Jumat, 31 Januari 2014

Shalat Dhuha

3 Keutamaan Shalat Dhuha

Shalat Dhuha memiliki keutamaan yang luar biasa. Berikut ini hadits-hadits yang menunjukkan 3 keutamaan shalat Dhuha:

1. Shalat Dhuha 2 rakaat senilai 360 sedekah

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى


“Setiap pagi, setiap ruas anggota badan kalian wajib dikeluarkan shadaqahnya. Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, menyuruh kepada kebaikan adalah shadaqah, dan melarang berbuat munkar adalah shadaqah. Semua itu dapat diganti dengan shalat dhuha dua rakaat.” (HR. Muslim)

فِى الإِنْسَانِ ثَلاَثُمِائَةٍ وَسِتُّونَ مَفْصِلاً فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهُ بِصَدَقَةٍ. قَالُوا وَمَنْ يُطِيقُ ذَلِكَ يَا نَبِىَّ اللَّهِ قَالَ النُّخَاعَةُ فِى الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا وَالشَّىْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُكَ


“Di dalam tubuh manusia terdapat 360(tiga ratus enam puluh) sendi, yang seluruhnya harus dikeluarkan shadaqahnya.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah yang mampu melakukan itu wahai Nabiyullah?” Beliau menjawab, “Engkau membersihkan dahak yang ada di dalam masjid adalah shadaqah, engkau menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan adalah shadaqah. Maka jika engkau tidak menemukannya (shadaqah sebanyak itu), maka dua raka’at Dhuha sudah mencukupimu.” (HR. Abu Dawud)

2. Shalat Dhuha 4 rakaat membawa kecukupan sepanjang hari

يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لاَ تُعْجِزْنِى مِنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ فِى أَوَّلِ نَهَارِكَ أَكْفِكَ آخِرَهُ


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Wahai anak Adam, janganlah engkau luput dari empat rakaat di awal harimu, niscaya Aku cukupkan untukmu di sepanjang hari itu.” (HR. Ahmad)

3. Menjaga shalat Dhuha dicatat sebagai awwabiin

لا يحافظ على صلاة الضحى إلا أواب وهي صلاة الأوابين


“Tidaklah menjaga shalat sunnah Dhuha melainkan awwab (orang yang kembali taat). Inilah shalat awwabin.” (HR. Ibnu Khuzaimah; hasan)

Demikian, 3 keudtamaan sholat dukha semoga semakin menguatkan kita dalam mengamalkan salah satu sunnah Nabi ini.

25 Tip hidup bahagia dan damai

01. Jangan membanding-banding kan diri kita dengan orang lain,
02. Jangan berpikiran negatif terhadap orang lain,
03. Jangan mengejek atau merendahkan orang lain,
04. Jangan melakukan hal dengan emosi,
05. Jangan suka bergossip hal yg tidak penting,
07. Jangan suka mengeluh,
08. Yang lalu, biarlah berlalu jangan diungkit-ungkit,
09. Jangan membenci,
10. Hiduplah dengan damai,
11. Sadari bahwa kebahagiaan berawal dari diri sendiri,
12. Sadari bahwa hidup adalah proses pembelajaran,
13. Perbanyaklah tersenyum
14. Jangan suka ngotot,
15. Selalulah berkomunikasi kepada orang yang disayang,
16. Yakinlah Setiap hari adalah hari yg baik,
17. Maafkan semua orang,
18. Luangkan waktu untuk orang tua dan hormatilah mereka,
19. Usahakan membuat orang lain tersenyum,
20. Jangan mencampuri urusan orang lain,
21. Beri perhatian terhadap keluarga,
22. Hargailah orang yang mengasihimu dan menyayangimu,
23. Jika melihat orang susah, harus saling tolong menolong,
24. Kuatkan diri untuk selalu bersabar, dan
25. Yang terakhir paling penting adalah selalu bersyukur atas apa yg diberi oleh Allah pada kita dan yakinlah bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya

Semoga Ar-Rahman berkenan membukakan pintu hati kita sekeluarga untuk senantiasa selalu berupaya mendekatkan diri kepada-Nya, Aamiin. Yaa Robbal 'alamiin.

Juwaibar dan Zulfa

Juwaibar dan Zulfa

Juwaibar adalah laki – laki berkulit legam dan miskin, namun ia datang menemui Rasulullah untuk memeluk Islam. Karena ia orang asing yang tak memiliki rumah, Rasulullah menempatkannya bersama Kaum Muslimin lain yang tak memiliki rumah di bangsal As – Suffah.

Suatu hari Rasulullah Saw bersabda kepadanya, “Juwaibar, alangkah baiknya jika engkau beristri.” Juwaibar tertunduk malu dan menyahut, “Tetapi Rasulullah, aku sungguh tidak punya harta, ketampanan, dan keluarga. Wanita mana yang mau menikah denganku?”

Namun jawaban Rasulullah sungguh membesarkan hati, “Juwaibar, sesungguhnya dengan Islam Allah memuliakan orang yang di masa jahiliyah dianggap hina asalkan ia bertakwa. Pergilah ke rumah Ziyad bin Labid dan katakan bahwa Rasulullah menyuruhmu melamar putrinya yang bernama Zulfa.”

Maka Juwaibar berangkat menemui Ziyad bin Labid, seorang bangsawan Anshar dan pemuka Bani Bayadhah. Ketika tahu Juwaibar membawa pesan dari Rasulullah, Ziyad berkata dengan bangga, “Ungkapkanlah pesan Rasulullah itu secara terbuka pada kami di sini, Juwaibar. Sebab hal itu merupakan kehormatan dan kebanggaan bagi kami.”

Tanpa ragu Juwaibar berkata, “Rasulullah berpesan kepada Anda agar Anda menikahkan aku dengan putri Anda yang bernama Zulfa.”

Ziyad bagai mendengar petir di siang bolong. Maka ia berkata, “Kami tidak akan menikahkan Zulfa kecuali dengan laki – laki yang setaraf dengannya. Kembalilah Juwaibar, biar saya akan menanyakannya langsung kepada Rasulullah.”

Juwaibar kembali sambil bergumam, “Demi Allah, bukan untuk ini Al – Qur’an diturunkan dan kenabian Muhammad diumumkan.”

Zulfa yang mendengar kata – kata Juwaibar itu cepat – cepat mendatangi ayahnya, “Demi Allah, Ayah, Juwaibar tidak mungkin berbohong. Jemputlah ia kembali, Ayah.”

Akhirnya Ziyad sadar bahwa seorang mukmin pasti setaraf dengan seorang mukminah, seorang muslim setaraf dengan seorang muslimah, bagaimanapun rupa dan hartanya.

5 Kali dada rasulullah di belah

Pembedahan dada Nabi saw disini bukan untuk pengobatan sebagaiman oprasi pada kebanyakan manusia, namun bermaksud untuk mensucikan hati dan mengisinya dengan hikmah.Dokternyapun berasal dari langit, dialah jibril as. dan mikail as.

Menurut IMAM NAWAWI, IMAM SUYUTI, IMAM MUNDZIRI, Pembedahanya tidak menggunakan benda apapun.
1 => sa'at Nabi berumur 4tahun dalam asuhan Halimah As sa'diyah wanita yang menyusui Nabi saw.
2 => sa'at berumur 10tahun.
Waktu itu Beliau didatangi oleh 2 malaikat, lalu dibaringkan tanpa paksaan dan kesukaran, lau dibedahlah dadanya tanpa mengeluarkan darah setetespun dan tidak pula sedikitpun kesakitan.
3 => menginjak dewasa kira kira berusia 10tahun.
4 => umur 40tahun ketika diangkat menjadi Rasul.
Guna persiapan menerima datangnya wahyu.
5 => Dikala hendak isra mi'raj.
Dalam pembedahan ini Jibril as. berkata pada mikail as. "Datangkan padaku 3 bejana penuh dengan air zam zam, untuk mensucikan hatinya dan melapangkan dadanya.

Mengapa jibril as menggunakan air zam zam ?
~ Karena air zam zam adalah semulya air setelah air yang keluar dari jari jari Nabi sendiri.
~ Bukankah air zam zam berasal dari pukulan sayam malaikat jibril.
~ Hadist riwayat IMAM DAILAMI
" Air zam zam itu adalah merupakan obat dari segala macam penyakit.

Setelah jibril membersihan dan mensucikan Hati Nabi, maka di isilah Hati itu dengan HIKMA dan IMAN.
Kemudian jibril menutup kembali dada Nabi dan memberi stempel kenabian diantara kedua bahu Nabi saw.

Semoga manfa'at dan menambah kecintaan kita pada Rasulallah saw. Dengan semakin mengarahkan jalan hidup kita pada jalan hidupnya Nabi dan para sahabat r.hum..
Aaamiin..

Shalat Sunnah Sebelum Maghrib

Disunnahkan melaksanakan shalat sunnah sebelum Maghrib bagi siapa yang mau. Yang dikerjakan sebelum Maghrib tersebut adalah dua raka’at.

Beberapa dalil yang jadi dukungan untuk masalah ini adalah sebagai berikut.

Hadits ‘Abdullah bin Mughoffal Al Muzani, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« صَلُّوا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ ». ثُمَّ قَالَ « صَلُّوا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ لِمَنْ شَاءَ ». خَشْيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً.


“Kerjakanlah shalat sunnah sebelum Maghrib dua raka’at.” Kemudian beliau bersabda lagi, “Kerjakanlah shalat sunnah sebelum Maghrib dua raka’at bagi siapa yang mau.” Karena hal ini dikhawatirkan dijadikan sebagai sunnah. (HR. Abu Daud no. 1281. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dalam Shahih Bukhari disebutkan,

صَلُّوا قَبْلَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ – قَالَ فِى الثَّالِثَةِ – لِمَنْ شَاءَ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً


“Shalat sunnahlah sebelum Maghrib, beliau mengulangnya sampai tiga kali dan mengucapkan pada ucapan ketiga, “Bagi siapa yang mau, karena dikhawatirkan hal ini dijadikan sunnah.” (HR. Bukhari no. 1183).

Juga ada cerita dari Mukhtar bersama Anas bin Malik sebagai berikut,

عَنْ مُخْتَارِ بْنِ فُلْفُلٍ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنِ التَّطَوُّعِ بَعْدَ الْعَصْرِ فَقَالَ كَانَ عُمَرُ يَضْرِبُ الأَيْدِى عَلَى صَلاَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ وَكُنَّا نُصَلِّى عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ قَبْلَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ. فَقُلْتُ لَهُ أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلاَّهُمَا قَالَ كَانَ يَرَانَا نُصَلِّيهِمَا. فَلَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا.


Dari Mukhtar bin Fulful, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Anas bin Malik mengenai shalat sunnah setelah ‘Ashar, ia berkata bahwa ‘Umar dahulu pernah memukul tangannya gara-gara mengerjakan shalat sunnah sebelum ‘Ashar. Lalu Anas berkata, “Dahulu kami melaksanakan shalat sunnah dua raka’at setelah tenggelamnya matahari sebelum shalat Maghrib di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salllam.” Aku (Mukhtar) bertanya pada Anas, “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan dua raka’at tersebut?” Ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kami melakukan dua raka’at tersebut, lalu beliau tidak memerintahkan dan tidak pula melarangnya.” (HR. Muslim no. 836).

Juga ada hadits dari Anas bin Malik, ia berkata,

كُنَّا بِالْمَدِينَةِ فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ لِصَلاَةِ الْمَغْرِبِ ابْتَدَرُوا السَّوَارِىَ فَيَرْكَعُونَ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ الْغَرِيبَ لَيَدْخُلُ الْمَسْجِدَ فَيَحْسِبُ أَنَّ الصَّلاَةَ قَدْ صُلِّيَتْ مِنْ كَثْرَةِ مَنْ يُصَلِّيهِمَا


“Dahulu ketika kami berada di Madinah, ketika muadzin mengumandangkan adzan Maghrib, mereka langsung saling berlomba untuk melakukan shalat dua raka’at dan dua raka’at. Sampai-sampai jika ada orang asing yang masuk dalam masjid, ia akan menyangka bahwa shalat Maghrib sudah dilaksanakkan karena saking banyaknya orang yang melakukan shalat dua raka’at tersebut.”  (HR. Muslim no. 837).

Imam Nawawi menjelaskan, “Riwayat-riwayat di atas menunjukkan akan dianjurkannya shalat sunnah dua raka’at antara tenggelamnya matahari dan shalat maghrib dilaksanakan. Namun mengenai anjuran shalat sunnah sebelum Maghrib ada dua pendapat dalam madzhab Syafi’i, yang paling kuat dalam madzhab adalah tidak disunnahkan. Namun berdasarkan pendapat para peneliti hadits, yang lebih kuat adalah shalat sunnah sebelum Maghrib tetap disunnahkan, alasannya karena dukungan hadits-hadits di atas.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 111).

Namun shalat sunnah sebelum maghrib (qobliyah Maghrib) tidak masuk dalam shalat sunnah yang ditekankan. Karena yang sangat dianjurkan adalah 12 raka’at yang dijaga setiap hari sebagaimana disebutkan dalam hadits,

مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنَ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ


“Barangsiapa merutinkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari, maka Allah akan membangunkan bagi dia sebuah rumah di surga. Dua belas raka’at tersebut adalah empat raka’at sebelum  zhuhur, dua raka’at sesudah zhuhur, dua raka’at sesudah maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya, dan dua raka’at sebelum shubuh.” (HR. Tirmidz no. 414, Ibnu Majah no. 1140, An Nasai no. 1795, dari ‘Aisyah. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Semoga Allah memberi taufik untuk beramal sholih.

Kamis, 30 Januari 2014

Bersedekah & kirim do'a untuk ahli Qubur

MASIH ADA HARAPANKAH MENGIRIM PAHALA AMAL SHOLIH BUAT MAYIT ?
Inkar Sunnah beranggapan bahwa seseorang tidak boleh bersedekah, berhaji, berpuasa yang pahalanya diberikan kepada orang lain karena pahalanya tidak akan sampai. Mereka berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits berikut:
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39)
“Barang siapa mengerjakan amal sholih, maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Rabb-mulah kamu dikembalikan.” (QS. Al Jaatsiyah: 15)
Nabi bersabda: “Jika anak Adam mati, maka akan terputus seluruh amal perbuatannya kecuali pada 3 hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholih yang mendoakannya.” (HR. Muslim: Al-Washiyyah, bab: Maa Yalhaqul Insaan Minats Tsawaab Ba’da Wafaatihi hadits no. 14)
Mereka yang berpegang pada zhohir ayat di atas maka akan menolak banyak hadits Nabi tentang mengirimkan manfaat untuk orang lain seperti bersedekah, berhaji, atau berpuasa untuk orang lain. Hadit-hadits tersebut antara lain:
a.       Dalam Kitab Shohih Bukhari, Abdullah bin Abbas menceritakan bahwa ibunda Sa’ad bin Ubadah wafat di saat Sa’ad sedang tidak ada di dekatnya. Sa’ad kemudian datang kepada Nabi shollallahu ’alaihi wasalam seraya berkata: ”Rasulullah, ibu saya telah wafat ketika saya sedang tidak ada di dekatnya. Apakah bermanfaat untuknya jika bersedekah atas namanya?” Beliau membenarkan. Sa’ad berkata: ”Saksikanlah bahwa kebun saya yang berbuah lebat ini menjadi sedekah atas namanya.” (HR. Bukhari dalam Al-Washaya 5/453)
b.      Abu Hurairah dalam Kitab Shohih Muslim menuturkan bahwa ada seseorang berkata kepada Nabi shollallahu ’alaihi wasalam: ”Ayah saya telah wafat. Ia meninggalkan sejumlah harta, tetapi tidak sempat berwasiat. Apakah cukup bermanfaat untuknya jika saya bersedekah atas namanya?” Beliau menjawab: ”Benar.” (HR. Muslim dalam Al-Washiyyah 3/1454)
c.       Ibnu Abbas bercerita: Seseorang datang kepada Nabi shollallahu ’alaihi wasalam lantas berkata: ”Rasulullah, ibu saya meninggal dunia, dan ia mempunyai hutang puasa selama satu bulan. Mestikah saya mengqadha puasa untuknya?” Beliau menjawab: ”Ya, sebab hutang kepada Allah lebih patut untuk dilunasi.” (HR. Bukhari dalam Ash-Shaum 1817, Muslim dalam Ash-Shaum 1946, Ahmad dalam Al-Musnad 1868)
d.      Dari Aisyah Nabi shollallahu ’alaihi wasalam bersabda: ” Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya.” (HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147)
e.       Dalam Kitab Shohih Bukhari dari Ibnu Abbas menuturkan bahwa seorang wanita dari Juhainah datang menghadap Nabi shollallahu ’alaihi wasalam. Si wanita lantas berkata: ”Ibu saya pernah bernazar untuk menunaikan ibadah haji. Namun ia belum sempat menunaikannya lantaran keburu meninggal dunia. Bolehkah saya menunaikan ibadah haji atas namanya?” Beliau berkata:”Silakan engkau menunaikan ibadah haji atas namanya. Menurutmu seandainya ibu engkau itu masih mempunyai hutang, apakah kamu akan melunasi hutangnya itu? Hendaklah kalian melunasi hutang kepada Allah, sebab Dia paling berhak mendapat pelunasan.”
Orang yang mengingkari hadits-hadits di atas, sebenarnya tidak konsisten dengan prinsip yang mereka anut. Mengapa? Karena mereka menolak sebagian, tetapi mengimani sebagian yang lain. Mereka menganggap bahwa mendoakan orang tua, saudara, keluarga, maupun kaum muslimin itu bermanfaat.
“Dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (QS. At-Taubah: 103)
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)." (QS. Ibrahim: 41)
“Apabila kalian mensholati mayat, hendaklah kalian mengikhlaskan doa untuknya.” (HR. Ibnu Majah dalam Al-Janaiz 4801 dan Abu Dawud dalam Al-Janaiz 3/2073)
Mendoakan orang tua, saudara, maupun kaum mukminin sangat bermanfaat bagi orang yang didoakan, padahal mendoakan bukanlah amalan sendiri tetapi amalan orang lain.
Mereka juga menganggap bahwa mensholati jenazah itu akan bermanfaat bagi si mayit.
Nabi bersabda: “Tidaklah seorang mayit disholatkan oleh sekelompok orang Islam yang jumlah mereka mencapai 100, semuanya memintakan syafa’at untuknya, melainkan syafa’at itu akan diberikan pada dirinya.” (HR. Muslim no. 947, 58)
Bukankah sholat jenazah ini merupakan amalan orang lain bukan amalan si mayit, tetapi ternyata amalan orang lain ini bermanfaat bagi si mayit.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ditanya tentang Surat An-Najm 39 dan hadits Muslim “Jika anak Adam mati…” : Apakah hal itu mengharuskan bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka tidak akan ada satupun dari amal kebajikan yang sampai kepadanya?
Maka Ibnu Taimiyyah menjawab:
“Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Tidak disebutkan dalam ayat dan hadits di atas bahwa orang yang sudah meninggal dunia tidak dapat mengambil manfaat dari doa yang dipanjatkan untuknya dan amal kebajikan yang dilakukan baginya. Seluruh umat Islam sepakat bahwa orang yang sudah meninggal dunia dapat mengambil manfaat dari itu semua. Hal ini termasuk yang diketahui dalam agama Islam secara pasti dan telah dibuktikan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’. Barang siapa yang menyalahinya, maka dia termasuk ahli bid’ah. Allah berfirman:
“(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala, ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam syurga 'Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar." (QS. Al Mu’min: 7-9)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa para malaikat mendoakan ampunan, penjagaan dari siksa dan masuk surga bagi kaum mukminin. Doa malaikat bukan merupakan amal perbuatan manusia.” (Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah jilid 24 hal 239 cet. 1 Darul Kalimah Ath-Thayyibah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidaklah mesti setiap hal yang bisa diambil manfaatnya atau menjadi sebab rahmat oleh orang yang sudah meninggal dunia atau orang yang masih hidup berasal dari usahanya sendiri. Bahkan bayi-bayi kaum muslimin akan masuk surga bersama ayah-ayah mereka dengan tanpa usaha. Yang tidak dapat diambil manfaatnya adalah yang khusus dimanfaatkan secara keseluruhan, agar seseorang tidak hanya mengharapkan pahala dari usaha orang lain. Seperti halnya hutang yang dilunasi oleh seseorang untuk orang lainnya sehingga dia menjadi terbebas dari tanggungannya, namun dia tidak berhak untuk menuntut pelunasan hutangnya, justru diharapkan dialah yang melunasi hutangnya sendiri.” (Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah jilid 24 hal 239 cet. 1 Darul Kalimah Ath-Thayyibah)
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata: “Adapun berdoa dan bersedekah, maka keduanya telah disepakati (ijma’) akan sampai kepadanya (mayit), dan keduanya memiliki dasar dalam nash syariat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7 /465)
Imam An-Nawawi setelah menyebutkan rentetan hadits-hadits yang menjadi hujjah sampainya sedekah kepada mayit mengatakan: “Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya bersedekah untuk mayit dan itu disunahkan melakukannya, dan sesungguhnya pahala sedekah itu sampai kepadanya dan bermanfaat baginya, dan juga bermanfaat buat yang bersedekah. Dan semua ini adalah ijma’ (kesepakatan) semua kaum muslimin.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/20.)
Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata: “Do’a dan sedekah orang yang hidup dapat bermanfaat bagi mereka yang sudah mati.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah masalah ke-100)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Para imam telah sepakat bahwa sedekah akan sampai kepada mayit, demikian juga ibadah maliyah (harta), seperti membebaskan budak.” (Majmu’ Fatawa, 5/466)
Abu Sulaiman Walid Al Baji  mengatakan: “Maka, Nabi Saw  mengizinkan bersedekah darinya, hal itu diizinkan untuknya, karena sedekahnya itu termasuk apa-apa yang bisa mendekatkan dirinya (kepada Allah).” (Al Muntaqa’ Syarh Al Muwatta’, 4/74)
Ibnu Qudamah mengatakan: “Amal apapun demi mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala yang dilakukan oleh manusia dan menjadikan pahalanya untuk mayit seorang muslim, maka hal itu membawa manfaat bagi mayit itu.” (Al Mughni, hal. 567-569)
Khathib Asy Syarbini mengatakan: “Sedekah bagi mayit membawa manfaat baginya, wakaf membangun masjid, dan membuat sumur air dan semisalnya.” (Mughni Muhtaj, 3/69-70)
Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya Bab Maa Yustahabu Liman Tuwufiya Fuja’atan An Yatashaddaquu ‘Anhu wa Qadha’i An Nudzur ‘anil Mayyit (Bab: Apa saja yang dianjurkan bagi yang wafat tiba-tiba, bersedekah untuknya, dan memenuhi nazar si mayit).
Imam Muslim, dalam kitab Shahih-nya, memasukkan hadits ini dalam Bab Wushul Tsawab Ash Shadaqat Ilal Mayyit (Bab: Sampainya pahala sedekah kepada mayit).
Imam An-Nasa’i, dalam kitab Sunan-nya memasukkan hadits ini dalam Bab Fadhlu Ash Shadaqat ‘anil Mayyit (Bab: Keutamaan bersedekah untuk mayit).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Mufti Arab Saudi) berfatwa: “Adapun bersedekah dan berdoa bagi mayit kaum muslimin, maka semua ini disyariatkan.” (Fatawa Nur ‘Alad Darb, 1/89)
Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin (Ulama Arab Saudi) mengatakan: “Adapun sedekah buat mayit, maka itu tidak apa-apa, boleh bersedekah (untuknya).” (Fatawa Nur ‘Alad Darb no. 44)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Seorang wanita boleh menghajikan wanita lain, (hal ini) berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Fatawa, 26/13)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Tentang menghajikan orang yang sudah mati atau orang yang tidak kuat badannya, dengan harta yang diambil dari orang yang dihajikan itu sebagai biaya selama haji, maka ini boleh, dengan kesepakatan para ulama. Adapun menghajikan orang yang mengambil upah, (hal ini) masih menjadi perselisihan pendapat di antara para ahli fikih.” (Majmu’ Fatawa, 26/13)
Imam Asy-Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa tidak sampai kepada mayit kecuali apa yang diterangkan oleh dalil tentang pengesahan untuk memberikan hadiah kepada mayit yaitu berbentuk doa, shadaqah, haji dan umrah. Adapun di luar itu tidak sampai kepadanya dan tidak pula disyariatkan perbuatannya dengan niat memberikan hadiah. Itulah pendapat yang masyhur (populer) dari madzhab Imam Asy-Syafi’i dan Imam Malik.” (Syarah Aqidah At-Thahawiyah, hal. 452 dan Al-Majmu’ Imam An-Nawawi, 15/521)
Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata: “Para ulama telah bersepakat bahwa orang yang telah mati mendapatkan manfaat dengan shalat (jenazah) atasnya, doa untuknya, haji baginya, dan semacamnya, dari segala sesuatu yang manfaatnya telah pasti didapatkan oleh seseorang dengan sebab amal orang lain.” (Tafsir Adhwaul Bayan, Surat An-Najm ayat 39)
Firman Allah dalam Surat An-Najm ayat 39 :
“Bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya.”
Berikut ini penjelasan Surat An-Najm ayat 39:
Mengenai ayat di atas seorang shahabat Nabi, ahli tafsir yang utama, yang pernah didoakan secara khusus oleh Nabi agar pandai menakwilkan al Qur’an yakni Ibnu Abbas ra. berkata : “Ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah SWT: “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam surga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya.’ (Tafsir Khazin, IV/213)
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas ra sebagai penasakh Surat An-Najm ayat 39 itu adalah sebagai berikut : “Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur :21)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam menafsirkan QS. An-Najm 39: “Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mendapat manfaat dari orang lain, namun Allah berfirman, seseorang hanya berhak atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adalah hak orang lain. Namum demikian ia bisa memiliki harta orang lain apabila dihadiahkan kepadanya. Begitu pula pahala, apabila dihadiahkan kepada si mayyit maka ia berhak menerimanya seperti dalam sholat jenazah dan doa di kubur. Dengan demikian si mayit berhak atas pahala yang dihadiahkan oleh kaum muslimin, baik kerabat maupun orang lain.” (Majmu’ Fatawa, 24/366)
Asy-Syaukani berkata menafsirkan Surat An-Najm ayat 39: “Dan makna ayat tersebut, ‘Dia (manusia) hanya mendapatkan balasan usahanya, dan amal seseorang tidak bermanfaat kepada orang lain’, maka keumuman ini dikhususkan dengan firman Allah ta’ala, ‘Kami hubungkan mereka dengan anak cucu mereka’. (Q.S. Ath-Thur: 21), serta dengan ayat semisal itu tentang syafaat para nabi dan para malaikat untuk hamba-hamba (Allah), dan disyariatkannya doa orang-orang yang hidup untuk orang-orang yang telah mati, dan semacamnya. Tidak benarlah orang yang mengatakan  ‘Sesungguhnya ayat itu dihapuskan dengan semisal perkara-perkara ini’, karena sesungguhnya yang khusus tidaklah menghapuskan yang umum, tetapi mengkhususkannya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dalilnya telah tegak bahwa manusia mendapatkan manfaat dengannya, sedangkan itu bukan usahanya, hal itu menjadi pengkhusus keumuman ayat ini.” (Tafsir Fathul Qadir, Surat An Najm ayat 39)
Asy-Syaukani berkata dalam kitabnya yang lain: “(Ayat) ‘Tidak ada seseorang itu…..’ maksudnya tidak  ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.” (Nailul Authar, IV/102)
Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata: “Ayat itu hanyalah menunjukkan peniadaan kepemilikan manusia terhadap sesuatu yang tidak diusahakannya. Ayat ini tidak menunjukkan peniadaan bahwa manusia tidak mendapatkan manfaat dengan usaha orang lain.” (Tafsir Adhwaul Bayan, Surat An-Najm ayat 39).
Nabi bersabda: “Jika anak Adam mati, maka akan terputus seluruh amal perbuatannya kecuali pada 3 hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholih yang mendoakannya.” (HR. Muslim: Al-Washiyyah, bab: Maa Yalhaqul Insaan Minats Tsawaab Ba’da Wafaatihi hadits no. 14)
Berikut penjelasan mengenai hadits tersebut:
Ibnul Qayyim berkata untuk membantah orang yang berargumen menggunakan hadits Muslim “Jika anak Adam mati…” : “Maka ini pengambilan dalil yang tidak pada tempatnya. Sebab Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tidak mengatakan ‘terputus pengambilan manfaatnya’, tapi yang diberitahukan adalah ‘terputusnya amal perbuatan’, sedangkan amal perbuatan orang lain adalah milik orang lain. Apabila dia menghadiahkan pahala amal perbuatannya, maka pahala si pelaku tersebut akan sampai kepadanya, bukan pahalanya sendiri. Yang terputus lain hal, sedangkan yang sampai kepadanya lain hal lagi.” (Kitab Ar-Ruuh oleh Ibnul Qayyim)
Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi (murid Ibnu Katsir) menjelaskan: “Dalam hadits tersebut tidak dikatakan inqata intifa’uhu (terputus keadaannya untuk mendapat manfaat) tetapi disebutkan inqata ‘amaluhu (terputus amalnya). Adapun amalan orang lain (yang masih hidup) maka itu adalah milik orang yang mengamalkannya, jika dia menghadiahkannya kepada si mayit, maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah pahala orang yang mengamalkan bukan pahala amal si mayit itu.” (Syarh Aqidah Thahawiyah: 456)
Yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan Ahlus Sunnah adalah masalah mengirimkan pahala bacaan Al Qur’an kepada mayit karena hal ini tidak terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi'i berpendapat tidak sampai karena tidak ada dalil yang menerangkan hal itu. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat sampainya pahala bacaan Al-Qur'an kepada mayit berdasarkan qiyas. 
 
Wallahu a’lam

Macam-macam syafa'at pada hari Kiamat

MACAM-MACAM SYAFA’AT PADA HARI KIAMAT

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Rasulullah memberikan syafa’at kepada manusia pada hari kiamat, yaitu dengan memberikan ketenangan pada waktu mereka dalam ketakutan. Rasul juga memberikan syafa’at dengan memohon keringanan adzab untuk sebagian orang-orang kafir, sebagaimana yang terjadi pada diri paman beliau Abu Thalib. Rasul juga memberikan syafa’atnya dengan memohon kepada Allah untuk mengeluarkan sebagian orang mukmin dari siksa api neraka atau memohonkan mereka untuk tidak dimasukkan ke dalam api neraka setelah ditetapkan bahwa mereka akan masuk neraka. Rasul juga dapat memberikan syafa’at bagi seseorang untuk masuk surga tanpa melalui proses hisab atau dengan mengangkat derajat sebagian mereka untuk bisa tinggal dalam surga yang lebih tinggi.” (Fathul Bari syarah Shahih Bukhari)
Ibnu Abil Izz Al Hanafi (murid Ibnu Katsir) menyebutkan bahwa syafa’at ada 8, yaitu :
1.      Syafa’at Udzma, ini khusus bagi Nabi Muhammad.
2.      Syafa’atnya Nabi Muhammad kepada kaum yang kebaikan dan keburukannya seimbang untuk masuk surga.
3.      Syafa’atnya Nabi Muhammad kepada siapa yang disuruh masuk neraka untuk tidak memasukinya.
4.      Syafa’atnya Nabi Muhammad untuk mengangkat derajat ahlul jannah.
5.      Syafa’atnya Nabi Muhammad kepada suatu kaum untuk masuk jannah tanpa hisab.
6.      Syafa’atnya Nabi Muhammad untuk meringankan adzab neraka bagi siapa yang berhak mendapatkannya, seperti syafa’atnya kepada pamannya Abu Thalib.
7.      Syafa'tnya Nabi Muhammad kepada segenap kaum mu'minin agar diizinkan masuk syurga.
8.      Syafa'atnya Nabi Muhammad kepada para pelaku dosa besar dari kalangan umatnya yang masuk neraka agar keluar darinya. (Syarh Aqidah Thohawiyyah oleh Ibnu Abil Iz Al Hanafi)
Syafa’at pada hari kiamat ada bermacam-macam seperti yang telah disebutkan dalam banyak hadits. Macam-macam syafa’at tersebut di antaranya adalah:
1.      Syafa’at Terbesar Al Udzma atau Al Kubra Nabi Muhammad di Padang Mahsyar
Dari Abu Hurairoh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada suatu hari Rasulullah diberi daging, dengan disuguhkan kepada beliau bagian lengan kambing dan beliau menyukainya. Lalu, beliau menggigitnya dengan ujung giginya. Kemudian beliau bersabda: “Aku adalah pemimpin (tuan / sayyid) manusia pada Hari Kiamat. Apakah kamu sekalian mengerti mengapa demikian? Pada Hari Kiamat, Allah mengumpulkan semua manusia, yang dahulu dan yang akhir di suatu tempat. Lalu mereka mendengar suara penyeru. Pandangan pun tiada terhalang, dan matahari pun dekat. Manusia mengalami kesedihan dan kesulitan yang tiada mampu mereka tanggung dan mereka pikul. Maka, sebagian di antara mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Tidakkah kamu tahu apa yang kamu alami? Tidakkah kamu tahu apa yang menimpamu? Tidakkah kamu cari siapa yang dapat memberimu syafa’at kepada Rabb-mu?”
Sebagian yang lain di antara mereka pun menjawab, “Datangilah Adam.”
Kemudian mereka pun mendatangi Adam, dan berkata: “Wahai Adam, engkau adalah bapak manusia, Allah telah menciptakanmu dengan Tangan-Nya. Lalu Dia tiupkan kepadamu Ruh-Nya dan memerintahkan para Malaikat agar mereka bersujud (hormat) kepadamu. Maka mintalah kepada Rabb-mu syafa’at bagi kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang menimpa kami?”.
Nabi Adam menjawab: “Sesungguhnya Rabb-ku pada hari ini murka yang tiada pernah Dia marah sebelum dan sesudahnya seperti itu. Rabb-ku pernah melarangku mendekati sebuah pohon (di surga dulu),tetapi aku berma’shiyat, melanggar larangan itu karena nafsuku. Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada Nabi lain selainku. Pergilah kalian kepada Nuh.”
Kemudian mereka mendatangi Nabi Nuh, lalu berkata : “Wahai Nuh, engkau adalah rasul pertama di bumi. Allah menyebutmu sebagai hamba yang sangat bersyukur. Maka mintakanlah kepada Rabb-mu syafa’at untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang telah menimpa kami?”.
Nabi Nuh menjawab : “Sesungguhnya Rabb-ku pada hari ini murka tiada tara, yang belum pernah Dia murka seperti itu sebelum dan sesudahnya. Sungguh, dahulu aku pernah mendo’akan jelek untuk kaumku. Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada Ibrahim.”
Kemudian manusia mendatangi Nabi Ibrahim, dan berkata: “Engkau adalah Nabi Allah dan Kekasih-Nya dari penduduk bumi. Mintakanlah syafa’at kepada Rabb-mu untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang sedang menimpa kami?”.
Kemudian Nabi Ibrahim pun menjawab, “Sesungguhnya Rabb-ku pada hari ini murka tiada tara, yang belum pernah Dia murka seperti itu sebelum dan sesudahnya.
Nabi Ibrahim menyebutkan dusta yang telah dialaminya (ketika ia menghancurkan berhala – pen). Nabi Ibrahim berkata, “Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada Nabi lain selainku. Pergilah kalian kepada Musa.”
Maka mereka pun mendatangi Musa, lalu berkata: “Wahai Musa, engkau adalah utusan Allah. Allah telah memberimu keutamaan dengan risalah-Nya, dan firman-Nya kepadamu melebihi manusia lain. Maka mintakanlah syafa’at kepada Rabb-mu untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang telah menimpa kami?”.
Nabi Musa menjawab: “Sesungguhnya Rabb-ku pada hari ini murka tiada tara, yang belum pernah Dia murka seperti itu sebelum dan sesudahnya. Sesungguhnya aku pernah membunuh seseorang yang aku tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada ‘Isa.”  
Lalu mereka mendatangi Nabi ‘Isa, seraya berkata: “Wahai Isa, engkau adalah utusan Allah. Engkau telah berbicara kepada manusia ketika engkau baru lahir. Engkau terwujud dengan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam dengan tiupan roh dari-Nya. Maka, mintakanlah syafa’at kepada Rabb-mu untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang sedang menimpa kami?”.
Nabi ‘Isa menjawab: “Sesungguhnya Rabb-ku pada hari ini murka tiada tara, yang belum pernah Dia murka seperti itu sebelum dan sesudahnya.”
Nabi ‘Isa tidak menyebutkan dosa yang pernah dialaminya.
Kata Nabi ‘Isa selanjutnya, “Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada Muhammad.”
Kemudian mereka mendatangiku, dan berkata : “Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allah, engkau adalah Penutup para Nabi, Allah telah memberikan ampunan atas dosa yang telah engkau lakukan (seandainya ada). Maka, mintakanlah syafa’at kepada Rabb-mu untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang sedang menimpa kami?”.
Maka aku (Nabi Muhammad) pergi dan mendatangi Tahtal ‘Arsy (ke bawah ‘Arsy). Lalu aku bersujud kepada Rabb-ku. Kemudian Allah memberiku pertolongan dan pemberitahuan yang tidak pernah Dia berikan kepada seseorang sebelum aku. Dia berfirman, “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu. Mintalah, maka engkau akan diberi. Mintalah syafa’at, maka engkau akan diizinkan untuk memberi syafa’at.”
Lalu aku mengangkat kepalaku, dan aku mengatakan : “Ya Allah, tolonglah umatku! Tolonglah umatku!”
Aku dijawab: “Wahai Muhammad, masukkanlah ke surga umatmu yang bebas hisab dari pintu kanan surga, dan selain mereka lewat pintu yang lain lagi.Demi Allah yang menguasai diri Muhammad, sesungguhnya antara dua daun pintu di surga sebanding antara Mekkah dan Hajar (daerah Palestina – pent.), atau antara Mekkah dan Bashra (Iraq – pent.).” (HR. Muslim no. 194)
2.      Syafa’atnya Nabi Muhammad kepada Kaum yang Kebaikan dan Keburukannya Seimbang (Ashabul A’raf) untuk Masuk Surga
Orang mukmin yang mempunyai kebaikan dan keburukan yang seimbang (ashabul a’raf), maka mereka berada di antara batas surga dan neraka. Ketika mereka melihat ke arah surga, mereka ingin dapat memasukinya. Tetapi ketika mereka melihat ke arah neraka, mereka memohon kepada Allah agar tidak dimasukkan ke dalamnya.
Allah berfirman: “Dan di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas; dan di atas A’raaf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. dan mereka menyeru penduduk surga: “Salaamun ‘alaikum[Mudah-mudahan Allah melimpahkan kesejahteraan atas kalian]“. mereka belum lagi memasukinya, sedang mereka ingin segera (memasukinya). Dan apabila pandangan mereka dialihkan ke arah penghuni neraka, mereka berkata: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau tempatkan kami bersama-sama orang-orang yang dzalim itu. Dan orang-orang yang di atas A’raaf memanggil beberapa orang (pemuka-pemuka orang kafir) yang mereka mengenalnya dengan tanda-tandanya dengan mengatakan: “Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang selalu kamu sombongkan itu, tidaklah memberi manfaat kepadamu.” (QS. Al A’raf 46-48)
Hudzaifah berkata: “Ashabul A’raf adalah kaum yang mana antara kebaikan dan keburukan mereka seimbang, kemudian Allah berfirman kepada mereka: “Masuklah surga dengan anugerah dan ampunan-Ku, pada hari ini janganlah kalian takut dan janganlah kalian bersedih hati.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsirnya, 12/453, no 14688. Atsar yang serupa dengan ini juga diriwayatkan oleh Al-Jama’ah)
Ibnu Katsir berkata: “Semua pendapat ini adalah saling berdekatan, yang kembali kepada satu makna yaitu mereka (ashabul a’raf-pen) adalah kaum yang kebaikan dan keburukannya sama”. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/121)
Ibnu Mas’ud berkata : “Ketika mereka (ashabul a’raf) berada di atas Sirath, mereka boleh mengetahui keadaan penduduk surga dan penduduk neraka. Maka apabila mereka melihat keadaan penduduk syurga mereka berkata: “Keselamatan bagi kalian”, dan ketika mereka mengalihkan pandangan mereka ke sebelah kiri mereka bisa melihat penduduk neraka, mereka berkata : “Ya Allah jangan jadikan kami bersama orang-orang dzalim”. Mereka berlindung kepada Allah dari neraka yang mereka lihat itu. Adapun orang yang banyak berbuat kebaikan, maka mereka diberi cahaya, yang mana cahaya itu berada di depan mereka dan samping kanan mereka dan mereka berjalan dengannya. Pada hari itu setiap hamba dan umat diberi cahaya. Maka ketika mereka semua sampai di atas Sirath, Allah mencabut cahaya orang-orang munafik, ketika ahli surga melihat apa yang terjadi pada orang munafik maka mereka berkata : “Ya Tuhan kami sempurnakanlah cahaya kami”. Adapun ashabul a’raf cahaya mereka hanya ada di arah depan saja. Itulah yang difirmankan oleh Allah : “Mereka belum lagi memasukinya, sedang mereka ingin segera (memasukinya).” (Tafsir Ath-Thabari 12/454, juga disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, 3/419)
Ashabul a’raf tertahan di antara batas surga dan neraka. Mereka baru bisa memasuki surga setelah mendapat syafa’at dari Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam. Imam Ath-Thabrani meriwayatkan, bahwa Ibnu Abbas berkata: “Orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebajikan memasuki surga dengan tanpa hisab, orang yang pertengahan memasuki surga dengan rahmat Allah, dan orang yang mendzalimi diri mereka sendiri dan ashabul a’raf mereka masuk surga dengan syafa’at dari Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam.” (Al-Mu’jam Al-Kabir Lith-Thabrani, 9/391, no 11292)
Ibnu Katsir berkata: “Ketika menjelaskan keadaan kaum muslimin di hari kiamat nanti berdasarkan ayat ini, Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu berkata : “Orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan akan masuk surga dengan tanpa hisab dan orang yang muqtasid akan masuk ke surga dengan rahmat Allah, sedangkan orang yang mendzalimi dirinya sendiri dan ashabul a’raf akan masuk surga dengan syafaat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Ibnu Katsir III/556)
3.      Syafa’at Nabi Muhammad kepada Calon Penghuni Surga yang Berada di Luar Pintu Surga Agar Segera Masuk Surga
Pintu-pintu surga dapat dibuka dengan izin Allah melalui syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalil tentang syafa’at ini bisa ditemui dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Dan orang-orang yang bertakwa kepada Rabb-nya dibawa ke surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu, sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka para penjaganya: "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu. Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya." (QS. Az Zumar: 73)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku akan mendatangi pintu surga pada hari kiamat, lalu aku meminta agar pintu tersebut dibuka. Penjaga pintu surga bertanya: Siapakah engkau? Aku menjawab: Muhammad. Penjaga itu berkata: Aku diperintahkan agar tidak membukakannya untuk siapa pun sebelum engkau.” (HR. Muslim, no. 292)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku adalah manusia yang paling banyak pengikutnya pada hari Kiamat. Dan akulah orang pertama yang mengetuk pintu surga.” (HR. Muslim, no. 290)
Syafa’at ini adalah salah satu syafa’at khusus yang Allah Ta’ala berikan kepada Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak diberikan kepada Nabi atau Rasul yang lainnya. Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa tidak ada yang masuk surga, kecuali setelah syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan hadits di atas.
4.      Syafa’at Nabi Muhammad kepada Pamannya Abu Thalib Agar Diringankan Adzabnya
Dari Abbas bin Abdul Muthalib berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau bisa memberi manfaat kepada Abu Thalib, sebab dia dulu memeliharamu dan membelamu?” Jawab beliau: “Benar, dia berada di neraka yang paling dangkal, kalau bukan karenaku niscaya dia berada di neraka yang paling bawah.“ (HR. Bukhari no. 3883, 6208, 6572, Muslim 209)

Dari Abu Sa`id Al Khudri, berkata: Disebutkan di sisi Rasulullah pamannya Abu Thalib, maka beliau bersabda: ” Semoga syafa’atku bermanfaat baginya kelak di hari kiamat. Karena itu dia ditempatkan di neraka yang paling dangkal, api neraka mencapai mata kakinya lantaran itu otaknya mendidih”. (HR.Bukhari 3885, 6564, Muslim 210)
Adzab neraka yang akan diterima oleh Abu Thalib adalah menggunakan alas kaki dari api neraka yang akan membuat otaknya mendidih. Syafa’at ini khusus untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan syafa’at kepada orang kafir, kecuali Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Syafa’at beliau shallallahu 'alaihi wasallam kepada Abu Thalib tidaklah diberikan atau dikabulkan secara sempurna, akan tetapi sekedar meringankan adzab Abu Thalib, lantaran di dunia ia membela keponakannya dari gangguan kaum kafir Quraisy. Abu Thalib tidak bisa keluar dari neraka karena beliau tidak mau mengucapkan kalimat tauhid “Laa ilaaha illallaah” menjelang wafatnya sehingga beliau mati dalam keadaan kafir.
5.      Syafa’at Nabi Muhammad kepada Kaum Mukminin Agar Bisa Masuk Surga Tanpa Hisab
Dari Abu Hurairoh, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda (ketika mengabarkan tentang syafa’at Al Udzma) :   Aku dijawab: Wahai Muhammad, masukkanlah ke surga umatmu yang bebas hisab dari pintu kanan surga, dan selain mereka lewat pintu yang lain lagi. (HR. Muslim no. 194)
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan tentang orang-orang yang masuk surga tanpa hisab, beliau bersabda: “Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak pernah minta diobati dengan metode kai, tidak tathayyur dan hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” Ukasyah bin Mihshan berdiri dan mengatakan: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka.” Rasulullah menjawab: “Engkau termasuk golongan mereka.” Sahabat yang lain lantas berdiri dan mengatakan: “Berdoalah kepada Allah agar aku termasuk di antara mereka.” Rasulullah bersabda: “Engkau sudah kedahuluan Ukasyah.” (HR. Bukhari 5705 dan Muslim 220)
6.      Syafa’at dari Allah, Para Nabi, Para Malaikat, dan Kaum Mukminin kepada Para Penghuni Neraka yang Beriman Agar Dikeluarkan dari Neraka
Dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘Para malaikat telah memberikan syafaat, para nabi juga sudah memberikan syafa’at, dan kaum mukmininpun sudah memberikan syafaat. Maka tidak ada lagi yang lain, kecuali Allah –Arhamur Rahimin. Maka Allah mengambil sekelompok orang dengan satu genggaman-Nya dari neraka. Lalu Dia mengeluarkan dari neraka sekelompok orang yang tidak pernah berbuat kebaikan sama sekali.” (HR. Bukhari dalam Fathul Bari XIII/421 hadits no. 7439 Kitab At Tauhid Bab 24 dan Muslim dalam Shahih Muslim Syarh Nawawi III/32 hadits no. 453)
a.      Syafa’at dari Allah
Dibawakan oleh Hammad bin Zaid, ia berkata: Aku bertanya kepada Amr bin Dinar: “Apakah engkau mendengar Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu membawakan hadits dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah mengeluarkan sekelompok orang dari neraka dengan syafaat?” Amr bin Dinar menjawab: “Ya.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar Riqaq Bab Shifatil Jannah wan Naar no. 6558 Fathul Bari XI/416 dan Muslim Kitab Al Iman Bab Adna Ahlil Jannah Manzilatan Fiha III/49 no. 470 Syarh Nawawi)
Dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maka Allah berfirman: Para Malaikat, para Nabi, orang-orang yang beriman memberikan syafa’at, dan tidak ada yang tersisa kecuali lalu Allah Yang Maha Pengasih akan menggenggam satu atau dua genggaman dari neraka kemudian mengeluarkan dari neraka itu kaum, yang tidak pernah dari kaum itu beramal dengan amalan yang baik sedikitpun, sedang mereka telah terbakar dan menjadi arang. Kemudian ditumpahkan pada mereka Al Hayaat (air kehidupan) sehingga mereka pun tumbuh seperti biji kecambah. Lalu keluarlah jasad mereka kembali bagaikan mutiara dan pada pundak mereka tertulis “Bebas dari neraka”, dan dikatakanlah pada mereka, “Masuklah kalian kedalam surga. (Diriwayatkan oleh Ahmad no. 11917 berkata Syaikh Syuaib Al Arna’uth bahwa Hadits ini sanadnya shahih sesuai dengan syarat Shahih Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, dan diriwayatkan oleh Al Imam Abdurrozaq no: 20857)
b.      Syafa’at dari Para Nabi
Dari Imran bin Hushain dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Akan keluar sekelompok orang dari neraka karena syafaat Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam (dalam suatu lafazh yang lain: “Karena syafaatku”). Lalu mereka masuk ke dalam surga. Mereka dinamakan Jahannamiyyun.” (HR. Abu Dawud dalam Shahih Abu Dawud Kitab As-Sunnah Bab fii Asy-Syafaah hadits no. 4740 dan Ibnu Majah dalam Shahih Ibnu Majah Kitab Az Zuhd Bab Dzikri Asy Syafaah hadits no. 3501)
c.       Syafa’at dari Para Malaikat
Allah berfirman: “Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai-Nya.” (QS. An-Najm: 26)
Abu Hasan Al-Asyari berkata: “Kalau ada orang yang bertanya tentang Firman Allah: “Dan mereka (malaikat) tiada memberi syafaat, melainkan kepada orang yang diridhai-Nya” (QS. Al-Anbiya: 28). Maka jawabnya: Mereka (malaikat) itu hanya memberi syafaat kepada orang-orang yang diridhai Allah.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asyari)
d.      Syafa’at dari Kaum Mukminin
Dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, melalui jalan riwayat lain, yaitu dari ‘Atha’ bin Yasar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah Yang jiwaku ada di tangan-Nya. Tidak ada seorangpun di antara kamu yang lebih bersemangat di dalam menyerukan permohonannya kepada Allah untuk mencari cahaya kebenaran, dibandingkan dengan kaum Mukminin ketika memohonkan permohonannya kepada Allah pada hari Kiamat untuk (menolong) saudara-saudaranya sesama kaum Mukminin yang berada di dalam neraka. Mereka berkata: “Wahai Rabb kami, mereka dahulu berpuasa, shalat dan berhaji bersama-sama kami”. Maka dikatakan (oleh Allah) kepada mereka: “Keluarkanlah oleh kalian (dari neraka) orang-orang yang kalian tahu!” Maka bentuk-bentuk fisik merekapun diharamkan bagi neraka (untuk membakarnya). Kemudian orang-orang Mukmin ini mengeluarkan sejumlah banyak orang yang dibakar oleh neraka sampai pada pertengahan betis dan lututnya.” [HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Fathul Bari (XIII/421), hadits no. 7439, Kitab at Tauhid, Bab 24, dengan lafadz berbeda. Dan lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha (III/32), hadits no. 453. Lafadz hadits di atas adalah lafadz Imam Muslim]
7.      Syafa’at Mukminin kepada Para Calon Penghuni Neraka yang Beriman Agar Tidak Jadi Masuk Neraka
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang mayit disholatkan oleh sekelompok orang Islam yang jumlah mereka mencapai 100, semuanya memintakan syafa’at untuknya, melainkan syafa’at itu akan diberikan pada dirinya.” (HR. Muslim no. 947, 58)
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, lalu jenazahnya disholatkan oleh 40 orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, melainkan Allah akan memberikan syafa’at kepadanya.” (HR. Muslim no. 948, 59)
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: Bahwa pada hari kiamat anak-anak kecil akan berdiri lalu dikatakan kepada mereka, ”Masuklah ke surga!” Merekapun menjawab,”(Kami akan masuk) jika bapak dan ibu kami masuk juga ke surga.” Maka diserukan kepada anak-anak kecil itu, ”Masuklah kalian dan bapak (orang tua) kalian ke surga! (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 28/174 dan dinilai baik oleh Al-Arna’uth. Hadits ini dikuatkan oleh hadits-hadits shahih lain yang semakna oleh Imam Muslim, An-Nasai dan yang lainnya. Lihat Shahih at-Targhib wa at-Tarhib dan juga Fatawa Al-Azhar 8/104)
8.      Syafa’at Kaum Mukminin kepada Sesamanya Untuk Mengangkat Derajat Mereka di Surga
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendoakan sahabatnya, Abu Salamah radhiyallahu 'anhu : "Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya kepada golongan orang-orang yang diberi petunjuk, lapangkanlah kuburannya...". (HR. Muslim)
Abu Hurairah meriwayatkan: Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya, Allah Azza wa Jalla bisa saja mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di surga kelak. Si hamba itu akan bertanya, “Ya Rabbi, bagaimana aku bisa mendapatkan derajat sehebat ini?” Allah berfirman, “Karena permohonan ampun dari anakmu.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani dalam Al-Awsath. Disebutkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid X : 210)
Said bin Jubair berkata, dari Ibnu Abbas ia berkata: “Apabila seseorang masuk surga, dia bertanya tentang orang tuanya, istri dan anaknya. Lalu diberitahukan padanya bahwa mereka tidak sampai pada tingkatan surgamu, maka dia berkata, ‘Wahai Rabbku, Engkau mengetahui kecintaanku terhadap mereka, lalu Allah memerintahkan agar mengangkat keluarganya berkumpul dalam satu surga. Ibnu Abbas kemudian membacakan ayat “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21) (Tafsir Ibnu Katsir)
Sa’id bin Musayyib berkata: “Seseorang diangkat derajatnya karena doa anaknya setelahnya.” (Muwatha’ Kitab Al-Qur’an Bab Al-‘Amal Fid Du’aa no. 38)
9.      Syafa’at dari Puasa dan Al-Qur’an
Dari Abdullah bin ‘Amr bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Puasa dan Al-Qur’an akan memberi syafa’at kepada seorang hamba pada hari kiamat kelak. Puasa akan bertanya: “Wahai Rabb-ku. Aku telah menahannya dari makan pada siang hari dan nafsu syahwat. Karenanya, perkenankan aku untuk memberi syafa’at kepadanya.” Sedangkan Al-Qur’an berkata: “Aku telah melarangnya dari tidur pada malam hari. Karenanya, perkenankan aku untuk memberikan syafa’at kepadanya.” Maka keduanya pun memberikan syafa’at.” (HR. Ahmad II/174 dan Hakim I/554. Dishahihkan oleh Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dalam Mu’jam Kabir. Rijal hadits ini rijal shahih” (Majma’uz Zawaid III/181). Dishahihkan oleh Albani dalam Tamamul Minnah halm. 394)
Dari Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “Bacalah Al-Qur’an. Sesungguhnya Al-Qur’an akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi sahabatnya.” (HR. Muslim no. 804)
Dari Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu : Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Bacalah oleh kalian dua bunga, yaitu surat Al-Baqarah dan Surat Ali ‘Imran. Karena keduanya akan datang pada hari kiamat seakan-akan keduanya dua awan besar atau dua kelompok besar dari burung yang akan membela orang-orang yang senantiasa rajin membacanya. Bacalah oleh kalian surat Al-Baqarah, karena sesungguhnya mengambilnya adalah barakah, meninggalkannya adalah kerugian, dan sihir tidak akan mampu menghadapinya.” (HR. Muslim 804)
Dari An-Nawwas bin Sam’an Al-Kilabi radhiallahu ‘anhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Akan didatangkan Al-Qur`an pada Hari Kiamat kelak dan orang yang rajin membacanya dan senantiasa rajin beramal dengannya, yang paling depan adalah surat Al-Baqarah dan surat Ali ‘Imran, keduanya akan membela orang-orang yang rajin membacanya.” (HR. Muslim 805)
Jika ada yang bertanya:
Bukankah hadits-hadits tentang adanya syafa’at seperti syafa’at seorang anak kepada bapaknya ditolak oleh ayat Al-Qur’an:
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.” (QS. Luqman: 33)
Maka jawabannya:
Ayat di atas (QS. Luqman: 33) berkaitan dengan orang-orang kafir.
Ibnul Jauzi menafsirkan firman Allah SWT يا أيها الناس اتقوا ربكم “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu” bahwa para mufasir mengatakan,”Ayat ini ditujukan untuk orang-orang kafir di Mekah.” Dan firman Allah SWT “لا يجزي والد عن ولده “seorang bapak tidak dapat menolong anaknya sedikit pun dari kejahatan dan kezhalimannya. Muqotil mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang kafir. (Zaad al Masir juz V hal 112)
Hal ini seperti syafaat Nabi Ibrahim untuk ayahnya yang kemudian ditolak Allah SWT seperti apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi saw, ”Pada hari kiamat Ibrahim menemui ayahnya Azar dan tampak wajahnya gelap dan tertutupi debu. Lalu Ibrahim berkata kepadanya, ’Bukankah aku telah mengatakan kepadamu untuk tidak maksiat.’ Ayahnya berkata, ’Hari ini aku tidak akan maksiat terhadapmu.’ Ibrahim pun berkata, ’Wahai Allah, sesungguhnya Engkau pernah berjanji kepadaku bahwa Engkau tidak akan menghinakanku pada hari mereka dibangkitkan maka kehinaan yang mana yang lebih hina dari yang didapat ayahku yang jauh (dari rahmat-Mu).’ Lalu Allah berfirman,’Sesungguhnya Aku mengharamkan surga buat orang-orang kafir.’ Kemudian dikatakan kepada Ibrahim, ’Wahai Ibrahim apa yang ada di bawah kedua kakimu.’ Lalu Ibrahim pun melihatnya dan ternyata ia adalah seekor serigala berbintik-bintik maka dipeganglah kaki-kakinya dan dilemparkan ke neraka.” (HR. Bukhari)
Adapun untuk orang-orang yang beriman/bertauhid, maka ada syafa’at seperti yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:
Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21)
Pada hari itu tidak berguna syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (QS. Thaha : 109)
Abu Hurairah bertanya: “Ya, Rasulullah.  Siapakah orang yang paling bahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Rasulullah bersabda: “Sungguh aku telah menyangka bahwa tidak ada seseorang yang lebih dahulu bertanya tentang ini kecuali engkau karena semangatmu dalam mencari hadits.” Rasul bersabda: “Orang yang paling bahagia dengan syafaatku adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dengan ikhlas dari hatinya.” (HR. Bukhari no. 99)
Ibnu Abbas berkata: “Orang yang Allah ridhai perkataannya, yaitu orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah. Dengan kata lain, Allah tidak akan memberikan syafaat kepada selain mukmin.” (Tafsir Al Baghawi III/195 Cet. Daar Al Kutub Al Ilmiyyah)