Senin, 30 Juni 2014

Hukum Istri sedang Haid Main Intim

Hak-hak seorang suami tatkala dilaksanakan oleh sang istri dengan penuh keridhaan maka akan berbuah pahala. Namun tentunya hak-hak tersebut tidak melanggar hak-hak Allah. Misalnya salah satu hak suami terhadap istri adalah melayaninya ditempat tidur (jima’). Bahkan jika isteri tidak mematuhinya, malaikat pun akan ikut marah terhadap sang istri yang menolak suaminya tersebut.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda:

“Jika seseorang suami memanggil istrinya ke tempat tidur (untuk bersetubuh) lalu istrinya enggan sehingga suami tidur dalam keadaan marah, niscaya para malaikat akan melaknat si istri sampai pagi.” (HR Muslim (2/1060))

Namun disuatu kondisi, sang istri memang tidak boleh melayani suami yaitu saat haidh. Butuh pengertian yang didasari ilmu bagi para suami agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan fatal. Mengapa demikian? Karena jima’ dengan wanita haidh hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS Al-Baqarah: 222)

“Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh‘ maksudnya jima’ (di kemaluannya) khususnya karena hal itu haram hukumnya menurut ijma’. Pembatasan dengan kata “menjauh pada tempat haidh’ menunjukkan bahwa bercumbu dengan istri yang haidh, menyentuhnya tanpa berjima’ pada kemaluannya adalah boleh. (Tafsir As Sa’di jilid 1, hal 358)

Sabda Nabi shallallahu “alaihi wasallam,

“Lakukanlah segala sesuatu terhadap isterimu kecuali jima.” (Shahih Ibnu Majah no:527, Muslim I:246 no 302)

Sang istri hendaknya menolak dengan halus jika suami menginginkannya dan menjelaskan bahwa jima’ saat haidh hukumnya haram baik bagi sang suami maupun sang istri. Hal tersebut sesuai dengan perkataan Syaikh Utsaimin rahimahullah bahwa seorang suami haram menggauli istrinya saat haid dan haram pula bagi istrinya melayaninya. (Aktsar Min Alf Jawab Lil Mar’ah)

Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bagi suami untuk bercumbu dengan istrinya tanpa jima’. Sebagaimana penjelasan Syaikh As sa’di dalam tafsirnya bahwa bercumbu dengan istri yang haid, menyentuhnya tanpa jima’ boleh.

Dari Aisyah radhiyallahu’anha berkata “Rasulullah memerintahkan kepadaku agar memakai kain sarung kemudian aku memakainya dan beliau menggauliku.” (Al Mughni (3/84), Al Muhadzab (1/187))

Dari Maimunah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah menggauli salah satu istrinya sedangkan ia haid, ia (istri) mengenakan kain sarung sampai pertengahan pahanya atau lututnya sehingga beliau menjadikannya sebagai penghalang.” (HR. Bukhari:64)

Batas Waktu Menjauhi Wanita Haidh

فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS Al Baqarah: 222)

“Sampai mereka suci‘ artinya bahwa darah mereka (wanita haid) telah berhenti, hilanglah penghalang yang berlaku saat darah masih mengalir. (Tafsir As Sa’di jilid 1,hal 358)

Menurut Al-Lajnah ad Daimah, ada 2 syarat kehalalan suami boleh berjima’ dengan istri (yang haid): terputusnya darah haid dan mandi suci. Dalil yang menguatkan pendapat ini adalah firman Allah, yang artinya: “janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” Qs Al Baqarah:222

Dalam Tafsir As Sa’di jilid 1 hal 358, “Janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci” maksudnya harus meninggalkan mencumbu bagian yang dekat kemaluan yaitu bagian diantara pusar dan lutut, sebagaimana Nabi melakukannya, bila beliau mencumbu istrinya pada saat istrinya itu sedang haidh beliau memerintahkan kepadanya untuk memakai kain lalu beliau mencumbunya. Sedangkan “Apabila mereka telah suci ” maksudnya sang istri telah mandi.

Bagaimana jika jima’ dengan istri yang haid karena tidak sengaja atau tidak tahu tentang hukumnya?

Imam Nawawi dalam kitab Syarhu Muslim III:204 mengatakan “Andaikata seorang muslim meyakini akan halalnya jima’ dengan wanita yang sedang haid melalui kemaluannya, ia menjadi kafir, murtad. Kalau ia melakukannya tanpa berkeyakinan halal, misalnya jika ia melaksanakannya karena lupa atau karena tidak mengetahui keluarnya darah haid atau tidak tahu bahwa hal tersebut haram atau karena dipaksa oleh pihak lain, maka itu tidak berdosa dan tidak pula wajib membayar kafarah. Namun jika ia mencampuri wanita yang sedang haid dengan sengaja dan tahu bahwa dia sedang haid dan tahu bahwa hukumnya haram dengan penuh kesadaran maka berarti dia telah melakukan maksiat besar sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Imam Syafii rahimahullah bahwa perbuatannya adalah dosa besar,dan wajib bertaubat.’

Jika sudah terlanjur mencampuri istrinya dalam keadaan haid, ada dua pendapat :

    Sebagian para ulama berpendapat bahwa ia wajib membayar tebusan (kafarah). Pendapat ini diambil oleh Imam Ahmad dan Imam Nawawi. Syaikh Abdul “Azhim bin Badawi dalam kitabnya Al Wajiiz fi fiqhis Sunnah wal Kitabil “Aziz menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah yang mewajibkan membayar kafarah.

    Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu:

    Dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam tentang seorang suami yang mencampuri isterinya di waktu haid, Rasulullah bersabda, “Hendaklah ia bershadaqah 1 dinar atau separuh dinar.” (Shahih Ibnu Majah no:523, Aunul Ma’bud I:445 no 261, Nasa’i I :153, Ibnu Majah I:210 no:640)
    Sebagian yang lain menyatakan bahwa tidak mewajibkan membayar tebusan. Sebagimana pendapat yang diambil oleh madzab Hanafiyyah dan yang dikuatkan Syaikh Musthofa al-Adawi bahwa disunnahkan kafarat atas orang yang menggauli istrinya pada saat haid. Perbedaan ini muncul karena perbedaan pendapat mengenai keshahihan dalil-dalilnya.

Berapakah besar Kafarrah yang harus Dibayar?

Ada beberapa pendapat para ulama tentang masalah ini:

    Ada perbedaan jumlah kafarrah jika jima’ dilakukan diawal atau akhir waktu haidh

    Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu secara mauquf,ia berkata,’Jika ia bercampur dengan isterinya diawal keluarnya darah maka hendaklah bershadaqah 1 dinar dan jika di akhir keluarnya darah maka setengah dinar.’ (Abu Daud no:238 dan “Aunul Ma’bud I:249 no 262)

    Pendapat inilah yang diambil oleh madzab Imam Syafii
    Menurut Imam Ahmad bahwa jika darah haid berwarna merah maka ukurannya adalah 1 dinar dan jika berwarna kuning maka ukurannya setengah dinar.(Ma’alim Sunan karya Al Khithabi (1/181).
    Menurut syaikh Albani rahimahullah, kafarah dibayarkan sesuai dengan kemampuan orangnya.

Catatan tambahan: 1 dinar = 4,25 gr emas, adapun nilai dinar disesuaikan dengan mata uang setempat.

Apakah Kafarrah juga dibayarkan oleh isteri?

Jika isteri melayaninya dengan sukarela maka ia harus membayar kaffarah, tetapi jika ia melakukan karena paksaan maka ia tidak harus membayar tebusan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam:

“Umatku dimaafkan karena salah,lupa dan apa-apa yang dipaksakan atasnya.”

(Lihat Az-zakah wa Tathbiqatihan hal 91)

Semoga dengan pembahasan yang sedikit ini dapat menambah pengetahuan wanita tentang hal yang penting namun terkadang dianggap tabu. Jika memang sang suami belum mempunyai pemahaman mengenai hal tersebut, hendaklah sang istri yang berusaha menjelaskannya dengan semampunya agar tidak terjerumus kedalam kekhilafan. Ingatlah wahai saudariku, tunaikanlah hak Allah terlebih dahulu daripada hak suamimu.

Wallahu a’lam.

Sholat Tarawih dan Qodla Shalat

1768. SHALAT TARAWIH DAN QADLA' SHALAT
PERTANYAAN :
> Ani Fah
* Amanat Sa'il * Assalaamu'alaykum, Saya baru tahu kalau ternyata sholat tarawih itu bisa digunakan untuk menggodlo' sholat 5 waktu selain maghrib ,kalau maghrib ketika witir yang 3 roka'at. Yang ingin saya tanyakan : " Bagaimana lafadz niat sholatnya ? agar kita bisa mendapatkan dua_duanya { sholat qodlo' dan sunnah terawih ". Syukron . . .
JAWABAN :
> Didy Humaidy
Shalat tarawih tdk bisa disatukan dgn shalat wajib. Karna dua2nya merupakan ibadah maqsudah. Lain halnya shalat wajib digabung dgn tahiyatul masjid, atau shalat sunah wudu, atau shalat sunah thawaf. Itu bisa karna shalat tahiyatul masjid tidak dimaksud (ghoer maqsudah), yg penting setiap masuk ke mesjid ada sholat. Begitu pula sholat sunah wudu dan thawaf. Yang penting setelah wudu atau thawaf ada sholat, meski sholatnya sholat fardhu. Wallahu a'lam bishowab. Lihat satu Qo'idah di Asybah wa nadzo'ir1/86 :
إذا اجتمع أمران من جنس واحد ولم يختلف مقصودهما دخل أحدهما في الآخر غالبا
> Sunde Pati
Sependek pengetahuan kami tidak ada keterangan seperti diatas.. tentang ibaroh :
القسم الثاني أن ينوي مع العبادة المفروضة عبادة أخري مندومة
منها : مالا يقتضي البطلان ويحصلان معا - الي ان قال - فمن الأول أحرم بصلاة ونوي بها الفرض والتحية صحت وحصلا معا اهـ
الأشباه والنضائر في قواعد وفروع الشافعي ج 1 ص 96
dari qoidah yg ke 9 yaitu :
إذا اجتمع أمران من جنس واحد و لم يختلف مقصودهما دخل أحدهما في الآخر غالبا
itu sholat tahiyyatul masjid

> Ibnu Abihi
Coba dalam mahalli ada tulisan begini :
ولا تصحّ بنيّة مطلقة بل ينوي ركعتين من التراويح او من قيام رمضان قال ولو صلّى اربعا بتسليمة لم تصحّ
Artinya: solat taraweh itu tidak sah jika di lakukan dg niat muthlaq, bahkan solat taraweh itu tiap 2 rokaat harus di niati melakukan solat taraweh atau qiyami romadon. Imam nawawi berkata, jika ada orang melakukan solat taraweh 4 rokaat dg satu salaman maka solatnya tidak sah.
Berpijak dari ibarot ini solat taraweh itu harus di lakukan dg salam setiap 2 rokaat dan niatnya harus di tentukan (solat taraweh)..... maka bagaimana bisa di gabung dg solat lain....?

> Didy Humaidy
نهاية المحتاج1/457
وﻻ بنية الصلاة ودفع الغريم أو حصول دينار فيما إذا قيل له صل ولك دينار, بخلاف نية فرض ونفل ﻻ يندرج فيه للتشريك بين عبادتين مقصودتين
حاشية الشبراملسي:
قوله ﻻ يندرج فيه: كسنة الظهر مع فرضه, أما مايندرج كتحية المسجد فلا يضر التشريك بينه وبين الفرض
Shalat tidak batal jiga digabungkan (tasyrik an-niyat) antara niyat shalat dan menolak hutang atau menghasilkan dinar. Jika diucapkan pada dia (musholli) shalatlah maka aku akan memberimu dinar. Kecuali jika digabungkan antara niyat shalat fardhu dan sunah yg tidak masuk, ini batal shalatnya karna menggabungkan antara dua ibadah yg dimaksud (ibadah maqsudah). Dalam Hasyiahnya dijelaskan : Ucapan mushonif " LA YANDARIJU FIH": seperti menggabungkan sunah dzuhur bersama fardhunya.
Adapun sunah yg dpt masuk pada fardhu sprti tahiyyatul-masjid maka tidaka memadaratkan (tidak membatalkan) menggabungkan antaranya dgn shlat fardhu. Wallahu a'lam bishowab.
Ta'bir yg ini sangat jelas :
ومنها لو صلى الفائتة في ليالي رمضان ونوى معها التراويح ففي فتاوي إبن صلاح حصلت الفائتة دون التراويح قال الأسنوي فيه نظر لأن التشريك مقتض للإبطال
الأشباه والنظائر 1/16
Jika seseorang sholat qodho pada malam2 ramadan dan ia niat dgn-nya shalat tarawih... dalam fatawi Ibnu Sholah di jelaskan hasil qodho-nya tidak dgn tarawihnya. Imam Asnawi berkata: dalam masalah ini ada pembicaraan (perdebatan) karna "tasyrik" (menggabungkan niat) melazimkan batalnya shalat.
Link kitab : http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=36&ID=10
Link Asal > http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/permalink/453165798039567/

Kata "PAMALI" dan fenomenanya

PERTANYAAN :
Gazo El-khoery
assalamu'alaikum . . . Punten akang eteh,saya minta bantuan dan penjelasan tentang pamali(kata org tua dulu)! Seperti  :
Contoh 1. Kata orang tua jangan diam di pintu atau duduk dipintu pamali !.
Contoh 2. Jangan mengkaput atau nenun baju sambil dipakai pamali ! Nah sebenarnya definisi pamali itu apa ? Mhon bantuan dan penjelasannya akang eteh!
JAWABAN :
> Ical Rizaldysantrialit 
wa'alaikum salam
"Pamali" adalah kalimat yang diucapkan seseorang dan menjadi adat dibeberapa tempat seperti sunda.Kata "pamali" mengandung arti : Tidak boleh,larangan atau pantangan.
Jika kita perhatikan dan kita kaji,ternyata kata "pamali" adalah cara penyampaian larangan dari para ulama di daerah-daerah tertentu kepada umat dimasanya,yang kebanyakan masih sangat awam dan belum mengerti hukum-hukum agama disamping masih melekat pengaruh agama yang mereka anut sebelumnya.
Kemudian kata "pamali" diucapkan atau katakan,terutama orang tua kita dalam menyampaikan larangan atau hal yang tidak boleh dikerjakan,baik larangan yang menjadi domain nya agama ataupun adat setempat.
CONTOH "PAMALI" DALAM DOMAIN AGAMA.
- Pamali yang mengandung larangan haram atau dosa besar,seperti melawan orang tua,atau saling mengejek Dll (ada nash qur'an dan haditsnya
- Pamali yang merupakan bentuk larangan yang berakibat tidak baik pelakunya,seperti banyak hal yang tertulis dalam kitab "Ta'limul Muta'alim"-Syeikh Zarnuji. banyak larangan disana yang berdasarkan nash hadits atau qoul ulama.
CONTOH PAMALI DALAM ADAT
Seperti wanita hamil,jika akan atau sedang melaksanakan suatu pekerjaan,tidak boleh ditunda atau diselang dgn pekerjaan lain.
Atau seperti ada larangan duduk di pintu (jika diperhatikan,secara logika ketika ada yang duduk dipintu,itu akan menyulitkan orang lain yang akan lewat).Ada lagi tidak boleh makan sesaat sblm maghrib,atau makan saat turun hujan,meniup lampu/lilin (ada di ta'limul muta'alim) Dan banyak lagi
Kesimpulan.sebagai seorang muslim,seyogyanya tidak lantas menganggap tahayul terhadap orang yang mengucapkan "pamali",karena banyak kata "pamali" yang di ucapkan sebagai ganti dari hal-hal yang dilarang agama.Dan apapun domainnya,baik agama maupun adat kata "pamali" dimaksudkan mencegah seseorang yang akan melakukan agar terhindar dari akibat buruk sebab melakukannya baik di dunia maupun akhirat.Khusus dengan yang berkaitan dengan adat,kita juga harus arif dan bijaksana dalam menyikapinya.
Wallahu A'lam.
LINK DISKUSI :

Hukum Shalat Tarawih 4 Rakaat Dengan 1 Salam

Banyak orang mengerjakan shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat sekali salam dengan dalil hadis Siti Aisyah sebagai berikut:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
Artinya: "Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya ”Ya Rasulullah apakah kamu tidur sebelum shalat Witir?" Kemudian Beliau menjawab: ”Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur.”

Banyak orang terkecoh dan terjebak dalam memahami penjelasan Imam Muhammad al-Shan’âniy dalam kitab Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, sehingga mereka mengatakan tata cara shalat Tarawih dengan 4 rakaat sekali salam disebutkan dalam kitab itu. Untuk menjawab tuduhan itu, mari kita lihat secara langsung redaksi Imam Muhammad al-Shan’âniy, sebagai berikut:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ فَصَّلَتْهَا بِقَوْلِهَا ( يُصَلِّي أَرْبَعًا ) يُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُتَّصِلَاتٌ وَهُوَ الظَّاهِرُ وَيُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُنْفَصِلَاتٌ وَهُوَ بَعِيدٌ إلَّا أَنَّهُ يُوَافِقُ حَدِيثَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى .
Artinya; Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Kemudian Siti A’isyah merincikan shalat Rasulullah dengan perkataannya: "Beliau shalat 4 rakaat." Redaksi ini memiliki kemungkinan 4 rakaat dilakukan sekaligus dengan 1 salam, ini adalah yang zhahir, dan juga bisa dipahami 4 rakaat itu dilakukan secara terpisah (2 rakaat- 2 rakaat), tetapi pemahaman ini jauh hanya saja ia sesuai dengan hadis Shalat malam itu dilakukan dengan 2 rakaat- 2 rakaat.
Maksud perkataan Imam Muhammad al-Shan’âniy: "4 rakaat dilakukan dengan sekali salam, dipahami menurut zhahir/tekstual hadis. Sedangkan pelaksanaan 4 rakaat dengan 2 salam menjadi jauh bila tidak ada keterangan dari hadis lain. Tetapi 4 rakaat dengan cara 2 salam memiliki kekuatan dengan adanya keterangan hadis Shalat malam itu dilakukan dengan 2 rakaat- 2 rakaat. Dalam hal ini Imam Syafii mengatakan dalam kitab al-Risâlah sebagai berikut:
فَكُلُّ كَلَامٍ كَانَ عَامًا ظَاهِرًا فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ فَهُوَ عَلَى ظُهُوْرِهِ وَعُمُوْمِهِ حَتَّى يُعْلَمَ حَدِيْثٌ ثَابِتٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ .
Artinya: "Setiap perkataan Rasulullah dalam hadis yang bersifat umum/zhahir diberlakukan kepada arti zhahir dan umumnya sehingga diketahui ada hadis lain yang tetap dari Rasulullah."
Maksud dari perkataan Imam Syafii adalah redaksi hadis yang masih bersifat umum/zhahir, boleh-boleh saja dipahami demikian adanya, dengan catatan selama tidak ada keterangan lain dari hadis Rasulullah. Tetapi bila ditemukan hadis Rasulullah yang menjelaskan redaksi zhahir dan umum satu hadis, maka hadis tersebut tidak boleh lagi dipahami secara zhahir dan umum.Jika hendak dipertentangkan, hadis tentang shalat yang dikerjakan 2-2 lebih kuat dan lebih banyak diamalkan oleh umat sebab ia merupakan hadis Qauliy (perkataan Nabi) dalam riwayat lain dikatakan juga sebagai hadis Fi’liy (perbuatan Nabi), sedangkan hadis Siti Aisyah 4-4 hanya merupakan hadis Fi’liy (perbuatan Nabi).
Ketika terjadi perbedaan antara perkataan Nabi dengan perbuatannya maka yang harus dilakukan umatnya adalah mengamalkan apa yang diperintahkannya (perkataannya), sebabnya adalah lantaran perbuatan Nabi bisa jadi merupakan kekhususan bagi beliau yang tidak berlaku bagi umatnya.
Contohnya adalah tentang kandungan surat annisa ayat 3 sebagai perintah Nabi kepada para sahabat dan umatnya agar tidak memiliki istri lebih dari 4 orang. Padahal beliau sendiri di akhir hayatnya meninggalkan 9 orang istri. Dalam hal ini yang berlaku adalah kita tetap tidak boleh memiliki istri lebih dari 4. Sementara beristri lebih dari 4 merupakan kekhususan yang hanya boleh bagi Nabi. Dengan kaidah ini, maka mengerjakan shalat malam dengan 2-2 rakaat lebih tepat ketimbang mengerjakannya dengan 4-4 rakat sekali salam, sebab bisa jadi shalat 4-4 rakaat merupakan sesuatu yang khusus bagi Nabi.
Masih ada cara lain yang paling mudah untuk memahami hadis Siti Aisyah yakni dengan mencari ucapan Aisyah sendiri pada lain kesempatan. Kita tentu berhak mempertanyakan kembali apakah yang dimaksud Siti Aisyah 4 rakaat benar-benar sekali salam ? Ternyata Siti Aisyah sendiri sebagai periwayat hadis 4-4 menjelaskan dalam hadis lain bahwa yang dimaksud dengan 4 rakaat pelaksanaannya adalah dengan 2-2. Perhatikanlah penjelasan Siti Aisyah pada hadis berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَبَيَّنَ لَهُ الْفَجْرُ وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلْإِقَامَةِ.
Artinya: Dari Aisyah berkata: "Seringkali Rasulullah melakukan shalat antara selesai shalat Isya yang disebut orang dengan shalat ’Atamah sampai Fajar beliau mengerjakan shalat 11 rakaat, beliau melakukan salam pada tiap 2 rakaat dan melakukan 1 rakaat Witir. Apabila seorang Muadzzin selesai dari azan shalat Shubuh yang menandakan fajar telah datang, Muadzzin tersebut mendatangi beliau beliau pun melakukan shalat 2 rakaat ringan setelah itu beliau berbaring (rebah-rabahan) atas lambungnya yang kanan sampai Muadzzin itu mendatangi beliau untuk Iqamah.
Hadis tersebut disebutkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya hadis no: 1216, Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak hadis no: 1671, Imam al-Darimiy dalam sunannya hadis no: 1447, Imam al-Bayhaqiy dalam al-Sunan al-Shughra hadis no: 600, al-sunan al-Kubra hadis no: 4865 dan Ma’rifah Sunan Wa al-Atsar hadis no: 1435.
Dalam risalah الجـواب الصحيح لمن صلى أربعا بتسليمة من التراويــح, penulis telah sebutkan lebih dari 80 kitab Mu’tabar dari berbagai cabang ilmu, baik dari keterangan kitab Syarh hadis, fiqh, Ushul Fiqh dan Taswwuf, yang menyatakan bahwa shalat Tarawih yang dikerjakan dengan 4 rakaat sekali salam itu tidak sah. Di antaranya:
1. Imam Nawawiy al-Dimasyqiy:
يَدْخُلُ وَقْتُ التَّرَاوِيْحِ بِالْفَرَاغِ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ ذَكَرَهُ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ وَيَبْقَى إِلَى طُلُوْعِ اْلفَجْرِ وَلْيُصَلِّهَا رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ كَمَا هُوَ اْلعَادَةُ فَلَوَْصَلَّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بِتَسْلِيْمةٍ لَمْ يَصِحَّ ذَكَرَهُ الْقَاضِى حُسَيْنٌ فيِ فَتَاوِيْهِ ِلاَنَّهُ خِلاَفُ الْمَشْرُوْعِ قَالَ وَلاَ تَصِحُّ بِنِيَّةٍ مُطْلَقَةٍ بَلْ يَنْوِى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ أَوْ صَلاَةَ التَّرَاوِيحِ أَوْ قِيَامَ رَمَضَانَ فَيَنْوِيْ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ مِنْ صَلاَةِ التَّرَاوِيحِ . )المجموع شرح المهذب: ج 4 ص : 38 (دار الفكر 2000)
Artinya:”Masuk waktu shalat Tarawih itu setelah melaksanakan shalat Isya. Imam al-Baghawi dan lainnya menyebutkan: “waktu tarawih masih ada sampai terbit fajar”. Hendaklah seseorang mengerjakan shalat Tarawih dengan dua rakaat- dua rakaat, sebagaimana kebiasaan shalat sunah lainnya. Seandainya ia shalat dengan 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah. Hal ini telah dikatakan oleh al-Qâdhi Husain dalam fatwanya, dengan alasan hal demikian menyalahi aturan yang telah disyariatkan. Al-Qâdhi juga berpendapat seorang dalam shalat Tarawih ia tidak boleh berniat mutlak, tetapi ia berniat dengan niat shalat sunah Tarawih, shalat Tarawih atau shalat Qiyam Ramadhan. Maka ia berniat pada setiap 2 rakaat dari shalat Tarawih.
2. Imam Ahmad Ibn Hajar al-Haytamiy:
اَلتَّرَاوِيْحُ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً , وَيَجِبُ فِيْهَا أَنْ تَكُوْنَ مَثْنَى بِأَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ , فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ لِشِبْهِهَا بِاْلفَرْضِ فِي طَلَبِ الْجَمَاعَةِ فَلاَ تُغَيَّرُ عَمَّا وَرَدَ بِخِلاَفِ نَحْوِ سُنَّةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ . )فتح الجواد شرح الارشاد:ج 1 ص : 163 (مكتبة اقبال حاج ابراهيم سيراغ ببنتن 1971)
Artinya: Shalat Tarawih itu 20 rakaat, wajib dalam pelaksanaanya dua-dua, dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Bila seseorang mengerjakan 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah karena hal tersebut menyerupai shalat fardhu dalam menuntut berjamaah, maka jangan dirubah keterangan sesuatu yang telah warid (datang). Lain halnya dengan shalat sunah Zuhur dan Ashar (boleh dikerjakan empat rakaat satu salam) atas Qaul Mu’tamad.
3. Imam Muhammad Ibn Ahmad al-Ramliy:
وَلَا تَصِحُّ بِنِيَّةٍ مُطْلَقَةٍ كَمَا فِي الرَّوْضَةِ بَلْ يَنْوِي رَكْعَتَيْنِ مِنْ التَّرَاوِيحِ أَوْ مِنْ قِيَامِ رَمَضَانَ .وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ يَصِحَّ إنْ كَانَ عَامِدًا عَالِمًا ، وَإِلَّا صَارَتْ نَفْلًا مُطْلَقًا ؛ لِأَنَّهُ خِلَافُ الْمَشْرُوعِ.) نهاية المحتاج شرح المنهاج : ج 1 ص :127 (دار الفكر 2004)
Artinya: Tidak sah shalat Tarawih dengan niat shalat Mutlak, seharusnya seseorang berniat Tarawih atau Qiyam Ramadhan dengan mengerjakan salam pada setiap 2 rakaat. Seandainya seseorang shalat Tarawih dengan 4 rakaat satu salam, jika ia sengaja-ngaja dan mengetahui maka shalatnya tidak sah. Kalau tidak demikian maka shalat itu menjadi shalat sunah Mutlak, Karena menyalahi aturan yang disyariatkan”.

4. Imam Muhammad al-Zarkasyiy:
صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ وَحَكَى الرُّوْيَانِيُّ عَنِ اْلقَدِيْمِ أَنَّهُ لاَحَصْرَ لِلتَّراوِيْحِ وَهُوَ غَرِيْبٌ . وَيُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ ذَكَرَهُ فِي التَّحْقِيْقِ وِثَاقًا لِلْقَاضِي حُسَيْنٍ فِي فَتَاوِيْهِ وَلِأَهْلِ الْمَدِيْنَةِ فَعْلُهَا سِتًّا وَثَلاَثِيْنَ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَاْلأَصْحَابُ : مِنْ خَصَائِصِهِمْ . (الديباج في توضيح المنهاج : ج 1 ص : 198 (دار الحديث 2005)
Artinya: Shalat Tarawih dikerjakan 20 rakaat dengan 10 salam. Imam al-Rûyâniy menghikayatkan pendapat dari Qaul Qadim ”Sesungguhnya pernyataan shalat Tarawih tidak ada batasan adalah pendapat yang Gharib (aneh)”. Seseorang yang mengerjakan shalat Tarawih hendaknya memberi salam pada tiap 2 rakaatnya. Seandainya seseorang shalat 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah. Imam Nawawiy al-Dimasyqiy telah menyebutkan hal itu dalam kitabnya al-Tahqîq, yang bersandar kepada al-Qâdhi Husain dalam fatâwanya. Adapun penduduk kota Madinah mereka mengerjakan shalat Tarawih 36 rakaat. Imam Syafii dan para pengikutnya berkata:” Khusus bagi penduduk Madinah saja”.
5. Imam Ahmad Ibn Muhammad al-Qasthallaniy:
وَ فُهِمَ مِمَّا سَبَقَ مِنْ أَنَّها بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ أَنَّهُ لَوْ صَلَّاهَا أَرْبَعًا أَرْبَعًا بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ يَصِحَّ ، وَبِهِ صَرَّحَ فِي الرَّوْضَةِ لِشَبَهِهَا بِالْفَرْضِ فِي طَلَبِ الْجَمَاعَةِ فَلَا تُغَيَّرُ عَمَّا وَرَدَ .)ارشاد الساري شرح صحيح البخاري : ج 3 ص : 426 (دار الفكر 1984)
Artinya: “Dipahami dari ungkapan yang lalu sesungguhnya shalat Tarawih itu pelaksanaannya dengan 10 kali salam, Seandainya seseorang shalat Tarawih dengan 4 rakaat sekali salam, maka shalat Tarawihnya tidak sah. Seperti inilah keterangan yang telah dijelaskan oleh Imam Nawawiy dalam kitab al-Rawdhah, Karena shalat Tarawih menyerupai shalat fardhu dalam menuntut berjamaah (tiap 2 rakaat melakukan Tasyahhud), maka jangan dirubah keterangan sesuatu yang telah warid (datang).”

6. Imam Zakariya al-Anshariy:

وَسُمِّيَتْ كُلُّ أَرْبَعٍ مِنْهَا تَرْوِيحَةً لِأَنَّهُمْ كَانُوا يَتَرَوَّحُونَ عَقِبَهَا أَيْ : يَسْتَرِيحُونَ ، وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ يَصِحَّ لِأَنَّهَا بِمَشْرُوعِيَّةِ الْجَمَاعَةِ فِيهَا أَشْبَهَتْ الْفَرِيضَةَ فَلَا تُغَيَّرُ عَمَّا وَرَدَ . )فتح الوهاب شرح منهج الطلاب: ج1 ص : 58 ( منارا قدس د ت)
Artinya: Pada setiap 4 rakaat dinamai satu Tarwihah karena para sahabat bersantai-santai setelahnya artinya beristirahat. Jika seseorang shalat Tarawih 4 rakaat dengan satu salam maka tidak sah, karena anjuran berjamaah pada shalat Tarawih menyerupai shalat fardhu, maka jangan diubah aturan yang telah ada keterangannya.”

7. Imam Jalaluddin Muhammad al-Mahalliy:
( وَمَعْنَى الشَّرْعِيِّ ) الَّذِي هُوَ مُسَمَّى مَا صَدَقَ الْحَقِيقَةُ الشَّرْعِيَّةُ ( مَا ) ، أَيْ : شَيْءٌ ( لَمْ يُسْتَفَدْ اسْمُهُ إلَّا مِنَ الشَّرْعِ ) كَالْهَيْئَةِ الْمُسَمَّاةِ بِالصَّلَاةِ ( وَقَدْ يُطْلَقُ ) ، أَيْ : الشَّرْعِيُّ ( عَلَى الْمَنْدُوبِ ، وَالْمُبَاحِ ) ، وَمِنْ الْأَوَّلِ قَوْلُهُمْ مِنْ النَّوَافِلِ مَا تُشْرَعُ فِيهِ الْجَمَاعَةُ ، أَيْ : تُنْدَبُ كَالْعِيدَيْنِ . وَمِنْ الثَّانِي قَوْلُ الْقَاضِي الْحُسَيْنِ لَوْ صَلَّى التَّرَاوِيحَ أَرْبَعًا بِتَسْلِيمِة لَمْ تَصِحَّ ؛ لِأَنَّهُ خِلَافُ الْمَشْرُوعِ .) شرح جمع الجوامع : ج 1 ص : 304 (مطبعة مصطفى البابي الحلبي 1973)
Artinya: Makna Syar’i itu dinamakan sesuatu yang berbetulan dengan hakikat syara’ adalah sesuatu yang tidak dipahami namanya melainkan dari syara’ seperti bentuk shalat. Digunakan juga makna syar’i itu atas perbuatan yang mandub dan mubah, dari definisi pertama para ulama berpendapat shalat sunah yang disyari’atkan berjamaah artinya disunahkan berjamaah seperti shalat dua hari raya idul fitri dan idul Adha. Dari definisi kedua ini perkataan al-Qadhi Husein yang mengatakan “Seandainya ia mengerjakan shalat Tarawih dengan 4 rakaat dengan satu salam, maka shalat Tarawihnya tidak sah”.
8. Imam Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthiy:
(وَيَقُوْمُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً) بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ بَيْنَ صَلاَةِ اْلعِشَاءِ وَ طُلُوْعِ اْلفَجْرِ، فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ، كَمَا نَقَلَهُ فِي الرَّوْضَةِ عَنِ الْقَاضِي حُسَيْنٍ وَأَقَرَّهُ ِلأَنَّهُ خِلاَفُ اْلمَشْـرُوْعِ .) شرح التنبيه في فروع الفقه الشافعي:ج 1 ص : 134 (دار الفكر 1996)
Artinya: “Seseorang mengerjakan shalat Tarawih pada tiap malam bulan Ramadhan dengan 10 kali salam pada tiap malam antara shalat Isya sampai terbit fajar. Jika seseorang shalat Tarawih 4 rakaat dengan satu salam maka hukumnya tidak sah. Sebagaimana Imam Nawawi menukilkannya dalam kitab Rawdhah dari al-Qadhi Husain dan beliau menetapkan hal itu karena menyalahi aturan yang disyariatkan”.
= File Dokumen Fiqh Menjawab =
https://www.facebook.com/notes/fiqh-menjawab/shalat-tarawih-4-rakaat-1-salam/355693107893199

Sumber Link :
https://www.facebook.com/PISS.KTB/posts/703561426363940