Kisah ini bermula saat Salman Al Farisi
berkunjung ke rumah Abu Darda’. Seperti diketahui, Salman Al Farisi dan
Abu Darda’ dipersaudarakan oleh Rasulullah pada awal hijrah. Telah
beberapa lama Salman tidak mengunjungi saudaranya itu. Dan kali ini,
saat ia berada di rumahnya, ia melihat Ummu Darda’ mengenakan pakaian
yang lusuh. Penampilannya tidak sedap dipandang.
“Mengapa engkau tidak berhias?” tanya Salman yang merasa aneh dengan dengan penampilan istri Abu Darda’ itu.
“Saudaramu, Abu Darda’, sudah tidak butuh pada dunia,” jawab Ummu Darda’. Jawaban itu singkat, namun bagi seorang yang cerdas sekelas Salman yang terkenal dengan ide strategi Khandaq sewaktu Madinah diserang pasukan Ahzab, kalimat itu cukup bisa dimengerti. Bahwa Abu Darda’ sangat serius beribadah. Bahwa Abu Darda’ menghabiskan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hingga ia tak lagi mengurus penampilannya. Dan ia juga kurang memberikan perhatian dan memenuhi hak batin istrinya.
“Saudaramu, Abu Darda’, sudah tidak butuh pada dunia,” jawab Ummu Darda’. Jawaban itu singkat, namun bagi seorang yang cerdas sekelas Salman yang terkenal dengan ide strategi Khandaq sewaktu Madinah diserang pasukan Ahzab, kalimat itu cukup bisa dimengerti. Bahwa Abu Darda’ sangat serius beribadah. Bahwa Abu Darda’ menghabiskan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hingga ia tak lagi mengurus penampilannya. Dan ia juga kurang memberikan perhatian dan memenuhi hak batin istrinya.
Beberapa saat kemudian, datang Abu
Darda’. Dua sahabat yang luar biasa ini pun berjumpa. Sebagai bentuk
penghormatan kepada tamu sebagaimana sabda Nabi “man kana yu’minu
billahi wal yaumil akhiri falyukrim dhaifahu” (barang siapa beriman
kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menghormati tamunya), keluarga
Abu Darda’ pun menghidangkan makanan untuk Salman.
“Makanlah wahai Salman. Maaf, aku sedang puasa,” kata Abu Darda’.
“Aku tidak akan makan jika engkau tidak
makan,” jawab Salman, tegas. Abu Darda’ pun luluh. Ia membatalkan puasa
sunnahnya. Mereka pun makan berdua.
Malamnya, Salman menginap di rumah Abu
Darda. Ketika dilihatnya Abu Darda bangun hendak shalat malam, Salman
menyuruhnya tidur lagi. “Tidurlah dulu,” kata Salman. Saat malam
mendekati akhir, barulah Salman memberitahukan Abu Darda’ untuk shalat
malam.
Sebelum pulang, Salman berpesan kepada
Abu Darda’: “Sesungguhnya, bagi Rab-mu ada hak, dan atas badanmu ada
hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka, tunaikanlah hak
masing-masing.”
Ketika berita ini sampai kepada Rasulullah, beliau bersabda, “Salman benar.”
Demikianlah teladan mulia dari generasi
paling mulia, generasi sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka saling
mengingatkan, agar hidup istiqamah di bawah naungan Al Qur’an dan
Sunnah. Sekaligus hidup seimbang sesuai pedoman keduanya.
Jika dengan alasan ibadah saja kita
tidak boleh melupakan hak-hak istri, bagaimana dengan orang-orang yang
melupakan hak-hak istrinya karena alasan kerja dan mengejar karir?
Padahal ekonominya sudah mapan dan pekerjaan itu sejatinya bisa
didelegasikan. Bagaimana pula orang-orang yang sering tak bisa bertemu
anaknya karena ‘gila kerja’ dan mengejar jabatan? Saat ia pulang
anak-anaknya telah tidur dan saat ia berangkat anak-anaknya belum
bangun.
Tidak sedikit keluarga yang mengalami
masalah, sebenarnya bukan karena persoalan ekonomi. Melainkan karena
kurangnya kebersamaan. Kurangnya waktu bertemu dan bermesraan. Kurangnya
pehatian. Akhirnya sering terjadi miskomunikasi, sering terjadi
kesalahpahaman. Hal kecil menjadi masalah besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar