Firman Allah ta’ala yang
artinya ”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di
negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
tersebut.” (QS. Al Baqarah [2] : 185) “Mereka bertanya kepadamu
tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS Al Baqarah [2]:189 )
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga
(setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai
bentuk tandan yang tua” (QS Yaasin [36]:39)
“Sebagai bentuk
tandan yang tua” maksudnya: bulan-bulan itu pada awal bulan, kecil
berbentuk sabit, kemudian sesudah menempati manzilah-manzilah, dia
menjadi purnama, kemudian pada manzilah terakhir kelihatan seperti
tandan kering yang melengkung
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya“. (QS An Nisaa [4]:59)
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada
kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan
maka ikutilah as-sawad al a’zham (pemahaman mayoritas kaum muslim atau
pemahaman jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at
Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam
Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
“إِنَّ اللهَ لَا يُجْمِعُ أُمَّةِ عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللهِ مَعَ الجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ”
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan
tangan(Kekuasaan) Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan, maka ia
menyeleweng ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu
Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam
Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama),
bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham“.
Letak permasalahan
mereka yang berbeda dengan keputusan ulil amri berdasarkan kesepakatan
mayoritas ulama (as-sawadul a’zham) sehingga menyelisihi sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah pada umumnya mereka
menggunakan metode perhitungan (hisab) dengan ketetapan berdasarkan
"hisab hakiki wujudul hilal" artinya berapapun derajat positif tinggi
hilal maka ditetapkan "hilal sudah wujud".
Mereka berkeyakinan
"hilal sudah terwujud" apabila pada hari ke-29 bulan kamariah berjalan
saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif,
yaitu (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak terjadi sebelum matahari
terbenam, dan (3) pada saat matahari terbenam bulan (piringan atasnya)
masih di atas ufuk. Apabila salah satu dari kriteria tersebut tidak
dipenuhi, maka bulan berjalan digenapkan tiga puluh hari dan bulan baru
dimulai lusa. Jadi andaipun mereka merukyat maka yang dilihat bukannya
hilal namun pada saat matahari terbenam, bulan (piringan atasnya atau
piringan bawah menurut kalender hijriah Ummul Qura dengan marjaknya
adalah kota Mekah) masih di atas ufuk.
Sebenarnya tentu boleh
menggunakan metode perhitungan (hisab) agar kita dapat mengetahui lebih
awal namun kita harus menterjemahkan sunnah Rasulullah shallallahu alaih
wasallam kewajiban "melihat hilal" kedalam metode perhitungan (hisab)
yang disebut kriteria visibilitas hilal artinya kritera berapa
derajatkah hilal dapat dikatakan terlihat oleh manusia (imkanur rukyat).
Perhitungan astronomis menyatakan, tinggi hilal sekitar 2 derajat
dengan beda azimut 6 derajat dan umur bulan sejak ijtimak 8 jam. Jarak
sudut Bulan-Matahari 6,8 derajat, dekat dengan limit Danjon yang
menyatakan jarak minimal 7 derajat untuk mata manusia rata-rata yang
dapat dikatakan "hilal terlihat".
Kriteria tinggi 2 derajat dan
umur bulan 8 jam ini yang kemudian diadopsi sebagai kriteria imkanur
rukyat MABIMS (negara-negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan
Singapura) pada tahun 1996.
Bahkan berdasarkan kajian astronomis
yang dilakukan LAPAN terhadap data rukyatul hilal di Indonesia
(1962-1997) yang didokumentasikan oleh Departemen Agama RI diperoleh dua
kriteria visibilitas hilal (hilal terlihat) yang rumusannya
disederhanakan sesuai dengan praktik hisab-rukyat di Indonesia. Awal
bulan ditandai dengan terpenuhi kedua-duanya, bila hanya salah satu maka
dianggap belum masuk tanggal.
Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia adalah sebagai berikut.
Pertama, umur hilal minimum 8 jam.
Kedua, tinggi bulan minimum tergantung beda azimut Bulan-Matahari. Bila
bulan berada lebih dari 6 derajat tinggi minimumnya 2,3 derajat. Tetapi
bila tepat berada di atas matahari, tinggi minimumnya 8,3 derajat.
Banyak dalil yang menegaskan “jika terhalang oleh awan” yang
menunjukkan terhalangnya penglihatan sehingga jika menggunakan metode
perhitungan (hisab) harus memenuhi kriteria mata manusia rata-rata yang
dikatakan "hilal terlihat" atau visibilitas hilal atau imkanur rukyat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kamu melihatnya
maka berpuasalah dan jika kamu melihatnya lagi maka berbukalah. Apabila
kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari
disempurnakan)“ (HR Bukhari 1767)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat
hilal dan jangan pula kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Apabila
kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari
disempurnakan)“ (HR Bukhari 1773).
Bahkan ada hadits telah
jelas-jelas menegaskan untuk menggenapkannya bukan menetapkan atau
memperkirakan hilal terwujud berdasarkan perhitungan (hisab).
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ
قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو
الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ
شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Telah menceritakan kepada kami Adam telah
menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Ziyad berkata, aku mendengar Abu Hurairah radliallahu ‘anhu
berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, atau katanya Abu Al
Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Berpuasalah kalian
dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila
kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari
bulan Sya’ban menjadi tiga puluh“. (HR Bukhari 1776)
Begitupula
telah jelas adanya larangan berpuasa pada yaum asy-syakk atau hari yang
diragukan, yakni terdapat keraguan apakah hari tersebut masih termasuk
bulan Sya’ban atau telah masuk bulan Ramadhan.
Diriwayatkan dari Ammar bin Yasir radliyallâhu anhu, bahwa beliau berkata :
مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه أبو داود والنسائي والترمذي)
“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia telah durhaka
pada Abul Qasim (Rasulullah) shallallâhu alaihi wa sallam” (HR. Abu
Dawud, Nasa’i dan Turmudzi)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallâhu anhu, bahwa Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam bersabda :
إذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلَا صِيَامَ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ (رواه أبو داود وغيره)
“Jika Sya’ban telah berlalu separuh, maka tidak ada puasa hingga tiba Ramadhan“ (HR. Abu Dawud dan lainnya)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallâhu anhu, bahwa Rasulullah shallallâhu alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلَا بِيَوْمَيْنِ إلَّا أَنْ
يُوَافِقَ صَوْمًا كَانَ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ (رواه البخاري ومسلم)
“Jangan mendahului bulan (Ramadhan) dengan (berpuasa) sehari atau dua
hari, kecuali hari tersebut bertepatan dengan puasa yang biasa dilakukan
salah seorang dari kalian“ (HR. Bukhari dan Muslim)
Hal yang
dimaksud dengan “puasa yang biasa dilakukan” adalah puasa sunnah bukan
puasa yang diniatkan untuk puasa wajib di bulan Ramadhan
Secara
definitif, yaum asy-syakk adalah hari ke-30 dari bulan Sya’ban, di mana
telah tersiar kabar bahwa malamnya hilal berhasil di-rukyah atau
dilihat, dan keadaan langit pada malam itu cerah, tidak mendung, tetapi
tak satupun orang yang menyatakan kesaksian di hadapan hakim bahwa dia
telah melihat hilal. Atau ada kesaksian penglihatan hilal, tetapi
dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai saksi
hilal, seperti anak kecil, wanita, budak atau orang fasiq (pelaku
maksiat), yang kesaksiannya tidak diyakini kebenarannya.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tidak ada komentar:
Posting Komentar