Jumat, 31 Mei 2019

Keterangan kata 'Alaika


Analisis Kata “Alaika
Kosa Kata dalam Bahasa Arab memiliki makna yang sangat banyak. Demikian juga perubahan setiap katanya, derevasinya, serta memiliki sinonim (taraduf) dan antonim (tadhad) yang sangat kaya, walau menurut Ibnu Jinni tidak ada sinonim dalam Bahasa Arab, namun kekayaan kata itulah yang menjadikan bahasa Arab sangat indah.

Bahasa Arab memiliki 12.302.912 kosa kata. Bahasa Inggris 600.000 kosa kata. Sedangkan bahasa lainnya jauh di bawahnya. Maka, kurang elok, bila hanya menghakimi satu kata dengan satu makna, kecuali ada keterangan tentangnya.

Dalam Bahasa Arab satu kosa kata, bisa memiliki banyak arti. Tidak hanya kata, namun huruf yang berada dalam setiap kata memiliki konotasi yang terkait dengan lainnya, seperti “sin” yang berkonotasi kepada rahasia atau bisikan, seperti sir (rahasia), sihr (sihir, samar), sarir (ranjang, penuh rahasia), hams (bisikan), waswas (bisikan, gangguan) dan kata lainnya yang terdapat huruf “sin”.

Huruf “kha” berkonotasi dengan segala yang mengerikan, menjijikkan, ditakuti, atau tidak disukai, seperti al-khinzir (babi), al-khauf (ketakutan), al-khizyu (kehinaan), al-khalaah (pencabulan), al-khiyanah (penghianatan) dan kosa kata lainnya.

Bagaimana dengan huruf “ain” yang kemudian menjadi “‘ala” dan ditambah dhamir muttashil (bersambung) dengan huruf “ka”, menjadi “‘alaika”. Ini yang menjadi kajian analisis bahasa ke-35 karena selain ramai di media sosial beberapa jam yang lalu, sampai tulisan ini hadir pun masih hangat, yaitu doa Mustasyar PBNU KH Musthofa Bisri (Gus Mus) yang di dalamnya terdapat kata “‘alaika”.

Berasal dari doa yang dipanjatkan oleh KH Musthafa Bisri yang mendapatkan komentar ustadz Umar Hamdan Karrar adalah “Allumma ‘alaika bi Indonesia” dan beberapa redaksi lainnya yang di dalamya ada kalimat “‘alaika” adalah “‘alaika bi aimmati Indonesia” “‘alaika bi ulama Indonesia,” “‘alaika bi zu‘ama Indonesia,” “‘alaika bi sya‘bi Indonesia.”

Komentar, sanggahan, kritikan atau apalah namanya dari ustadz Umar Hamdan Karra pada kalimat “Masya Allah pinter banget orang ini ya, sampai Indonesia didoakan ‘Allumma ‘alaika bi Indonesia,’ Hei.. Tau nggak anda apa arti doa itu? Arti doa itu ‘Ya Allah, Hancurkan lah Indonesia,’ sanggahan inilah yang kemudian mendapatkan respon dari berbagai netizen dan menjadi viral saat ini.

Mari kita coba analisa dari huruf pertamanya “‘ain”. “‘Ain” adalah huruf ke-18 dari huruf Hijaiyah yang berada di tenggorokan. Huruf ini disebutkan dua kali dalam Al-Qur’an, yaitu “‘Ain sin qaf,” dan “kaf ha ya ‘ain shad.” Sedangkan yang bersambung dengan huruf lain sangat banyak.

Huruf ini berkonotasi dengan sesuatu yang tinggi, kemuliaan, dan keagungan; ‘ali (tinggi), ‘alam (semesta), ‘alim (pintar, alim), dan lainnya. Ada 19 kata “‘alaikum” dalam Al-Qur’an, 9 “‘alaihim dan hi,” dan terdapat 17 kata “‘alaina.” Hasil pencarian penulis dilakukan dengan menggunkan Al-Bahits fil Qur’an.

Bila huruf “ ‘ain” bersambung dengan huruf “la dan alif”, “‘ala” (عَلى), maka memiliki beberapa makna, yaitu; 1) al-isti’la’ (الاستعلاء), yang bermakna di atas, 2) al-mushahabah, yang bermakna bersama, menemani (ma‘a), 3) al-mujawazah, yang bermakna melampaui, melebihi, atau bermakna “‘an”, 4) at-ta’lil, yang bermakna penjelasan atau bermakna “alif lam, li”, 5) ad-dharfiyah, yang bermakna kondisi, situasi, tempat atau bermakna “fi”, 6) al-muwafaqah, bermakna “min”, 7) muwafaqah ba’, 8) al-istidrak, 9) kadang sebagai tambahan (zaidah), dan selain makna di atas, ada beberapa ulama yang memberikan arti lain.

Makna huruf “‘ala” saja memiliki arti yang berbeda-beda. Bagaimana jika huruf jarr “‘ala” tersebut disambung dengan dhamir muttashil “ka”/kamu, menjadi “‘alaika” (عليك. Maka dengan kata ini “‘alaika” memiliki makna yang berbeda pula.

“‘Alaika bi” dalam Mu’jamul ‘Ain, dalam Kamus Ma’ani, dan beberapa kamus lainnya, adalah ism fi’il amar (kata benda yang bermakna perintah) yaitu bermakna “ilzam” (keharusan, kewajiban; seharusnya!), “istamsik” (berpegang teguhlan, peganglah dengan erat, teguhkan), terkadang bermakna “khudz” (ambillah).

Contoh yang bermakna “ilzam” عليك بتقوى الله (‘alaika bi taqwallah, seharusnya engkau bertaqwa kepada Allah), عليك بالصبر (‘alaika bis shabri, engkau harus sabar), عليك بالاجتهاد (‘alaika bil ijtihad, engkau harus bersungguh-sungguh!). Contoh yang bermakna “khudz” عليك به (‘alaika bihi, ambillah!), dan juga ada yang bermakna “tidak apa-apa, tidak masalah” seperti “la ‘alaika.”

Asal kata ini dari “‘ala” yang bermakna tinggi, dan sesuatu yang tinggi itu memiliki kekuasaan dan penguasaan, maka Allah disebut Rabbul a‘la, Tuhan yang maha tinggi. Kepada yang berada di bawahnya, ia menyuruh atau memerintah (amar), tapi bila ke atas disebut “memohon”, atau doa seperti “’alaikum bis shiyam,” wajib bagi kalian berpuasa karena itu perintah dari Yang Maha Tinggi kepada hamba.

Adapun, bila dari bawahan atau lebih rendah, dan menggunakan “alaika”, maka ia bermakna sebuah harapan besar, seperti “‘alaika an ta’khudzani ‘ala baitik,” Aku benar-benar mengharap kau bawa aku ke rumahmu. Kalau seorang bapak menyuruh anaknya, “alaika bi muraja’ati durusik,” kau harus mempelajari kembali pelajaranmu!

Mari kita melirik sedikit di Mu’jam Mukhtar As-Shahah; “‘alaika; ‘alaika Zaidan” (ambillah). ‘Ala adalah huruf khafid. Terkadang ia adalah “ism, fil'i, dan hurf”. (علا) alifnya diganti ya, menjadi “‘alaika” atau “‘alaihi”. Sebagian orang Arab tetap menggunakan alif tersebut; علاك و علاه.

Dari beberapa makna “‘alaika” di atas, penulis tidak menemukan yang bermakna “hancurkan” sebagai redaksi Ustadz Umar Hamdan Karrar “Ya Allah, Hancurkan lah Indonesia”, kecuali redaksi tersebut terkait dan berhubungan dengan redaksi yang lainnya, misalnya “‘alaika an tudammira Indonesia”, Hancurkan Indonesia. Namun, bila hanya “‘alaika”, lebih banyak yang bermakna “ilzam, istamsik,” tidak ada khusus yang bermakna “inhar, inkisar, tafakkuk”, hancur.

Dengan demikian, persepsi Ustadz Umar Hamdan Karrar tersebut sangat dipaksakan, dan tidak sesuai dengan berbagai kaidah Bahasa Arab. Selain dipaksakan, juga tidak ada makna yang sesuai dengan beberapa kamus Bahasa Arab.

Namun demikian, kata “‘alaika” bisa memiliki makna berbeda sesuai dengan konteksnya. Sedangkan konteks dan redaksi doa yang dipanjatkan oleh Gus Mus tidak sedikit pun mengarah kepada harapan agar Indonesia hancur. Gus Mus memulai doanya dengan harapan agar para rakyat (kita sedoyo) dan para pemimpin di Indonesia mendapatkan taufiq dan hidayah dari Allah, kemudian kalimat “Allumma ‘alaika bi Indonesia Ya Allah” dan beberapa setelahnya; “‘alaika bi aimmati Indonesia,” “‘alaika bi ulama’i Indonesia,” “‘alaika bi zu’ama Indonesia,” “‘alaika bi Sya’bi Indonesia,” “Ya Ilahana, ya Karim.”

Dari siyaq (konteks) doa tersebut, sangat jauh bila diartikan dengan “hancurkan Indonesia” karena dari permulaan doa, kemudian “‘alaika” dan setelahnya “Ya Karim” tidak ada sedikit pun ditemukan redaksi yang bermakna “inkisar” dan lainnya.

Kajian konteks ini bisa dibaca dalam Ilmu Dalalah. Pemilihan diksi “‘alaika” memiliki arti yang bermacam-macam sesuai konteksnya. “‘alaika bi dzatid din,” pilihlah yang agamis. “‘Alaikumus salam,” Mudah-mudahan kau mendapatkan keselamatan, dan lainnya.

Maka, dapat belajar dari kata “‘alaika” yang berasal dari “‘ala, tinggi, atas”, dan “ka, kamu”, untuk menjadi “aly”, banyak belajar “ilmu” dengan ‘ain kasrah, akan menjadi “alim” menjadi fathah. Suatu saat “‘alaika bi ilm,” kamu harus tahu, maka “takun ‘aliman,” kamu akan menjadi alim.

Mudah-mudahan serpihan di atas bermanfaat. Mudah-mudahan setiap kalimat yang tertulis diridhai Allah. Harapan penulis, umat Islam selalu rukun, hormat kepada ulama. Bila terdapat redaksi yang tidak sesuai, kaji dengan baik, dan gunakan bahasa yang baik.


Tokoh NU Yg Kau Politisasi DoaNya.....TUMAN

Baru DiviralKan Lgsung Dihapus PostinganNya,Sahabat Nusantara Bukti Screnshot Di elak Keluarlah SURAT CINTA, HarusNya Langsung Ke Marwah NU, Tokoh NU Yg Kau Politisasi DoaNya.....TUMAN

SebenarNya Umar Hamdan Karrar Memposting tanpa pikir pikir dan tanpa Tabayyun kepada Al-Allamah KH. Mustofa Bisri. Langsung Fonis aja, menunjukkan bahwa Umar kurang berbobot dalam keilmuannya. Setidaknya Dia melihat dulu dalam kitab kitab Nahwu ma'na dari

عليكم

Bagaimana dalam teks Yang ini.

عليكم بالسنة والجماعة

Tetaplah kalian Dengan Golongan Aswaja

Versi Umar Karrar begini.
(Mari Hancurkan Lah Golongan Ahlissunah waljamaah)

Rusak Kalau ilmu Umar karrar ini dipraktekkan.
________________
Alaika dalam doa Gus Mus itu artinya kokohkan lah kuatkanlah Bangsa kami indonesia.

اللهم عليك بشعبنا اندونيسيا

Bukan dengan ma'na Ahlik (hancurkan), sebagimana status Umar hamdan.

Tidak apalah, Kebodohan mereka semua akan dipertontonkan oleh Allah Swt.
Ada yg membuat ayat lebih seperti Sugik.
Ada yg gak bisa Tasrif ada yang tak bisa Nahwu, ada yg tak tau bedanya Mufrod dan jama'.
______________

Semoga Umar Hamdan Karrar bisa menunjukkan sifat alimnya dan Menunjukkan kelakiannya sebagai Watak Madura dengan meminta Maaf bahwa dia salah dalam mengkritisi KH. Mustofa Bisri.

Salam Waras !!

Semoga bermanfaat.

Selasa, 28 Mei 2019

15 bidang ilmu yang harus dikuasai untuk menafsirkan Al Qur'an

SEBELUM MENAFSIRKAN AL-QURAN, KUASAI DULU 15 BIDANG ILMU
Sebelum anda ingin menafsirkan Al-Quran, berikut 15 bidang ilmu yang harus dikuasai:

1. Ilmu Lughat (filologi), yaitu ilmu untuk mengetahui arti setiap kata al Quran. Mujahid rah.a. berkata, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka tidak layak baginya berkomentar tentang ayat2 al Quran tanpa mengetahui ilmu lughat. Sedikit pengetahuan tentang lughat tidaklah cukup karena kadangkala satu kata mengandung berbagai arti. Jika mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Bisa jadi kata itu mempunyai arti dan maksud yg berbeda.

2. Ilmu Nahwu (tata bahasa), Sangat penting mengetahui ilmu Nahwu, karena sedikit saja I’rab (bacaan akhir kata) berubah akan mengubah arti perkataan itu. Sedangkan pengetahuan tentang I’rab hanya didapat dlm ilmu Nahwu.

3. Ilmu Sharaf (perubahan bentuk kata), Mengetahui Ilmu sharaf sangat penting, karena perubahan sedikit bentuk suatu kata akan mengubah maknanya. Ibnu Faris berkata, “Jika seseorang tidak mempunyai ilmu sharaf, berarti ia telah kehilangan banyak hal.” Dalam Ujubatut Tafsir, Syaikh Zamakhsyari rah.a. menulis bahwa ada seseorang yang menerjemahkan ayat al Quran yg berbunyi:
“(Ingatlah) pada suatu hari (yang pada hari itu) kami panggil setiap umat dengan pemimpinya. “(Qs. Al Isra [17]:71)

يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ ۖ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولَٰئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا

(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.(Qs. Al Isra [17]:71).

Karena ketidaktahuannya tentang ilmu sharaf, ia menerjemahkan ayat itu seperti ini:“pada hari ketika manusia dipanggil dengan ibu2 mereka.” Ia mengira bahwa kata ‘imaam’ (pemimpin) yg merupakan bentuk mufrad (tunggal) adalah bentuk jamak dari kata ‘um’ (ibu). Jika ia memahami ilmu sharaf, tidak mungkin akan mengartikan ‘imaam’ sebagai ibu-ibu.

4. Imu Isytiqaq (akar kata, Mengetahui ilmu isytiqaq sangatlah penting. Dengan ilmu ini dapat diketahui asal-usul kata. Ada beberapa kata yg berasal dari dua kata yg berbeda, sehingga berbeda makna. Seperti kata ‘masih’ berasal dari kata ‘masah’ yg artinya menyentuh atau menggerakkan tangan yg basah ke atas suatu benda, atau juga berasal dari kata ‘masahat’ yg berarti ukuran.

5. Ilmu Ma’ani, Ilmu ini sangat penting di ketahui, karena dgn ilmu ini susunan kalimat dapat di ketahui dgn melihat maknanya.

6. Ilmu Bayaan, Yaitu ilmu yg mempelajari makna kata yg zhahir dan yg tersembunyi, juga mempelajari kiasan serta permisalan kata.

7. Ilmu Badi’, yakni ilmu yg mempelajari keindahan bahasa. Ketiga bidang ilmu di atas juga di sebut sebagai cabang ilmu balaghah yg sangat penting dimiliki oleh para ahli tafsir. Al Quran adalah mukjizat yg agung, maka dgn ilmu2 di atas, kemukjizatan al Quran dapat di ketahui.

8. Ilmu Qira’at, Ilmu ini sangat penting dipelajari, karena perbedaan bacaan dapat mengubah makna ayat. Ilmu ini membantu menentukan makna paling tepat di antara makna-makna suatu kata.

9. Ilmu Aqa’id, Ilmu yang sangat penting di pelajari ini mempelajari dasar2 keimanan, kadangkala ada satu ayat yg arti zhahirnya tidak mungkin diperuntukkan bagi Allah swt. Untuk memahaminya diperlukan takwil ayat itu, seperti ayat:

 يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ

“Tangan Allah di atas tangan mereka.” (Qs. Al Faht 48]:10)
Ahli tafsir mentafsiri makna tersebut, "Kekuasaan Allah di atas tangan mereka.

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Kekuasaan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (Qs. Al Faht 48]:10)
10. Ushul Fiqih, Mempelajari ilmu ushul fiqih sangat penting, karena dengan ilmu ini kita dapat mengambil dalil dan menggali hukum dari suatu ayat.

11. Ilmu Asbabun-Nuzul, Yaitu ilmu untuk mengetahui sebab2 turunnya ayat al Quran. Dengan mengetahui sebab2 turunnya, maka maksud suatu ayat mudah di pahami. Karena kadangkala maksud suatu ayat itu bergantung pada asbabun nuzul-nya.

12. Ilmu Nasikh Mansukh, Dengan ilmu ini dapat dipelajari suatu hokum uang sudah di hapus dan hokum yg masih tetap berlaku.

13. Ilmu Fiqih, Ilmu ini sangat penting dipelajari. Dengan menguasai hukum2 yg rinci akan mudah mengetahui hukum global.

14. Ilmu Hadist, Ilmu untuk mengetahui hadits2 yg menafsirkan ayat-ayat al Quran.

15. Ilmu Wahbi, Ilmu khusus yang di berikan Allah kepada hamba-nya yg istimewa, sebagaimana sabda Nabi Saw..,,
“Barangsiapa mengamalkan apa yg ia ketahui, maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu yg tidak ia ketahui.”

Juga sebagaimana disebutkan dalam riwayat, bahwa Ali r.a. pernah ditanya oleh seseorang, “Apakah rasulullah telah memberimu suatu ilmu atau nasihat khusus yang tidak di berikan kepada orang lain?” Maka ia menjawab, “Demi Allah, demi Yang menciptakan Surga dan jiwa. Aku tidak memiliki sesuatu yang khusus kecuali pemahaman al Quran yang Allah berikan kepada hamba-Nya.” Ibnu Abi Dunya berkata, “Ilmu al Quran dan pengetahuan yang didapat darinya seperti lautan yang tak bertepi.
Ilmu2 yg telah diterangkan di atas adalah alat bagi para mufassir al Quran. Seseorang yg tidak memiliki ilmu2 tersebut lalu menfsirkan al Quran, berarti ia telah menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, yang larangannya telah di sebutkan dalam banyak hadist. Para sahabat telah memperoleh ilmu bahasa Arab secara turun temurun, dan ilmu lainnya mereka dapatkan melalui cahaya Nubuwwah.

Iman Suyuthi rah.a. berkata, “Mungkin kalian berpendapat bahwa ilmu Wahbi itu berada di luar kemampuan manusia. Padahal tidak demikian, karena Allah sendiri telah menunjukkan caranya, misalnya dgn mengamalkan ilmu yg dimiliki dan tidak mencintai dunia.”
Tertulis dalam Kimia’us Sa’aadah bahwa ada tiga orang yang tidak akan mampu menafsirkan al Quran:
(1) Orang yg tidak memahami bahasa Arab.
(2) Orang yg berbuat dosa besar, karena perbuatan itu akan membuat hatinya menjadi gelap dan menutupi pemahamannya terhadap al Quran.
(3) Orang yg dalam aqidahnya hanya mengakui makna zhahir nash. Jika ia membaca ayat-ayat al Quran yg tidak sesuai dengan pikirannya (logikanya), maka ia akan gelisah. Orang seperti ini tidak akan mampu memahami al Quran dengan benar.
Wallohu a’lam.

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ


Semoga bermanfaat.

Selasa, 21 Mei 2019

Perbedaan huruf dlod dan dho'

MANUSIA PERTAMA YANG MENGUPAS PENAMAAN HURUF DHO' (ظ)

Dengan penambahan alif di atas nya : ظ

Dengan tanpa penambahan : ض

Artinya Menghindari : حظر

Artinya Hadir : حضر

 

ولعل اغرب تلك الضوابط قولهم الظاء المشالة التي يقال لها ايضا الظاء المعجمة ولم اجد من علل هذه التسمية الا الخفاجي في مقدمة شفاء الغليل ص 7 إذ يقول تسمى مشالة لرفع خطها باﻷلف فرق بينهما وبين الضاد من شال بمعنى ارتفع

كناشة للشيخ عبد السلام محمد هارون دار الطلائع ص 47


Huruf dho' dengan satu titik diatasnya juga disebut dengan dho' musyalah

Pengarang kitab ini berkata "aku belum pernah menjumpai orang yang mengupas penamaan huruf dho' kecuali imam khofaji"sebagaimana penjelasan yang tertuang di dalam kitab (Syifaul gholil hal 7)

Huruf dho' dinamakan musyalah karna memgangkat (lidahnya saat mengucapkan) penulisanya dengan penambahan Alif karna untuk membedakannya dengan huruf dlod

Reff : KUNNASYAH Hal 47


Semoga bermanfaat.

Senin, 20 Mei 2019

PEOPLE POWER: SIASAT MENOLAK KEKALAHAN

Berikut ini Kajian :
IKHTIYAR MENGGAGALKAN MAKAR
*Keputusan Bahtsul Masail Kebangsaan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur tentang Hukum Menolak Hasil Pemilu dengan Dalih Kedaulatan Rakyat*
SK: 209/PW/A-II/L/V/2019
*****

*A. Deskripsi Masalah*
Eskalasi politik jelang pengumuman hasil pemilu 22 Mei 2019 terus meningkat. Narasi-narasi mendelegitimasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai institusi resmi negara penyelenggara pemilu terus dikembangkan. Berbagai provokasi berdalih people power atau kedaulatan rakyat, bahkan revolusi berapapun korbannya, dan tindakan inkonstitusional lain pun bermunculan demi menolak hasil pemilu. Sementara pengerahan massa dalam jumlah besar ke Ibu Kota untuk melakukan aksi demo tolak hasil pemilu pun terus dilakukan.
Di ruang lain, deretan penangkapan terhadap sel-sel teroris yang di antaranya telah berencana melakukan amaliah teror di tengah demo tolak hasil pemilu 22 Mei menjadi alarm kewaspadaan keamanan dari aparat. Dalam kondisi demikian, di satu sisi penyampaian pendapat di muka umum dijamin oleh undang-undang, sementara di sisi lain stabilitas politik dan keamanan nasional menjadi taruhan.
Karenanya, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur terpanggil mengkaji permasalahan di atas sebagai wujud tanggung jawab amanah wathaniyah demi terjaganya stabilitas politik dan keamanan nasional, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
*B. Pertanyaan*
1. Dalam perspektif fikih, bolehkah menolak hasil pemilihan umum dengan menyebarkan narasi yang mendelegitimasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan hasil pemilu, provokasi berdalih people power atau kedaulatan rakyat, provokasi revolusi, dan tindakan inkonstitusional lain?
2. Apakah menolak hasil pemilu dengan pengerahan massa dengan dalih gerakan kedaulatan rakyat dapat dibenarkan?
3. Bagaimana sikap terbaik dalam menghadapi provokasi gerakan mobilisasi massa untuk menolak hasil pemilu sebagaimana deskripsi masalah di atas?
*C. Jawaban*
1. Tidak diperbolehkan, karena dalam penolakan hasil pemilu tersebut terdapat tujuan, tindakan atau dampak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan atau syariat.
2. Tidak dibenarkan, karena tindakan tersebut dapat mengarah pada tindakan makar, menyulut terjadinya konfik sosial, perang saudara, dan mengacaukan keamanan nasional.
3. Menahan diri dan mengajak masyarakat untuk tidak terprovokasi oleh gerakan tersebut, serta mendukung penuh aparat keamanan untuk mengambil tindakan tegas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
*D. Referensi*
1. Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا الله وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ (النساء : 59)

إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ (البروج : 10)

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (الحجرات: 9)

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (المائدة: 33)

2. Al-Hadits:
حدثنا ( مسدد ) عن ( عبد الوارث ) عن ( الجعد ) عن ( أبي رجاء ) عن ( ابن عباس ) عن النبي قال من كره من أميره شيئا فليصبر فإنه من خرج من السلطان شبرا مات ميتة جاهلية

الفتنة نائمة لعن الله من أيقظها (رواه الرافعى عن أنس)

وَحَدَّثَنِى أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِىُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ جَمِيعًا عَنْ مُعَاذٍ - وَاللَّفْظُ لأَبِى غَسَّانَ - حَدَّثَنَا مُعَاذٌ - وَهُوَ ابْنُ هِشَامٍ الدَّسْتَوَائِىُّ - حَدَّثَنِى أَبِى عَنْ قَتَادَةَ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ عَنْ ضَبَّةَ بْنِ مِحْصَنٍ الْعَنَزِىِّ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ « لاَ مَا صَلَّوْا ». أَىْ مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ وَأَنْكَرَ بِقَلْبِهِ. (رواه مسلم)

من كانت عنده نصيحة لذي سلطان فلا يكلمه بها علانية وليأخذ بيده و ليخل به فإن قبلها قبلها و إلا كان قد أدى الذي عليه و الذي له. (رواه الحاكم)

3. At-Turats:
بغية المسترشدين (ص: 189)
(مسألة : ك) : يجب امتثال أمر الإمام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر ، فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه في مصارفه ، وإن كان المأمور به مباحاً أو مكروهاً أو حراماً لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله (م ر) وتردد فيه في التحفة ، ثم مال إلى الوجوب في كل ما أمر به الإمام ولو محرماً لكن ظاهراً فقط ، وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهراً وباطناً وإلا فظاهراً فقط أيضاً ، والعبرة في المندوب والمباح بعقيدة المأمور ، ومعنى قولهم ظاهراً أنه لا يأثم بعدم الامتثال ، ومعنى باطناً أنه يأثم اهـ. قلت : وقال ش ق : والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهراً وباطناً مما ليس بحرام أو مكروه ، فالواجب يتأكد ، والمندوب يجب ، وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوي الهيئات ، وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادي بعدم شرب الناس له في الأسواق والقهاوي ، فخالفوه وشربوا فهم العصاة ، ويحرم شربه الآن امتثالاً لأمره ، ولو أمر الإمام بشيء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب اهـ.

التشريع الجنائي في الإسلام (1/ 198، بترقيم الشاملة آليا)
مركز القوانين واللوائح والقرارات من التشريع الإسلامي: تعتبر القوانين والقرارات واللوائح مكملة للتشريع الإسلامي؛ لأن الشريعة تعطي لأولي الأمر حق التشريع فيما يمس مصلحة الأفراد ومصلحة الجماعة، وقيما يعود على الأفرادوالجماعة بالنفع، فللسلطة التشريعية في أي بلد إسلامي أن تعاقب على أي فعل مباح إذا اقتضت المصلحة العامة ذلك، ولها أن تعفو عن الجريمة أو عن العقوبة إذا كانت الجريمة من جرائم التعازير واقتضت المصلحة العامة العفو عن الجريمة، أو العفو عن العقوبة كلها أو بعضها، ولها أن تضيق من سلطان القاضي في أي جريمة من جرائم التعازير وأن تتركه واسعاً ما دامت المصلحة العامة تقتضي هذا. والقوانين والقرارات واللوائح التي تصدرها السلطة التشريعية تكون نافذة واجبة الطاعة شرعاً، وبشرط أن لا يكون فيها ما يخالف نصوص الشريعة الصريحة أو يخرج على مبادئها العامة وروح التشريع فيها، وإلا فهي باطلة بطلاناً مطلقاً، كما سنبين فيما بعد عند الكلام على النسخ.

غاية البيان، ج 1 ص 27:
يحرم الخروج على ولي الأمر وقتاله باجماع المسلمين لما يترتب على ذلك من فتن وإراقة الدماء وفساد ذات البين فتكون المفسدة في عزله أكثر منها في بقائه ولأننا تحت طاعته في أمره ونهيه ما لم يخالف حكم الشرع وإن كان جائرا.

الفقه الاسلامي وأدلته، ج 8 ص 313:
وإذا أخطأ الحاكم خطأ غير أساسي لا يمس أصول الشريعة وجب على الرعية تقديم النصح له باللين والحكمة والموعظة الحسنة، قال عليه الصلاة والسلام: الدين النصيحة قلنا: لمن يا رسول الله ؟ قال: لله ولرسوله ولكتابه ولأئمة المسلمين وعامتهم. وقد حض رسول الله صلّى الله عليه وسلم على إسداء النصح والمجاهرة بقول الحق، فقال: أفضل الجهاد: كلمة حق عند سلطان جائر. من رأى منكم منكراً فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان .فإن لم ينتصح وجب الصبر لقوله عليه السلام: من رأى من أميره شيئاً، فكره فليصبر، فإنه ليس أحد يفارق الجماعة شبراً، فيموت إلا مات ميتة جاهلية. ولكن لا تجب الطاعة عند ظهور معصية تتنافى مع تعاليم الإسلام القطعية الثابتة، لقوله عليه الصلاة والسلام: لا طاعة لأحد في معصية الله ، إنما الطاعة في المعروف. لا طاعة لمن لم يطع الله.

إسعاد الرفيق الجزء الثانى صحـ 93 ... مكتبة " الهداية " سورابيا
ومنها كل قول يحث أحدا من الخلق على نحو فعل أو قول شىء أو استماع إلى شىء محرم فى الشرع ولو غير مجمع على حرمته أو على ما يفتره عن نحو فعل أو قول واجب عليه أو عن استماع إلى واجب الشرع كأن ينشطه لضرب مسلم أو سبه -إلى أن قال- ومنها كل كلام يقدح أى يؤدى إلى قدح أى ذم فى الدين أو فى أحد من المرسلين أو من الأنبياء عليهم الصلاة والسلام أو فى أحد من الصحابة والتابعين وتابعيهم أو فى أحد من العلماء إذ يجب علينا تعظيمهم والقيام بحقوقهم وقد تقدم أن بعض العلماء كفر من صغر عمامة العالم كأن قال عميمة فلان

بريقة محمودية في شرح طريقة محمدية وشريعة نبوية في سيرة أحمدية (3/ 123)
(الثامن والأربعون الفتنة وهي إيقاع الناس في الاضطراب أو الاختلال والاختلاف والمحنة والبلاء بلا فائدة دينية)
وهو حرام لأنه فساد في الأرض وإضرار بالمسلمين وزيغ وإلحاد في الدين كما قال الله تعالى {إن الذين فتنوا المؤمنين والمؤمنات} [البروج: 10] الآية وقال - صلى الله تعالى عليه وسلم - «الفتنة نائمة لعن الله من أيقظها» قال المناوي الفتنة كل ما يشق على الإنسان وكل ما يبتلي الله به عباده وعن ابن القيم الفتنة قسمان فتنة الشبهات وفتنة الشهوات وقد يجتمعان في العبد وقد ينفردان (كأن يغري) من الإغراء (الناس على البغي) من الباغي فقوله (والخروج على السلطان) عطف تفسير لأن الخروج عليه لا يجوز وكذا اعزلوه ولو ظالما لكونه فتنة أشد من القتل وكذا المعاونة لقوم مظلومين من جهته إذا أرادوا الخروج عليه وكذا المعاونة له في هذه الصورة لكونه إعانة على الظلم كما في الحاشية لعل هذا من قبيل الأخذ بأخف الضررين عند تعارضهما إذ الخروج على السلطان الظالم لظلمه يفضي إلى سفك دماء كثيرة من الطرفين ومحاربات ومقاتلات أكثر ضررا من ظلم السلطان

الأدب النبوي - : محمد عبد العزيز بن علي الشاذلي الخَوْلي المتوفى: 1349هـ (ص: 97)
أولو الأمر:هم الذين وكل إليهم القيام بالشؤون العامة. والمصالح المهمة.فيدخل فيهم كل من ولي أمرا من أمور المسلمين: من ملك ووزير. ورئيس ومدير.ومأمور وعمدة. وقاض ونائب وضابط وجندي وقد أوجب الرسول صلى الله عليه وسلم على كل مسلم السمع لأوامر هؤلاء. والمبادرة إلى تنفيذها. سواآ كانت محبوبة له. أم بغيضة إليه وَعَسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ

الإقناع في حل ألفاظ أبي شجاع (2/ 548)
(و) الثالث (أن يكون لهم) في خروجهم عن طاعة الإمام (تأويل سائغ) أي محتمل من الكتاب أو السنة ليستندوا إليه لأن من خالف بغير تأويل كان معاندا للحق. تنبيه يشترط في التأويل أن يكون فاسدا لا يقطع بفساده بل يعتقدون به جواز الخروج كتأويل الخارجين من أهل الجمل وصفين على علي رضي الله تعالى عنه بأنه يعرف قتلة عثمان رضي الله تعالى عنه ولا يقتص منهم لمواطأته إياهم وتأويل بعض مانعي الزكاة من أبي بكر رضي الله تعالى عنه بأنهم لا يدفعون الزكاة إلا لمن صلاته سكن لهم أي دعاؤه رحمة لهم وهو النبي صلى الله عليه وسلم فمن فقدت فيه الشروط المذكورة بأن خرجوا بلا تأويل كمانعي حق الشرع كالزكاة عنادا أو بتأويل يقطع ببطلانه كتأويل المرتدين أو لم تكن لهم شوكة بأن كانوا أفرادا يسهل الظفر بهم أو ليس فيهم مطاع فليسوا بغاة لانتقاء حرمتهم فيترتب على أفعالهم مقتضاها على تفصيل في ذي الشوكة يعلم مما يأتي حتى لو تأولوا بلا شوكة وأتلفوا شيئا ضمنوه مطلقا كقاطع الطريق

الكواكب اللماعة، 13:
ثمّ لمّا صارت إلى علي كرّم الله وجهه اشتدّ ظهورا فحينئذ تفرّق النّاس واختلف أراؤهم وتشعّبت أهواؤهم وخرجت طائفة من طاعة ونصبوا له راية الخلاف وناجزوه بالقتال فسمّي هؤلاء بالخوارج ويبقى هذا الإسم لمن سلك مسلكهم ورأى رأيهم. (قوله ويبقى هذا الإسم لمن سلك مسلكهم ورأى رأيهم)فكلّ من خرج على الإمام الحق الذي اتفقت الجماعة عليه يسمى خارجيا سواء كان الخروج في أيام الصحابة على الأئمّة الراشدين أو كان بعدهم على التابعين بإحسان والأئمّة في كلّ زمان. هذا هو معنى الخارجي في الأصل ولكن غلب في عرف أهل العلم استعمال لفظ الخوارج في هؤلاء الطوائف الذين خرجوا أيام الصحابة والتابعين وتابعيهم لأنهم الذين لهم مذاهب في الأمور الإعتقادية والفقهية.
الآدب الشرعية، ج 1 ص 221:

قال حنبل : اجتمع فقهاء بغداد في ولاية الواثق إلى أبي عبد الله وقالوا له : إن الأمر قد تفاقم وفشا يعنون إظهار القول بخلق القرآن وغير ذلك ولا نرضى بإمرته ولا سلطانه ، فناظرهم في ذلك وقال عليكم بالإنكار بقلوبكم ولا تخلعوا يدا من طاعة ولا تشقوا عصا المسلمين ، ولا تسفكوا دماءكم ودماء المسلمين معكم ، وانظروا في عاقبة أمركم ، واصبروا حتى يستريح بر أو يستراح من فاجر وقال ليس هذا صواب ، هذا خلاف الآثار .

التشريع الجنائي في الإسلام (4/ 245، بترقيم الشاملة آليا)
ومع أن العدالة شرط من شروط الإمامة إلا أن الرأى الراجح فى المذاهب الأربعة ومذهب الشيعة الزيدية هو تحريم الخروج على الإمام الفاسق الفاجر ولو كان الخروج للأمر بالمعروف والنهى عن المنكر؛ لأن الخروج على الإمام يؤدى عادة إلى ما هو أنكر مما فيه وبهذا يمتنع النهى عن المنكر لأن من شرطه أن لا يؤدى الإنكار إلى ما هو أنكر من ذلك, إلى الفتن وسفك الدماء وبث الفساد واضطراب البلاد وإضلال العباد وتوهين الأمن وهدم النظام. وإذا كانت القاعدة أن للأمة خلع الإمام وعزلة بسبب يوجبه كالفسق إلا أنهم يرون أن لا يعزل إذا استلزم العزل الفتنة. أما الرأى المرجوح فيرى أصحابه أن للأمة خلع وعزل الإمام بسبب يوجبه وأنه ينعزل بالفسق والظلم وتعطيل الحقوق, فإذا وجد من الإمام ما يوجب اختلال أموال المسلمين وانتكاس أمور الدين كان للأمة خلعه كما كان لهم تنصيبه لانتظام شئون الأمة وإعلائها, ويرى بعض هذا الفريق انه إذا أدى الخلع لفتنة احتمل أدنى الضررين

الأحكام السلطانية للماوردي (ص: 40)
والذي يلزمه من الأمور العامة عشرة أشياء: أحدها: حفظ الدين على أصوله المستقرة، وما أجمع عليه سلف الأمة، فإن نجم مبتدع أو زاغ ذو شبهة عنه، أوضح له الحجة، وبين له الصواب، وأخذه بما يلزمه من الحقوق والحدود؛ ليكون الدين محروسا من خلل، والأمة ممنوعة من زلل. الثاني: تنفيذ الأحكام بين المتشاجرين، وقطع الخصام بين المتنازعين حتى تعم النصفة، فلا يتعدى ظالم، ولا يضعف مظلوم.الثالث: حماية البيضة والذب عن الحريم؛ ليتصرف الناس في المعايش، وينتشروا في الأسفار آمنين من تغرير بنفس أو مال.

عمدة القاري شرح صحيح البخاري (35/ 108، بترقيم الشاملة آليا)
7053 - حدثنا ( مسدد ) عن ( عبد الوارث ) عن ( الجعد ) عن ( أبي رجاء ) عن ( ابن عباس ) عن النبي قال من كره من أميره شيئا فليصبر فإنه من خرج من السلطان شبرا مات ميتة جاهلية.
قوله من خرج من السلطان أي من طاعته قوله فليصبر يعني فليصبر على ذلك المكروه ولا يخرج عن طاعته لأن في ذلك حقن الدماء وتسكين الفتنة إلا أن يكفر الإمام ويظهر خلاف دعوة الإسلام فلا طاعة لمخلوق عليه وفيه دليل على أن السلطان لا ينعزل بالفسق والظلم ولا تجوز منازعته في السلطنة بذلك قوله شبرا أي قدر شبر وهو كناية عن خروجه ولو كان بأدنى شيء قال بعضهم شبرا كناية عن معصية السلطان ومحاربته وقال صاحب التوضيح شبرا يعني في الفتنة التي يكون فيها بعض المكروه قلت في كل من التفسيرين بعد والأوجه ما ذكرناه قوله مات ميتة بكسر الميم كالجلسة لأن باب فعلة بالكسر للحالة وبالفتح للمرة قوله جاهلية أي كموت أهل الجاهلية حيث لم يعرفوا إماما مطاعا وليس المراد أنه يموت كافرا بل أنه يموت عاصيا

حاشية الجمل على شرح المنهج = فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب (5/ 182)

(قوله وبأمر بمعروف) ولا يشترط في الأمر بالمعروف العدالة بل قال الإمام وعلى متعاطي الكأس أن ينكر على الجلاس وقال الغزالي يجب على من غصب امرأة على الزنا أن يأمرها بستر وجهها عنه اهـ ز ي اهـ ع ش (قوله ونهي عن منكر) والإنكار يكون باليد فإن عجز فباللسان فعليه أن يغيره بكل وجه أمكنه ولا يكفي الوعظ لمن أمكنه إزالته باليد ولا كراهة القلب لمن قدر على النهي باللسان ويستعين عليه بغيره إذا لم يخف فتنة من إظهار سلاح وحرب ولم يمكنه الاستقلال فإن عجز عنه رفع ذلك إلى الوالي فإن عجز عنه أنكره بقلبه اهـ من الروض وشرحه (قوله إذا لم يخف على نفسه وماله إلخ) عبارة شرح م ر وشرط وجوب الأمر بالمعروف أن يأمن على نفسه وعضوه وماله وإن قل كما شمله كلامهم بل وعرضه كما هو ظاهر وعلى غيره بأن يخاف عليه مفسدة أكثر من مفسدة المنكر الواقع ويحرم مع الخوف على الغير ويسن مع الخوف على النفس والنهي عن الإلقاء باليد إلى التهلكة مخصوص بغير الجهاد ونحوه كمكره على فعل حرام غير زنا وقتل وأن يأمن أيضا أن المنكر عليه لا يقطع نفقته وهو محتاج إليها ولا يزيد عنادا ولا ينتقل إلى ما هو أفحش وسواء في لزوم الإنكار أظن أن المأمور يمتثل أم لا انتهت


Diputuskan di : Surabaya
Pada tanggal : 14 Ramadhan 1440 H/19 Mei 2019 H
*Bahtsul Masail Kebangsaan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur*
*Pimpinan Sidang*
KH. Ahmad Asyhar Shofwan, M.Pd.I. (Ketua)
K. Ahmad Muntaha AM, S.Pd. (Sekretaris)
Perumus:
1. KH. Anwar Iskandar
2. KH. Syafruddin Syarif
3. Drs. KH. Romadlon Khotib, M.H.I.
4. Prof. Akh. Muzakki M.Ag., Grad Dip SEA, M.Phil, Ph.D.
5. KH. Muhammad Mughits
6. K. Syukron Dosi SS.
7. KH. Ahmad Asyhar Shofwan, M.Pd.I.
8. KH. M. Ali Maghfur Syadzili Isk., S.Pd.I
9. KH. Syihabuddin Sholeh, S.Ag.
10. K. Ahmad Muntaha AM, S.Pd.
11. Dr. KH. Mujab Masyhudi
12. Dr. Hadi Subhan
13. Dr. Edy Suwito
14. K. Zahro Wardi
15. K. Ali Romzi
16. KH. Suhairi Badrus
17. K. Muhammad Anas, S.Pd.I.
18. KH. Ahmad Jazuli Sholeh
19. K. Muhammad Hamim HR, S.Ag.
20. K. M. Arifuddin, S.Pd.I., M.Pd.I.
21. K. Masykur Junaidi
22. K. Lukmanul Hakim, S.Pd.I.
23. KH. Umar Faruq
24. K. Rofiq Ajhuri
25. K. Fauraq Tsabat
26. K. Rif’an Haqiqi, S.Ag.
27. K. A. Kholili Kholil, S.Ag.
28. K. M. Abdurrozzaq, S.Ag.

Semoga bermanfaat.

Kamis, 02 Mei 2019

IJTIMA ULAMA III, TIDAK WAJIB KITA IKUTI INI KATA IMAM AL GHOZALI

Tampak Munarman (FPI), Fadli Zon (Gerindra) dan Ustadz Yusuf Martak (GNPF) bersama Prabowo menandatangani pakta Integritas hasil Ijtima Ulama II yang mencalonkan dirinya sebagai Capres 2019 bersama Sandiaga Uno. Pict by (TKN Prabowo-Sandi)

Ijtima Ulama III akan dilaksanakan, apakah boleh menolak hasi ijtima itu?
Selama kurang lebih 9 bulan di Jakarta, sering saya jumpai teriakan demonstran jalanan“stop kriminalisasi ulama”, “kembalikan imam besar kami”. Ya emang bising, Jakarta kan. Emangnya tempat perseteruan seluruh jenis manusia, mulai dari mafia politisi hingga Ulama dan Ustadz yang ceramahnya sarat kepentingan politik. Semuanya berkeliaran.
Nah, Ulama-ulama yang demikian ini oleh al-Ghazali disebut sebagai ulama su’, ulama yang selalu menjadikan agama sebagai ladang mencari dunia, keilmuan yang dimilikinya digunakan sebagai alat untuk mendapatkan harta dan jabatan, hingga selalu menghabiskan waktu dengan berangan-angan dan bercita-cita untuk mendapatkan dunia, pangkat, dan kedudukan yang begitu tinggi. Kata Gus Dur, mereka orang tak berkemanusiaan.

Dewasa ini, ulama yang demikian ini sudah mulai banyak di Indonesia. Beberapa bulan yang lalu, ada Ulama yang mempermalukan dirinya sendiri. Mereka asal ngomong soal agama, tapi nyatanya salah. Sebelumnya, ulama-ulama gadungan ini sudah berhasil merengkut simpati dan kepercayaan sebagain bangsa kita. Mulai dari Aksi bela Islam, Bela Tauhid, hingga sebagian lagi di antara mereka harus bela diri karena terjerat hukum penganiyaan.

Hari ini (Rabu, 1 Mei 2019), kelompok ini berkumpul dalam rangka memproduksi Fatwa Ijtima’ Ulama Jilid III, setelah sebelumnya Ijma’ Ulama Jilid II mulai usang dan tidak laku lagi dipasarkan (tidak diikuti masyarakat). Kabarnya, Ijmak Ulama kali ini akan membahas agenda demontrasi kembali sebagaimana demontrasi-demonstrasi sebelumnya.

Dalam Al-Mustashfa min Ilmi al Ushul, al-Ghazali menerangkan bahwa Ijma’ hanya boleh di ikuti setelah memenuhi berapa rukun :

Pertama,
Ijtma’ harus disepakati seluruh umat Muahammad. Al-Ghazali memaksudkan bahwa Ijma’ harus diikuti seluruh mufti dari berbagai kalangan lintas ormas dan lintas teritori. Mufti yang dimaksudkan al-Ghazali adalah ulama yang memenuhi kredibelitas untuk memutuskan suatu hukum. (Al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, 269)

Kedua,
keberadaan perihal ijma’ itu sendiri. Dalam hal ini al-Ghzali menghendaki bahwa perkara tersebut benar-benar disepakati oleh semua kalangan. Jika ada satu saja di antara para mufti yang masih diam (dan apalagi mempermasalahkan), maka tidak cukup syarat untuk disebut “ijtma’”, serta tidak boleh dijadikan hujjah dan bahkan tidak boleh dijadikan dalil. Maka yang demikian ini tidak usah diikuti. (Al-Mustasfa min Ilmi al-Ushul, 284)

Berdasarkan dua rukun Ijma’ yang telah dijabarkan oleh al-Ghazali dalam Al-Mustashfa ini, telah mencukupkan penulis untuk mengambil kesimpulan bahwa Ijtima Ulama yang talah dan akan ditetapkan tidak wajib diikuti. Sebab cacat hukum agama dan juga cacat hukum sosial.
Lembaga Dakwah NU, Komisi fatwah MUI yang tidak diundang, perwakilan mufassir dan tariqah yang tidak dilibatkan, telah menunjukkan bahwa Ijtima Ulama tersebut tidak mencukupi rukun yang pertama. Serta penolakan dari berbagai kalangan semisal Kiai Masduki Baidlawi, representasi NU dan Jusuf Kalla perwakilan dari pemerintah negara (ulul amri).

Juga memperkuat bahwa Ijtima Ulama yang sering difatwahkan oleh kalangan mereka cacat hukum agama dan cacat moral kewarga negaraan. Sebab itulah ijtima ulama yang demikian ini tidak sah dan tidak wajib diikuti.

Alih-alih al-Ghazali telah menegaskan sejak awal bahwa ruang lingkup Ijtima’ Fatwah Ulama yang mesti ditaati harus berkaitan dengan prihal agama. Maka kesepakatan-kesepatan lain di luar domain agama tidak terkategorikan sebagai Ijtima’.
Karena pada dasarnya tujuan pokok dari permahasan Ijma’ Ulama itu sendiri adalah untuk memutuskan suatu hukum keagaaman yang sebelumnya tidak terputuskan. Bukan urusan bisnis dagang, apalagi bisnis jabatan sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan alumni 212 dan terutama sekali kubu FPI.

Wallahu A’lam.

Semoga bermanfaat.