Sabtu, 29 Desember 2018

Menghayati Makna Perang Nabi, agar tak menjadi Muslim Radikal



Sebelum meletus perang Badar di tahun 624, Nabi Muhammad menemani pasukan perintis dalam misi pengamanan sumur di Badar, dekat jalur Madinah. Dalam misi tersebut, salah satu pasukan perintis bernama Hubab Al-Jamuh yang sudah akrab dengan kawasan Badar, lantas mengkoreksi srategi yang dijalankan oleh nabi. Ia menegaskan bahwa tempat itu bukan tempat yang layak diperhitungkan. Ia justru menganjurkan pasukan perintis untuk terus maju ke sumur yang berada paling dekat dengan posisi musuh, behenti di sana, kemudian menyumbat sumur-sumur yang berada di belakangnya.

Selain air dari sumur tersebut berguna bagi pasukan muslim, strategi ini juga sebagai upaya melemahkan musuh sebelum bertarung. Karena musuh sudah terkulai lemas terlebih dahulu akibat kehabisan pasokan air. Benar saja, pasukan muslim yang hanya berkisar 300 orang, akhirnya dapat memenangkan peperangan melawan 1.000 lebih prajurit Makkah. Dalam konteks perang, air berguna bagi prajurit agar tetap bertenaga. Bila tak menemui air, masyarakat Arab pada saat itu harus menyembelih unta yang dikendarai untuk diminum darahnya dan diambil air di lambung si unta.

Jalan cerita di atas tentu akan berbeda andai Hubab menerima secara taken for granted, mentah-mentah, apa yang dipraktikan oleh nabi. Abu Jahal (Amr bin Hisyam) tidak jadi terbunuh, nabi mengalami kekalahan, lalu ketika kembali ke Madinah pasti akan menimbulkan kekecewaan yang berujung pada perpecahan antara suku dan agama di Madinah. Sebagaimana diketahui, nabi pada tahun 622 baru hijrah ke kota Madinah, yang sebelumnya mengalami kebuntuan saat berdakwah di Makkah.

Akan tetapi, tidak semua umat muslim layaknya Hubab Al-Jamuh. Belakangan, kisah-kisah peperangan zaman nabi dimaknai semena-mena oleh pemeluknya. Diperkuat dengan seruan jihad yang terdapat dalam teks suci, keduanya diseret untuk bertanggung jawab atas rangkaian teror yang terjadi. Simbol dan sejarah agama direplikasi sekelompok orang dalam melakukan setiap aksinya. Aksi yang berujung pada laku kekerasan yang kerap menimbulkan korban. Bila pada zaman nabi saja, ada seorang sahabat yang mempertanyakan strategi perang nabi, kini di abad 21 dan saat Islam telah menyebar ke pelosok dunia, kisah perang malah dimakan mentah-mentah.

Memaknai Kisah Perang Nabi
Mau tidak mau, umat muslim kini dihadapkan pada realitas, bahwa agama yang selama ini patuh dianutnya ternyata dilibatkan atau terlibat dalam serangkaian teror yang terjadi. Sebuah kenyataan pahit untuk mengakui bahwa agamanya melegalkan tercecernya darah kala ada pembeda. John Adair dalam buku Kepemimpinan Muhammad dari Alwiqidi di buku Al-Maghzi (penaklukan) memaparkan, terdapat 28 serangan dan 70 pertempuran yang terjadi pada 10 tahun terakhir kehidupan Nabi Muhammad.

Tentu tak mudah untuk melokalisir kisah-kisah perang zaman nabi pada etalase masa lalu saat melihatnya. Atau dengan kata lain, meletakan Islam sebagai ‘agama wahyu’ itu lebih mudah, dibanding Islam diletakan sebagai ‘agama historis’. Mengutip teori Antony Giddens tentang relasi agen dan stuktur, umat Islam sebagai sebuah agen sejak kecil sudah diyakinkan terhadap keduanya; bahwa itu merupakan panduan yang sempurna (stuktur), tidak ada keraguan di antaranya. Adagium andalan yang sering dilontarkan saat melihat realitas ialah cocok ditempatkan pada waktu dan tempat (Shohih likuli zaman wa makan) untuk keduanya.

Melalui kisah koreksi yang dilakukan oleh sahabat Hubab Al-Jamuh pada strategi perang Badar, dapat diambil pelajaran bahwa Islam saat itu terbentuk dari realitas umat. Sebagai seseorang yang baru berhijrah –belum mengetahui realita Madinah- Nabi Muhammad mendengarkan strategi yang diungkap oleh Hubab. Terbukti dengan ditandai perang Badar merupakan perang yang dikategorisasi sebagai perang pertama dalam sejarah Islam.

Perang, saat itu merupakan metode yang sudah biasa dilakukan di dataran Arab sebagai penuntasan tiap masalah. Budaya masyarakat Arab yang keras dan bergengsi tinggi diantara tiap kafilah menjadi kewajaran bila perang menjadi satu-satunya jalan keluar. Padahal jauh-jauh hari Nabi Muhammad pernah menyindir atas kondisi ini. Setelah perang Hunain, nabi membagi-bagikan seratus unta pada keempat orang terkemuka dari Suku Quraisy yang sebelumnya merupakan musuh besarnya. Sebuah laku yang kemudian berujung pada protes keras orang muslim Madinah.

Orang muslim Madinah menganggap diperlakukan secara tidak adil. Harusnya orang-orang Anshar (muslim asli Madinah) yang berhak menerima imbalan unta tersebut. Anshar yang pertama kali meyakini seruan Muhammad SAW ketika dipukul mundur saat di Makkah, Anshar pula yang pertama kali bertempur habis-habisan, tapi mengapa, saat perang usai bekas musuh yang diistimewakan. Laku ganda itu dilakukan oleh Nabi Muhammad, di satu sisi ia berlaku keras lewat perang, di sisi lain ia sangat menghormati musuh. Nabi Muhammad sedang memberi cermin terhadap budaya masyarakat Arab kala itu.

Refleksi Beragama di Indonesia
Jika di zaman nabi strategi perang Badar saja merupakan hasil dari proses dialog antara realitas dan ajaran, di tengah Islam yang kini telah menyebar ke penjuru dunia dan telah berumur tua, mengapa masih saja ada orang yang mengais kisah-kisah perang yang terakam dalam kata ‘jihad-qital-harb’ sebagai sebuah keharusan tanpa melihat realitas? Melakukan teror atas nama agama bukan sebuah amal melainkan kriminal. Baik itu kriminal terhadap agama maupun negara. Kriminal terhadap agama, lantaran menjauhkan agama dari pemeluknya (realitas), sedangkan terhadap negara karena kini umat muslim telah terjamin hidup secara merdeka di Indonesia, sebagaimana kehidupan yang damai dulu di Madinah (Piagam Madinah).

Di tengah kehidupan damai di Indonesia bila kemudian ditemukan sekelompok umat yang mengaku muslim, tapi mencederai keberagaman atas dasar nama agama, maka tak lain mereka sama persis seperti penghianatan yang dilakukan oleh Yahudi bani Nadzir saat di Madinah. Pengkhianatan terhadap Piagam Madinah (konsep ideal negara bangsa) yang dibuat oleh nabi guna memayungi perbedaan para kafilah dan pemeluk agama. Sebuah latar belakang yang memunculkan perang Khandaq.
Terhadap penghianatan, Allah menyerukan peperangan sebagaimana tertuang dalam surat Ash-shaf ayat 4; “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalanNya dengan berbaris seolah-seolah mereka itu suatu bangunan yang tersusun.” Surat yang turun sebagai pengingat bagi umat muslim akibat kekalahan yang dialami saat perang Uhud. Pengkhianatan terjadi saat berlangsungnya perang Uhud, di mana pasukan dari keturunan Bani Aus melakukan balas dendam terhadap salah satu pasukan muslim lain hingga berujung pada kematian.

Masyarakat muslim yang kini telah terjamin kemerdekaanya dalam konsep ideologi bangsa Pancasila yang terurai dalam Undang-Undang Dasar 1945, betapa naifnya bila kemudian melakukan pengkhianatan atas nama agama. Jihad fi sabilillah, pengusungan konsep khilafah, dan teror atas nama agama, di satu sisi merupakan sebuah bentuk kemalasan berpikir yang tidak ada di zaman nabi sebagaimana dicontohkan oleh Hubab Al-Jamuh, di sisi lain, ia merupakan bentuk dari pengkhianatan atas konsep negara bangsa. Bak pengkhianatan yang dilakukan Yahudi bani Nadzir terhadap konsep Piagam Madinah yang berguna untuk menaungi beragam kafilah dan agama.
 
Semoga bermanfaat.

Rabu, 26 Desember 2018

Dua ulama aswaja yang dikafirkan wahabi

Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al Maliki (Mekkah) & Syekh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi (Damaskus_Suriah) Adalah Dua Ulama Besar Dunia Yang Sangat Gigih Dalam Membela Ahlus Sunnah Wal Jama'ah,Sekaligus Menjadi Ulama Yang Paling Dibenci Oleh Kelompok Salafi Wahhabi. Saking Bencinya,Salafi Wahhabi Sampai-Sampai Mengkafirkan Keduanya.

Sayyid Muhammad bin Alwi
Terkenal Sebagai Peraih Gelar Doktor Hadits Termuda Dalam Sejarah Universitas Al Azhar (Kairo_Mesir) Karena Beliau Berhasil Memperoleh Predikat Doktoral Spesialis Hadits Dalam Usia 25 Tahun,Beliau Juga Dikenal Dengan Julukan "Muwattho' Berjalan" Dikarenakan Beliau Memang Sangat Hafal Dan Ahli Dalam Kitab Karya Imam Malik Tsb !!!
Sedangkan Syekh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi Juga Meraih Gelar Doktor S3 nya Di Universitas Yang Sama !!!

Meski Keduanya Dikenal Sangat 'Alim Luar Biasa, Namun Para Ulama Salafi Wahhabi Tetap Saja Mengkafirkan Keduanya.

Diantara Ulama Salafi Wahhabi ..
Yang Terang-Terangan Mengkafirkan Beliau Berdua Adalah Syekh Abdullah bin Sulaiman bin Mani' (Seorang Hakim Di Mahkamah Tamyiz Saudi Arabia),Ia Menulis Sebuah Kitab Berjudul AL HIWAR MA'AL MALIKI Yang Berisi Kumpulan Fitnah,Cacian Serta Pengkafiran Kepada Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki.

Kitab Ini Kemudian Dijadikan Rujukan Ulama Salafi Wahhabi Lainnya Dalam Mengkafirkan Ulama-Ulama Yang Tidak Sejalan Dengan Mereka,Termasuk Digunakan Oleh Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (Grand Mufti Kerajaan Wahhabi Arab Saudi Sekaligus Ketua Idarah Al Buhuts Al 'Ilmiyah Saudi) !!!
Sedangkan Ustadz-Ustadz Wahhabi Indonesia Yaitu Firanda Andirja Menyatakan Bahwa Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Telah MUSYRIK Dan Mencapnya Sebagai SYIAH !!!

Adapun Syekh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi Dikafirkan Dan Dihalalkan Darahnya Oleh Para Pemberontak Wahhabi Di Suriah. Hanya Karena Beliau Tidak Mendukung Pemberontakan Mereka, Lalu Mereka Pun Melakukan Makar Hingga Syekh Said Ramadhan Al Buthi Wafat Disaat Mengajar Tafsir Di Masjidnya.

Sekalipun Sayyid Al Maliki & Syekh Al Buthi Kini Telah Wafat,Namun Ilmu Dan Perjuangannya Dalam Membela Aswaja Tetap Abadi Dalam Karya-Karya Yang Sempat Beliau Berdua Tulis.

Sayyid Muhammad Al Maliki Meninggalkan Banyak Kitab Diantaranya MAFAHIM YAJIBU AN TUSHOHHAHA Yang Didalamnya Berisi Penjelasan Dan Pembelaan Aqidah Serta Amaliah Aswaja Yang Sering Dianggap Bid'ah Oleh Wahhabi.
Sedangkan Syekh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi Juga Meninggalkan Banyak Kitab Diantaranya AL LAA MADZHABIYYAH AKHTHORU BID'ATIN TUHADDIDU ASY SYARI'AH AL ISLAMIYYAH Yang Menjelaskan Bahaya Propaganda Anti Madzhab Yang Selalu Diteriakkan Oleh Kelompok Wahhabi.

Didalam Kitab Ini Juga, Dijelaskan Keringkasan Dialog Yang
Pernah Terjadi Antara Beliau Dengan Syekh Nashiruddin Al Albani (Ulama Wahhabi) Yang Berlangsung Selama Kurang Lebih 3 Jam.

Alhamdulillah Kedua Kitab Tsb Telah Dicetak Dan Disebarluaskan Ke Indonesia.

Semoga bermanfaat.

Ikut NU Berarti Ajaran Islam Kamu Terhubung ke Rasulullah

Ketua PBNU KH Abdul Manan Abdul Ghani mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi yang didirikan para ulama yang memiliki sanad keilmuan jelas melalui para guru yang terhubung kepada Rasulullah tanpa putus.

Menurut Kiai Manan, para guru ulama-ulama NU, jika ditelusuri dari Imam Syafi’i yang berguru kepada kepada Imam Malik, maka akan didapat susunan sebagai berikut, yaitu Imam Syafi’I berguru kepada Imam Malik, berguru kepada Imam Rabiatu Ra’yi, berguru kepada Kharijah, berguru kepada Zaid bin Tsabit, berguru kepada Rasulullah SAW.

“Jadi ketika kita ber-NU, kita menyambungkan rombongan sanad kepada Rasulullah. Pesannya KH Hasyim Asy’ari ya ayyuhal ulama, wahai para ulama Ahlussunah wal Jamaah, para ulama NU, kalian mengambil ilmu dari orang sebelum kalian. Orang sebelum kalian mengambil ilmu dari orang-orang sebelumnya dengan sanad yang tidak terputus kepada Rasulullah,” jelasnya.

Di dalam kesempatan lain, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj kerap menyampaikan sanad keilmuan para ulama NU pula. Ia hafal di luar kepala jalur keilmuan tersebut yaitu melalui pendiri NU, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari berguru kepada Syekh Mahfudz at-Termasi, Syekh Nawawi al-Bantani, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Imam Ahmad ad-Dasuqi, Imam Ibrahim al-Baijuri, Imam Abdullah as-Sanusi, Imam ‘Abduddin al-‘Iji, Imam Muhammad bin Umar Fakhrurrazi.

Selanjutnya, Imam Abdul Karim asy-Syahrastani, Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad al-Ghozali, Imam Abdul Malik al-Haramain al-Juwaini, Imam Abubakar al-Baqillani, Imam Abdullah al-Bahili, Imam Abu al-Hasan Ali al-Asy’ari, Abu Ali al-Juba’I, Abu Hasyim al-Juba’I, Abu al-Hudzail al-‘Allaf, Ibrahim an-Nadzdzam, Amr bin Ubaid, Washil bin Atha’, Sayyidina Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Rasulullah Muhammad SAW.

Senada dengan Kiai Manan, penceramah KH Ahmad Muwafiq menegaskan NU merupakan sebuah organisasi yang memiliki sanad keilmuan yang tanpa terputus hingga Rasulullah.

“NU tidak mengalami patahan pengetahuan, tidak mengalami mata rantai yang hilang,” katanya pada pengajian di PBNU, Jakarta, Selasa (25/12) malam. (Abdullah Alawi)
 
Semoga bermanfaat.

Rabu, 19 Desember 2018

Siapa yang menjadi imam sholat lebih dalu

Bagi yang bertanya-tanya, apaboleh presiden menjadi imam sholat?


Disebutkan dalam kitab Al Muhaddzab karya Imam As Syairozi yang saya posting di bawah ini.
Dan penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab sy tulis di bawah ini:

إذَا حَضَرَ الْوَالِي فِي مَحَلِّ وِلَايَتِهِ قُدِّمَ عَلَى جَمِيعِ الْحَاضِرِينَ فَيُقَدَّمُ عَلَى الافقه والاقراء وَالْأَوْرَعِ وَعَلَى صَاحِبِ الْبَيْتِ وَإِمَامِ الْمَسْجِدِ إذَا أَذِنَ صَاحِبُ الْبَيْتِ وَنَحْوُهُ


"Jika pemimpin datang di suatu daerah yang menjadi wilayahnya maka dia didahulukan(dipersilahkan) jadi imam  jama'ah, kemudian ahli faqih, qori' dan org yg waro', tuan rumah juga imam masjid dst...dst...

وَقَدْ أَوْضَحْتُهُ فِي تَهْذِيبِ اللُّغَاتِ: قَالَ أَصْحَابُنَا رَحِمَهُمُ اللَّهُ إذَا حَضَرَ الْوَالِي فِي مَحَلِّ وِلَايَتِهِ قُدِّمَ عَلَى جَمِيعِ الْحَاضِرِينَ فَيُقَدَّمُ عَلَى الافقه والاقراء وَالْأَوْرَعِ وَعَلَى صَاحِبِ الْبَيْتِ وَإِمَامِ الْمَسْجِدِ إذَا أَذِنَ صَاحِبُ الْبَيْتِ وَنَحْوُهُ فِي إقَامَةِ الصَّلَاةِ فِي مِلْكِهِ فَإِنْ لَمْ يَتَقَدَّمْ الْوَالِي قَدَّمَ من شاء من يَصْلُحُ لِلْإِمَامَةِ وَإِنْ كَانَ غَيْرُهُ أَصْلَحَ مِنْهُ لِأَنَّ الْحَقَّ فِيهَا لَهُ فَاخْتَصَّ بِالتَّقَدُّمِ وَالتَّقْدِيمِ: قَالَ الْبَغَوِيّ وَالرَّافِعِيُّ وَيُرَاعَى فِي الْوُلَاةِ تَفَاوُتُ الدَّرَجَةِ فَالْإِمَامُ الْأَعْظَمُ أَوْلَى مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ الْأَعْلَى فَالْأَعْلَى مِنْ الْوُلَاةِ وَالْحُكَّامِ وَحَكَى الرَّافِعِيُّ قَوْلًا أَنَّ الْمَالِكَ أَوْلَى مِنْ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَهَذَا شَاذٌّ غَرِيبٌ ضَعِيفٌ جِدًّا: وَلَوْ اجْتَمَعَ قوم لاوالى مَعَهُمْ فِي مَوْضِعٍ فَإِنْ كَانَ مَسْجِدًا فَإِمَامُهُ أَحَقُّ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَسْجِدٍ أَوْ كَانَ مَسْجِدًا لَيْسَ فِيهِ إمَامٌ فَسَاكِنُ الْمَوْضِعِ بِحَقٍّ اولى بالتقديم والتقدم مِنْ الْأَفْقَهِ وَغَيْرِهِ سَوَاءٌ سَكَنَهُ بِمِلْكٍ أَوْ إجَارَةٍ أَوْ عَارِيَّةٍ أَوْ أَسْكَنَهُ سَيِّدُهُ وَلَوْ حَضَرَ شَرِيكَانِ فِي الْبَيْتِ أَوْ أَحَدُهُمَا وَالْمُسْتَعِيرُ مِنْ الْآخَرِ لَمْ يَتَقَدَّمْ غَيْرُهُمَا إلَّا بِإِذْنِهِمَا وَلَا أَحَدُهُمَا إلَّا بِإِذْنِ الْآخَرِ فَإِنْ لَمْ يَحْضُرْ إلَّا أَحَدُهُمَا فَهُوَ أَحَقٌّ حَيْثُ يَجُوزُ انْتِفَاعُهُ وَلَوْ اجْتَمَعَ الْمَالِكُ وَالْمُسْتَأْجِرُ فَوَجْهَانِ (الصَّحِيحُ) تَقْدِيمُ الْمُسْتَأْجِرِ وَبِهِ قَطَعَ الْمُصَنِّفُ وَالْأَكْثَرُونَ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ
(وَالثَّانِي)
الْمَالِكُ أَحَقُّ لِأَنَّ الْمُسْتَأْجِرَ إنَّمَا يَمْلِكُ السُّكْنَى حَكَاهُ الرَّافِعِيُّ وَإِنْ اجْتَمَعَ الْمُعِيرُ وَالْمُسْتَعِيرُ فَوَجْهَانِ (الصَّحِيحُ) وَبِهِ قَطَعَ الْمُصَنِّفُ والجمهور المعير احق (والثاني) المتسعير أَحَقُّ لِأَنَّهُ السَّاكِنُ حَكَاهُ الرَّافِعِيُّ وَلَوْ حَضَرَ السيد وعبده الساكن فالسيد أولى بالاتفاق لما ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ سَوَاءٌ الْمَأْذُونُ لَهُ فِي
التِّجَارَةِ وَغَيْرُهُ وَلَوْ حَضَرَ السَّيِّدُ وَالْمُكَاتَبُ فِي دَارِ المكاتب فالمكاتب أولي

 --------------------

Mendahulukan pemimpin menjadi Imam sholat


Hadits Abu Mas’ud Al Anshori rodhiyallahu ‘anhu, Beliau mengatakan,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِى الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِى سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِى بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

Rosulullah Shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Yang menjadi imam dari suatu kaum adalah orang yang paling banyak hafalan terhadap Kitab Allah (Al Qur’an), jika diantara mereka ada yang memiliki hafalan sama maka yang menjadi imam mereka adalah orang yang paling paham tentang sunnah Nabi (hadits) jika diantara mereka masih sama maka yang paling dahulu hijroh[4] jika mereka dalam masalah hijroh sama maka yang lebih dahulu masuk islam[5]. Janganlah seorang laki-laki menjadi imam seorang lelaki yang lain yang merupakan sulthonnya dalam daerah kekuasaan sulthon tersebut dan tidak pula di rumah orang yang di datanginya sebagai bentuk pemulian baginya kecuali atas izin orang tersebut”[6][6] HR. Muslim No. 672.

Siapa yang Lebih Berhak Menjadi Imam ?


Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam.

Kedudukan menjadi imam/pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa adalah sebuah keutamaan besar. Bahkan ia adalah do’a orang-orang yang sholeh. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. [QS. Al Furqon (25) : 74]

Menjadi imam dalam sholat adalah merupakan salah satu cakupan dari ayat di atas. Namun sebagian orang –Allahu a’lam- karena terlalu bersemangat dalam meraih kedudukan yang mulia ini, mereka tidak segan-segan meraih posisi ini padahal ia tidaklah layak untuk itu dan masih ada orang yang layak untuk itu.

Oleh karena itulah kami memilih topik pembahasan kali ini mengenai masalah yang berhubungan dengan hal tersebut yaitu manakah yang lebih berhak menjadi imam seorang qori’[1] atau seorang yang fakih tentang hukum-hukum (terutama sholat)? Dari kedua hal ini jelaslah bagi kita mereka adalah orang-orang yang tidak termasuk dalam kedua hal tersebut tidaklah layak menjadi imam. Semisal orang yang hafalannya sedikit dan bacaannya buruk maka orang yang demikian tidaklah layak menjadi imam. Apalagi jika hafalannya sedikit, bacaanya buruk dan tidak tahu bagaimana hukum-hukum (terutama sholat) maka orang yang demikian ini tidaklah layak menjadi imam. Maka sekali lagi penulis sampaikan topik pembahasan ini adalah manakah yang lebih utama untuk menjadi imam seorang qori’ yang hafalannya banyak atau orang yang fakih tentang hukum (terutama sholat) namun hafalannya tidak terlalu banyak.

Sebelum masuk ke dalam pembahasan yang dimaksud dengan qori’ adalah orang yang paling bagus bacaannya, sebagian ulama’ dari mazhab Hambali mengatakan, yang dimaksud dengan qori’ adalah orang yang paling banyak hafalannya. Penulis Shohih Fiqh Sunnah mengatakan, “Aku katakan pendapat sebagian ulama’ mazhab hambali inilah yang benar sesuai dengan dhohir hadits-hadits tentang hal ini akan tetapi dengan syarat bacaan Al Qur’annya benar dan sempurna makhrojul hurufnya”.

Berkaitan dengan masalah ini para ulama’ berbeda pendapat, mereka secara umum memiliki dua pendapat pokok.

[Pendapat Pertama, Qori’ yang Lebih Utama Menjadi Imam]

Pendapat ini adalah pendapat yang diambil oleh al Imam Abu Hanifah dan para pengikut mazhab Beliau, al Imam Sufyan Ats Tsauriy[2] dan Al Imam Ahmad bin Hambal rohimahumullah. Dalil mereka adalah :

[1]. Hadits Abu Sa’id al Khudriy rodhiyallahu ‘anhu, Beliau mengatakan,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا كَانُوا ثَلاَثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ »

Rosulullah Shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Jika kalian berjumlah tiga orang (dan hendak mengerjakan sholat berjamaah) makan hendaklah salah seorang dari kalian yang paling banyak hafalannya (qori’) menjadi imam”[3].

Mendahulukan pemimpin mendadi imam


[2]. Hadits Abu Mas’ud Al Anshori rodhiyallahu ‘anhu, Beliau mengatakan,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِى الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِى سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِى بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

Rosulullah Shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Yang menjadi imam dari suatu kaum adalah orang yang paling banyak hafalan terhadap Kitab Allah (Al Qur’an), jika diantara mereka ada yang memiliki hafalan sama maka yang menjadi imam mereka adalah orang yang paling paham tentang sunnah Nabi (hadits) jika diantara mereka masih sama maka yang paling dahulu hijroh[4] jika mereka dalam masalah hijroh sama maka yang lebih dahulu masuk islam[5]. Janganlah seorang laki-laki menjadi imam seorang lelaki yang lain yang merupakan sulthonnya dalam daerah kekuasaan sulthon tersebut dan tidak pula di rumah orang yang di datanginya sebagai bentuk pemulian baginya kecuali atas izin orang tersebut”[6][6] HR. Muslim No. 672.

[3]. Hadits Amr bin Salamah,

صَلُّوا صَلاَةَ كَذَا فِى حِينِ كَذَا ، وَصَلُّوا كَذَا فِى حِينِ كَذَا ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ ، فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ ، وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنً

“Sholatlah kalian pada keadaan demikian, Sholatlah kalian pada keadaan demikian, jika telah datang waktu sholat maka hendaklah salah seorang dari kalian beradzan dan hendaklah salah seorang dari kalian yang paling banyak hafalan Al Qur’annya menjadi imam”[7].

[Pendapat Kedua, Orang yang Fakih yang Lebih Utama Menjadi Imam]

Pendapat ini adalah pendapat yang diambil oleh al Imam Malik dan Syafi’i dan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa pendapat yang diambil oleh al Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rohimahumullah. Mereka mengambil pendapat ini berdasarkan dalil sebagai berikut.

[1]. Mungkin saja orang yang menggantikan imam dalam sholat orang yang tidak tidak tahu apa yang dilakukannya untuk menggantikan imam dalam sholat kecuali orang yang fakih. Maka orang yang fakih lebih utama.

[2]. Para ulama ini menjawab/berargumentasi dengan hadits yang dibawakan kelompok ulama sebelumnya[8] bahwa orang yang paling banyak hafalan Al Qur’annya di masa sahabat adalah orang yang paling fakih. Karena para sahabat tidaklah mereka membaca sepuluh ayat hingga mereka memamahi maknanya dan kandungan (salah satunya adalah fikih/hukum) yang ada pada ayat-ayat tersebut dan mengamalkannya. Para ulama terdahulu sebelumnya membantah argumen di atas dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, 

(فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ)

 hadits ini menunjukkan lebih utamannya orang yang banyak hafalannya menjadi imam secara mutlak.

[3]. Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam menunjuk Abu Bakar rodhiyallahu ‘anhu menjadi imam bagi para sahabat untuk menggantikan beliau padahal Abu Bakar bukanlah sahabat yang paling banyak hafalannya diantara para sahabat. Para ulama terdahulu sebelumnya membantah argumen di atas dengan mengatakan bahwa pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam pada Abu Bakar untuk menggantikan beliau mengimami para sahabat merupakan isyarat agar beliau menggantikan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam menjadi kholifah, dan kholifah lebih utama untuk menjadi imam walaupun ada orang yang lebih banyak hafalannya.

Penulis Shahih Fiqh Sunnah mengatakan, “Pendapat yang rojih/kuat adalah pendapat yang mendahulukan orang yang banyak hafalannya menjadi imam daripada orang yang fakih, akan tetapi dengan syarat orang yang banyak hafalannya tersebut memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum seputar sholat. Jika ia bukan orang yang demikian maka orang yang banyak hafalannya semisal keadaan di atas tidaklah diutamakan menjadi imam dengan sepakat para ulama’.

Demikianlah pembahasan singkat seputar masalah imam[9], mudah-mudahan kita dapat memperoleh faidah dari pembahasan ini. Amin

Sigambal,

Di hari yang penuh berkah, di saat yang penuh berkah, serta ketika turun rahmat Allah dari langit….

[1] Hal ini tentu saja qori’ tersebut mengetahui hukum-hukum sholat namun tidak sangat faham tentang khilaf dan tarjihnya dalam masalah-masalah seputar sholat (ed.).

[2] Shohih Fiqh Sunnah oleh Abu Malik Kamal bin Sayd hal.521/I, terbitan Maktabah Taufiqiyah, Kairo, Mesir.

[3] HR. Muslim No. 672.

[4] Al Iman An Nawawiy mengatakan, “Para ulama mazhab kami/mazhab Syafi’i mengatakan, “Termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam (فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً) ‘maka yang paling dahulu hijroh’ ini dua golongan. Golongan Pertama mereka orang-orang yang hidup di zaman kita yang lebih dahulu hijroh dari negeri kafir ke negeri Islam, karena kewajiban hijroh itu tetap ada menurut mazhab kami dan ini merupakan pendapat jumhur ulama’. Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam,

لَا حِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ

‘Tidak ada hijroh setelah penalukan kota Mekkah’

maksudnya adalah karena setelah itu kota Mekkah telah menjadi bagian dari Negeri Islam atau maksudnya adalah tidak ada hijroh yang keutamaannya seperti hijroh sebelum penaklukan kota Mekkah. Golongan Kedua anak keturunan orang-orang yang berhijrah kepada Rosulullah Shollallahu ‘alaihi was sallam

(أَوْلَاد الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ).

[Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawiy asy Syafi’i dengan tahqiq Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa hal. 177-178/III, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut].

[5] Dalam sebuah riwayat disebutkan (سِنًّا) yang paling tua, (فَأَكْبَرهمْ سِنًّا) yang paling banyak umurnya/tua. [Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim hal. 178/III].

[6] HR. Muslim No. 672.

[7] HR. Bukhori No. 4302.

[8] Yaitu yang mengatakan orang yang lebih utama menjadi imam adalah orang yang paling banyak hafalannya. Demikian yang dimaksudkan dalam tulisan ini untuk kata yang semisal.

[9] Tulisan ini diangkat dari kitab Shohih Fiqh Sunnah oleh Abu Malik Kamal bin Sayd hal.521-522/I, terbitan Maktabah Taufiqiyah, Kairo, Mesir dengan perubahan seperlunya.

Semoga bermanfaat.

Minggu, 16 Desember 2018

Kyai Kholil Bangkalan Madura

KYAI KHOLIL BANGKALAN (Madura)

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
KH Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiyai Hamim bin Kiyai Abdul Karim bin Kiyai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiyai Abdullah bin Sayid Sulaiman.
Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon.
Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra.

KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 Masihi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur.
Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langasung oleh ayah Beliau menginjak dewasa Beliau ta’lim diberbagai pondok pesantren.
Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur.
Dari Langitan Beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian Beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi.
Selama belajar di pondok-pesantren ini Beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini, sesungguhnya
masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab).
disamping itu juga Beliau juga seorang hafiz al-Quran .
Beliau mampu membaca alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran)
Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, KH Muhammad Khalil Belajar di Mekah. Di Mekah KH Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan :
Syeikh Nawawi al-Bantani(Guru Ulama Indonesia dari Banten).
Di antara gurunya di Mekah ialah :
Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi,
Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan,
Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki,
Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani .

Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan
Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
KH.Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah seangkatan dengan KH.Hasym Asy’ari,
KH.Wahab Hasbullah dan KH.Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama Rekannya, Dan Kh.Muhammad KHolil yang Dituakan dan dimuliakan diantara mereka.

Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, KH. Muhammad Khalil
bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar.
Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga,
yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan
Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon.
Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam
bahasa Jawa, Madura dan Sunda.

Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
karena Kiyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah,

Beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya.
Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
KH. Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya.
Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah
oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian.

Sesuai dengan keadaan Beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya. Kiyai Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya.

Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri .
Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah
dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun,
di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.
Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.
Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan.
”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan
yang senjatanya super modern.
Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,”
papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.

Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan.
Pernah ada peristiwa aneh saat Beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung Beliau basah kuyub,” cerita kh Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan Beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju. Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut,
langsung ditolong Mbah Kholil. ”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap Beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar kh Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
Di antara sekian banyak murid KH. Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah
KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama / NU)
Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang);
Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar);
Kiyai Haji Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang,
adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma’shum),
Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan
Kiyai Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo).

KH. Muhammad Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun,
pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masehi.


IJAZAH SYAICHONA MOH. CHOLIL BANGKALAN MADURA


Berkah keramat SyaiChona Cholil Bangkalan,
sekarang banyak penduduk Madura yg sudah menetap si Arab Saudi
Ini berawal dari kisah keramat beliau :
Setiap sore beliau meminta kepada sang guru Syech Abdul Ghoni bin Shubuh bin Ismail Al Bimawy (Bima, Sumbawa) seraya berkata "Ya Tuan guru, saya ingin pulang"
Pulang ke mana, tanya sang guru
"Ke Madura", Jawab Mbah Kholil
Guru menyahut, Trus, ke sini mu kapan ?
"Besok" jawab Kyai Cholil
Seketika itu Syech Abdul Ghoni menjewer telinga kholil muda, dan saat itu pula beliau sampai di Madura
Besok paginya, Kyai Kholil mengajak 5 tetangganya untuk ke Makkah seraya naik perahu sampan..
Lho apa bisa ? tanya para tetangga yang ikut..
Kyai Kholil menjawab "Bisa atas izin Allah, Yuk mari kita bersama selalu membaca Ya Hayyu Ya Qoyyum, La Ilaha Illa Anta".
Karena orang Madura saat itu masih banyak yang belum bisa baca arab hanya berkata Kayum-kayyum.. akhirnya dapat sampai Makkah pagi itu juga
Hal ini terjadi berkali-kali sehingga menjadikan orang Madura banyak yang sampai ke Makkah dengan bersama karamat wali

Dengan ini kami ingatkan ijazah membaca Ya Hayyu Ya Qoyyum La Ilaha Illa Anta sebanyak 40 kali sebelum sholat shubuh sebagaimana ijazah yang diberikan para masyayikh secara umum
Oleh : Hadrotus Syekh Al Habib Assegaf Bin Mahdi Bin Abu Bakar Bin Salim Parung Bogor.
Dalam ACara Hubbur Rosul Di Masjid Baitul Aziz Mayong Jepara.


اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد

Allahumma Sholli 'Ala Sayyidina Muhammad, Wa 'ala Aali Sayyidina Muhammad.
Semoga bermanfaat

Sumber bacaan:
Biografi " KYAI KHOLIL BANGKALAN "

Semoga bermanfaat.

Empat Ulama Makkah dari Nusantara

Inilah foto empat Ulama Makkah dari Nusantara, Tanah Jawi.
Waliyullah dan Ulama Besar Indonesia yang menuntut ilmu agama di MEKKAH sedang membaca kitab, yaitu :
SYEKH ABDUSSAMAD AL-PALEMBANI (SUMATERA).
SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI (KALIMANTAN).
SYEKH ABDUL WAHAB BUGIS (SULAWESI)
SYEKH ABDURRAHMAN MASHRI (TANAH JAWA).
.
Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah
Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya ialah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam ialah “Jalan bagi orang-orang yang memperoleh petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama”.
Syekh Muhammad Arsyad sudah mecatat untuk keperluan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya,
diantaranya ialah:
* Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh,
* Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membicarakan soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat,
* Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab mengenai hal perempuan serta tertib suami-isteri,
* Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata.
.
Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya lantas dihimpun dan jadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu mengenai hal syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, dan untuk mana biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.
.
Di Antara kitab karangan Sheikh Abdush Shamad al-Falimbani:
Zahratul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid, 1178 H/1764 M.
Risalah Pada Mengumumkan Karena Yang Diharamkan Bagi Nikah, 1179 H/1765 M.
Hidayatus Salikin fi Suluki MaslakilMuttaqin, 1192 H/1778 M.
Siyarus Salikin ila Ibadati Rabbil Alamin, 1194 H/1780 M-1203 H/1788 M.
Al-Urwatul Wutsqa wa Silsiltu Waliyil Atqa.
Ratib Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani.
Nashihatul Muslimina wa Tazkiratul Muminina fi Fadhailil Jihadi wa Karaamatil Mujtahidina fi Sabilillah.
Ar-Risalatu fi Kaifiyatir Ratib Lailatil Jumah
Mulhiqun fi Bayani Fawaidin Nafiah fi Jihadi fi Sabilillah
Zatul Muttaqin fi Tauhidi Rabbil Alamin
Ilmut Tasawuf.
 
Semoga bermanfaat.

Jumat, 30 November 2018

Asal-usul kata bahlul


*BAHLUL*
*"Bahlul"* adalah kata yang biasa kita gunakan untuk mensifati orang yang bodoh, tapi tahukah dari mana asal kata itu..?
Dikisahkan, sesungguhnya BAHLUL seorang yang dikenal sebagai orang gila di zaman Raja Harun Al-Rasyid (Dinasti Abbasiyah).
Pada suatu hari Harun Al-Rasyid lewat di pekuburan, dilihatnya Bahlul sedang duduk disana.
Berkata Harun Al-Rasyid kepadanya :
"Wahai Bahlul, kapankah kamu akan berakal/sembuh dari gila.. ?"
Mendengar itu Bahlul beranjak dari tempatnya dan naik keatas pohon, lalu dia memanggil Harun Al-Rasyid dengan sekuat suaranya dari atas pohon,
" Wahai Harun yang gila, kapankah engkau akan sadar....? ",
Maka Harun Al-Rasyid menghampiri pohon dengan menunggangi kudanya dan berkata : "Siapa yang gila, aku atau engkau yg selalu duduk dikuburan...?"
Bahlul berkata :
"Aku berakal dan engkau yang gila",
Harun : "Bagaimana itu bisa...?",
Bahlul : *"Karena aku tau bahwa istanamu akan hancur dan kuburan ini akan tetap ada, maka aku memakmurkan kubur sebelum istana, dan engkau memakmurkan istanamu dan menghancurkan kuburmu, sampai- sampai engkau takut untuk dipindahkan dari istanamu ke kuburanmu, padahal engkau tahu bahwa kamu pasti masuk dalam kubur, maka katakan wahai Harun siapa yang gila di antara kita...?".*
Bergetarlah hati Harun, lalu menangis dengan tangisan yang sampai membasahi jenggotnya, lalu Harun berkata : "Demi ALLAH engkau yang benar, Tambahkan nasehatmu untukku wahai Bahlul".
Bahlul : *"Cukup bagimu Al-Qur'an maka jadikanlah pedoman".*
Harun : "Apa engkau memiliki permintaan wahai Bahlul....? Aku akan penuhi".
Bahlul : "Iya aku punya 3 permintaan, jika engkau penuhi aku akan berterima kasih padamu".
Harun : "mintalah..."
Bahlul : 1. "Tambahkan umurku".
Harun : *"Aku tak mampu",*
Bahlul: 2. "Jaga aku dari Malaikat maut".
Harun : *"Aku tak mampu",*
Bahlul: 3. "Masukkan aku kedalam surga dan jauhkan aku dari api Neraka".
Harun : *"Aku tak mampu".*
Bahlul : "Ketahuilah bahwa engkau dimiliki (seorang hamba) dan bukan pemilik (Tuhan), maka aku tidak perlu padamu".

*Kisah ini dikutip dari kitab yang berjudul

عقلاء ﺍﻟﻤﺠﺎﻧﻴﻦ 


"Orang-orang Gila Yang Berakal"
Tetapi kita menggunakan perkataan BAHLUL untuk mengatakan seseorang itu bodoh sedangkan ia adalah merupakan nama Ulama yang hebat.
Makam Syech Bahlul Majnun Di Baghdad Irak.
Mari berbagi kebaikan walaupun satu Alif.

27112018
Semoga bermanfaat.

Selasa, 27 November 2018

Para ulama yang tidak menikah selama hidupnya

 

Sebagian ulama yang tidak menikah bukan karena membenci sunnah, melainkan alasan lain. Seperti tidak sempat menikah karena wafat pada usia muda, sibuk dengan menimba dan menyebarkan ilmu serta dakwah, atau sebab keluar masuk penjara karena penguasa yang zalim, atau sebab-sebab lain yang tidak kita ketahui hanya beliau-beliau yang mempunyai alasan tertentu.

Berikut diantara ulama-ulama yang tidak menikah selama hidupnya:
1. Abdullah bin Abu Najih al-Makki
Seorang tabi’in tabi’in orang yang tsiqah, tampan, dan fasih berbicara, tetapi sayangnya beliau menjadi pengikut paham qadariyah dan melakukan bid’ah dalam masalah qadar. Beliau mufti makah setelah wafatnya Amru bin Dinar. Wafat 131 H.
2. Abu Abdurahman Yunus bin Habib al-Bashri 90-182 H
Beliau seorang sastrawan dan ahli nahwu. Banyak ulama’ yang belajar kepadanya seperti, Imam Sibawaih, al-Kisa’i dan al-Farra’.
3. Husain bin Ali al-Ju’fi 119-203 H
Orang yang sabar dan tsiqah dari Kufah. Humaid bin Rabi’ al-Khazza berkata, “Kami telah menulis 10.000 hadits lebih dari Husain bin Ali al-Ju’fi.”
4. Abu Nashr bin al-Harits 150-227 H
Lahir di Marwa 150 H kemudian pindah ke Baghdad. Beliau meriwayatkan hadits dari Hammad bin Ziad, Abdullah bin Mubarak, Abdurrahman bin Muhdi, Malik bin Anas, Abu Bakr bin Iyasy, Fudhail bin Iyadh dan lain-lain.
Dan banyak yang meriwayatkan hadits darinya seperti, Imam Ahmad bin Hanbal, Ibrahim al-Harbi, Zahir bin Harb, Sari as-Saqathi, Abbas bin Abdul Adzim, Muhammad bin Hatim dan lain-lain. Usia 77 tahun. .
5. Hannad bin as-Sariy 152-243 H
Ulama’ yang suka menangis, ulama’ hadits dari Kufah. Diberi gelar raghib kufah (pendeta kufah) karena tidak menikah. Usia 91 tahun.
6. Abu ja’far ath-Thabariy 224-310 H
Beliau ahli tafsir, hadits, dan fiqih. Lahir di daerah Amula Negara Tabaristan. Suka mengembara ke Khurashan, Irak, sayam, dan Mesir untuk menuntut ilmu. Telah hafal al-Qur’an pada umur 7 tahun, menjadi imam shalat sejak umur 8 tahun, menulis hadits sejak umur 9 tahun, mengembara ke daerah lain untuk menuntut ilmu sejak umur 12 tahun (236 H), menulis kitab sebanyak 40 lembar setiap harimya selama 40 tahun.
Beliau memasuki kota Baghdad setelah Imam Ahmad wafat (241 H), sehingga tidak sempat bertemu dengannya.
Karya beliau, yaitu:
– Jami’ al-Bayan fi Wujuhi Ayi al-Qur’an
– Tarikh ar-Rasuli wal Anbiya’ wal Muluk wal Umam
– Tadzib al-Atsari wa Tafshil ats-Tsabit an Rasulillah n min al-Akhbari (belum selesai)
– Adab an-Nufus al-Jayyidah wal Akhlaq an-Nafisah
Abu Ja’far menulis hadits dari Ibnu Humaid sebanyak 100.000 hadits lebih ketika mengadakan perjalanan ke Kufah. Beliau mendengar hadits dari Abu Kuraib 100.000 hadits lebih. Usia 86 tahun. Banyak orang yang menshalatinya di atas kuburannya selama berbulan-bulan siang dan malam.
7. Abu bakar bin al-Anbariy 271-328 H
Lahir di Baghdad, hafal 300.000 bait sya’ir yang memperkuat makna-makna al-Qur’an, hafal 120 tafsir al-Qur’an lengkap dengan sanad-sanadnya, cepat meghafal. Beliau meninggalkan sekitar 30 kitab masing-masing kitab terdiri dari 50.000 lembar halaman lebih.
8. Abu Ali al-Farisi 288-377 H
Lahir di kota Fasa Negara Persia. Pada tahun 307 H pergi ke Baghdad untuk mencari ilmu dan tinggal di sana dan melakukan pindah-pindah tempat dan kota. Usia 89 tahun. Meninggalkan sekitar 25 kitab tentang ulumul qur’an dan bahsa Arab.
9. Abu Nashr as-Sijzi wafat 444 H
Nama lengkapnya Ubaidilah bin Said Hakim bin Ahmad al-Waili al-Bakari. Beliau hafidz, imam para ahli hadits pada masanya. Abu Ishaq al-Habbal berkata, “Pada suatu hari, aku berada di rumah Abu Nashr . Tiba-tiba ada seorang yang mengetuk pintu, maka aku berdiri membukakannya. Ternyata, dia seorang wanita yang membawa sebuah kantong uang berisi 1000 dinar. Dia meletakkkannya dihadapan Abu Nashr dan berkata, “Gunakanlah uang ini sesukamu !’ Abu Nashr pun bertanya, “Apa maksudmu?`
Wanita itu menjawab, “Menikahlah denganku. Sebenarnya aku tidak ingin menikah, tetapi aku hanya ingin membantumu.”
Mendengar itu, syaikh Abu Nashr menyuruh wanita tersebut untuk mengambil kantong berisi uang itu dan membawanya keluar.
Setelah wanita itu keluar syakh Abu Nasrh berkata, “Aku datang dari negeriku Sajastan dengan niat menuntut ilmu. Jika aku menikah, maka niatku itu akan luntur dan melemah. Oleh karena itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang dapat memalingkanku dari menuntut ilmu.` Beliau wafat di Makah.
10. Abu Sa’ad as-Samman 371-445 H
Beliau seorang hafidz, zuhud, menguasai ilmu qira’at, hadits, rijal, fara’id dan hisab. Beliau belajar kepada 3000 ulama` pada masanya. Dengan melakukan perjalanan ke Irak, Syam, Hijaz dan Maghrib. Beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak menulis hadits, maka ia tidak bisa merasakan manisnya islam.” Wafat di kota Rayyi dalam keadaan senyum, dan dimakamkan di gunung Tabarak, dekat makam imam asy-Syaibani, dalam usia 74 th.
11. Abu Barakat al-Baghdadi 462-538 H
Beliau seorang hafidz, alim dan ahli hadits dari Baghdad. Beliau mendengarkan hadits dari Abu Muhammad Hazarmurdi ash-Sharifini, Abu Husain bin Naqur, Abu Qasim Abdul Aziz bin Ali Anmathi, Ali bin Muahammad al-Bundar dan lain-lain. Karya beliau seperti kitab al-Ja`diyat, Musnad Ya’kub al-Fasawi, Musnad Ya`kub al Fawasi, Musnad Ya’kub as-Sadusi dan intiqa al-Baqqal.
Dan banyak juga ulama` yang meriwayatkan hadits darinya, seperti Ibnu Jauzi, Abu Sa’ad as-sam’ani, Ibnu Sakir dan Ibnu Asakir dan lain-lain. Usia 76 th.
12. Abu al-Qasim az-Zamakhsyari 467-538 H
Lahir di desa Zamkhasyar (daerah Khuwarazmi) dan wafat di desa Jurjaniyyah (daerah Khuwarazmi) pada malam Arafah. Mendapat gelar Farid al-Ashri (ahli bahasa, sastra, nahwu dan adab), fakhru Khuwarazmi (kebanggaan bangsa Khuwarazmi), dan jarullah (tetangga Allah).
Beliau menganut madzhab Mu`tazilah yang didapat dari gurunya yang sangat beliau cintai Abu Mudhar dan penduduk Khuwarazmi banyak yang menganut madzhab Mu’tazilah. Karya beliau sekitar 50 kitab, Imam Ibnu Arabi Jamrah sangat berhati-hati dalam membaca kitab-kitabnya karena banyak ajaran mu’taziyah yang disisipkan di dalamnya. Usia 71 th.
13. Ibnu Khasyab 492-567 H
Nama aslinya Abdullah bin Ahmad bin Khasyab al-Hanbali al-Baghdadhi. Seorang ahli nahwu pada zamannya, bahkan ada yang mengatakan bahwa derajatnya setingkat dengan Abu Ali al-Farisi, ahli tafsir, hadits, fara’id, mantiq, filsafat, lughah, dan hisab. Beliau dalam bidang hadits dikenal dengan perawi yang tsiqah, jujur, mulia dan menjadi hujjah. Akan tetapi beliau kurang menjaga sikap dan penampilan sebagai orang yang berilmu. Beliau bakhil baik dalam berpakaian dan segi-segi kehidupan lainnya, senang bermain catur di pinggir jalan, berkumpul dengan para pecinta binatang kera dan binatang lainnya, suka bercanda dan bermain-main. Sorban di kepalanya tidak pernah dicuci sampai hitam.
Disamping itu tidak ada seorang ulama pun yang wafat kecuali Ibnu Khasab telah membeli kitabnya, sehingga hampir memiliki semua kitab karangan para ulama’ dalam berbagai bidang.
14. Ibnu al-Manni 501-583 H
Nama aslinya Abu Fathi Nasihuddin al-Hanbali ulama’ Irak ahli fiqih belajar dari Abu Bakr ad-Dinawari. Meninggal pada hari Sabtu 4 Ramadhan dan dimakamkan pada hari Ahad. Masyarakat datang dari berbagai daerah dan sangat banyak. Karena merasa khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diingginkan, maka para penguasa menugaskan sejumlah pasukan bersenjata untuk mengawal jenazah beliau.
15. Jamaluddin Abu al-Hasan 586-646 H
Dilahirkan di kota Qifthi, Mesir dan dibesarkan di Kairo. Beliau seorang qadhi (hakim). Mengarang banyak kitab. Sebelum wafat beliau mewasiatkan agar kitab-kitabnya diserahkan kepada Nashir (pemua Halab). Kitab-kitabnya bernilai 50.000 dinar.
16. Imam Nawawi 631-676 H
Nama lengkapnya Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi al-Hizami al-Haurani asy-Syafi’i. Beliau menghafal kitab at-Tanbih dalam waktu empat setengah bulan. Dalam tahun yang sama beliau berhasil membaca dan menghafal seperempat kitab al-Muhadzdzab.
Beliau tidak pernah memakan buah-buahan. Beliau berkata, “Aku tidak mau memanjakan tubuhku, karena hal itu akan menyebabkan kantuk selalu datang.” Dalam satu hari satu malam, beliau hanya makan dan minum sekali saja ketika sahur.
Karya beliau:
Syarh shahih muslim
Riyadhus shalihin
al-Adzkar
al-Arba’in
al-Irsyad fie Ulum al-Hadits
al-Mubhamaat
Tahrir al-Alfadz li at-Tanbih
al-Umdah fie Tashhih at-Tanbih
al-Idhah fi Manasik
at-Tibyan fie Adabi Hamlati al-Qur’an
Fatawa
ar-Raudhah
al-Majmu’
17. Ibnu Taimiyah 661-728 H
Beliau telah mengarang 500 kitab. Dalam usia 19 tahun telah memberikan fatwa dan menyusun kitab. Beliau ahli nahwu, hadits dan tafsir. Beliau sering keluar masuk penjara sehingga wafat dalam penjara. Ketika wafat sekitar 60.000 orang datang melayat dan memakamkan jenazahnya.
18. Basyir al-Ghazzi 1274-1330 H
Lahir di kota Halab. Nama lengkapnya Muhammad Basyir bin Muhammad Hilal al-Halabi. Dijuluki al-Ghazzi, karena beliau dibesarkan di rumah saudara seibunya yang bernama Syaih Kamil al-Ghazzi al-Halabi. Beliau mulai menghafal al-Qur’an umur 7 tahun dan berhasil mengahafalnya selama satu tahun. Beliau ahli ilmu jam tangan, nahwu menghafal al-Fiyah dalam waktu 20 hari.
19. Abu al-Wafa’ al-Afghani 1310-1395 H
Lahir di daerah Khandahar, Afghanistan.
20. Karimah binti Ahmad al-Marwaziyyah 365-463 H
Lahir di Marwa dan wafat di Makkah. Nama lengkapnya Karimah binti Ahmad bin Muhammad bin Abu Hatim al-Marwaziyah. Beliau seorang ahli hadits dan mengarang banyak kitab sekitar 100 kitab.

Semoga bermanfaat.

Rahasia dibalik ukuran tinggi jari



Apa makna di balik urutan tinggi jari tangan?
Mungkin jawaban umumnya adalah hal itu diciptakan agar manusia mudah menggenggam atau mencengkeram sesuatu didalam aktivitasnya.

Allah tidak menciptakan manusia kecuali yang terbaik.
 

لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (٤) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (٥)

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).(At-Tin 4-5)

الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنسَانِ مِن طِينٍ -٧-

Yang Memperindah segala sesuatu yang Dia Ciptakan dan yang Memulai penciptaan manusia dari tanah,(As-Sajdah 7)

Rahasia dibalik tinggi jari yang berbeda-beda itu adalah merupakan Tanda perjalanan kehidupan manusia itu sendiri.

Mari kita telusuri.

1. Jari kelingking (Zaman nabi Adam)
Mengapa jari kelingking adalah zaman Adam?
Kita harus pahami bahwa bahasa Al Quran dibaca dengan cara dimulai dari kanan ke kiri.
Dan nama Allah yang tercetak di jari kita pun, huruf Alif nya adalah jari kelingking.
Dari itulah dapat disimbolkan bahwa Jari Kelingking adalah zaman Adam.
Karena memang Adam lah Manusia Pertama.

2. Jari Manis (Zaman nabi Idris)
Mengapa setelah Kelingking, terdapat Jari Manis yang ukurannya lebih tinggi dari Jari Kelingking itu?
Itu mengartikan bahwa kehidupan yang di jalani oleh masyarakat manusia di zaman nabi Idris sungguh memiliki peradaban yang lebih tinggi di banding ketika zaman nabi Adam.
Semakin berkembang.
Berbagai penemuan puluhan benda kuno namun canggih yang oleh ilmuwan disebut sebagai bukti kehebatan dari cerdasnya masyarakat zaman dahulu itu secara tidak langsung melengkapi analisa ini.

3. Jari Tengah (Zaman nabi Nuh)
Mengapa Jari Tengah ukurannya lebih tinggi dari 2 jari sebelumnya, Jari Manis dan Jari Kelingking?
Itu menandakan bahwa kehidupan masyarakat manusia di zaman Nuh adalah zaman Puncak peradaban.
Di mana segala sendi kehidupan manusia pada zaman itu telah sampai pada titik tertingginya.
Namun sungguh teramat sayang ketika kemajuan peradaban tidak membawa pada arah ketakwaan, akhirnya Allah menghukum mereka -masyarakat Zaman Nuh- dengan mengirimkan bencana Banjir Dahsyat.
Dari situlah akhirnya orang-orang kafir dibinasakan sementara manusia yang selamat (Nuh beserta umatnya) berkembang biak kembali dan peradaban pun di mulai dari titik 0 lagi.
Dan Jari Tengah (Zaman nabi Nuh) pun akhirnya menjadi BATAS TOLAK UKUR antara 2 episode perjalanan kehidupan manusia.
Umat sebelum Zaman Nuh dan Umat sesudah Zaman Nuh.

4. Jari Telunjuk (Zaman nabi Ibrahim)
Mengapa Jari Telunjuk ukurannya malah menjadi lebih rendah (turun) dibanding Jari tengah?
Mensinyalkan bahwa apa yang ada pada zaman nabi Ibrahim (mulai dari ukuran tubuh manusia, ukuran kepintaran manusia, ukuran kemakmuran manusia) semuanya menjadi menyusut diperkecil oleh Allah dibanding dengan saat manusia pada waktu sebelum zaman nabi Nuh.
Kelebihan Zaman Ibrahim adalah Allah menjadikan sosok nabi Ibrahim ini sebagai 'Bapaknya' para nabi.
Dari sini beliau dijadikan figur ajaran Tauhid bagi orang-orang yang mencari kebenaran.
Sebab beliau merupakan orang Paling Pemberani yang pernah ada dalam menyebarkan ajaran paham satu Tuhan.
Dari sebab itulah kenapa Telunjuk disimbolkan dengan zaman Ibrahim, karena Jari Telunjuk memang merupakan simbol untuk penyebutan angka 1.

5. Jari Jempol (Zaman nabi Muhammad)

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan".(An-Nahl - 123)

وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ (٢) إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ (٣)

"Demi Al-Qur'an yang penuh hikmah, Sungguh, engkau (Muhammad) adalah salah seorang dari rasul-rasul,(yang berada) di atas jalan yang lurus".(QS Yasiin: 2-4)

Jari Jempol (Zaman nabi Muhammad) adalah jari yang paling pendek dari ke empat jari sebelumnya.
Mengisyaratkan bahwa apa yang ada pada zaman ini merupakan zaman sisa-sisa kehidupan.
Segala keberhasilan kita dalam bidang teknologi yang kita banggakan, tetap tidak akan pernah sanggup untuk melampaui apa yang pernah dicapai oleh umat sebelum kita.
Dari itulah Al Quran sering kali menegaskan jika umat sebelum kita yang segala sesuatunya lebih tinggi (lebih hebat) saja mampu dibinasakan, apalagi zaman kita !!!

 وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ النَّشْأَةَ الْأُولَىٰ فَلَوْلَا تَذَكَّرُونَ

"Dan sesungguhnya kamu telah mengetahui penciptaan pertama, maka mengapakah kamu tidak mengambil pelajaran?".(QS Al Waqiah: 62)

Namun disamping itu semua janganlah berkecil hati, sebab di balik rendahnya 'derajat' zaman ini (zaman penghabisan) Allah tetap Maha Penyayang terhadap mahluk bernama manusia.
Lihatlah betapa akhirnya Dia menurunkan Al Quran melalui Muhammad sebagai kitab Ummul Ilmu (Ibu Ilmu).
Sesuai dengan istilah pada Jari Jempol itu (Ibu Jari).

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا

"Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi peringatan bagi seluruh alam".(QS. Al Furqaan: 1)


Manusia adalah makhluk yang unik.

Kita sering melihat manusia yang begitu baik. Seperti seorang guru yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk mendidik masyarakat. Ada juga yang menghabiskan hidupnya untuk membantu masyarakat di desa terpencil yang belum tersentuh pemerintah. Ada yang rela menjadi ibu bagi anak-anak yatim. Alhasil, banyak kita temukan manusia yang berhati malaikat.

Namun ditempat lain, kita akan temukan mereka yang bengis. Begitu jahat dan tak punya hati nurani. Mudah sekali membunuh orang lain. Tertawa melihat darah tercecer. Bangga bisa mencabut nyawa ribuan orang. Sungguh bejat perilaku mereka.

Dua makhluk itu sama-sama manusia. Tapi perilaku mereka jauh berbeda. Lantas, bagaimana sebenarnya hakikat manusia itu? Mari kita bertanya pada Sang Pencipta melalui Kitab-Nya.
Manusia menurut Al-Qur’an

Di dalam Al-Qur’an, banyak kita temukan ayat yang begitu memuliakan manusia. Di sisi lain, ada ayat-ayat yang menggambarkan kehinaan dan kerendahan manusia. Seakan dua macam ayat ini saling kontradiksi. Yang satu begitu memuliakan, yang lain sangat menjatuhkan. Kiranya, apa hikmah dibalik ayat-ayat yang berbeda ini?

Pada awalnya, kita akan melihat ayat-ayat Allah yang memuliakan manusia.

Allah tidak menciptakan sesuatu kecuali yang terbaik.

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ -٤-

“Sungguh, Kami telah Menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”(At-Tin 4)

الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنسَانِ مِن طِينٍ -٧-

Yang Memperindah segala sesuatu yang Dia Ciptakan dan yang Memulai penciptaan manusia dari tanah,(As-Sajdah 7)

صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ -٨٨-

“(Itulah) ciptaan Allah yang Mencipta dengan sempurna segala sesuatu.”(An-Naml 88)

اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ قَرَاراً وَالسَّمَاء بِنَاء وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ -٦٤-

“Allah-lah yang Menjadikan bumi untukmu sebagai tempat menetap dan langit sebagai atap, dan Membentukmu lalu Memperindah rupamu.”(Ghofir 64)

خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ -٣-

“Dia Menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar, Dia Membentuk rupamu lalu Memperbagus rupamu, dan kepada-Nya tempat kembali.”(At-Taghobun 3)

فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ -١٤-

“Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik.”(Al-Mukminun 14)

Allah menyusun manusia dengan bentuk yang terbaik.

يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ -٦- الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ -٧- فِي أَيِّ صُورَةٍ مَّا شَاء رَكَّبَكَ -٨-

“Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhan-mu Yang Maha Pengasih. Yang telah Menciptakanmu lalu Menyempurnakan kejadianmu dan Menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia Menyusun tubuhmu.”(Al-Infithor 6-8)

مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ -١٨- مِن نُّطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ -١٩-

“Dari apakah Dia (Allah) Menciptakannya? Dari setetes mani, Dia Menciptakannya lalu menentukannya.”(Abasa 18-19)

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيراً -٢-

“Dia Menciptakan segala sesuatu, lalu Menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat.”(Al-Furqon 2)

Allah membimbing manusia sampai kepada puncak kesempurnaan.

قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى -٥٠-

Dia (Musa) menjawab, “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah Memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian Memberinya petunjuk.”(Thoha 50)

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ -١٠-

“Dan Kami telah Menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan).”(Al-Balad 10)

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِراً وَإِمَّا كَفُوراً -٣-

“Sungguh, Kami telah Menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.”(Al-Insaan 3)

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا -٨-

“Maka Dia Mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya,”(As-Syams 8)

Manusia dimuliakan oleh Allah diatas segalanya.

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً -٧٠-

“Dan sungguh, Kami telah Memuliakan anak cucu Adam, dan Kami Angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami Beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami Lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami Ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”(Al-Isra’ 70)

عَلَّمَ الْقُرْآنَ -٢- خَلَقَ الْإِنسَانَ -٣- عَلَّمَهُ الْبَيَانَ -٤-

“Yang telah Mengajarkan al-Quran. Dia Menciptakan manusia, Mengajarnya pandai berbicara.”
(Ar-Rahman 2-4)

عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ -٥-

“Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”(Al-Alaq 5)

Allah ciptakan segalanya untuk manusia.

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشاً وَالسَّمَاء بِنَاء وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقاً لَّكُمْ -٢٢-

“(Dia-lah) yang Menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia-lah yang Menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia Hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu.”(Al-Baqarah 22)

اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقاً لَّكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الأَنْهَارَ -٣٢- وَسَخَّر لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَآئِبَينَ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ -٣٣-

“Allah-lah yang telah Menciptakan langit dan bumi dan Menurunkan air (hujan) dari langit, kemudian dengan (air hujan) itu Dia Mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu; dan Dia telah Menundukkan kapal bagimu agar berlayar di lautan dengan Kehendak-Nya, dan Dia telah Menundukkan sungai-sungai bagimu. Dan Dia telah Menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan malam dan siang bagimu.”(Ibrahim 32-33)

وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا -٣٤-

“Dan Dia telah Memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”(Ibrahim 34)

Dalam sebuah Hadist Qudsi, Allah berfirman:

“Aku Ciptakan segala sesuatu untukmu (manusia) dan aku Ciptakan dirimu untuk-Ku”

“Tanpamu Wahai Muhammad, Aku tidak Ciptakan Alam Semesta”

Kita telah melihat banyak ayat mengenai kemuliaan manusia di sisi Allah swt. Begitu banyak ayat yang meletakkan posisi manusia diatas makhluk yang lain. Sekarang, kita akan melihat bagaimana Al-Qur’an berkomentar tentang sisi buruk manusia.

إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ -٣٤-

“Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”(Ibrahim 34)

إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً -٧٢-

“Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.”(Al-Ahzab 72)

وَكَانَ الإنسَانُ قَتُوراً -١٠٠-

“Dan manusia itu memang sangat kikir.”(Al-Isra’ 100)

وَيَدْعُ الإِنسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الإِنسَانُ عَجُولاً -١١-

“Dan manusia (seringkali) berdoa untuk kejahatan sebagaimana (biasanya) dia berdoa untuk kebaikan. Dan memang manusia bersifat tergesa-gesa.”(Al-Isra’ 11)

وَإِذَا مَسَّكُمُ الْضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلاَّ إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الإِنْسَانُ كَفُوراً -٦٧-

“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang (biasa) kamu seru, kecuali Dia. Tetapi ketika Dia Menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling (dari-Nya). Dan manusia memang selalu ingkar (tidak bersyukur).”(Al-Isra’ 67)

وَكَانَ الْإِنسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلاً -٥٤-

“Tetapi manusia adalah memang yang paling banyak membantah.”(Al-Kahfi 54)

وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفاً -٢٨-

“Karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.”(An-Nisa’ 28)

إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعاً -٢٠- وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعاً -٢١-

“Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir.”(Al-Ma’arij 21)

يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ -٦-

“Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhan-mu Yang Maha Pengasih.”(Al-Infithor 6)

إِنَّ الْإِنسَانَ لَكَفُورٌ مُّبِينٌ -١٥-

“Sungguh, manusia itu pengingkar (nikmat Tuhan) yang nyata.”(Az-Zukhruf 15)

كَلَّا إِنَّ الْإِنسَانَ لَيَطْغَى -٦- أَن رَّآهُ اسْتَغْنَى -٧-

“Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas, apabila melihat dirinya serba cukup.”(Al-Alaq 6-7)

إِنَّ الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ -٦-

“Sungguh, manusia itu sangat ingkar, (tidak bersyukur) kepada Tuhan-nya”(Al-Adiyat 6)

قُتِلَ الْإِنسَانُ مَا أَكْفَرَهُ -١٧-

“Celakalah manusia! Alangkah kufurnya dia!”(Abasa 17)

خَلَقَ الإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُّبِينٌ -٤-

“Dia telah Menciptakan manusia dari mani, ternyata dia menjadi pembantah yang nyata.”(An-Nahl 4)

أَوَلَمْ يَرَ الْإِنسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِن نُّطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُّبِينٌ -٧٧-

“Dan tidakkah manusia memperhatikan bahwa Kami Menciptakannya dari setetes mani, ternyata dia menjadi musuh yang nyata!”(Yasin 77)

وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنسَانِ أَعْرَضَ وَنَأى بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاء عَرِيضٍ -٥١-

“Dan apabila Kami Berikan nikmat kepada manusia, dia berpaling dan menjauhkan diri (dengan sombong); tetapi apabila ditimpa malapetaka maka dia banyak berdoa.”(Fussilat 51)

وَإِذَا مَسَّ الإِنسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنبِهِ أَوْ قَاعِداً أَوْ قَآئِماً فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَن لَّمْ يَدْعُنَا إِلَى ضُرٍّ مَّسَّهُ َ -١٢-

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami Hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali (kejalan yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya.”(Yunus 12)

Dari sekian banyak ayat yang telah kita baca bersama. Satu sisi manusia diangkat tinggi derajatnya. Di sisi lain, sifat manusia begitu buruk dengan sekian banyak komentar Al-Qur’an tentangnya. Apakah dua macam ayat ini bertentangan? Apakah keduanya kontradiksi? Sementara Allah berjanji bahwa tidak ada yang bertentangan didalam Al-Qur’an.

Wallahu 'alam

Semoga bermanfaat.