Kamis, 27 September 2018

Pancasila Bukan Thaghut


Berpikir seribu kali, kalo mau ganti Pancasila dg Khilafah
"Orang cerdas pasti ikut orang yg benar bukan orang yg merasa benar.."

Pancasila_Jaya

Pancasila Thaghut?
Pertanyaan:
Akhir - Akhir ini kita melihat ada banyak ideologi masuk ke Negara kita, baik yang ekstrim kanan atau ekstrim kiri. Kadang kita menjumpai selebaran yang menolak NKRI dengan Pancasila sebagai salah satu dasar Negara, kata mereka Pancasila adalah Thaghut. Apa makna Thaghut dan benar demikian ?
Jawaban :
Masalah ini tidak hanya dialami kita di Indonesia, hampir semua dunia Islam saat ini mendapat tuduhan yang sama dengan istilah Thaghut, meski konteksnya berbeda. Di Negara kita yang dituduh Thaghut adalah Pancasila. Berikut akan diulas tentang Pancasila, Thaghut dan landasan kyai kita dalam menerima NKRI.
Pancasila Dalam Pandangan NU
Pancasila, bagi para kyai di Nahdlatul Ulama adalah sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia, bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Hal ini sudah diputuskan sejak Muktamar ke 27 di Situbondo dan selalu ditegaskan kembali penerimaan Pancasila dalam beberapa Muktamar setelahnya.

Makna Thaghut Dalam Al-Quran
Apa makna Thaghut? Berikut penjelasannya:

قَالَ الرَّاغِبُ الْأَصْفِهَانِى فِى مُفْرَدَاتِ الْقُرْآنِ : الطَّاغُوْتُ عِبَارَةٌ عَنْ كُلِّ مُتَعَدٍّ وَكُلِّ مَعْبُوْدٍ مِنْ دُوْنِ اللهِ ، وَلِمَا تَقَدَّمَ سُمِّىَ السَّاحِرُ وَالْكَاهِنُ وَالْمَارِدُ وَالْجِنُّ وَالصَّارِفُ عَنْ طَرِيْقِ الْخَيْرِ طَاغُوْتًا . انتهى .

Al-Raghib al-Asfihani berkata dalam Mufradat al-Quran: “Thaghut adalah setiap hal yang melewati batas dan hal yang disembah selain Allah. Sihir, peramal, jin dan yang berpaling dari jalan kebenaran adalah Thaghut” (Fatwa al-Azhar 8/24)

وَرَدَ لَفْظُ الطَّاغُوْتِ فِى الْقُرْآنِ ثَمَانِىَ مَرَّاتٍ : فى سورة البقرة : الآيتان : 256 ، 257 ، وفى سورة النساء : الآيات : 51 ، 60 ، 76 ، وفى سورة المائدة : الآية : 60 ، وفى سورة النحل : الآية : 36، وفى سورة الزمر : الآية : 17 .

“Thaghut disebutkan dalam al-Quran sebanyak 8 kali. Al-Baqarah 256-257. al-Nisa’ 51, 60, 76. al-Maidah 60. al-Nahl 36 dan al-Zumar 17.”
Mereka mengaitkan Pancasila sebagai Thaghut dengan QS An-Nisa’: 60 berdasar penafsiran Ibnu Katsir:

وَاْلآيَةُ أَعَمُّ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ، فَإِنَّهَا ذَامَّةٌ لِمَنْ عَدَلَ عَنِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَتَحَاكَمُوْا إِلَى مَا سِوَاهُمَا مِنَ الْبَاطِلِ

Ibnu Katsir berkata: “Bahwa ayat Thaghut dalam al-Nisa’ 60 bersifat umum, yang mencela setiap orang yang pindah dari al-Quran dan al-Sunah dan berhukum kepada selainnya berupu hukum yang batil” (Tafsir Ibni Katsir 2/346)
Namun menurut Mufti Al-Azhar Syekh Athiyah Shaqr:

وَفِى الْآيَةِ الرَّابِعَةِ {يُرِيْدُوْنَ أَنْ يَتَحَاكَمُوْا إِلَى الطَّاغُوْتِ} أَنَّهُ كَثِيْرُ الطُّغْيَانِ وَهُوَ كَعْبُ بْنُ الْأَشْرَفِ

“Ayat keempat: “Mereka hendak berhukum pada Thaghut”, Thaghut artinya banyak kecurangan-nya, yaitu Ka’b bin Asyraf (Yahudi)” (Fatawa Al-Azhar 8/24)

Thaghut ini juga sering dikaitkan dengan QS Al-Maidah: 44. Dan berikut jawaban ahli Tafsir Imam Ar-Razi:

وَالْخَامِسُ : قَالَ عِكْرِمَةُ : قَوْلُهُ { وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ الله } إِنَّمَا يَتَنَاوَلُ مَنْ أَنْكَرَ بِقَلْبِهِ وَجَحَدَ بِلِسَانِهِ ، أَمَّا مَنْ عَرَفَ بِقَلْبِهِ كَوْنَهُ حُكْمَ اللهِ وَأَقَرَّ بِلِسَانِهِ كَوْنَهُ حُكْمَ اللهِ ، إِلَّا أَنَّهُ أَتَى بِمَا يُضَادُّهُ فَهُوَ حَاكِمٌ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى ، وَلَكِنَّهُ تَارِكٌ لَهُ ، فَلَا يَلْزَمُ دُخُوْلُهُ تَحْتَ هِذِهِ الْآيَةِ ، وَهَذَا هُوَ الْجَوَابُ الصَّحِيْحُ وَاللهُ أَعْلَمُ .

Ikrimah berkata: Firman Allah yang artinya: “Barangsiapa tidak memutuskan berdasar apa yang diturunkan oleh Allah..” ayat ini hanya mengarah kepada orang yang ingkar hatinya dengan hukum Allah dan melawan dengan lisannya. Sementara orang yang mengakui hukum Allah dengan hati dan mulutnya, hanya saja ia melakukan hukum lain maka ia tetap berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, hanya saja ia tidak melakukannya, maka ia tidak masuk dalam ayat ini. Ini adalah jawaban yang benar” (Tafsir Ar-Razi 6/68)

Perdebatan Ibnu Abbas Dengan Kelompok Penuduh Hukum Kafir

Tuduhan kafir tentang berhukum kepada selain hukum Allah sudah terjadi di masa Sahabat, bukan kali ini saja. Ada satu kelompok dalam Islam yang dikenal dengan Haruriyah atau Khawarij. merekan adalah kelompok yang keluar dari Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka keluar dengan alasan Sayidina Ali telah menerima arbitrase perjanjian damai dengan kelompok Mu’awiyah.
Ibnu Abbas menanyakan kepada mereka mengapa mereka keluar dari Ali? Ada 3 alasan yang mereka kemukakan, diantaranya adalah:

قَالُوْا : أَمَّا إِحْدَاهُنَّ فَإِنَّهُ حَكَّمَ الرِّجَالَ فِي أَمْرِ اللهِ وَقَالَ اللهُ تَعَالَى { إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلهِ }

“Khawarij berkata: “Salah satunya adalah Ali menjadikan manusia sebagai juru hukum dalam agama Allah, sementara firman Allah: “Tidak ada hukum kecuali milik Allah” (QS Al-An’am: 165)

قُلْتُ : أَمَّا قَوْلُكُمْ حَكَّمَ الرِّجَالِ فِي أَمْرِ اللهِ فَأَنَا عَلَيْكُمْ مَا قَدْ رَدَّ حُكْمَهُ إِلَى الرِّجَالِ فِي ثَمَنِ رُبُعِ دِرْهَمٍ فِي أَرْنَبٍ وَنَحْوِهَا مِنَ الصَّيْدِ فَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ } إِلَى قَوْلِهِ : { يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ } وَأنْ تَعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ لَوْ شَاءَ لَحَكَمَ وَلَمْ يُصَيِّرْ ذَلِكَ إِلَى الرِّجَالِ

Ibnu Abbas menjawab: “Apa yang kalian katakan tentang manusia membuat hukum dalam agama Allah, maka saya bacakan kepada kalian ayat bahwa Allah mengembalikan hukum kepada manusia dalam masalah hewan buruan bagi orang Ihram yang memburu kelinci dan hewan buruan lainnya, yang diputuskan oleh 2 orang yang adil”. Hendaklah kalian ketahui bahwa jika Allah berkehendak akan diputus sendiri oleh Allah, bukan kepada manusia.

Ibnu Abbas lalu memperkuat dengan dalil Al-Quran lainnya:

وَفِي الْمَرْأَةِ وَزَوْجِهَا قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ { إِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَ

Berpikir seribu kali, kalo mau ganti Pancasila dg Khilafah..
Orang cerdas pasti ikut orang yg benar bukan orang yg merasa benar..

Pancasila_Jaya

Pancasila Thaghut?
Pertanyaan:
Akhir - Akhir ini kita melihat ada banyak ideologi masuk ke Negara kita, baik yang ekstrim kanan atau ekstrim kiri. Kadang kita menjumpai selebaran yang menolak NKRI dengan Pancasila sebagai salah satu dasar Negara, kata mereka Pancasila adalah Thaghut. Apa makna Thaghut dan benar demikian ?
Jawaban :
Masalah ini tidak hanya dialami kita di Indonesia, hampir semua dunia Islam saat ini mendapat tuduhan yang sama dengan istilah Thaghut, meski konteksnya berbeda. Di Negara kita yang dituduh Thaghut adalah Pancasila. Berikut akan diulas tentang Pancasila, Thaghut dan landasan kyai kita dalam menerima NKRI.
Pancasila Dalam Pandangan NU
Pancasila, bagi para kyai di Nahdlatul Ulama adalah sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia, bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. Hal ini sudah diputuskan sejak Muktamar ke 27 di Situbondo dan selalu ditegaskan kembali penerimaan Pancasila dalam beberapa Muktamar setelahnya.

Makna Thaghut Dalam Al-Quran

Apa makna Thaghut? Berikut penjelasannya:

قَالَ الرَّاغِبُ الْأَصْفِهَانِى فِى مُفْرَدَاتِ الْقُرْآنِ : الطَّاغُوْتُ عِبَارَةٌ عَنْ كُلِّ مُتَعَدٍّ وَكُلِّ مَعْبُوْدٍ مِنْ دُوْنِ اللهِ ، وَلِمَا تَقَدَّمَ سُمِّىَ السَّاحِرُ وَالْكَاهِنُ وَالْمَارِدُ وَالْجِنُّ وَالصَّارِفُ عَنْ طَرِيْقِ الْخَيْرِ طَاغُوْتًا . انتهى .

Al-Raghib al-Asfihani berkata dalam Mufradat al-Quran: “Thaghut adalah setiap hal yang melewati batas dan hal yang disembah selain Allah. Sihir, peramal, jin dan yang berpaling dari jalan kebenaran adalah Thaghut” (Fatwa al-Azhar 8/24)

وَرَدَ لَفْظُ الطَّاغُوْتِ فِى الْقُرْآنِ ثَمَانِىَ مَرَّاتٍ : فى سورة البقرة : الآيتان : 256 ، 257 ، وفى سورة النساء : الآيات : 51 ، 60 ، 76 ، وفى سورة المائدة : الآية : 60 ، وفى سورة النحل : الآية : 36، وفى سورة الزمر : الآية : 17 .

“Thaghut disebutkan dalam al-Quran sebanyak 8 kali. Al-Baqarah 256-257. al-Nisa’ 51, 60, 76. al-Maidah 60. al-Nahl 36 dan al-Zumar 17.”
Mereka mengaitkan Pancasila sebagai Thaghut dengan QS An-Nisa’: 60 berdasar penafsiran Ibnu Katsir:

وَاْلآيَةُ أَعَمُّ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ، فَإِنَّهَا ذَامَّةٌ لِمَنْ عَدَلَ عَنِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَتَحَاكَمُوْا إِلَى مَا سِوَاهُمَا مِنَ الْبَاطِلِ

Ibnu Katsir berkata: “Bahwa ayat Thaghut dalam al-Nisa’ 60 bersifat umum, yang mencela setiap orang yang pindah dari al-Quran dan al-Sunah dan berhukum kepada selainnya berupu hukum yang batil” (Tafsir Ibni Katsir 2/346)
Namun menurut Mufti Al-Azhar Syekh Athiyah Shaqr:

وَفِى الْآيَةِ الرَّابِعَةِ {يُرِيْدُوْنَ أَنْ يَتَحَاكَمُوْا إِلَى الطَّاغُوْتِ} أَنَّهُ كَثِيْرُ الطُّغْيَانِ وَهُوَ كَعْبُ بْنُ الْأَشْرَفِ

“Ayat keempat: “Mereka hendak berhukum pada Thaghut”, Thaghut artinya banyak kecurangan-nya, yaitu Ka’b bin Asyraf (Yahudi)” (Fatawa Al-Azhar 8/24)
Thaghut ini juga sering dikaitkan dengan QS Al-Maidah: 44. Dan berikut jawaban ahli Tafsir Imam Ar-Razi:

وَالْخَامِسُ : قَالَ عِكْرِمَةُ : قَوْلُهُ { وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ الله } إِنَّمَا يَتَنَاوَلُ مَنْ أَنْكَرَ بِقَلْبِهِ وَجَحَدَ بِلِسَانِهِ ، أَمَّا مَنْ عَرَفَ بِقَلْبِهِ كَوْنَهُ حُكْمَ اللهِ وَأَقَرَّ بِلِسَانِهِ كَوْنَهُ حُكْمَ اللهِ ، إِلَّا أَنَّهُ أَتَى بِمَا يُضَادُّهُ فَهُوَ حَاكِمٌ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى ، وَلَكِنَّهُ تَارِكٌ لَهُ ، فَلَا يَلْزَمُ دُخُوْلُهُ تَحْتَ هِذِهِ الْآيَةِ ، وَهَذَا هُوَ الْجَوَابُ الصَّحِيْحُ وَاللهُ أَعْلَمُ .

Ikrimah berkata: Firman Allah yang artinya: “Barangsiapa tidak memutuskan berdasar apa yang diturunkan oleh Allah..” ayat ini hanya mengarah kepada orang yang ingkar hatinya dengan hukum Allah dan melawan dengan lisannya. Sementara orang yang mengakui hukum Allah dengan hati dan mulutnya, hanya saja ia melakukan hukum lain maka ia tetap berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, hanya saja ia tidak melakukannya, maka ia tidak masuk dalam ayat ini. Ini adalah jawaban yang benar” (Tafsir Ar-Razi 6/68)
Perdebatan Ibnu Abbas Dengan Kelompok Penuduh Hukum Kafir
Tuduhan kafir tentang berhukum kepada selain hukum Allah sudah terjadi di masa Sahabat, bukan kali ini saja. Ada satu kelompok dalam Islam yang dikenal dengan Haruriyah atau Khawarij. merekan adalah kelompok yang keluar dari Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka keluar dengan alasan Sayidina Ali telah menerima arbitrase perjanjian damai dengan kelompok Mu’awiyah.
Ibnu Abbas menanyakan kepada mereka mengapa mereka keluar dari Ali? Ada 3 alasan yang mereka kemukakan, diantaranya adalah:

قَالُوْا : أَمَّا إِحْدَاهُنَّ فَإِنَّهُ حَكَّمَ الرِّجَالَ فِي أَمْرِ اللهِ وَقَالَ اللهُ تَعَالَى { إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلهِ }

“Khawarij berkata: “Salah satunya adalah Ali menjadikan manusia sebagai juru hukum dalam agama Allah, sementara firman Allah: “Tidak ada hukum kecuali milik Allah” (QS Al-An’am: 165)

قُلْتُ : أَمَّا قَوْلُكُمْ حَكَّمَ الرِّجَالِ فِي أَمْرِ اللهِ فَأَنَا عَلَيْكُمْ مَا قَدْ رَدَّ حُكْمَهُ إِلَى الرِّجَالِ فِي ثَمَنِ رُبُعِ دِرْهَمٍ فِي أَرْنَبٍ وَنَحْوِهَا مِنَ الصَّيْدِ فَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ } إِلَى قَوْلِهِ : { يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ } وَأنْ تَعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ لَوْ شَاءَ لَحَكَمَ وَلَمْ يُصَيِّرْ ذَلِكَ إِلَى الرِّجَالِ

Ibnu Abbas menjawab: “Apa yang kalian katakan tentang manusia membuat hukum dalam agama Allah, maka saya bacakan kepada kalian ayat bahwa Allah mengembalikan hukum kepada manusia dalam masalah hewan buruan bagi orang Ihram yang memburu kelinci dan hewan buruan lainnya, yang diputuskan oleh 2 orang yang adil”. Hendaklah kalian ketahui bahwa jika Allah berkehendak akan diputus sendiri oleh Allah, bukan kepada manusia.

Ibnu Abbas lalu memperkuat dengan dalil Al-Quran lainnya:

وَفِي الْمَرْأَةِ وَزَوْجِهَا قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ { إِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيْدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَا } فَجَعَلَ اللهُ حَكَّمَ الرِّجَالَ سُنَّةً مَأْمُوْنَةً

Juga dalam masalah rumah tangga. Allah berfirman: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan” (An-Nisa’ 35) memerintahkan keduanya mengutus juru hukum yang dapat meng-islahkan keduanya. Maka Allah menjadikan hukum seseorang sebagai sunah yang dipercaya (HR al-Hakim, sahih sesuai syarat Muslim)
Dari riwayat ini Ibnu Abbas menegaskan bahwa hukum yang dibuat oleh manusia bukan sebuah kekufuran sebagaimana dituduhkan oleh Khawarij kepada Sayidina Ali.
Landasan Perjanjian Hudaibiyah
Para kyai kita saat penerima Pancasila didasarkan pada sejarah bahwa Rasulullah menerima perjanjian Hudaibiyah. Dalam perjanjian itu di atas kertas memang umat Islam dirugikan, baik penghapusan kalimat Rasulullah di belakang nama Nabi Muhammad shalla Allahu alaihi wa sallama atau lainnya.

Meski demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

وَظَهَرَ أَنَّ رَأْيَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصُّلْح أَتَمّ وَأَحْمَد مِنْ رَأْيهمْ فِي الْمُنَاجَزَة (فتح الباري لابن حجر - ج 9 / ص 458)

“Telah tampak bahwa pandangan Rasulullah dalam berdamai (menerima perjanjian Hudaibiyah) adalah lebih sempurna dan terpuji, daripada pendapat sebagian Sahabat untuk melanjutkan perang” (Fath al-Bari 9/458)

Ibnu al-Qayyim juga berkata:

وَمِنْهَا : أَنّ مُصَالَحَةَ الْمُشْرِكِينَ بِبَعْضِ مَا فِيهِ ضَيْمٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ جَائِزَةٌ لِلْمَصْلَحَةِ الرّاجِحَةِ وَدَفْعِ مَا هُوَ شَرّ مِنْهُ فَفِيهِ دَفْعُ أَعْلَى الْمَفْسَدَتَيْنِ بِاحْتِمَالِ أَدْنَاهُمَا (زاد المعاد - ج 3 / ص 265)

“Diantara peristiwa Hudaibiyah adalah bolehnya perjanjian damai dengan kaum Musyrik dengan perjanjian yang memberatkan umat Islam karena adanya kemaslahatan yang nyata, dan menghindari keburukan. Maka di dalamnya menghindari mafsadah terbesar dengan melakukan mafsadah terkecil” (Zaad al-Ma’ad 3/265)

ثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيْدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَا } فَجَعَلَ اللهُ حَكَّمَ الرِّجَالَ سُنَّةً مَأْمُوْنَةً

Juga dalam masalah rumah tangga. Allah berfirman: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan” (An-Nisa’ 35) memerintahkan keduanya mengutus juru hukum yang dapat meng-islahkan keduanya. Maka Allah menjadikan hukum seseorang sebagai sunah yang dipercaya (HR al-Hakim, sahih sesuai syarat Muslim)
Dari riwayat ini Ibnu Abbas menegaskan bahwa hukum yang dibuat oleh manusia bukan sebuah kekufuran sebagaimana dituduhkan oleh Khawarij kepada Sayidina Ali.
Landasan Perjanjian Hudaibiyah
Para kyai kita saat penerima Pancasila didasarkan pada sejarah bahwa Rasulullah menerima perjanjian Hudaibiyah. Dalam perjanjian itu di atas kertas memang umat Islam dirugikan, baik penghapusan kalimat Rasulullah di belakang nama Nabi Muhammad shalla Allahu alaihi wa sallama atau lainnya.

Meski demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

وَظَهَرَ أَنَّ رَأْيَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصُّلْح أَتَمّ وَأَحْمَد مِنْ رَأْيهمْ فِي الْمُنَاجَزَة (فتح الباري لابن حجر - ج 9 / ص 458)

“Telah tampak bahwa pandangan Rasulullah dalam berdamai (menerima perjanjian Hudaibiyah) adalah lebih sempurna dan terpuji, daripada pendapat sebagian Sahabat untuk melanjutkan perang” (Fath al-Bari 9/458)

Ibnu al-Qayyim juga berkata:

وَمِنْهَا : أَنّ مُصَالَحَةَ الْمُشْرِكِينَ بِبَعْضِ مَا فِيهِ ضَيْمٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ جَائِزَةٌ لِلْمَصْلَحَةِ الرّاجِحَةِ وَدَفْعِ مَا هُوَ شَرّ مِنْهُ فَفِيهِ دَفْعُ أَعْلَى الْمَفْسَدَتَيْنِ بِاحْتِمَالِ أَدْنَاهُمَا (زاد المعاد - ج 3 / ص 265)

“Diantara peristiwa Hudaibiyah adalah bolehnya perjanjian damai dengan kaum Musyrik dengan perjanjian yang memberatkan umat Islam karena adanya kemaslahatan yang nyata, dan menghindari keburukan. Maka di dalamnya menghindari mafsadah terbesar dengan melakukan mafsadah terkecil” (Zaad al-Ma’ad 3/265)

Semoga bermanfaat.