akan selalu saling membutuhkan, terutama dalam proses reproduksi untuk mempertahankan eksistensinya mereka. Atas dasar persamaan keduanya dalam kapasitasnya sebagai hamba Allâh itulah Tuhan menegaskan: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik dari laki-laki maupun permpuan).” (QS Ali’Imrân [3]: 195).
Maksud dari ayat-ayat semacam ini tidak lain adalah untuk mengikis habis anggapan bahwa kaum pria adalah superior dan kaum perempuan inferior. Islam memandang kedua jenis kelamin ini dalam posisi yang seimbang karena pada hakikatnya semua manusia adalah sama derajat kemanusiaannya. Tidak ada kelebihan satu dibanding yang lainnya disebabkan oleh suku, ras, golongan, agama dan jenis kelamin mereka.
Menurut Islam, nilai kemuliaan manusia semata-mata hanya terletak pada ketaqwaannya, sebagaimana firman Allâh, “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dai lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa.” (QS al-Hujurât [49]: 13).
Kedudukan Perempuan Sebelum Islam
Panjang sudah zaman yang dilalui umat manusia yang berdiam di bumi Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ ini. Sekian waktu mereka lalui dalam memakmurkan bumi karena Allâh memang menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi-Nya. Dia Yang Maha Tinggi berfirman kepada para malaikat-Nya sebagaimana diabadikan dalam Tanzil-Nya yang mulia:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Rabbmu berkata kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS Al-Baqarah [2]: 30).
Manusia pun membangun kehidupan dan peradaban mereka, generasi demi generasi, silih berganti. Namun sejarah mencatat sisi gelap perlakuan mereka terhadap makhluk Allâh yang bernama perempuan. Kesewenang-wenangan dan penindasan mewarnai hari-hari kaum perempuan dalam kegelapan alam jahiliyyah, baik di kalangan bangsa Arab maupun di kalangan ‘ajam (non Arab). Perlakuan jahat dan ketidaksukaan orang-orang jahiliyyah terhadap perempuan ini diabadikan dalam Al-Qur’ânul:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُوْنَ
“Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, menjadi merah padamlah wajahnya dalam keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS al-Nahl [16]: 58-59).
وَإِذَا الْمَوْءُوْدَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila anak perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh?” (QS al-Takwîr [81]: 8-9)
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullâhu menyatakan bahwa anak perempuan itu dikubur hidup-hidup oleh orang-orang jahiliyyah karena mereka tidak suka dengan anak perempuan. Apabila anak perempuan itu selamat dari tindakan tersebut dan tetap hidup maka ia hidup dalam keadaan dihinakan, ditindas dan didzalimi, tidak diberikan hak waris walaupun si perempuan sangat butuh karena fakirnya. Bahkan justru ia menjadi salah satu benda warisan bagi anak laki-laki suaminya apabila suaminya meninggal dunia. Dan seorang pria dalam adat jahiliyyah berhak menikahi berapa pun perempuan yang diinginkannya tanpa ada batasan dan tanpa memerhatikan hak-hak para istrinya.[12]
Ini kenyataan di kalangan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah, kenyataan buruk yang sama juga terdapat pada bangs-bangsa lain. Kita tengok perlakuan bangsa Yunani dan Romawi yang dulunya dikatakan telah memiliki “peradaban yang tinggi”. Mereka menempatkan perempuan tidak lebih dari sekedar barang murahan yang bebas untuk diperjualbelikan di pasaran. Perempuan di sisi mereka tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan, tidak pula diberi hak waris.[13]
Bagi bangsa Yahudi, perempuan adalah makhluk terlaknat karena sebabnyalah Nabi Adam melanggar larangan Allâh hingga dikeluarkan dari surga. Sebagian golongan Yahudi menganggap ayah si perempuan berhak memperjualbelikan putrinya. Perempuan juga dihinakan oleh para pemeluk agama Nasrani. Sekitar abad ke-5 Masehi, para pemuka agama ini berkumpul untuk membahas masalah perempuan; apakah perempuan itu sekedar tubuh tanpa ruh di dalamnya, ataukah memiliki ruh sebagaimana lelaki? Keputusan akhir mereka menyatakan perempuan itu tidak memiliki ruh yang selamat dari azab neraka Jahannam, kecuali Maryam ibu ‘Isa.[14] Dalam tradisi Yahudi perempuan dianggap sebagai sumber laknat, karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga. Anehnya, anggapan semacam ini masih banyak orang yang mempercayainya dengan berujar, walaupun terusirnya manusia dari surga adalah takdir, akan tetapi seandainya tidak ada Hawa (perempuan) yang menyebabkan Adam makan buah khuldi, niscaya manusia sampai saat ini tetap berada di surga. Di Hindustan, perempuan dianggap jelek, sepadan dengan kematian, neraka, racun dan api. Bila seorang suami meninggal dan jenazahnya diperabukan maka si istri yang jelas-jelas masih hidup harus ikut dibakar bersama jenazah suaminya.[15]
Anggapan ini jelas sangat keliru, karena menurut al-Qur’ân, godaan Iblis tidak hanya ditujukan pada perempuan (Hawa) yang kemudian menyebabkan laki-laki (Adam) tergelincir bersamanya. Akan tetapi godaan dan rayuan Iblis itu ditujukan pada keduanya. Hal ini bisa kita lihat misalnya dalm firman Allâh: “Maka Setan membisikkan pikiran jahat pada keduanya.” (QS al-A’râf [7]: 20).
Juga firman Allâh, “Janganlah kalian (Adam dan Hawa) dekati pohon ini” (QS al-Baqarah [2]: 35). Dan di ayat yang lain, “Lalu keduanya digelincirkan oleh Setan dari surga itu.”(QS Al-Baqarah [2]: 36).
Ayat-ayat al-Qur’ân yang membicarakan kisah ini tidak ada yang menggunakan kata ganti perempuan kedua tunggal, akan tetapi menggunakan kata ganti (dhamir) tatsniyyah yang berarti menunjuk pada Adam dan Hawa sekaligus, bukan hanya Hawa. Bahkan, dalam ayat yang bercerita tentang kisah ini dengan bentuk kata ganti tunggal, maka ayat tersebut justru menunjuk pada kaum laki-laki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti firman Allâh: “Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tak pernah punah?” (QS Thâha [20]: 20).
Redaksi ayat-ayat Al-Qur’ân yang seperti itu tadi jelas sangat bertentangan dengan anggapan perempuan sebagai sumber petaka. Karena menurut Al-Qur’ân, keduanya sama-sama digoda oleh syaitan, sama-sama tergelincir dan bersama-sama mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.
Sekali lagi, walaupun  anggapan seperti ini masih dipercayai banyak orang, termasuk orang-orang Islam sendiri, anggapan tersebut adalah merupakan upaya untuk mendiskreditkan perempuan dan sangat bertentangan dengan nash-nash al-Qur’ân. Al-Qur’ân tidak pernah menganggapnya sebagai sumber bencana dan petaka, namun justru berusaha meluruskan pandangan keliru yang terkait dengan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.[16]
Kodrat Kedudukan Perempuan
Islam datang dengan cahayanya yang menerangi dunia. Kedzaliman terhadap perempuan pun terangkat. Islam menetapkan insaniyyah (kemanusiaan) seorang perempuan layaknya seorang lelaki, di mana Allâh berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan…” (QS al-Hujurât [49]: 13).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً
“Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu, kemudian Dia ciptakan dari jiwa yang satu itu pasangannya. Lalu dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS al-Nisâ` [4]: 1).
Sebagaimana perempuan berserikat dengan lelaki dalam memperoleh pahala dan hukuman atas amalan yang dilakukan. Allâh berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ
“Siapa yang beramal shalih dari kalangan laki-laki ataupun perempuan sedangkan ia dalam keadaan beriman maka Kami akan menganugerahkan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan memberikan balasan pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (QS al-Nahl [16]: 97).
Dan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
لِيُعَذِّبَ اللهُ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوْبَ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Agar Allâh mengazab orang-orang munafik, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan, dan orang-orang musyrik, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Dan agar Allâh mengampuni orang-orang yang beriman, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan…” (QS al-Ahzâb [33]: 73).
Allâh mengharamkan perempuan dijadikan barang warisan sepeninggal suaminya.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
“Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kalian mewarisi para perempuan secara paksa.” (QS al-Nisâ`[4]: 19)
Bahkan perempuan dijadikan sebagai salah satu ahli waris dari harta kerabatnya yang meninggal. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُوْنَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ
“Bagi para lelaki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya. Dan bagi para perempuan ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS al-Nisâ` [4]: 7)
Dalam masalah pernikahan, Allâh membatasi laki-laki hanya boleh mengumpulkan empat istri, dengan syarat harus berlaku adil dengan sekuat kemampuannya di antara para istrinya. Dan Allâh wajibkan bagi suami untuk bergaul dengan ma’ruf terhadap istrinya. Firman Allâh:[17]
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan bergaullah kalian dengan para istri dengan cara yang ma’ruf.” (QS al-Nisâ` [4]: 19).
Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ menetapkan adanya mahar dalam pernikahan sebagai hak perempuan yang harus diberikan secara sempurna kecuali bila si perempuan merelakan dengan kelapangan hatinya. Dia Yang Maha Tinggi Sebutan-Nya berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
“Dan berikanlah mahar kepada para perempuan yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai sesuatu yang baik.” (QS al-Nisâ` [4]: 4).
Kedudukan Perempuan dalam Kehidupan Rumah Tangga
Perempuan pun dijadikan sebagai penanggung jawab dalam rumah tangga suaminya, sebagai pemimpin atas anak-anaknya. Nabi SAW kabarkan hal ini dalam sabdanya:
الْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ
“Perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak suaminya, dan ia akan ditanya tentang mereka.” (HR Bukhari dan Muslim).
Diatas telah dijelaskan bahwa al-Qur’ân menempatkan perempuan pada posisi yang setara dengan pria dalam derajat kemanusiaan. Namun, berdasar pada kesadaran akan adanya perbedaan-perbedaan  keduanya baik yang menyangkut masalah fisik maupun psikis, Islam kemudian membedakan keduanya dalam berapa persoalan, terutama yang menyangkut fungsi dan peran masing-masing. Pembedaan ini dapat dikategorikan ke dalam dua hal, yaitu dalam kehidupan keluarga dan kehidupan publik. Ayat yang sering kali dijadikan dasar untuk memandang kedudukan masing-masing laki-laki dan perempuan adalah Firman Allâh pada surat al-Nisâ’ [4]: 34, Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka”
Semua ulama sepakat bahwa ayat ini punya daya berlaku dalam konteks keluarga. Perbedaan di antara mereka baru muncul ketika ayat ini dibawa untuk dijadikan legitimasi pembedaan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan publik. Akan tetapi, kesepakatan mereka dalam mengakui berlakunya ayat ini dalam konteks keluarga tidak kemudian berarti mereka seragam juga dalam menafsirkannya. Para ahli tafsir mengajukan penjelasan yang sangat beraneka ragam terhadap ayat  tersebut.
Ibnu Jarîr Al-Thabâri menjelaskan maksud “qowwâmun” adalah penanggung jawab untuk mendidik dan membimbing istri agar mentaati kewajibannya kepada Allâh dan suami. Ibnu Abbas mengartikan kata “qowwâmun” sebagai pihak yang mempunyai kekuasaan untuk mendidik perempuan. Dalam tafsir al-kasysyâf, al-Zamakhsyari menjelaskan bahwa kaum laki-laki berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada perempuan sebagai mana penguasa pada rakyatnya.[18]
Apabila keanekaragaman penafrsiran tersebut kita cermati (baik yang dilakukan oleh mufassirin klasik maupun modern), maka akan kita dapatkan benang merah berupa kelebihan laki-laki atas perempuan dan posisi laki-laki yang berada di atas perempuan dalam kehidupan rumah tangga.
Kelebihan laki-laki atas perempuan terjadi karena beberapa faktor, diantaranya karena sifat hakikinya dan hukum syara’ yang menetapkan demikian. Sifat hakiki bersumber pada dua hal, yaitu pengetahuan dan kemampuan. Tidak diragukan lagi bahwa akal dan ilmu laki-laki lebih banyak dan kemampuan laki-laki untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan  yang berat lebih sempurna. Karena dua hal inilah laki-laki mempunyai kelebihan dari perempuan dalam penalaran tekad yang kuat, kekuatan menulis  dan keberanian.
Karena laki-laki lebih potensial dari perempuan, maka dari laki-laki lah lahir para nabi, ulama, dan imam. Mereka berperan dalam jihad, adzan, khotbah, persaksian dalam hudûd dan qishâs. Mereka Juga menerima bagian lebih dalam waris, menjadi wali dalam nikah, menentukan talak, rujuk dan lain sebagainya.[19]
Kelebihan laki-laki atas perempuan karena dua sebab, yaitu fitri dan kasbi, laki-laki sejak penciptaannya sudah diberi kelebihan kekuatan dan kemampuan. Akibat kelebihan sejak penciptaannya, laki-laki mempunyai kesempurnaan akal dan kejernihan pandangan yang menyebabkan adanya kelebihan kasbi sehingga laki-laki mampu berusaha, berinovasi dan kebebasan bergerak. Adapun perempuan dilahirkan sejak penciptaannya diberi fitrah untuk mengandung (hamil), melahirkan dan mendidik anak. Sebab jika perempuan dapat menjalankan fungsinya seperti laki-laki sebagaimana pandangan pertama diatas, fitrah mereka tetap menghalanginya.[20]
Agaknya apa yang diungkapkan oleh para ulama tadi masih dapat kita rasakan relevansinya saat ini. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa para pemimpin, ilmuwan dan tokoh-tokoh masyarakat masih didominasi oleh kaum pria meskipun jumlah perempuan lebih banyak dari pria. Bahkan di negara-negara seperti Amerika dan Perancis di mana pria-perempuan diberi kesempatan yang sama dalam belajar maupun mengaktualisasikan dirinya pun demikian adanya. Oleh karena itu, anggapan bahwa laki-laki mempunyai kelebihan dari perempuan hanya karena akibat dari konstruksi budaya yang memang masih mengkondisikan demikian menjadi tidak tepat.
Memang harus juga diakui bahwa ternyata ada beberapa perempuan yang punya kelebihan dari pria. Akan tetapi hal itu sangat bersifat kasuistik dan tidak bisa digeneralisir untuk kemudian ditarik darinya suatu hukum. Karena itulah, Islam menetapkan ketentuan berdasarkan pada lazimnya kenyataan yang terjadi dengan menempatkan kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan dalam rumah tangga seperti dalam ayat tadi. Ketentuan ayat 34 surat al-Nisâ diperkuat oleh firman Allâh: “Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya”.
Karena perbedaan itulah maka al-Qur’ân memberi hak dan kewajiban masing-masing secara berbeda. Namun yang perlu ditekankan, pembedaan tersebut bukanlah diskriminasi dan wujud ketidakadilan, tetapi justru agar tercapai keseimbangan dan keharmonisan dalam menjalani bahtera rumah tangga. Dalam membedakan hak dan kewajibannya,[21] Islam tidak memihak pada pihak laki-laki dengan menekan pihak perempuan sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ân: “Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf”.
Sebagai yang dipimpin, perempuan wajib menaati pihak yang memimpinnya, yaitu laki-laki. Dia wajib patuh dalam segala hal selama bukan perintah yang sifatnya menyuruh terhadap kemaksiatan. Dia juga harus hormat, patuh, dan tunduk pada suaminya sebagaimana yang tercermin dari haditst nabi, seandainya aku memerintahkan seorang sujud pada orang lain, niscaya aku memerintahkan istri sujud pada suaminya (HR Tirmidzi dll). Laki-laki sebagai yang memimpin dan harus dipatuhi, dia tidak boleh menindas istrinya dan berbuat semena-mena, tetapi harus bersikap baik kepadanya. Allâh berfirman: “Dan gaulilah istri-istrimu dengan cara yang baik”
Dalam kehidupan rumah tangga, Islam sangat melindungi perempuan, hal ini dapat kita lihat misalnya dalam haditst nabi: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap istri dan anak perempuan” (HR Baihaqi dari Abi Hurairah). Bahkan dengan tegas Nabi menyatakan bahwa suami yang semena-mena terhadap istrinya akan dibalas oleh  Allâh dengan siksa neraka. Nabi shallallâhu ‘alahi wa sallam, bersabda, “Ketahuilah, aku kabarkan kepada kalian tentang ahli neraka, yaitu laki-laki yang keras hati, kasar, sombong, suka menyakiti Istrinya, yang bakhil, yang terlalu banyak melakukan hubungan seks”.
Dalam masalah hak, perempuan juga sangat dimanjakan dan diperhatikan kesejahteraannya oleh al-Qur’ân. Dalam surat al-Baqarah [2] ayat 123 Allâh berfirman, “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya.”
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa seorang ibu mempunyai hak-hak pribadi yang tidak berkaitan dengan statusnya sebagai istri.
Demikianlah, al-Qur’ân telah menempatkan posisi laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga serta menentukan hak dan kewajiban kepada masing-masing secara adil, proporsional dan seimbang meski tidak sama. Al-Qur’ân juga ternyata lebih dini dan lebih dulu dalam menghormati kedudukan perempuan bila dibandingkan dengan hukum-hukum lain di berbagai negara, terutama Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dimuat ketentuan bahwa seorang perempuan yang telah mempunyai suami tidak boleh melakukan perjanjian tanpa izin suaminya.
Ketentuan ini sempat berlaku untuk waktu yang lama sampai pada tahun 1963, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat  Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.03/1963. SEMA tersebut memfatwakan agar semua ketentuan KUHPer tentang kedudukan perempuan tidak diberlakukan lagi. Bandingkanlah dengan al-Qur’ân yang telah memberikan hak ini pada perempuan semenjak beberapa abad yang lalu dimana sama sekali belum ada yang namanya gerakan emansipasi perempuan.[22]
Kedudukan Perempuan dalam Kehidupan Publik
Al-Qur’ân dalam khitob-nya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara umum dapat dikatakan telah menempatkan perempuan pada posisi yang seimbang dengan laki-laki. Tidak seperti pada kehidupan rumah tangga di mana hak dan kewajiban masing-masing dibedakan secara tajam, dalam kehidupan bermasyarakat hak dan kewajiban keduanya tidaklah begitu berbeda. Keduanya sama-sama dihormati kedudukannya oleh syara’, dilindungi, dan dibebani kewajiban yang sama.
Sebagaimana laki-laki, perempuan berhak untuk mendapatkan hasil usaha mereka, sesuai firman Allâh, “Bagi laki-laki dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang diusahakannya dan bagi perempuan dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang diusahakannya”. (QS al-Nisâ [4]: 32).
Perempuan juga mempunyai kewajiban yang sama dengan laki-laki untuk mewujudkan kebaikan di masyarakat dengan cara amar ma’ruf nahi munkar, meski caranya berbeda. Dalam surat Ali-Imrân [3] ayat 110, “Kamu adalah sebaik-baiknya umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar”.
Jadi, al-Qur’ân pada dasarnya memandang laki-laki dan perempuan sebagai subyek hukum (penyandang hak dan kewajiban) dalam masyarakat pada posisi yang setara. Pembedaan keduanya baru terjadi ketika pembicaraan  mengenai hak dan kewajiban mereka menginjak pada tatanan bagaimana caranya masing-masing untuk mengaplikasikan dan mengaktualisasikannya
Al-Qur’ân menetapkan peraturan-peraturan yang membuat laki-laki lebih leluasa bergerak dan berekspresi dibanding perempuan. Pada saat berinteraksi dengan publik, perempuan lebih terikat oleh batasan-batasan syara’. Dalam surat al-Ahzâb [33] ayat 33 misalnya, Allâh berfirman, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu”.
Ayat ini sering kali dijadikan dasar pendapat pada ulama yang mengatakan bahwa kehidupan perempuan adalah pada wilayah domestik (keluarga) dan bukannya di wilayah publik (berinteraksi secara langsung dengan masyarakat umum). Al-Qurthubi  yang dikenal sebagai pakar tafsir  bidang hukum menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh tuntutan-tuntutan agar perempuan-perempuan tinggal di rumah, dan tidak keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibn Al-‘Arabi dan Ibn Katsir meskipun Ibn Katsir sedikit lebih moderat, yaitu boleh keluar rumah jika ada kebutuhan yang dibenarkan oleh agama.
Untuk konteks saat ini, pendapat yang kiranya paling relevan adalah apa yang diungkapkan oleh Abu al-A’la al-Maudûdi. Perempuan boleh-boleh saja keluar rumah jika ada keperluan sepanjang memperhatikan kesucian diri dan memelihara rasa malu. Sayyid Quthb menyatakan bahwa perempuan tidak dilarang oleh Islam untuk bekerja hanya saja Islam tidak senang (mendorong) hal tersebut.
Berdasarkan ayat di atas dan beberapa ayat lain yang berkaitan dengan perempuan seperti ayat tentang aurat, gerak perempuan menjadi lebih terbatas bila dibanding pria. Apalagi kalau mengikuti pendapat sementara ulama yang mengatakan bahwa suara perempuan di depan publik adalah aurat, peran perempuan untuk tampil dalam kehidupan publik jelas sangat terbatasi.
Selain itu, masalah kepemimpinan perempuan sampai saat ini masih menjadi perdebatan terus menerus. Berkaitan dengan masalah ini, ulama terbagi kedalam tiga kelompok pendapat:
  1. Mereka yang tidak memperbolehkan peran perempuan dalam jabatan-jabatan publik apapun bentuknya. Hujjah yang mereka kemukakan adalah surat al-Nisâ [4]: 34, “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) antar sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka”
Walaupun ayat ini diturunkan untuk konteks keluarga, namun mereka menarik pemberlakuan ayat ini ke wilayah publik berdasar qôidah mafhûm aulawiy. Dari situlah mereka lalu berkesimpulan: kalau untuk skala kecil (keluarga, rumah tangga) saja perempuan harus dipimpin laki-laki, apalagi untuk skala besar (urusan publik) yang mencakup wilayah tanggung jawab yang lebih besar. Lalu mereka memperkuat hujjah dengan haditst, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya pada perempuan”
Dalam menarik hukumnya, mereka tidak begitu mempertimbangkan asbabun nuzul ayat maupun asbabul wurud hadits di atas, karena mereka memakai kaidah ushul fiqh, “Penarikan hukum berdasarkan pada umumnya lafaz, bukan khususnya sebab”
Pendapat ini adalah pendapat para ulama seperti al-Qurthubî, al-Zamakhsyari, al-Râzi, Ibnu Katsîr, serta ulama-ulama salaf dan sampai saat ini masih menjadi pendapat jumhur ulama.
  1. Mereka yang memperbolehkan perempuan memegang jabatan publik tertentu asalkan bukan kepala negara. Hujjah mereka adalah surat al-Taubah [9] ayat 71: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah yang munkar”.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah sesuatu  kewajiban yang mencakup berbagai cara perjuangan, diantaranya dengan terlibat dalam kehidupan politik masyarakat. Diantara ulama golongan kedua ini adalah Sa’id  Ramadhan al-Bûthi. Ulama yang dikenal serba bisa dan sangat teguh memegang ajaran salaf ini berpendapat bolehnya perempuan menjadi anggota legislatif, tetapi tidak boleh menjadi kepala negara (al-Imâmah al-Kubrô).
  1. Mereka yang membolehkan perempuan memegang jabatan publik apapun secara mutlak asalkan memenuhi kualifikasi dan mampu menjaga kehormatan. Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Said ‘Aqil al-Munawar, Quraisy Shihab, Hussein Muhammad, dan semua pemikir-pemikir Islam Liberal.
Agaknya untuk saat ini pendapat yang paling kuat adalah pendapat  yang kedua, yaitu yang membolehkan perempuan memegang jabatan-jabatan publik tertentu, tetapi tidak menjadi kepala negara. Alasannya fakta di lapangan menunjukkan bahwa ternyata banyak para perempuan yang mempunyai kelebihan dalam bidang tertentu melebihi kaum laki-laki. Selain itu, bukti sejarah juga menunjukkan bahwa Umar bin Khaththâb pernah menugaskan seorang perempuan untuk menjadi bendahara pasar, sebagaimana dikatakan Ibn Hazm. Khusus untuk jabatan kepala negara perempuan tidak boleh memegangnya. Alasannya bukan hanya kerena hadits Nabi saja, akan tetapi didukung juga oleh analisis dari sudut pandang hukum dan psikologis.
Memang benar bahwa hampir di setiap negara modern saat ini kepala negara bukanlah penentu segalanya dan satu-satunya pembuat keputusan kenegaraan (decision maker). Kekuasaan dalam suatu negara telah dibagi-bagi menurut azas pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Yang perlu diingat, keadaan seperti ini hanya berlangsung pada saat negara dalam keadaan normal. Akan tetapi, apabila negara berada dalam keadaan yang sangat kritis, dan hal ini sangat mungkin terjadi kapanpun, maka berlakulah hukum darurat negara (staatsnood recht) yang membuat kepala negara akan meningkat perannya secara drastis. Pada saat itulah, kepala negara sebagai orang nomor satu di negara bersangkutan akan memiliki peran yang sangat vital dalam menentukan keselamatan negara. Apalagi di negara seperti Indonesia di mana Kepala Negaranya secara otomatis menjabat juga sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang (Pasal 10 Amandemen Keempat UUD 1945), peran Kepala Negara jelas sangat menentukan dalam menangani keadaan. Penanganan keadaan dalam kondisi yang seperti ini menuntut adanya kepala negara yang berjiwa besar, punya ketegasan, keberanian dan kondisi psikologis yang mantap serta stabil sehingga mampu berpikir jernih, cepat dan tepat serta akurat. Secara psikologis, perempuan tidak akan mampu menyelesaikan tugas berat itu dengan baik melihat kondisinya yang halus, lemah dan labil.
Begitulah, al-Qur’ân pada dasarnya memberikan hak dan kewajiban pada perempuan dalam kapasitasnya sebagai anggota  masyarakat sama dengan apa yang diberikan  kepada laki-laki. Akan tetapi, karena perbedaan kondisi mereka, maka cara mewujudkannya ditentukan berbeda oleh Al-Qur’ân.
Oleh karena itu, perempuan tidak boleh untuk menarik diri, acuh dan tidak mau berinteraksi dalam kehidupan publik dengan alasan dirinya terikat oleh aturan-aturan. Dia tetap punya kedudukan sama dengan laki-laki meski cara aktualisasinya berbeda. Perempuan juga tetap wajib peduli, memikirkan dan respek dengan permasalahan sosial di sekitarnya. Hadits Nabi mengatakan: “Barang siapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka”.
Haditst nabi ini tertuju untuk umum, laki-laki maupun perempuan, sehingga keduanya harus mau terlibat urusan-urusan yang publik. Selain itu, Al-Qur’ân juga mengajak agar umatnya selalu bermusyawarah dalam memutuskan segala sesuatu, melalui pujian Tuhan pada mereka: “Urusan mereka selalu diputuskan dengan musyawarah” (QS al-Syura [42]: 38).
Bukankah ayat ini ditujukan tidak hanya untuk golongan laki-laki saja, tetapi perempuan juga termasuk? Oleh karena itulah, perempuan jelas punya hak dan memang harus ikut memikirkan urusan-urusan publik.
Ikhtitâm
Al-Qur’ân dalam masalah derajat kemanusiaan telah mendudukkan perempuan dalam posisi yang setara dengan laki-laki. Kedudukan, hak dan kewajibannya hampir bisa dikatakan sama. Namun karena keduanya diciptakan oleh Tuhan dengan karakter fisik dan psikis yang berbeda, al-Qur’ân kemudian membedakan fungsi, peran dan tugas masing-masing, baik dalam wilayah domestik maupun publik.
   Pembedaan ini dilakukan agar antara keduanya dapat bekerja sama, saling melengkapi satu sama lain dan tolong menolong demi terciptanya keharmonisan hidup. Berbedanya tugas, fungsi dan peran masing-masing sebagaimana telah ditentukan oleh syara’ sama sekali tidak bisa dianggap sebagai diskriminasi dan dan kemudian diartikan lebih mulianya salah satu dibanding yang lainnya. Bukankah Rasûlullâh sendiri dengan tegas menyatakan kesetaraan laki-laki dan perempuan  dengan menyebut kaum perempuan sebagai Syaqâ’iq al-Rijâl (saudara sekandung kaum laki-laki).
   Jelaslah, al-Qur’ân ternyata sangat adil dalam memandang perempuan. Al-Qur’ân juga sangat bijak dalam menempatkan posisi perempuan sesuai tabiatnya dan sangat memanjakannya. Maka sangat tidak layak apabila masih ada perasaan iri antara satu sama lain. Allâh berfirman dalam surat al-Nisâ’ [4]: 32, “Dan janganlah kamu iri hari terhadap apa yang dikaruniakan Allâh kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian kamu lebih banyak dari sebagian mereka. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan”.[]

Marâji’
Al-Zamakhsyari. Al-Kasysyâf ‘an Haqôiqi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil. Teheran: Intisyarat Avetab, t.t.
Al-Baidlowi, Nashiruddin. 1996. Anwaru at-Tanzil waa Asraru at-Ta’wil. Beirut: Dâr Al-Fikr.
Al-Zuhaily, Wahbah. At-Tafsir Al-Munîr fi Al-’aqîdah wa As-Syarî’ah. Damaskus: Dâr Al-Fikr, t.t.
Al-Thabaththabâ’i, Muhammad Husain. Al-Mîzân fi Tafsîr Al-Qur’ân. Beirut: Dâr Al-Fikr, t,t.
Ridha, Muhammad Rayid. 1367 H. Tafsir Al-Manâr. Kairo: Dâr Al-Manar.
Al-Razy, al-Fakhr. 1990. Mafâtih al-Ghâib. Beirut: Dâr Al-Haya Al-Turâts Al-‘Arabi.
Qaththan, Manna’ Kholil. 1978. Mabâhits Fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Muassasah Al-Risalah.
Yasir, Ali. 2001. Al-Nashrâniyyatul Qur’aniyyah (Kristianologi Qur’ani), Yogyakarta: Ponpes UII.
Abdoerraoef. 1970. Al-Qur’ân dan Ilmu Hukum. Jakarta: Bulan Bintang.
Umar, Nasaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’ân. Jakarta: Paramadina.
Al-Fairuzabadiy, Abu Thahir. Tanwîrul Miqyâs min Tafsîri Ibn Al-Abbâs, Beirut: Dâr Al-Fikr, t.t.
Al-Hamadzaniy. Al-Farîd Fi I’rôbi al-Qur’ân al-Majîd. Qatar: Dâr al-Tsaqôfah, t.t.
Shihab, Quraisy. 2000. Wawasan Al-Qur’ân, Bandung: Mizan.
Al-Shâbûniy, Muhammad ‘Ali. 2001. Rawâi’ al-Bayân Tafsîru Âyât al-Ahkâm min al-Qur’ân. Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah.
Ma’had ad-Dirasat al-Islamiyyah. Mudzakkarât fî Nidzômi al-Hukmi fî al-Daulah al-Islamiyyah. Kairo: Mustasyar ‘Umar Syarif, t.t
Ath-Thabâriy, Ibnu Jarir. 1992. Jamî’ul-Bayan fî Tafsîr al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah.
Jurnal Al-Mawarid Edisi Kelima Fakultas Syari’ah UII

                * Penulis adalah Dosen Universitas Negeri Semarang.
                [1] Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Al-Huqûq wal Wâjibât ‘ala al-Rijâl wa al-Nisâ` fil Islam, Beirut: Dar Al-Fikr, 1996.
                [2]Mahmud Mahdi Al-Istambuli dan Musthafa Abu An-Nashr Asy-Syalabi,  Nisâ` Haular Rasûl, Beirut: Dar Al-Fikr, 1996. Hlm 65.
[3] Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taisîrul Karîmirrahmân, Damaskus: Dar Al-Fikr. Hlm. 845
[4]Hambali, Membina Keharmonisan Berumah Tangga Menurut Al Qur’an dan Sunnah dan Bahaya Emansipasi Wanit, Cahaya Tauhid Press, Malang, hlm  15-22
[5] Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Tanbîhat ala Ahkam Takhtashshu bil Mu`minat, Damaskus: Dar Al-Fikr. Hlm. 102
[6] Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf ‘an Haqoiqi at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil, Teheran: Intisyarat Avetab,
                [7] Al-Baidlowi, Nashiruddin, Anwaru at-Tanzil waa Asraru at-Ta’wil, Beirut: Dar Al-Fikr, 1996
[8] Al-Razy, al-Fakhr, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar Al-Haya Al-Turats Al-Arabi, 1990
[9] Al-Zuhaily, Wahbah, At-Tafsir Al-Munir fi Al-’aqidah wa As-Syari’ah, Damaskus: Dar Al-Fikr,
[10] Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Manar, Kairo: Dar Al-Manar, 1367 H
[11] ibid
                [12] Al-Thabariy, Ibnu Jarir, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’ân, Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1992
                [13] Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’ân, Jakarta: Paramasina, 1999
                [14] Yasir, Ali, An-Nashraniyyatul Qur’aniyyah (Kristianologi Qur’ani), Yogyakarta: PP. UII, 2001
[15] ibid
[16] Al-Shabûniy, Muhammad ‘Ali, Rawai’ al-Bayan Tafsiru Ayat al-Ahkam min al-Qur’ân, Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2001
[17] Al-Thabataba’i, Muhammad Husain, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’ân, Beirut: Dar Al-Fikr
[18] Al-Fairuzabadiy, Abu Thahir, Tanwirul Miqyas min Tafsiri Ibn Al-Abbas, Beirut: Dar Al-Fikr
[19] Ma’had ad-Dirasat al-Islamiyyah, Mudzakkarat fi Nidzomi al-Hukmi fi al-Daulah al-Islamiyyah, Kairo: Mustasyar ‘Umar Syarif,
                [20] Shihab, Quraisy, Wawasan Al-Qur’ân, Bandung: Mizan, 2000
                [21] Abdoerraoef, Al-Qur’ân dan Ilmu Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1970

Tidak ada komentar:

Posting Komentar