Senin, 23 November 2015

Nabi Muhammad juga tidak anti dengan non muslim lho

Kaidah bertetangga itu sama di semua Negara, semua bangsa, juga di semua budaya; bahwa orang yang baik dengan tetangga, murah senyum, tidak jarang berkunjung, suka menyapa, ramah, dan rajin berbagi pastinya akan mendapat kebaikan pula dari sekelilingnya. Dan begitu juga sebaliknya, siapa yang jahat terhadap tetangga, buruk sikap, kasar perangai, pelit senyum, dan ogah menyapa, begitu juga yang akan ia dapatkan dari sekelilingnya. Orang yang baik terhadap tetangga, pastinya akan banyak disukai oleh tengga lainnya. Dan bentuk kebaikan yang diperoleh pun bisa bermacam-macam, seperti dikirimi makanan oleh tetangga, ketika ada keperluan, tidak sedikit tetangga yang rela menolong, ketika susah pun banyak tangan tetangga yang menjulur sambil menawarkan bantuan. Anaknya pun –kalau memang punya anak- itu mnejadi anak juga bagi tetangganya; menjaga dan menasehati dari keburukan. Begitu yang biasanya didapatkan oleh orang baik, dan itu semua kita saksikan di tengah masyarakat kita.
Berbeda dengna orang yang perangainya buruk, dan jahat kepada tetangga. Jangankan untuk ditegur atau disapa tenggal lain, ketika ia lewat pun tetangga ogah menemuinya, sampai-sampai tidak sedikit yang akhirnya tutup pintu rumah ketika si jahat itu lewat. Bisa karena memang tidak suka, atau mungkin saja khawatir ada keburukan yang dihasilkan.
Nah, dalam hal bertetangga, Rasul s.a.w. adalah contoh terbaik tentang orang yang baik dalam bergaul terhadap tetangga, sehingga menjadi tokoh yang dicintai bagi tetangga. Dan itu bukan hanya terhadap yang muslim, non-muslim sama diperlakukan dengan baik oleh Nabi s.a.w.. bukti nyatanya banyak kita dapati dalam kitab-kitab hadits bahwa Nabi s.a.w. mendapat fitback kebaikan dari tetangganya, bahkan yang non-muslim.

Nabi s.a.w. Diundang Makan oleh Yahudi
Dalam riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dalam musnad-nya, dari sahabat Anas bin Malik r.a., beliau menceritakan bahwa Nabi s.a.w. pernah diundang oleh orang yahudi untuk makan, dan Nabi s.a.w. memenuhi undangan tersebut.

ﻋﻦ ﺃَﻧَﺲٍ ﺃَﻥَّ ﻳَﻬُﻮﺩِﻳًّﺎ ﺩَﻋَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺇِﻟَﻰ ﺧُﺒْﺰِ ﺷَﻌِﻴﺮٍ ﻭَﺇِﻫَﺎﻟَﺔٍ ﺳَﻨِﺨَﺔٍ ﻓَﺄَﺟَﺎﺑَﻪُ

Dari Anas bin Malik r.a., seorang yahudi mengundang Nabi s.a.w. untuk bersantap roti gandum dengan acar hangat, dan Nabi s.a.w. pun memenuhi undangan tersebut. (HR Imam Ahmad)

Ini salah satu bukti bahwa memang Nabi s.a.w. adalah tetangga yang baik bagi tetangga yang lainnya. Sampai-sampai, orang non-muslim yang tidak sepaham dengan agama Nabi s.a.w. saja mau mengundang Nabi s.a.w. untuk makan di rumahnya. Dan ini tidak mungkin terjadi jika Nabi s.a.w. memperlakukan tetangganya dengan buruk, kurang bergaul, ogah menyapa. Undangan ini jelas memberitahukan kita bahwa Nabi s.a.w. itu orang yang baik kepada semuanya, termasuk non-muslim. Beliau s.a.w. sama sekali tidak anti kepada non-muslim apalagi memusuhinya. Bukankah Nabi s.a.w. itu diutus untuk kebaikan semua makhluk?
Berwudhu Dengan Air dan Bejana Orang Musyrik
Bukan hanya itu, dalam riwayat imam al-Bukharo dan Muslim pun disebutkan:

ﻭَﻋَﻦْ ﻋِﻤْﺮَﺍﻥَ ﺑْﻦِ ﺣُﺼَﻴْﻦٍ - ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ - ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻭَﺃَﺻْﺤَﺎﺑَﻪُ ﺗَﻮَﺿَّﺌُﻮﺍ ﻣِﻦْ ﻣَﺰَﺍﺩَﺓِ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﻣُﺸْﺮِﻛَﺔٍ . ﻣُﺘَّﻔَﻖٌ ﻋَﻠَﻴْﻪِ

Dari ‘Imron bin Hushain r.a.., beliau berkata: “Rasulullah s.a.w. bersama para sahabatnya berwudhu dengan air dari bejana wanita musyrik”. Muttafaq ‘alaiyh

Mungkin kalau urusan undangan makan, tidak begitu sensitive, karena memang masalahnya umum dan masih dikatakan wajar, walaupun sejatinya itu menakjubkan. Akan tetapi lebih mekjubkan lagi bahwa ada orang musyrik di zaman Nabi s.a.w. rela meminjamkannya bajanya untuk wudhunya Nabi s.a.w. dan para sahabat, padahal wudhu itu ibadah. Ibadah yang jelas-jelas bertentangan dengan kepercayaan wanita musyrik tersebut.
Kita berandai-andai, seandainya saja gaya bergaulnya Nabi s.a.w. kepada musyrik itu kasar, ganas, dan bengis, tidak mungkin wanita musyrik itu rela meminjamkan bejananya dan jug airnya dipakai untuk ibadah, untuk ritualnya orang Islam yang jelas menyimpang dari ajaran nenek moyangnya. Tapi kenapa wanita itu mau? Tentu karena memang Nabi s.a.w. .dan para sahabat adalah orang yang baik dan sopan dalam bertetangga. Tidak meledak-meledak, tak gampang menghina, dan pastinya murah senyum.
Pembantu Nabi s.a.w., Seorang Anak Yahudi
Ada lagi. Dulu Nabi s.a.w. punya ART (Asisten Rumah Tangga) seorang anak laki-laki Yahudi, bukan Islam. Suatu saat anak Yahudi ini sakit dan tidak masuk kerja, akhirnya Nabi s.a.w mengunjunginya di rumah anak Yahudi itu. Sampai di rumahnya, ada ayah anak itu yang juga sama-sama enganut Yahudi sedang menunggu sang anak. Setelah meminta izin kepada sang ayah, Rasul s.a.w. mendekati anak tersebut lalu mengajaknya untuk bersyahadat; masuk Islam. Diajak masuk Islam, anak itu bingung karena ada sang ayah di dekatnya. Sesekali melirik ayahnya, sesekali melirik Nabi s.a.w., sampai akhirnya sang ayah berbicara: “Anakku! Taati Abu Qasim (Muhammad)!”. Mendapat izin dari ayahnya, anak itu bersyahadat. Kemudian Nabi s.a.w. keluar dari rumah sambil mengucapkan: “ Alhamdulillah, Allah telah menyelamatkan anak itu dari neraka dengan wasilahku ”.
Poin dari cerita dari hadits yang termaktub dalam shahih al-Bukhari dari sahabat Anas bin Malik ini, mari kita berfikir sejenak.
Agama adalah identitas setiap diri yang siapapun dia pasti akan membela agamanya jika ia dihina, dan siapapun dia pasti akan marah jika disuruh untuk meninggalkan agama nenek moyangnya. Tapi lihat bagaimana relanya sang ayah yang seorang Yahudi membiarkan anaknya melepaskan agama dan kepercayaan nenek moyangnya hanya karena seorang Muhammad s.a.w.
Kita berandai-andai sekarang, kira-kira jika Nabi s.a.w. ketika bergaul dengan orang non-muslim dengan keras dan bengis, asal hantam, mulut kotor doyan mencaci, apakah mau seorang yahudi membiarkan anaknya ikut kepada Muhammad? Tidak mungkin! Itu bukti nyata bagi kita –yang mengaku cinta dan mengikuti Nabi s.a.w.- bahwa apa yang dilakukan Nabi s.a.w. dalam menyampaikan agama ini bukan dengan caci maki, prasangka, dusta, kebencian, Nabi s.a.w. menyampaikan agama ini dengan cinta dan kasih sayang; karena memang tujuan dakwah ini adalah mengajak orang lain menuju kepada sang Maha cinta dan Sayang. Bagaimana bisa mengajak kepada cinta tapi dengan kebencian?
Tidak Ada Larangan Berbuat Baik Kepada Non-Muslim
Dalam syariat ini pun sudah sangat jelas dan nyata diterangkan, bahwa tidak ada larangan bagi kaum muslim untuk berbuat baik kepada non-muslim, bertetangga, bergaul juga bersahabat, selama memang non-muslim tersebut tidak mengajak kepada kemaksiatan atau juga tidak melarang kita untuk beribadah. Begitu jelas disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Mumtahanah:

ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻬَﺎﻛُﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻦِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻟَﻢْ ﻳُﻘَﺎﺗِﻠُﻮﻛُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﺨْﺮِﺟُﻮﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺩِﻳَﺎﺭِﻛُﻢْ ﺃَﻥْ ﺗَﺒَﺮُّﻭﻫُﻢْ ﻭَﺗُﻘْﺴِﻄُﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻤُﻘْﺴِﻄِﻴﻦَ ( 8 ) ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳَﻨْﻬَﺎﻛُﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻦِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻗَﺎﺗَﻠُﻮﻛُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻭَﺃَﺧْﺮَﺟُﻮﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺩِﻳَﺎﺭِﻛُﻢْ ﻭَﻇَﺎﻫَﺮُﻭﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺇِﺧْﺮَﺍﺟِﻜُﻢْ ﺃَﻥْ ﺗَﻮَﻟَّﻮْﻫُﻢْ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺘَﻮَﻟَّﻬُﻢْ ﻓَﺄُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤُﻮﻥَ ( 9 )

[8]. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. [9]. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
'Nah itu Nabi s.a.w. kepada orang lain yang bukan Islam, begitu sangat baiknya Nabi s.a.w. kepada mereka. tentu akan jauh lebih baik lagi kepada muslim. Dan ini yang harus dilakukan oleh orang muslim yang mengaku mengampuh beban dakwah, sampaikah kepada orang lain dengan cinta, bukan dengan kebencian. Maka wajar saja salah seorang ulama menyatakan: “bukan ulama jika ia melihat orang yang berbeda dengannya sebagai musuh!” . Karena memang ulama pasti tahu bagaimana mengejawantahkan sifat Nabi s.a.w. ke dalam metode dakwahnya. Bukan dengan kebencian pastinya.
Dalam riwayat Imam Turmudzi, Rasul s.a.w. memberikan wejangan:

ﺍﺗَّﻖِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺣَﻴْﺜُﻤَﺎ ﻛُﻨْﺖَ ﻭَﺃَﺗْﺒِﻊْ ﺍﻟﺴَّﻴِّﺌَﺔَ ﺍﻟْﺤَﺴَﻨَﺔَ ﺗَﻤْﺤُﻬَﺎ ﻭَﺧَﺎﻟِﻖِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺑِﺨُﻠُﻖٍ ﺣَﺴَﻦٍ

“bertaqwalah dimanapun kalian berada, dan ikutilah keburukan dnegan kebaikan, niscaya ia akan menghapus keburukan tersebut. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”
Hebatnya, Nabi s.a.w. di dalam hadits ini tidak mengatakan “pergaulilah saudara muslim”, justru Nabi s.a.w. mengatakan “Khaliqi-Naas” (pergaulilah manusia). Artinya berbuat baik itu tidak hanya terkotakan hanya kepada sesame muslim, tapi seluruh umat manusia. Siapapun dia, selama statusnya masih manusia, seorang muslim wajib berbuat baik kepadanya. Kalau manusia yang tidak jelas agamanya saja muslim harus berbuat baik, apalagi kepada sesama muslim? Tentu jauh lebih wajib lagi karena ada kesaaam tujuan, yakni Allah s.w.t.. Kita diikat dengan kalimat yang tidak mungkin terlepas sampai hari kiamat, yakni kalimat Tauhid. Lalu apa alasannya kita merusak kalimat itu dengan kebencian dan prasangka?
Wallahu a’lam

Semoga bermanfaat

Kuncine Ngaji Al Qur'an iku ono Telu

WASIAT MBAH ARWANI
Kuncine Ngaji Al Qur'an iku ono Telu :
1. Ojo nyawang sopo Gurune
2. Ora usah isin karo umur
3. Suwe waktune
Ora gelem ngaji Al Qur'an mergo pangkat/kedudukan gurune luwih rendah ?
Gusti Kanjeng Nabi Muhammad Saw iku Muride malaikat Jibril as ing babakan Wacan Al Qur'an.
Beliau Saw ora isin ngaji Al Qur'an (musyafahah) marang malaikat Jibril as senajan secara pangkat derajat/kedudukan malaikat Jibril as iku luwih rendah.
(Tidak boleh ada lagi alasan tidak mau mengaji al Qur'an karena kedudukan guru lebih rendah. Nabi Muhammad saw saja tidak malu mengaji alquran kepada malaikat jibril walaupun derajat Rasululloh jauh diatas malaikat Jibril)
Males ngaji Al Qur'an mergo umur wis Tua ?
Gusti kanjeng Nabi Muhammad Saw iku mulai ngaji Al Qur'an marang malaikat Jibril as umur 40 Tahun.
(Tidak boleh ada lagi alasan tidak mau mengaji Al Qur'an karena umur sudah tua. Nabi Muhammad saja mulai belajar al Qur'an kepada malaikatJibril pada umur 40 th)
Isin Ngaji Al Qur'an mergo suwe waktune ?
Kanjeng Nabi Saw ora pernah ngrasa Isin (minder) ngaji Al Qur'an marang malaikat Jibril as awit beliau Saw umur 40 tahun tekane 63 tahun (wafat)
(Tidak boleh ada lagi alasan tidak mau mengaji al Qur'an karena waktunya lama. Nabi Muhammad saja menerima wahyu al Qur'an 23 th lamanya)

Dalil Aqli adanya Allah SWT

DALIL 'AQLI ADANYA ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA

و الدليل على وجوده تعالى حدوث العالم اي وجوده بعد عدم و العالم أجرام كالذات و أعراض كالحركة و السكون و الألوان و إنما كان حدوث العالم دليلا على و جود الله تعالى لأنه لا يصح ان يكون حادثا بنفسه من غير موجد يوجده لأنه قبل وجوده كان وجوده مساويا لعدمه فلما وجد و زال عدمه علمنا أن وجوده ترجح على عدمه و قد كان هذا الوجود مساويا للعدم فلا يصح أن يكون ترجح على العدم بنفسه فتعين أن له مرجحا غيره و هو الذي أوجده لأن ترجح أحد الأمرين المتساويين من غير مرجح محال مثلا زيد قبل وجوده يجوز أن يوجد في سنة كذا و يجوز أن يبقى على عدمه فوجوده مساويا لعدمه

Dalil yang menunjukkan adanya Allah ta’ala adalah barunya alam semesta, yakni adanya alam semesta setelah tiada, alam semesta adalah jirim-jirim (benda) sepert dzat, dan arodl-arodl (sifat) seperti gerak diam dan warna. Barunya alam semesta menunjukkan adanya Allah ta’ala karena sesungguhnya tidaklah sah adanya alam semesta baru dengan sendirinya tanpa adanya pencipta yang mengadakan, karena sesungguhnya alam semesta sebelum ada maka adanya sama dengan tiadanya, maka ketika ada dan hilang tiadanya maka kita mengetahui bahwa sesungguhnya adanya telah mengungguli tiadanya, padahal adanya ini sama dengan tiadanya, maka tidaklah sah adanya mengungguli tiadanya dengan sendirinya, maka jelaslah bahwa sesungguhnya ada yang lain yang mengunggulkan, yaitu ia yang menciptakannya, karena unggulnya salah satu dari dua perkara tanpa ada yang mengunggulkanya adalah mustahil , contoh si Zaid sebelum adanya boleh saja ia diadakan pada tahun sekian dan boleh saja ia tetap tiada , maka adanya si Zaid menyamai tiadanya.

فلما وجد و زال عدمه فى الزمن الذي وجد فيه علمنا أن وجوده بموجد لا من نفسه فحاصل الدليل أن تقول العالم من أجرام و أعراض حادث اى موجود بعد عدم و كل حادث لا بد له من محدث فينتج أن العالم لا بد له من محدث و هذا الذي يستفاد بالدليل العقلي و أما كون المحدث يسمى بلفظ الجلالة الشريفة و ببقية الأسماء فهو مستفاد من الأنبياء عليهم أفضل الصلاة و السلام فتنبه لهذه المسئلة و هذا الدليل الذي سبق و هو حدوث العالم دليل على وجوده تعالى

Maka ketika si Zaid ditemukan(ada) dan hilang tiadanya pada suatu zaman maka kita tahu bahwa sesungguhnya adanya karena ada yang mengadakan(menciptakan) , bukan dari dirinya sendiri, maka kesimpulan dalil sifat wujud adalah dapat kita katakan ‘’Alam semesta yang terdiri dari jirim(benda) dan ‘arodl(sifat) adalah perkara baru yakni ada setelah tiada, dan setiap perkara baru pasti baginya ada yang mewujudkan’’, maka disimpulkan bahwa sesungguhnya alam semesta pasti ada yang mewujudkan(menciptakan). Dalil ini diammbil dari dalil akal, adapun adanya yang menciptakan perkara baru dinamakan dengan lafadh al-Jallalah yang dimuliakan dan dengan nama-nama yang lain maka hal tersebut diambil dari para Nabi ‘alaihim afdlolu ash-sholaati wa as-salam, maka ingatlah masalah ini, dalil yang telah lalu ini yaitu barunya alam semesta adalah dalil/menunjukkan adanya Allah ta’ala

و أما الدليل على حدوث العالم فاعلم أن العالم أجرام و أعراض فقط كما تقدم و الأعراض كالحركة و السكون حادثة بدليل أنك تشاهدها متغيرة من وجود إلى عدم و من عدم إلى وجود كما تراه في حركة زيد فإنها تنعدم إن كان ساكنا و سكونه ينعدم إن كان متحركا فسكونه الذي بعد حركته وجد بعد ان كان معدوما بالحركة وحركته التي بعد سكونه وجدت بعد ان كانت معدومة بسكونه و الوجود بعد العدم هو الحدوث فعلمت أن الأعراض حادثة و الأجرام ملازمة للأعراض لأنها لا تخلو عن حركة و سكون و كل ما لازم الحادث فهو حادث أى موجود بعد عدم فالأجرام حادثة أيضا كالأعراض

Adapun dalil yang menunjukkan barunya alam semesta adalah maka ketahuilah bahwa sesungguhnya alam semesta terdiri dari jirim (benda) dan arodl (sifat) saja sebagaimana yang telah lalu keterangannya, arodl seperti gerak dan diam adalah perkara baru sebab adanya dalil bahwa sesungguhnya engkau menyaksikannya berubah-rubah dari ada kepada tiada dan dari tiada menjadi ada sebagaimana apa yang kamu lihat pada geraknya si Zaid , maka sesungguhnya geraknya si Zaid menjadi tiada jika ia diam , diamnya tiada jika ia bergerak , maka diamnya si Zaid setelah geraknya ia ada setelah tiadanya karena bergerak , geraknya setelah diamnya ada setelah tiadanya karena diam , ada setelah tiada disebut huduts (baru) , maka kamu mengetahui bahwa sesungguhnya arodl (sifat) adalah perkara baru , sedangkan jirim (benda) mulazamah (saling terkait adanya, dalam bahasa jawa disebut tetep tinetepan) dengan arodl (sifat), karena jirim tidak lepas dari gerak dan diam, sedangkan setiap sesuatu yang mulazamah dengan perkara baru maka ia adalah perkara baru pula, yakni ada setelah tiada, maka dari itu jirim adalah perkara baru sebagaimana arodl

فحاصل هذا الدليل أن تقول الأجرام ملازمة للأعراض الحادثة و كل ما لازم الحادث حادث فينتج أن الأجرام حادثة و حدوث الأمرين اعني الأجرام و الأعراض اى وجودهما بعد عدم دليل وجوده تعالى لأن كل حادث لا بد من محدث و لا محدث للعالم إلا الله تعالى و حده لا شريك له كما سيأتي في دليل الوحدانية له تعالى و هذا هو الدليل الإجمالي الذي يجب على كل مكلف من ذكر او أنثى معرفته كما يقوله ابن العربي و السنوسي و يكفران من لم يعرفه فاحذر ان يكون في إيمانك خلاف

Maka kesimpulan dalil ini adalah dapat engkau ucapkan: Jirim mulazamah dengan arodl yang bersifat baru, setiap sesuatu yang mulazamah dengan perkara baru maka ia baru pula, lalu disimpulkan bahwa jirim adalah perkara baru , barunya dua perkara yakni jirim dan arodl yakni adanya dua perkara tersebut setelah tiadanya menunjukkan adanya Allah ta’ala, karena setiap perkara baru pasti ada yang menjadikannya baru, sedangkan tiada yang menciptakan alam semesta kecuali Allah ta’ala saja, tiada sekutu baginya sebagaimana penjelasan yang akan datang pada padli sifat wahdaniyyat bagi Allah ta’ala, dalil seperti ini dalil ijmal yang wajib bagi setiap mukallaf baik laki-laki maupun perempuan mengetahuinya sebagaimana pendapat Ibnu al-‘Arobiy dan Imam As-Sanusiy, beliau berdua mengkafirkan orang yang tidak mengenal dali ijmal tersebut, maka waspadalah engkau jangan sampai sahnya imanmu diperselisihkan
Kitab: Kifayatul 'awam

Contoh :
Sebagaimana angin yang tiada terlihat namun keadaannya ADA.Bukti adanya yaitu dari gerak-gerak pohon dan dedaunan karena terkena tiupan.Demikian juga alam adalah bukti dari adanya Allah.
 

هوالذي خلق السموات واﻷرضوما بينهما

" Dialah(Allah) yang telah menciptakan langit dan bumi beserta apa2 yg ada di antra keduanya... "

Semoga bermanfaat 

Minggu, 22 November 2015

Dalil Shalat Arbain di Masjid Nabawi

Pada umumnya, para jamaah haji dijadwalkan untuk mengunjungi kota Madinah sebelum atau sesudah penyelenggaraan ibadah haji . Diantara motifasi para jama'ah adalah adanya fadhilah Kota Madinah yang diterangkan oleh Rasulullah dalam hadits-haditsnya.
Shalat di Masjid Nabawi tidaklah seperti shalat di masjid lain, Allah telah menyematkan padanya keutamaan yang besar, sebagaimana Allah telah melebihkan sebagian amalan di atas sebagian yang lain. Sebagaimana sabda Nabi SAW dalam hadits riwayat dari Sahabat Abu Hurairah,

صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلاَّ المَسْجِدَ الحَرَامَ


Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram. (HR. al-Bukhari).

Sungguh keutamaan yang besar! Ini berarti satu kali shalat fardhu di Masjid Nabawi lebih baik dari shalat fardhu yang kita lakukan dalam dua ratus hari di Masjid yang lain, kecuali Masjidil Haram. Maka sungguhmerugi orang yang sudah sampai di Madinah tapi tidak sungguh-sungguh memanfaatkan kesempatan besar ini. Karena ada tiga Masjid di dunia ini yang memiliki keutamaan lebih dari pada Masjid-masjid yang lain, Pertama adalah Masjidil Haram di kota Mekah. Kedua Masjid Nabawi di kota Madinah. Ketiga Masjidil Aqsha di Palestina.

Arba'in atau arba'un dalam Bahasa Arab berarti empat puluh. Yang dimaksud dengan shalat arba'in adalah melakukan shalat empat puluh waktu di Masjid Nabawi secara berturut-turut dan tidak ketinggalan takbiratul ihram bersama imam. Para jamaah haji meyakini bahwa amalan ini akan membuat mereka terbebas dari neraka dan kemunafikan. Karenanya jamaah haji Indonesia dan banyak negara lain diprogramkan untuk menginap di Madinah selama minimal 8 hari agar bisa menjalankan shalat arba'in.

Dasar keyakinan ini adalah sebuah hadits dari Anas bin Malik bahwa Nabi �Shallallahu 'Aalaihi wasallam- bersabda:

مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاةً، لاَ يَفُوتُهُ صَلاةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ، وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ


Barang siapa shalat di masjidku empatpuluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan. (HR. Ahmad)

Dengan demikian, melaksanakan Jama'ah Shalat Arba'in di Masjid Nabawi bagi orang yang telah selesai menunaikan rangkaian amalah ibadah haji, atau sebelum melaksanakan ibadah haji adalah termasuk ibadah yang sangat mulia, pahalanya sebagaimana disebutkan, di jauhkan dari api neraka dan sifat kemunafikan, akan tetapi ini bukanlah sebagai syarat maupun rukun haji, melainkan menjadi rentetan kegiatan dari jama'ah haji semisal dari Indonesia atapun dari Negara lain.


Inilah Shalat Arbain Yang Dianjurkan Nabi
Shalat Arba’in cukup dikenal oleh masyarakat haji Indonesia, yaitu shalat berjamaah sebanyak 40 kali berturu-turu di masjid Nabawi Madinah dan tidak boleh tertinggal takbiratur ihram. Menurut versi haditsnya …

Shalat Arba’in cukup dikenal oleh masyarakat haji Indonesia, yaitu shalat berjamaah sebanyak 40 kali berturu-turu di masjid Nabawi Madinah dan tidak boleh tertinggal takbiratur ihram. Menurut versi haditsnya yang lemah, keutamaannnya sangat banyak. Haditsnya yaitu,

مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاةً، لاَ يَفُوتُهُ صَلاةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ، وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ


“Barang siapa shalat di masjidku empatpuluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan.”

Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dijelaskan oleh syaikh Al-Albany dalam Silsilah Adh-Dhaifah, no. 364, dalam kitab lainnya sedangkan dalam kitab  “Dhaif At-Targhib”, no. 755, beliau mengatakan, “Munkar”.

Syaikh Abdul Aziz Bin Baz (Mufti utama Arab Saudi di masa silam) rahimahullah menjelaskan,

“Adapun yang banyak beredar di tengah masyarakat bahwa orang yang berziarah (ke Madinah) dan menetap di sana selama 8 hari agar dapat melakukan shalat arbain (40 waktu). Meskipun ada sejumlah hadits yang diriwayatkan, bahwa siapa yang shalat empat puluh waktu, akan dicatat baginya kebebasan dari neraka dan kebebasan dari nifaq, hanya saja haditsnya dhaif menurut para ulama peneliti hadits. Tidak dapat dijadikan hujjah dan landasan. Berziarah ke Masjid Nabawi tidak ada batasannya, apakah berziarah sejam atau dua jam, sehari atau dua hari atau lebih dari itu, tidaklah mengapa.”1
Hadits arbain yang boleh dan ada dasarnya

Terdapat hadits lain mengenai shalat Arbain yang shahih, akan tetapi berbeda dengan sebelumnya. Hadits tersebut:

Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ.


“Barang siapa yang shalat karena Allah empat puluh hari secara berjamaah tanpa ketinggalan takbir yang pertama, dicatatkan baginya dua kebebasan; kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan. 2

Perbedaan dengan sebelumnya adalah dilakukan selama 40 hari (bukan delapan hari) dan tidak mesti harus di Masjid Nabawi, bisa di masjid mana saja. Insya Allah orang yang rutin shalat berjamaah di masjid tepat waktu akan mudah mendapatkan keutamaan ini. Semoga kita dimudahkan oleh Allah melaksanakannya.
Beberapa catatan mengenai shalat arbain

Shalat Arbain juga memberikan beberapa konsekuensi karena harus berturut-turut dan tidak boleh tertinggal takbiratur ihram bersama imam.

    Terkadang kita ketiduran, kurang fit atau terlalu capek akhirnya kita agak terlambat, kemudian pasti akan terburu-buru bahkan berlari kencang untuk mengejar takbiratur ihram bersama imam. Padahal tubuh sedang tidak fit atau sedang sakit. Ini juga menyalahi sunnah agar datang ke masjid dengan tenang dan tidak tergesa-gesa, adapun yang tertinggal bisa di sempurnakan setelahnya. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالوَقَارِ، وَلاَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا


    “Jika kalian mendengar iqamat, berjalanlah untuk shalat dengan tenang dan wibawa, jangan terburu-buru, shalatlah bersama imam sedapatnya, dan sempurnakan sendiri bagian yang tertinggal.”3
    Ketika tertinggal takbiratul ihram shalat Arba’in atau ketiduran maka jamaah akan merasa sangat sedih sekali. Padahal mayoritas jamaah haji dan umrah umumnya pernah tertinggal takbiratur ihram, baik karena sakit, kecapekan, ketiduran atau mengurus keluarga yang sakit. Mereka sangat sedih tidak mendapatkan keutamaan shalat Arba’in. Akibatnya mereka murung, tidak semangat dan bisa jatuh sakit karena memang tujuan utama mereka di Madinah adalah shalat Arbain.
    Beberapa jamaah yang tidak diprogram tinggal di Madinah selama 8 hari, memaksakan diri dan terkadang bekal tidak cukup, rela ditinggal rombongan karena benar-benar ingin mengejar 40 shalat Arba’in.
    Terlalu fokus ibadah di Madinah dan memaksakan diri, padahal lebih diutamakan shalat dan ibadah di Masjdil Haram Makkah karena memang lebih banyak keutamaannya.
    Jamaah haji wanita juga terkadang kecewa, ketika sedang semangat Shalat Arbain atau sedang akan sempurna, tiba-tiba datang haid. Bisa jadi uring-uringan dan tidak semangat lagi. Bagi jamaah wanita lebih baik merenungi hadits bahwa shalat di rumah atau penginapan lebih baik bagi mereka daripada shalat di Masjid Nabawi karena seorang sahabat wanita dinasehatkan oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam agar shalat di rumahnya karena lebih baik dari shalat di masjid nabawi. Akan tetapi tidak masalah juga shalat di masjid nabawi dengan keutamaannya, lebih-lebih kesempatan ini sangat jarang bagi jamaah Indonesia.

Berikut haditsnya:

عَنْ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ، أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ، قَالَ: «قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِي»


Dari Ummu Humaid –istri Abu Humaid as-Sa’idi-bahwa ia telah datang kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh saya senang shalat bersamamu.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata, “Aku sudah tahu itu, dan shalatmu di bagian dalam rumahmu  lebih baik bagimu dari shalat di kamar depan. Shalatmu di kamar depan lebih baik bagimu dari shalat di kediaman keluarga besarmu. Shalatmu di kediaman keluarga besarmu lebih baik bagimu dari shalat di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik dari shalat di masjid Nabawi.”4

Catatan kaki

1 Fatawa Ibnu Baz, 17/406

2 HR Ar-Tirmidzi no. 241, dihukumi hasan oleh Al-Albani dalam Targhib wat Tarhib 1/98 no. 409 dan Al-‘Iraqi mengatakan: para rawinya tsiqah Shahih

3 HR. al-Bukhari no.636 dan Muslim no. 154, dan ini adalah lafazh al-Bukhari

4 HR. Ahmad no. 27090, dihasankan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani

Kajian Hadits

Menelisik Keabsahan Dalil Shalat Arba’in

Mukhlis Rahmanto

Alumni Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah tahun 2003, pernah aktif di Pimpinan Cabang Istemewa Muhammadiyah Kairo

Salah satu fenomena yang menarik untuk dicermati ketika para jamaah haji mendapat kesempatan mengunjungi Madinah- kota Nabi saw, adalah semangat berapi-api mereka untuk mengejar arba'in, yaitu istilah untuk pelaksanakan shalat di Masjid Nabawi dengan durasi 40 (kali) tanpa putus. Jadi, dengan melaksanakan 40 kali shalat fardlu berjamaah sehari semalam (butub 8 hari) dan dengan pahala yang dilipatgandakan untuk setiap shalatnya 1000, maka seseorang akan mendapatkan pahala sebesar 40.000. Se ain itu, jaminan terbebas dari api neraka dan kemunafikan juga menanti. Sebuah   kesempatan emas yang sayang jika lewat  begitu saja.

Tapi apakah ini disyariatkan dengan  berlandaskan dalil yang ternilai magbu   diterima)? Tampaknya diperlukan adanya  penelisikan lebih lanjut.

                 Faktor lain adalah adanya teks dari kitab-kitab fiqih modern (mu'ashir) yang  memberikan keterangan tentang pelaksanaan shalat ini sekaligus pencantuman sebuah dalil khusus dari Hadits Nabi saw. Hal itu dapat kita lihat di antaranya dalam Wahbah Zuhaili (al-Figh al-lslamiy wa Adillatuh, 2002, 3: 334; Sayyid Sabiq (Figh Sunnah, 2000: 1:646); dan Abu Bakar Al- Jazairi (Minhajul-Muslim, 2005: 336). Namun sayang, dalil Hadits terkait yang dicantumkan dalam kitab-kitab tersebut tanpa  disertai keterangan tentang validitasnya.

Selain itu, mengunjungi (ziarah) kota Nabi saw yang penuh dengan keutamaan adalah kesempatan langka bagi seorang Muslim, di mana tidak setiap Muslim mendapatinya. Sebuah Hadits Nabi saw tentang salah satu keutamaan kota ini:

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw  bersabda "Janganlah bersengaja melakukan perjalanan (dalam rangka ibadah)kecuali ke tiga masjid, yaitu Masjidil-Haram. masjid Rasulullah shallallahu'alaihiwa sallam (masjid Nabawi), dan Masjidil  Aqsha."(HR Bukhari: 1171).

 Keutamaan lain adalah mengenal shalat di masjid Nabi yang terekam dalam Hadits berikut:

  Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda "Shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid lainnya selain Masjidil-Haram." (HR Bukhari).

Takhrij Hadits

 Dengan latar belakang di atas, maka tulisan singkat ini mencoba menelisik tentang seluk beluk Hadits-Hadits (takhrij)shalat arba'in yang sering menjadi sandaran pelaksanaannya.

Para pengamal arba'in, mendasarkankegiatannya tersebut pada sebuah Hadits(A) berikut:

 Telah menceritakan pada kami Hakam bin Musa, berkata Abu Abdurrahman Abdullah: Aku mendengar dari Hakam bin Musa (dimana) telah menceritakan pada kami Abdurrahman bin Abi ar-Rijai dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik dan Nabi saw bahwasannya beljau bersabda:  Barangsiapa melaksanakan shalat (sebanyak) 40 kali shalat di masjidku (dengan) tidak tertinggal satu pun, dicatat baginya terhindardariapineraka,selamat dari siksa, dan terhindar dari kemunafikan ( H R. Ahmad dan Thabrani)

 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad daiam Musnad (3/155) dan Thabrani daiam Mu'jam Al-Ausath(5576) dengan jalur dari Abdurrahman bin Abi Al-Rijal dari Nubaith bin Umar dariAnas bin Malik secara marfu' (sampai ke Nabi saw). Setelah mencantumkan Hadits tersebut.Thabrani berkomentar: "Tidak ada yang menwayatkan dari Anas kecuali Nubaith, dan Abdurrahman bin AbiAr-Rijal pun sendiHan meriwayatkan dari Nubaith". Al-Mundzin dalam al-Targhib wa ai-Tarhib (1832; dan Al-Haitsami dalam Majma ai-Zawa/d (5878), setelah mencantumkan Hacits ini, keduanya berkomentar menguatxan jalur perawinya, sebagaimana tercantum dalam Musnad Ahmad dan Mu jam Al-Ausath di   atas. Juga menyebut. canwa Tirmidzimeriwayatkan sebagiannya.

 Masaiah yang d;perdebatkan dalam jalur sanadnya adalat adanya seorang rawi bernama Nubaith bin Umar.yang ternilai majhul(tidak diketahui keacaannya), di mana hanya Al-Mundziri danAl-Haitsami yangmenguatkannya dengan mendasarkan pada penilaian Ibnu Hibban dalam Al-Tsigat (5/483). Namun, di kalangan kritikus Hadits, Ibnu Hibban dikenal sebagai kritikus yang dimasukkan dalam tipologi mutasahil (mudah mengangkat derajat penilaian terhadap rawi yang majhul). Pun dalam kitab-kitab biografi para rawi, tidak akan kita temukan data rawi ini. Matan (isi Hadits) yang diriwayatkannya juga berbeda sendiri dengan apa yang diriwayatkan oleh para perawi lain dari Anas bin Malik ra. Maka dalam kajian kritik Hadits, keadaan rawi demikian disebut dengan majhul'ain (tidak diketahui data pribadinya sedikitpun).Sementara itu, kritikus Hadits modem, Nashirudin Al-Albani dalam Silsilah Al-Dhai'fah(364)dan Dha'if Al-Targhib(755),mengomentari Hadits di atas dengan munkar (informasi Hadits hanya dari satu jalur).

 Ketika Hadits pertama sudah diketahui validitasnya dan tentu tidak dapat menjadi sandaran, akan tapi para pengamal arba'in mengaitkannya pada Hadits lain (B) yaitu

 Telah menceritakan pada kami Uqbah bin Mukram dan Nashr bin Ali: Telah menceritakan pada kami Salam bin Qutaibah dari Tu'mah bin Amru dari Habib bin Abi Tsabit dari Anas bin Malik berkata: bersabda Rasulullah: "Siapa mengerjakan  shalat dengan ikhlas karena Allah selama empat puluh han berjamaah dengan mendapatkan takbiratul ihram, dicatat untuknya dua kebebasan, yaitu bebas dari neraka dan bebas dari kemunafikan." (H R.Tirmidzi)

 Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya (239), Ibnu Majah dalam  Sunan-nya (1: 797) serta Bahsyal dalam Tarikh Wasith (36, 40). Riwayat Tirmidzi ternilai shahlh sebab mempunyai beberapa jalur yang mendukung dan menguatkannya (syawahid). Riwayat Ibnu Majah ternilai hasan karena dikait-kuatkan dengan riwayat Tirmidzi, terutama untuk jalur riwayatnya. Riwayat Bahsyal ternilai shahih karena dikuatkan dengan jalur lain dari Umar bin Khatab ra. Maka riwayat ini de ngan pendukungnya adalah maqbul(dapat diterima). Selain dari Anas bin Malik ra, Hadits inijuga diriwayatkan oleh Abu Kuhail dan Umar bin Khatab ra. Dari jalur Anas bin Malik ra sendiri, terdapat tiga perawiyang meriwayatkan darinya, yaitu: Habib bin Abi Tsabit; Hamid al-Thawil, dan Nubaith bin Umar.

Dari sini kita bisa mempetakan dua riwayat Hadits di atas, yaitu A dan B, yang sama-sama diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik ra, baik dari kaitan segi  jalur dan matannya. Maka sebenamya Hadits A adalah satu dari ragam jalur dari Anas bin Malik ra. Riwayat A, hemat penulis ternilai dhalf(lemah) dikarenakan terdapat seorang rawi majhulbernama Nubaith bin Umar dalamjalur sanadnya. Selain itu, riwayat ini terasa asing dan menyalahi riwayat-riwayat semacamnya dari Anas, dengan indikator adanya tambahan matan (isi) yang diberikannya. Maka wajar, Al-Albanimenilainya munkar.

Pahala dan Keridhaan Allah SwT

Memahami Hadits yang sepintas terkandung busyra (kabar gembira) yang begitu menjanjikan memang perlu dicermati. Karena salah satu faktor kemunculan dan indikasi sebuah Hadits palsu (maudha') adalah berlebih-lebihan dalam hal keutamaan suatu amalan dan pahala yang didapatnya. Para komentator Hadits, seperti Al-Mubarakfuri memahami Hadits di atas dengan mengatakan, bahwa kebanyakannya mengarah pada anjuran agar setiap Muslim senantiasa berusaha menggiatkan shalat jamaah, dengan salah satu indikatornya adalah mendapati takbiratulihram bersama imam. Mendapatkan ganjaran berupa terhindar dari api neraka dan kemunafikan, dimaksudkan bahwa kita akan dihindarkan di dunia ini dari sifat-ciri beramalnya kaum munafik, seperti rasa malas dalam menunaikan shalat, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:

"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka bordiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah, kecuali sedikit sekali." (Qs. An-Nisa: 142)

Sedang di akhirat nanti Allah akan menyelamatkan dari berbagai amal yang menyebabkan orang munafik disiksa Allah. Dan Allah akan menjadi saksi, bahwa dia bukanlah seorang munafik. Maka barang siapa yang menjaga shalat jamaahnya di masjid mana pun, baik di Makkah, Madinah, Jakarta, Medan, Paris, atau di Tokyo dan belahan bumi mana pun, hingga dapat mempertahankannya selama empat puluh hari, maka ia akan mendapatkan balasan dari Allah berupa terhindar dari api neraka dan kemunafikan (hipokrit).

Ziarah (mengunjungi) kota Nabi saw (al-Haram al-Madani) memang disyariat- kan sebagaimana tersebut dalam Hadits pertama di atas, akan tetapi tidak dibatasi dengan waktu tertentu, harus delapan sampai sepuluh hari misalnya.

Mendudukkan ibadah shalat diniatkan untuk mencari pahala tidaklah tepat, salah    satu dari tujuan shalat adalah untuk mengingat Allah dan mencari keridlaan-Nya sebagaimana dalam firman-firman Allah yang artinya:

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan

"Katakanlah: sesungguhnya sembah angku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (Os. Al-An'am: 162).

Pengertian Arbain Pada Ibadah Haji,Hukum dan Amalannya
HMB Oct 24th, 2014 0 Comment

Mungkin kita sering mendengar istilah Arbain dari mulut orang-orang yang mau berhaji  ataupun sudah melaksanakan haji, Jamaah haji mengejar keutamaan salat wajib 40 waktu tanpa putus tersebut namun tahukah kita  apa sebenarnya makna arbain itu? Apakah itu masuk rukun atau wajib haji?  Dan  Amalan apa yang harus dilakukan selama arbain? pahamkah mereka ada hikmah lain di balik shalat sunnah tersebut ?

Jamaah haji Indonesia akan melewati fase delapan atau sembilan hari di Madinah, baik sebelum maupun setelah ibadah haji baik gelombang I maupun gelombang II. Dan, sering dimotivasi agar melaksanakan shalat arbain di Masjid Nabawi. Kadang jamaah merasa melaksanakan arbain ini menjadi keharusan dan ketika tidak bisa melakukannya maka ia sangat menyesal dan meyakini hajinya tidak afdal, bahkan tidak sah

Makna “arba’in” atau “arba’un”  itu sendiri adalah melaksanakan shalat 40 waktu (Isya,Subuh,Dhuhur,Ashar,Magrib) tanpa terputus berjamaah di Masjid Nabawi.Sesungguhnya, arbain itu sama sekali tidak termasuk “wajib haji” apalagi menjadi “rukun haji” karena semua kegiatan haji itu adanya di Makkah bukan di Madinah.

Sekiranya  jamaah tidak sempat berziarah ke Madinah maka tidaklah ia melanggar kewajiban haji dan membayar dam. Dan hal itu tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya haji.

Selama jamaah  berada di Madinah, memperbanyak shalat di Masjid Nabawi itulah inti dari ibadah Arbain ini sesuai dengan sabda Nabi

  “Dari Abu Hurairah Ra bahwa Nabi SAW bersabda, ‘Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid selainnya, kecuali Masjidil Haram.” (HR Bukhori Muslim).

Hadis muttafaq ‘alaih yang tidak diragukan keshahihannya ini sebenarnya sudah cukup untuk menyemangati kita agar selalu berupaya memaksimalkan ibadah di Masjid Nabawi.

Mengenai pelaksanaan arbain didasarkan pada hadis dari Anas bin Malik Ra,

“Barang siapa shalat di masjidku 40 shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan, dan ia  bebas dari kemunafikan” (HR Ahmad dan Thabrani).

Akan tetapi, hadis ini ternyata banyak dikritisi oleh ulama. Sebagiannya menyatakan hadis ini dhaif (lemah). Karena  dimasukkannya Nubaith sebagai rawi yang memang tidak dikenal (majhul).

Syekh Muqbil Al Wadi’iy,seorang  ulama hadis dari Yaman, menilai bahwa hadis tersebut tidak shahih dari Rasulullah SAW,bahkan Syekh Nashiruddin al-Bani  menilai hadis ini munkar. Ia pun menyatakan, “Sanad hadis ini dhaif. Ada seorang perawi bernama Nubaith yang tidak dikenal statusnya”.

Syekh Su’aib al-Arnauth mengatakan hadis itu lemah karena status Nubaith bin Umar yang tidak diketahui.

Berlainan dengan pendapat Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawa’id yang mengatakan bahwa periwayat hadis di atas itu tsiqoh (tepercaya). Namun, Syekh Nashiruddin Al-Bani mengomentari, “Beliau sudah salah sangka karena Nubaith bukanlah periwayat dari kitab shahih, bahkan ia bukan periwayat dari kutubus sittah lainnya.”

Hadis dari Anas Bin Malik Ra yang justru disepakati keshahihannya, yakni hadis “arbain” lain, yaitu shalat berjamaah selama 40hari yang membebaskan dari neraka dan bebas dari kemunafikan.

Sabda Nabi  Muhammad SAW,

“Barang siapa shalat 40 hari dengan berjamaah dan mendapati  takbiratul  ihramnya imam maka ia akan dicatat terbebas dari dua perkara, yaitu bebas dari api neraka dan bebas dari kemunafikan” (HR Turmudzi).

Adapun amalan yang dikerjakan oleh jamaah selama delapan atau sembilan hari di Madinah, yaitu memperbanyak ibadah di Masjid Nabawi, berziarah ke makam Rasulullah, menghayati kehidupan Nabi dan para sahabat dahulu, mengambil pelajaran ( ibrah) dari tempat tempat bersejarah, serta kegiatan amal-amal saleh lain, misalnya  banyak membaca Alquran, bersedekah, shalawat dan salam kepada Nabi, menyerap ilmu dari tausiyah yang diadakan di Masjid Nabawi atau masjid lainnya.

Bagi jamaah yang akan memulai berhaji dari Madinah, Arbain merupakan momentum untuk lebih memahami syariah, meluruskan akidah, dan membina akhlakul karimah agar saat melaksanakan haji, ia benar-benar tercelup dalam  “sibghah”  keteladanan Rasulullah SAW.

Sedangkan bagi yang terlebih dahulu telah melaksanakan haji, Madinah merupakan tempat yang sangat mulia dan berguna bagi pemantapan perjalanan ibadah haji yang baru dilaluinya. Madinah merupakan tempat untuk mewisuda kemabruran haji yang baru saja di capainya. Rasulullah SAW termasuk “syahidan” (saksi) dan “mubasyiran” (pemberi kegembiraan) bagi jihad jamaah dalam beribadah kepada Allah SWT.

Pada waktu-waktu salat wajib, Masjid Nabawi dipenuhi dengan jamaah, ada ratusan ribu jamaah haji atau non haji yang selalu memadati  Masjid Nabawi setiap waktu shalat wajib. Di antara ratusan ribuan jamaah tersebut, terdapat jamaah haji Indonesia yang sedang menjalankan Shalat Arbain. Jika ditanyakan kepada beberapa jamaah haji, sebagian dari mereka akan menjawab bahwa keutamaan Shalat Arbain antara lain memohon pengampunan dan berharap pahala yang berlipatganda.

Namun, ternyata ada hikmah lain dibalik itu yaitu pesan moral jamaah menjalani Shalat Arbain adalah untuk kembali membiasakan salat istiqomah tepat waktu. “Supaya setelah menjalani rangkaian ibadah haji, mereka tetap istiqamah shalat wajib lima waktu,”

Tidak semua jamaah haji bisa menjalankan Shalat Arbain. Selain karena faktor kesehatan, penyebab lain adalah jarak tempat menginap  yang  jauh dari Masjid Nabawi, sehingga saat hendak berangkat menuju masjid, jamaah ini terlambat mendapatkan waktu shalat berjamaah, ataupun karena faktor lain.

Walaupun arbain tidak terkait haji, tapi ternyata menjadi sesuatu yang utama. Ibadah haji adalah ibadah syariat dimulai Nabi Ibrahim AS dilanjutkan Nabi Muhammad SAW . jadi jika memungkinkan, semua jamaah haji dianjurkan melaksanakan rangkaian Shalat Arbain ini.

Adapun amalan lain disamping Shalat Arbain, adalah jamaah haji bisa sekalian berziarah ke makam nabi, para sahabatnya, syuhada di kompleks pemakaman Baqi.Juga yang tak kalah pentingnya adalah bermunajat di Raudhah atau Taman Surga dimana berdoa di lokasi tersebut sangat makbul,untuk lebih jelasnya bisa liat tulisan tentang raudhah ini di topic Foto-foto Raudhah dan Tips masuk ke Raudhah di Mesjid Nabawi

Ada tempat-tempat khusus dan waktu tertentu yang mustajab untuk berdoa. Karena itu selama jamaah haji berada di Makkah dan Madinah, maka jangan menyia-nyiakan waktu untuk memanjatkan doa, berzikir, bermunajat, dan bertawassul. “Dan syariatnya  ibadah itu ada ruang dan waktu. Ketika sudah diluar itu, pahalanya (menjalankan ibadah-ibadah tadi) berbeda dengan di Madinah. Saat Wukuf ya cuma di Arafah yang istijabah, saat diluar itu ya sudah berbeda hukumnya

Tentu saja di luar keutamaan Shalat Arbain, ditekankan kepada semua jamaah haji agar tetap menjalankan Shalat wajib lima waktu, karena  Shalat Arbain itu  untuk melatih diri agar jamaah tetap istiqamah shalat wajib lima waktu.

Shalat adalah rukun Islam kedua setelah Syahadat lalu kemudian, puasa, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji yang menyempurnakan ibadah segenap muslim di Tanah Suci.

Demikian sedikit uraian tentang kata Arbain ini,semoga  kita lebih mengerti dan tetap bisa mengusahakan agar nantinya bisa menjalankan Sholat Arbain ini namun bukan menjadi syarat sahnya Haji kita. Amin.

 1929. KEUTAMAAN SHOLAT DI MEKAH, MASJID NABAWI DAN MASJIDIL AQSO
Rabu, 10 Oktober 20120 komentar
PERTANYAAN :


Kuntari Nisaul Marisa
assalamu'alaikum wr.wb. Salam ukuah... Tuk sahabat Piss...

Member baru mencari kebenaran dr kalimat ini >>
# SHOLAT DI MEKAH 1X = sholat di masjid'mu 10.000x
# SHOLAT DI MASJID NABAWI / MADINAH 1X = maka sholat dimasjid tempat tinggal kamu 1000x.
# SHOLAT DIMASJID AQSO ( palestina ) 1X = maka sholat dimasjid tempat tinggal'mu 100x


Apakah benar ada'nya demikian Ustd/Ustzh , dan sahabat ( bila ada yg mengerti referensinya mhn berbagi ) terima kasih.. Sesudah dan sebelum'nya...


JAWABAN :
Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram."

حدّثني عَمْرٌو النَّاقِدُ وَ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ (وَاللَّفْظُ لِعَمْرٍو ) قَالاَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ . قَالَ: «صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا، خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلاَّ الْمَسْجِدِ الْحَرَامَ».


اسم الكتاب: صحيح مسلم رقم الجزء: 9 رقم الصفحة: 137



 حديث "صلاة في مسجدي هذا أفضل من مائة صلاة في غيره وصلاة في المسجد الحرام أفضل من ألف صلاة في مسجدي وأفضل من هذا كله رجل يصلي ركعتين في زاوية بيته لا يعلمها إلا الله"أخرجه أبو الشيخ في الثواب من حديث أنس"صلاة في مسجدي تعدل بعشرة آلاف صلاة وصلاة في المسجد الحرام تعدل بمائة ألف صلاة والصلاة بأرض الرباط تعدل بألفي ألف صلاة وأكثر من ذلك كله الركعتان يصليهما العبد في جوف الليل لا يريد بهما إلا وجه الله عز وجل" وإسناده ضعيف وذكر أبو الوليد الصفار في كتاب الصلاة تعليقا من حديث الأوزاعي قال: دخلت على يحيى فأسند لي حديثا فذكره، إلا أنه قال في الأولى"ألف" وفي الثانية "مائة".


اسم الكتاب: تخريج أحاديث الإحياء العراقي



 عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: صَلاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاةٍ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَرُوِّينَا في حديث أبي الدرداء وجابر مرفوعا: فضل الصلاة في المسجد الحرام على غيره مائة ألف صلاة، وفي مسجدي هذا ألف صلاة وفي مسجد بيت المقدس خمسمائة صلاة


اسم الكتاب: السنن الصغرى للبيهقي رقم الجزء: 7 رقم الصفحة: 456


Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda : Shalat di masjidku ini lebih utama dari 1000 shalat di masjid-masjid lainnya kecuali masjidil haram. Dan kami meriwayatkan dalam hadits Abu Darda' dan Jabir secara marfu' : Keutamaan shalat di masjidil haram dibanding yang lainnya adalah 100.000 shalat, (keutamaan shalat) di masjidku ini 1000 shalat dan (keutamaan shalat) di masjid baitul maqdish 500 shalat [Al-Baihaqiy]

1929. KEUTAMAAN SHOLAT DI MEKAH, MASJID NABAWI DAN AQSO

PERTANYAAN :
Assalamu'alaikum wr.wb. Salam ukuah... Tuk sahabat Piss... Member baru mencari kebenaran dari kalimat ini :

# SHOLAT DI MEKAH 1X = sholat di masjid'mu 10.000x

# SHOLAT DI MASJID NABAWI / MADINAH 1X = maka sholat dimasjid tempat tinggal kamu 1000x.

# SHOLAT DIMASJID AQSO ( palestina ) 1X = maka sholat dimasjid tempat tinggal'mu 100x

Apakah benar ada'nya demikian Ustd/Ustzh , dan sahabat ( bila ada yg mengerti referensinya mhn berbagi ) terima kasih.. Sesudah dan sebelum'nya...

JAWABAN :
Wa'alaikumussalaam. Diriwayatkan sahabat Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram."

حدّثني عَمْرٌو النَّاقِدُ وَ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ (وَاللَّفْظُ لِعَمْرٍو ) قَالاَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ . قَالَ: «صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا، خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلاَّ الْمَسْجِدِ الْحَرَامَ». اسم الكتاب: صحيح مسلم رقم الجزء: 9 رقم الصفحة: 137


حديث "صلاة في مسجدي هذا أفضل من مائة صلاة في غيره وصلاة في المسجد الحرام أفضل من ألف صلاة في مسجدي وأفضل من هذا كله رجل يصلي ركعتين في زاوية بيته لا يعلمها إلا الله"أخرجه أبو الشيخ في الثواب من حديث أنس"صلاة في مسجدي تعدل بعشرة آلاف صلاة وصلاة في المسجد الحرام تعدل بمائة ألف صلاة والصلاة بأرض الرباط تعدل بألفي ألف صلاة وأكثر من ذلك كله الركعتان يصليهما العبد في جوف الليل لا يريد بهما إلا وجه الله عز وجل" وإسناده ضعيف وذكر أبو الوليد الصفار في كتاب الصلاة تعليقا من حديث الأوزاعي قال: دخلت على يحيى فأسند لي حديثا فذكره، إلا أنه قال في الأولى"ألف" وفي الثانية "مائة". اسم الكتاب: تخريج أحاديث الإحياء العراقي


عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: صَلاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاةٍ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَرُوِّينَا في حديث أبي الدرداء وجابر مرفوعا: فضل الصلاة في المسجد الحرام على غيره مائة ألف صلاة، وفي مسجدي هذا ألف صلاة وفي مسجد بيت المقدس خمسمائة صلاة اسم الكتاب: السنن الصغرى للبيهقي رقم الجزء: 7 رقم الصفحة: 456


Diriwataytkan dari sahabat Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda : Shalat di masjidku ini lebih utama dari 1000 shalat di masjid-masjid lainnya kecuali masjidil haram. Dan kami meriwayatkan dalam hadits Abu Darda' dan Jabir secara marfu' : Keutamaan shalat di masjidil haram dibanding yang lainnya adalah 100.000 shalat, (keutamaan shalat) di masjidku ini 1000 shalat dan (keutamaan shalat) di masjid baitul maqdish 500 shalat [Al-Baihaqiy]. Wallaahu A'laamu Bis Showaab.

assalamu'alaikum wr.wb.
Salam ukuah... Tuk sahabat Piss...

Member baru mencari kebenaran dr kalimat ini>>
# SHOLAT DI MEKAH 1X = sholat di masjid'mu 10.000x
# SHOLAT DI MASJID NABAWI / MADINAH 1X = maka sholat dimasjid tempat tinggal kamu 1000x.
# SHOLAT DIMASJID AQSO ( palestina ) 1X = maka sholat dimasjid tempat tinggal'mu 100x

Apakah benar ada'nya demikian Ustd/Ustzh , dan sahabat ( bila ada yg mengerti referensinya mhn berbagi ) terima kasih.. Sesudah dan sebelum'nya...

Wallaahu A'laamu Bis Showaab

Demikian semoga bermanfaat.

Istilah 'Ikhwan Akhawat' dan Salah Kaprah Aktifis Dakwah

"Ikhwan dan Akhawat", istilah yang sering kali dipakai oleh orang-orang yang mengaku dan merasa sebagai aktifis dakwah meskipun hanya berangkat dari modal semangat saja. Mungkin  mereka bermaksud ingin terkesan islami atau syar'i dan sejenisnya, tetapi apa mau dikata bila hanya bermodal semangat saja, justru yang diperoleh sebaliknya, menjadi hiburan baru kalangan santri. Demikian pula penggunaan kata antum, akhi, ukhti, dan sebagainya.

Terkait dengan penggunaan kata Ikhwan dan Akhawat, bukan lagi pada makna aslinya, tetapi sudah terlalu jauh pada istilah kiasan. Dan sayangnya makna kiasan ini oleh mereka yang awam dan masih bau kencur seolah-olah berubah menjadi makna asli.

Aslinya dan seharusnya memang makna istilah 'ikhwan' itu berarti saudara laki-laki dan makna kata 'akhawat' itu berarti saudari-saudari perempuan. Dan hubungannya antara ikhwan dan akhawat itu bisa macam-macam, bisa satu ayah dan satu ibu (syaqiq/syaqiqah), atau bisa juga hanya satu ayah tapi lain ibu (akh/ukht li ab), dan bisa juga saudara seibu tapi tidak seayah (akh/ukht li um).

Yang biasa belajar ilmu faraidh pasti paham istilah-istilah ikhwan dan akhawat ini. Tetapi buat para aktifis dakwah yang datang bukan dari jenjang pendidikan syar'i baku, mereka tidak kenal bahasa Arab, tetapi semangat jadi aktifis saja,  yang mereka kenal dari istilah ikhwan dan akhawat tidak lain adalah teman dan rekan sepengajian. Teman satu pengajian (halaqah, liqa', daurah, dll) yang laki sering disebut dengan 'ikhwan', sedangkan teman pengajian yang peremuan sering disebut 'akhawat'.

Terkadang ada pula, WC masjid yang bertuliskan ikhwan dan akhawat. Maksudnya yang bertuliskan ikhwan adalah WC untuk laki-laki dan yang bertuliskan 'akhawat' berarti WC untuk perempuan. Padahal mereka bukan saudara, tidak ada hubungan darah dan jelas bukan seayah tidak seibu. Hubungan antara sesama aktifis dakwah itu hanyalah hubungan orang asing alias ajnabi dan jelas-jelas bukan mahram. Tetapi anehnya kenapa disebut ikhwan dan akhwat?

Sebaliknya, kakak beradik yang jelas-jelas lahir dari rahim yang sama, malah tidak disebut sebagai ikhwan dan akhawat. Alasannya, karena saudari perempuannya tidak pakai jilbab, maka tidak disebut akhwat. Alasan lainnya, karena saudara laki-laki sekandung itu tidak ikut pengajian yang sama, makanya tidak disebut sebagai ikhwan.

Istilah ikhwan dan akhawat telah bergeser maknanya terlalu jauh meninggalkan makna aslinya. Sampai orang awam pun tidak tahu arti yang sesungguhnya. Wajarlah kalau kebingungan begitu ada ustadz yang cerdas bilang bahwa ikhwan dan akhawat boleh berduaan, bahkan bersalaman, sentuhan kulit, malah boleh terlihat sebagian auratnya. Sebab mereka tidak memahami arti yang sebenarnya.

Semoga bermanfaat

Kamis, 12 November 2015

Biodata para nabi da rosul

1. ADAM AS.
Nama: Adam As.
Usia: 960 tahun.
Periode sejarah: 5872-4942 SM.
Tempat turunnya di bumi: India, ada yang berpendapat di Jazirah Arab.
Jumlah keturunannya: 40 laki-laki dan perempuan.
Tempat wafat: India, ada yang berpendapat di Mekkah.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 25 kali.
2. IDRIS AS.
Nama: Idris/Akhnukh bin Yarid, nama Ibunya Asyut.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As.
Usia: 345 tahun di bumi.
Periode sejarah: 4533-4188 SM.
Tempat diutus: Irak Kuno (Babylon, Babilonia) dan Mesir (Memphis).
Tempat wafat: Allah mengangkatnya ke langit dan ke surga.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 2 kali.
3. NUH AS.
Nama: Nuh/Yasykur/Abdul Ghaffar bin Lamak.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As.
Usia: 950 tahun.
Periode sejarah: 3993-3043 SM.
Tempat diutus (lokasi): Selatan Irak.
Jumlah keturunannya: 4 putra (Sam, Ham, Yafits dan Kan’an).
Tempat wafat: Mekkah.
Sebutan kaumnya: Kaum Nuh.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 43 kali.
4. HUD AS.
Nama: Hud bin Abdullah.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Iram (Aram) ⇒ ‘Aush (‘Uks) ⇒ ‘Ad ⇒ al-Khulud ⇒ Rabah ⇒ Abdullah ⇒ Hud As.
Usia: 130 tahun.
Periode sejarah: 2450-2320 SM.
Tempat diutus: Al-Ahqaf (antara Yaman dan Oman).
Tempat wafat: Bagian Timur Hadhramaut Yaman.
Sebutan kaumnya: Kaum ‘Ad.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 7 kali.
5. SHALIH AS.
Nama: Shalih bin Ubaid.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Iram (Aram) ⇒ Amir ⇒ Tsamud ⇒ Hadzir ⇒ Ubaid ⇒ Masah ⇒ Asif ⇒ Ubaid ⇒ Shalih As.
Usia: 70 tahun.
Periode sejarah: 2150-2080 SM.
Tempat diutus: Daerah al-Hijr (Mada’in Shalih, antara Madinah dan Syria).
Tempat wafat: Mekkah.
Sebutan kaumnya: Kaum Tsamud.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 10 kali.
6. IBRAHIM AS.
Nama: Ibrahim bin Tarakh.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As.
Usia: 175 tahun.
Periode sejarah: 1997-1822 SM.
Tempat diutus: Ur, daerah selatan Babylon (Irak).
Jumlah keturunannya: 13 anak (termasuk Nabi Ismail As. dan Nabi Ishaq As.). Tempat wafat: Al-Khalil (Hebron, Palestina/Israel).
Sebutan kaumnya: Bangsa Kaldan.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 69 kali.
7. LUTH AS.
Nama: Luth bin Haran.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Haran ⇒ Luth As.
Usia: 80 tahun.
Periode sejarah: 1950-1870 SM.
Tempat diutus: Sodom dan Amurah (Laut Mati atau Danau Luth).
Jumlah keturunannya: 2 putri (Ratsiya dan Za’rita).
Tempat wafat: Desa Shafrah di Syam (Syria).
Sebutan kaumnya: Kaum Luth.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 27 kali.
8. ISMAIL AS.
Nama: Ismail bin Ibrahim.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ismail As.
Usia: 137 tahun.
Periode sejarah: 1911-1774 SM.
Tempat diutus: Mekah.
Jumlah keturunannya: 12 anak.
Tempat wafat: Mekkah.
Sebutan kaumnya: Amaliq dan Kabilah Yaman.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 12 kali.
9. ISHAQ AS.
Nama: Ishaq bin Ibrahim.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ishaq As.
Usia: 180 tahun.
Periode sejarah: 1897-1717 SM.
Tempat diutus: Kota al-Khalil (Hebron) di daerah Kan’an (Kana’an).
Jumlah keturunannya: 2 anak (termasuk Nabi Ya’qub As./Israel).
Tempat wafat: Al-Khalil (Hebron).
Sebutan kaumnya: Bangsa Kan’an.
Al-Quran menyebutkan
namanya sebanyak: 17 kali.
10. YA’QUB AS.
Nama: Ya’qub/Israel bin Ishaq.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ishaq As. ⇒ Ya’qub As.
Usia: 147 tahun.
Periode sejarah: 1837-1690 SM.
Tempat diutus: Syam (Syria).
Jumlah keturunannya: 12 anak laki-laki (Rubin, Simeon, Lewi, Yahuda, Dan, Naftali, Gad, Asyir, Isakhar, Zebulaon, Yusuf dan Benyamin) dan 2 anak perempuan (Dina dan Yathirah).
Tempat wafat: Al-Khalil (Hebron), Palestina.
Sebutan kaumnya: Bangsa Kan’an.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 18 kali.
11. YUSUF AS.
Nama: Yusuf bin Ya’qub.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ishaq As. ⇒ Ya’qub As. ⇒ Yusuf As.
Usia: 110 tahun.
Periode sejarah: 1745-1635 SM.
Tempat diutus: Mesir.
Jumlah keturunannya: 3 anak; 2 laki-laki dan 1 perempuan.
Tempat wafat: Nablus.
Sebutan kaumnya: Heksos dan Bani Israel.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 58 kali.
12. AYYUB AS.
Nama: Ayyub bin Amush.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ishaq As. ⇒ al-‘Aish ⇒ Rum ⇒ Tawakh ⇒ Amush ⇒ Ayub As.
Usia: 120 tahun.
Periode sejarah: 1540-1420 SM.
Tempat diutus: Dataran Hauran.
Jumlah keturunannya: 26 anak.
Tempat wafat: Dataran Hauran.
Sebutan kaumnya: Bangsa Arami dan Amori, di daerah Syria dan Yordania.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 4 kali.
13. SYU’AIB AS.
Nama: Syu’aib bin Mikail.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Madyan ⇒ Yasyjur ⇒ Mikail ⇒ Syu’aib As.
Usia: 110 tahun.
Periode sejarah: 1600-1490 SM.
Tempat diutus: Madyan (pesisir Laut Merah di tenggara Gunung Sinai).
Jumlah keturunannya: 2 anak perempuan.
Tempat wafat: Yordania.
Sebutan kaumnya: Madyan dan Ash-habul Aikah.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 11 kali.
14. MUSA AS.
Nama: Musa bin Imran, nama Ibunya Yukabad atau Yuhanaz Bilzal.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matisyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ishaq As. ⇒ Ya’qub As. ⇒ Lawi ⇒ Azar ⇒ Qahats ⇒ Imran ⇒ Musa As.
Usia: 120 tahun.
Periode sejarah: 1527-1407 SM.
Tempat diutus: Sinai di Mesir.
Jumlah keturunannya: 2 anak, Azir dan Jarsyun, dari istrinya bernama Shafura binti Syu’aib As.
Tempat wafat: Gunung Nebu (Bukit Nabu’) di Jordania (sekarang).
Sebutan kaumnya: Bani Israel dan Fir’aun (gelar raja Mesir).
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 136 kali.
15. HARUN AS.
Nama: Harun bin Imran, istrinya bernama Ayariha.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ishaq As. ⇒ Ya’qub As. ⇒ Lawi ⇒ Azar ⇒ Qahats ⇒ Imran ⇒ Harun As.
Usia: 123 tahun.
Periode sejarah: 1531-1408 SM.
Tempat diutus: Sinai di Mesir.
Tempat wafat: Gunung Nebu (Bukit Nabu’) di Jordania (sekarang).
Sebutan kaumnya: Bani Israel dan Fir’aun (gelar raja Mesir).
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 20 kali.
16. DZULKIFLI AS.
Nama: Dzulkifli/Bisyr/Basyar bin Ayyub.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ishaq As. ⇒ al-‘Aish ⇒ Rum ⇒ Tawakh ⇒ Amush ⇒ Ayyub As. ⇒ Dzulkifli As.
Usia: 75 tahun.
Periode sejarah: 1500-1425 SM.
Tempat diutus: Damaskus dan sekitarnya.
Tempat wafat: Damaskus.
Sebutan kaumnya: Bangsa Arami dan Amori (Kaum Rom), Syria dan Yordania.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 2 kali.
17. DAUD AS.
Nama: Daud bin Isya.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ishaq As. ⇒ Yahudza ⇒ Farish ⇒ Hashrun ⇒ Aram ⇒ Aminadab ⇒ Hasyun ⇒ Salmun ⇒ Bu’az ⇒ Uwaibid ⇒ Isya ⇒ Daud As.
Usia: 100 tahun.
Periode sejarah: 1063-963 SM.
Tempat diutus: Palestina (dan Israel).
Jumlah keturunannya: 1 anak, Sulaiman As.
Tempat wafat: Baitul Maqdis (Yerusalem).
Sebutan kaumnya: Bani Israel.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 18 kali.
18. SULAIMAN AS.
Nama: Sulaiman bin Daud.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matisyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ishaq As. ⇒ Yahudza ⇒ Farish ⇒ Hashrun ⇒ Aram ⇒ Aminadab ⇒ Hasyun ⇒ Salmun ⇒ Bu’az ⇒ Uwaibid ⇒ Isya ⇒ Daud As. ⇒ Sulaiman As.
Usia: 66 tahun.
Periode sejarah: 989-923 SM.
Tempat diutus: Palestina (dan Israel).
Jumlah keturunannya: 1 anak, Rahab’an.
Tempat wafat: Baitul Maqdis (Yerusalem).
Sebutan kaumnya: Bani Israel.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 21 kali.
19. ILYAS AS.
Nama: Ilyas bin Yasin.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ishaq As. ⇒ Ya’qub As. ⇒ Lawi ⇒ Azar ⇒ Qahats ⇒ Imran ⇒ Harun As. ⇒ Alzar ⇒ Fanhash ⇒ Yasin ⇒ Ilyas As.
Usia: 60 tahun di bumi.
Periode sejarah: 910-850 SM.
Tempat diutus: Ba’labak (Lebanon).
Tempat wafat: Diangkat Allah ke langit.
Sebutan kaumnya: Bangsa Fenisia.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 4 kali.
20. ILYASA’ AS.
Nama: Ilyasa’ bin Akhthub.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ishaq As. ⇒ Ya’qub As. ⇒ Yusuf As. ⇒ Ifrayim ⇒ Syutlim ⇒ Akhthub ⇒ Ilyasa’ As.
Usia: 90 tahun.
Periode sejarah: 885-795 SM.
Tempat diutus: Jaubar, Damaskus.
Tempat wafat: Palestina.
Sebutan kaumnya: Bangsa Arami dan Bani Israel.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 2 kali.
21. YUNUS AS.
Nama: Yunus/Yunan/Dzan Nun bin Matta binti Abumatta, Matta adalah nama Ibunya. (Catatan: Tidak ada dari para nabi yang dinasabkan ke Ibunya kecuali Yunus dan Isa As.).
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ishaq As. ⇒ Ya’qub As. ⇒ Yusuf As. ⇒ Bunyamin ⇒ Abumatta ⇒ Matta ⇒ Yunus As.
Usia: 70 tahun.
Periode sejarah: 820-750 SM.
Tempat diutus: Ninawa, Irak.
Tempat wafat: Ninawa, Irak.
Sebutan kaumnya: Bangsa Asyiria, di utara Irak.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 5 kali.
22. ZAKARIYA AS.
Nama: Zakariya bin Dan.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ishaq As. ⇒ Yahudza ⇒ Farish ⇒ Hashrun ⇒ Aram ⇒ Aminadab ⇒ Hasyun ⇒ Salmun ⇒ Bu’az ⇒ Uwaibid ⇒ Isya ⇒ Daud As. ⇒ Sulaiman As. ⇒ Rahab’am ⇒ Aynaman ⇒ Yahfayath ⇒ Syalum ⇒ Nahur ⇒ Bal’athah ⇒ Barkhiya ⇒ Shiddiqah ⇒ Muslim ⇒ Sulaiman ⇒ Daud ⇒ Hasyban ⇒ Shaduq ⇒ Muslim ⇒ Dan ⇒ Zakariya As.
Usia: 122 tahun.
Periode sejarah: 91 SM-31 M.
Tempat diutus: Palestina.
Jumlah keturunannya: 1 anak.
Tempat wafat: Halab (Aleppo).
Sebutan kaumnya: Bani Israel.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 12 kali.
23. YAHYA AS.
Nama: Yahya bin Zakariya.
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ishaq As. ⇒ Yahudza ⇒ Farish ⇒ Hashrun ⇒ Aram ⇒ Aminadab ⇒ Hasyun ⇒ Salmun ⇒ Bu’az ⇒ Uwaibid ⇒ Isya ⇒ Daud As. ⇒ Sulaiman As. ⇒ Rahab’am ⇒ Aynaman ⇒ Yahfayath ⇒ Syalum ⇒ Nahur ⇒ Bal’athah ⇒ Barkhiya ⇒ Shiddiqah ⇒ Muslim ⇒ Sulaiman ⇒ Daud ⇒ Hasyban ⇒ Shaduq ⇒ Muslim ⇒ Dan ⇒ Zakariya As. ⇒ Yahya As.
Usia: 32 tahun.
Periode sejarah: 1 SM-31 M.
Tempat diutus: Palestina.
Tempat wafat: Damaskus.
Sebutan kaumnya: Bani Israel.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 5 kali.
24. ISA AS.
Nama: Isa bin Maryam binti Imran. (Catatan: Tidak ada dari para nabi yang dinasabkan ke Ibunya kecuali Yunus dan Isa As.).
Garis Keturunan: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ishaq As. ⇒ Yahudza ⇒ Farish ⇒ Hashrun ⇒ Aram ⇒ Aminadab ⇒ Hasyun ⇒ Salmun ⇒ Bu’az ⇒ Uwaibid ⇒ Isya ⇒ Daud As. ⇒ Sulaiman As. ⇒ Rahab’am ⇒ Radim ⇒ Yahusafat ⇒ Barid ⇒ Nausa ⇒ Nawas ⇒ Amsaya ⇒ Izazaya ⇒ Au’am ⇒ Ahrif ⇒ Hizkil ⇒ Misyam ⇒ Amur ⇒ Sahim ⇒ Imran ⇒ Maryam ⇒ Isa As.
Usia: 33 tahun di bumi.
Periode sejarah: 1 SM-32 M.
Tempat diutus: Palestina.
Tempat wafat: Diangkat oleh Allah ke langit.
Sebutan kaumnya: Bani Israel.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 21 kali, sebutan al-Masih sebanyak 11 kali, dan sebutan Ibnu (Putra) Maryam sebanyak 23 kali.
25. MUHAMMAD SAW.
Nama: Muhammad bin Abdullah.
Garis Keturunan Ayah: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ismail As. ⇒ Nabit ⇒ Yasyjub ⇒ Ya’rub ⇒ Tairah ⇒ Nahur ⇒ Muqawwim ⇒ Udad ⇒ Adnan ⇒ Ma’ad ⇒ Nizar ⇒ Mudhar ⇒ Ilyas ⇒ Mudrikah ⇒ Khuzaimah ⇒ Kinanah ⇒ an-Nadhar ⇒ Malik ⇒ Quraisy (Fihr) ⇒ Ghalib ⇒ Lu’ay ⇒ Ka’ab ⇒ Murrah ⇒ Kilab ⇒ Qushay ⇒ Zuhrah ⇒ Abdu Manaf ⇒ Hasyim ⇒ Abdul Muthalib ⇒ Abdullah ⇒ Muhammad Saw.
Garis Keturunan Ibu: Adam As. ⇒ Syits ⇒ Anusy ⇒ Qinan ⇒ Mihlail ⇒ Yarid ⇒ Idris As. ⇒ Matusyalih ⇒ Lamak ⇒ Nuh As. ⇒ Sam ⇒ Arfakhsyad ⇒ Syalih ⇒ Abir ⇒ Falij ⇒ Ra’u ⇒ Saruj ⇒ Nahur ⇒ Tarakh ⇒ Ibrahim As. ⇒ Ismail As. ⇒ Nabit ⇒ Yasyjub ⇒ Ya’rub ⇒ Tairah ⇒ Nahur ⇒ Muqawwim ⇒ Udad ⇒ Adnan ⇒ Ma’ad ⇒ Nizar ⇒ Mudhar ⇒ Ilyas ⇒ Mudrikah ⇒ Khuzaimah ⇒ Kinanah ⇒ an-Nadhar ⇒ Malik ⇒ Quraisy (Fihr) ⇒ Ghalib ⇒ Lu’ay ⇒ Ka’ab ⇒ Murrah ⇒ Kilab ⇒ Qushay ⇒ Zuhrah ⇒ Abdu Manaf ⇒ Wahab ⇒ Aminah ⇒ Muhammad Saw.
Usia: 62 tahun.
Periode sejarah: 570-632 M.
Tempat diutus: Mekkah.
Jumlah keturunannya: 7 anak; 3 laki-laki Qasim, Abdullah dan Ibrahim, dan 4 perempuan Zainab, Ruqayyah, Ummi Kultsum dan Fatimah az-Zahra.
Tempat wafat: Madinah.
Sebutan kaumnya: Bangsa Arab.
Al-Quran menyebutkan namanya sebanyak: 25 kali.

Semoga bermanfaat

Senin, 02 November 2015

800 Tahun Hilang, Tafsir Al-Jailani ditemukan di Vatikan


Penemuan karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani oleh cucu ke-25-nya sendiri, Syekh Dr. Muhammad Fadhil, membuat dunia akademik dan pengamal tarekat/tasawuf terkagum-kagum. Bagaimana tidak? Naskah ini selama 800 tahun menghilang dan baru ditemukan secara utuh di Vatikan. Manuskrip yang berisi 30 Juz penuh ini tersimpan secara baik di perpustakaan.

Tak ada yang menyangka sebelumnya bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menulis kitab tafsir Al-Quran 30 juz yang mengulas ayat-ayat Al-Quran. Kita seolah-olah mempelajari samudra tasawuf dari ayat ke ayat. Dan, alhamdulillah, Tafsir Al-Jailani, yang dalam bahasa Arab telah diterbitkan oleh Markaz Al-Jailani Turki (6 jilid), kini telah berhasil diterjemahkan dalam bahasa Indonesia/Melayu menjadi 12 Jilid. Hingga hari ini, Markaz Jailani Asia Tenggara baru mencetak 2 jilid pertama.
Para salik yang berada di Indonesia, Malaysia, Brunei, Thailand dan Singapura yang berbahasa Melayu bisa mempelajari makna-makna penting tasawuf yang diajarkan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dengan mudah.
Kami sangat berterima kasih dengan perjuangan penelitian dan penyelidikan yang dilakukan oleh Syekh Dr Muhammad Fadhil dalam menyelamatkan manuskrip-manuskrip langka ini. Terutama yang berkaitan dengan Tafsir Al-Jailani. Kami terharu ketika mendengarkan langsung kisah pengkajian dan penelitiannya selama puluhan tahun.
Berikut adalah penuturan Syekh Fadhil dalam pembukaan kitab Tafsir Al-Jailani yang ditelitinya:
“Saya tumbuh besar di bawah pendidikan kakek saya Sayyid Syarif al-Alim al-Muqtada bin wa al-Quthb al-Kamil asy-Syaikh Muhammad Shiddiq Jalilaniy al-Hasaniy. Ayah saya bernama Sayyid Syarif al-Alim al-Allamah wa al-Bahr al-Fahhamah Syaikh Muhammad Faiq Jailaniy al-Hasaniy.
Setelah saya mendatangi Madinah Munawwarah dan tinggal di kota ini, saya pun mulai mencari kitab-kitab Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy Radhiyallahu 'Anhu pada tahun 1977 M di Madinah al-Munawwarah dan kota-kota lainnya sampai tahun 2002 M.
Setelah tahun itu, saya menghabiskan seluruh waktu saya untuk mencari kitab-kitab sang Syaikh Radhiyallahu 'Anhu, dan sampai hari ini saya masih terus melanjutkan pencarian itu.
Saya telah mendatangi sekitar lima puluh perpustakaan negara dan puluhan perpustakaan swasta yang terdapat di lebih dari 20 negara. Bahkan ada beberapa negara yang saya datangi sampai lebih dari dua puluh kali.
Dari proses panjang itu saya berhasil mengumpulkan tujuh belas kitab dan enam risalah yang salah satunya adalah kitab tafsir ini yang menurut saya, tidak ada bandingannya di seluruh dunia.
Dari perjalanan saya mendatangi beberapa pusat-pusat ilmu pengetahuan, saya pun mengetahui bahwa ada empat belas kitab karya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy yang dianggap punah. Oleh sebab itu, saya terus melakukan pencarian kitab-kitab tersebut di pelbagai perpustakaan internasional setelah kitab tafsir ini selesai dicetak dan diterbitkan, insya Allah.
Sungguh saya sangat bergembira dan bersyukur kepada Allah SWT ketika saya mengetahui bahwa jumlah lembaran tulisan karya kakek saya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy radhiyallâhu 'anhu yang berhasil saya kumpulkan mencapai 9.752 lembar. Jumlah itu tidak termasuk tulisan-tulisan yang akan kami terbitkan saat ini dan beberapa judul yang hilang. Tentu saja, semua ini membuat saya sangat gembira dan bangga tak terkira kepada kakek saya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy r.a.
Ada sebuah pengalaman menakjubkan yang saya alami ketika saya mendatangi negeri Vatikan untuk mencari karya-karya sang Syaikh di perpustakaan Vatikan yang termasyhur. Ketika saya memasuki negara Vatikan, petugas imigrasi bertanya kepada saya tentang alasan saya mengunjungi Perpustakaan Vatikan. 
Pertanyaan itu dijawab oleh seorang kawan asal Italia yang mendampingi saya dengan mengatakan bahwa saya sedang mencari buku-buku karya kakek saya Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy. Saya kaget ketika tiba-tiba saja, petugas itu langsung berdiri dan berhormat seraya berkata: "Ya, ya, Sang Filsof Islam, Abdul Qadir al-Jailaniy." 

Setelah saya memasuki Perpustakaan Vatikan, saya menemukan pada katalog perpustakaan dan beberapa buku yang ada di situ sebuah tulisan dalam Bahasa Italia yang berbunyi: "Filsuf Islam", dan dalam Bahasa Arab: "Syaikh al-Islâm wa al-Muslimîn".
Dua gelar ini tidak pernah saya temukan di semua perpustakaan yang ada di tiga benua kecuali hanya di sini. Di Perpustakaan Vatikan saya juga menemukan sebuah tulisan tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy yang berbunyi: "Sang Syaikh Radhiyallahu 'Anhu membahas tiga belas macam ilmu."
Kisah ini bisa menjadi inspirasi bagi kita semua. Bagaimana mungkin, karya-karya monumental Syekh Abdul Qadir Al-Jailani justru tersimpan rapi di perpustakaan di Vatikan? Kemana saja ahli-ahli sejarah kita? Mengapa karya sehebat itu “hilang” selama berabad-abad? Jangan-jangan selama ini lebih fasih orang Katolik mempelajari karya-karya Syekh Abdul Qadir Jailani daripada kita yang setiap bulan ikut Manaqib Syekh Abdul Qadir?
Kitab Tafsir Al-Jailani karya Syekh Abdul Qadir Al Jailani, bisa menjadi rujukan bagi pembelajar ilmu tasawuf. Peminat tasawuf dapat mempelajari makna-makna Al Qur’an dengan batin dan ruh tasawuf dengan bimbingan Sulthonul Auliya ini. Bagai menyelami samudera syariat, thariqat, makrifat dari ayat ke ayat. Cocok sebagai referensi dalam berguru kepada Sang Mursyid.
“Dalam kitab ini, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak sekadar menafsirkan Al-Qur`an dengan pola tafsir yang hanya mengandalkan ilmu dan pemahaman seperti yang lazim terdapat dalam pelbagai kitab tafsir ...lain. Tetapi, tafsir ini lebih banyak bertumpu pada pemaparan ilhami yang menghidupkan ruh serta dapat menumbuhkan ketakwaan di satu sisi, dan di sisi lain mampu mengikat murid dengan gurunya, sehingga sang guru dapat terus meningkatkan kualitas murid hingga mencapai derajat setinggi mungkin.”
-Syekh Dr. Muhammad Fadhil Al-Jailani Al-Hasani-
(Pendiri dan Penasehat Utama Markaz Al-Jailani Internasional, Pentahkik kitab Tafsir Al-Jailani)
“Semoga dengan penerjemahan dan penerbitan Tafsir Al-Jailani karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam bahasa Indonesia/Melayu oleh Markaz Jailani Asia Tenggara, umat Islam di seluruh Nusantara dapat belajar, memahami dan mendalami ajaran-ajaran syariat, tarekat, makrifat dan hakikat dari ayat ke ayat dalam Al-Qur’an.”
-Syekh Rohimuddin Nawawi Al-Jahary Al-Bantani-
(Penasehat Markaz Jailani Asia Tenggara dan Direktur Dar Al-Hasani, Kelantan Malaysia)
  • Selama 800 tahun Tafsir Al-Jailani karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani “hilang” atau “dihilangkan.”
  • Karya ini ditemukan di Vatikan oleh cucu ke-25-nya, Syekh Dr. Muhammad Fadhil.
  • Ayat demi ayat ditafsirkan dengan cara penuturan dan ungkapan yang mudah, singkat dan sistematis.
  • Teknik penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an (Al-Qur’an bi Al-Qur’an).
  • Syekh Abdul Qadir secara cerdas mengulas ayat-ayat tentang hukum, fiqih, tauhid, hadis dan tasawuf dengan terang dan jelas.
  • Tafsir ini tergolong Tafsir Isyari—meski tidak semua ayat ditafsirkan secara isyari— disampaikan dengan mengagumkan, baik yang tersirat dalam alam dan tersurat dalam Al-Qur’an sangat sistematis, runtut, teratur dan sempurna.
  • Karya ini dapat menjadi rujukan utama para salik dalam menempuh jalan sufi.
  • Ketinggian ilmu hadis, syariat, fiqih, ilmu kalam, ulumul-Quran dan tasawuf yang dimiliki Syekh Abdul Qadir mendudukan buku ini sebagai kitab Tasawuf tingkat tinggi (first class).
  • Karya ini diterima dan tersebar di seluruh dunia Islam serta diakui oleh para ulama, seperti Syekh Dr. Ali Jumu’ah (Mufti Mesir), Mufti Syria, Mufti Libanon, serta para Syekh sufi seperti murabbi besar Syekh Youssef Riq al-Bakhour dan lain-lain.
Syekh Dr Muhammad Fadhil, sebagai Ahli Peneliti Utama karya-karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani meyakini bahwa Kitab Tafsir ini adalah salah satu karya sultan para wali, Imam Agung Syekh Abdul Qadir Al-Jailani yang telah menghilang selama 800 tahun lebih dari dunia Islam. Ini dinyatakan Syekh Muhammad Fadhil, setelah melakukan penelitian dan analisa selama kurun waktu 30 tahun, serta belasan kali pembacaan ulang. Pernyataan tersebut bukanlah ungkapan subyektif dan emosional semata, namun berdasarkan fakta dan data-data filologis yang valid dari manuskrip-manuskrip yang dikajinya.
Harus diakui bahwa terdapat sejumlah kalangan yang meragukan penemuan ini, dengan melakukan penolakan dan pelecehan atas penisbatan kitab ini kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Pandangan-pandangan semacam ini muncul di website tertentu. Mereka berdalih bahwa di dalam kitab ini terdapat banyak ungkapan dan terminologi yang tidak dapat dipahami. Bahkan, ada yang menilai sebagai pandangan kafir. Bahkan, yang paling ironis, pandangan itu justru muncul dari ulama kontemporer yang telah memahami terminologi tauhid dzauqi ahli sufi.
Memang terdapat beberapa paradoks dalam Penisbatan Tafsir ini kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani seperti dalam mukadimah kitab ini disebutkan, “... Kemudian ketika futûh yang dibukakan dan diberikan Allah secara murni dari pemberian-Nya itu semakin jelas, maka dinamakanlah (kitab ini) dengan nama yang diperoleh dari sisi-Nya, ‘Al Fawâtîh al-Ilâhiyah wa al-Mafâtîh al-Ghaibiyah al-Mudhîhah li al-Kalim al-Qur’âniyah wa al-Hikam al-Furqaniyah.’” Berangkat dari ungkapan inilah kemudian Haji Khalifah dalam kitabnya, “Kasyfudz Dzunûn”, 2/1292 dan Al-Zarkali dalam kitabnya, “Al-I’lâm”, 8/39, serta Kamus Kumpulan Pengarang Kitab, menisbatkan kitab ini kepada Syekh Nikmatullah bin Mahmud An-Nakhjawani (w. 920 H), seorang sufi tarekat al-Qadiriyah asal Uzbekistan.
Namun demikian, peneliti kitab ini, Syekh Dr. Muhammad Fadhil, telah melampirkan bukti keotentikannya berupa salinan manuskrip (yang di dalamnya penyalin tafsir menuliskan pada setiap akhir Juz 1 hingga Juz 3 kalimat berikut, “Telah selesai Juz 3 dari tafsir Sulthan al-‘Ârifîn Sayyidi Abdul Qadir Al-Jailani qaddasallah sirrah.” Dan, dalam salinan manuskrip (ج) telah dituliskan pula pada Juz 1, “Juz pertama dari tafsir Al-Qur’an karya Maulana pemilik cahaya rabbâni, organ shamadâni, Imam Para Arif, Mahkota Agama, quthb yang sempurna Sayid Abdul Qadir Al-Jailani...”
Selain itu, Mufti Iraq, Al-‘Âlim al-‘Allâmah Syekh Abdul Karim Basyarah Al-Mudarris menyebutkan dalam kitabnya, “Isnâd al-‘Alam ila Hadrah Sayyid al-‘Âlam” tentang beberapa karangan Quthb Ar-Rabbani al-Gauth ash-Shamadani Quthb Baghdad Abu Shalih Muhyiddin Syekh Abdul Qadir Al-Jailani qadassallah sirrah, bahwa Syekh Abdul Qadir memiliki berbagai karya, yang di antara karya besarnya adalah Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhîm dalam 6 jilid yang salah satu salinannya terdapat di Tharablus, Libya dan belum dicetak hingga sekarang. Para Nuqabâ’ (pimpinan keluarga Al-Jailani) Baghdad pernah berencana mencetaknya, namun karena beberapa halangan maka tidak dapat dicetak.
Bahkan, setelah melalui kajian, pengamatan serta perbandingan terhadap gaya bahasa Syekh Abdul Qadir Al-Jailani melalui karya-karya beliau yang terkenal seperti, Al-Gunyah, Fathurrabbani, Futuh Al-Ghaib, dan lainnya, maka dapat dipastikan bahwa penisbatan kitab ini kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah benar adanya.
Bagi yang telah membaca secara teliti kitab ini menggunakan feeling ilmiah dengan cermat berdasarkan dalil aqli dan naqli serta perbandingan berbagai uslub dan “sidik jari ilmiah” penulisnya, akan tahu pasti dan yakin bahwa pengarangnya adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Sebagaimana pula diakui oleh para pemelihara peninggalan Al-Qadiri di Baghdad bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jailani memang memiliki karya tafsir.
Namun, jika sekadar dilihat dari sejarah dan perkembangan terminologi sufi yang ada di dalamnya, maka tidak dipungkiri bahwa Tafsir Al-Jailani ini telah mengalami format ulang serta penyempurnaan, terutama oleh tokoh sufi Al-Qadiri yang bernama Nikmatullah An-Nakhjawani, sehingga menjadi lebih sistematis dan sempurna seperti yang ada saat ini.
Adapun terkait penamaannya sebagai “Tafsir Al-Jailani” maka itu semata-mata merupakan gagasan dari penelitinya. Ketika saya tanyakan alasannya, beliau menjelaskan bahwa penemuan serta penelitian manuskrip kitab ini telah memakan waktu selama 30 tahun dan beliau takut jika suatu ketika karya ini “dicuri” oleh peneliti gadungan yang banyak tersebar di Arab, sehingga usaha beliau untuk memunculkan karya-karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani yang masih terkubur akan terganggu dan diselewengkan untuk tujuan materialistis belaka dan sebagai mata pencaharian semata.
Sebenarnya, mulai dari mukadimah segala perkara yang berhubungan dan berkaitan dengan Al-Qur’an dan tafsirnya telah dipaparkan oleh pengarangnya sehingga tampak nyata bahwa tafsir ini adalah karya besar beliau sendiri. Jika pembaca tekun dan telaten, pasti akan tampak baginya bahwa beliau dalam kitab ini, secara tekstual banyak mengutip dari karya guru yang dikaguminya yaitu Syekh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya “Muqaddimah fî Ushûl At-Tafsîr.” Dan, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani adalah praktisi handal yang mampu memetakan seluruh pemikiran Tarbiyah Ruhiyah Sufiyah konseptor ulung, yaitu Imam Al-Ghazali.
 

Semoga bermanfaat