Kamis, 27 Februari 2014

Surat Al Maidah ayat 12 – 14

Surat Al Maidah ayat 12 – 14







Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus(Q.S-5:12). Tetapi karena mereka melanggar janjinya, Kami laknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik(Q.S-5:13). Dan diantara orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani”, ada yang telah Kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan(Q.S-5:14)
JANJI AHLI KITAB DAN LAKNAT YANG MEREKA TERIMA KARENA MEMBATALKAN JANJI ITU
Di ayat ini Allah menjelaskan kepada mereka bagaimana Dia mengambil janji atas orang-orang sebelum mereka dari kalangan Ahli Kitab, yakni Yahudi dan Nasrani. Ketika mereka membatalkan janji-janji Allah, maka akibatnya Allah melaknat mereka, serta mengusir mereka dari pintu dan haribaanNya. Dia menutup hati mereka sehingga tidak bisa menggapai hidayah dan agama yang hak, yaitu ilmu yang berguna dan amal shalih. Dia berfirman, “Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin” yakni para pemimpin atas kabilah mereka, dengan bai’at, agar mereka mendengar dan patuh kepada Allah, Rasul dan Kitab-Nya.
Muhammad bin Ishaq, Ibnu ‘Abbas r.a dan banyak yang lainnya menyebutkan bahwa hal ini terjadi tatkala Musa a.s berangkat untuk memerangi kaum yang sombong. Ia diperintahkan untuk mengangkat para pemimpin, yakni untuk setiap kabilah ada seorang pemimpin [Ath-Thabari X/113].
PARA PEMIMPIN ANSHAR PADA SAAT MALAM ‘AQABAH
Demikian pula ketika Rasullah SAW membai’at kaum Anshar pada malam ‘Aqabah. Di tengah mereka terdapat dua belas orang pemimpin: tiga dari Aus, yaitu : Usaid bin Al-Hudhair, Sa’d bin Khaitsamah dan Rifa’ah bin ‘Abdil Mundzir. Ada yang mengatakan ia diwakili oleh Abul Haitsam bin at-Tihan. Dan sembilan lagi dari Khazraj, yaitu : Abu Umamah As’ad bin Zararah, Sa’d bin ar-Rabi’, ‘Abdullah bin Rawahah, Rafi’ bin Malik bin al-’Ajlan, al Bara’ bin Ma’rur, ‘Ubadah bin ash-Shamit, Sa’d bin Ubadah, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Haram, dan al-Mundzir bin ‘Amr bin Khunais. Ka’b bin Malik telah menyebutkan mereka dalam sya’ir nya, sebagaimana dikemukakan Ibnu Ishaq[Ibnu Hisyam-II/86,87]. Maksudnya bahwa mereka adalah para pemimpin kaum mereka pada malam tersebut yang mengerti apa yang diperintahkan Nabi SAW kepada mereka. Merekalah orang-orang yang mewakili bai’at dari kaum mereka kepada Nabi SAW untuk mendengar dan patuh.
Firman-Nya,”Dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu,” yakni dengan penjagaan, perlindungan dan pertolonganKu. “Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada Rasul-Rasul-Ku,” yakni membenarkan wahyu yang mereka bawa. “Dan kamu bantu mereka,” yakni menolong dan membantu mereka dalam kebenaran. “Dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,” yaitu berinfaq di jalan-Nya dan mencari Ridha-Nya. “Sesungguhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu,” yakni Aku menghapus dosa-dosa kalian dan menutupinya serta tidak menghukum kalian karenanya. “Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai,” yakni Aku menolak hal yang merugikan dari kalian, dan Aku memberikan kepada kalian apa yang kalian inginkan.
JANJI DAN PEMBATALANNYA
Firman-Nya,”Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus,” Yakni barangsiapa yang menyelisihi janji ini setelah terikat kuat, mengingkarinya dan memperlakukannya dengan perlakuan sebagaimana orang yang tidak mengenal-Nya, maka ia telah salah jalan dan menyimpang dari petunjuk kepada kesesatan. Kemudian Dia mengabarkan hukuman bagi mereka karena menyelisihi dan membatalkan janji-Nya dengan firman-Nya, “Tetapi karena mereka melanggar janjinya, Kami laknat mereka,” yakni Kami jauhkan mereka dari kebenaran dan menjauhkan mereka dari hidayah. ”Dan Kami jadikan hati mereka keras membatu,” yakni mereka tidak bisa mengambil suatu pelajaran karena hatinya keras membatu.
Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya,” yakni rusak pemahaman mereka dan buruk perlakuan mereka terhadap ayat-ayat Allah. Mereka mentakwil Kitab-Nya tidak sesuai dengan maksud Allah menurunkannya.  Mereka memahaminya tidak sesuai dengan maksudnya. Merekapun mengatakan tentang ayat-ayat Allah apa yang tidak tertera di dalamnya. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu. “Dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya,”yakni tidak mengamalkannya karena tidak menyukainya. “Dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka,” yakni tipuan dan pengkhianatan mereka kepadamu dan para Sahabatmu. Menurut Mujahid dan selainnya, maksudnya adalah mereka berkomplot untuk membinasakan Rasulullah SAW.[Ath-Thabari-X/131].
Maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka,” Ini pada hakekatnya adalah kemenangan. Sebagaimana kata ulama salaf, “Tidak ada sikap yang lebih baik terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah berkenaan dengan dirimu dibanding engkau menaati Allah (yakni memaafkannya).” Dengan cara ini, hati mereka akan menjadi lunak dan tunduk pada kebenaran, serta mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepada mereka. Karena itu Dia berfirman,”Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik,” maksudnya memaafkan orang yang pernah berbuat buruk kepadamu. Menurut Qatadah, ayat ini, “Maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka,” telah dihapuskan dengan firman-Nya, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir,”[Ath-Thabari-X/131].
KAUM NASHRANI MELUPAKAN JANJI MEREKA DAN AKIBATNYA
Firman-Nya,”Dan diantara orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani”, ada yang telah Kami ambil perjanjian mereka,” yakni diantara orang-orang yang mengaku bahwa mereka orang-orang Nasrani, para pengikut al-Masih putera Maryam a.s -padahal mereka tidak demikian- telah Kami ambil janji mereka untuk mengikuti, menolong, membela dan mengikuti jejak Rasul (Muhammad) SAW serta beriman kepada semua Nabi yang diutus Allah kepada penduduk bumi. Namun, ternyata mereka melakukan sebagaimana yang telah dilakukan kaum Yahudi. Mereka menyelisihi dan mambatalkan perjanjian. Karenanya, Allah berfirman,”Tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat,” yakni Kami timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka satu sama lain, dan mereka akan terus demikian hingga hari Kiamat.
Kemudian Allah berfirman, “Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan,” Ini ancaman yang sangat keras terhadap kaum Nasrani atas kedustaan yang mereka lakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Mereka menisbatkan kepada Rabb -Mahasuci Allah dari perkataan mereka- bahwa Allah memiliki istri dan anak. Maha Suci Allah Yang Maha Esa, Tunggal, tempat bergantung segala sesuatu, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta tidak ada satu pun yang setara dengan Dia.

Keutamaan Sholawat

MuhammadKajian Syarah Kitab Hisnul Muslim oleh Ustadz Abdullah Sholeh Hadrami membahas Keutamaan Shalawat dan Salam kepada Khairil Anam -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari kitab “Jalaa’ul Afhaam Fii Fadhlish Sholaati Was Salaami ‘ala Khoiril Anam” karya Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
1. Mengikuti Perintah Allah
2. Mencocoki apa yang dilakukan Allah, yaitu bershalawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
3. Mencocoki apa yang dilakukan para Malaikat, yaitu bershalawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
4. Mendapatkan 10 shalawat dari Allah
5. Ditinggikan 10 Derajat dari setiap shalawat yang kita baca.
6. Dituliskan 10 kebaikan
7. Dihapuskan 10 Keburukan
8. Sebab dikabulkannya do’a
9. Sebab mendapatkan Syafa’at Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- [Beberapa Jenis Syafa'at Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- : Syafa'at Uzhma, Syafa'at untuk pelaku dosa besar]
10, Sebab diampuninya dosa-dosa
11, Sebab yang menjadikan Allah mencukupi apa yang dibutuhkan oleh hamba
12. Mendekatkan posisi kita dengan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada hari kiamat
13. Shalawat kedudukannya sama dengan bershadaqah kepada orang yang kesulitan
14. Sebab dipenuhinya hajat-hajat seorang hamba
15. Menjadi sebab Allah dan para Malaikat mencurahkan shalawat kepada orang yang membacanya
16. Menjadi sebab dibersihkan dan disucikannya orang yang bershalawat
17. Menjadi sebab seorang hamba diberi kabar gembira dengan surga menjelang wafatnya
18. Sebab keselamatan dari huru-hara hari kiamat yang begitu dahsyat
19. Menjadi sebab seorang hamba teringat akan apa yang ia lupa, karena shalawat termasuk dzikir
20. Menjadi sebab dijawabnya salam kita ketika kita bershalawat dan salam kepada Nabi
21. Menjadi sebab agar majelis tidak menjadi penyesalan dihari kiamat.
22. Sebab dihilangkannya kefakiran.
23. Sebab dihilangkannya kekikiran (bakhil) dari seorang hamba.
24. Sebab selamatnya seseorang dari do’a keburukan yang dibaca oleh malaikat atas orang yang enggan bershalawat.
25. Sebab dimudahkannya jalan seseorang menuju surga
26. Sebab diselamatkan dari majelis yang busuk, yang tidak disebut di dalamnya nama Allah dan shalawat.
27. Sebab sempurnanya khutbah dan pembicaraan.
28. Menjadi sebab banyaknya cahaya bagi seorang hamba ketika melintas di atas Ash-Shirath pada hari kiamat.
29. Menjadi sebab keluarnya seorang hamba dari sikap kasar dan kaku
30. Menjadi sebab terus menerusnya pujian yang baik dari Allah dihadapan penduduk langit dan bumi bagi orang yang bershalawat kepada nabi
31. Menjadi sebab diberkahinya orang yang bershalawat
32. Menjadi sebab untuk mendapatkan rahmat Allah
33. Menjadi sebab terus menerusnya cinta kita kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
34. Menjadi sebab terus menerusnya cinta Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada kita
35. Menjadi sebab seorang hamba mendapatkan hidayah dan hatinya menjadi hidup.
36. Menjadi sebab dihadapkannya nama kita kepada Nabi Muhammad, karena ada malaikat yang ditugaskan menyampaikan shalawat dan salam kita kepada Nabi.
37. Menjadi sebab kokohnya kaki kita ketika berada di atas Ash-Shirath dan tidak tergelincir darinya.
38. Menjadi sebab untuk menunaikan sebagian hak Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
39. Shalawat termasuk dzikir dan syukur kepada Allah.
40. Shalawat merupakan do’a. Ketika kita bershalawat berarti kita berdo’a meminta kepada Allah agar Allah memuji-muji kekasihNya -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Kematian Sebagai Nasehat

kematianTema pembicaraan kali ini adalah mengenai sebuah ayat al-Qur’ān yang sekiranya diturunkan kepada gunung niscaya luluh lantak; yang apabila direnungkan oleh pembacanya maka hatinya bergetar ketakutan dan air matanya mengalir; yang jika dihayati oleh orang yang bergelimang maksiat maka ia bertaubat; serta bila dipahami oleh siapa saja yang berpaling dari seruan Allāh maka ia pun bersegera kepadanya-Nya. Ayat yang menyebutkan tentang pintu gerbang dari sebuah perjalanan panjang nan berat….

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Āli `Īmrān [3]: 185.)

Kematian adalah langkah awal dari perjalanan agung yang memisahkan suami dari istrinya, orang tua dari anaknya, kekasih dari yang dicintainya dan saudagar dari kekayaannya. Perjalanan yang bermuara kepada keabadian; kenikmatan Surga atau kesengsaraan Neraka. Kematian merupakan hal yang diyakini namun sering kali sengaja dilupakan atau terlupakan; perkara yang diketahui akan tetapi begitu banyak diabaikan. Karena itulah, Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—mengingatkan,
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ – يَعْنِي الْمَوْت
Perbanyaklah mengingat pemutus segala kelezatan (yakni kematian).” [Riwayat at-TirmidziIV/553/2307, Ibn Mājah II/1422/4258, dan lain-lain.]

Dalam rangka mengingat kematian Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—menganjurkan ziarah kubur. Beliau bersabda,
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوهَا، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْآخِرَةَ
Dahulu aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur. Namun saat ini lakukanlah ziarah kubur, karena hal itu mengingatkan kalian terhadap akhirat.” [Ash-Shahīhah II/545/886.]
Dahulu, jika Khalīfah `Utsmān Ibn `Affān berdiri di daerah kuburan maka beliau menangis hingga basah jenggot beliau. Ada yang bertanya, “Disebutkan Surga dan Neraka namun Anda tidak menangis, maka mengapa Anda menangis karena kuburan ini?” `Utsmān menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,
إِنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ
Sungguh, kubur merupakan tempat pertama dari akhirat. Jika seseorang selamat darinya, maka yang berikutnya akan lebih mudah. Namun, jika ia tidak selamat, maka yang berikutnya akan lebih keras lagi.”
`Utsmān melanjutkan, “Rasulullah—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—juga bersabda,
مَا رَأَيْتُ مَنْظَراً قَطُّ إِلاَّ وَالْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ
Tidaklah aku melihat suatu pemandangan pun (di dunia) melainkan kuburan lebih buruk darinya.” [Riwayat at-Tirmidzi IV/553/2308; Ibn Mājah II/1426/4267; Ahmad I/63/454; dan lain-lain.]
Suatu ketika `Ali Ibn Abī Thālib melewati daerah pekuburan. Beliau mengucapkan salam lalu berkata, “Wahai para penghuni kubur, istri kalian maka telah dinikahi, rumah kalian telah dihuni dan harta kalian telah dibagi. Inilah kabar dari kami, maka bagaimana kabar kalian?” [Tasliyah Ahl al-Mashā'ib, hal. 194 dan al-`Āqibah fī Dzikri'l Maut, hal. 196.]

Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—pernah ditanya, “Siapakah yang paling cerdik dari kalangan kaum mukminin?” Beliau menjawab,

أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولئِكَ الْأَكْيَاسُ

Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik persiapannya untuk setelah kematian. Mereka itulah orang-orang yang cerdik.” [Shahīh at-Targhīb wa't TarhībIII/164/3335.]

Ulama Salaf berkata,
كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا
“Cukuplah kematian sebagai pemberi nasehat.” [Lihat Shifah ash-Shafwah vol. I, hal. 639; al-`Āqibah fī Dzikri'l Maut, hal. 43; dan al-Ihyā', vol. IV, hal. 450. Adapun hadits Nabi s.a.w. dengan lafal dimaksud, maka tidak valid.]
Ka`b berkata, “Barangsiapa mengenal kematian, niscaya menjadi remehlah segala musibah dan kegundahan dunia.” [Al-Ihyā', vol. IV, hal. 451.]

Terkadang seseorang menyadari tengah jauh dari-Nya, sehingga terpuruk dalam kehampaan jiwa yang demikian menyakitkan, meskipun secara zahir dikelilingi oleh kenikmatan duniawi. Ia ingin keluar dari kondisi tersebut, namun ia bingung untuk mencari penawar yang praktis dan tepat. Mengingat kematian adalah kunci dari obat rohani yang sangat efisien dan ampuh. Apapun bentuk kesenangan yang melenakan dan menjauhkan dari-Nya, baik berupa harta, wanita, jabatan, anak-anak dan lain sebagainya, seluruhnya akan terputus oleh kematian.
Salah satu penyebab utama kerusakan kalbu yang menimpa banyak orang sehingga mereka terjerumus ke dalam kubangan dosa dan maksiat adalah karena jauhnya mereka dari mengingat dan menghayati kematian yang menanti di depan mereka. Karena itu Rabī` Ibn Abī Rāsyid berkata,
لَوْ فَارَقَ ذِكْرَ الْمَوْتِ قَلْبِيْ سَاعَةً لَخَشِيْتُ أَنْ يَفْسدَ عَلَيَّ قَلْبِيْ
“Sekiranya kalbuku terpisah sesaat saja dari mengingat kematian, maka aku benar-benar khawatir kalbuku menjadi rusak.” [Lihat Shifah ash-Shafwah, vol. III, hal. 109; dan az-Zuhd, Ibnu'l Mubārak, hal. 90. Dalam al-Ihyā', vol. IV, hal. 451, ucapan tersebut dinisbatkan kepada ar-Rabī` Ibn Khutsaim, namun yang tepat adalah sebagaimana telah disebutkan. Allāhu a`lam.]
Seorang wanita pernah mendatangi `Āisyah untuk mengeluhkan tentang kekerasan kalbu. `Āisyah berkata, “Perbanyaklah mengingat kematian, niscaya kalbu itu akan menjadi lembut (baik).”
Dikisahkan bahwa ar-Rabī` Ibn Khutsaim menggali kuburan di tempat tinggalnya dan tidur di dalamnya beberapa kali dalam sehari, agar selalu mengingat kematian.
`Umar Ibn `Abdu’l `Azīz berkata, “Perbanyaklah mengingat kematian. Sekiranya engkau hidup dalam kelapangan maka hal itu akan menyempitkanmu. Namun apabila engkau hidup dalam kesempitan maka hal itu akan melapangkanmu.” [Al-Ihyā', vol. IV, hal. 451.]
Tidak cukupkah kematian sebagai nasehat? Bayangkanlah ketika datangnya kematian dengan sekaratnya, alam kubur dengan kesunyian dan kegelapannya, hari kebangkitan dengan detail perhitungannya, serta Neraka dengan siksanya yang kekal atau Surga dengan kenikmatannya nan abadi.
Kita masih saja terperdaya oleh kelezatan dunia yang fana. Saat kematian membawa kita ke kubur, adakah kenikmatan dunia yang masih terasa? Semuanya musnah tak berbekas. Mana rumah yang megah, pakaian yang indah, wajah yang rupawan, tubuh yang bagus, istri yang jelita, kekasih yang dicintai, anak yang dibanggakan, jabatan yang tinggi dan kedudukan yang terhormat? Kita terbenam dalam tanah. Di atas, bawah, kanan dan kiri kita hanyalah tanah. Tiada kawan kecuali kegelapan yang sangat pekat, kesempitan dan serangga yang menggerogoti daging kita. Kita benar-benar mengharapkan kumpulan amal shalih yang mendampingi dan membantu kita, namun sayangnya harapan dan penyesalan tidak lagi berguna.
Kita menganggap kematian itu berada pada posisi yang sangat jauh dari kita, padahal ia begitu dekatnya. Waktu berlalu bagaikan kedipan mata. Masa kecil dan remaja bertahun-tahun yang lalu hanyalah bagai hari kemarin, dan tanpa terasa kita telah berada di hari ini. Begitu pula yang akan terjadi dengan esok hari. Sampai kemudian kematian tiba-tiba datang menjemput kita untuk mengarungi sebuah perjalanan yang sangat penjang dan berat, sementara kita belum memiliki bekal untuk itu, karena kesengajaan dan kelalaian kita.

Surat Al Maidah ayat 7 – 11

Surat Al Maidah ayat 7 – 11

Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan: “Kami dengar dan kami taati”. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengetahui isi hati(mu).(Q.S-5:7). Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S-5:8).Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.(Q.S-5:9). Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka. (Q.S-5:10).Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal. (Q.S-5:10).
Allah berfirman:
“Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan: “Kami dengar dan kami taati”.
Perjanjian ini adalah bai’at yang mereka lakukan terhadapat Rasulullah S.A.W ketika menyatakan keislaman mereka. Sebagaimana perkataan mereka, “Kami bai’at Rasulullah S.A.W untuk mendengarkan dan patuh, baik dalam keadaan giat maupun terpaksa. Kami pun akan lebih mendahulukan beliau atas diri kami. Kami pun berjanji tidak akan mencabut pemerintahan dari pemiliknya.”
Kemudian Allah SWT berfirman,”Dan bertakwalah kepada Allah” sebagai penegasan dan perintah untuk senantiasa bertakwa dalam segala keadaan. Kemudian Allah SWT memberitahukan kepada mereka bahwa Dia mengetahui apa yang ada dalam hati berupa rahasia-rahasia dan lintasan-lintasan pikiran. Dia berfirman , “Sesungguhnya Allah mengetahui isi hati(mu)”

KEWAJIBAN UNTUK SENANTIASA BERSIKAP ADIL
Firman-Nya,”Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah.” Yakni, jadilah kalian orang-orang yang selalu menegakkan al-haqq karena Allah SWT, bukan karena manusia dan sum’ah (mencari popularitas). Dan jadilah kalian “Saksi dengan adil, ” yakni bukan dengan kezhaliman.
Firman-Nya,”Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.” Yakni janganlah kebencian kepada suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil terhadap mereka. Tetapi berlaku adillah pada setiap orang, baik teman maupun musuh. Karena itu Dia berfirman, “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” Yakni keadilan kalian itu lebih dekat kepada ketakwaan daripada meninggalkannya.
Firman-Nya, “Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Yakni, Dia akan memberi balasan kepada kalian atas apa yang diketahui-Nya dari perbuatan yang kalian lakukan. Jika baik, maka Dia membalasnya dengan kebaikan, dan jika buruk, maka Dia membalasnya dengan keburukan. Karena itu, Dia berfirman sesudahnya,
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan,” bagi dosa-dosa mereka, “Dan pahala yang besar.” Yaitu surga yang merupakan Rahmat-Nya atas para hamba-Nya. Semua itu tidak mereka peroleh dengan amal mereka, tetapi semata-mata rahmat dan karunia dari-Nya, meskipun sebab sampainya rahmat tersebut kepada mereka ialah amal perbuatan mereka. Namun, Dia-lah yang menjadikannya sebagai sebab untuk meraih rahmat, karunia, ampunan dan keridhaan-Nya. Jadi, semua itu dari-Nya dan kepunyaan-Nya. Segala puji dan karunia hanya bagi-Nya.
Kemudian Dia berfirman:
“Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka”. Ini merupakan keadilan, kebijaksanaan, dan hukum Allah yang tidak aniaya. Bahkan Dia adalah hakim yang adil, Mahabijaksana dan Mahakuasa.
DITAHANNYA TANGAN-TANGAN KAUM KAFIR DARI MENGGANGGU KAUM MUSLIMIN ADALAH SUATU KENIKMATAN
Firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu“.  ‘Abdurrazzaq meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi S.A.W singgah di suatu tempat, sementara orang-orang berpencar mencari pohon untuk berteduh, dan beliau menggantungkan senjatanya pada pohon. Datanglah seorang badui mengambil pedang Rasulullah S.A.W lalu menghunusnya. Kemudian ia mendatangi Nabi S.A.W seraya mengatakan, “Siapakah yang akan menghalangimu dariku?” Beliau menjawab,”Allah S.W.T” .Orang badui itu mengatakan kembali dua atau tiga kali, “Siapakah yang akan menghalangimu dariku?” Beliau menjawab,”Allah”. Orang badui itu pun memasukkan kembali pedang ke wadahnya. Nabi S.A.W lalu memanggil para Sahabatnya dan menyampaikan kepada mereka perihal orang badui itu. Ketika itu orang badui tersebut sedang duduk di samping beliau, dan beliau tidak membalasnya. Ma’mar mengatakan bahwa Qatadah menyebutkan riwayat yang semisal dengannya. Ia menyebutkan bahwa suatu kaum dari bangsa Arab hendak membinasakan Rasulullah SAW. Mereka mengutus orang badui ini. Ia menafsirkan ayat ini dengan kisah tersebut ['Abdurrazzaq (I/185)]. Kisah tentang orang badui bernama Ghurats bin Al-Harits ini terdapat dalam ash-Shahiih (Al Bukhari no. 4135, 4136, dan 4139. Juga diriwayatkan oleh Muslim no.843)
Muhammad bin Ishaq bin Yasar, Mujahid, ‘Ikrimah dan banyak yang lainnya menyebutkan bahwa ayat ini turun perihal Bani Nadhir ketika mereka hendak menjatuhkan batu pada kepala Rasulullah SAW, tatkala beliau datang kepada mereka untuk meminta bantuan berkenaan dengan diyat dua orang Bani Amir. Mereka menyerahkan tugas tersebut kepada ‘Amr bin Jahhasy bin Ka’b. Mereka menyuruhnya, jika Nabi SAW duduk di bawah dinding dan mereka berkumpul di dekatnya, agar agar menjatuhkan batu itu dari atasnya. Namun, Allah SWT memperlihatkan kepada Nabi SAW mengenai apa yang hendak mereka rencanakan terhadapnya. Beliau pun kembali ke Madinah dan diikuti oleh para Shahabatnya, maka berkenaan dengan hal itu, Allah menurunkan ayat ini.
“Dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal”, Yakni barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah melindunginya dari apa yang membuatnya bersedih, dan menjaganya dari keburukan manusia. Kemudian Rasullah SAW diperintahkan untuk menyerbu mereka. Selanjutnya mereka dikepung hingga beliau berhasil mengusir mereka dari negerinya.

 http://catatanmelura.com/2012/04/surat-al-maidah-ayat-7-11/

Rabu, 26 Februari 2014

Hati-hati dengan Paham Qur'aniyyin

Hati-hati dengan Paham Qur'aniyyin
artinya : mengambil hukum hanya dari Qur'an saja dan tidak menyertakan Hadist

CUKUPKAH HANYA AL-QUR’AN SEMATA ?
(MEMBEDAH PAHAM QUR’ANIYYIN)


Hendaknya seseorang segera memohon ampun kepada Allah jika ia memiliki keyakinan sebagaimana yang didengungkan oleh Abdullah Chakrawaali dalam Majalah Isyaatul Qur’an III / hal. 49, ia berkata : "Sesungguhnya Al-Majid (Al-Qur’an) telah menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam agama ini dengan terperinci dan terjelaskan dari semua aspeknya. Maka apa butuhnya kita terhadap wahyu yang khafi (tidak tertulis) dan kepada As-Sunnah ?" Ucapan seperti ini adalah racun yang disuntikkan oleh kaum salibis untuk meruntuhkan Islam. Anehnya, orang-orang yang berpikiran seperti ini menamakan diri mereka Qur’aniyyin (ahlul qur’an). Sidang pembaca yang budiman, saatnya kita melihat bagaimana sikap Al-Qur’an sendiri terhadap mereka. Ikutilah untaian wacana berikut ini, untuk mengetahui kedudukan As-Sunnah, dan mengetahui pula penyimpangan pola pikir yang berusaha menggeser As-Sunnah sebagai sumber hukum.

KEDUDUKAN AS-SUNNAH DALAM ISLAM
Allah berfirman :" Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap apa putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." [QS.An-Nisa’ 65].
Ketahuilah bahwa sesungguhnya menjadikan Rasulullah sebagai hakim dalam keadaan beliau tidak ada di tengah kita saat ini, berarti mewajibkan kita menjadikan peninggalan beliau yakni As-Sunnah sebagai hakim.
Dalam ayat lain Allah berfirman : "……jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia pada Allah dan Rasul-Nya,……." [QS. An-Nisa’ 59].
Telah sepakat ahli tafsir, bahwa yang dimaksud dengan kembali kepada Allah dan rasulnya ialah kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Ini juga menunjukkan bahwa As-Sunnah juga memiliki kedudukan sebagai penentu hukum dalam islam bersama-sama dengan Al-Qur’an, dan kedudukan ini tidak dapat dipisahkan.
Maka berdasarkan dua ayat di atas, tidak halal seorang muslim berkata cukuplah Al-Qur’an saja bagiku, dan aku tidak butuh kepada buku-buku hadits.

AS-SUNNAH SEBAGAI PENAFSIR AL-QUR’AN
Terdapat banyak contoh yang nyata dalam masalah ini.
"Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepada kamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan" [QS. An-Nahl 44].

penjelasan lafadz, kalimat atau ayat yang membutuhan penjelasan, yang demikian ini dikarenakan banyak terdapat ayat-ayat yang mujmal (masih global), ammah (umum), atau mutlak. Maka As-sunnah menjelaskan yang global, mengkhususkan yang umum, dan membatasi yang mutlak.
Penjelasan tersebut terjadi dengan As-Sunnah yaitu perkataan, perbuatan beliau atau persetujuan Rasulullah terhadap perbuatan para sahabatnya.
Beberapa contoh nyata :
1. Firman Allah : "Pencuri laki-laki dan perempuan, potonglah tangan mereka…………" [QS. Al-Maidah : 38]. Kata pencuri dalam ayat tersebut bersifat mutlak, demikian juga kata tangan. Maka As-Sunnah datang membatasi kata yang pertama pencuri yaitu mereka yang mencuri lebih dari atau sama dengan ¼ dinar. Ini berarti pencuri tidak dipotong tangannya jika nilai curiannya kurang dari ¼ dinar. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah :"Tidak dipotong tangan kecuali dalam curian yang mencapai ¼ dinar atau lebih …….." [HR. Bukhari-Muslim]
As-Sunnah menerangkan maksud tangan dalam ayat tersebut dengan perbuatan Rasulullah perbuatan sahabatnya, dan kesepakatan mereka bahwa mereka dahulu memotong tangan pencuri sebatas pergelangan tangan mereka sebagaimana telah diketahui dalam kitab-kitab hadits.
2. Demikian pula ketika As-Sunnah menerangkan kata tayammum "Usaplah pada wajah-wajah dan tangan mereka ……." [QS. Al-Maidah : 6]. Maksud tangan dalam ayat di sini adalah telapak tangan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah : “Tayammum itu mengusap wajah dan kedua telapak tangan.” [HR : Bukhari-Muslim]
3. Demikian pula firman Allah : "Katakanlah : ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik ?’ Katakanlah :’Semua itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.’ Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” [QS. Al-A’raff : 32]. Di sini As-Sunnah menerangkan bahwa ada perhiasan yang haram. Rasulullah bersabda : "Kedua benda ini (sutera dan emas) haram bagi para lelaki ummatku dan halal bagi para wanitanya." [HR. Hakim dan dia menshahihkannya]

PENYIMPANGAN QUR’ANIYYIN [INGKAR SUNNAH]
Dewasa ini telah muncul suatu kelompok yang menamakan dirinya Qur’aniyyin (pengikut Qur’an) namun pada hakekatynya mereka bukan pengikut Qur’an bahkan sekaligus mereka menafsirkan Al-Qur’an dengan nafsu dan akal-akalan mereka tampa mencari keterangan tafsirnya dari sunnah yang shahih. Mereka menganggap as-sunnah bukanlah wahyu yang turun dari Allah. Padahal Allah berfirman : "Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat." [QS. An-Najm : 3-5].
Lihatlah bagaimana Al-Qur’an membantah mereka. Mereka juga menganggap al-Qur’an telah cukup sehingga tidak butuh kepada As-Sunnah padahal dalam Surat An-Nahl : 44 Allah menjelaskan bahwa Rasulullah diperintahkan menjelaskan Al-Qur’an, tentu saja penjelasan Rasulullah terhadap Al-Qur’an adalah As-sunnah itu sendiri. Sungguh benar apa yang diungkapkan pepatah :
"Setiap orang mengaku menjadi kekasih Laila, hanya saja Laila tidak mengakui mereka sebagai kekasih".
Mereka Qur’aniyyin mengaku menjadi pengikut Al-Qur’an, akan tetapi Al-Qur’an tidak mengakui mereka sebagai pengikut.

BERITA DARI RASULULLAH TENTANG MEREKA
Rasulullah bersabda tentang mereka, para pengingkar sunnah, yang mengaku pengikut Al-Qur’an): "Sungguh sebentar lagi kalian akan melihat seseorang yang duduk di singgasananya, kemudian datang kepadanya urusanku (Sunnahku) baik yang berisi larangan atau perintah, maka dia berkata : ‘Aku tidak tahu ! Semua yang kami dapatkan dalam kitab Allah itulah yang kami ikuti’.” [HR. At-Tirmidzi, lihat Maanzilatus Sunnah oleh syaikh Al-Albani]. Dalam riwayat lain dia berkata: “Apa yang kami dapatkan dalam Kitabullah pengharamannya, akan kami haramkan." Maka Rasululah bersabda: "Ketahuilah bahwasanya aku diberi Al-Qur’an dan yang semisalnya bersamanya (yakni As-sunnah).” [HR. Ahmad 4/131 dan Abu Dawud 5/11].
Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda: "Ketahuilah bahwa apa yang dilarang oleh Rasul maka itulah yang dilarang oleh Allah."

TIDAK CUKUP HANYA DENGAN AL-QUR’AN SEMATA
setelah membawakan riwayat-riwayat hadits di atas : "Hadits shahih di atas menjelaskan dengan tegas bahwa syari’at islam bukannya Al-Qur’an saja, melainkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Barang siapa hanya berpegang pada salah satunya, berarti sama dengan tidak berpegang dengan keduanya, karena Al-Qur’an memerintahkan untuk berpegang dengan As-Sunnah demikian pula sebaliknya [Manzilatus Sunnah fil Islam, cet. Darus Salafiyyah 1404 H]

BELAJAR DARI SAHABAT DALAM MENYIKAPI POLA FIKIR QUR’ANIYYIN
Dalam satu riwayat yang shahih dari Ibnu mas’ud, datang seorang wanita kepadanya kemudian berkata: "Kamukan orangnya yang berkata bahwa Allah melaknat namishat (wanita yang mencabut rambut alis) dan Mutamishat (wanita yang minta dicabutkan) dan Wasyimat (wanita yag mentato)”, Ibnu Mas’ud berkata: ”Ya, benar”. “Aku telah membaca Al-Qur’an dari awal sampai akhir tetapi aku tidak menemukan apa yang kamu katakan.” Maka Ibnu Mas’ud berkata: “Jika kamu betul-betul membacanya maka kamu akan menemukannya. Tidakkah engkau membaca: ‘Apa yang disampaikan oleh Rasul ambillah dan apa yang dilarang oleh Rasul maka tinggalkanlah’ [QS. Al-Hasyr : 7], aku telah mendengar Rasulullah bersabda: ‘Allah melaknat namishat’." [HR. Bukhari-Muslim]

Orang Mukmin yang Berdosa yang Masuk ke Dalam Neraka Akan Keluar dengan Syafaat

Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya." (QS. As-Sajdah: 20)
“Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS. Al-Baqarah: 167)
“Mereka ingin keluar dari neraka, padahal mereka sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya, dan mereka memperoleh adzab yang kekal.” (QS. Al-Maidah: 37)
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa'at dari orang-orang yang memberikan syafa'at.” (QS. Al-Muddatstsir: 48)

Mereka yang berpegang pada zhahir ayat-ayat ini saja maka akan menolak hadits-hadits tentang dikeluarkannya orang mukmin dari neraka dengan syafaat walaupun derajat hadits tersebut mutawatir. Berikut beberapa hadits tentang dikeluarkannya orang mukmin dari neraka:

a.     Dibawakan oleh Hammad bin Zaid, ia berkata: Aku bertanya kepada Amr bin Dinar: “Apakah engkau mendengar Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu membawakan hadits dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah mengeluarkan sekelompok orang dari neraka dengan syafaat?” Amr bin Dinar menjawab: “Ya.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ar Riqaq Bab Shifatil Jannah wan Naar no. 6558 Fathul Bari XI/416 dan Muslim Kitab Al Iman Bab Adna Ahlil Jannah Manzilatan Fiha III/49 no. 470 Syarh Nawawi)

b.     Dari Imran bin Hushain dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Akan keluar sekelompok orang dari neraka karena syafaat Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam (dalam suatu lafazh yang lain: “Karena syafaatku”). Lalu mereka masuk ke dalam surga. Mereka dinamakan Jahannamiyyun.” (HR. Abu Dawud dalam Shahih Abu Dawud Kitab As-Sunnah Bab fii Asy-Syafaah hadits no. 4740 dan Ibnu Majah dalam Shahih Ibnu Majah Kitab Az Zuhd Bab Dzikri Asy Syafaah hadits no. 3501)

c.      Dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemudian Allah “Azza wa Jalla berfirman: ‘Para malaikat telah memberikan syafaat, para nabi juga sudah memberikan syafaat, dan kaum mu’mininpun sudah memberikan syafaat. Maka tidak ada lagi yang lain, kecuali Allah –Arhamur Rahimin. Maka Allah mengambil sekelompok orang dengan satu genggaman-Nya dari neraka. Lalu Dia mengeluarkan dari neraka sekelompok orang yang tidak pernah berbuat kebaikan sama sekali.” (HR. Bukhari dalam Fathul Bari XIII/421 hadits no. 7439 Kitab At Tauhid Bab 24 dan Muslim dalam Shahih Muslim Syarh Nawawi III/32 hadits no. 453)

Imam Bukhari dalam Kitab At Tafsir, Kitab Ar Riqaq, Kitab At Tauhid, dll banyak mengangkat hadits-hadits tentang akan keluarnya orang mu’min dari neraka bila memasukinya, dalam banyak bab, dari banyak sahabat Nabi. Begitu juga Imam Muslim dalam Kitab Al Iman, serta imam-imam lainnya seperti Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah.

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari membawakan riwayat dari Ubaid bin Umair, yang artinya: Ada seseorang yang bernama Harun Abu Musa, ia tertuduh memiliki pemikiran Khawarij, bertanya kepada Ubaid bin Umair: “Wahai Abu Ashim (kun-yah Ubaid bin Umair), hadits bernilai apa yang engkau bawakan itu?” Ubaid bin Umair menjawab: ”Menyingkirlah engkau dariku. Kalaulah aku tidak mendengar dari 30 (tiga puluh) orang sahabat Nabi Muhammad tentang itu, tentu aku tidak akan meriwayatkannya.”  (Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari XI/425-426)
Para sahabat Nabi yang membawakan hadits-hadits itu di antaranya ialah Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah, Abu Hurairah, Abu Sa’id al Khudri, Abu Dzar, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abi al Jad’a, dan lain-lain.

Imam Nawawi ketika mensyarah/menjelaskan Kitab Shahih Muslim menukil perkataan Al Qadhi Iyadh sebagai berikut: “Sesungguhnya, telah datang atsar-atsar yang secara keseluruhan mencapai batas mutawatir tentang adanya syafaat di akhirat bagi orang-orang mukmin yang berdosa. Ulama terdahulu maupun kemudian, serta ulama sesudahnya dari kalangan Ahlu Sunnah telah bersepakat akan adanya syafaat ini. Akan tetapi kaum Khawarij dan sebagian Mu’tazilah mengingkarinya. Mereka menggantungkan (pengingkaran ini) pada mazhab mereka, bahwa orang-orang berdosa akan kekal di neraka. Mereka berhujjah dengan firman Allah Ta’ala:
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa'at dari orang-orang yang memberikan syafa'at.” (QS. Al-Muddatstsir: 48)
Juga firman Allah:
“Orang-orang yang zhalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa'at yang diterima syafa'atnya.” (QS. Ghafir/Al Mu’min: 18)
Padahal ayat-ayat ini berkaitan dengan ORANG KAFIR. Adapun takwil-takwil mereka (kaum Khawarij dan Mu’tazilah) bahwa yang dimaksudkan dengan syafaat ialah yang berkenaan dengan peningkatan derajat (ahli surga), merupakan takwil batil. Sebab hadits-hadits dalam Kitab tersebut juga pada kitab-kitab lain jelas-jelas menunjukkan batalnya mazhab mereka, dan jelas-jelas menunjukkan akan dikeluarkannya orang (mukmin) yang berhak masuk neraka (dari neraka).” (Shahih Muslim Syarh Imam Nawawi Kitab Al Iman Bab Itsbat Asy Syafaah wa Ikhraj Al Muwahhidin min An Naar III/35)

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi mengatakan: “Nabi kita Muhammad akan memberikan syafaat kepada para pelaku dosa besar yang telah masuk neraka agar mereka bisa keluar setelah mereka terbakar dan menjadi arang, kemudian masuk ke dalam surga. Dan para nabi, orang-orang yang beriman serta malaikat akan memberikan syafaat (dengan seizin Allah). Allah berfirman: “Dan mereka tidak akan sanggup memberikan syafaat melainkan untuk orang yang Allah ridhai, dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada Allah.” (QS. Al-Anbiya`: 28) Adapun ORANG-ORANG KAFIR, tidak akan bisa merasakan syafaat orang yang memberi syafaat.” (Syarah Lum’atil I’tiqad, hal. 128)

Allah berfirman: “Orang-orang yang dzalim tidak memiliki teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima syafaatnya.” (QS. Ghafir/Al Mu’min: 18)
Yang dimaksud dengan orang dzalim di sini adalah orang kafir, dengan dalil hadits mutawatir tentang adanya syafaat bagi pelaku dosa besar.

Al-Baihaqi menjelaskan: “Orang-orang dzalim yang dimaksud di sini adalah ORANG-ORANG KAFIR. Dan hal ini dikuatkan oleh awal ayat yang menjelaskan tentang orang kafir.” (Syu’abul Iman 1/205)
Berikut awal ayat tersebut:                                                    
“Dan demikianlah telah pasti berlaku ketetapan adzab Tuhanmu terhadap orang-orang kafir, karena sesungguhnya mereka adalah penghuni neraka.” (QS. Ghafir/Al Mu’min: 6)
“Yang demikian itu adalah karena kamu kafir apabila Allah saja disembah. Dan kamu percaya apabila Allah dipersekutukan.” (QS. Ghafir/Al Mu’min: 12)

Adapun dalam Al Qur’an sendiri sebenarnya juga banyak dalil tentang adanya syafaat dengan syarat setelah mendapat izin dari Allah dan kepada orang yang diridhai oleh Allah.

“Tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada IZIN-Nya.” (QS. Yunus : 3)
“Pada hari itu tidak berguna syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi IZIN kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (QS. Thaha : 109)
“…Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah…” (QS. Al-Anbiya’ : 28)
“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah MENGIZINKAN bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).” (QS. An-Najm : 26)
“Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa'at, kecuali (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (QS. Az-Zukhruf : 86)

Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Orang yang Allah ridhai perkataannya, yaitu orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah. Dengan kata lain, Allah tidak akan memberikan syafaat kepada SELAIN MUKMIN.” (Tafsir Al Baghawi III/195 Cet. Daar Al Kutub Al Ilmiyyah)

Hal ini sesuai dengan hadits Nabi berikut ini.
Abu Hurairah bertanya: “Ya, Rasulullah.  Siapakah orang yang paling bahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Rasulullah bersabda: “Sungguh aku telah menyangka bahwa tidak ada seseorang yang lebih dahulu bertanya tentang ini kecuali engkau karena semangatmu dalam mencari hadits.” Rasul bersabda: “Orang yang paling bahagia dengan syafaatku adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dengan ikhlas dari hatinya.” (HR. Bukhari no. 99)

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: "Ucapan beliau: ‘Orang yg mengucapkan La ilaha illallah’ adalah untuk mengecualikan orang yang menyekutukan Allah; dan ucapan beliau ‘dengan penuh keikhlasan’ mengecualikan orang-orang yang munafik dalam mengucapkannya." (Fathul Bari 1/236)

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: "Rasulullah memberikan syafaat kepada manusia pada hari kiamat, yaitu dengan memberikan ketenangan pada waktu mereka dalam ketakutan. Rasul juga memberikan syafaat dengan memohon keringanan adzab untuk sebagian orang-orang kafir, sebagaimana yang terjadi pada diri paman beliau Abu Thalib. Rasul juga memberikan syafaatnya dengan memohon kepada Allah untuk mengeluarkan sebagian orang mukmin dari siksa api neraka atau memohonkan mereka untuk tidak dimasukkan ke dalam api neraka setelah ditetapkan bahwa mereka akan masuk neraka. Rasul juga dapat memberikan syafaat bagi seseorang untuk masuk surga tanpa melalui proses hisab atau dengan mengangkat derajat sebagian mereka untuk bisa tinggal dalam surga yang lebih tinggi. Demikianlah nampak adanya dualisme pengertian dari hadits ini antara kebahagiaan dan syafaat, dan orang yang paling bahagia karena itu semua adalah orang mukmin yang benar-benar ikhlas." (Fathul Bari syarah Shahih Bukhari)

Ayat-ayat Al Qur’an tentang penolakan syafaat berlaku untuk orang kafir, sedangkan ayat-ayat Al Qur’an tentang adanya syafaat berlaku untuk orang mukmin. Orang kafir masuk neraka kekal di dalamnya tidak akan pernah bisa keluar, sedangkan orang-orang mukmin yang berdosa besar jika masuk neraka maka tidak kekal di dalamnya dan akan keluar dengan syafaat.

Dari Anas bin Malik, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maka mereka datang kepadaku. Akupun meminta IZIN kepada Rabb-ku. Ketika aku melihat Rabb-ku, maka aku menjatuhkan diri bersujud kepadaNya. Allah membiarkan aku sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian dikatakan kepadaku (oleh Allah): “Angkat kepalamu! Mintalah, niscaya engkau akan diberi! Katakanlah, niscaya perkataanmu akan didengar! Berilah syafa’at, sesungguhnya engkau diberi wewenang memberi syafa’at. Maka aku mengangkat kepalaku. Lalu aku memuji-muji Rabb-ku dengan pujian yang Dia ajarkan kepadaku. Kemudian aku memberi syafa’at. Namun Allah memberi batasan kepadaku dengan suatu batasan. Lalu aku mengeluarkan mereka dari neraka dan memasukkannya ke dalam surga. Kemudian aku kembali lagi kepada Allah, lalu aku menjatuhkan diri bersujud kepada-Nya seperti saat pertama.(Demikian pula) pada yang ketiga atau keempat kalinya. Sehingga tidak ada lagi yang tersisa di dalam neraka, kecuali orang yang ditahan oleh Al-Qur`an. “ Qotadah menjelaskan maksud orang yang ditahan oleh Al-Qur`an di dalam Neraka: “Ialah orang yang pasti kekal di dalamnya”. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab ar Riqaq, no. 6565, Fathul Bari (XI/417). Juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, Kitab al Iman, Bab Hadits asy Syafa’ah (III/54-55), Syarah Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha)

Melalui jalan Abu Maslamah, dari Abu Nadhrah, dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Adapun ahli neraka yang menjadi penghuni kekalnya, maka mereka tidak mati di dalamnya dan tidak hidup. Akan tetapi orang-orang yang ditimpa oleh siksa neraka karena dosa-dosanya –atau Rasul bersabda, karena kesalahan-kesalahannya- maka Allah akan mematikan mereka dengan suatu kematian. Sehingga apabila mereka telah menjadi arang, Nabi DIIZINKAN untuk memberikan syafa’at (kepada mereka). Lalu mereka didatangkan berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, lalu dimasukkan ke sungai-sungai di surga. Selanjutnya dikatakan (oleh Allah): “Wahai penghuni surga, kucurkanlah air kehidupan kepada mereka”. Maka tumbuhlah mereka laksana tumbuhnya benih-benih tetumbuhan di larutan lumpur yang dihempaskan arus air.” Seseorang di antara sahabat berkata: “Seakan-akan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di padang gembalaan di suatu perkampungan.”  (Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya. Lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha (III/37), hadits no. 458, dan oleh Ibnu Majah. Lihat Shahih Sunan Ibnu Majah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani (III/402), hadits no. 3497 Kitab az Zuhd, Bab Dzikru asy Syafa’ah, Maktabah al Ma’arif, Riyadh. Cet. I, dari penerbitan baru, 1417H/1997M)

Dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, melalui jalan riwayat lain, yaitu dari ‘Atha’ bin Yasar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah Yang jiwaku ada di tangan-Nya. Tidak ada seorangpun diantara kamu yang lebih bersemangat di dalam menyerukan permohonannya kepada Allah untuk mencari cahaya kebenaran, dibandingkan dengan kaum Mu’minin ketika MEMOHONKAN permohonannya kepada Allah pada hari Kiamat untuk (menolong) saudara-saudaranya sesama kaum Mu’minin yang berada di dalam neraka. Mereka berkata: “Wahai Rabb kami, mereka dahulu berpuasa, shalat dan berhaji bersama-sama kami”. Maka dikatakan (oleh Allah) kepada mereka: “Keluarkanlah oleh kalian (dari neraka) orang-orang yang kalian tahu!” Maka bentuk-bentuk fisik merekapun diharamkan bagi neraka (untuk membakarnya). Kemudian orang-orang Mu’min ini mengeluarkan sejumlah banyak orang yang dibakar oleh neraka sampai pada pertengahan betis dan lututnya. Kemudian orang-orang Mu’min ini berkata: “Wahai Rabb kami, tidak ada lagi di neraka seorangpun yang engkau perintahkan untuk mengeluarkannya”. Allah berfirman: “Kembalilah! Siapa saja yang kalian dapati di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat satu dinar, maka keluarkanlah (dari neraka)!” Maka merekapun mengeluarkan sejumlah banyak orang dari neraka. Kemudian mereka berkata lagi : “Wahai Rabb kami, tidak ada lagi seorangpun yang kami sisakan dari orang yang Engkau perintahkan untuk kami mengeluarkannya”. Allah berfirman: “Kembalilah! Siapa saja yang kalian dapati di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat setengah dinar, maka keluarkanlah (dari neraka)”. Merekapun mengeluarkan sejumlah banyak orang. Selanjutnya mereka berkata lagi: “Wahai Rabb kami, tidak ada seorangpun yang Engkau perintahkan, kami sisakan (tertinggal di neraka)”. Allah berfirman: “Kembalilah! Siapa saja yang kalian dapati di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat biji dzarrah, maka keluarkanlah (dari neraka)”. Maka merekapun mengeluarkan sejumlah banyak orang. Kemudian mereka berkata: “Wahai Rabb kami, tidak lagi kami menyisakan di dalamnya seorangpun yang mempunyai kebaikan”.
Pada waktu itu Abu Sa’id al Khudri mengatakan: “Apabila kalian tidak mempercayai hadits ini, maka jika kalian suka, bacalah firman Allah (yang artinya): “Sesungguhnya Allah tidak menzhalimi seseorang meskipun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar”. (QS. An-Nisaa’ : 40) … al Hadits”. [HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Fathul Bari (XIII/421), hadits no. 7439, Kitab at Tauhid, Bab 24, dengan lafadz berbeda. Dan lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha (III/32), hadits no. 453. Lafadz hadits di atas adalah lafadz Imam Muslim]

Dalam hadits-hadits di atas jelas sekali menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw dan orang-orang mukmin meminta izin terlebih dahulu kepada Allah sebelum memberi syafaat kepada para penghuni neraka yang beriman/bertauhid.

Imam Asy-Syafi’i berkata: “Beliau (Rasulullah saw) adalah manusia terbaik yang dipilih Allah untuk menyampaikan wahyu-Nya lagi terpilih sebagai Rasul-Nya dan yang diutamakan atas seluruh makhluk dengan membuka rahmat-Nya, penutup kenabian, dan lebih menyeluruh dari ajaran para rasul sebelumnya. Beliau ditinggikan namanya di dunia dan menjadi pemberi syafa’at, yang syafa’atnya dikabulkan di akhirat.” (Ar-Risalah oleh Imam Asy-Syafi’i 12-13, Manhaj Imam Asy-Syafi’i fi Itsbat Al-Aqidah oleh Dr. Muhammad bin Abdil-Wahab al-’Aqil, 1/291)
Beliau juga menyatakan tentang syarat diterimanya syafa’at:
“Semalam saya mengambil faidah (istimbath) dari dua ayat yang membuat saya tidak tertarik kepada dunia dan yang sebelumnya. Firman Allah: “…Dia bersemayam di atas ‘Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya….” (QS. Yunus: 3). Dan dalam Kitabullah, hal ini banyak: “Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya?” (QS. Al-Baqarah: 256) Syafa’at tertolak kecuali dengan izin Allah.” (Ahkamul Qur’an 2/180-181, Manhaj Imam Asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/291)

Imam Ahmad mengatakan: “Beriman dengan syafaat Nabi dan beriman dengan adanya suatu kaum yang telah masuk neraka dan telah terbakar serta menjadi arang, kemudian mereka diperintah menuju sebuah sungai yang berada di pintu surga –seperti disebutkan dalam riwayat tentang hal ini– dan (kita imani) bagaimana dan kapan terjadinya. Terhadap yang demikian kita hanya beriman dan mempercayai.” (Ushulus Sunnah oleh Imam Ahmad hal. 32)

Abu Ja’far Ath-Thahawi mengatakan: “Dan syafaat yang dipersiapkan untuk mereka kelak adalah haq (benar adanya), sebagaimana disebutkan di dalam hadits-hadits.” (Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, masalah ke-41)

Abu Ja’far Ath-Thahawi berkata: “Para pelaku dosa besar di kalangan umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam (bisa) masuk neraka, namun mereka tak akan kekal di dalamnya kalau mereka mati dalam keadaan bertauhid. Meskipun mereka belum bertaubat namun mereka menemui Allah (mati) dengan menyadari dosa mereka. Mereka diserahkan kepada kehendak dan keputusan Allah. Kalau Dia menghendaki, maka mereka dapat diampuni dan dimaafkan dosa-dosa mereka dengan keutamaan-Nya, sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla: “Dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48, 116). Dan jikalau Dia menghendaki, mereka diadzab-Nya di neraka dengan keadilan-Nya. Kemudian Allah akan mengeluarkan mereka dari dalamnya dengan rahmat-Nya dan syafa’at orang yang berhak memberi syafa’at di kalangan hamba-Nya yang ta’at. Lalu mereka pun diangkat ke surga-Nya.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah masalah ke-79)

Ibnu Abi Hatim Ar-Razi berkata: “Syafaat adalah benar (adanya). Dan bahwa sebagian ahli tauhid keluar dari neraka lantaran adanya syafaat, adalah benar.” (Ushulus Sunnah Wa I’tiqad Din oleh Ibnu Abi Hatim masalah ke-13)


Imam Abu Muhammad al-Barbahari berkata: “(Termasuk landasan pokok Islam adalah kewajiban) mengimani syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang-orang yang berbuat dosa dan salah (dari kaum muslimin) pada hari Kiamat, juga di atas ash-shiraath (jembatan yang dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam), dan (dengan syafa’at) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan mereka (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala) dari dalam neraka Jahannam. Masing-masing Nabi memiliki syafa’at, demikian pula para shiddiq, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh…” (Syarhus Sunnah hal. 73)

Al-Qurthubi berkata: “Ayat (yang mulia) ini menetapkan bahwa Allah mengizinkan siapa yang dikehendaki-Nya untuk (memberikan) syafa’at, mereka adalah para Nabi ‘alaihissalam, para ulama, orang-orang yang berjihad (di jalan-Nya), para malaikat, dan orang-orang selain mereka yang dimuliakan dan diutamakan oleh Allah. Kemudian mereka tidak bisa memberikan syafa’at kecuali kepada orang yang diridhai Allah, sebagaimana firman-Nya: “Dan mereka tidak (bisa) memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (QS. Al-Anbiyaa’: 28) (Tafsir Al-Qurthubi 3/273)


Imam Al Ajurri (ahli hadits abad ke-3 H) berkata: “Ketahuilah oleh kalian, semoga Allah SWT menyayangi kalian, bahwa orang yang mengingkari syafa’at adalah mengklaim bahwa orang yang masuk ke dalam neraka, maka mereka tidak akan keluar dari neraka tersebut. Ini adalah pemahaman Mu’tazilah, yaitu paham yang mendustakan syafa’at dengan berbagai dalil, yang akan saya sebutkan berikut ini : Mereka (Mu’tazilah) mengingkari berbagai pokok dan fondasi yang tertera dalam Kitabullah dan Sunnah-Sunnah Rasulullah saw, sunnahnya para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, bahkan mereka mengingkari perkataan-perkatan para fuqaha dari kalangan kaum muslimin. Orang Mu’tazilah menyelisihi semua ini (Ahlus Sunnah) yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Juga tidak memperhatikan sunnahnya para shahabat. Mereka menemui dan menghadapkan ayat tentang masalah hadits dengan ayat-ayat yang mutasyabihat dalam Al Qur’an dan yang dikedepankan adalah akal (pendapat) mereka.”
Imaam Al Ajurri selanjutnya berkata: “Orang yang mengingkari adanya syafa’at, orang yang mengikuti adanya pendapat Mu’tazilah (rasionalisme) adalah mereka yang bukan mengikuti jalannya kaum Muslimin,  tetapi justru mereka adalah tersesat dari jalan yang al haq (yang benar), mereka telah dipermainkan oleh syaithon. Allah SWT telah memberikan kewaspadaan kepada kita dari sifat seperti itu (mengingkari adanya syafa’at). Demikian pula para Nabi dan juga kaum muslimin, baik itu yang dahulu mapun zaman sekarang (yaitu zamannya Imam Ajurri - pen.).” (Asy-Syari’ah oleh Imam Al Ajurri. Imam Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’ berkata : “Dia seorang imam, muhadits, panutan, Syaikh di Al Haram, shaduq, ‘abid , shahibus sunan, dan ahli ittiba’ .”)

Abu Hasan Al-Asyari berkata: “Mereka (ahli bid’ah-pen) menyatakan bahwa orang-orang yang masuk neraka tersebut tidak akan dikeluarkan lagi dari sana, dan anggapan ini jelas bertentangan dengan riwayat yang dikutip dari Rasulullah saw bahwa Allah SWT niscaya mengeluarkan para penghuni neraka setelah disiksa dan merupakan arang.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asyari)

Abu Hasan Al-Asyari berkata: “Kalau ada orang yang bertanya tentang Firman Allah: “Dan mereka tiada memberi syafaat, melainkan kepada orang yang diridhai-Nya” (QS. Al-Anbiya: 28). Maka jawabnya: Mereka (malaikat) itu hanya memberi syafaat kepada orang-orang yang diridhai Allah. Bahkan telah diriwayatkan bahwa syafaat Nabi saw itupun diperuntukkan (hanya) bagi orang yang memiliki dosa besar, sementara riwayat lain menyatakan bahwa orang-orang yang berdosa itu di suatu saat kelak akan dikeluarkan dari neraka.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asyari)

Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdur-rahman Ash-Shabuni (ahli hadits dari Khurosan, 373-449 H) berkata: “Ahli agama dan Ahlus Sunnah mengimani syafaat Rasulullah bagi pelaku dosa dari kalangan orang-orang yang bertauhid dan pelaku dosa besar (lainnya), sebagaimana telah diberitakan Rasulullah dalam hadits yang shahih.” (‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits hal. 76)

Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdur-rahman Ash-Shabuni berkata: “Ashhabul Hadits mengimani adanya haudh dan Telaga Al-Kautsar, serta masuknya sebagian Ahlu Tauhid ke surga tanpa hisab, dan sebagian dari mereka dihisab dengan hisab yang ringan dan kemudian dimasukkan ke surga tanpa diadzab terlebih dahulu. Dan sebagian lagi para pelaku dosa besar dilebur dalam neraka kemudian dibebaskan dan dikeluarkan darinya, kemudian digabungkan dengan saudara-saudaranya yang telah mendahului masuk surga, [dan Ashhabul Hadits meyakini bahwa yang berdosa besar dari kalangan Ahlu Tauhid] tidak kekal di neraka [dan tidak akan tinggal di neraka selama-lamanya]. Adapun orang kafir akan kekal di neraka dan tidak akan keluar darinya selama-lamanya.” (‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Hadits-hadits yang berisi celaan dan perintah memerangi mereka (Khawarij) sangat banyak sekali. Hadits-hadits tersebut mutawatir menurut Ahli Hadits, seperti halnya hadits ru’yah, adzab kubur, hadits-hadits yang menjelaskan tentang adanya syafaat dan haudh (telaga Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam).” (Majmu' Fatawa XIII/35)

Ibnu Abil Izzi Al Hanafi (murid Ibnu Katsir) berkata: “Maksud para salaf ketika menyingkat hadits sampai batas ini adalah, untuk membantah kaum Khawarij serta orang-orang yang mengikuti faham Khawarij dari kalangan Mu’tazilah. Yaitu orang-orang yang mengingkari keluarnya seseorang dari neraka setelah ia masuk ke dalamnya. Untuk itu, para salaf menyebutkan hadits hanya sebatas ini, yang di dalamnya terdapat nash tegas yang membantah kaum Khawarij dan Mu’tazilah tersebut.” (Syarh Aqidah Thahawiyah oleh Ibnu Abi Al Izz Al Hanafi, tahqiq Jamaah min Al Ulama dan takhrij Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islami, Cet. IX tahun 1408 H / 1988 M, hal. 231)

Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin (Ulama Arab Saudi) berkata: “Ibnu Katsir dan pensyarah kitab Ath-Thahawiyyah  (Ibnu Abi Al Izz Al Hanafi) mengatakan: ‘Maksud ulama salaf meringkas pembahasan dalam masalah syafaat hanya kepada pelaku dosa besar adalah sebagai bantahan terhadap Khawarij dan kalangan Mu’tazilah yang mengikuti konsep mereka’.” (Syarah Lum’atil I’tiqad hal. 129)

Ibnu Abil Izzi Al Hanafi (murid Ibnu Katsir) menjelaskan: “Manusia dalam permasalahan syafaat ada tiga (golongan) pendapat:
(Pertama): Musyrikin, Nasrani, dan Sufiyyah yang ghuluw terhadap guru-guru mereka dan selainnya. Mereka meyakini bahwa syafaat orang yang mereka agungkan di sisi Allah bagaikan syafaat di dunia.
(Kedua): Mu’tazilah dan Khawarij. Mereka mengingkari syafaat Nabi kita dan selainnya, terhadap pelaku dosa besar.
(Ketiga): Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka menetapkan adanya syafaat Rasulullah  dan selain beliau terhadap pelaku dosa besar, dan bahwa tidak ada yang bisa memberikan syafaat melainkan dengan izin Allah.” (Syarah Aqidah Thahawiyyah hal. 235)

Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan, yang dimaksud dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya): “Adapun ahli neraka yang mereka merupakan penghuni kekalnya, maka mereka tidak hidup dan tidak mati” maksudnya, ORANG-ORANG KAFIR yang merupakan penghuni neraka dan layak untuk kekal di dalamnya, maka mereka tidak mati, dan tidak pula bisa merasakan hidup yang bermanfaat dan enak. Sebagaimana telah Allah firmankan:
 “Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati, dan tidak pula diringankan dari mereka adzabnya”.  [QS. Faathir : 36]
Juga sebagaimana telah Allah firmankan: “Kemudian dia tidak mati di dalam neraka dan tidak pula hidup”. [QS. Al-A'la : 13]
Demikian ini benar-benar akan terjadi menurut madzhab Ahlul Haq (pengikut kebenaran). Yaitu, kenikmatan penghuni surga akan terus selama-lamanya. Sedangkan siksaan bagi orang-orang yang kekal di neraka juga akan selama-lamanya.
Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya): “Akan tetapi orang-orang yang ditimpa oleh siksa api neraka sebab dosanya, … dst.”,  maka maksudnya ialah, bahwa orang-orang yang berdosa dari kalangan kaum Mu’minin, kelak akan dimatikan oleh Allah sesudah mereka disiksa (di dalam neraka) selama jangka waktu yang dikehendaki Allah Ta’ala. Kematian yang ditimpakan oleh Allah terhadap mereka ini adalah, dalam arti sebenarnya, hingga dengan kematian itu, lenyaplah rasa sakit.
Jadi siksa terhadap mereka sesuai dengan kadar dosa mereka. Kemudian Allah matikan mereka, dan untuk sementara waktu (dalam keadaan mati) sesuai dengan takdir Allah, mereka tetap tersekap di dalam neraka tanpa merasakan apa-apa.
Selanjutnya, dalam keadaan mati, mereka yang telah menjadi arang dikeluarkan dari neraka. Kemudian dibawa dalam kelompok-kelompok yang terpisah-pisah sebagaimana layaknya barang. Setelah itu mereka dimasukkan ke dalam sungai-sungai di surga, lalu disiram dengan air kehidupan. Maka hidup dan tumbuhlah mereka laksana tumbuhnya benih tetumbuhan yang tumbuh di lumpur-lumpur yang terbawa arus air, demikian cepat dan lemahnya. Tumbuhnya (manusia) itu, awalnya muncul kekuningan dan lentur karena lemahnya. Makin lama makin kuat, lalu mereka kembali seperti sediakala, dan makin sempurna keadaannya. (Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi (III/37-38), syarah hadits no. 458, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha)

Abu ‘Utsman Isma’il bin Abdur-rahman Ash-Shabuni berkata: ”Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa seorang mukmin meskipun melakukan dosa-dosa kecil  dan besar tidak bisa dikafirkan dengan semuanya itu. Meskipun dia meninggal dunia dalam keadaan belum taubat, selama masih dalam tauhid dan keikhlasan, urusannya terserah Allah. Jika Ia menghendaki, Ia akan mengampuni dan memasukkannya ke surga pada hari Kiamat dalam keadaan selamat, beruntung dan tidak disentuh oleh api neraka, tidak disiksa atas segala dosa yang pernah dilakukannya, ia biasakan dan terus menyelimutinya sampai hari kiamat. Namun apabila Allah kehendaki, bisa saja Ia menyiksanya di neraka untuk sementara, namun adzab itu tidak kekal, bahkan akan dikeluarkan untuk dimasukkan ke tempat kenikmatan yang abadi (surga).” (‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits)

Ibnu Hazm berkata: “Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sikap pertengahan antara sikap Khawarij dan Mu’tazilah yang berlebih-lebihan dan sikap Khawarij yang longgar. Khawarij berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar (al-kabirah) menjadi kafir jika tidak bertaubat dan akan kekal di neraka. Mu’tazilah mengatakan mereka akan kekal di neraka dan di dunia berada di antara dua posisi yaitu tidak kafir dan tidak mukmin (manzilah bainal manzilatain).” (Al-Tafsil fi Al-Fashl, Ibnu Hazm, III/ 229-247)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang hukum penamaan untuk orang muslim yang melakukan dosa besar: “Ahlus Sunnah berkata: Ia muslim dan hukumnya di akhirat di bawah kehendak Allah. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengazabnya, dan jika Dia menghendaki, Dia akan mengampuninya. Khawarij berkata: Ia adalah kafir dan hukumnya di akhirat berada di dalam neraka, dan kekal selama-lamanya. Sedangkan Mu’tazilah mengatakan bahwa: Ia berada pada satu kedudukan di antara dua kedudukan (manzilah bainal manzilataini), yaitu tidak mukmin dan tidak kafir. Hukumnya di akhirat, ia kekal di dalam neraka.” (Majmu’ Fatawa’ VII/241-242, XII/470-474, 479)

Imam Al-Baghawi berkata: “Ahlus Sunnah mereka berpendapat bahwa dosa besar yang dilakukan seorang mukmin tidak mengeluarkannya dari iman. Bila mereka meninggal sebelum bertaubat, maka ia akan disiksa di neraka namun tidak kekal, bahkan urusan mereka diserahkan kepada Allah, apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyiksanya atau berkenan mengampuninya.” (Syarhu As-Sunnah, Imam Al-Baghawi, I/103)

Ibnu Rajab al-Hanbali berkata: “Yaitu penyelisihan Khawarij terhadap para sahabat. Mereka (Khawarij) mengeluarkan para pelaku maksiat (dari kalangan kaum Muslimin) dari Islam secara keseluruhan, dan memasukkan mereka dalam lingkup kekufuran, serta memperlakukan mereka layaknya orang kafir.” (Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam I/114)

Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi (murid Ibnu Katsir) berkata: “Kelompok yang memiliki sikap berlebihan dalam menyikapi orang yang berbuat dosa ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan Khawarij dan Mu’tazilah, dan sikap ini memang merupakan salah satu ciri khas mereka yakni menganggap kafir pelaku dosa besar.” (Syarah Al-'Aqidah Ath-Thawiyah, hal. 321)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Bid'ah yang pertama kali muncul, yaitu bid'ah Khawarij, penyebabnya adalah interpretasi keliru terhadap kandungan Al-Qur'an, sebenarnya mereka tidak bermaksud melanggarnya! Akan tetapi mereka salah menafsirkannya. Mereka berasumsi bahwa nash-nash ancaman itu berkonseksuensi kafirnya para pelaku dosa besar. Mereka beranggapan bahwa seorang mukmin itu harus baik dan bertakwa, konseksuensinya siapa saja yang tidak baik dan tidak bertakwa maka ia tergolong kafir dan kekal dalam api neraka.” (Majmu' Fatawa 13/30-31)

Dari Yusuf bin Mahran dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa dirinya telah mendengar Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata di atas mimbar: “Akan ada suatu kaum di antara kalian dari umat ini yang mendustakan hukum rajam dan dajjal, terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, adzab kubur, syafa’at dan suatu kaum yang dikeluarkan dari neraka setelah mengalami siksaan. Jika saya mendapati mereka, niscaya saya akan membunuhnya seperti binasanya kaum Ad dan Tsamud.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/24 dan Ad-Dani dalam Al-Fitan 2/23. Dihasankan Syaikh Albani dalam Qishotul Masihid Dajjal wa Nuzul Isa hal. 30 dan dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Musnad Ahmad)

Selasa, 25 Februari 2014

Baginda Rasul Tak Akan Lupakan Cinta Tulus Umatnya

Ada seorang sholeh lagi waro’ dan full cintanya kepada Sayyidina Muhammad saw, hampir setiap malam selalu bermimpi bertemu dengan Sayyidina Muhammad saw.  Pada suatu ketika ia bermimpi:

Dia seperti sudah berada di tengah padang mahsyar, semua tumpang tindih disana, karena kedasyatannya. Tiba-tiba ada sekelompok rombongan besar melewati, menerobos, membongkar tumpang tindih semua makhluq. Ternyata rombongan Sayyidina Muhammad saw beserta shohabat, ahlul bayt, malaikat, tabi’in, auliya dan ulama yang mau lewat.

Lalu ia didatangi oleh seseorang yang wajahnya sudah rusak tidak bisa dikenali karna begitu dasyatnya padang mahsyar, ia berkata kepada orang sholeh tersebut:

“wahai orang sholeh engkau setiap malam selalu bertemu Sayyidina Muhammad saw, pastilah engkau dikenali, berkumpul, dapat memeluk dan mencium tangan Beliau saw. Sedangkan aku.. aku sewaktu didunia jangankan bertemu, bermimpi sesekalipun aku belum pernah karna begitu banyaknya dosaku, jadi aku minta tolong, nanti kalau ente ketemu Beliau saw tolong sampaikan salamku kepada Beliau saw katakan kalau aku sangat mencintai Beliau saw. (ia berkata sambil meneteskan air mata)”

Ternyata tiba-tiba rombongan Sayyidina Muhammad saw yang lewat tadi  berhenti, lalu Beliau saw yang dengan wajah bersinar berjalan menuju ke orang tadi sambil sabda: hai Fulan bin fulan ketahuilah.. aku tidak akan pernah melupakan orang yang tulus mencintaiku. Lalu orang itu mencium tangan Beliau saw dan memeluknya.

(Oleh: Rohmatulloh Muhammad Iwan Sa’dulloh, Pimp. Radio Sarkub FM Bojonegoro)

Bilal di minta menjadi muadzin kembali


Kisah ini, menunjukkan betapa mendalam dan besar kecintaan sahabat pada Nabi, juga bagaimana rasa rindu yang sangat menyayat hati mereka. Bahkan, sebenarnya sebab wafatnya Abu Bakar ash Shiddiq adalah karena terbunuh oleh rindu pada Nabi yang membakar hatinya (sebagian riwayat menyatakan, nafas beliau berbau seperti daging yang dipanggang).
Semua pasti tahu, bahwa pada masa Nabi, setiap masuk waktu sholat, maka yang mengkumandangakan adzan adalah Bilal bin Rabah. Bilal ditunjuk karena memiliki suara yang indah. Pria berkulit hitam asal Afrika itu mempunyai suara emas yang khas.
Posisinya semasa Nabi tak tergantikan oleh siapapun, kecuali saat perang saja, atau saat keluar kota bersama Nabi. Karena beliau tak pernah berpisah dengan Nabi, kemanapun Nabi pergi. Hingga Nabi menemui Allah Ta’ala pada awal 11 Hijrah. Setelah itupun Bilal menyatakan diri tak mau mengumandangkan adzan lagi. Ketika Khalifah Abu Bakar memintanya untuk jadi mu’adzin kembali, dengan hati pilu nan sendu bilal berkata, “Biarkan aku jadi mu’adzin Nabi saja. Nabi telah tiada, maka aku bukan mu’addzin siapa-siapa lagi.”
Abu Bakar terus mendesaknya, dan Bilal pun bertanya, “Dahulu, ketika engkau membebaskanku dari siksaan Umayyah bin Khalaf. Apakah engkau membebaskanmu karena dirimu apa karena Allah?” Abu Bakar terdiam.
“Jika engkau membebaskanku karena dirimu, maka aku bersedia jadi mu’adzinmu. Tetapi jika engkau dulu membebaskanku karena Allah, maka biarkan aku dengan keputusanku.” Dan Abu Bakar pun tak bisa lagi mendesak Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan.
Kesedihan sebab ditinggal wafat Nabi, terus mengendap di hati Bilal. Dan kesedihan itu yang mendorongnya meninggalkan Madinah, dia ikut pasukan Fath Islamy menuju Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria.
Lama Bilal tak mengunjungi Madinah, sampai pada suatu malam, Nabi hadir dalam mimpi Bilal, dan menegurnya, “Ya Bilal, wa maa hadzal jafa’? Hai Bilal, kenapa engkau tak mengunjungiku? Kenapa sampai begini?”
Bilal pun bangun terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, untuk ziarah pada Nabi. Sekian tahun sudah dia meninggalkan Nabi.
Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Nabi, pada sang kekasih. Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak dewasa, mendekatinya. Keduanya adalah cucunda Nabi, Hasan dan Husein.
Sembari mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Nabi itu. Sebelum salah satu dari keduanya bilang sesuatu hal, “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan buat kami? Kami ingin mengenang kakek kami.”
Ketika itu, Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu, dan beliau juga memohon Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski sekali saja.
Bilal pun memenuhi permintaan itu. Saat waktu shalat, dia naik pada tempat dahulu biasa dia adzan pada era Nabi. Mulailah dia mengumandangkan adzan.
Saat lafadz “Allahu Akbar” dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan agung, suara yang begitu dirindukan, itu telah kembali.
Ketika Bilal meneriakkan kata “Asyhadu an laa ilaha illallah”, seluruh isi kota madinah berlarian ke arah suara itu sembari berteriak, bahkan para gadis dalam pingitan mereka pun keluar.
Dan saat bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan. Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Nabi. Umar bin Khattab yang paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya. Lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai.
Hari itu, madinah mengenang masa saat masih ada Nabi. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Nabi.
Dan adzan itu, adzan yang tak bisa dirampungkan itu, adalah adzan pertama Bilal sekaligus adzan terakhirnya semenjak Nabi wafat. Dia tak pernah bersedia lagi mengumandangkan adzan. Sebab kesedihan yang sangat segera mencabik-cabik hatinya mengenang seseorang yang karenanya dirinya derajatnya terangkat begitu tinggi.
Karenanya, dia dan bangsanya, tak lagi dipandang remeh oleh bangsa lain, tak lagi ter-marginal-kan. Sebab kemuliaan seseorang, tidak ditentukan oleh warna kulitnya, oleh rasnya. Tetapi oleh taqwanya pada Allah Ta’ala..


Ketika Sahabat Bilal RA Merindukan Baginda Rasul SAW


Secepat kilat ia meraih tunggangannya. Meluncur menuju Madinah Al-Munawarah. Sesampai di kuburan Rasulullah, tanpa terasa air matanya tumpah. Ia bolak-balikkan wajahnya di atas pusara kekasihnya (Nabi SAW).

Setelah Rasulullah SAW wafat pada tahun ke-11 H, Bilal merasakan hari-harinya dipenuhi dengan kerinduan dan kenangan hidup yang mendalam bersama Nabi. Tak tahan itu terus mengganggu hari-harinya, ia pun berhijrah ke Syam (Suriah, sekarang). Namun, kenangan dan kerinduannya akan Rasul selalu ada dalam benaknya.

Suatu malam, ia bermimpi. Orang yang dikasihinya hadir dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Rasul bertanya kepadanya. “Kebekuan apakah ini hai Bilal? Bukankah sudah waktunya engkau mengunjungiku?” Maksudnya sudah lama engkau tidak mengunjungiku wahai Bilal.

Spontan Bilal terjaga dari tidurnya. Ketakutan dan kesedihan tidak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Secepat kilat ia meraih tunggangannya. Meluncur menuju Madinah Al-Munawarah. Sesampai di kuburan Rasulullah, tanpa terasa air matanya tumpah. Ia bolak-balikkan wajahnya di atas pusara kekasihnya (Nabi SAW).

Al-Hasan dan Al-Husain, cucu Rasulullah, mengetahui hal itu. Mereka mendatangi Bilal. Segera Bilal memeluk dan mencium rindu keduanya. Sejurus kemudian, mereka berkata, “Duhai Bilal, kami ingin sekali mendengarkan lantunan azanmu laiknya engkau azan untuk kakek kami di Masjid ini dulu.” Bilal kemudian mengumandangkan azan, sesuai dengan keinginan kedua cucu Rasul itu.

Maka ketika ia mengumandangkan, “Allahu Akbar”, Kota Madinah gempar. Saat melanjutkan, “Asyhadu alla Ilaha Illallah” kegemparan itu makin menjadi-jadi.

Kala meneruskan, “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, para warga Madinah keluar dari rumahnya seraya bertanya-tanya. “Bukankah Rasulullah telah diutus?” Maksudnya mereka heran dan kaget seolah-olah Rasulullah hidup lagi. Tidak ada hari sepeninggal Rasulullah di Madinah terlihat banyak orang yang menangis baik perempuan maupun laki-laki kecuali hari itu.

Kisah sahabat Bilal ini diriwayatkan—di antaranya—oleh Imam as-Samanhudi dalam Wafa’ul Wafa’ (4/1405) dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq/Sejarah Damaskus (7/137). Kisah ini setidaknya memberi lima pelajaran. Pertama, mimpi bertemu Rasulullah adalah hak. “Dan siapa saja yang melihat Rasulullah dalam tidurnya maka dia benar-benar telah melihatnya SAW, karena setan tidak bisa menyerupainya.” (HR Bukhari-Muslim).

Ahli hadis abad ke-21 dari Lebanon, Abdullah Al-Harari (w. 2008) menafsiri bahwa seseorang yang pernah bermimpi bertemu Rasulullah maka insya Allah ia akan meninggal husnul khatimah.

Kedua, ziarah ke pusara Rasulullah merupakan amalan yang baik. Ketiga, menangis dan mencium pusara Rasulullah sebagai ekspresi cinta dan kerinduan adalah hal yang wajar. Rasulullah bersabda, “Seseorang akan dikumpulkan kelak dengan orang yang ia cintai.” (HR Al-Bukhari).

Keempat, azan hendaknya dikumandangkan dengan suara yang nyaring. Sebagaimana Bilal yang bersuara lantang dan ketika azan naik ke atap Masjid an-Nabawi. Kelima, ziarah kubur dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat …” (HR Al-Hakim).

Semoga kita termasuk orang-orang yang rindu kepada Rasulullah, sebagaimana Bilal rindu kepadanya. Testimoni Umar bin Al-Khattab, “Abu Bakar adalah sayyiduna (pemimpin kita) dan yang telah memerdekakan sayyidana, (Bilal).” Wallahu A’lam. (http://www.republika.co.id)
Anda mungkin juga meminati:

Simak di: http://www.sarkub.com/2012/ketika-sahabat-bilal-ra-merindukan-baginda-rasul-saw/#ixzz2uNN5IcG7
Powered by Menyansoft
Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | Sarkub.Center on Facebook

Abdullah Ibnu Mas’ud Penghapal dan Pengajar Al-Qur’an

sahabat RasulullahIbnu Mas’ud adalah seorang sahabat Nabi dan pemegang rahasia Rasulullah SAW. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib. Dia termasuk orang pertama yang masuk Islam.

Jika Rasulullah bepergian, Ibnu Mas’ud yang menemani Nabi pergi, sembari membawakan sandal, bantal, sikat gigi dan air untuk wudhu Rasulullah. Mereka berjalan bersama-sama, kadang Ibnu Mas’ud berjalan di depan, kadang di belakang.

Ia sering masuk ke kamar Rasulullah mengurus tempat tidur Nabi SAW. Tak heran, sahabat Abu Musa al-Asy’ari pernah menduga Ibnu Mas’ud sebagai keluarga Nabi. Jika Nabi SAW tengah mandi, Ibnu Mas’ud yang menutupinya. Begitu juga ketika Nabi tidur, Ibnu Mas’ud membangunkannya.  Serta memakaikan kedua sandalnya ketika Nabi berdiri dan hendak pergi. Apabila Nabi duduk, ia menyelipkan kedua sandal di bawah ketiaknya.

Perawakannya kurus dan pendek sekali serta kulitnya amat hitam. Selalu berpakaian rapi serta memakai wangi-wangian. Ciri khas lainnya adalah, ia memiliki betis yang kecil. Perawakannya yang kecil inilah yang pernah dipuja Rasulullah dari orang-orang yang menertawakannya.

Karena selalu menemani Rasulullah, Ibnu Mas’ud termasuk salah satu sahabat, dari sekian banyak sahabat yang mengumpulkan Alquran langsung dari mulut Rasulullah. Ibnu Mas’ud bersumpah, "Demi Allah Yang tidak ada Ilah selain-Nya. Tidaklah satu surat pun yang diturunkan dari Kitabullah, kecuali saya mengetahui, di mana surat itu diturunkan. Dan tidak ada satu ayat pun dari Kitabullah kecuali mengetahui, kepada siapa ayat itu diturunkan. Sekiranya aku tahu, ada orang yang lebih mengetahui tentang Kitabullah dan tempatnya bisa ditempuh oleh Unta, maka niscaya aku akan berangkat menemuinya." (HR Bukhari).

Ia mengetahui Alquran dan waktu turunnya. Rasulullah memujinya dan menganjurkan para sahabat lain untuk belajar dan menghapal Alquran kepadanya. Sabda Rasulullah kepada para sahabatnya, “Ambillah Alquran itu dari empat orang. Yaitu dari Abdullah bin Mas'ud, Salim, Mu'adz bin Jabal dan Ubay bin Ka'ab.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad).

Maka beramai-ramai orang mengambil pelajaran Alquran darinya, mengamalkannya, membaca, menghapal, serta Ibnu Mas’ud menjelaskan dan memperingatkan kepada mereka masalah yang penting jika terdapat kekeliruan dalam membaca Alquran. Kata Ibnu Mas’ud saat mengajarkan Alquran, "Aku telah membacanya di hadapan Rasulullah SAW.” (HR Bukhari).

Petuah Nabi kepada sahabatnya, “Barang siapa yang ingin membaca Alquran yang baik seperti pertama kali turun, maka bacalah seperti bacaan Abdullah bin Mas’ud.”(HR Ibnu Majah, Ahmad).

Selain itu, Ibnu Mas’ud juga dianugerahi suara yang merdu. Rasulullah suka meminta Abdullah bin Mas’ud membacakan Alquran untuknya. Rasulullah ingin mengetahui bacaan Alquran yang telah diajarkannya kepada anak didiknya. "Bacakanlah Alquran padaku," sabda Nabi kepada Ibnu Mas’ud suatu ketika. "Aku membacakannya untuk Anda, padahal kepada Andalah ia diturunkan?” jawab Ibnu Mas’ud. "Sungguh aku suka mendengarnya dari orang lain," perintah Nabi SAW.

Lalu Abdullah bin Mas’ud membacakan surat An-Nisa. Ketika bacaan Ibnu Mas’ud sampai kepada ayat 41 yang artinya, “Maka bagaimanakah (orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” “Cukup,” pinta Nabi kepada Ibnu Mas’ud untuk menghentikan bacaannya. Ibnu Mas’ud berhenti dan melihat wajah Rasulullah, lalu berkata, “Dan ternyata kedua mata Beliau SAW berlinangan air mata.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Ahmad).

Pada zaman pemerintahan Umar  bin Khathab, Abdullah bin Mas’ud bertugas di Kufah untuk megajarkan agama Allah di sana. Ali bin Abi Muthalib memuji Ibnu Mas’ud dan menyatakannya sebagai orang berilmu, yang mengetahui Alquran dan sunnah. Abdullah bin Mas’ud juga banyak meriwayatkan hadits sebanyak 840 hadits. Dia wafat di Madinah pada tahun 32 Hijriah dalam usia 65 tahun.

Sumber : Republika Online
http://www.sarkub.com/2013/sahabat-ibnu-masud-penghapal-dan-pengajar-al-quran/#ixzz2uNKVnp8Q

Membangun Surga Di Muka Bumi

Dalam kisah jaman dahulu kala ternyata di bumi ini pernah bertengger 4 penguasa penuh, yg 2 orang muslim yakni Nabi Sulaiman as bin Dawud as dan Iskandar Dzulqornain, 2 orang lagi kafir yakni Namrudz bin Kan’an bin Nuh as, dan Syidad (bin ‘ Ad bin ‘Aush bin Irom bin Sam bin Nuh as).

Konon Syidad ini ukuran tubuhnya lebih besar dari rata-rata manusia biasa, usianya mencapai 1000 tahun, memiliki 1000 orang istri dan 4000 anak. Dengan kekuasaan penuh di muka bumi dia bisa melakukan apa saja yang diinginkan. Kabar tentang sifat-sifat surga yang dia baca dari kitab-kitab para nabi tergugah hatinya untuk membuat surga di muka bumi.

Mulailah dia mengumpulkan menteri-menterinya yang berjumlah 1000 orang, para pembesar, para ahli dan arsitek, dikerahkan seluruh manusia untuk mencari, menggali dan mengumpulkan seluruh benda-benda barang tambang berharga, seperti emas, perak intan, zamrud, zabarjud, marjan dan mutiara. Marmer terbaik yang ada di bumi ini diangkut, juga tak ketinggalan bahan-bahan  parfum dan misik pun dikumpulkan.

Setelah terkumpul dalam jumlah besar dan terus sambil mencari, Syidad mendelegasikan pakar-pakar geografi dan arsitek untuk menelusuri lokasi-lokasi di penjuru bumi. Mereka mendapati sebuah kawasan luas ada dataran rendah dan tinggi yang banyak sumber airnya.

Kawasan terindah masa itu adalah daerah Yaman. Mereka mengambil kawasan 80 km x 80 km dan dibuatnya benteng seputarnya dengan marmer yang sangat tinggi dan di atasnya dibuat dinding bata dari emas. Setelah selesai bangunan benteng tersebut mulailah membangun istana inti dengan bahan mas bertatahkan batu-batu permata yang berkilauan, di sekeliling istana dibangun bungalau2 untuk istri-istri dan anak-anak mereka, serta kawasan taman rekreasi yang sangat indah dan berbagai bangunan lainnya

Di sekitar istana dibangunlah sungai-sungai yang bertebing batu-batu mulia dan pohon-pohon berdaun emas berbatang zamrud dan zabarjud. Negeri indah ini selesai pembangunannya dalam waktu 300 tahun, Imam Wahab bin Munbih mengatakan kota indah seperti ini tak akan dijumpai lagi di muka bumi,

Firman Allah :” Bangsa Irom yang memiliki bangunan-bangunan megah yang tak dibuat di negeri-negeri lainnya”.

Setelah usai sempurna pembangunan tersebut raja Syidad memerintahkan untuk memboyong kekayaannya ke istana baru tersebut dan mengusungnya memakan waktu 10 tahun. Mulailah Syidad boyong menuju istana baru dengan keluarga besarnya serta para menteri dan pembesar kerajaan. Namun apa yg terjadi ?

Hanya kehendak Allahlah yang berlaku pada setiap makhluk-NYA. Sesampainya Syidad di gerbang istana tiba-tiba datang seorang malaikat dan berkata :  ” Hai Syidad jika kamu mengakui bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa, aku persilahkan kamu tinggal di istana ini, jika tidak maka aku cabut nyawamu sekarang juga “

Mendengar perkataan itu Syidad menjadi marah dan bengis serta bertambah tambah kesesatannya, maka berteriaklah malaikat tersebut hingga Syidad dan rombongannya mati seketika, dan tak seorangpun yang masuk ke kota megah tsb, ada yang berpendapat kota itu ikut hancur seluruhnya, ada juga yang berpendapt kota itu tetap dalam keindahannya hingga masa-masa berikutnya, wallahu a’lam

(Sumber : Kitab Badai’uz zuhur)

Kisah Hamba Yang Telah Beribadah 500 Tahun

rahmat Allah

rahmat Allah
Diriwayatkan dari sahabat Jabir radliyallahu’anhu, beliau berkata; Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendatangi kami kemudian beliau bersabda:

Jibril berkata; Wahai Muhammad, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya Allah Azza wa Jall memiliki seorang hamba dari hamba-hambanya yang lain, hamba tersebut telah beribadah kepada Allah Azza wa Jall selama lima ratus tahun di puncak sebuah gunung di sebuah pulau yang dikelilingi dengan lautan yang lebar dan tinggi gunung tersebut adalah tiga puluh dzira’.

Jarak dari setiap tepi lautan yang mengelilingi gunung tersebut adalah empat ribu farsakh. Di gunung tersebut terdapat sebuah mata air yang selebar beberapa jari, dari mata air tesebut mengalir air yang sangat segar dan berkumpul ke sebuah telaga dikaki gunung.

Disana juga terdapat pohon-pohon delima yang selalu berbuah setiap hari sebagai bekal hamba tersebut beribadah kepada Allah dihari-harinya. Setiap kali menjelang sore, hamba tersebut turun dari atas gunung menuju telaga untuk mengambil air wudlu, sekaligus untuk memetik buah delima lalu memakannya, baru kemudian mengerjakan shalat.

Setelah usai shalat, hamba tersebut selalu berdo’a kepada Allah Ta’ala, supaya kelak ketika ajalnya datang menjemput, dia dicabut nyawanya dalam keadaan sujud kepada Allah dan dia juga berdo’a supaya setelah kematiannya, jasadnya tidak dirusakkan oleh bumi dan oleh apapun juga sampai datangnya hari kebangkitan.

Jibril berkata; Allah Ta’ala mengabulkan semua do’a-do’a sang hamba. Kemudian kami melintasi hamba tersebut, ketika kami turun dan naik lagi, kami menemukan sebuah pengetahuan bahwa; Nanti pada hari dibangkitkan, hamba tersebut akan dihadapkan pada Allah Ta’ala, kemudian Allah Ta’ala akan bersabda;

“Masukkan hambaku ini ke surga dengan sebab rahmat-Ku”.

Hamba tersebut berkata; “dengan sebab amalku Ya Rabb”.

Allah bersabda; “Masukkan hambaku ke surga dengan sebab rahmat-Ku”.

Sekali lagi hamba tersebut berkata; “dengan sebab amalku Ya Rabb”.

Kemudian Allah Ta’ala bersabda; “Sekarang coba timbang amal hambaku ini dengan nikmat yang telah aku berikan kepadanya”.

Dan ternyata setelah ditimbang, nikmat penglihatan yang telah diberikan Allah kepada hamba tersebut, menyamai dengan timbangan amal ibadah yang telah dilakukannya selama lima ratus tahun. Dan masih tersisa anggota tubuh lain yang belum ditimbang, sedangkan amal hamba tersebut ternyata sudah habis.

Kemudian Allah Ta’ala bersabda; “sekarang masukkan hambaku ini ke neraka”

Dengan perintah Allah tersebut, kemudian para malaikat menggiring hamba ke neraka. Tiba-tiba ketika akan digiring ke neraka, hamba tersebut berteriak sambil menangis;

“Ya Rabb……Masukkan aku ke surga dengan rahmat-Mu”.

Kemudian Allah Ta’ala bersabda kepada para Malaikat; “Tahan dulu wahai malaikat, dan bawa kesini”.

Hamba tersebut lalu dibawa oleh para malaikat kehadapan Allah Ta’ala. Kemudian Allah Ta’ala bersabda;

“Wahai hambaku, siapakah yang telah menciptakanmu yang sebelumnya kamu bukan apa-apa??”

Hamba tersebut menjawab; “Engkau Ya Rabb”.

Allah Ta’ala bersabda; “siapakah yang telah memberikan kekuatan kepadamu, sehingga kamu mampu beribadah kepadaku selama lima ratus tahun??”

Hamba menjawab; “Engkau Ya Rabb”.

Allah Ta’ala bersabda: “siapakah yang telah menempatkanmu disebuah gunung yang berada ditengah-tengah laut yang luas, mengalirkan dari gunung tersebut air yang segar sedangkan di sekelilingnya adalah air yang asin, yang menumbuhkan buah delima setiap malam yang seharusnya hanya setahun sekali berbuah, serta siapa yang telah memenuhi permintaanmu, ketika engkau berdo’a supaya dimatikan dengan cara bersujud??”

Hamba tersebut menjawab dengan wajah menunduk malu dan bersuara pelan; “Engkau Ya Rabb”.

Allah Ta’ala bersabda: “itu semua tak lain adalah atas berkata rahmat-Ku, dan dengan rahmat-Ku juga engkau Aku masukkan surga”.

Kemudian Allah Ta’ala bersabda kepada para malaikat; “masukkan hambaku ini ke surga, engkau adalah sebaik-baik hamba wahai hamba-Ku”.

Dan dimasukkanlah hamba tersebut kedalam surga berkat rahmat Allah Ta’ala.

Kemudian Jibril berkata; “Sesungguhnya, segala sesuatu itu adalah berkat rahmat Allah wahai Muhammad”.

Sumber : Dikutip Tim Sarkub dari www.piss-ktb.com

Senin, 24 Februari 2014

Sebab apa ka'bah dan masjid dinakan rumah allah?

Ka'bah disebut Baitullah yang artinya Rumah Allah , begitu pula Masjid juga disebut Baitullah , dalam hal ini yang perlu kita ketahui adalah bahwasanya Allah tidak menempati Ka'bah maupun masjid-masjid karena Allah tidaklah membutuhkan tempat bagi keberadaanNya , maka mustahillah Allah menempati makhlukNya

قال مفتي سوريا الأسبق الشيخ محمد أبو اليسر عابدين ( المتوفى سنة 1404 هجرية ) في كتاب الإيجاز في ءايات الإعجاز مانصه : اعلم أنهُ تقرر في دين الإسلام أن الله تعالى لا مكان لهولا زمان وهو رب الزمان والمكان وإنما الأمكنة التي تضاف إليه تعالى إنما تضاف للتشريف لأنه شرّفها فيقال بيت الله


Syaikh Muhammad Abu al-Yusr 'Abidin Mufti Suriah (wafat tahun 1404 H) dalam kitab Al-Iijaz fii aayaat al-i'jaz mengatakan :
Ketahuilah bahwa telah menjadi ketetapan dalam Agama Islam bahwasanya Allah ta'ala tiada tempat dan zaman bagiNya , sedangkan Ia adalah Tuhan pencipta tempat dan zaman , adapun tempat-tempat yang disandarkan kepadaNya itu disandarkan kepadaNya untuk memuliakannya karena Ia memuliakannya , maka dikatakan "Bait Allah (Rumah Allah)".