Kamis, 22 Agustus 2019

Larangan Al-Qur’an Menghina Agama dan Tuhan yang Lain

Mari kita bahas Tafsir surat al-An’am ayat 107-108:

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكُوا ۗ وَمَا جَعَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا ۖ وَمَا أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِوَكِيلٍ - وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukanNya. Dan Kami tidak menjadikan engkau pengawas bagi mereka, dan engkau sekali-kali bukanlah pemeihara bagi mereka.
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, maka akibatnya mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan".

Demikianlah Kami perindah bagi setiap umat amal mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia beritahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا كَانَ الرِّفْقُ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ عُزِلَ عَنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Tidaklah kelembutan terdapat pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya. Dan tidaklah kelembutan itu lepas melainkan ia akan menjelekkannya.” (HR. Ahmad 6: 206, sanad shahih).

Prinsip Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah adalah dengan lemah lembut dengan madh’u (orang yang didakwahi) walau mereka orang kafir.

Kalau Allah mau, semua penduduk dunia ini beriman kepada Allah, tapi Allah hendak menguji hambaNya dan mengundang mereka beriman melalui kesadaran dan bukti-bukti Allah yang Allah berikan, termasuk dengan menghadirkan para utusanNya, yang bertugas mengajak, menasehati dan menjelaskan; bukan memaksa, menindas atau meneror mereka.

Jadi, tidak perlu marah atau sedih kalau orang musyrik tidak menghiraukan dakwah Islam. Nabi pun pernah diingatkan oleh Allah,

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

”Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia dibumi. Maka apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua? ( QS Yunus 10:99).

Petikan ayat 107 di atas lebih jauh lagi menegaskan bahwa Nabi bukanlah “hafizh” dan “wakil” mereka. Tafsir Sayyid Thanthawi menjelaskan: 

وقوله وَما جَعَلْناكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظاً وَما أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِوَكِيلٍ أى: وما جعلناك عليهم حفيظا يحفظ عليهم أعمالهم لتحاسبهم وتجازيهم عليها وما أنت عليهم بوكيل تدبر عليهم أمورهم وتتصرف فيها، وإنما أنت وظيفتك التبليغ - فى تفسير سيد تنطاوى

“Bukanlah engkau sebagai “hafizh” mereka yang bermakna mengawasi untuk memberi sanksi dan ganjaran, dan engkau juga bukan “wakil” yang mengatur urusan mereka dan mengelolanya. Sesungguhnya tugas engkau itu hanya menyampaikan (tabligh).”

Penjelasan di atas senada dengan ayat-ayat lainnya:

“Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah)” (Asy-Syura: 48)“

فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ - لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ

"Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka” (Al-Gasyiyah: 21-22)

إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ

“karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedangkan Kami lah yang menghisab amalan mereka” (Ar-Ra’d: 40)
Surat Ar-Ra’d Ayat 40

وَإِنْ مَا نُرِيَنَّكَ بَعْضَ الَّذِي نَعِدُهُمْ أَوْ نَتَوَفَّيَنَّكَ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ وَعَلَيْنَا الْحِسَابُ

Dan jika Kami perlihatkan kepadamu sebahagian (siksa) yang Kami ancamkan kepada mereka atau Kami wafatkan kamu (hal itu tidak penting bagimu) karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka.
Surat Asy-Syura Ayat 48

فَإِنْ أَعْرَضُوا فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا ۖ إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ ۗ وَإِنَّا إِذَا أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً فَرِحَ بِهَا ۖ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ كَفُورٌ

Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas(penjaga) bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada nikmat).

Setelah mengupas posisi Nabi Muhammad di atas, menurut Sayyid Thantawitibalah di ayat selanjutnya Allah memberi petunjuk kepada keagungan akhlak: melarang untuk memaki sesembahan orang lain.

Ijinkan saya mengutip penjelasan Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir:

ينهى الله تعالى رسوله والمؤمنين عن سب آلهة المشركين، وإن كان فيه مصلحة، إلا أنه يترتب عليه مفسدة أعظم منها، وهي مقابلة المشركين بسب إله المؤمنين، وهو اللَّهُ لا إِلهَ إِلَّا هُوَ كما قال ابن عباس.‎لا تسبوا أيها المسلمون آلهة المشركين التي يدعونها من دون الله إذ ربما نشأ عن ذلك سبّهم لله عز وجل عدوانا، أي ظلما وتجاوزا منهم للحدّ في السباب والمشاتمة، لإغاظة المؤمنين، جهلا منهم بقدر الله تعالى وعظمته. وهذا يدل على أن الطاعة أو المصلحة إن أدت إلى معصية أو مفسدة تترك - شيخ وهبن الزهيلى فى تفسير المنير

“Allah SWT melarang Rasul dan orang beriman dari memaki tuhan kaum musyrikin. Boleh jadi ada kemaslahatan dalam memaki tuhan mereka, namun mafsadat (kerusakan)nya jauh lebih besar, yaitu mereka akan membalas dengan memaki Allah kelewat batas, untuk melecehkan orang beriman, tanpa mereka memiliki pengetahuan akan kebesaran Allah. Ini menunjukkan bahwa ketaatan atau kemaslahatan jika membawa kepada kemaksiatan atau kerusakan, maka tinggalkanlah.”

Dengan kata lain, kalau kita memaki sesembahan mereka (meskipun dilandasi tujuan baik agar mereka tidak sesat) namun, kita bisa menjadi penyebab dari cacian yang mereka tujukan kepada Allah SWT. Jangan sampai gegara dakwah kita yang tidak santun, Allah yang kena caci-maki. Maka dua kaidah bisa kita pakai dalam dakwah, yaitu dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih(menolak kejahatan diutamakan daripada mengambil manfaat) dan juga Sadd al-Dzari’ah, yaitu menutup semua pintu yang dapat menimbulkan kemudharatan.

Dakwah itu mengajak kebaikan dengan cara yang baik, sehingga hasilnya pun baik. Kalau kita berdakwah dengan bahasa yang baik, tanggapan mereka bisa baik dan bisa buruk; tetapi kalau kita menggunakan bahasa kasar dan caci-maki, boleh jadi mereka akan membalas caci-maki kita dengan lebih kasar lagi. Sampeyan ini sebenarnya mau dakwah atau ngajak berantem sih ?

Itulah sebabnya, Allah singgung dalam ayat di atas bahwa setiap umat memandang indah amal mereka masing-masing. Tabiat manusia memang demikian yaitu menganggap baik apa yang mereka kerjakan dan yakini. Orang musyrik menganggap baik sesembahan mereka dan cara mereka menyembah, kita pun demikian. Karena itu janganlah saling memaki.

Mari kita tunjukkan siapa yang paling baik akhlaknya dalam berdakwah. Tidak perlu kita menunjukkan keindahan agama kita dengan mengolok-olok atau memaki sesembahan dan ajaran agama orang lain. Kita tunjukkan keindahan dan kebenaran Islam dengan akhlak yang mulia. Ibaratnya, kalau kita yakin dan percaya diri dengan kecantikan istri kita, tidak perlu kan kita mengejek kejelekan dan membuka aib istri tetangga? Nikmati kecantikan istri kita lewat keindahan senyumnya, dan binar bola matanya. Cukup! Sudah, gitu aja.

Semoga bermanfaat.

Senin, 19 Agustus 2019

Sunahnya berpakaian disuatu negara


Benarkah foto foto upacara 17 Agustus berikut merupakan cara berpakaian secara sunnah?

Mari kita cermati Hadits2 berikut ini:

من لبس ثوب شهرة ألبسه اللَّه يوم ثوبا مذلة يوم القيامة


“Barangsiapa memakai pakaian syuhrah (pakaian yang menyelisihi pakaian kaumnya yang berelasi dengan keberagamaan), niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian yang hina pada hari kiamat,” (HR. Abu Daawud, Ibnu Majah).

Ibnu Baththaal rahimahullah berkata:

فالذى ينبغى للرجل أن يتزى فى كل زمان بزى أهله ما لم يكن إثمًا لأن مخالفة الناس فى زيهم ضرب من الشهرة


“Seseorang seharusnya berpakaian dengan pakaian orang-orang yang hidup di masa tersebut sepanjang tidak terkandung dosa, karena penyelisihan terhadap pakaian yang dipakai oleh orang banyak termasuk syuhrah,”
(Syarh Shahih al-Bukhâri, 17/144).

Imam Ahmad berkata:

أنه يكره له لبس غير زي بلده بلا عذر كما هو منصوص الإمام


“Makruh hukumnya memakai pakaian yang bukan model pakaian penduduk negerinya tanpa ‘udzur,” (Ghidzâ’ al-Albâb, 2/182)

Al-Mardawiy berkata:

يكره لبس ما فيه شهرة, أَو خلاف زي بلده من الناس, على الصحيح من المذهب


“Memakai sesuatu yang menimbulkan syuhrah/popularitas atau menyelisihi pakaian penduduk negeri setempat berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanâbilah) hukumnya ‘makruh’,” (Al-Inshâf, 2/263).

وقد أرشد الرسول الأكرم صلى الله عليه وسلم منهج الدعوة الى الله كما قال الرسول حين بعث معاذ بن جبل الى اهل الكتاب "إنك تأتي قوما من أهل الكتاب فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله وأني رسول الله فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد في فقرائهم فإن هم أطاعوا لذلك فإياك وكرائم أموالهم واتق دعوة المظلوم فإنه ليس بينها وبين الله حجاب" فهل من المعروف ان نخالف ارشادته صلى الله عليه وسلم ؟


Kita memang sedikit terlambat dalam memahamkan tentang sunnahnya berpakaian.

Akibatnya, orang2 awam secara umum mereka memandang bahwa jubah, sorban itu pakain islamiy dan pertanda keshalihan seseorang.

Para badut agama dan penipupun memanfaatkan kesempatan ini, penipu yang pakai jubah dan sorban akan lebih mudah menggaet korban daripada penipu yang berpenampilan preman terminal/pasar.

Karenanya perlu memahamkan masyarakat agar tidak terjadi pembodohan..

Semoga bermanfaat

Sabtu, 10 Agustus 2019

Anjuran Tidak Makan Sebelum Shalat Idul Adha

Catatan :
Penulis memilih Tidak Makan Sebelum Shalat Idul Adha Berlaku untuk semua, baik Bagi Sohibul Kurban maupun yang tidak Korban. Sebab ada beberapa ulama yang berbeda pendapat mengenai hal ini.

Pertanyaan :
Apakah tidak makan sebelum berangkat shalat idul adha itu berlaku bagi semua orang? Ataukah hanya berlaku utk sohibul qurban saja?

Padatnya jamaah shalat Idul Adha di area Pesantren Salah satu anjuran sebelum melakukan shalat Idul adha adalah tidak makan. Berbeda dengan shalat idul fitri yang dianjurkan untuk memakan kurma atau sejenisnya sebelum melaksanakannya, hal itu sebagai penanda bahwa hari ini sedang tidak berpuasa. Anjuran untuk tidak makan sebelum shalat Idul Adha disebabkan karena sedekah Idul Adha dilakukan setelah shalat ‘id, yaitu kurban. Dianjurkan makan setelah shalat ‘id agar bisa makan bersama-sama orang miskin yang baru dapat daging kurban setelah shalat ‘id. Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.

Dengan tidak makan terlebih dahulu sebelum shalat Idul Adha, maka seseorang akan lebih bersemangat dan bersegera dalam menyembelih hewan kurban dan menikmatinya bersama-sama. Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab menjelaskan hikmah dan rahasia yang terkandung di dalam makan sebelum dan sesudah shalat ‘id. Untuk menjelaskan alasan kesunnahan ini, beliau mengutip pendapat al-Mawardi, penulis kitab al-Hawi al-Kabir, dan Abu al-Khair Yahya Ibnu Salim, penulis kitab al-Bayan. Berikut kutipan al-Nawawi:

قال صاحب الحاوي والبيان وإنما فرق بينهما لأن السنة أن يتصدق في عيد الفطر قبل الصلاة فاستحب له الاكل ليشارك المساكين في ذلك والصدقة في عيد النحر إنما هي بعد الصلاة من الأضحية فاستحب موافقتهم قال ولأن ما قبل يوم الفطر يحرم الاكل فندب الاكل فيه قبل الصلاة ليتميز عن ما قبله وفي الاضحى لا يحرم الاكل قبله فأخر ليميزا

“Penulis kitab al-Hawi (al-Mawardi) dan al-Bayan (Abu al-Khair) berkata, perbedaan antara keduanya (idul fitri dan idul adha) ialah karena kesunnahan bersedekah pada hari ‘idul fitri sebelum shalat, sebab itu, disunnahkan makan sebelum shalat supaya bersamaan dengan orang-orang miskin. Sementara sedekah pada hari raya kurban, disunnahkan setelah shalat, yaitu penyembelihan kurban, karenanya disunnahkan (makan setelahnya) bersamaan dengan mereka (orang miskin).
Adapaun hikamh tidak makan sebelum shalat Idul Adha adalah agar daging kurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah shalat Idul Adha. Dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

وَلِأَنَّ يَوْمَ الْفِطْرِ يَوْمٌ حَرُمَ فِيهِ الصِّيَامُ عَقِيبَ وُجُوبِهِ ، فَاسْتُحِبَّ تَعْجِيلُ الْفِطْرِ لِإِظْهَارِ الْمُبَادَرَةِ إلَى طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى ، وَامْتِثَالِ أَمْرِهِ فِي الْفِطْرِ عَلَى خِلَافِ الْعَادَةِ ، وَالْأَضْحَى بِخِلَافِهِ .وَلِأَنَّ فِي الْأَضْحَى شُرِعَ الْأُضْحِيَّةُ وَالْأَكْلُ مِنْهَا ، فَاسْتُحِبَّ أَنْ يَكُونَ فِطْرُهُ عَلَى شَيْءٍ مِنْهَا

“Idul Fithri adalah hari diharamkannya berpuasa setelah sebulan penuh diwajibkan. Sehingga dianjurkan untuk bersegera berbuka agar semangat melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan perintah makan pada Idul Fithri (sebelum shalat ‘ied) adalah untuk membedakan kebiasaannya berpuasa. Sedangkan untuk hari raya Idul Adha berbeda. Karena pada hari Idul Adha disyari’atkan memakan dari hasil qurban. Jadinya, kita dianjurkan tidak makan sebelum shalat ‘ied dan nantinya menyantap hasil sembelihan tersebut.”
Dengan berbagai keterangan di atas, jelas sudah bahwa tidak makan sebelum shalat Idul Adha adalah sebuah anjuran dan sunnah hukumya. Sehingga apabila kondisi memang mewajibkan untuk makan terlebih dahulu, maka diperbolehkan untuk makan atau minum sebelum melaksanakan shalat Idul Adha. Misalnya orang sakit yang memang harus makan sebelum minum obatnya, atau seseorang yang membutuhkan tenaga dan asupan makanan guna menguatkan ibadahnya di pagi hari Idul Adha tersebut.


Anjuran Tidak Makan Sebelum Shalat Idul Adha

Jawab:
Anjuran tidak makan sebelum berangkat shalat idul adha, disebutkan dalam hadis dari Buraidah bin Hushaib radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلاَ يَطْعَمُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّىَ

Pada hari idul fitri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar menuju lapangan, hingga beliau sarapan dulu. Dan pada hari idul adha, beliau tidak makan, hingga beliau shalat. (HR. Tirmidzi 545 dan dishahihkan al-Albani).
Beliau menunda makan, agar bisa sarapan dengan daging qurbannya. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain,

وَكَانَ لاَ يَأْكُلُ يَوْمَ النَّحْرِ شَيْئًا حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَتِهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak makan ketika idul adha, hingga beliau pulang, lalu makan hasil qurbannya. (HR. Daruquthni 1734).
Terkait alasan ini, banyak ulama menyebutkan bahwa anjuran tidak makan sebelum berangkat shalat id, hanya berlaku bagi sohibul qurban, agar dia bisa makan daging qurbannya.
Berikut keterangan mereka,

[1] Keterangan az-Zaila’i – ulama hanafiyah dari Mesir – (w. 762 H)

هذا في حق من يضحي ليأكل من أضحيته، أما في حق غيره فلا

Aturan ini berlaku bagi orang yang hendak berqurban, agar dia bisa makan daging qurbannya. Sementara untuk yang lain, tidak berlaku aturan ini. (Tabyin al-Haqaiq, 1/226).

[2] Keterangan al-Buhuti – ulama Hambali dari Mesir – (w. 1050 H)

وكان لا يأكل يوم النحر حتى يرجع، فيأكل من أضحيته، وإذا لم يكن له ذبح لم يبال أن يأكل

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak makan pada hari idul adha hingga beliau pulang, lalu makan daging qurbannya. Ketika tidak memiliki hewan qurban, tidak masalah makan sebelum shalat. (Kasyaf al-Qina’, 2/51).

[3] Keterangan al-Mubarokfuri – (w. 1353 H)

وقد خصص أحمد بن حنبل استحباب تأخير الأكل في عيد الأضحى بمن له ذبح

Imam Ahmad menegaskan bahwa anjuran menunda makan ketika idul adha, hanya khusus untuk mereka yang memiliki hewan qurban. (Tuhfatul Ahwadzi, 3/81).

Berdasarkan keterangan di atas, bisa kita buat kesimpulan,
[1] Dianjurkan untuk tidak makan sebelum berangkat shalat idul adha.
[2] Anjuran ini hanya berlaku bagi sohibul qurban, dan bukan semua kaum muslimin
[3] Latar belakang anjuran tidak makan sebelum shalat bagi sohibul qurban adalah agar dia bisa sarapan dengan daging qurbannya. Karena itu, bagi sohibul qurban yang menyerahkan hewan qurbannya di dekat tempat tinggalnya, maka dianjurkan seusai shalat idul adha agar tidak makan apapun, menunggu hewan qurbannya disembelih.

Allahu a’lam

Semoga bermanfaat.

Hukum Jual Kulit Kurban


Sebagian masyarakat Indonesia belakangan ini banyak yang menjual kulit dan kepala hewan kurban. Motifnya beraneka ragam. Ada yang karena berada di daerah dengan tingkat kemampuan perekonomian tinggi sehingga jumlah hewan kurban di daerahnya sangat banyak. Karena saking banyaknya daging, mereka tidak punya banyak waktu untuk mengurus kulit dan kepala hewan kurban.

Atau mungkin ada sebagian yang mempunyai motif ingin menghemat biaya operasional sehingga kulit dan kepala dijual untuk kemudian hasil penjualannya selain dibuat untuk biaya operasional, juga bisa dibuat membayar tukang jagal.

Imam Nawawi mengatakan, berbagai macam teks redaksional dalam madzhab Syafi'i menyatakan bahwa menjual hewan kurban yang meliputi daging, kulit, tanduk, dan rambut, semunya dilarang. Begitu pula menjadikannya sebagai upah para penjagal.

واتفقت نصوص الشافعي والاصحاب على انه لا يجوز بيع شئ من الهدي والاضحية نذرا كان أو تطوعا سواء في ذلك اللحم والشحم والجلد والقرن والصوف وغيره ولا يجوز جعل الجلد وغيره اجرة للجزار بل يتصدق به المضحي والمهدي أو يتخذ منه ما ينتفع بعينه كسقاء أو دلو أو خف وغير ذلك


Artinya, “Beragam redaksi tekstual madzhab Syafi'i dan para pengikutnya mengatakan, tidak boleh menjual apapun dari hadiah (al-hadyu) haji maupun kurban baik berupa nadzar atau yang sunah. (Pelarangan itu) baik berupa daging, lemak, tanduk, rambut dan sebagainya.

Dan juga dilarang menjadikan kulit dan sebagainya itu untuk upah bagi tukang jagal. Akan tetapi (yang diperbolehkan) adalah seorang yang berkurban dan orang yang berhadiah menyedekahkannya atau juga boleh mengambilnya dengan dimanfaatkan barangnya seperti dibuat untuk kantung air atau timba, muzah (sejenis sepatu) dan sebagainya. (Lihat Imam Nawawi, Al-Majmu', Maktabah Al-Irsyad, juz 8, halaman 397).

Jika terpaksa tidak ada yang mau memakan kulit tersebut, bisa dimanfaatkan untuk hal-hal lain seperti dibuat terbang, bedug, dan lain sebagainya. Itupun jika tidak dari kurban nadzar. Kalau kurban nadzar atau kurban wajib harus diberikan ke orang lain sebagaimana diungkapkan oleh Imam As-Syarbini dalam kitab Al-Iqna'.

Menyikapi hal ini, panitia bisa memotong-motong kulit tersebut lalu dicampur dengan daging sehingga semuanya terdistribusikan kepada masyarakat. Bagi orang yang kurang mampu, kulit bisa dimanfaatkan untuk konsumsi lebih.

Bukan tanpa risiko, akibat dari menjual kulit dan kepala hewan sebagaimana yang berlaku, bisa menjadikan kurban tersebut tidak sah. Artinya, hewan yang disembelih pada hari raya kurban hanya menjadi sembelihan biasa, orang yang berkurban tidak mendapat fadlilah pahala berkurban sebagaimana sabda Rasulullah SAW.

من باع جلد أضحيته فلا أضحية له) أي لا يحصل له الثواب الموعود للمضحي على أضحيته


Artinya, “Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya, maka tidak ada kurban bagi dirinya. Artinya dia tidak mendapat pahala yang dijanjikan kepada orang yang berkurban atas pengorbanannya,” (HR Hakim dalam kitab Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, juz 6, halaman 121).

Apabila sudah terlanjur, karena jual belinya tidak sah, maka perlu ditelaah lebih lanjut. Apabila pembeli adalah orang yang sebenarnya tidak berhak menerima kurban, pembeli seperti ini harus mengembalikan lagi daging yang telah ia beli, uang juga ditarik. Jika terlanjur dimakan, ia harus membelikan daging pengganti untuk kemudian dikembalikan.

Sedangkan jika yang membeli adalah orang yang sebenarnya berhak, ia cukup dikembalikan uangnya dan daging yang ia terima merupakan daging sedekah.

Sebagaimana orang yang berkurban, begitu pula penerima daging kurban juga tidak boleh menjual kembali daging yang telah ia terima apabila penerima ini adalah orang yang termasuk kategori kaya. Orang kaya mempunyai kedudukan sama dengan orang yang berqurban karena ia sama-sama mendapat tuntutan untuk berkurban.

Oleh karena ia sama kedudukannya, walaupun yang ia terima sudah berupa daging, ia tidak boleh menjualnya kembali kepada orang lain. Ia hanya boleh mengonsumsi atau membagikan kembali kepada orang lain.

Berbeda dengan orang miskin. Sebab ia tidak mendapat tuntutan sebagaimana orang kaya, jika ia mendapat daging kurban, boleh menjual kepada orang lain. Keterangan ini diungkapkan oleh Habib Abdurrahman Ba'alawi sebagai berikut.

وللفقير التصرف في المأخوذ ولو بنحو بيع الْمُسْلَمِ لملكه ما يعطاه، بخلاف الغني فليس له نحو البيع بل له التصرف في المهدي له بنحو أكل وتصدق وضيافة ولو لغني، لأن غايته أنه كالمضحي نفسه، قاله في التحفة والنهاية


Artinya, “Bagi orang fakir boleh menggunakan (tasharruf) daging kurban yang ia terima meskipun untuk semisal menjualnya kepada pembeli, karena itu sudah menjadi miliknya atas barang yang ia terima. Berbeda dengan orang kaya. Ia tidak boleh melakukan semisal menjualnya, namun hanya boleh mentasharufkan pada daging yang telah dihadiahkan kepada dia untuk semacam dimakan, sedekah, sajian tamu meskipun kepada tamu orang kaya. Karena misinya, dia orang kaya mempunyai posisi seperti orang yang berqurban pada dirinya sendiri. Demikianlah yang dikatakan dalam kitab At-Tuhfah dan An-Nihayah. (Lihat Bughyatul Mustarsyidin, Darul Fikr, halaman 423).

Kesimpulan dari penjelasan di atas, hewan kurban yang meliputi daging, kulit dan tanduk semuanya tidak diperbolehkan untuk dijual. Apabila dijual, orang yang berkurban tidak mendapatkan pahalanya. Sedangkan penerima daging juga tidak boleh menjual daging atau kulit yang ia terima kecuali penerima tersebut merupakan orang fakir.

Adapun masalah operasional panitia, jika mengambil jalan paling selamat tanpa 'hilah' transaksional adalah dengan cara bagi siapa saja yang ingin berkurban melalui panitia, diwajibkan menyerahkan sejumlah uang untuk biaya operasional termasuk membayar tukang jagal, biaya plastik dan sebagainya.

Tukang jagal juga berhak menerima qurban sebagaimana biasa, namun bukan atas nama mereka sebagai tukang jagal, tetapi sebagai mustahiq. Jadi jika atas nama mustahiq, sudah semestinya ia mendapatkan jatah sebagaimana lazimnya, tidak lebih.

Daging yang diberikan atas nama mustahiq ini diterimakan setelah mereka para penjagal sudah menerima upah jagal. Ini jalan yang paling hati-hati.

Wallahu a'lam.

Semoga bermanfaa.

Jumat, 09 Agustus 2019

Puasa dan Doa arafah jangan dilewatkan


JANGAN LEWATKAN HARI ARAFAH TANPA PUASA DAN DOA
Telah kita ketahui bersama bahwa hari Arafah adalah salah satu dari hari yang sangat dimulyakan oleh Allah سبحانه وتعالى , maka tidak heran jika didalamnya terdapat banyak keutamaan.
Al-Imam Al-Hafidh As-Suyuthi menyebutkan sebuah hadits yang berbunyi

صيام يوم عرفة كصيام ألف يوم (ابن حبان) عن عائشة

Puasa hari Arafah seperti puasa seribu hari. (HR. Ibnu Hibban dari Sayyidah Aisyah)
Bukan hanya puasa, berdoa dihari Arafah juga sangat besar keutamaannya. Didalam hadits disebutkan

خير الدعاء دعاء يوم عرفة

Sebaik-baik doa adalah doa (yg dipanjatkan) dihari Arafah. (HR. Tirmidzi no. 3585).
Adapun alasan berdoa dihari Arafah menjadi doa paling baik adalah sebagaimana pemaparan Al-Hafidh Abil Ula Muhammad Abdur Rahman Al-Mubarokfuri.

لأنه أجزل إثابة وأعجل إجابة

Karena akan mendapatkan balasan yg berlimpah dan cepat dikabulkan.
Adapun tentang doa yg paling utama dibaca di sore hari Arafah, Baginda Rasulillah صلى الله عليه و سلم bersabda :

أفضل ما قلت والنبيون قبلي عشية عرفة لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيئ قدير

Sebaik-baik sesuatu yg aku baca dg para Nabi sebelum aku di sore hari Arafah adalah

لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيئ قدير

Hadits di atas diriwayatkan Al-Hafidh At-Thabrani dg sanad yg baik. .
Berikut ini adalah pesan pesan Syeikh A-Sayyid Abdus Sattar Al-Jilani Al-Hasani terkait keutamaan hari Arafah. Beliau adalah cucu keturunan Sultonul Auliya, Syekh Abdul Qadir Al-Jilani.

النزول الإلهي يكون في الثلث الأخير من الليل
إلا في يوم عرفه فإن الله سبحانه ينزل للسماء الدنيا في النهار

كان السلف يدّخِرون حاجاتهم لدعاء يوم عرفة , فكم من الحاجات والأمنيات والدعوات أُستجيبت عشيّة عرفة

في رمضان تغيب عنّا ليلة آلقدر فلآ نعرف متى هي ؟
وَ في ذي الحجة يُخبرنا اللّه بيوم عرفة وَ مع ذلك هل سنقصر !!

إن استطعت أن تخلو بنفسك عشية يوم عرفة فافعل " العشية من بعد صلاة العصر إلى أذان المغرب"


يقول أحد الصالحين والله ما دعوت دعوة يوم عرفة وما دار عليها الحول إلا رأيتها مثل فلق الصبح

فأحسنوا في أنفسكم وﻻتنسو الأمة الاسلامية من دعواتكم , اللهم بلغنا يوم عرفة و تقبل منا أجمعين

- Turunnya Allah biasanya terjadi di setiap sepertiga terakhir dari waktu malam kecuali dihari arafah, sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى turun ke langit dunia pada siang hari (bukan pada malam arafah).
- Ulama salaf (sengaja) menyimpan hajat hajatnya untuk didoakan pada hari arafah. Betapa banyaknya hajat, harapan dan doa yg dikabulkan oleh Allah (karena dipanjatkan) disore hari Arafah.
- Pada bulan Ramadlan walaupun ada Lailatul Qadar, namun kita tidak tahu pasti kapan waktunya ?. Dan pada bulan Dzul Hijjah Allah memberi tahu kita akan keutamaan hari Arafah, apakah kita akan menyia-nyiakannya ?
- Jika kamu ber-khalwat (menyendiri dan larut dalam indahnya munajat dg Allah Subhanahu Wa Ta'ala) di sore hari Arafah maka kerjakanlah. Yg dimaksud dg kata "Asyiyyah" adalah mulai waktu ashar hingga adzan Magrib.
- Berkata salah seorang Sholihin : Demi Allah tidaklah aku berdoa dihari Arafah dan belum sampai satu tahun kecuali aku melihat doaku bagaikan sinar waktu subuh (sudah dikabulkan oleh Allah سبحانه وتعالى ).
- Berdoalah yg baik untuk diri kalian dan jangan lupakan ummat islam didalam doa kalian. Ya Allah sampaikan kami ke hari Arafah dan terimalah semua (ibadah dan doa) kami semua.

~ SELAMAT BERPUASA ARAFAH
~ SELAMAT BERDOA DIHARI ARAFAH

Semoga bermanfaa.

Kamis, 08 Agustus 2019

Ulama Nusantara yang dimakamkan di Jannatul Ma'la Makkah Al-Mukarromah







Ulama Nusantara yang dimakamkan di Jannatul Ma'la Makkah Al-Mukarromah, antara lain:
1. Syaikh Nawawi bin Umar al-Bantani (w. 25 Syawal 1314 H/ 29 Maret 1879 M.)
2. Syaikh Ahmad Khatib al-Minkabawi (w. 19 Jumadil Awwal 1334 H/ 13 Maret 1916 M.)
3. Syaikh Mahfudz al-Tarmasi (w. 1 Rajab 1338 H/ 22 Maret 1920 M.)
4. Syaikh Abdul Hamid al-Qudsi (w. 9 Rajab 1334 H/ 12 Mei 1915 M.)
5. Syaikh Ahmad Nahrawi al-Banyumasi (w. 1926 M).
6. Syaikh Sayyid Muhsin bin Ali al-Musawa (w. 10 Jumadis Tsani 1354 H/ 28 September 1935 M.)
7. Syaikh Abdul Muhaimin bin Abdul Aziz al-Lasemi (w. 1376 H/ 1956 M.)
8. Syaikh Ali bin Abdullah al-Banjari (w. 1370 H/ 1950 M.)
9. Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Padani (w. 28 Dzulhijjah 1440 H/ 23 Juli 1990 M.)
10. Syaikh Abdul Qadir al-Mandaili (w. 20 Rabi'ul Akhir 1385 H/ 18 Agustus 1965 M.)
11. KH. Abdul Karim bin KH. M. Hasyim Asy'ari (w. 1972 M.)
12. Syaikh Abdullah Durdum al-Padani (w. 27 Sya'ban 1407 H./ 27 April 1987 M.)
13. Syaikh Abdul Fattah Rawa (w. 1424 H/ 2003 M.
14. KH Fathurrahman bin Ghozali (pengasuh pondok Sarang/putra pendiri) (w. akhir syawal thn 1344 H/april 1926 M).
15. KH Abdussalam bin Fathurrahman (cucu pendiri pondok Sarang) (w. tahun 1938).
16. KH. Muslih Abdurrahman (Pengasuh PP Futuhiyah Mranggen Demak), (w.11 syawal 1401 / Selasa, 11 agustus 1981)
17. KH. Maimoen Zubair (w. 5 Dzulhijjah 1440 H. / 6 Agustus 2019 M.)

اللهم امتنا في طريقتهم واحشرنا في زمرتهم والحقنا بهم في دار النعيم


Semoga bermanfaat.

Kenapa Mbah Maimoen Di Makamkan Di Ma'la Makkah?



KIAI BANGSA

قال رسول الله صلى الله عليه ويلم: "إذا أحب الله العبد نادى جبريل: 'إن الله يحب فلانا فاحببه'، فيحبه جبريل، فينادي جبريل في اهل السمآء: 'إن الله يحب فلانا فاحبوه، فيحبه أهل السمآء، ثم يوضع له القبول في الأرض." (متفق عليه عن أبي هريرة رضي الله عنه)

"Apabila Allah mencintai seseorang hambaNya, Ia menyeru malaikat Jibril, 'Allah mencintai si Polan, maka cintailah dia.' Malaikat Jibril pun mencintainya dan menyeru penduduk langit, 'Allah mencintai si Polan, maka kalian cintailah dia.' Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian si Polan mendapat penerimaan dan kecintaan penduduk bumi." (Hadis muttafaq 'alaih bersumber dari shahabat Abu Hurairah).

Setelah dikabarkan wafat pada Selasa pukul 04.17 waktu Makkah (6/8). Kemudian kembali beredar kabar bahwa Mbah Moen akan dimakamkan di Ma’la, Makkah.

Dengan menanggapi kabar tersebut, menantu beliau KH Muhammad Musthofa Aqiel Siroj memberikan penjelasan soal pemakaman pengasuh Ponpes Al-Anwar ini, Selasa sore (6/8).
Kiai Musthofa bercerita “Beliau sering mengatakan begini, ayah saya meninggal hari Selasa, kakek saya meninggal hari Selasa, buyut saya meninggal hari Selasa. Sehingga hari Selasa adalah hari wafatnya orang orang alim.”

“Semasa hidupnya, Mbah Moen sering sekali membaca manaqib. Namun, manaqib yang beliau baca bukan manaqib Syaikh Abdul Qodir Jailani seperti umumnya, melainkan manaqib Siti Khadijah. Hampir setiap minggu beliau membacanya. Dan akhirnya, beliau akan di kebumikan di sisi makamnya Siti Khadijah di Ma’la, Makkah”.

“Sering kali beliau mengatakan bahwa banyak orang orang baik dimakamkan di Ma’la, Imam Nawawi Nanten, Sayyid Alawi dan yang lainnya. Beliau tidak meminta dimakamkan di Ma’la, tetapi sering sekali beliau bilang, orang-orang baik di makamkan di Ma’la.”
“Tadi pagi sempat ada perselisihan. Anak pertama beliau, Gus Ubab meminta di makamkan di Makkah, anak beliau Gus Najih meminta di makamkan di Indonesia, supaya santri dan alumni dapat dengan mudah berziarah”, tutur beliau.

Ketika Kang Muh diminta pendapat, beliau menjawab lebih baik dimakamkan di Makkah. Karena sebenarnya Mbah Moen itu hampir setiap tahun berangkat haji, beliau mendapatkan undangan haji dari Raja Saudi. Namun pada tahun ini, tiba-tiba Mbah Moen meminta berangkat haji, berarti beliau di panggil oleh Allah, masa mau dibawa pulang lagi.

“Dikarenakan terjadi perbedaan pendapat, akhirnya permasalahan tersebut di serahkan kepada Sayyid Ahmad yang merupakan putra dari Sayyid Muhammad, dan Sayyid Muhammad adalah anak dari Sayyid Alawi yang juga merupakan guru dari KH Maimoen Zubair.

Sayyid Ahmad memberikan keputusan bahwa KH Maimoen Zubair lebih baik di makamkan di Makkah. Akhirnya, beliau di makamkan di Samping sayyidah Khadijah dan Sayyid Muhammad”, tutur Kiai Musthofa.

Jadi, dulu guru saya pernah mengatakan kalau kita ini dicipta dari tanah tempat kita dikuburkan. Misal, saya orang Gresik meninggal di Yaman dan dimakamkan disana, itu berarti saya dicipta dari tanah Yaman.
Nah, Mbah Moen— sapaan akrab Kyai Maimun Zubair, menurut informasi yang saya dapat beliau dikuburkan di Ma'la.. Pekuburan Ma'a terletak kurang lebih 1,5 km dari Masjidil Harom dan pekuburan Ma'la itu sangat istimewa.

Kenapa?

Karena di situ adalah juga tempat dimana Sayyidah Khadijah dan para sahabat dikuburkan.
Juga ada Qasim, putra Nabi ﷺ dan paman beliau, Abdul Muthollib..
Menurut Sayyid Muhammad Almaliki, kurang lebih ada sekitar 45 sahabat Nabi ﷺ yang dimakamkan di pemakaman Ma'la.
.
Salah satu keutamaan Ma'la adalah dalam hadis yang diriwayatkan Sayyidina Abdullah bin Mas'ud ra, Rasulullah ﷺ bersabda,
"Allah membangkitkan dari tempat ini (pemakaman Ma'la) dan seluruh tanah Harram 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab atau tanpa perhitungan dosa. Setiap orang dapat membawa 70.000 orang. Wajah mereka cerah dan bersinar bagaikan bulan purnama."

Keutamaan Tanah Haram Makkah

Tanah haram jika dimutlakkan secara umum yang dimaksudkan adalah tanah Haram Makkah. Inilah tanah yang dimuliakan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika disebut Haromain, maka yang dimaksudkan adalah Makkah dan Madinah.

Di antara keutamaan tanah haram Makkah disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits berikut.

Pertama: Di Makkah terdapat baitullah

Sebagaimana Allah menyebutkan mengenai do’a Nabi Allah –kholilullah (kekasih Allah)- Ibrahim ‘alaihis salam,

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ


“Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37).

Rumah pertama yang dijadikan peribadatan kepada Allah Ta’ala adalah baitullah sebagaimana disebutkan dalam ayat,

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ


“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (QS. Ali Imran: 96).

Dan baitullah inilah yang dijadikan tempat berhaji sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا


“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS. Ali Imran: 97).

Haji ini dijadikan sebagai amalan penghapus dosa yang telah lalu Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ


“Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (Muttafaqun ‘alaih).

Sebagaimana shalat di baitullah juga dilipatgandakan. Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ


“Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom. Shalat di Masjidil Harom lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad 3/343 dan Ibnu Majah no. 1406, dari Jabir bin ‘Abdillah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1173).

Kedua: Tanah haram dijadikan tempat yang penuh rasa aman

Inilah berkat do’a Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آَمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آَمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ


“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali“.” (QS. Al Baqarah: 126).

Begitu pula disebutkan dalam ayat lainnya,

وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آَمِنًا


“Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia” (QS. Ali Imran: 97).

Kaum Quraisy di masa silam juga merasakan rasa aman ketika safar mereka,

الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ


“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Quraisy: 4).

Ketiga: Rizki begitu berlipat di tanah haram.

Inilah juga berkat do’a Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ


“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37).

Keempat: Tanah Haram tidak akan dimasuki Dajjal

Dajjal akan muncul dari Ashbahan dan akan menelusuri muka bumi. Tidak ada satu negeri pun melainkan Dajjal akan mampir di tempat tersebut. Yang dikecualikan di sini adalah Makkah dan Madinah karena malaikat akan menjaga dua kota tersebut. Dajjal tidak akan memasuki kedunya hingga akhir zaman. Dalam hadits Fathimah bin Qois radhiyallahu ‘anha disebutkan bahwa Dajjal mengatakan,

فَأَخْرُجَ فَأَسِيرَ فِى الأَرْضِ فَلاَ أَدَعَ قَرْيَةً إِلاَّ هَبَطْتُهَا فِى أَرْبَعِينَ لَيْلَةً غَيْرَ مَكَّةَ وَطَيْبَةَ فَهُمَا مُحَرَّمَتَانِ عَلَىَّ كِلْتَاهُمَا كُلَّمَا أَرَدْتُ أَنْ أَدْخُلَ وَاحِدَةً أَوْ وَاحِدًا مِنْهُمَا اسْتَقْبَلَنِى مَلَكٌ بِيَدِهِ السَّيْفُ صَلْتًا يَصُدُّنِى عَنْهَا وَإِنَّ عَلَى كُلِّ نَقْبٍ مِنْهَا مَلاَئِكَةً يَحْرُسُونَهَا


“Aku akan keluar dan menelusuri muka bumi. Tidaklah aku membiarkan suatu daerah kecuali pasti aku singgahi dalam masa empat puluh malam selain Makkah dan Thoybah (Madinah Nabawiyyah). Kedua kota tersebut diharamkan bagiku. Tatkala aku ingin memasuki salah satu dari dua kota tersebut, malaikat menemuiku dan menghadangku dengan pedangnya yang mengkilap. Dan di setiap jalan bukit ada malaikat yang menjaganya.” (HR. Muslim no. 2942)

Dan Dajjal tidak akan memasuki empat masjid. Dalam hadits disebutkan tentang Dajjal,

لاَ يَأْتِى أَرْبَعَةَ مَسَاجِدَ الْكَعْبَةَ وَمَسْجِدَ الرَّسُولِ والْمَسْجِدَ الأَقْصَى وَالطُّورَ


“Dajjal tidak akan memasuki empat masjid: masjid Ka’bah (masjidil Haram), masjid Rasul (masjid Nabawi), masjid Al Aqsho’, dan masjid Ath Thur.” (HR. Ahmad 5: 364. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth, sanad hadits ini shahih)


Dekat dengan Sayyidah Khadijah, Makam Ma’la Adalah Tetangga Allah

Ma’la adalah Jiwarillah
Rasa duka tiada tara menyayat hati, seketika meliputi relung hati kami semua karena Sang Lentera Jiwa kini telah tiada.

Saat mendengar berita wafatnya Syaikhina Maimoen Zubair di Makkah Al-Mukarramah.

Beliau pergi meninggalkan kita menghadap Allah Rabbul Alamin.

Tiba-tiba kami dikagetkan kembali dengan berita kedua bahwa Syaikhina akan disemayamkan di pekuburan Ma’la, Mekah. Kami para santri semakin sedih padahal kami ingin berdoa, bertabarruk di dekat Beliau.

Tetapi ketahuilah bahwa Ma’la adalah pekuburan di Mekah Al-Mukarramah. Disana disemayamkan Sayyidah Khadijah Al-Kubra, Imam Fudail Bin Iyadl, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, para Sahabat dan para Tabi’in.

Ditempat itu pula dimakamkan Syekh Nawawi Al-Bantani, Sayyid Alawi Bin Abbas (Guru Syaikhina Maimoen Zubair) beserta putra-nya, Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi dan para Ulama lainnya.

Tentang keutamaan Ma’la adalah sebagaimana penjelasan berikut :

وروي عنه ﷺ (أنه سأل الله تعالى عما لأهل البقيع الغرقد ؟ فقال : لهم الجنة ، فقال : ما لأهل المعلا ؟ قال : يا محمد تسألني عن جوارك ولا تسألنى عن جواري) . [عدة الإنابة فى الأماكن المستجابة ، ص ٢٤٠]


Diriwayatkan dari Baginda Rasulillah ﷺ : “Sesungguhnya Beliau bertanya kepada Allah Ta’ala tentang apa (yg akan diberikan) kepada Ahli Baqi’ al-Gharqad ? Allah Ta’ala menjawab : Mereka akan dimasukkan ke surga. Beliau ﷺ bertanya lagi : Ya Rabb, kalau bagi Ahli Ma’la apa yg akan berikan ? Allah Ta’ala menjawab : Kau bertanya tentang nasib tetanggamu (Ahli Baqi’) maka tak usahlah kau bertanya tentang tetanggaku.
[Uddatul Inabah Fil Amakin Al-Mustajabah, Sayyid Afifuddin Al-Mahjub, hal. 240]

Makna hadits di atas, jika ahli Baqi’ sebagai tetangga Baginda Rasulillah ﷺ sudah mendapat anugerah surga maka Ahli Ma’la sebagai tetangga Allah Ta’ala tentu akan mendapatkan anugrah yang baik dari Ahli Baqi’.

Surban hijau tanda makam mbah maimoen

Setelah membaca hadits nabi tentang kemuliaan Ahlul Ma’la kesedihan yg melanda hati kami sirna berubah menjadi kebahagiaan. Karena Ma’la, pekuburan dimana Syaikhina Maimoen Zubair disemayamkan merupakan Jiwarillah (tetangga Allah Ta’ala) yang penghuninya akan mendapatkan jaminan Surga.

اللهم اجعل قبره روضة من رياض الجنان


Selamat jalan Ya Syaikhona…

Bimbinglah kami pengikutmu kelak masuk ke surga.

Kami ingin berkumpul bersamamu.

Hukum Mengharapkan Mati di Tanah Suci

Kematian tidak dapat diduga kapan akan tiba, tidak ada yang mengetahui kapan ajal menjemput kita. Sebagaimana difirmankan oleh-Nya, maut tidak bisa maju, tidak pula dapat mundur. Tugas manusia adalah mempersiapkan bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan setelah mati, bukan berputus asa dengan mengharapkan kematian.

Nabi Muhammad SAW melarang umatnya mengharapkan kematian karena musibah yang menimpa. Nabi mengajarkan untuk berdoa agar diberikan hal yang terbaik, mati atau hidup, bukan dengan mengharapkan kematian.

Nabi SAW bersabda:

لا يتمنين أحدكم الموت لضر أصابه فإن كان لا بد فاعلا فليقل اللهم أحيني ما كانت الحياة خيرا لي وتوفني إذا كانت الوفاة خيرا لي


Artinya, “Sungguh janganlah kalian berharap kematian karena bahaya yang menimpa. Bila tidak bisa menghindar, maka berdoalah, ya Allah hidupkanlah aku bila kehidupan lebih baik bagiku, matikanlah aku bila kematian lebih baik bagiku,” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Dalam penjelasannya atas hadits tersebut, Syekh Muhammad bin Abdil Hadi As-Sindi berkata:

قوله : (لا يتمنينّ أحدكم الخ) أي : لأنه كالتبرّي عن قضاء الله في أمر ينفعه في آخرته


Artinya, “Sabda Nabi, sungguh janganlah kalian mengharapkan kematian, karena sesungguhnya hal tersebut seperti terbebas dari kepastian Allah dalam perkara yang bermanfaat untuk akhiratnya,” (Lihat Syekh Muhammad bin Abdil Hadi As-Sindi, Hasyiyah As-Sindi ‘alal Bukhari, juz IV, halaman 50).

Dari keterangan hadits tersebut, para pakar fiqih merumuskan bahwa mengharapkan kematian karena musibah yang menimpa hukumnya makruh.

Saat terkena cobaan, manusia tidak sepantasnya untuk berburuk sangka kepada Allah atau berputus asa, bisa jadi musibah yang menimpa merupakan sesuatu yang terbaik untuk dunia dan urusan akhiratnya, adakalanya menghapus dosa-dosa yang lalu dan mensucikan kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.

Saat Nabi menyambangi laki-laki berusia senja yang tengah mengalami sakit panas, ia bersabda, “thahurun, insya Allah” (tidak apa-apa, insya Allah sakit ini mensucikan kesalahan-kesalahan).

Namun demikian, tidak selamanya berharap kematian merupakan hal yang buruk. Mengharapkan kematian hukumnya bisa menjadi sunnah apabila karena tujuan yang baik, misalkan berharap mati syahid di jalan Allah, berharap mati di tiga kota suci (Mekah, Madinah dan Baitul Maqdis) atau karena khawatir terfitnah agamanya. Disamakan dengan anjuran berharap mati di tiga kota suci, berharap mati di tempatnya orang-orang saleh.

Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami menegaskan:

وفي المجموع يسن تمنيه ببلد شريف أي مكة أو المدينة أو بيت المقدس وينبغي أن يلحق بها محال الصالحين


Artinya, “Di dalam Kitab Al-Majmu’, sunnah mengharapkan kematian di tempat mulia, yaitu Mekah, Madinah dan Baitul Maqdis, seyogianya disamakan juga dengan tiga tempat tersebut, tempatnya orang-orang saleh,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, juz III, halaman 182).

Ada perbedaan istilah apakah berharap syahid atau mati di tempat suci termasuk mengharapkan kematian atau bukan. Menurut Syekh Sayyid Al-Bashri, mengharapkan kematian di tempat yang mulia sebenarnya bukan termasuk mengharapkan kematian, namun mengaharapkan sifat atau kondisi tertentu saat kematian tiba.

Syekh Ali Syibramalisi dan Syekh Abdul Hamid Al-Syarwani tidak menyetujui kemutlakan pendapat Syekh Sayyid Al-Bashri di atas, namun harus diperinci. Bila harapan tersebut dikhususkan dengan perjalanan atau tahun tertentu, semisal saat berihram haji atau umrah berharap mati di tanah suci dan tidak kembali ke tanah air, maka termasuk berharap kematian.

Bila harapannya dimutlakan, maka bukan termasuk berharap kematian, namun mengharapkan kondisi tertentu saat kematian tiba, seperti berdoa menjadi syahid atau berada di tanah suci saat ajal menjemput.

Dalam titik harapan yang dimutlakan ini, pada hakikatnya seperti doa-doa pada umumnya, yaitu berdoa diberi kondisi yang terbaik saat meninggal dunia. Seakan-akan ia berdoa “Bila engkau mematikanku, matikanlah aku sebagai syahid atau di kota Mekah”, sebagaimana doa yang diteladankan Nabi Yusuf “Matikanlah aku dalam keadaan Muslim dan susulah aku dengan orang-orang saleh.”

Meski demikian, ulama-ulama tersebut sepakat bahwa berharap mati di tanah suci hukumnya sunah, mereka hanya berbeda sudut pandang dalam sebuah istilah “harapan kematian.” Namun sepakat secara hukum, yaitu sunnah.

Penjelasan demikian sebagaimana keterangan referensi di bawah ini:

قوله )يسن تمنيه ببلد إلخ) بالتأمل الصادق يظهر أن تمني الشهادة وتمني الموت بمحل شريف ليس من تمني الموت بل تمني صفة أو لازم له عند عروضه بصري أقول وهذا فيما إذا تمنى ذلك وأطلق وأما إذا تمنى ما ذكر وقيده بنحو سفر أو عام مخصوص فظاهر أنه من تمني الموت


Artinya, “Ucapan Syekh Ibnu Hajar, sunah berharap kematian di tempat mulia, dengan pemikiran yang benar, tampak jelas bahwa sesungguhnya berharap mati syahid dan mati di tempat mulia bukan termasuk mengharapkan kematian, tetapi mengharapkan sifat atau kondisi yang menetapi kematian saat ia tiba, keterangan dari Syekh Sayyid Al-Bashri. Aku (Syekh Syarwani) berkomentar, yang demikian ini bila berharap kematian dan memutlakannya. Adapun bila berharap mati sebagaimana demikian dan dibatasi dengan perjalanan atau tahun tertentu, maka jelas bahwa hal tersebut termasuk berharap kematian. Keterengan dari Syekh Ali Syibramalisi.”

عبارة ع ش ولا يتأتى أن ذلك من تمني الموت إلا إذا تمناه حالا أو في وقت معين أما بدون ذلك فيمكن حمله على أن المعنى إذا توفيتني فتوفني شهيدا أو في مكة إلخ كما قيل به في الجواب عن قول سيدنا يوسف صلى الله وسلم على نبينا وعليه { توفني مسلما وألحقني بالصالحين } ا هـ .


Artinya, “Teks lengkap pernyataan Syekh Ali Syibramalisi, hal yang demikian tidak dapat masuk kategori berharap kematian kecuali berharap mati saat itu atau pada waktu tertentu. Bila tidak demikian, maka mungkin diarahkan bahwa arti dari harapan tersebut adalah, bila engkau matikan aku, maka matikanlah sebagai syahid atau di kota Mekah, dan lain-lain, seperti diucapkan dalam jawaban doanya Sayyidina Yusuf, ya Allah, matikanlah aku sebagai muslim dan susulah aku dengan orang-orang saleh,” (Lihat Syekh Abdul Hamid As-Syarwani,Hasyiyatus Syarwani ‘ala Tuhfatil Muhtaj, juz III, halaman 182).

Demikian penjelasan mengenai hukum mengharapkan mati di kota suci. Pada kesimpulannya hukumnya sunah, namun tetap harus disertai dengan semangat untuk menjaga kualitas hidup menjadi lebih baik, bukan justru menjadikannya putus asa.

Wallahu a‘lam.


Semoga bermanfaat.