Senin, 20 Januari 2014

Wanita Pertama yang Masuk Surga

Siapakah Wanita yang Pertama Masuk Surga?
Wanita Sholihah merupakan dambaan setiap pria yang sholeh pula, banyak cerita-cerita para sholihin di jaman Rasulullah, sebelum dan sesudahnya yang bisa kita ambil Ibrohnya agar kita/kaum wanita di jaman ini dapat selamat dari fitnah dunia dan meninggalkan dunia yang fana ini dalam keadaan khusnul khotimah, amin.

Siapakah sebenarnya wanita yang pertama akan masuk surga sebelum Fatimah binti Rasulullah SAW?

Dalam sebuah hadist menceritakan, antara lain kegemaran Rasulullah adalah suka bergurau yang sopan untuk memberi pengajaran.

Suatu hari ketika Rasulullah sedang melayani puteri kesayangannya, Fatimah, baginda bersabda, “Wahai anakku! Ketahuilah olehmu bahwa ada seorang perempuan yang akan masuk surga terlebih dahulu dari dirimu.”

Mendengar kata-kata ayahnya, serta merta berubahlah air muka Fatimah. Bertanya dia kepada baginda sambil menangis, “Siapakah perempuan itu wahai ayah? bagaimana keadaannya dan bagaimana pula amal ibadahnya sehingga dia terlebih dahulu masuk surga daripada anakmu? Kabarkanlah di mana dia sekarang, anakmu mau menemui dia.”

Lalu Rasulullah menjelaskan, “Dia adalah seorang wanita yang miskin, tinggal di sebuah kampung kawasan pedalaman dekat Jabal Uhud, kira-kira 3 mil dari Kota Madinah. Nama Perempuan itu ialah Muthi’ah.”

Tanpa membuang waktu, setelah mendapat izin ayahnya, Fatimah pun keluar mencari perempuan yang dikatakan oleh Rasulullah itu.

Setelah bertanya kepada penduduk setempat, banyak yang tidak tahu dan mengenali perempuan bernama Muthi’ah ini. Dia bukan perempuan yang terkenal. Masing-masing mengatakan tidak pernah mendengar dan tidak mengetahui perempuan ini.

Setelah berbagai usaha mencarinya, dengan izin Allah, akhirnya berjumpalah Fatimah dengan rumah perempuan yang dimaksudkan itu. Rumah Muthi’ah berada di kawasan pedalaman, jauh dari pemukiman orang-orang. Mungkin sebab itulah susah mencarinya.

Setelah memberi salam dan beberapa kali mengetuk pintu, ada suara kedengaran menjawab salam dari dalam sedangkan orangnya belum juga muncul. Setelah agak lama Fatimah menunggu, penghuni rumah itu pun mengintip dari jendela, sambil bertanya siapakah yang berada di luar dan ada keperluan apa. Dia tidak mempersilahkan tamunya itu masuk. Mereka hanya berbicara melalui jendela saja.

Fatimah memperkenalkan dirinya: “Saya Fatimah binti Rasulullah, maksud kedatangan saya ke sini karena ingin berjumpa dan berkenalan dengan anda.”

Mendengar tamu yang datang itu ialah putri Rasulullah, maka perempuan itu menjawab: “Terima kasih karena datang ke rumah saya, tetapi saya tidak dapat mengizinkan anda masuk karena suami saya tidak ada di rumah. Nanti saya minta izin dulu apabila dia kembali dari bekerja. Silakan datang besok saja lagi”

Dengan langkah yang amat berat, Fatimah pulang dengan perasaan yang sangat hampa karena tidak dapat berbicara panjang dan mengetahui rahasia amalannya.

Keesokan harinya, Fatimah datang lagi bersama-sama anaknya, Hasan. Segera setelah sampai dia memberi salam dan perempuan itu pun terus membuka pintu karena dia sudah mengetahui tamu yang datang itu ialah Fatimah.

Setelah ia mempersilakan masuk, tiba-tiba dia terlihat ada seorang anak kecil bersama-sama Fatimah lalu dia bertanya: “Fatimah, ini siapa?”

“Anak saya, Hasan,” sahut Fatimah.

Perempuan itu berkata, “Saya bersedih karena saya belum minta izin dari suami saya. Yang diizinkan hanyalah Fatimah seorang. Oleh karena itu saya perlu minta izin dahulu dari suami lagi. Silakan datang besok saja.”

Fatimah jadi serba salah. Akhirnya setelah berfikir panjang lebar, dia pun ambil keputusan untuk kembali.

Keesokan harinya, Fatimah datang pula dengan membawa kedua-dua anaknya yaitu Hasan dan Husein. Setelah memberi salam, mereka segera disambut oleh penghuni rumah itu.

“Fatimah dengan Hasankah?” Tanya perempuan itu minta kepastian.

Jawab Fatimah, “Kami datang bertiga karena anak saya yang satu ini (Husein) mau ikut juga.”

“Fatimah, saya minta maaf lagi karena anak yang satu ini (Husein) saya belum minta izin dari suami saya. Silakan datang esok hari,” tegas perempuan itu.

Mendengarkan kata-kata itu, Fatimah tersipu-sipu menyahut, “Baiklah kalau begitu besok saya datang lagi kemari.”

Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, hatinya berkata-kata : “Perempuan ini takut benar akan suaminya, sehingga perkara yang sekecil begini pun dia tidak berani melakukannya. Jika dia benarkan aku masuk, tak mungkinlah suaminya marah. Tak perlulah pandang aku ini siapa, anak siapa dan dua anak ini cucu siapa, pandanglah (hormatilah) aku ini sebagai tamu yang datang dari jauh saja sudahlah,” bisik hatinya, kesal.

Sekembali Siti Fatimah meninggalkan rumahnya, kemudian suaminya pulang, perempuan itu pun memberitahu tentang anak Fatimah yang satu lagi. Suaminya terkejut dan heran, “Mengapa engkau ragu sekali? Bukankah Fatimah itu puteri Rasulullah SAW dan dua anaknya itu adalah cucu baginda? Tahukah engkau istriku keselamatan kita berdua kelak bergantung kepada keridloan Rasulullah. Jangan sekali-kali engkau berbuat seperti itu lagi. Jika mereka datang lagi ke sini dengan membawa apa pun dan siapa pun, terimalah dengan baik, dan hormatilah mereka semua sebagaimana yang pantas bagi derajat mereka.”

“Baiklah, tetapi ampunilah kesalahan saya karena saya mengerti bahawa apa yang saya tahu, keselamatan diri saya juga bergantung pada keridloan suamiku. Oleh karena itu, saya tidak berani membuat masalah yang akan membawa kemarahan atau menyakiti hati suamiku.”

“Terima kasih,” sahut suaminya. “Tapi jangan lagi sampai engkau tidak menerima tamu perempuan melainkan dengan izin aku, karena menghormati tamu perempuan itu wajib pada adat dan agama kita.”

Pada hari berikutnya, Sayyidatuna Fatimah pun datang seperti yang dijanjikan dengan membawa dua orang puteranya itu. Setelah dijemput masuk dan dijamu dengan sedikit buah kurma dan air, mereka pun berkenalan serta memulai perbincangan.

Pertanyaan Fatimah banyak berkisar mengenai rahasia amal ibadah yang menjadi penyebab Muthi’ah menjadi wanita pertama masuk surga menurut ayahnya. Setelah memperkenalkan dirinya, Muthi’ah menjawab semua pertanyaan Fatimah dengan ikhlas.

Katanya, “Tingkah laku saya biasa saja, tidak ada yang istimewa, amal ibadahpun biasa saja, malah Rasulullah lebih mengetahui akan segalanya. Saya hanya menuruti apa yang dianjurkan oleh baginda dalam hal kewajiban saya sebagai isteri. Antaranya:

1. Saya tidak boleh meninggalkan rumah tanpa izin suami jika suami saya keluar bekerja.

2. Saya tidak boleh menerima tamu (terutama lelaki) jika tidak ada izin suami.

3. Saya tidak akan berkeluh-kesah jika suami tidak mempunyai harta.

4. Saya berusaha agar suami saya senang dan cinta kepada saya.

5. Saya tidak cepat-cepat cemburu.

6. Saling mengerti dan menghargai antara kami berdua.

Soal berhias dan berdandan, menurut Mith’iah, dia hanya mengutamakan kecantikannya untuk suami, bukan untuk ditonton dan diperagakan kepada orang lain.

Sebagian riwayat menyatakan, Muth’iah mondar-mandir berjalan ke pintu rumahnya sambil memandang ke jalan seolah-olah sedang menantikan seseorang. Dia seolah-olah tidak begitu mempedulikan Fatimah.

Di tangannya terdapat tongkat dan sebuah wadah berisi air,

Melihat keadaan Muth’iah yang agak aneh, Fatimah merasa gelisah karena dia rasa tidak dipedulikan. Fatimah bertanya: “Mengapa begini?”

Sahut Muth’iah: “Fatimah, maafkan saya karena saya sedang menantikan suami saya pulang.”

“Mengapa ada wadah air itu?” Tanya Sayyidatuna Fatimah. Jawab Muthi’ah jujur: “Kiranya suami saya haus ketika dia pulang dari bekerja, saya akan segera memberikan air ini kepadanya supaya tidak terlambat. Jika terlambat nanti, khawatir dia akan marah kepada saya.”

Fatimah bertanya lagi: “Mengapa dengan rotan ini?” Jawab Muthi’ah, “Jika suami saya marah atau kurang layanan dari saya, mudahlah dia memukul saya dengan rotan ini.”

“Atas kehendak suamimukah kau bawa rotan itu” tanya Fatimah.

“Oh, sama sekali tidak. Suami saya seorang yang penyayang. Ini semata-mata kehendak saya agar jangan sampai menjadi isteri derhaka kepada suami.”

Fatimah termenung, Wajarlah menurut ayahnya, dia terlebih dahulu masuk surga daripada aku. Ternyata benarlah bahawa keselamatan wanita yang telah bersuami itu bergantung kepada ketaatan dan keridloan suami terhadapnya.”

Fatimah minta diri. Dia terus pulang menghadap ayahnya dan menceritakan segala yang terjadi.

“Wahai anakku, itulah rahasianya mengapa Muthi’ah wanita pertama masuk syurga,” kata baginda kepada Fatimah.

Melihat kesedihan puterinya itu, Rasululah tersenyum sambil berkata, “Wahai anakku, janganlah bersusah hati. Perempuan yang engkau jumpa itu (Muthi’ah) ialah perempuan yang akan memimpin dan memegang tali tungganganmu tatkala engkau masuk surga nanti. Jadi dialah yang akan masuk terlebih dahulu daripada engkau anakku.”

Setelah mendengar penjelasan ayahnya itu, barulah nampak Fatimah mulai gembira dan tersenyum.

Begitulah ganjaran yang Allah berikan kepada Muthi’ah. Semoga amalan yang dilakukannya itu sedikit sebanyak akan menjadi panduan dan dorongan kepada wanita-wanita terutama bagi mereka yang sudah berumahtangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar