Selasa, 30 September 2014

Berhaji sambil Photo-photo

HAJI 2014HAJI 2014
Katakan Tidak pada Selfie Selama Berhaji

Mereka membuat video rekaman sendiri saat berjalan di sekitar Ka'bah, mencium hajar aswat, bertengger dekat dengan gunung Safa Marwa, atau berdiri di dekat kubah hijau masjid Nabi. 

Demam selfie telah menjangkiti para peziarah di Dua Masjid Suci dalam beberapa hari terakhir, banyak yang kecewa dan jamaah lain menyebutnya sebagai ‘perilaku turis', seperti dilaporkan oleh arab news. 

"Di Madinah, aku melihat sebuah keluarga menghadap matahari, mengangkat tangan mereka seolah-olah mereka sedang berdoa. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan. Tapi kemudian aku melihat seseorang di depan mereka mengambil gambar mereka," kata Zahra Mohammad, 27, seorang guru Agama Islam di Riyadh. 

"Saya telah melihat peziarah di Masjidil Haram melakukan selfi dengan Ka'bah sebagai latar belakang dan kemudian diposting di Facebook, membuatnya menjadi acara media sosial dan merusak tindakan ibadah dengan 'rendah hati'," tambahnya. 

Dorongan untuk mendokumentasikan setiap gerakan mereka di masjid-masjid suci Makkah dan Madinah, dan berbagi momen berharga dengan teman dan keluarga di media sosial telah meningkatkan penggunaan ponsel mereka di masjid-masjid suci daripada yang seharusnya digunakan.

Banyak yang percaya perilaku tersebut dapat menjadi penangkal untuk mencapai kerendahan hati dan ketenangan saat melakukan ibadah, terutama selama perjalanan Haji yang diwajibkan sekali dalam seumur hidup. 

Ledakan tiba-tiba selfie dan pemotretan di masjid-masjid suci sebagian dapat disalahkan pada peningkatan penjualan dan penggunaan smartphone. 

Sampai beberapa tahun yang lalu, ponsel berkamera dilarang dibawa dalam masjid suci, meskipun beberapa peziarah berhasil menyelinapkannya. 

Namun, pihak berwenang tampaknya telah mengendorkan aturan ini karena tidak jarang melihat peziarah berpose dengan Ka'bah dan mengambil foto dengan senang hati, meskipun penjaga di pintu masuk masjid dilaporkan melarang orang membawa kamera profesional masuk. 

"Aku sedang sholat Jum’at di Masjidil Haram tapi beberapa orang terus datang di depan saya untuk merekam khotbah dengan kamera mereka. Apakah bisa khusu’ dalam situasi seperti ini," kata Ahmad, seorang expat yang berbasis di Jeddah melakukan haji tahun ini. 

"Jumlah orang yang pernah kulihat dengan kamera di dalam Haram mungkin ribuan selama umrah tahun lalu, dan begitu banyak orang memiliki ponsel kamera, itu adalah endemi yang tidak mudah dihentikan," tambahnya. 

Dia menunjukkan bahwa operator tur haji harus menginformasikan anggota kelompok mereka terhadap penggunaan kamera yang berlebihan agar tidak mengganggu diri sendiri dan orang lain dari tujuan utama untuk mencapai haji mabrur. (mukafi niam)

~Sumber www.nu.or.id ~
Katakan Tidak pada Selfie Selama Berhaji
Mereka membuat video rekaman sendiri saat berjalan di sekitar Ka'bah, mencium hajar aswat, bertengger dekat dengan gunung Safa Marwa, atau berdiri di dekat kubah hijau masjid Nabi.
Demam selfie telah menjangkiti para peziarah di Dua Masjid Suci dalam beberapa hari terakhir, banyak yang kecewa dan jamaah lain menyebutnya sebagai ‘perilaku turis', seperti dilaporkan oleh arab news.
"Di Madinah, aku melihat sebuah keluarga menghadap matahari, mengangkat tangan mereka seolah-olah mereka sedang berdoa. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan. Tapi kemudian aku melihat seseorang di depan mereka mengambil gambar mereka," kata Zahra Mohammad, 27, seorang guru Agama Islam di Riyadh.
"Saya telah melihat peziarah di Masjidil Haram melakukan selfi dengan Ka'bah sebagai latar belakang dan kemudian diposting di Facebook, membuatnya menjadi acara media sosial dan merusak tindakan ibadah dengan 'rendah hati'," tambahnya.
Dorongan untuk mendokumentasikan setiap gerakan mereka di masjid-masjid suci Makkah dan Madinah, dan berbagi momen berharga dengan teman dan keluarga di media sosial telah meningkatkan penggunaan ponsel mereka di masjid-masjid suci daripada yang seharusnya digunakan.
Banyak yang percaya perilaku tersebut dapat menjadi penangkal untuk mencapai kerendahan hati dan ketenangan saat melakukan ibadah, terutama selama perjalanan Haji yang diwajibkan sekali dalam seumur hidup.
Ledakan tiba-tiba selfie dan pemotretan di masjid-masjid suci sebagian dapat disalahkan pada peningkatan penjualan dan penggunaan smartphone.
Sampai beberapa tahun yang lalu, ponsel berkamera dilarang dibawa dalam masjid suci, meskipun beberapa peziarah berhasil menyelinapkannya.
Namun, pihak berwenang tampaknya telah mengendorkan aturan ini karena tidak jarang melihat peziarah berpose dengan Ka'bah dan mengambil foto dengan senang hati, meskipun penjaga di pintu masuk masjid dilaporkan melarang orang membawa kamera profesional masuk.
"Aku sedang sholat Jum’at di Masjidil Haram tapi beberapa orang terus datang di depan saya untuk merekam khotbah dengan kamera mereka. Apakah bisa khusu’ dalam situasi seperti ini," kata Ahmad, seorang expat yang berbasis di Jeddah melakukan haji tahun ini.
"Jumlah orang yang pernah kulihat dengan kamera di dalam Haram mungkin ribuan selama umrah tahun lalu, dan begitu banyak orang memiliki ponsel kamera, itu adalah endemi yang tidak mudah dihentikan," tambahnya.
Dia menunjukkan bahwa operator tur haji harus menginformasikan anggota kelompok mereka terhadap penggunaan kamera yang berlebihan agar tidak mengganggu diri sendiri dan orang lain dari tujuan utama untuk mencapai haji mabrur. (mukafi niam)
~Sumber www.nu.or.id ~

Menjadi imam atau mua'adzin utama mana?


Pilih mana menjadi imam, atau  mua'adzin?

yang Ashah (pendapat yang lebih benar, dari pendapat-pendapat Ulama Syafi'iyah; Adzan itu, lebih utama dari pada menjadi Imam.
kamaa qaala an-Nawawi, dalam Tuhfah-nya, Ibnu Hajar al-Haitamy mengomentari pendapat an-Nawawi, beliau katakan; Adzan, berikut Iqamah. tdk Adzan saja.

Dasar hukum-nya menurut Ibnu Hajar, adalah al-Fussilat 33:
Yang arti-nya, kurang lebih; Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk kaum muslimin?” (QS. Al Fushilat: 33)
Menurut Sayyidah Aisyah, yang disebut dalam ayat tersebut adalah Mu'adzin.

Ref: Al-Minhaj Lin Nawawi 93, Tuhfatul Muhtaj Fii Syarhi al-Minhaj Lil Ibni Hajar al-Haitamy I/473

Pilih mana menjadi imam, atau mua'adzin?
yang Ashah (pendapat yang lebih benar, dari pendapat-pendapat Ulama Syafi'iyah; Adzan itu, lebih utama dari pada menjadi Imam.
kamaa qaala an-Nawawi, dalam Tuhfah-nya, Ibnu Hajar al-Haitamy mengomentari pendapat an-Nawawi, beliau katakan; Adzan, berikut Iqamah. tdk Adzan saja.

Dasar hukum-nya menurut Ibnu Hajar, adalah al-Fussilat 33:
Yang arti-nya, kurang lebih; Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk kaum muslimin?” (QS. Al Fushilat: 33)
Menurut Sayyidah Aisyah, yang disebut dalam ayat tersebut adalah Mu'adzin.
Ref: Al-Minhaj Lin Nawawi 93, Tuhfatul Muhtaj Fii Syarhi al-Minhaj Lil Ibni Hajar al-Haitamy I/473

Hikmah jumlah raka'at dalam Sholat Wajib

HIKMAH JUMLAH ROKA'AT DALAM SHOLAT FARDHU
( kitab sulamul munajat : 18 - karya Syeikh Nawawi Al-bantani )
وحكمة عدد ركعات الصلوات الخمس الشكر علي النعم التي في الحواس الخمس وستر الخطايا منها .
وذلك ان ركعات الصبح ثنتان لان اللمس يدرك النعومة والخشونة فالركعتان للشكر عليهما ولستر الخطايا منهما.
وان ركعات الظهر اربع لان الشم يدرك المشموم من اربع جهات فذلك للشكر علي ذلك ولستر خطاياه.
وان ركعات العصر اربع لان السمع يدرك المسموع من اربع جهات فذلك للشكر علي ذلك ولستر خطاياه.
وان ركعات المغرب ثلاث لان المبصرات من ثلاث جهات أمام ويمين وشمال ولايدرك من وراء فذلك للشكر علي ذلك ولستر خطاياه.
وان ركعات العشاء أربع لان الذوق يدرك أربعة اشياء البرودة والحرارة والمرارة والحلاوة فذلك للشكر علي ذلك ولستر خطاياه

Adapun hikmah jumlah roka'at sholat fardhu yang lima waktu adalah mensyukuri segala ni'mat yang berada pada panca indera.(mata dengan penglihatannya,
hidung dengan penciumannya,telinga dengan pendengarannya,lisan/lidah dengan perasanya,dan kulit dengan perabanya).
- Jumlah roka'at sholat shubuh adalah dua, karena rabaan bisa mengidentifikasi lembut dan kasar,Maka dua rokaat tadi menjadi tanda syukur atasnya dan menghapus dosa atasnya.
- Jumlah roka'at sholat zduhur adalah empat, karena penciuman bisa menemukan aroma dan bebauan dari empat penjuru,karenanya empat roka'at ini menjadi tanda syukur atasnya dan menjadi penghapus dosa atasnya.
- Jumlah roka'at sholat ashar adalah empat, karena pendengaran bisa menemukan/menangkap suara dari empat penjuru, karenanya empat roka'at ini menjadi tanda syukur atasnya dan menjadi penghapus dosa atasnya.
- Jumlah roka'at sholat maghrib adalah tiga,karena pandangan atau penglihatan hanya bisa menangkap objek dari tiga arah,yaitu : dari arah depan, arah kanan dan arah kiri,dan tidak bisa menangkap objek dari arah belakang. karenanya tiga roka'at ini menjadi tanda syukur atasnya dan menjadi penghapus dosa atasnya.
- Dan jumlah roka'at sholat isya adalah empat, karena mencicipi/merasa bisa mengidentifikasi empat perkara : dingin.panas,pahit dan manis. karenanya empat roka'at ini menjadi tanda syukur atasnya dan menjadi penghapus dosa atasnya.
wallahu a'lam

Senin, 29 September 2014

Mengapa Hatimu Keras?, Mungkin Ini Sebabnya


Tujuan hidup yang paling utama dan pertama adalah berburu bekal akhirat,  untuk mendapatkan bekal akhirat tentunya kita butuh keistiqamahan dalam beribadah dan bermuasarah yang baik dengan sesama.  Modal utama membangun kemampuan seseorang beribadah dan peduli dengan sesama adalah lembutnya hati. Hati yang keras akan memunculkan sifat dan perilaku yang kurang baik dan beratnya menjalankan ibadah.

Hal-hal yang akan menyebabkan keras dan rusaknya qalbu/hati sangat banyak di masa kita sekarang ini. Oleh karena itu, kita semuanya harus senantiasa waspada dan berhati-hati agar tidak terjatuh pada hal-hal yang mengeraskan qalbu tersebut.

Di antaranya adalah tersibukkan dan tertipu dengan gemerlapnya dunia serta kurang berhubungan dengan masjid, sehingga menjadikan sebagian besar waktunya hanyalah untuk urusan dunia.

Kedua hal ini menyebabkan kerasnya qalbu, karena akan melupakan seseorang dari akhirat dan mengingat Yang Mahakuasa.

Berbeda dengan seseorang yang banyak berhubungan dengan masjid yang merupakan sebaik-baik tempat di muka bumi ini, maka dia pun akan senantiasa mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Termasuk sebab yang membuat kerasnya qalbu adalah tidak menundukkan pandangan dari melihat hal-hal yang diharamkan. Baik secara langsung, maupun melalui layar televisi, internet, majalah, dan VCD, yang menampilkan gambar-gambar yang terlarang dan sebagainya. Begitu pula mendengarkan lagu-lagu dan musik dengan berbagai jenisnya.

Kedua hal ini juga akan mengeraskan qalbu, karena akan menjauhkan seseorang dari perkara yang bisa melembutkan qalbu yaitu berzikir dan membaca Alquran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, dengan mengingat Allah-lah qalbu menjadi tenang.” (Ar-Ra’d: 28)

Termasuk perkara yang akan membuat kerasnya qalbu adalah mengonsumsi makanan dan minuman yang haram. Makanan dan minuman yang haram akan sangat berpengaruh terhadap akhlak dan ibadah orang yang mengkonsumsinya, sehingga akan membuat orang tersebut menjadi rusak akhlaknya dan malas dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Begitu pula seluruh jenis kemaksiatan, adalah sebab kerasnya qalbu seseorang.

Sebagaimana hal ini tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَّاكَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), bahkan sebenarnya apa yang mereka lakukan (dari perbuatan kemaksiatan) itu menutupi qalbu mereka.” (Al-Muthaffifin:14)

Oleh karena itu, seseorang harus menjauhi segala jenis kemaksiatan apabila dirinya menginginkan hati yang lembut. Akhirnya, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita semua.

Oleh : KH. M. Taqiyyuddin Alawy

Masuk Neraka Gara-garanya Air Wudhu ?


Berikut ini adalah cerita tentang dua orang dengan kondisi yang kontras: seorang laki-laki kaya raya dan perempuan papa. Dalam keseharian pun, keduanya tampak begitu berbeda. Sang lelaki hidupnya padat oleh kesibukan duniawi, sementara wanita yang miskin itu justru menghabiskan waktunya untuk selalu beribadah.

Kesungguhan dan kerja keras lelaki tersebut membawanya pada kemapanan ekonomi yang diidamkan. Kekayaannya tak ia nikmati sendiri. Keluarga yang menjadi tanggung jawabnya merasakan dampak ketercukupan karena jerih payahnya. Lelaki ini memang sedang berkerja untuk kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak-anaknya.

Nasib lain dialami si perempuan miskin. Para tetangganya tak menemukan harta apapun di rumahnya. Kecuali sebuah bejana dengan persediaan air wudhu di dalamnya. Ya, bagi wanita taat ini, air wudhu menjadi kekayaan yang membanggakan meski hidup masih pas-pasan. Bukanah kesucian menjadikan ibadah kita lebih diterima dan khidmat? Dan karenanya menjanjikan balasan yang jauh lebih agung dari sekadar kekayaan duniawi yang fana ini?

Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dalam kitab al-Minahus Saniyyah mengisahkan, suatu ketika ada seorang yang mengambil wudhu dari bejana milik perempuan itu. Melihat hal demikian, si perempuan berbisik dalam hati, “Kalau air itu habis, lalu bagaimana aku akan berwudhu untuk menunaikan sembahyang sunnah nanti malam?”

Apa yang tampak secara lahir tak selalu menunjukkan keadaan sebenarnya. Diceritakan, setelah meniggal dunia, keadaan keduanya jauh berbeda. Sang lelaki kaya raya itu mendapat kenikmatan surga, sementara si perempuan papa yang taat beribadah itu justru masuk neraka. Apa pasal?

Lelaki hartawan tersebut menerima kemuliaan lantaran sikap zuhudnya dari gemerlap duniawi. Kekayaannya yang banyak tak lantas membuatnya larut dalam kemewahan, cinta dunia, serta kebakhilan. Apa yang dimilikinya semata untuk kebutuhan hidup, menunjang keadaan untuk mencari ridla Allah.

Pandangan hidup semacam ini tak dimiliki si perempuan. Hidupnya yang serbakekurangan justru menjerumuskan hatinya pada cinta kebendaan. Buktinya, ia tak mampu merelakan orang lain berwudhu dengan airnya, meski dengan alasan untuk beribadah. Ketidakikhlasannya adalah petunjuk bahwa ia miskin bukan karena terlepas dari cinta kebendaan melainkan “dipaksa” oleh keadaan.

Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani menjelaskan dalam kitab yang sama bahwa zuhud adalah meninggalkan kecenderungan hati pada kesenangan duniawi, tapi bukan berarti mengosongkan tangan dari harta sama sekali. Segenap kekayaan dunia direngkuh untuk memenuhi kadar kebutuhan dan memaksimalkan keadaan untuk beribadah kepada-Nya.
 Nasihat ulama sufi ini juga berlaku kebalikannya. Untuk cinta dunia, seseorang tak mesti menjadi kaya raya terlebih dahulu. Karena zuhud memang berurusan dengan hati, bukan secara langsung dengan alam bendawi.

Makna Surat Al Fatihah

SEKILAS MAKNA SURAT AL-FATIHAH
*Oleh: Hakam Ahmed ElChudrie*
Ada perbedaan pendapat seputar apakah lafadz bismillahirrahmanirrahim termasuk bagian dari surat al-Fatihah atau tidak. Perbedaan itu hanyalah masalah khilafiyah, yang masing-masing mengemukakan argumentasi yang sama-sama kuat. Karenanya, perlu dikembangkan sikap toleransi, yaitu mempersilahkan kepada umat untuk mengikuti pendapat mana yang dirasakan paling cocok.
Dengan cara demikian, perbedaan pendapat tersebut tidak menimbulkan konflik, melainkan mendatangkan rahmat, karena masing-masing memliki pilihan-pilihan yang secara bebas dapat mengambil pendapat mana yang paling cocok.
Keseluruhan ayat yang terdapat dalam surat al-Fatihah adalah sebagai berikut:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ مَالِكِ يَومِ الدِّيْنِ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ اهْدِناَ الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّالِّيْنَ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam; Maha Pemurah lagi Maha Penyayang; Yang menguasai hari pembalasan; Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan; Tunjukillah kami jalan yang lurus; (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Q.S. al-Fatihah: 1-7).[1]

Makna mufradat dari ayat tersebut adalah sebagai berikut: (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ) (Dengan menyebut nama Allah), (اَلْحَمْدُ للهِ) (Segala puji bagi Allah), (رَبِّ الْعَالَمِيْنَ) (Tuhan semesta alam), (اَلرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ) (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), (يَوْمِ الدِّيْنِ) (Hari pembalasan), (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْم) (Jalan yang lurus/kebenaran), (الضَّالِّيْنَ) (Jalan yang sesat).[2]

Adapun tafsir pada setiap lafadz surat al-Fatihah sebagaimana yang dikemukakan oleh para mufasir adalah sebagai berikut.
Pertama, lafadz (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ ). Kata ism menurut al-Baidhawi adalah lafadz yang menunjukkan pada nama pribadi seseorang seperti Muhamamd dan manusia, atau menunjukkan pada sebuah pengertian abstrak seperti ilmu dan kesopanan. Dengan demikian, pada konteks ini kata ism menunjukkan pada nama Allah, di mana ayat-ayat al-Qur’an banyak memerintahkan agar menyebut nama-Nya.[3]
Selanjutnya lafadz Allah, adalah nama khusus bagi zat yang wajib dipuja dan tidak dapat diberikan sama sekali nama tersebut kepada selain Dia, sebagaimana orang Arab Jahiliyah ketika ditanya siapakah yang menciptakan langit dan bumi; ia menjawab Allah, dan jika ditanya apakah al-Lata dan al-Uzza termasuk sesuatu yang diciptakan? Ia menjawab tidak.[4]

Al-Rahman al-Rahim, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir, kedua-duanya diambil dari kata al-rahmah, yang berarti pengertian yang bersemayam dalam hati yang dimunculkan oleh orang yang memiliki dalam bentuk perbuatan baik terhadap orang lain.
Lafadz al-rahman menunjukkan pada sifat orang yang melakukan kasih sayang dengan cara memberikan kenikmatan dan kebaikan pada orang lain. Sedangkan al-rahim menunjukkan pada tempat munculnya kasih sayang, karena al-rahim mengacu kepada sifat yang tetap dan mesti berlangsung selama-lamanya.
Karenanya, jika Allah S.W.T. diberi sifat al-rahman, maka maksudnya bahwa Allah adalah Zat yang berkuasa memberikan kenikmatan, namun ini tidak dapat dipahami bahwa al-rahmah termasuk sifat yang wajib selamanya pada Allah. Sedangkan jika sesudah itu disifati dengan al-rahim, maka dapat diketahui bahwa pada zat Allah terdapat sifat yang tetap dan terus berlangsung, yaitu al-rahmah yang pengaruhnya terlihat dalam berbuat baik kepada seluruh ciptaan-Nya selama-lamanya.[5]
Kedua, tafsir lafaldz (الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ). Menurut Ibn Katsir, maksud dari lafadz al-hamdu dari segi bahasa adalah pujian atau sanjungan terhadap perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang melalui usahanya apakah semula ia mengharap pujian atau tidak. Kata al-hamdu ini selanjutnya menjadi pangkal kalimat pernyataan syukur, sebagaimana Allah tidak bersyukur kepada seorang hamba yang tidak memuji-Nya.
Hal yang demikian didasarkan pada alasan karena menyatakan kenikmatan dengan lisan dan pujian terhadap orang yang melakukannya menyebabkan ia terkenal di kalangan sesama manusia, dan menyebabkan pemiliknya memiliki perasaan yang menyenangkan. Adapun bersyukur dengan hati termasuk perbuatan yang tidak tampak dan sedikit sekali orang yang mengetahuinya, demikian juga bersyukur dengan perbuatan tidak dapat terlihat tampak jelas di kalangan manusia.[6]

Sedangkan kata rabb menurut al-Maraghi dapat berarti pemilik yang mendidik yaitu orang yang mempengaruhi orang yang dididiknya dan memikirkan keadannya.
Pendidikan yang dilakukkan Allah terhadap manusia ada dua macam; yaitu pendidikan, pembinaan atau pemeliharaan terhadap kejadian fisiknya yang terlihat pada pengembangan jasa atau fisiknya sehingga mencapai kedewasaan, serta pendidikan terhadap perkembangan potensi kejiwaan dan akal pikirannya, pendidikan keagamaan dan akhlaknya yang terjadi dengan diberikannya potensi-potensi tersebut kepada manusia, sehingga dengan itu semua manusia mencapai kesempurnaan akalnya dan bersih jiwanya.
Selanjutnya kata rabb dapat pula digunakan oleh manusia, seperti ungkapan rabb al-dar memiliki rumah dan rabb hadzihi al-an’am yang berarti memiliki binatang ternak ini.[7]
Adapun kata al-‘alamin yang bentuk tunggal ‘alam adalah meliputi seluruh yang tampak ada. Kata ‘alamin ini biasanya tidak digunakan kecuali pada kelompok yang dapat dibedakan jenis dan sifat-sifatnya yang lebih mendekati pada makhluk yang berakal, walaupun bukan manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Katsir. Yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah ‘alam al-insan (alam manusia), ‘alam al-hayawan (alam binatang), dan ‘alam nabat (alam tumbuh-tumbuhan), dan tidak dapat dimasukkan ‘alam al-hajar (alam batu), ‘alam al-turab (alam tanah).
Pengertian ini didasarkan pada adanya kata rabb yang mendahului kata alam tersebut, yang berarti mendidik, membina, mengarahkan dan mengembangkan yang mengharuskan adanya unsur kehidupan seperti makan dan minum serta berkembang biak. Sedangkan batu dan tanah tidak memiliki unsur-unsur yang demikian itu.[8]

Setiap pujian yang baik hanyalah untuk Allah, karena Dia-lah sumber segala yang ada. Dia-alah yang mengerahkan seluruh alam dan mendidiknya mulai dari awal hingga akhir dan memberikannya nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan. Dengan demikian, puji itu hanya kepada pencipta dan syukur kepada yang memiliki keutamaan.[9]
Ketiga, tafsir makna (الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ). Sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir di atas, bahwa al-rahman adalah yang memberikan kenikmatan yang baik kepada hamba-hamba-Nya tanpa mengenal batas dan akhir. Lafadz ini hanya untuk Allah dan tidak dapat dilekatkan pada yang lain-Nya.
Sedangkan al-rahim adalah Zat yang padanya terdapat sifat rahmah (kasih sayang) yang daripadanya dapat dimbul perbuatan yang baik.[10]
Keempat, tafsir makna (مَالِكِ يَومِ الدِّيْنِ). Kata maliki berarti mengatur perilaku orang-orang yang berakal dengan cara memberikan perintah, larangan dan balasan. Hal ini sejalan dengan ungkapan malik al-naas yang mengatur dan menguasai manusia.[11]
Sedangkan lafadz al-din dari segi bahasa digunakan untuk pengertian al-hisab, yakni penghitungan, dan berarti pula memberikan kecukupan, pembalasan yang setara dengan perbuatan yang dilakukan manusia semasa hidup di dunia.[12]
Kelima, tafsir makna (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ). Kata ibadah dalam ayat ini menurut al-Maraghi berarti merendahkan yang disertai perasaan dan getaran hati yang muncul karena menggunakan Zat Yang Disembah (Allah S.W.T.) yang didasarkan pada keyakinan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan yang hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran, karena melampaui batas yang dapat dijangkau oleh pemikiran atau dicapai oleh sejauh kemampuan nalarnya.[13]
Menurut al-Maraghi, inti ayat ini berisi perintah Allah agar seseorang tidak menyembah selain Allah, karena Dialah yang tersendiri denagn kekuasaan-Nya. Selain itu, ayat itu juga melarang seseorang menyekutukan-Nya atau mengagungkan selain diri-Nya, dan menyuruh agar tidak meminta pertolongan kepada selain Dia atau meminta pertolongan yang dapat menyempurnakan perbuatannya dan menyampaikan kepada hasil yang diharapkan.[14]
Keenam, tafsir lafadz (اهْدِناَ الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ). Kata hidayah yang terdapat dalam ayat ini menurut Ibn Katsir mengandung arti petunjuk yang membawa kepada tercapainya sesuatu yang diharapkan.[15]
Sedangkan al-shirath menurut Jalaluddin al-Suyuthi berarti jalan, dan mustaqim berarti lurus, lawan dari bengkok. Selanjutnya, hidayah Allah yang diberikan kepada manusia bermacam-macam.
(1) Hidayah al-ilham, yaitu hidayah yang diberikan kepada bayi sejak kelahirannya, seperti perasaan butuh terhadap makanan dan ia menangis karena mengharapkan makanan tersebut.
(2) Hidayah al-hawas. Hidayah ini dan hidayah yang pertama kedua-duanya diberikan kepada manusia dan binatang, bahkan kedua hidayah tersebut lebih sempurna pada binatang dibandingkan pada manusia, karena hidayah ilham dan hidayah hawas pada manusia pertumbuhannya amat lambat, dan bertahap dibandingkan pada binatang, yang ketika lahir sudah dapat bergerak, makan, berjalan dan sebagainya.
(3) Hidayah al-aql, yaitu hidayah yang kedudukannya lebih tinggi daripada hidayah yang pertama dan kedua. Hidayah ini hanya untuk manusia, karena manusia diciptakan untuk hidup bersama dengan yang lainnya, sedangkan ilham dan hawasnya tidak cukup untuk mencapai kehidupan bersama itu.
Untuk mencapai kehidupan bersama orang lain harus disertai akal yang dapat memperbaiki kesalahan yang diperbuat pancaindera. Pancaindera terkadang melihat tongkat yang sebenarnya lurus menjadi bengkok ketika tongkat itu berada dalam air, dan terkadang lidah merasakan pahit terhadap makanan yang sebenarnya manis, dan sebaginya.
(4) Hidayah al-adyan wa al-syara, yaitu hidayah yang ditujukan kepada manusia yang cenderung mengikuti hawa nafsunya, membiarkan dirinya terperdaya oleh kelezatan duniawi dan syahwat menempuh jalan keburukan dan dosa, saling bermusuhan antara sesamanya, saling mengahalkan antara satu dan lainnya yang kesemuanya itu terjadi karena akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu.
Keadaan seperti ini dijelaskan batas-batas dan aturan, agar mereka berpegang teguh kepadanya. Batas-batas dan aturan tersebut adalah hidayah al-din yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Karenanya, tafsir ayat tersebut berarti petunjuk jalan yang lurus (shirat), yaitu Islam.[16]
Ketujuh, tafsir lafadz (صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّالِّيْنَ). Yang dimaksud dengan kata al-ladzina dalam ayat ini menurut Ibn Katsir adalah orang-orang yang mendapatkan kenikmatan Allah, yaitu para Nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang shaleh yang terdiri atas kelompok pemeluk Islam terdahulu.[17]
Sedangkan al-maghdlubi alaihim sebagaimana dikemukakan oleh al-Maraghi adalah orang-orang yang menolak agama yang benar yang disyari’atkan Allah kepadanya. Mereka berpaling dari kebenaran dan tetap mengikuti apa yang diwariskan nenek moyang mereka, dan semua itu menyebabkan mereka dimasukkan ke dalam neraka jahanam.[18]
Lafadz al-dlallin adalah orang-orang yang tidak mengenal kebenaran, atau tidak mengetahui sesuatu secara benar, yaitu orang-orang yang kepadanya tidak sampai risalah, atau sampai risalah kepada mereka namun mereka enggan mengikutinya.[19]
Dari pendapat para mufasir di atas dapat disimpulkan bahwa kandungan surat al-Fatihah di atas mengandung pokok-pokok kandungan al-Qur’an secara global, yaitu mengenai tahuid, janji dan ancaman, ibadah yang menghidupkan tauhid, penjelasan tentang jalan kebagahiaan dan cara mencapainya di dunia dan di akhirat, dan pemberitaan atau kisah generasi terdahulu.
Kelima pokok ajaran terserbut tercermin pada; ajaran tauhid pada ayat kedua dan kelima, janji dan ancaman tersurat pada ayat pertama, ketiga dan ketujuh, ibadah pada ayat kelima dan ketujuh, sedangkan sejarah atau kisah masa lalu diisyaratkan oleh ayat terakhir. wallahu a'lam bis showab
[1] Bustami A. Gani, dkk., al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf al-Syarif, 1418 H.), hlm. 5-6.
[2] M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim; Tafsir Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka al-Hidayah, 1999), hlm. 8-61.
[3] Nasiruddin bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi al-Musamma al-Nur al-Tanzil wa al-Israr al-Ta’wil, Juz I, (Beirut-Libanon: Daar al-Kitab al-Ilmiah, t.th.), hlm. 6.
[4] Ibid., hlm. 7.
[5] Ibn Katsir al-Damasqy, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Juz I, (Beirut: Maktabah al-Nur al-Ilmiah, t.th, hlm. 20.
[6] Ibn Katsir al-Damasqy, op.cit., hlm. 21.
[7] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz I, (Beirut: Daar al-Fikr, t.th.), hlm. 30-31.
[8] Ibn Katsir al-Damasqy, op.cit., hlm. 23.
sumber: http://hakamabbas.blogspot.com/2013/12/makna-surat-al-fatihah.html

Puasa Tarwiyah 8 Dzulhijjah dan Puasa Arafah 9 Dzulhijjah

Puasa Tarwiyah 8 Dzulhijjah dan Puasa Arafah 9 Dzulhijjah
 
Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni tanggal 9 Dzulhijah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa-puasa lainnya.

Keutamaan puasa Arafah ini seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah Rahimahullah. Rasulullah SAW bersabda:

صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية
Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akan datang, dan puasa Assyura (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas. (HR. Muslim)

Sementara puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang artinya bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan hadits ini dloif (kurang kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla'ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.

Lagi pula hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa. Abnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:

ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا: يا رسول الله! ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك شيء
Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid). (HR Bukhari)

Puasa Arafah dan tarwiyah sangat dianjurkan untuk turut merasakan nikmat yang sedang dirasakan oleh para jemaah haji sedang menjalankan ibadah di tanah suci.

Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi: Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.

Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun. (HR Bukhari Muslim). (***Anam)

Amalan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhidjah

Ada beberapa do’a dan Dzikir yang biasa diamalkan oleh para Ulama pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhidjjah. Diantaranya bacaan berikut ini, yang dibaca setiap harinya sepuluh kali selama sepuluh hari dari tanggal 1-10. Yaitu :
﴿ لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ عَدَدَ الَّليَالِيْ وَالدُّهُوْرِ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ عَدَدَ اْلأَيَّامِ وَالشُّهُوْرِ.لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ عَدَدَ أَمْوَاجِ الْبُحُوْرِ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ عَدَدَ أَضْعَافِ اْلأُجُوْرِ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ عَدَدَ الْقَطْرِ وَالْمَطَرِ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ عَدَدَ أَوْرَاقِ الشَّجَرِ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ عَدَدَ الشَّعْرِ وَالْوَبَرِ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ عَدَدَ الرَّمْلِ وَالْحَجَرِ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ عَدَدَ الزَّهْرِ وَالثَّمَرِ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ عَدَدَ أَنْفَاسِ الْبَشَرِ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ عَدَدَ لَمْحِ الْعُيُوْنِ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ عَدَدَ مَاكَانَ وَمَايَكُوْنُ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ تَعَالَى عَمَّايُشْرِكُوْنَ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ فِى الَّليْلِ إِذَا عَسْعَسَ.لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ فِى الصُّبْحِ إِذَاتَنَفَّسَ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ عَدَدَ الرِّيَاحِ فِى الْبَرَارِيْ وَالصُّخُوْرِ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ مِنْ يَوْمِنَا هَذَا إِلَى يَوْمِ يُنْفَخُ فِى الصُّوْرِ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ عَدَدَ خَلْقِهِ أَجْمَعِيْنَ. لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ مِنْ يَوْمِنَا هَذَا إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ ﴿10×﴾

Sumber NU Online
 
Pada tanggal 9 Dzuhijjah, umat Islam dianjurkan untuk berpuasa. Tetapi tidak hanya puasa Arafah yang dianjurkan, semua amal-amal kebajikan dianjurkan untuk dilakukan pada sepuruh pertama bulan Dzulhijjah. Amaliyah kebajikan diantaranya berdzikir, khatam al-Qur'an, memberikan makan, bershadaqah, memperbanyak shalawat, perbanyak do'a, puasa, shalat sunnah dan sebagainya. Semua amaliyah ini berada dalam naungan hadits berikut, termasuk juga puasa Tarwiyah:

 عن ابن عباس رضي الله عنهما ، قَالَ : قَالَ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : (( مَا مِنْ أيَّامٍ ، العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هذِهِ الأَيَّام )) يعني أيام العشر . قالوا : يَا رسولَ اللهِ ، وَلاَ الجِهَادُ في سَبيلِ اللهِ ؟ قَالَ : (( وَلاَ الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيءٍ )) رواه البخاري .
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada hari-hari, di mana amal shaleh lebih dicintai oleh Allah dari pada hari-hari tersebut, yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah." Mereka bertanya: "Tidak pula dengan jihad fi sabillah?" Beliau menjawab: "Tidak pula dengan jihad fi sabilillah. Kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan nyawa dan hartanya, lalu tidak ada sedikitpun yang kembali darinya." (HR. al-Bukhari, [969]).

Hadits ini memberikan kesimpulan, keutamaan melakukan amal shaleh selama sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah, termasuk puasa pada hari tarwiyah, tanggal 8 Dzul Hijjah. Wallahu A'lam

Related Articles

Tanda-tanda Kecintaan kepada Allah

Banyak orang mengaku telah mencintai Allah, tetapi masing-masing mesti memeriksa diri sendiri berkenaan dengan kemurnian cinta yang ia miliki.

Ujian pertama adalah: dia mesti tidak membenci pikiran tentang mati, kerena tak ada seorang "teman" pun yang ketakutan ketika akan bertemu dengan "teman"nya. Nabi saw. Berkata: "Siapa yang ingin melihat Allah, Allah pun ingin melihatnya." Memang benar bahwa seorang pencinta Allah yang ikhlas mungkin saja bisa takut akan kematian sebelum ia menyelesaikan persiapannya untuk ke akhirat, tapi jika ia ikhlas ia akan rajin dalam membuat persiapan-persiapan itu.

Ujian kedua keikhlasan ialah seseorang mesti rela mengorbankan kehendaknya demi kehendak Allah; mesti berpegang erat-erat kepada apa yang membawanya lebih dekat kepada Allah; dan mesti menjauhkan diri dari tempat-tempat yang menyebabkan ia berada jauh dari Allah.
Kenyataan bahwa seseorang telah berbuat dosa bukanlah bukti bahwa dia tidak mencintai Allah sama sekali, tetapi hal itu hanya membuktikan bahwa ia tidak mencintaiNya dengan sepenuhhati. Wali Fudhail berkata pada seseorang: "Jika seseorang bertanya kepadamu, cintakah engkau kepada Allah, maka diamlah; karena jika engkau berkata: 'Saya tidak mencintaiNya,' maka engkau menjadi seorang kafir; dan jika engkau berkata: 'Ya, saya mencintai Allah,' padahal perbuatan-perbuatanmu bertentangan dengan itu."

Ujian yang ketiga adalah bahwa dzikrullah mesti secara otomatis terus tetap segar di dalam hati manusia. Karena, jika seseorang memang mencintai, maka ia akan terus mengingat-ngingat; dan jika cintanya itu sempurna, maka ia tidak akan pernah melupakan-Nya. Meskipun demikian, memang mungkin terjadi bahwa sementara kecintaan kepada Allah tidak menempati tempat utama di hati seseorang, kecintaan akan kecintaan kepada Allahlah yang berada di tempat itu, karena cinta adalah sesuatu dan kecintaan akan cinta adalah sesuatu yang lain.

Ujian yang keempat adalah bahwa ia akan mencintai al-Qur'an yang merupakan firman Allah - dan Muhammad Nabiyullah. Jika cintanya memang benar-benar kuat, ia akan mencintai semua manusia, karena mereka semua adalah hamba-hamba Allah. Malah cintanya akan melingkupi semua mahluk, karena orang yang mencintai seseorang akan mencintai karya-karya cipta dan tulisan tangannya.

Ujian kelima adalah, ia akan bersikap tamak terhadap 'uzlah untuk tujuan ibadah. Ia akan terus mendambakan datangnya malam agar bisa berhubungan dengan Temannya tanpa halangan. Jika ia lebih menyukai bercakap-cakap di siang hari dan tidur di malam hari daripada 'uzlah seperti itu, maka cintanya itu tidak sempurna. Allah berkata kepada Daud a.s.: "Jangan terlalu dekat dengan manusia, karena ada dua jenis orang yang menghalangi kehadiranKu: orang-orang yang bernafsu untuk mencari imbalan dan kemudian semangatnya mengendor ketika telah mendapatkannya, dan orang-orang yang lebih menyukai pikiran-pikirannya sendiri daripada mengingatKu. Tanda-tanda ketidak-hadiranKu adalah bahwa Aku meninggalkannya sendiri.
Sebenarnyalah, jika kecintaan kepada Allah benar-benar menguasai hati manusia, maka semua cinta kepada yang lain pun akan hilang. Salah seorang dari Bani Israil mempunyai kebiasaan untuk sembahyang di malam hari. Tetapi ketika tahu bahwa seekor burung bisa bernyanyi dengan sangat merdu di atas sebatang pohon, ia pun mulai sembahyang di bawah pohon itu agar dapat menikmati kesenangan mendengarkan burung itu. Allah memerintahkan Daut a.s. untuk pergi dan berkata kepadanya: "Engkau telah mencampurkan kecintaan kepada seekor burung yang merdu dengan kecintaan kepadaKu; maka tingkatanmu di kalangan para wali pun terendahkan." Di pihak lain, beberapa orang telah mencintai Allah dengan kecintaan sedemikian rupa, sehingga ketika mereka sedang berkhidmat dalam ibadah, rumah-rumah mereka telah terbakar dan mereka tidak mengetahuinya.

Ujian keenam adalah bahwa ibadah pun menjadi mudah baginya. Seorang wali berkata: "Selama tigapuluh tahun pertama saya menjalankan ibadah malamku dengan sudah payah, tetapi tiga puluh tahun kemudian hal itu telah menjadi suatu kesenangan bagiku." Jika kecintaan kepada Allah sudah sempurna, maka tak ada kebahagiaan yang bisa menandingi kebahagiaan beribadah.

Ujian ketujuh adalah bahwa pencinta Allah akan mencintai orang-orang yang menaatiNya, dan membenci orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak taat, sebagaimana kara al-Qur'an: "Mereka bersikap keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang dengan sesamanya." Nabi saw pernah bertanya kepada Allah: "Ya Allah, siapakah pencinta-pencintaMu?" Dan jawabannya pun datang: "Orang-orang yang berpegang erat-erat kepadaKu sebagaimana seorang anak kepada ibunya; yang berlindung di dalam pengingatan kepadaKu sebagaimana seekor burung mencari naungan pada sarangnya; dan akan sangat marah jika melihat perbuatan dosa sebagaimana seekor macan marah yang tidak takut kepada apa pun."
[DIARIKAN DARI KITAB KIMIA ASSA'ADAH - IMAM ALGHOZALI]

Al Qur'an Wasilah petunjuk dan Rizki

AL QUR’AN WASHILAH REJEKI
AL QURAN WASHILAH PETUNJUK DAN REZEKI

Dawamkan doa sebanyak 3 x ini setelah anda mengaji surat apapun, sambil anda mencium Al Qur’an yang ada di rumah masing-masing. Insya allah rejeki mengalir melalui washilah/lantaran kitab suci yang kita miliki. Monggo ini doanya:

    ALLOHUMMAGHFIRLII BI ALQUR’AANI.
    ALLOHUMMARHAMNII BI ALQUR’AANI.
    ALLOHUMMAHDINII BI ALQUR’AANI.
    ALLOHUMMARZUQNII BI ALQUR’AANI

    Ya Allah, ampunilah aku dengan Al-Quran
    Ya Allah, kasihilah aku dengan Al-Quran
    Ya Allah, berilah petunjuk kepadaku dengan Al-Quran
    Ya Allah, berilah rezeki kepadaku dengan Al-Quran.

Do'a agar sembuh dari sakit Keraz



Do'a Agar Sembuh Dari Sakit Keras

Katsir bin Muhammad bin Katsir bin Rifa’ah bertaka: “Seorang laki-laki, yang sedang sakit karena perutnya membuncit, datang kepada al-Imam Abdul Malik bin Abjar, seorang ulama salaf yang juga seorang dokter. Lalu Abdul Malik bin Abjar memeriksa perut laki-laki tersebut. Hasilnya, Ibnu Abjar berkata kepada laki-laki itu: “Di perut Anda ada penyakit yang tidak akan sembuh.” Laki-laki itu bertanya: “Penyakit apa? “ Ia menjawab: “Penyakit kangker”. Mendengar jawaban tersebut, laki-laki itu berpaling lalu membaca doa:

اَللهُ اَللهُ رَبِّيْ لاَ أُشْرِكَ بِهِ أَحَدًا، اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ وَرَبِّيْ أَنْ يَرْحَمَنِيْ مِمَّا بِيْ رَحْمَةً يُغْنِيْنِيْ بِهَا عَنْ رَحْمَةِ مَنْ سِوَاهُ .


Laki-laki tersebut membacanya tiga kali. Kemudian ia meminta Ibnu Abjar memeriksa perutnya lagi. Setelah diperiksa, Ibnu Abjar berkata: “Anda sudah sembuh. Penyakitnya sudah hilang.”

(Al-Imam al-Hafizh Ibnu Abi al-Dunya al-Qurasyi, Kitab Mujabi al-Da’wah, hal. 85, dan dikutip oleh Syaikh Ibnu Taimiyah dalam Qa’idah Jalilah fi al-Tawassul wa al-Wasilah, hal. 146).


Oleh : Ust. Muhammad Idrus Ramli
Terkait :

Mengirim Fatihah Untuk Mayyit Bermanfaat dan Sampai Menurut Wahhabi

Do'a Dikabulkan di Malam Idul Adlha

    Sebentar lagi umat Islam akan menyambut Idul Adlha atau hari raya Qur'an, yang bertepatan pula dengan pelaksanaan ibadah haji di Makkah.

    Dalam menyambut Idul Adlha, perlu sekiranya umat Islam mengetahui bahwa malam hari raya Idul Adlha dan hari raya lainnya, merupakan malam yang mengandung keistimewaan. Didalam malam tersebut, umat Islam mulai mengemakan takbir sampai hari ketiga dari hari Tasyriq.

    Dimalam Idul Adlha pula, do'a-do'a di ijabah oleh Allah Subhanahu wa Ta'alaa. Imam Asy-Syafi'i Rahimahullah pernah mengatakan

     وَبَلَغَنَا أَنَّ الدُّعَاءَ يُسْتَجَابُ فِي خَمْسِ لَيَالٍ فِي لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ، وَلَيْلَةِ الْأَضْحَى، وَلَيْلَةِ الْفِطْرِ، وَأَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ، وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ
    Telah sampai (riwayat) kepada kami, bahwa sungguh do'a di ijabah pada 5 malam, yaitu pada malam Jum'at, malam Idul Adlha, malam Idul Fithri, malam pertama bulan Rajab dan malam Nishfu Sya'ban.

    Perkataan Imam al-Syafi'i rahimahullah didalam kitab Al Umm diatas, disebutkan pula oleh Imam An-Nawawi didalam kitab Majmu' Syarh al-Muhadzdzab (5/43), Raudlatuth Thalibin (2/75); dan Imam Zakariyya al-Anshari dlm Fathul Wahhab (1/91).

    Meskipun didalam tersebut do'a dikabulkan, akan tetapi penting untuk memperhatikan adab-adab dalam berdo'a dan kebersihan batin dari hal-hal yang tidak diridloi oleh Allah SWT.

    Ulasan Waktu Do'a di Kabulkan
    Sebagai seorang muslim adalah suatu bagian dari ritual ibadah yang tidak bisa dipisahkan, dimana hal tersebut sebuah pengharapan seorang hamba yang lemah dan kecil dihadapan Tuhannya untuk memohon atas segala sesuatu yang menjadi niat dan kebutuhannya, karena Doa merupakan inti ibadah dan senjata seorang mukmin untuk memohon perlindungan kepada sang Maha kuasa,dimana dalam suatu Hadist.
    Do’a adalah otaknya (sumsum / inti nya) ibadah. (HR. Tirmidzi)
    Do’a adalah senjata seorang mukmin dan tiang (pilar) agama serta cahaya langit dan bumi. (HR. Abu Ya’la).
    Namun dari sebagian orang banyak yang menghiraukan waktu-waktu yang sangat mustajab agar doa-doa kita bisa terkabul. Dan waktu-waktu Mustajab itu antara lain :

    1.Malam Jum’at dan Hari Jumat.
    Imam ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Malam Jum’at dan hari Jum’at mempunyai hak, maka janganlah sia-siakan kemuliaannya, jangan mengurangi ibadah, dekatkan diri kepada Allah dengan amal-amal shaleh, tinggalkan semua yang haram. Karena di dalamnya Allah swt melipatgandakan kebaikan, menghapus kejelekan, dan mengangkat derajat. Hari Jum’at sama dengan malamnya. Jika kamu mampu, hidupkan malam dan siangnya dengan doa dan shalat. Karena di dalamnya Allah mengutus para Malaikat ke langit dunia untuk melipatgandakan kebaikan dan menghapus keburukan, sesungguhnya Allah Maha Luas ampunan-Nya dan Maha Mulia.”

    Dalam hadist yang mu’tabar, Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Sesungguhnya orang mukmin yang memohon hajatnya kepada Allah, Ia menunda hajat yang dimohonnya hingga hari Jum’at agar ia memperoleh bisa keutamaan yang khusus (dilipatgandakan karena keutamaan hari Jum’at).”
    Betapa pentingnya malam jum’at dan siang harinya Allah swt berikan kepada hamba-hambanya yang memohon agar apa yang menjadi Hajat dan kebutuhan bisa tercapai, Dimana dalam suatu Riwayat yang lain dijelaskan.

    Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Allah swt memerintahkan kepada Malaikat agar pada setiap malam Jum’at ia menyeru dari bawah Arasy dari awal malam hingga akhir malam: Tidak ada seorang pun hamba mukmin yang berdoa kepada-Ku untuk keperluan akhirat dan dunianya sebelum terbit fajar kecuali Aku mengijabahnya, tidak ada seorang pun mukmin yang bertaubat kepadaKu dari dosa-dosanya sebelum terbit fajar kecuali Aku menerima taubatnya, tidak ada seorang pun mukmin yang sedikit rizkinya lalu ia memohon kepadaKu tambahan rizkinya sebelum terbit fajar kecuali Aku menambah dan meluaskan rizkinya, tidak ada seorang pun hamba mukmin yang sedang sakit lalu ia memohon kepadaKu untuk kesembuhannya sebelum terbit fajar kecuali Aku memberikan kesembuhan, tidak ada seorang hamba mukmin yang sedang kesulitan dan menderita lalu ia memohon kepadaKu agar dihilangkan kesulitannya sebelum terbit fajar kecuali Aku menghilangkannya dan menunjukkan jalannya, tidak ada seorang pun hamba yang sedang di zhalimi lalu ia memohon kepadaKu agar Aku mengambil kezhalimannya sebelum terbit fajar kecuali Aku menolongnya dan mengambil kezhalimannya; Malaikat terus-menerus berseru hingga terbit fajar.”
    (Mafatihul Jinan, Bab 1,pasal 4, halaman 28-38 )

    2.Malam Hari Raya Idul Fitri
    3.Malam Hari Raya Idul Adha
    4.Malam 10 Muharram

    Pada malam 10 Muharram ini sangat mustajab bagi seorang mukmin untuk berdoa kepada Allah SWT untuk memohon segala Hajatnya karena pada malam ini biasa sebagian orang menyebutnya Hari Raya Anak Yatim, dimana Allah memberikan kepada siapa saja yang berdoa pasti Allah mengabulkannya, apalagi disertai dengan puasa 10 Muharram, dimana dalam suatu Riwayat dijelaskan:
    Dari Ibnu Abbas Ra berkata Rasulullah SAW bersabda : ”Sesiapa yang berpuasa pada hari Asyura (10 Muharram) maka Allah S.W.T akan memberi kepadanya pahala 10,000 malaikat dan sesiapa yang berpuasa pada hari Asyura (10 Muharram) maka akan diberi pahala 10,000 orang berhaji dan berumrah, dan 10,000 pahala orang mati syahid, dan barang siapa yang mengusap kepala anak-anak yatim pada hari tersebut maka Allah S.W.T akan menaikkan dengan setiap rambut satu derajat. Dan sesiapa yang memberi makan kepada orang yang berbuka puasa pada orang mukmin pada hari Asyura, maka seolah-olah dia memberi makan pada seluruh ummat Rasulullah SAW yang berbuka puasa dan mengenyangkan perut mereka.”
    Lalu para sahabat bertanya Rasulullah S.A.W : ”Ya Rasulullah S.A.W, adakah Allah telah melebihkan hari Asyura daripada hari-hari lain?”. Maka berkata Rasulullah SAW: ”Ya, memang benar, Allah Ta’ala menjadikan langit dan bumi pada hari Asyura, menjadikan laut pada hari Asyura, menjadikan bukit-bukit pada hari Asyura, menjadikan Nabi Adam dan juga Hawa pada hari Asyura, lahirnya Nabi Ibrahim juga pada hari Asyura, dan Allah S.W.T menyelamatkan Nabi Ibrahim dari api juga pada hari Asyura, Allah S.W.T menenggelamkan Fir’aun pada hari Asyura, menyembuhkan penyakit Nabi Ayyub As pada hari Asyura, Allah S.W.T menerima taubat Nabi Adam pada hari Asyura, Allah S.W.T mengampunkan dosa Nabi Daud pada hari Asyura, Allah S.W.T mengembalikan kerajaan Nabi Sulaiman juga pada hari Asyura, dan akan terjadi hari kiamat itu juga pada hari Asyura “
    5.Malam Nisfu Syaban
    6.Malam Lailatur Qodar
    Pada Malam Lailatur Qodar sering dimanfaatkan oleh seluruh umat islam untuk beritikaf dan berdoa kepada Allah SWT, karena pada malam tersebut para malaikat turun ke bumi untuk mengatur segala urusan, dimana dalam Al-qur’an Allah berfirman :
    “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan, tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Al-Qadr: 1-5).
    Pada bulan ini terdapat Lailatul Qadar (malam mulia), yaitu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, atau sama dengan 83 tahun 4 bulan. Malam di mana pintu-pintu langit dibukakan, do’a dikabulkan, dan segala takdir yang terjadi pada tahun itu ditentukan. Sabda Nabi :
    “Barangsiapa mendirikan shalat pada Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala, dari Allah niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. ” (Hadits Muttafaq ‘Alaih).
    7.Sepertiga Malam Yang Akhir Sekitar Jam 02.00-03.000
    Pada saat-saat inilah dimana umat islam yang taat untuk memohon segala sesuatunya kepada Allah SWT, karena pada sepertiga malam ini Allah SWT turun ke bumi, dimana dalam suatu Hadist dijelaskan :
    Apabila tersisa sepertiga dari malam hari Allah Azza wajalla turun ke langit bumi dan berfirman : “Adakah orang yang berdo’a kepadaKu akan Kukabulkan? Adakah orang yang beristighfar kepada-Ku akan Kuampuni dosa- dosanya? Adakah orang yang mohon rezeki kepada-Ku akan Kuberinya rezeki? Adakah orang yang mohon dibebaskan dari kesulitan yang dialaminya akan Kuatasi kesulitan-kesulitannya..?” Yang demikian (berlaku) sampai tiba waktu fajar (subuh). (HR. Ahmad).
    Allah SWT berfirman:
    “Mereka (para muttaqin) sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir
    malam, mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzaariyaat: 17-18).
    8.Ketika Hendak Berbuka Puasa
    Ibadah puasa merupakan salah satu sarana penting untuk mencapai takwa, dan salah satu sebab untuk mendapatkan ampunan dosa-dosa, melipat gandakan kebaikan, dan pengangkatan derajat. Allah telah menjadikan ibadah puasa khusus untuk diriNya dari amal-amal ibadah lainnya.
    Firman Allah dalam hadits yang disampaikan oleh Nabi :
    “Puasa itu untukKu dan Aku langsung membalasnya. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh, bau mulut orang berpuasa lebih harum dari pada aroma kesturi.” (Hadits Muttafaq ‘Alaih).
    Dalam Hadist diterangkan :
    Ada tiga orang yang tidak ditolak do’a mereka: (1) Orang yang berpuasa sampai dia berbuka, (2) Seorang penguasa yang adil, (3) Dan do’a orang yang dizalimi (teraniaya). Do’a mereka diangkat oleh Allah ke atas awan dan dibukakan baginya pintu langit dan Allah bertitah, “Demi keperkasaanKu, Aku akan memenangkanmu (menolongmu) meskipun tidak segera.” (HR. Tirmidzi)
    9.Antara Adzan dan Iqomat
    Dan di antara waktu mustajab ini merupakan suatu saat dimana doa di dengar oleh Allah SWT, dimana di dalam suatu Hadist menerangkan:
    “Doa itu tidak ditolak antara adzan dan iqamah, maka berdoalah!” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan menurut Al-Arnauth dalam Jami’ul Ushul).
    Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Amr Ibnul Ash RA, bahwa ada seorang laki-laki berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya para muadzin itu telah mendahului kita”, maka Rasulullah SAW bersabda: “Ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh para muadzin itu dan jika kamu selesai (menjawab), maka memohonlah, kamu pasti diberi.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban, di-hasan-kan oleh Al-Arnauth dan Al-Albani).
    Disaat akan menunggu shalat berjama’ah, Namun sayangnya waktu mustajab ini sering tidak dimanfaatkan sebagian umat Islam yang kurang mengerti sunnah ataupun orang yang kurang menghargai sunnah Rosulullaah.
    10.Pada Waktu Khotib Duduk antara Dua Khutbah
    Di dalam hadist Muslim dan Abu Dawud dijelaskan:
    ”Yaitu waktu antara duduknya imam (khatib) sampai selesainya shalat (Jum’at)”. Inilah Riwayat yang paling shahih dalam hal ini.
    11.Setiap Selesai Sholat Fardhu
    Rasulullah SAW ditanya, “Pada waktu apa do’a (manusia) lebih didengar (oleh Allah)?” Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Pada tengah malam dan pada akhir tiap shalat fardhu (sebelum salam).” (Mashabih As-sunnah).
    12.Antara Dzuhur dan Ashar
    Waktu pada pertengahan dzuhur dan Ashar dimana pada waktu tersebut menyingsingkan hari, maka sangat baik untuk bermunajat kepada Allah dengan di dahului shalat hajat.
    13.Selepas Mengkhatamkan Al-Qur’an
    Barang siapa ingin dikabulkan hajatnya oleh Allah, maka khatamkan Al-Qur’an selama 7 hari, bila bacaan Al-quran anda sudah khatam, bersujudlah memohon apa yang menjadi hajat.

    14.Ketika Hujan Turun Terutama Selepas Kemarau Panjang
    Perhatikan Firman Allah SWT:
    Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji. (QS.Asy-syura:28).
    Dimana pada saat-saat seperti inilah Allah SWT menurunkan segala Rahmat dan kasih sayangnya untuk seluruh makhluknya di alam ini, sehingga saat mustajabah dalam memohon segala sesuatu kepada Allah.
    15.Setelah Melakukan Amal Sholeh
    Sikap amal sholeh yaitu membantu terhadap orang lain yang sedang kesulitan dan kesusahan, perhatikan Hadist berikut :
    “Bagi Allah ada hamba-hambaNya yang dikhususkan melayani kebutuhan-kebutuhan orang banyak. Mereka berlindung kepadanya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Orang-orang itulah yang aman dari azab Allah.” (HR. Ath-Thabrani).
    Dan dalam Riwayat yang lain menerangkan :
    “Barangsiapa dibukakan baginya pintu kebaikan (rezeki) hendaklah memanfaatkan kesempatan itu (untuk berbuat baik) sebab dia tidak mengetahui kapan pintu itu akan ditutup baginya.” (HR. Asy-syihaab)
    Intinya ialah bila anda ingin ditolong oleh Allah segala permohonannya maka tolonglah orang lain dan jangan kau sia-siakan kesempatan tersebut.
    16.Sesudah Bersedekah Kepada Fakir Miskin dan Anak Yatim
    Perhatikan Hadist berikut:
    Allah Tabaraka wata’ala berfirman (di dalam hadits Qudsi): “Hai anak Adam, infaklah (nafkahkanlah hartamu), niscaya Aku memberikan nafkah kepadamu.” (HR. Muslim).
    “Barangsiapa ingin doanya terkabul dan dibebaskan dari kesulitannya hendaklah dia mengatasi (menyelesaikan) kesulitan orang lain.” (HR. Ahmad).
    Sudah sepantasnya bila anda renungkan, Allah senang kepada orang yang giat bersedekah dan membantu sesama saudaranya yang kekurangan atau tidak mampu, maka Allah pun akan membalasnya dari apa yang dia harapkan.
    Itulah semua penjelasan secara ringkas tentang saat-saat yang mustajabah dalam berdoa, dan oleh sebab itu sebagai umat islam yang mukmin lebih banyak berdoa kepada Allah SWT, memohon pertolongan dan perlindungan kepadanya.
    “Sesungguhnya Allah maha pemalu dan maha murah hati. Allah malu bila ada hambaNya yang menengadahkan tangan (memohon kepadaNya) lalu dibiarkannya kosong dan kecewa.” (HR. Al-Hakim).
        Oleh : Ibnu L' Rabassa

    Inilah Rahasia Mengadzani Telinga Bayi Yang Baru Lahir

    Inilah Rahasia Mengadzani Telinga Bayi Yang Baru Lahir
    Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sad al-Zar'i atau lebih dikenal dengan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah didalam kitabnya Tuhfatul Wadud bi-Ahkamil Maulud (1/30) menjelaskan tentang kesunnahan mengadzankan ditelinga kanan dan iqamah ditelinga kiri pada bayi yang baru lahir. Ia menyebutkan beberapa riwayat berkenaan dengan hal tersebut. [1]

    Dalam kitab yang sama (1/31), Ibnul Qayyim juga mengungkap beberapa rahasia dibalik kumandang adzan pada telinga bayi.

    وسر التأذين والله أعلم أن يكون أول ما يقرع سمع الإنسان كلماته المتضمنة لكبرياء الرب وعظمته والشهادة التي أول ما يدخل بها في الإسلام فكان ذلك كالتلقين له شعار الإسلام عند دخوله إلى الدنيا كما يلقن كلمة التوحيد عند خروجه منها وغير مستنكر وصول أثر التأذين إلى قلبه وتأثيره به وان لم يشعر مع ما في ذلك من فائدة أخرى وهي هروب الشيطان من كلمات الأذان وهو كان يرصده حتى يولد فيقارنه للمحنة التي قدرها الله و شاءها فيسمع شيطانه ما يضعفه ويغيظه أول أوقات تعلقه به
    وفيه معنى آخر وهو أن تكون دعوته إلى الله وإلى دينه الإسلام وإلى عبادته سابقة على دعوة الشيطان كما كانت فطرة الله التي فطر عليها سابقة على تغيير الشيطان لها ونقله عنها ولغير ذلك من الحكم
    “Dan sirr(rahasia) mengadzani bayi, Wallahu A’lam: yaitu supaya yang didengarkan manusia pertama kali adalah ucapan yang mengandung kebesaran Rabb dan keagungan-Nya serta syahadat yang pertama kali memasukkanya kedalam islam, jadi ibarat men-talqinkan-nya tentang syiar Islam ketika memasuki dunia, sebagaimana dia ditalqin ketika keluar dari dunia, dikarenakan juga sampainya pengaruh adzan kedalam hatinya tidak dan kesan adzan pada dirinya tidak dipungkiri, meskipun dirasakan ada faedah lain dalam hal itu, yaitu larinya setan dari kalimat adzan, dimana setan senantiasa menunggunya kelahirannya, lalu menyertainya karena takdir Allah dan kehendak-Nya, maka dengan itu setan yang menyertainya mendengar sesuatu yang melemahkannya dan membuatnya marah sejak pertama mengikutinya.

    Dalam hal itu ada hikmah lain yaitu supaya seruan kepada Allah dan agama Islam serta ibadahnya mendahului dakwahnya setan. Sebagaimana Allah telah menciptakannya diatas fitrah tersebut untuk mendahului perubahan yang dilakukan setan kepadanya, serta hikmah-hikmah lainnya”

    red. Ibnu Manshur
    1. http://islamport.com/w/qym/Web/3182/29.htm
    2. http://islamport.com/w/qym/Web/3182/30.htm
    https://www.facebook.com/groups/forum.diskusi.hadits/permalink/838010242884471/?comment_id=838010399551122&offset=0&total_comments=7


    Terkait :

    Mengadzankan Bayi lahir, Imam At-Turmidzi : Haditsnya Hasan lagi Shahih

    Mengadzankan Bayi, Imam At-Turmidzi : Haditsnya Hasan lagi Shahih
    Mayoritas ulama dari golongan Ahlussunnah wal Jama'ah telah banyak mensunnahkan untuk mengadzankan bayi yang baru lahir di telinganya yang kanan, dan meng-iqomati di telinganya yang kiri.

    Hal itu sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam al-Nawawi Rahimahullah di dalam kitab al-Adzkar pada "Bab Adzan di Telinga Bayi". Imam al-Nawawi mencantumkan beberapa hadits, diantaranya

    روينا في سنن أبي داود والترمذي وغيرهما عن أبي رافع رضي الله عنه مولى رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ” رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أذن في أذن الحسين بن علي حين ولدته فاطمة بالصلاة رضي الله عنهم “. قال الترمذي : حديث حسن صحيح
    Kami telah meriwayatkan di dalam Kitab Sunan Abu Dawud dan at-Tirmidzi dan selain keduanya dari Abu Rafi’ rodhiyallohu ‘anhu maulanya Rasululloh SAW, beliau berkata : “Saya telah melihat Rasululloh SAW meng-adzani di telinganya Hasan bin Ali tatkala Fathimah baru saja melahirkannya dengan adzan sholat semoga Alloh meridhoi mereka semua”. Imam at-Tirmidzi berkata : Ini adalah hadits yang hasan lagi shohih. (Al-Adzkar, hal : 298).

    قال جماعة من أصحابنا : يستحب أن يؤذن في أذنه اليمنى ويقيم الصلاة في أذنه اليسرى.
    Sekumpulan dari sahabat-sahabat (ulama) kami berkata : Disunnahkan untuk mengadzankan bayi ditelinganya yang kanan dan mengiqamati ditelinganya yang kiri.

    وقد روينا في كتاب ابن السني عن الحسين بن علي رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” من ولد له مولود فأذن في أذنه اليمنى ، وأقام في أذنه اليسرى لم تضره أم الصبيان
    Dan sungguh kami telah meriwayatkan di dalam kitab Ibnu al-Sunni dari Hasan bin Ali radhiyallohu ‘anhumaa berkata : Rasululloh SAW bersabda : “Barangsiapa yang dilahirkan baginya seorang anak, kemudian dia meng-adzani di telinganya yang kanan dan meng-iqomatinya di telinganya yang kiri, maka Jin Ummu Shibyan tidak akan dapat membahayakannya”. (Al-Adzkar, hal : 299).

    red. Ibnu Manshur

    Terkait :

    Related Articles

    Sunnah Mengusap ke Wajah Setelah Berdo'a

    Sunnah Mengusap Wajah Setelah Berdo'a



    Pada dasarnya doa merupakan ibadah yang sangat agung, dapat meningkatkan keimanan dan memperkuat manisnya keimanan di dalam hati seorang Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menganggap doa sebagai ibadah itu sendiri, dalam sebuah hadits:

    عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ"، ثُمَّ قَرَأَ: {وَقَالَ رَبُّكُـمْ ٱدْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ داخِرِينَ} [غافر:60]. ).
    “An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Doa adalah ibadah.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat: “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku, akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir : 60).

    Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (4/267), Abu Dawud [1479], al-Tirmidzi [2969], dan menilainya hasan shahih, Ibnu Majah [3828], dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban [890], al-Hakim [1802] serta al-Dzahabi.

    Di antara adab dan etika berdoa, agar doa kita dikabulkan oleh Allah subhanahu wata’ala, adalah mengangkat kedua tangan, lalu mengusap wajah setelah berdoa. Tujuan mengusapkan tangan ke wajah tersebut, sepertinya mengandung relevansi yang sangat rasional, yaitu, bahwa ketika Allah tidak mengembalikan kedua tangan orang yang berdoa dengan keadaan kosong, seakan-akan kedua tangan tersebut memperoleh rahmat Allah subhanahu wata’ala. Maka wajar saja kalau rahmat tersebut diusapkan ke wajah, sebagai anggota badan yang paling mulia dan paling berhak dimuliakan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Shan’ani dalam Subulus Salam, juz 2 hal. 709.

    Oleh karena itu para ulama fuqaha dari madzhab empat telah menetapkan kesunnahan mengusap wajah setelah berdoa.

    A. Madzhab HanafiKesunnahan mengusap tangan setelah berdoa ditegaskan oleh para ulama fuqaha bermadzhab Hanafi. Dalam konteks ini, al-Imam Hasan bin Ammar as-Syaranbalali berkata:

    "ثُمَّ يَخْتِمُ بِقَوْلِهِ تَعَالىَ {سُبْحَانَ رَبِّكَ} اْلآَيَةَ؛ لِقَوْلِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: "مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَكْتَالَ بِالْمِكْيَالِ اْلأَوْفَى مِنَ الْأَجْرِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلْيَكُنْ آَخِرُ كَلاَمِهِ إِذَا قَامَ مِنْ مَجْلِسِهِ {سُبْحَانَ رَبِّكَ} الآية"، وَيَمْسَحُ يَدَيْهِ وَوَجْهَهُ فِيْ آَخِرِهِ؛ لِقَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {إِذَا دَعَوتَ اللهَ فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ وَلَا تَدْعُ بِظُهُورِهِمَا فَإِذَا فَرَغْتَ فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ} رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ كَمَا فِي الْبُرْهَانِ"). (حَاشِيَةُ الشَّرَنْبَلاَلِي عَلىَ دُرَرِ الْحُكَّامِ، 1/80).
    “Kemudian orang yang berdoa menutup doanya dengan firman Allah “Subhana rabbika” dan seterusnya. Berdasarkan perkataan Ali radhiyallahu ‘anhu, “Barangsiapa yang menghendaki menerima takaran pahala dengan takaran yang sempurna pada hari kiamat, maka hendaklah akhir ucapannya dalam majlisnya adalah “subhana rabbika” dan seterusnya. Dan ia mengusap tangan dan wajahnya di akhir doanya, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila kamu berdoa kepada Allah, maka berdoalah dengan perut telapak tanganmu, dan janganlah berdoa dengan punggungnya. Apabila kamu selesai berdoa, maka usaplah wajahmu dengan kedua tangannya.” HR. Ibnu Majah, sebagaimana dalam kitab al-Burhan.” (Hasyiyah as-Syaranbalali ‘ala Durar al-Hukkam, juz 1 hal. 80).
    B. Madzhab Maliki

    Para fuqaha yang mengikuti madzhab Maliki juga menegaskan kesunnahan mengusap wajah setelah berdoa. Al-Imam an-Nafrawi berkata:

    وَيُسْتَحَبُّ أن يَمْسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ عَقِبَهُ -أي: الدُّعَاءِ- كَمَا كَانَ يَفْعَلُهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ.
    “Dan disunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya setelah berdoa, sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (An-Nafrawi, al-Fawakih al-Dawani, juz 2, hal. 335).

    C. Madzhab Syafi’iPara fuqaha yang mengikuti madzhab Syafi’i juga menegaskan kesunnahan mengusap wajah setelah berdoa. Dalam hal ini, al-Imam an-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab:

    وَمِنْ آَدَابِ الدُّعَاءِ كَوْنُهُ فِي الْأَوْقَاتِ وَالْأَمَاكِنِ وَالْأَحْوَالِ الشَّرِيْفَةِ وَاسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ وَرَفْعُ يَدَيْهِ وَمَسْحُ وَجْهِهِ بَعْدَ فَرَاغِهِ وَخَفْضُ الصَّوْتِ بَيْنَ الْجَهْرِ وَالْمُخَافَتَةِ).
    “Di antara beberapa adab dalam berdoa adalah, adanya doa dalam waktu-waktu, tempat-tempat dan keadaan-keadaan yang mulia, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, mengusap wajah setelah selesai berdoa, memelankan suara antara keras dan berbisik.” (al-Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 4 hal. 487).

    Bahkan al-Imam an-Nawawi menegaskan dalam kitab at-Tahqiq tentang kesunnahan mengusap wajah setelah berdoa, sebagaimana dikutip oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam Asnal Mathalib juz 1 hal. 160, dan al-Khathib as-Syirbini dalam Mughnil Muhtaj juz 1 hal. 370.

    D. Madzhab Hanbali
    Madzhab Hanbali adalah madzhab resmi kaum Wahabi di Saudi Arabia. Ternyata para ulama fuqaha madzhab Hanbali, menegaskan bahwa pendapat yang dapat dijadikan pegangan oleh mereka, adalah kesunnahan mengusap wajah setelah berdoa. Dalam konteks ini, al-Imam al-Buhuti menegaskan:

    (ثُمَّ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدَيهِ هُنَا) أي: عَقِبَ الْقُنُوْتِ (وَخَارَجَ الصَّلَاةِ) إِذَا دَعَا).
    “Kemudian orang yang berdoa mengusapkan wajahnya dengan kedua tangannya setelah membaca doa qunut dan di luar shalat ketika selesai berdoa.” (Al-Buhuti, Syarh Muntaha al-Iradat juz 1 hal. 241, Kasysyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’ juz 1 hal. 420, dan al-Mirdawi, al-Inshaf fi Ma’rifat al-Rajih min al-Khilaf, juz 2 hal. 173).

    Demikian pandangan para ulama fuqaha dari madzhab empat yang menegaskan kesunnahan mengusap wajah setelah berdoa. Sedangkan dasar atau dalil para ulama dalam hal ini, adalah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau mengusap wajah dengan kedua tangannya setelah berdoa.

    عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالىَ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَدَّ يَدَيهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ ).
    “Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mengangkat kedua tangannya dalam berdoa, tidak mengembalikannya sehingga mengusap wajahnya dengan keduanya.” (HR. at-Tirmidzi [3386], dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/719 [1967]).

    Berkaitan dengan hadits tersebut, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Bulugul Maram min Adillatil Ahkam sebagai berikut:

    أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ، لَهُ شَوَاهِدُ مِنْهَا حَدِيْثُ ابْنِ عَبَّاسٍ عِنْدَ أَبِيْ دَاوُدَ, وَغَيْرِهِ, وَمَجْمُوْعُهَا يَقْضِيْ بِأَنَّهُ حَدِيْثٌ حَسَنٌ).
    “Hadits tersebut diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan memiliki banyak penguat eksternal (syahid), antara lain hadits Ibnu Abbas menurut Abu Dawud dan lainnya, dan kesemuanya menetapkan bahwa hadits tersebut bernilai hasan.”

    Hadits di atas menjadi dalil kesunnahan mengusap wajah dengan kedua tangan setelah selesai berdoa, sebagaimana ditegaskan oleh al-Shan’ani dalam Subulus Salam juz 2 hal. 709. Hadits lain yang menjadi dalil kesunnahan mengusap wajah setelah berdoa adalah sebagai berikut:

    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لا تَسْتُرُوا الجُدُرَ، مَنْ نَظَرَ فِي كِتَابِ أَخِيهِ بِغَيرِ إِذْنِهِ فَإِنَّمَا يَنْظُرُ فِي النَّارِ، سَلُوا اللهَ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَلا تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا، فَإِذَا فَرَغْتُمْ فَامْسَحُوا بِهَا وُجُوهَكُمْ.
    “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian menutup tembok dengan kain. Barangsiapa yang melihat dalam buku saudaranya tanpa ijin, maka sebenarnya ia melihat ke neraka. Mohonlah kepada Allah dengan perut telapak tangan kamu. Dan janganlah kamu memohon kepada-Nya dengan punggungnya. Apabila kamu selesai berdoa, maka usaplah wajahmu dengannya.”

    Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud [1485], Ibnu Majah [3866], al-Hakim dalam al-Mustadrak [1968], dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra [3276]. Abu Dawud berkata: “Hadits tersebut diriwayatkan dari lebih satu jalur dari Muhammad bin Ka’ab, semua jalurnya lemah, dan jalur ini yang paling bagus. Jalur ini lemah pula.” Al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi mengutip dari al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Amali, bahwa hadits ini menurutnya bernilai hasan. (Lihat, as-Suyuthu, Fadhdhul Wi’a’ Fi Ahadits Raf’il Yadain bid-Du’a’, hal. 74).

    Di sisi lain, mengusap wajah setelah selesai berdoa, juga diriwayatkan dari kaum salaf, antara lain sahabat Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Zubair. Juga dari al-Imam Hasan al-Bashri. Oleh karena itu, pandangan sebagian aliran baru yang membid’ahkan dan mengharamkan mengusap wajah setelah berdoa, adalah tidak benar. Kesunnahan mengusap wajah setelah berdoa memiliki dalil yang kuat dan diikuti oleh para ulama fuqaha dari madzhab yang empat. Wallahu a’lam.


    Oleh : Ustadz Muhammad Idrus Ramli

    Related Articles

    Kecurangan Wahhabi Tentang Kesunnahan Mengusap Wajah