Rabu, 30 September 2015

Hukum rambut gondrong

Masalah rambut gondrong

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

"Gondrong". Ada seorang unik dan antik yang suka memanjangkan rambutnya. Saking antik nya, rambut kemaluan pun dipelihara hingga memanjang sampe ke tanah (uuppss, ngapunten). Celana ataupun sarung nya masih kalah panjang dengan rambut nya itu. Yang jadi pertanyaan adalah, apakah rambut panjang tersebut termasuk aurat ??? Baik saat sholat ataupun kesehariannya. Monggo poro kyai muda...

JAWABAN :
>

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

Jika ada perkara yang memanjang,diarea antara pusar dan dengkul maka wajib ditutupi karena termasuk aurot,dengan alasan "amalan bil ashli" ikut hukum asalnya. contoh jika dzakar seorang laki-laki,saking panjangnya melewati batas aurot (melewati dengkul ) atau kutil yang tumbuh memanjang , atau rambut/bulu kemaluan baik qubul maupun dubur , maka ketika melewati batas aurot sholat ketika sholat, maka wajib ditutupi. Wallahu a'lam. Lihat Nihayatul muhtaj :

[ فرع ]

لو طال ذكره بحيث جاوز نزوله الركبتين فالوجه وجوب ستر جميعه ، ولا يجب ستر ما يحاذيه من الركبتين وما نزل عنهم ا من الساقين ، وكذا يقال في سلعة أصلها في العورة وتدلت حتى جاوزت الركبتين ، وكذا يقال في شعر العانة إذا طال وتدلى وجاوز الركبتين ا هـ سم على حج . لكن في حاشية شيخنا العلامة الشوبري على التحرير بعد قول سم المتقدم آخر الفرع الأول أو بالعكس ما نصه : قلت ويحتمل ، وهو الوجه عدم وجوب الستر في الأولى ; لأنها ليست من أجزاء العورة ، ووجوبه في الثانية اعتبارا بالأصل ، والفرق أن أجزاء العورة لها حكمها من حرمة نظره وإن انفصل من البدن بالكلية ، ولا كذلك المنفصل عن محل الفرض ، ويؤيد الفرق أنه لا يجب ستر ما يحاذي محل العورة مما نبت في غيرها ، ويجب غسل محاذي محل الفرض فالوجه الفرق بين البابين والمصير لما ذكرناه فليتأمل . ا هـ بحروفه . ( قوله : أو مبعضة ) في إدخالها في الأمة تجوز ولهذا فصلها الشارح المحلي رحمه الله بكذا .


>

Seandainya dzakar seseorang panjang turun melewati kedua lutut, maka wajib menutup keseluruhannya...dst.

تحفة المحتاج : ( فرع آخر ) لو طال ذكره بحيث جاوز نزوله الركبتين فالوجه وجوب ستر جميعه ولا يجب ستر ما يحاذيه من الركبتين وما نزل عنهما من الساقين ، وكذا يقال في سلعة أصلها في العورة وتدلت حتى جاوزت الركبتين ، وكذا يقال في شعر العانة إذا طال وتدلى حتى جاوز الركبتين


>

( قَوْلُهُ : مَا بَيْنَ سُرَّةٍ وَرُكْبَةٍ ) شَعْرًا وَبَشَرًا فَلَوْ طَالَ الشَّعْرُ مِنْ الْعَانَةِ إلَى أَنْ جَاوَزَ الرُّكْبَةَ ، وَجَبَ سَتْرُهُ وَلَوْ تَدَلَّتْ سِلْعَةٌ فِي الْعَوْرَةِ كَأُنْثَيَيْنِ وَجَاوَزَتْ مَا ذُكِرَ وَجَبَ سَتْرُهَا مِنْ أَعْلَى وَجَوَانِبَ لَا مِنْ أَسْفَلِهَا ح ل الكتاب : حاشية البجيرمي على المنهج

فَرْعٌ : لَوْ طَالَ ذَكَرُهُ أَوْ نَبَتَتْ سَلْعَةٌ أَصْلُهَا فِي الْعَوْرَةِ أَوْ طَالَ شَعْرُ الْعَانَةِ ، وَجَاوَزَ الرُّكْبَتَيْنِ وَجَبَ سَتْرُ مَا خَرَجَ عَنْ حَدِّ الرُّكْبَتَيْنِ ؛ لِأَنَّهُ مِمَّا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ وَمِثْلُهُ الْأُنْثَيَانِ ا هـ . الكتاب : حاشية البجيرمي على الخطيب


KESIMPULAN :
Rambut kemaluan yang panjangnya melebihi batas aurat termasuk aurat jadi wajib ditutup sebagaimana aurat lainnya. Wallohu a'lam bis showab

Kisah kalau tidak mendapat daging semoga dapat kuahnya

Burung Hud Hud bersama Nabi Sulaiman alaihis salaam
Suatu hari seekor burung hud hud berkata kpd Nabi Sulaiman alaihis salaam :
" Wahai Nabiyulloh, aku ingin agar anda menjadi tamuku dan aku akan menjamu anda ."
Nabi Sulaiman : " apakah aku sendiri yg diundang ?"
Hud hud : " bukan, anda dan semua tentara anda saya undang ."
Kemudian burung Hud hud memberitahukan Nabi sulaiman alaihis salaam tempat dan hari untuk berkumpul dalam jamuan makan bersama .

Setelah semua berkumpul ditempat yg ditentukan yaitu di pinggir laut,
Burung Hud hud berburu seekor belalang, setelah dapat seekor belalang dibunuhlah belalang tsb kemudian di lemparkan kedalam laut dan dia berkata :
" Silahkan dimakan wahai Nabiyulloh, yang tidak kebagian daging semoga masih mendapat bagian kuahnya ."
Maka tertawalah Nabi sulaiman alaihis salaam begitu juga dengan semua tentaranya.
wallohu a'lam.
sumber : kitab syarah mandumatil adab.

Selasa, 29 September 2015

Ketika Allah berkehendak merusak pada seseorang

MENATA NIAT YG BAIK
Dinukil dari kitab Tambihul Ghofilin

قَالَ حَامِدٌ اللّفافُ: إِذَا أَرَادَ اللَّهُ هَلَاكَ امْرِئٍ عَاقَبَهُ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ أَوَّلُهَا يَرْزُقُهُ اللَّهُ الْعِلْمَ وَيَمْنَعُهُ عَنْ عَمَلِ الْعُلَمَاء وَالثَّانِي يَرْزُقُهُ صُحْبَةَ الصَّالِحِينَ وَيَمْنَعُهُ عَنْ مَعْرِفَةِ حُقُوقِهِمْ، وَالثَّالِثُ يَفْتَحُ عَلَيْهِ بَابَ الطَّاعَاتِ وَيَمْنَعُهُ مِنْ إِخْلَاصِ الْعَمَلِ. إِنَّمَا يَكُونُ ذَلِكَ لِخُبْثِ نِيَّتِهِ وَسُوءِ سَرِيرَتِهِ لِأَنَّ النِّيَّةَ لَوْ كَانَتْ صَحِيحَةً لَرَزَقَهُ اللَّهُ تَعَالَى مَنْفَعَةَ الْعِلْمِ وَالْإِخْلَاصَ لِلْعَمَلِ وَمَعْرِفَةَ حُرْمَةِ الصَّالِحِينَ

Hamid al lafaf berkata :
" ketika Allah berkehendak merusak pada seseorang maka Allah menghukumnya dengan tiga hal :
1. Allah memberikan kepadanya ilmu dan mencegahnya dari beramal dengan amalannya ahli ilmu.
(maksudnya, mempunyai ilmu tapi tdk mau mengamalkan ilmunya)
2. Allah memberikan kepadanya bersahabat dengan orang2 sholeh dan mencegahnya dari mengetahui hak2 orang sholeh.
(maksudnya, sering berkumpul dengan orang2 sholeh tapi malah merendahkan dan menghina mereka)
3. Allah membukakan kepadanya pintu ketaatan dan mencegahnya dari ikhlas dalam beramal.
(maksudnya, sering beramal tapi tdk ikhlas)
semua hal itu terjadi sebab buruknya niat dan buruknya hati, karena jika memang benar niatnya baik maka Allah ta'ala akan memberikan manfaatnya ilmu yaitu beramal dengan ilmu, memberikan ikhlas dalam beramal dan memberikan pengetahuan tentang kehormatan orang-orang sholeh.
wallohu a'lam.

تنبيه الغافلين
ابو الليث السمرقندى

Semoga bermanfaat

Penyebab hilang ingatan atau amnesia

الرحمة في الطب والحكمة - جلال الدين عبد الرحمن السيوطي

Ada 15 hal yang bisa menyebabkan Amnesia (hilang ingatan / an nisyan) :
1. memakan ketumbar yg masih hijau.
2. memakan apel yg masam.
3. memakan sisa tikus.
4. kencing di air yg tenang.
5. membuang kutu rambut di jalanan.
6. melihat salib.
7. berjalan diantara dua rombongan onta.
8. membaca tulisan kuburan.
9. menyapu rumah dengan kain.
10. terus menerus melihat laut.
11. makan dalam keadaan junub.
12. memakan ikan paus.
13. kebanyakan minum susu.
14. kebanyakan makan kacang.
15. makan dendeng terlalu sering.

wallohu a'lam.

Sumber :Kitab Ar Rohmah.

Jumat, 25 September 2015

Takwil dan Tafwidh menurut pendapat ulama salaf dan khalaf

Takwil dan Tafwidh menurut Ulama Salaf dan Khalaf
 
Takwil dan tafwidhMenurut kaum wahabi, para ulama Asya’irah merupakan golongan sesat. menurut mereka salah satu sebab kesesatan Ulama Asya’irah adalah karena para ulama Asya’irah mentakwilkan nash-nash mutasyabihat. Bahkan mereka mengatakan bahwa para ulama Asya’irah telah melakukan ta’thil (meniadakan sifat pada Allah).

Maka kali ini kami ingin membahas seputar masalah takwil dan tafwidh. Salahkan para ulama Asya’irah melakukan takwil terhadap nash-nash mutasyabihat? dan apakah tidak ada di antara ulama salaf yang ikut mentakwil nash-nash mutasyabihat. Pembahasan tentang takwil dan tafwidh ini di perlukan sebelum kami membahas masalah kesalahan pemahaman tauhid Asma’ wa shifat yang merupakan salah satu bagian tri tauhid yang di dakwahkan kaum wahabi yang akan kami tampilkan nantinya sebagai sambungan dari tulisan sebelumnya, Kesesatan Pembagian Tauhid Rububiyah, Uluhiyah dan Asma wa Shifat. Sedikit tentang pandangan ulama salaf dan khalaf terhadap nash mutasyabihat pernah kami singguh dalam tulisan kami sebelumnya, Kriteria Ahlus sunnah wal Jamaah pada bagian tentang Kitab.

Sebenarnya masalah nash mutasyabihat merupakan masalah yang tidak sepatutnya di ajarkan kepada masyarakat awam, sebagaimana di terangkan oleh al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari ketika menafsirkan hadits Rasulullah SAW:

حدثوا الناس بما يعرفون أتحبون أن يكذب الله ورسوله


Berbicaralah dengan manusia dengan perkara yang bisa mereka pahami, apakah kami menyukai mendustakan Allah dan RasulNya. (H.R. Imam Bukhari)

Imam Ibnu Hajar al-asqalani mengatakan:

وفيه دليل على أن المتشابه لا ينبغي أن يذكر عند العامة... وضابط ذلك أن يكون ظاهر الحديث يقوي البدعة وظاهره في الأصل غير مراد فالامساك عنه عند من يخشى عليه الأخذ بظاهره مطلوب

Hadits ini menjadi dalil bahwa (nash) mutasyabihat tidak sepatutnya di sebut di depan orang awam. Patokannya adalah dhahir hadits tersebut malah menguatkan bid’ah dan dhahirnya yang asal tidak di maksudkan maka menahan diri (dari membicarakannya)- di kalangan orang-orang yang di takutkan akan memahaminya secara dhahir – merupakan satu hal yang di anjurkan (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Jild 1 Hal 273, Dar hadits th 2004)

Namun, mengingat saat ini maraknya tulisan-tulisan di dunia maya yang menyudutkan dan bahkan menyatakan sesat kepada para ulama Asya’irah yang melakukan takwil terhadap nash mutasyabihat tersebut sehingga banyak masyarakat awam yang terpengaruh dengan tulisan-tulisan tersebut, maka kami mencoba ikut mengambil bagian dalam membela para ulama Asya’irah dari tuduhan kaum wahabi sesat dan mencoba menerangkan bagaimana kedudukan nash mutasyabihat dalam pandangan ulama salaf dan khalaf.

Pandangan para ulama salaf dan khalaf tentang nash mutasyabihat.


Para Ulama Ahlus sunnah dalam menanggapi nash mutasyabihat terdapat dua pendapat :


  1. Takwil Tafshily ; takwil ini di lakukan oleh mayoritas ulama khalaf dan sebagian ulama salaf (shahabat Rasulullah dan tabi’in).
  2. Tafwidh ; Tafwid ini di tempuh oleh mayoritas ulama salaf dan sebagian ulama khalaf. Tafwidh yang di tempuh oleh para ulama salaf adalah tafwidh ba’d takwil ijmal. Artinya para ulama salaf tetap memalingkan nash mutasyabihat dari makna dhahirnya kemudian menyerahkan makna yang di maksudkan kepada Allah ta’ala.
Adapun golongan yang sama sekali tidak mentakwilkannya tetapi menfsirkannya dengan makna dhahirnya maka mereka adalah golongan Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk) sebagaimana di jelaskan oleh Imam Zarkasyi dalam al-Burhan :

وقد اختلف الناس فى الوارد منها – يعنى المتشابهات – فى الآيات والأحاديث على ثلاث فرق :

أحدها : أنه لامدخل للتأويل فيها, بل تجرى على ظاهرها ولانؤول شيئا منها وهم المشبهة

الثانية : أن لها تأويلا ولكنا نمسك عنه مع تنزيه اعتقادنا عن الشبه والتعطيل ونقول لايعلمه إلا الله وهو قول السلف

والثالثة : أنها مؤولة وأولوها على ما يليق به

والأول باطل يعني مذهب المشبهة والأخران منقولان عن الصحبة


Artinya : Sungguh berbedalah pendapat para ulama tentang ayat dan hadits mutasyabihat mejadi tiga pendapat :
1. Tidak ada takwil sama sekali pada ayat tersebut, tetapi di berlakukan sebagaimana makna dhahirnya dan tidak di takwilkan sama sekali, mereka adalah kaum MUSYABIHAH (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk)
2. Ada takwil tetapi kami menahan diri darinya (tidak menentukan makna yang di maksudkan) serta meyakini bersihnya Allah SWT dari serupa dan ta’thil (meniadakan sifat bagi Allah) dan kami berkata hanya Allah SWT yang mengetahui maknanya, ini pendapat Salaf
3. Ayat dan hadits tersebut di takwil dan para ulama mentakwilnya (diberi makna) berdasarkan makna layak dengan Allah SWT
Yang pertama BATHIL yaitu mazhab MUSYABIHAH sedangkan dua pendapat yang akhir juga di riwayatkan dari sahabat.(Imam Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, Jilid 4 Hal 78, Beirut, Dar Ma’rifah th 1391 H)

Makna dan Pembagian Takwil.


Takwil merupakan derivasi dari kata أوّل yang secara etimologi artinya رجع (kembali).
secara terminologi Takwil adalah :

صرف اللفظ عن الظاهر بقرينة تقتضيه ذلك

memalingkan makna satu lafaz dari makna dhahirnya dengan di sertai indikasi yang menghendaki demikian.

Lafaz dipalingkan dari maknanya yang dhahir maka lafaz tersebut dinamakan lafaz muawwal. Makna hakikat merupakan makna yang dhahir dari satu lafadh, sedangkan makna majaz merupakan makna majaz merupakan makna muawwal. Satu lafadh baru boleh di beri makna majaz apabila ada satu indikasi yang yang menyebabkan tidak mungkin di terapkan makna hakikat, misalnya dalam kalam tersebut makna hakikat merupakan makna yang mustahil di terapkan dalam kalam tersebut.

Takwil yang berkenaan dengan nash mutasyabihat ini ada 2 :

1. Takwil ijmali

Takwil ijmali adalah memalingkan lafaz dari makna dhahir/hakikat (tidak memberi makna hakikat ) dan tidak juga memberi/menentukan makna murad (makna yang dimaksud ) tetapi meyerahkan makna yang di maksudkan kepada Allah SWT (tafwidh ). Implisitnya adalah tafwidh dilakukan setelah takwil ijmali.

2. Takwil Tafsili

Takwil tafsili adalah memalingkan lafaz dari makna dhahir/hakikat (tidak memberi makna hakikat) dan kemudian memberi/menentukan makna murad (makna yang dimaksud ).

Takwil ijmali adalah metode Takwil sebagian Salaf dan takwil Tafsili adalah metode takwil mayoritas Ulama khalaf dan sebagian ulama Salaf (seperti Ibnu Abbas, Sayyidina Mu’awiyah, Sayyidina ‘Ali dll.)

Ketika sebagian Salaf menerapkan metode takwil ijmali pada nash mutasyabihat. nash tersebut di palingkan dari makna dhahirnya karena makna dhahir tersebut merupakan satu hal yang mustahil bagi Allah, seperti kata أيد , di palingkan dari makna dhahirnya yaitu bermakna tangan tetapi tidak di beri makna yang di maksudkan dan hanya menyerahkan kepada Allah bagaimana maksud dengan makna yad tersebut dengan tetap meyakini bahwa di sisi Allah ada satu makna yang shahih dan layak dengan kebesaranNya sedangkan makna dhahir (tangan/jisim) dari yad tersebut merupakan makna yang mustahil bagi Allah . Hal yang seperti demikian dikenal dengan tafwidh ba’da ta’wil ijmaly.

Ketika seluruh Ulama khalaf dan sebagian Salaf menerapkan metode takwil tafsili pada nash mutasyabihat seperti ayat diatas maka hasilnya adalah kata أيد bukan bermakna tangan tapi maknanya Quwwah ( kekuasaan ).

Ulama salaf dan khalaf sepakat untuk memalingkan lafadh mutasyabihat tersebut dari makna dhahirnya, ini merupakan keyakinan bahwa Allah bersih dari sifat-sifat yang khusus pada makhluk (tanzih). Perbedaan keduanya hanya terjadi pada masalah apakah di berikan makna maksudnya ataupun tidak di beri makna tetapi di serahkan maksudnya kepada Allah ta`ala sendiri. Ulama salaf lebih memilih untuk tidak menentukan salah satu dari beberapa makna yang mungkin di terapkan pada nash tersebut. Sedangkan para ulama khalaf, di karenakan pada masa mereka sudah berkembang ahli bid’ah yang mensifati Allah dengan sifat makhluk, maka mereka menafsirkan nash mutasyabihat tersbeut dengan makna yang layak bagi Allah yang sesuai dengan qaedah bahasa Arab sendiri. Sikap yang di lakukan oleh para ulama khalaf ini bukanlah satu perkara bid’ah, karena kenyatannya takwil tafshily juga pernah di lakukan oleh sebagian ulama salaf seperti Saidina Ali, Saidina Mu’awwiyah, Ibnu Abbas dll sebagaimana di sebutkan oleh Imam ath-Thabari dalam tafsir beliau ketika menafsirkan ayat 47 surat az-Zariyat :

يقول تعالى ذكره: والسماء رفعناها سقفا بقوة. وبنحو الذي قلنا في ذلك قال أهل التأويل. ذكر من قال ذلك : حدثني عليّ، قال: ثنا أبو صالح، قال: ثني معاوية، عن عليّ، عن ابن عباس، قوله (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ) يقول: بقوة.

حدثني محمد بن عمرو، قال: ثنا أبو عاصم، قال: ثنا عيسى; وحدثني الحارث، قال: ثنا الحسن، قال: ثنا ورقاء جميعا، عن ابن أبي نجيح، عن مجاهد، قوله (بِأَيْدٍ) قال: بقوة.

حدثنا بشر، قال: ثنا يزيد، قال: ثنا سعيد، عن قتادة (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ) : أي بقوّة.

حدثنا ابن المثنى، قال: ثنا محمد بن جعفر، قال: ثنا شعبة، عن منصور أنه قال في هذه الآية (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ) قال: بقوة.

حدثني يونس، قال: أخبرنا ابن وهب، قال: قال ابن زيد، في قوله (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ) قال: بقوة.

حدثنا ابن حُمَيد، قال: ثنا مهران، عن سفيان (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ) قال: بقوة.


Artinya: Berkatalah Allah ta`ala yang maha tinggilah perkataanNya; demi langit yang kami tinggikan atapnya dengan kekuatan (kami). penafsiran seumpama ini di sebutkan oleh ahli takwil. Golongan yang berpendapat demikian meriwayatkan; memberi hadits padaku oleh Ali, ...memberi hadits oleh Mu`awwiyah dari Saidina Ali dari Saidina Ibnu Abbas, firman Allah وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ, beliau berkata; maksudnya bi quwwah (dengan kekuatan).
memberi hadits akan kami oleh Muhammad bin Umar, ... dari Mujahid, firman Allah bi aydi, beliau mengatakan maksudnya bi quwwah (dengan kekuatan).
memberi hadits oleh basyar, ...dari Qatadah, firman Allah وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ maksudnya bi quwwah (dengan kekuatan). Memberi hadits akan kami oleh Ibnu Mutsanna ...dari Manshur ... (Tafsir Thabari, Jilid 22 Hal 438, Muassis ar-Risalah th 2000)

Dari nash Imam ath-Thabari tersebut jelas bahwa Saidina Ibnu Abbas juga melakukan takwil tafshily.

Imam Nawawi mengatakan dalam kitab Majmuk Syarh Muhazzab :

اختلفوا فى آيات الصفات وأخبارها هل يخاض فيها بالتأويل أم لا ؟ فقال قائلون تتأول على ما يليق بها, وهذا أشهر المذهبين للمتكلمين وقال آخرون : لا تتأول بل يمسك عن الكلام فى معناها ويوكل علمها الى الله تعالى ويعتقد مع ذلك تنزيه الله تعالى وانتفاء صفات الحوادث عنه فيقال مثلا نؤمن بأن الرحمن على العرش استوى, ولا نعلم حقيقة معنى ذلك والمراد به مع أنا نعتقد أن الله تعالى ليس كمثله شئ, وأنه منزه عن الحلول وسامت الحدوث, وهذه الطريقة السلف أو جماهريهم وهي أسلم

Artinya : Para Ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat dan hadits sifat (sifat Allah) apakah ditakwil ataupun tidak ? Maka berkata sebagian ulama nash tersebut ditakwil berdasarkan makna yang layak dengan Allah SWT. Ini merupakan pendapat yang paling masyhur diantara mazhab-mazhab mutakallimin, dan sebagian ulama lain berkata jangan ditakwil tetapi tahanlah dari pada membicarakan maknanya dan diserahkan maknanya kepada Allah dan mengiktiqad bersihnya Allah SWT dari sifat-sifat baharu, misalnya dikatakan kami beriman sesungguhnya Ar-rahman ‘ala arsy istawa dan kami tidak tahu hakikat makna demikian dan maksud demikian beserta kami mengi’tiqad sesungguhnya Allah SWT tidak serupa dengan sesuatu apapun dan sesungguhnya Allah SWT bersih dari tempat dan tanda hudus, ini thariqat Salaf atau mayoritas ulama Salaf dan jalan ini lebih aslam (selamat). (Imam Nawawi, Majmuk Syarh Muhazzab, Jld 1 hal 439 Dar Kutub Ilmiyah 2007)

Dalam Kitab Syarh Muslim beliau menyatakan :

اعلم أن لأهل العلم في أحاديث الصفات وآيات الصفات قولين أحدهما وهو مذهب معظم السلف أو كلهم أنه لا يتكلم في معناها بل يقولون يجب علينا أن نؤمن بها ونعتقد لها معنى يليق بجلال الله تعالى وعظمته مع اعتقادنا الجازم أن الله تعالى ليس كمثله شيء وأنه منزه عن التجسم والانتقال والتحيز في جهة وعن سائر صفات المخلوق وهذا القول هو مذهب جماعة من المتكلمين واختاره جماعة من محققيهم وهو أسلم والقول الثاني وهو مذهب معظم المتكلمين أنها تتأول على مايليق بها على حسب مواقعها وإنما يسوغ تأويلها لمن كان من أهله بأن يكون عارفا بلسان العرب وقواعد الأصول والفروع ذا رياضة في العلم


Atinya: Ketahuilah bahwa bagi para ahli ilmu tentang hadits-hadits dan ayat shifat (shifat Allah) ada dua pendapat; pertama mazhab mayoritas ulama salaf atau seluruh ulama salaf yaitu tidak membahas tentang maknanya tetapi mereka mengatakan wajib atas kita mengimaninya dan kita yakini ada satu makna yang layak dengan kebesaran dan keagungan Allah ta’ala beserta keyakinan kita yang bulat bahwa Allah ta’ala tidak serupa dengan apapun dan Allah ta’ala bersih dari berjisim dan berpindah dan menenpati arah dan sifat makhluk lainnya. ini adalah pendapat satu jamaah dari ulama mutakallimin dan juga di pilih oleh satu golongan dari para muhaqqiq mereka. ini adalah pendapat yang lebih semalat. Pendapat yang kedua yaitu pendapat mayoritas ulama mutakallimin nash tersebut di takwil dengan makna yang layak menurut posisinya dan takwil ini hanya di bolehkan bagi orang yang telah ahli yaitu ia telah menguasai lisan arab, qaedah ushul dan furu’ serta mahir dalam ilmu. (Imam Nawawi, Syarh Muslim Jilid 3 Hal 319, Dar Turast Arabi th 1392 H)

Imam Al-Alamah Badruddin bin Jamaah dalam kitab beliau Idhah Dalil mengatakan

واتفق السلف وأهل التأويل على أن ما لايليق من ذلك بجلال الرب تعلى غير مراد, واختلفوا فى تعيين ما يليق بجلاله من المعانى المحتملة, فسكت السلف عنه وأوله المتأولون

Artinya : Ulama Salaf dan Ahli takwil sepakat bahwa sesungguhnya Nash-Nash yang tidak layak dengan Allah SWT itu bukan yang dimaksudkan. Dan mereka berbeda pendapat dalam menentukan makna yang layak dengan Allah SWT, maka para Salaf dia (tidak menentukan makna yang di maksudkan), sedangkan ahli takwil menentukan maknanya.(Imam Ibnu Jamaah, Idhah ad-Dalil fi Qath’ Hujaj ahl Ta’thil, hal 105, Dar Salam th 1990)

Imam ‘Adi bin Musafir (w. 557 H) mengatakan

وتقرير مذهب السلف كما جاء من غير تمثيل ولا تكييف ولا تشبيه ولا حمل على الظاهر


Artinya : Uraian mazhab Salaf adalah sebagaimana yang datang dengan tidak tamsil (menyerupakan), tidak takyif (tidak menentukan kaifiyat), tidak tasybih (menyerupakan), dan tidak memberi makna dhahir. (I'tiqad Ahlus sunnah wal Jamaah hal 66)

Syaikh salamah Al-qadha’i Al-‘azami mengatakan

تنبيه مهم : اذا سمعت فى عبارات بعض السلف " انا نؤمن بأن له تعالى وجها لا كالوجوه ويدا لا كالأيدى" فلا تظن أنهم أرادوا أن ذاته العلية منقسمة إلى أجزاء وأبعاض, فجزء منها يد وجزء منها وجه غير أنه لا يشابه الأيدى والوجوه اللتى للخلق !! حاشاهم من ذلك وما هذا إلا التشبيه بعينه, وإنما أرادوا بذلك أن لفظ الوجه واليد قد استعمل فى معنى من المعانى, وصفة من الصفات التى تليق بالذات العلية كالعظمة والقدرة غير أنهم يتورعون عن تعيين تلك الصفة تهيبا من التهجم على ذلك المقام الأقداس.

Artinya : Pemberitahuan penting; Apabila engkau mendengar perkataan ulaam Salaf “ kami beriman sesungguhnya Allah SWT ada wajh tidak seperti segala wajh dan ada yad (arti yad secara lughat adalah tangan) tidak seperti segala yad” maka jangan engkau mengira sesungguhnya Salaf bermaksud bahwa Zat Allah SWT terbagi kepada beberapa juzuk, dan bgaian, sebagian juzuknya tangan, juzuk yang lian wajah tetapi tidak sama seperti tangan dan wajah bagi makhluk.! ! Mustahil mereka bersikpa demikian, ini tak lain adalah tasybih bi’ainih (diri tasybih), hanyasanya maksud mereka sesungguhnya lafaz wajh dan yad sungguh di pakai pada satu makna dari beberapa makna dan satu sifat dari beberapa sifat yang layak dengan zat Allah SWT seperti keagungan dan kekuuasaan namun mereka enggan untuk menentukan (salah satu) demikian sifat karena takut dari pada memasuki maqam Yang Mahma Suci. (Syeikh Salamah Qadha’i al-Azami asy-Syafii, Furqan al-Quran baina Shifat Khaliq wa Shifat al-Akwan, hal 80, Dar Ihya Turats Arabi, tt)

Maka dari uraian para ulama tersebut dapat di pahami bahwa antara ulama salaf dan khalaf sepakat bahwa nash-nash mutasyabihat tidak boleh di pahami dengan makna dhahirnya. Mereka sepakat bahwa wajib meyakini Allah bersih dari semua sifat-sifat yang khusus para makhluk (tanzih) seperti jisim. Perbedaan pendapat hanya terjadi pada masalah apakah di beri makna yang menjadi maksud dari nash tersebut ataupun tidak. Para ulama salaf tidak menentukan makna yang di maksudkan sedangkan ulama khalaf menafsirkannya menurut makna yang layak bagi Allah dengan penafsiran yang sesuai dengan qaedah ilmu Arabiyah. Takwil yang tidak boleh adalah takwil yang tidak sesuai dengan qaedah ilmu Arabiyah.

Wallahu A'lam bish shawab.

Referensi:
  1. Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Dar hadits th 2004
  2. Imam Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, Beirut, Dar Ma’rifah th 1391 H
  3. Imam Ath-Thabari,Tafsir Thabari, Muassis ar-Risalah th 2000
  4. Imam Nawawi, Majmuk Syarh Muhazzab, Dar Kutub Ilmiyah 2007
  5. Imam Nawawi, Syarh Muslim, Dar Turast Arabi th 1392 H
  6. Imam Ibnu Jamaah, Idhah ad-Dalil fi Qath’ Hujaj ahl Ta’thil, Dar Salam th 1990
  7. Syeikh Salamah Qadha’i al-Azami asy-Syafii, Furqan al-Quran baina Shifat Khaliq wa Shifat al-Akwan, Dar Ihya Turats Arabi, tt


Di tulis oleh (Lajnah Bahtsul Masail Mahadal Ulum Diniyah Islamiah)
Pada tanggal 23.4.14 Dalam kategori Ahlus sunnah Wal Jamaah dengan judul Takwil dan Tafwidh menurut Ulama Salaf dan Khalaf

Kamis, 24 September 2015

Meluruskan Pemahaman Syeikh Ali Jaber Tentang Qurban





Sebuah video kontroversial seputar penyelenggaraan ibadah qurban beredar di jejaring media Youtube. Video berjudul “Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Qurban – Ceramah Syekh Ali Jaber” membuat masyarakat khususnya orang awam resah dan kembali bertanya-tanya perihal hukum dan persoalan ibadah qurban. Bahkan video itu sampai menimbulkan fitnah di tengah masyarakat sebagaimana diungkapkan oleh akun Rustin Faisal yang mengatakan:


Dengan beradarnya video ceramah Syekh Ali Bajeber (Jaber) di tengah masyarakat, banyak orang-orang awan yang salah dalam pemahaman. Sehingga yang terjadi sekarang ada beberapa tukang jual sapi yang sudah dipesan untuk dibeli atau pengurus masjid yang sudah biasa dia berkorban di masjid itu dengan seekor sapi untuk sekeluarga, merasa kecewa dan bingung karena dibatalkan (pembelian sapinya atau qurban sapinya) dengan (diganti) membeli seekor kambing, dan disalurkan ke masjid/ majelis ta’lim dengan niat untuk (qurban) sekeluarga dengan tanpa nama perorangan. Ketika ditanya darimana hukumnya, orang tersebut bilang dari ceramahnya Syekh Ali Bajeber (Jaber) yang dia anggap lebih ‘alim dan mengerti daripada ulama-ulama yang ada di kampung/ daerahnya. Inilah realita yang terjadi di tengah masyarakat awam kita“.

Video yang diunggah oleh akun Muhammad Setiawan pada 5 September 2015 itu sebenarnya adalah video lama yang terjadi setahun yang lalu, tepatnya pada 3 Oktober 2014 saat Syekh Ali Jaber berceramah di Masjid Ar-Rahim, Menara 165 ESQ, Jakarta. Video ini kemudian diedarkan di dunia maya oleh beberapa website menjelang Hari Raya Idul Adha 1436 H (September 2015), diantaranya tercatat ada website Bersama Islam, PKS Piyungan, dan beberapa blog gratisan dengan isi dan judul yang sama “Meluruskan Pemahaman Tentang Qurban Oleh Syeikh Ali Jaber”.
Dalam video berdurasi 10 menit 34 detik itu, Syekh Ali Jaber membuka pernyataannya dengan mengatakan bahwa pemahaman masyarakat Indonesia tentang qurban masih banyak yang salah. Syekh asal Arab Saudi yang sering tampil di beberapa televisi nasional ini bahkan “menuduh” umat Islam di Indonesia adalah umat Islam keturunan, yang asal tahu saja, yang jauh dari pemahaman. Seolah-olah muslim Indonesia itu asal-asalan, asal denger, asal lihat, dan tidak punya dasar dalil yang kuat. Innalillah…
Lebih lanjut, Syekh Ali Jaber mencoba “meluruskan” pemahaman tentang hitungan hewan qurban yang dianggapnya keliru. Dikatakan qurban itu hitungannya per keluarga bukan per orang. Jika dalam satu keluarga itu ada 45 anggota keluarga yang terdiri dari 1 suami, 4 istri, dan 40 anak, maka cukup berkurban wajib 1 ekor kambing saja, tidak lebih dari itu kewajibannya. Sehingga 1 ekor Sapi untuk 7 orang itu pemahaman yang sebenarnya keliru. Kemudian saat penyembelihannya kita cukup dengan Bismillah atas namaku dan keluarga, tidak perlu menyebutkan data nama keluarga yang berkurban. Selain itu, Syekh Ali Jaber juga menyatakan hukum qurban itu adalah wajib, sampai beberapa kali berkata wajib: wajib sapi, wajib satu ekor kambing, dan lain-lain.
Untuk selengkapnya, berikut kami sajikan transkip cuplikan perkataan Syekh Ali Jaber dalam video tersebut:
“Memang persoalan qurban, Saya jujur saja selama di Indonesia masih banyak salah pemahaman terhadap qurban. Dan Saya pernah berkata memang Islam kita di Indonesia Islam Keturunan. Yah, jadi asal tahu saja (sambil tertawa cengengesan), tapi dari segi pelajaran, mohon maaf ya kita terlalu jauh, jauh terhadap pemahaman. Yang saya maksud kita melaksanakan sesuatu tapi kita sudah belajar sudah tahu, bukan hanya asal, eh.. saya dengar, eh.. saya lihat saya bukan sebatas itu tapi kita punya dasarnya. Dan ini kelemahannya, diantaranya qurban.
Saya pernah mendengar, bukan, malah sering mendengar soal qurban dihitungkan per orang. Jadi keluarga, suami istri sama lima anak, berarti jumlah tujuh (orang) wajib (satu) sapi. Kalau, apa namanya, kurang daripada itu atau misal suami istri tidak mampu boleh ini tahun qurban kambing atas nama suami, tahun depan atas nama istrinya (sambil cengengesan). Ini hal keliru sebenarnya. Yang dihitungkan soal qurban beda sama aqiqah dan beda sama zakat fitrah. Zakat fitrah sama aqiqah terhitung per orang. Aqiqah laki-laki 2 kambing, untuk perempuan 1 (kambing). Kalau tidak mampu boleh. Kalau ada kembar laki sama perempuan berarti tiga kambing, tapi kalau tidak mampu boleh 1 kambing, gak masalah. Dan gak ada istilah sekarang saya qurban tapi nanti sisanya seolah-olah ada hutang sama Allah. Sesuai kemampuan kita, diantaranya qurban.
Qurban hitungannya per keluarga bukan per orang. Buktinya Rasul shollallohu ‘alaih wa sallam dan juga cerita Nabi Ibrahim. Ketika Nabi Ibrahim mau sembelih Nabi Isma’il, Allah turunkan apa? Pengganti sembelihan Nabi Isma’il dengan ekor kambing dari surga, berapa ekor kambing? Satu. Padahal Nabi Ibrahim punya istri dua dan anak. Ada istri Siti Hajar dan Sarah, kemudian anaknya Isma’il dan Ishaq, berarti semuanya berapa? Lima (orang). Kenapa Allah tidak turunkan lima ekor kambing (untuk lima orang)? Karena hitungannya memang satu keluarga (bukan per orang).
Yang kedua, Rasul sendiri sembelih dua kambing. Pertama, Bismillah atas nama Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad. Padahal kita tahu keluarga Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam termasuk keluarga besar, sebelas istri belum lagi anaknya laki-laki sama perempuan, ada yang hidup maupun sudah mati. Sudah termasuk semua, yang hidup maupun mati. Yang kedua, Rasul sembelih sembelihan yang kedua atas namaku dan ummatku. Ummatnya berapa miliyar? Cuman satu ekor kambing. Kenapa Rasul shollallohu ‘alaih wa sallam berqurban atas nama dirinya dan ummatnya? Saya mengambil salah satu di sini tentang sayangnya Rasul kepada ummatnya. Jadi, saya selalu berkata orang miskin yang tidak mampu berkurban seharusnya bangga di hari qurban karena Rasul sudah kurbankan duluan atas nama dia. Jadi, terimakasih ya Rasulallah, ingatkan kita yang kita tidak mampu (berkurban) Rasul sudah (kurbankan). Bahkan kalau Rasul sudah qurban atas nama ummatnya yang tidak mampu berarti sudah terkabul. Kita aja belum tahu qabul atau tidak kalau kita berkurban, tapi kalau Rasul sudah terjamin maqbul. Oleh sebab itu, hitungan qurban itu adalah satu keluarga. Misal, bapak punya istri, punya anak. Itu kalau mampu (satu ekor) sapi silahkan. Mampu seribu sapi silahkan. Kalau soal kemampuan gak ada masalah. Tapi kalau soal kewajiban, nggak ada wajib lebih daripada satu ekor kambing. Satu ekor kambing. Misal, kalau bapak punya istri empat, misal misal, cuman ini misal, istrinya empat. Setiap istri anaknya sepuluh. Berarti jumlah berapa? Anak empat puluh, istri empat, berarti empat puluh empat, sama bapak (jadinya) empat puluh lima. Wajib satu ekor kambing saja, cukup untuk semuanya. Tapi kalau soal mampu ya silahkan, mau seribu kambing boleh, mau seribu sapi boleh, nggak ada yang melarang kalau soal kemampuan.
Dan kalau kita mau sembelih (ucapkan) Bismillah atas namaku dan keluarga. Tidak perlu bawa data-data nama keluarga. Jadi sebutkan, tukang sembelihnya capai menunggu sampai sebutkan nama-nama. Nggak perlu. Sudah Bismillah atas namaku dan keluarga, termasuk atas namaku dan keluarga, (adalah) termasuk orangtua yang sudah meninggal. Termasuk orangtua yang sudah meninggal karena kita adalah hasil daripada orangtua. Itu sudah termasuk, tidak perlu kita sebutkan. Ada sebagian ulama membolehkan kalau kita mampu mau khusus kambing atas nama orangtua tidak masalah, kalau kita mampu. Tapi kalau kita tidak mampu, itu sudah termasuk orangtua kita bersama keluarga besar kita. Ini salah satu kenikmatan dan ini juga termasuk sedekah yang berguna bagi orang yang sudah meninggal di keluarga kita. Wallohu Ta’ala”.
Menanggapi pernyataan di atas, Anggota Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur (LBM PWNU Jatim), Ustadz Muhammad Ma’ruf Khozin berkomentar. Dalam akun Facebooknya, Alumni Pondok Pesantren Al Falah Ploso, Mojo, Kediri ini menjawab tuduhan Syekh Ali Jaber seputar masalah qurban yang diamalkan umat Islam di Indonesia.
Pertama, Syekh Ali Jaber mengatakan hukum qurban adalah wajib. Mantan Ketua LBM PCNU Surabaya ini menjawab:
“Boleh Anda berpendapat seperti itu, namun pendapat seperti ini dibantah oleh ahli hadits bermadzhab Syafi’iyyah yaitu Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari.
Diantara hadits yang menunjukkan qurban adalah sunah sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:كُتِبَ عَلِيَّ النَّحْرُ وَالذَّبْحُ وَلَمْ يُكْتَبْ عَلَيْكُمْ (رواه الطبراني)


Yang artinya: Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah bersabda: Menyembelih qurban wajib bagiku dan tidak diwajibkan bagi kalian (Hadits Riwayat al-Thabrani). Hadis ini juga memiliki banyak jalur riwayat meskipun dhaif.

Terbukti juga seorang sahabat berkata:

قَالَ اِبْن عُمَر : هِيَ سُنَّة وَمَعْرُوف (رواه البخاري)


Yang artinya: Ibnu Umar berkata: Qurban adalah sunah dan telah diketahui (Hadits Riwayat al-Bukhari).

Imam Syafii juga berkata:

قَالَ الشَّافِعِي وَبَلَغَنَا أَنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا كَانَا لاَ يُضَحِّيَانِ كَرَاهِيَةَ أَنْ يُرَى أنَّهَا وَاجِبَةٌ (مختصر المزني مع الأم 8/ 283)


Yang artinya: Telah sampai kepada kami bahwa Abu Bakar dan Umar (pernah) tidak menyembelih qurban karena khawatir akan dianggap wajib (Mukhtashar al-Muzani 8/283).

Oleh karenanya ahli hadits Imam al-Tirmidzi berkesimpulan:

قَالَ التِّرْمِذِيّ : الْعَمَل عَلَى هَذَا عِنْد أَهْل الْعِلْم أَنَّ الْأُضْحِيَّة لَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ


Yang artinya: Menurut para ulama bahwa qurban tidak wajib.

Pertanyaan untuk Syekh: Apakah seperti yang diamalkan Muslim Indonesia ini salah, Syekh?”

Kedua, terkait hitungan qurban yang dikatakan Syekh Ali Jaber per-keluarga, bukan per-orang. Dikatakan, jika dalam satu keluarga itu ada 45 anggota keluarga yang terdiri dari 1 suami, 4 istri, dan 40 anak, maka cukup berkurban wajib 1 ekor kambing saja, tidak lebih dari itu kewajibannya. Ustadz Ma’ruf Khozin pun angkat bicara mengenai hitungan qurban ala Syekh ini dan berkata:

“Syekh Ali Jaber ini mengambil dari beberapa pendapat ulama berikut:

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ


Yang artinya: Inilah (satu kambing untuk 1 keluarga) yang diamalkan oleh sebagian ulama. Ini adalah pendapat Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahwaih.

Namun Imam al-Tirmidzi masih melanjutkan:

وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ لاَ تُجْزِئُ الشَّاةُ إِلاَّ عَنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَهُوَ قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ وَغَيْرِهِ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ. (سنن الترمذى – ج 6 / ص 136)


Yang artinya: Menurut sebagian ulama yang lain, 1 kambing tidak cukup kecuali untuk 1 orang. Ini adalah pendapat Abdullah bin Mubarak dan ulama lainnya (Sunan al-Tirmidzi, 6/136).

Pendapat Ibnu Mubarak inilah yang sejalan dengan madzhab Syafi’iyyah dan diamalkan oleh Muslim Indonesia. Imam al-Nawawi berkata:

(فرع) تَجْزِئُ الشَّاةُ عَنْ وَاحِدٍ وَلَا تَجْزِئُ عَنْ أَكْثَرَ مِنْ وَاحِدٍ لَكِنْ إِذَا ضَحَّى بِهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ تَأَدَّى الشِّعَارَ فِي حَقِّ جَمِيْعِهِمْ وَتَكُوْنُ التَّضْحِيَةُ فِي حَقِّهِمْ سُنَّةَ كِفَايَةٍ (المجموع ج 8 / ص 397)


Yang artinya: Kambing mencukupi untuk 1 orang dan tidak mencukupi untuk 1 orang lebih. Namun, jika ada 1 orang menyembelih kambing untuk 1 keluarga, maka ia telah melakukan syiar untuk keluarganya dan qurban menjadi sunah kifayah bagi mereka (al-Majmu’, 8/397).

Pertanyaan untuk Syekh: Apakah Muslim Indonesia ini memang Islam Keturunan yang hanya taklid, ataukah sudah menjadi amaliah sejak masa ulama Salaf, Syekh?”

Terakhir, Syekh Ali Jaber mengatakan bahwa penyembelihan qurban cukup dengan menyebut Bismillah atas namaku dan keluargaku, tidak perlu menyebutkan nama keluarga satu persatu, dan di dalamnya juga sudah termasuk untuk orangtua yang sudah meninggal. Maka dijawab oleh Ustadz Ma’ruf Khozin dengan indah melalui sebuah hadits riwayat Imam al-Baihaqi sebagai berikut:

“Perihal menyebut nama seperti yang Anda sampaikan memang sudah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi yang terjadi di negeri kami, hewan yang disembelih biasanya tidak disembelih sendiri, melainkan diwakilkan kepada orang lain untuk menyembelih. Maka wakil tersebut sah-sah saja menyebut nama-nama pemilik qurban:

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا : لاَ يَذْبَحُ أُضْحِيَّتَكَ إِلاَّ مُسْلِمٌ وَإِذَا ذَبَحْتَ فَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ فُلاَنٍ (سنن البيهقى – ج 2 / ص 27)


Yang artinya: Ibnu Abbas berkata: “Hanya orang muslim yang menyembelih qurbanmu. Jika kamu menyembelih, ucapkan: Bismillah, Ya Allah ini dari-Mu dan untuk-Mu. Ya Allah terimalah qurban si fulan… (Hadits Riwayat al-Baihaqi).”


Sebelumnya, respon serupa juga dihadirkan oleh Pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah Al-Bahjah Cirebon Jawa Barat, KH Yahya Zainul Maarif, atau yang akrab disapa Buya Yahya. Melalui video berdurasi singkat yang diunggah oleh akun Al-Bahjah TV pada 20 September 2015 dengan judul “Buya Yahya | Koreksi Tentang Qurban”, beliau menyatakan perlunya menjelaskan masalah tentang qurban tersebut menurut madzhab Imam Syafi’i yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia agar tidak menimbulkan fitnah di kalangan ummat.

Buya Yahya memaparkan bahwasanya menurut madzhab Imam Syafi’i hukum menyembelih qurban adalah sunnah yang sangat dikukuhkan (sunnah muakkad), bukan wajib sebagaimana dikatakan Syekh Ali Jaber. Menurut madzhab Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal juga sama, hukumnya sunnah yang dikukuhkan. Sedangkan Imam Abu Hanifah menghukumi wajib tetapi ada syarat-syarat tertentu.

Dan hukum sunnah berkurban ini ada dua, yaitu sunnah ‘ainiyyah dan sunnah kifayah, sebagaimana diungkapkan oleh Buya Yahya. Sunnah ‘ainiyyah artinya setiap kepala (setiap orang) disunnahkan untuk menyembelih satu qurban jika mampu. Sedangkan sunnah kifayah ini dijelaskan bahwa jika satu keluarga sudah ada yang melakukan qurban satu, maka permintaan bagi yang lain sudah tidak ada, tetapi jika ada yang melakukannya tetap dihukumi sunnah.
Mengenai hitungan qurban yang dikatakan Syekh Ali Jaber per-keluarga, bukan per-orang, sehingga qurban 1 sapi untuk 7 orang dikatakan keliru dan tidak benar, Buya Yahya menjawab dengan mengetengahkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dalilnya adalah hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

نَحَرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحُدَيْبِيَّةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ


“Kami pernah menyembelih bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu Hudaibiyyah seekor unta untuk 7 orang dan seekor sapi untuk 7 orang.” (Hadits Riwayat Muslim).

Untuk selengkapnya silahkan simak video Koreksi Tentang Qurban bersama Buya Yahya berikut ini:



KH MISBAHUL MUNIR KHOLIL MENJAWAB SYEKH ALI JABER
KH Misbahul Munir Kholil, Pengasuh Pondok Pesantren Ilmu Qur'an Al Misbah Jakarta yang juga Alumni Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur, Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PP LDNU), dan Pengurus Komiisi Fatwa MUI DKI Jakarta menjawab ceramah Syekh Ali Jaber seputar permasalahan qurban.



Penjelasan Qurban 1 Kambing untuk 1 Keluarga









Didalam Mughnil Muhtaj juz 4 hal. 359 cetakan Daarul Fikr menjelaskan bahwa:

“Dipandang dari hukum asalnya, kambing yang telah ditentukan untuk qurban, maka hanya cukup untuk 1 orang saja. Namun, ketika ada seseorang yang menyembelih 1 kambing diniati untuk dirinya dan keluarganya, atau dia menyembelih kambing untuk dirinya dan orang lain, maka hal itu diperbolehkan”. Karena adanya hadist Nabi SAW riwayat Muslim: bahwasanya Nabi SAW menyembelih dua kambing, dan beliau berdo’a: “Ya Allah, terimalah (kambing kurban ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad dan umat Muhammad”. Ini menjelaskan bahwa udhiyah (qurban) adalah sunnah kifayah (jika 1 orang melakukannya maka gugurlah kesunnahan yang lain) dan 1 orang tersebut mewakili ahli keluarga seperti hukum memulai mengucapkan salam dan menjawab hamdalah bagi yang bersin.

Di dalam kitab Majmu’ Imam Nawawi menjelaskan bahwa:

Termasuk yang diambil dalil dari pendapat ini adalah hadist shohih di dalam kitab Al-Muwattho’: Bahwa Abu Ayyub Al-Anshory berkata, “Suatu hari kita menyembelih kurban satu kambing, yang mana hal itu dilakukan oleh satu laki-laki dan diperuntukkan untuk dirinya dan keluarganya. Setelah itu para masyarakat saling berlomba melakukan hal tersebut, hingga hal itu menjadi sebuah kebanggan. Akan tetapi pahala dari kurban sebenarnya adalah untuk orang yang menyembelih itu saja. Karena dialah yang melakukannya. Sebagaimana orang yang menggugurkan kewajiban fardhu kifayah, maka yang mendapatkan pahala juga hanya yang melakukan saja.

Di dalam kitab Ianatut Tholibin juz 2 hal. 330 cetakan Al-Haramain menjelaskan bahwa:

Jika salah satu anggota keluarga sudah qurban maka satu keluarga sudah tidak ada lagi tuntutan dan semua sudah mendapat kesunnahan yang walaupun disunnahkkan bagi tiap individu di keluarga tersebut.

Di jelaskan dalam kitab Tuhfah: yang dimaksud sunnah kifayah adalah gugur tuntutan kesunnahan bagi yang lain untuk mengerjakannya namun dari segi pahala tetap orang yang melakukan qurban yang mendapatkan pahalanya bukan yang lainnya.

KESIMPULAN:

Di dalam madzhab kita Madzhab Syafi’i, ulama Syafiiyah membagi hukum kesunnahan qurban menjadi 2:

Sunnah ‘Ainiyah (jika ada satu orang melakukan qurban maka yang lain belum gugur kesunnahannya)

Sunnah kifayah (jika ada satu orang yang melakukan qurban maka yang lain sudah gugur kesunnahannya, namun pahala tetap untuk satu orang yang melakukannya)

Semoga bermanfaat. 

Terkait :
Masalah Qorban dalam islam

Datangi MUI Pusat, Syekh Ali Jaber Minta Bimbingan dan Mohon Maaf Kepada Umat Islam Indonesia



Datangi MUI Pusat, Syekh Ali Jaber Minta Bimbingan dan Mohon Maaf Kepada Umat Islam Indonesia
Pada Selasa kemarin (29/9/2015), Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH Muhammad Cholil Nafis, Ph.D menerima tamu Syeikh Ali Jaber di Kantor MUI Pusat. Kiai Cholil Nafis menyampaikan bahwa kedatangan Syekh Ali Jaber tersebut untuk menjelaskan isi ceramahnya yang menimbulkan polemik di masyarakat beberapa waktu lalu (Baca: Meluruskan Pemahaman Syeikh Ali Jaber Tentang Qurban dan Video: Meluruskan Kesalahpahaman Syekh Ali Jaber Seputar Qurban).
Menurut Kiai Cholil, ada beberapa hal yang disampaikan Syekh Ali Jaber.
Pertama, Syekh Ali Jaber meminta arahan dan bimbingan kepada MUI terkait aktivitas dakwahnya di Indonesia. “Meminta arahan dan bimbingan MUI berkenaan dengan aktifitas dakwahnya di Indonesia. Jika ada kesalaha siap memperbaiki,” kata dia.
Kedua, Syekh Ali Jaber meminta maaf kepada MUI dan Umat Islam di Indonesia jika ada kata-kata yang meresahkan. Memang menurut Cholil, dengan latar belakangnya yang berasal dari Madinah bisa terjadi kesalahpahaman dari pemilihan kata yang dilakukan Syekh Ali Jaber yang sudah menjadi WNI pada 2011. “Mungkin karena tak begitu fasih bahasa Indonesia sehingga ucapannya bisa disalahpahami.,” kata dia.
Kiai Cholil menyarankan agar Syekh Ali Jaber menggunakan tutur kata yang lebih halus dan lebih bijak sesuai dengan budaya Indonesia.
“Ya mungkin harus lebih halus dan disesuaikan dengan budaya Indonesia. Tutur katanya mungkin belum pas, jadi ada salah paham. Harus lebih halus dan lebih bijak,” ujar Cholil.
Ketiga, tidak ada niatan Syekh Ali Jaber berkenaan dengan ucapannya untuk mendiskreditkan masyarakat muslim Indonesia. “Hal itu semata-mata menirukan apa yang pernah didengarnya,” lanjut Cholil.
Keempat, soal tawassul dan qurban tak ada niat untuk masuk masalah khilafiyah. “Kalau ada ucapan yang berbeda pendapat mohon diluruskan oleh MUI dan asatidz,” terang Cholil.
Kelima, siap melakukan dan bekerjasama dengan siapapun khsususnya dengan para asatidz demi persatuan umat Islam dan menyebar dakwah yang damai.
Kiai Cholil yang mewakili MUI Pusat menyarankan Syekh Ali Jaber agar dalam berdakwah untuk menghindari masalah khilafiyah.
“Kami menyarankan dalam berdakwah menghindari khilafiyah, ya silakan dia mempunyai dalil tapi jangan sampai menjadi kontra produktif,” tutur Cholil.
Dan berikut adalah penjelasan lengkap KH Muhammad Cholil Nafis terkait polemik ceramah Syekh Ali Jaber, sebagimana tertulis dalam akun Facebooknya:
Walhamdulillah tadi siang (Rabu, 29 September 2015) saya di MUI Pusat menerima tamu Syaikh Ali Jabir berkenaan dengan beberapa polemik di sosial media. Syaikh Ali Jabir menyatakan beberapa hal kepada MUI:
  1. Meminta arahan dan bimbingan MUI berkenaan dengan aktifitas dakwahnya di Indonesia. Jika ada kesalahan siap memperbaiki.
  2. Mohon maaf kepada MUI dan masyarakat Indonesia jika ada kata-kata yang meresahkan. mungkin karena tak begitu fasih bahasa Indonesia sehingga ucapannya bisa disalahpahami.
  3. Tidak ada niatan berkenaan dengan ucapannya untuk mendiskreditkan masyarakat muslim Indonesia. Hal itu semata-mata menirukan apa yang pernah didengarnya.
  4. Soal tawassul dan qurban tak niat untuk masuk masalah khilafiyah sehingga kalau ucapan yang berbeda pendapat mohon diluruskan oleh MUI dan asatidz.
  5. Siap melakukan dan bekerjasama dengan siapapun khsususnya dengan para asatidz demi persatuan umat Islam dan menyebar dakwah yang damai.
Inilah poin-posn Silaturrahim Syaikh Ali Jabir dengan Pengurus Komisi Dakwah yg baru saja dikukuhkan.
MUI menyambut baik dan menghargai ketulusan Syaikh Ali Jabir yang dengan tawadhu’ meminta bimbingan kepada MUI dan memohon maaf kepada masyarakat. Akhlak da’i harus menjadi teladan kepada umat. Mudah-mudahan antar da’i dapat saling mengingatkan dengan cara yang baik dan sopan sehingga tidak membingungkan umat.
Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat
Cholil Nafis, Ph D.
Keterangan Foto: Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH Muhammad Cholil Nafis, Ph.D bersama Syeikh Ali Jaber di Kantor MUI Pusat (29/9/2015).
(Berbagai sumber)

Rabu, 23 September 2015

Masalah Qorban dalam islam

Download ebooknya di sini: http://www.elhooda.net/…/download-risalah-fiqih-qurban-di-…/

I. PENGERTIAN QURBAN
Qurban bahasa Arabnya adalah الأضحية (al-udhiyah) diambil dari kata أَضْحَى (adh-ha).
Makna أَضْحَى (adh-ha) adalah permulaan siang setelah terbitnya matahari dan dhuha yang selama ini sering kita gunakan untuk sebuah nama sholat, yaitu sholat dhuha di saat terbitnya matahari hingga menjadi putih cemerlang.
Adapun الأضحية (al-udhiyah/ qurban) menurut syariat adalah sesuatu yang disembelih dari binatang ternak yang berupa unta, sapi dan kambing untuk mendekatkan diri kepada Allah yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan Hari Tasyriq. Hari Tasyriq adalah hari ke 11, 12, dan 13 Dzulhijah.

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ (رواه الدارقطنى و البيهقى)

“Semua hari-hari Tasyriq adalah (waktu) menyembelih qurban” (Hadits Riwayat Ad-Daruquthni dan Al Baihaqi didalam As-Sunanul Kubro).

II. HUKUM QURBAN
Hukum menyembelih qurban menurut madzhab Imam Syafi’i dan jumhur Ulama adalah sunnah yang sangat diharap dan dikukuhkan. Ibadah Qurban adalah termasuk syiar agama dan yang memupuk makna kasih sayang dan peduli kepada sesama yang harus digalakkan.
Dan sunnah disini ada 2 macam :
- Sunnah ‘Ainiyah, yaitu: Sunnah yang dilakukan oleh setiap orang yang mampu.
- Sunnah Kifayah, yaitu: Disunnahkan dilakukan oleh sebuah keuarga dengan menyembelih 1 ekor atau 2 ekor untuk semua keluarga yang ada di dalam rumah.
Hukum Qurban menurut Imam Abu Hanifah adalah wajib bagi yang mampu. Perintah qurban datang pada tahun ke-2 (dua) Hijriyah. Adapun qurban bagi Nabi Muhammad SAW adalah wajib, dan ini adalah hukum khusus bagi beliau.
Kapan qurban menjadi wajib dalam madzhab Imam Syafi’i dan jumhur Ulama?
Qurban akan menjadi wajib dengan 2 hal:
- Dengan bernadzar, seperti: Seseorang berkata, “Aku wajibkan atasku qurban tahun ini.” Atau “Aku bernadzar qurban tahun ini.” Maka saat itu qurban menjadi wajib bagi orang tersebut.
- Dengan menentukan, maksudnya: Jika seseorang mempunyai seekor kambing lalu berkata, “Kambing ini aku pastikan menjadi qurban.” Maka saat itu qurban dengan kambing tersebut adalah wajib.
Dalam hal ini sangat berbeda dengan ungkapan seseorang: “Aku mau berqurban dengan kambing ini. “ Maka dengan ungkapan ini tidak akan menjadi wajib karena dia belum memastikan dan menentukan. Dan sangat berbeda dengan kalimat yang sebelumnya, yaitu “Aku jadikan kambing ini kambing qurban.”
Dan mohon diperhatikan hal ini, karena hal ini sangat penting.

III. WAKTU MENYEMBELIH QURBAN
Waktu menyemblih qurban itu diperkirakan dimulai dari: Setelah terbitnya matahari di hari raya qurban dan setelah selesai 2 roka’at sholat hari raya Idul Adha ringan dan 2 khutbah ringan (mulai matahari terbit + 2 rokaat + 2 khutbah), maka tibalah waktu untuk menyemblih qurban. Bagi yang tidak melakukan sholat hari raya ia harus memperkirakan dengan perkiraan tersebut atau menunggu selesainya sholat dan khutbah dari masjid yang ada di daerah tersebut atau sekitarnya. Dan waktu menyembelih qurban berakhir saat terbenamnya matahari di hari tasyrik tanggal 13 Dzulhijjah.
Sebaik-baik waktu menyembelih qurban adalah setelah sholat dan khutbah hari Idul Adha.

عَنِ البَرَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ تَمَّ نُسُكُهُ، وَأَصَابَ سُنَّةَ المُسْلِمِينَ (رواه البخارى : 5545 )

Dari Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Barangsiapa menyembelih hewan kurban setelah shalat Idul Adha, maka sembelihannya telah sempurna dan ia sesuai dengan sunnah kaum muslimin.” (Hadits Riwayat Bukhari no. 5545).
Catatan penting:
Jika seseorang menyembelih sebelum waktunya, atau sudah kelewat waktunya, misalnya: menyembelih di malam hari raya raya idul adha atau menyembelih setelah terbenamnya matahari tanggal 13 hari Tasryiq maka sembelihan itu tidak menjadi qurban dan menjadi sedekah biasa. Maka hendaknya bagi panitia qurban untuk memperhatikan masalah ini.

عَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ، ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا، وَمَنْ نَحَرَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ، لَيْسَ مِنَ النُّسْكِ فِي شَيْءٍ (رواه البخارى : 965 )

Dari Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Sesungguhnya hal pertama yang kita mulai pada hari ini adalah kita melaksanakan shalat (Idul Adha), kemudian kita pulang dan menyembelih. Barangsiapa melakukan hal itu niscaya ia telah sesuai dengan as-sunnah. Adapun barangsiapa menyembelih hewan sebelum shalat Idul Adha, maka sembelihannya tersebut adalah daging yang ia berikan untuk keluarganya, bukan termasuk daging hewan kurban (untuk mendekatkan diri kepada Allah).” (Hadits Riwayat Bukhari no. 965).

IV. SYARAT ORANG YANG BERQURBAN
1. Seorang muslim / muslimah
2. Usia baligh
Baligh ada 3 tanda, yaitu:
a. Keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan) pada usia 9 tahun hijriah.
b. Keluar darah haid usia 9 tahun hijriah (bagi anak perempuan)
c. Jika tidak keluar mani dan tidak haid maka di tunggu hingga umur 15 tahun. Dan jika sudah genap 15 tahun maka ia telah baligh dengan usia yaitu usia 15 tahun
Dan jika ada anak yang belum baligh maka tidak diminta untuk melakukan qurban, akan tetapi sunnah bagi walinya untuk berqurban atas nama anak tersebut.
3. Berakal, maka orang gila tidak diminta untuk melakukan kurban, akan tetapi sunnah bagi walinya untuk berqurban atas nama orang gila tersebut.
4. Mampu. Mampu disini adalah punya kelebihan dari makanan pokok, pakaian dan tempat tinggal untuk dirinya dan keluarganya di hari raya Idul Adha dan hari Tasyriq.
Maka bagi siapapun yang memenuhi syarat-syarat tersebut, sunnah baginya untuk melakukan ibadah qurban.

V. MACAM-MACAM BINATANG YANG BOLEH DIJADIKAN QURBAN
1. Unta, diperkiraan umurnya 5 – 6 tahun.
2. Sapi, atau Kerbau diperkirakan umurnya 2 tahun ke atas.
3. Kambing / Domba dengan bermacam- macam jenisnya, diperkirakan umurnya 1- 2 tahun.
VI. HIMBAUAN PEMILIHAN BINATANG QURBAN
Dihimbau (tapi tidak wajib): Gemuk dan Sehat, dengan warna apapun.

VII. SIFAT-SIFAT BINATANG YANG TIDAK BOLEH DIJADIKAN QURBAN
1. Bermata sebelah / buta
2. Pincang yang sangat
3. Yang amat kurus, karena penyakit.
4. Berpenyakit yang parah

وَعَنِ اَلْبَرَاءِ بنِ عَازِبٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – “أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي اَلضَّحَايَا: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوَرُهَا, وَالْمَرِيضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَ وَالْكَسِيرَةُ اَلَّتِي لَا تُنْقِي”

( رَوَاهُ اَلْخَمْسَة. وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّان )
Dari Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-tengah kami dan berkata, “Ada empat cacat yang tidak dibolehkan pada hewan kurban: (1) buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya, (2) sakit dan tampak jelas sakitnya, (3) pincang dan tampak jelas pincangnya, (4) sangat kurus sampai-sampai seolah tidak berdaging dan bersum-sum.” (Dikeluarkan oleh yang lima (empat penulis kitab sunan ditambah dengan Imam Ahmad). Dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Keterangan:
Boleh berqurban dengan Kambing / Sapi/ Unta BETINA. Harap diperhatikan: Banyak masyarakat yang menganggap bahwa qurban dengan sapi /kambing /unta betina adalah tidak sah.

VIII. KESUNNAHAN DALAM MENYEMBELIH QURBAN
1. Dalam keadaan bersuci
2. Menghadap qiblat
3. Membaca:

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ….

“بِسْمِ اللهِ، واللهُ أَكْبَرُ، اللهُمَّ مِنْكَ، وَلَكَ….

Dan setelah itu berdoa :

اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّى

Kalau untuk mewakili nama orang :

(disebut namanya) اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ

4. Kesunnahan lain saat menyembelih qurban, hendaknya: Mulai awal bulan Dzulhijah tanggal 1 hingga saat menyembelih qurban agar tidak memotong/ mencabut rambut atau kukunya, seperti yang disabdakan Nabi SAW:

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ (رواه مسلم)

“Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.” (Hadits Riwayat Muslim).
5. Jika bisa, menyembelih sendiri bagi yang mampu.
6. Mempertajam kembali pisaunya
7. Mempercepat cara penyembelihan
8. Membaca Bismillah dan Takbir (seperti yang telah disebutkan) sebelum membaca doa.
9. Di depan warga, agar semakin banyak yang mendo’akannya.
10. Untuk qurban yang sunnah (bukan nadzar) disunnahkan bagi yang nadzar untuk mengambil bagian dari daging qurban biarpun hanya sedikit.

IX. CARA MEMBAGI DAGING QURBAN
- Jika qurban wajib karena nadzar: Maka semua dari daging qurban harus dibagikan kepada fakir miskin. Dan jika orang yang berqurban atau orang yang wajib dinafkahinya ikut makan, maka wajib baginya untuk menggantinya sesuai dengan yang dimakannya.
- Adapun jika qurban sunnah: Maka tidak disyaratkan sesuatu apapun dalam pembagiannya, asalkan ada bagian uintuk orang fakir miskin, seberapaun bagian tersebut. Dan dianjurkan untuk bisa membagi menjadi 3 bagian. 1/3 untuk keluarga, 1/3 untuk dihidangkan tamu, 1/3 untuk dibagikan kepada fakir miskin. Dan semakin banyak yang dikeluarkan tentu semakin besar pahalanya.

X. HUKUM MENJUAL DAGING QURBAN
Hukum menjual daging qurban adalah haram sebelum dibagikan. Adapun jika daging qurban sudah dibagi dan diterima, maka bagi si fakir yang menerima daging tersebut boleh menjualnya dan juga boleh menyimpannya. Begitu juga kulitnya, tidak diperkenankan untuk dijual atau dijadikan upah bagi yang menyembelih, akan tetapi bagi seorang tukang sembelih boleh menerima kulit serta daging qurban sebagai bagian haknya akan tetapi tidak boleh daging dan kulit tersebut dijadikan upah.

Maaf Syaikh Ali Jabir.....


Tulisan ini untuk menjawab tuduhan Syaikh Ali Jabir seputar masalah Qurban yang diamalkan umat Islam di Indonesia:
(SAJ) : “Hukum Qurban adalah wajib”
Jawaban: Boleh anda berpendapat seperti itu, namun pendapat seperti ini dibantah oleh ahli hadis bermadzhab Syafiiyah yaitu Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari.
Diantara hadis yang menunjukkan Qurban adalah sunah sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:كُتِبَ عَلِيَّ النَّحْرُ وَالذَّبْحُ وَلَمْ يُكْتَبْ عَلَيْكُمْ (رواه الطبراني)

“Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Menyembelih qurban wajib bagiku dan tidak diwajibkan bagi kalian” (HR al-Thabrani). Hadis ini juga memiliki banyak jalur riwayat meskipun dhaif
Terbukti juga seorang sahabat berkata:

قَالَ اِبْن عُمَر : هِيَ سُنَّة وَمَعْرُوف (رواه البخاري)

“Ibnu Umar berkata: Qurban adalah sunah dan telah diketahui” (Riwayat al-Bukhari)
Imam Syafii juga berkata:

قَالَ الشَّافِعِي وَبَلَغَنَا أَنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا كَانَا لاَ يُضَحِّيَانِ كَرَاهِيَةَ أَنْ يُرَى أنَّهَا وَاجِبَةٌ (مختصر المزني مع الأم 8/ 283)

"Telah sampai kepada kami bahwa Abu Bakar dan Umar (pernah) tidak menyembelih Qurban karena khawatir akan dianggap wajib" (Mukhtashar al-Muzani 8/283)
Oleh karenanya ahli hadis Imam al-Tirmidzi berkesimpulan:

قَالَ التِّرْمِذِيّ : الْعَمَل عَلَى هَذَا عِنْد أَهْل الْعِلْم أَنَّ الْأُضْحِيَّة لَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ

“Menurut para ulama bahwa Qurban tidak wajib”
Saya bertanya kepada Syaikh: “Apakah seperti yang diamalkan Muslim Indonesia ini salah, Syaikh?
(SAJ): “Hitungan Qurban itu per-keluarga, bukan per-orang. Misal, 1 keluarga ada 45 anggota keluarga (1 ayah, 4 istri dan 40 anak) maka cukup kewajibannya 1 kambing saja”
Jawaban: Syaikh Ali Jabir ini mengambil dari beberapa pendapat ulama berikut:

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ.

“Inilah (satu kambing untuk 1 keluarga) yang diamalkan oleh sebagian ulama. Ini adalah pendapat Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahwaih”
Namun Imam al-Tirmidzi masih melanjutkan:

وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ لاَ تُجْزِئُ الشَّاةُ إِلاَّ عَنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَهُوَ قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ وَغَيْرِهِ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ. (سنن الترمذى - ج 6 / ص 136)

“Menurut sebagian ulama yang lain, 1 kambing tidak cukup kecuali untuk 1 orang. Ini adalah pendapat Abdullah bin Mubarak dan ulama lainnya” (Sunan al-Tirmidzi, 6/136)
Pendapat Ibnu Mubarak inilah yang sejalan dengan madzhab Syafiiyah dan diamalkan oleh Muslim Indonesia. Imam al-Nawawi berkata:

(فرع) تَجْزِئُ الشَّاةُ عَنْ وَاحِدٍ وَلَا تَجْزِئُ عَنْ أَكْثَرَ مِنْ وَاحِدٍ لَكِنْ إِذَا ضَحَّى بِهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ تَأَدَّى الشِّعَارَ فِي حَقِّ جَمِيْعِهِمْ وَتَكُوْنُ التَّضْحِيَةُ فِي حَقِّهِمْ سُنَّةَ كِفَايَةٍ (المجموع ج 8 / ص 397)

“Kambing mencukupi untuk 1 orang dan tidak mencukupi untuk 1 orang lebih. Namun jika ada 1 orang menyembelih jambing untuk 1 keluarga, maka ia telah melakukan syiar untuk keluarganya dan Qurban menjadi sunah kifayah bagi mereka” (al-Majmu’, 8/397)
Saya bertanya kepada Syaikh: “Apakah Muslim Indonesia ini memang Islam Keturunan yang hanya taklid, ataukah sudah menjadi amaliah sejak masa ulama Salaf, Syaikh?”
(SAJ): “Menyembelihnya menyebut Bismillah atas namaku dan keluargaku, tidak perlu menyebutkan nama satu persatu, di dalamnya sudah termasuk untuk orang tua yang sudah meninggal”
Jawaban: Perihal menyebut nama seperti yang anda sampaikan memang sudah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi yang terjadi di negeri kami, hewan yang disembelih biasanya tidak disembelih sendiri, melainkan diwakilkan kepada orang lain untuk menyembelih. Maka wakil tersebut sah-sah saja menyebut nama-nama pemilik qurban:

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا : لاَ يَذْبَحُ أُضْحِيَّتَكَ إِلاَّ مُسْلِمٌ وَإِذَا ذَبَحْتَ فَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ فُلاَنٍ (سنن البيهقى - ج 2 / ص 27)

Ibnu Abbas berkata: “Hanya orang muslim yang menyembelih qurbanmu. Jika kamu menyembelih, ucapkan: Bismillah, Ya Allah ini dari-Mu dan untuk-Mu. Ya Allah terimalah qurban si fulan...” (HR al-Baihaqi)

Larangan kulit menjadi upah kurban

Agar diketahui oleh semua Panitia Qurban di Masjid / Musholla dimanapun anda berada bahwa KULIT HEWAN QURBAN baik itu sapi, unta, maupun kambing TIDAK BOLEH dijadikan UPAH tukang jagal / tukang potong hewan Qurban tersebut, sebagaimana Hadits Shahih melalui Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu :

أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا، وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا» ، قَالَ: نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا.

“Aku (Ali bin Abi Thalib) pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan untanya, dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan unta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan aku tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam redaksi lainnya, Imam Ali berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim).

Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Imam Nawawi dalam Raudhatuth Thalibin wa Umdatul Muftiyyin, Jilid 2, halaman 222 mengatakan,

وَلَا أَنْ يُعْطِيَ الْجَزَّارَ شَيْئًا مِنْهُمَا أُجْرَةً لَهُ، بَلْ مُؤْنَةُ الذَّبْحِ عَلَى الْمُضَحِّي وَالْمَهْدِيِّ كَمُؤْنَةِ الْحَصَادِ. وَيَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهُ مِنْهُمَا شَيْئًا لِفَقْرِهِ، أَوْ يُطْعِمَهُ إِنْ كَانَ غَنِيًّا. (روضة الطالبين وعمدة المفتين 3/ 222(

“Ia (orang yang berqurban) tidak boleh memberikan kepada tukang sembelih dari daging qurban dan hadyu (hewan yang disembelih di tanah), sebagai ongkos penyembelihan. Namun, biaya penyembelihan dibebankan kepada orang yang berqurban, seperti ongkos panen. Boleh bagi orang yang berqurban untuk memberi tukang sembelih itu dari qurban dan hadyu, karena kefakiran tukang sembelih itu, atau memberi tukang sembelih itu makan, jika tukang sembelih itu orang yang kaya.”

Semoga bermanfaat

Saat waktu mustajab berdo'a

Saat-saat yang diduga kuat waktu ijabah :

أ - الدُّعَاءُ بَيْنَ الأَْذَانِ وَالإِْقَامَةِ وَبَعْدَهَا

ب - الدُّعَاءُ حَال السُّجُودِ

ج - الدُّعَاءُ بَعْدَ الصَّلاَةِ الْمَفْرُوضَةِ

د - حَال الصَّوْمِ وَحَال الإِْفْطَارِ مِنَ الصَّوْمِ :

هـ - الدُّعَاءُ بَعْدَ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَبَعْدَ خَتْمِهِ

و - دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

ز - الدُّعَاءُ عِنْدَ الْقِتَال فِي سَبِيل اللَّهِ

ج - حَال اجْتِمَاعِ الْمُسْلِمِينَ فِي مَجَالِسِ الذِّكْرِ :

ط - دُعَاءُ الْمُؤْمِنِ لأَِخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ

ي - دَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ وَعَلَيْهِ

ك - دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُضْطَرِّ وَالْمَكْرُوبِ

ل - الدُّعَاءُ عِنْدَ نُزُول الْغَيْثِ

م - دَعْوَةُ الْمَرِيضِ

ن - حَال أَوْلِيَاءِ اللَّهِ

س - حَال الْمُجْتَهَدِ فِي الدُّعَاءِ إِذَا وَافَقَ اسْمَ اللَّهِ الأَْعْظَمَ

1. Doa diantara adzan dan Iqaamah dan setelahnya
2. Doa dikala sujud
3. Doa setelah shalat lima waktu
4. Doa disaat menjalani puasa dan ketika berbuka
5. Doa setelah membaca alQuran dan menghatamkannya
6. Doanya orang bepergian
7. Doa saat perang sabilillah
8. Doa saat kaum muslimin berkumpul dalam sebuah majlis adz-dzikri
9. Do'a seorang muslim terhadap saudaranya tanpa sepengetahuan saudaranya
10. doa orang tua kepada anaknya
11. Orang yang teraniaya, tertindas dan orang kesusahan
12. Doa saat turun hujan
13. Doa orang sakit
14. Doa saat menjadi kekasih allah
15. Doa saat ia bersungguh-sungguh dengan sebelumnya di dahului penyebutan asma-asma Allah yang Agung.
[ Almausuu’ah al-Fiqhiyyah 39/225-233 ].

Malam Hari Raya ayo dihidupkan

BACAAN DI HARI IED
Dalam Kitab Tuhfatul Ikhwan fi Qira`atil Mi’ad fi Rajab wa Sya’ban wa Ramadhan karya Syeikh Ahmad bin Hijazi al Fasyani, halaman 117:

وَعَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ يَوْمَ الْعِيْدِ ثَلَثَمِائَةِ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهَا لِأَمْوَات الْمُسْلمِيْنَ دَخَلَ فِيْ كُلِّ قَبْرٍ أَلْفُ نُوْرٍ، وَيَجْعَلُ اللهُ تَعَالَى فِيْ قَبْرِهِ إِذَا مَاتَ أَلْفَ نُوْرٍ

Dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam: “Barang siapa pada hari Ied membaca:

سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ

SUBHAANALLAAHI WA BIHAMDIHII 300 X
dan dia hadiahkan bacaan tersebut untuk orang-orang Islam yang telah meninggal maka masuklah didalam setiap qubur 1000 cahaya, dan ketika dia meninggal, Allah SWT menjadikan 1000 cahaya untuk orang tersebut didalam quburnya”.(HR, Abu Dawud)
Wallaahu A’lam
Teryeta juga ada dlm Kitab Tanbohul ghofilin imam abu laits asdamarqan ra,dan ihya ulumiddin,imam hujjatul islam alghozaly ra.
Silakan dicek dlm tanbihul ghofilin dan ihya..



Sebenarnya malam hari raya bukanlah malam untuk bergembira dengan kembang api atau mercon atau sekadar jalan-jalan sebagaimana banyak dilakukan masyarakat saat ini. Malam hari raya sebenarnya juga merupakan malam yang baik untuk beribadah dan bermunajah kepada Allah. Malam dua hari raya (malam idul fitri dan malam idul adha) merupakan malam mustajabah doa.

Disunatkan menghidupkan dua malam hari raya (malam idul fitri dan malam idul adha)

Banyak hadits-hadits Rasulullah yang menganjurkan untuk menghidupkan kedua malam hari raya;
Rasulullah SAW bersabda :

من أحيا ليلتي العيدين أحيا الله قلبه يوم تموت القلوب

Artinya; Siapa yang menghidupkan malam dua hari raya, akan Allah hidupkan hatinya pada hari mati segala hati (H.R. Ibnu Majah No. 1782)

Ungkapan Rasulullah SAW “dihidupkan hati” merupakan kiasan dari keselamatan di hari akhirat di mana pada hari akhirat banyak hati yang binasa yang diungkapkan oleh Rasulullah dengan matinya hati.

Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda:

من أحيا الليالي الأربع وجبت له الجنة؛ ليلة التروية، وليلة عرفة، وليلة النحر، وليلة الفطر

Artinya; Siapa yang menghidupkan empat malam, niscaya wajib baginya mendapatkan syurga; yaitu malam tarwiyah, malam Arafah, malam nahar (hari raya idul Adha) dan malam hari raya idul fithri (H.R. Dailami no. 5937)

Imam al-Hifni mengatakan bahwa menghidupkan malam minimalnya adalah melaksanakan shalat Isya secara berjamaah dan bercita-cita shalat subuh juga secara berjamaah, tetapi yang dimaksudkan disni adalah menghidupkan sebagian besar malam dengan beribadah memperbanyak shalat atau berzikir untuk mendapatkan fadhilah tersebut (wajib surga baginya).

Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz pernah mengirim surat kepada pegawai beliau di Bashrah yang berisi:

عليك بأربع ليال من السنة فإن الله يفرغ فيهن الرحمة إفراغا أول ليلة من رجب وليلة النصف من شعبان وليلة الفطر وليلة الأضحى

“Lazimkanlah empat malam dalam setahun karena sesungguhnya Allah memenuhi padanya dengan rahmat Nya, yaitu awal malam dari Rajab, malam nishfu Sya’ban, malam ‘idul-fithri, malam ‘idul-adha”.

Selain itu malam hari raya juga merupakan malam yang mustajabah doa. Imam Syafi'i juga meriwayatkan hadits Rasulullah :

بلغنا أنه كان يقال إن الدعاء يستجاب في خمس ليال في ليلة الجمعة وليلة الأضحى وليلة الفطر وأول ليلة من رجب وليلة النصف من شعبان

Artinya; “Telah sampai riwayat kepada kami bahwa dikatakan do`a dikabulkan pada lima malam, yaitu pada malam Jum`at, malam hari raya adha, malam hari raya fithri, awal malam bulan Rajab dan malam nishfu Sya`ban”.

Amalan di Siang hari Raya.

Imam al-Wana`i dalam risalahnya mengatakan “bahwa siapa saja yang beristighfar pada hari raya setelah shalat shubuh seratus kali, maka tidak akan tinggal dalam buku catatannya sedikitpun dari dosa kecuali akan dihapus dari buku catatannya dan di hari kiamat kelak ia akan aman dari azab Allah. dan barang siapa membaca :

سبحان الله وبحمده

sebanyak seratus kali dan dilanjutkan dengan menghadiahkan pahalanya kepada semua penghuni kubur, maka semua orang yang meninggal di akhirat kelak akan mendoakannya; Ya Rahim, kasihanilah hambamu ini, dan jadikan pahalanya sebagai surga baginya”.

Dalam satu hadits yang lain Rasulullah bersabda:

زيّنوا العيدين بالتهليل والتقديس، والتحميد والتكبير

Artinya; hiasilah kedua hari raya dengan tahlil, menyucikan Allah, tahmid dan takbir (H.R. ad-Dailami no. 3332)

Imam az-Zuhri berkata:

من قال في كل واحد من العيدين: لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد يُحيي ويُميت، وهو حيّ لا يموت، بيده الخير وهو على كل شيء قدير (أربعمائة مرة) قبل صلاة العيد زوّجه الله تعالى أربعمائة حوراء، وكأنما أعتق أربعمائة رقبة، ووكل الله تعالى به الملائكة يبنون له المدائن، ويغرسون له الأشجار إلى يوم القيامة

Artinya:
Siapa yang berkata pada setiap malam kedua hari raya;

لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد يُحيي ويُميت، وهو حيّ لا يموت، بيده الخير وهو على كل شيء قدير

sebanyak seratus kali sebelum shalat hari raya, niscaya akan Allah nikahkannya dengan empat ratus bidadari dan seolah-olah ia telah memerdekakan empat ratus budak dan akan Allah wakilkan baginya para malaikat yang akan membangun baginya kota-kota dan menanamkan pohon-pohon hingga hari kiamat.

Imam az-Zuhri berkata: tidak pernah saya meninggalkan mengamalkannya semenjak saya mendengarnya dari Saidina Anas bin Malik. Beliau berkata; tidak pernah saya meninggalkannya semenjak mendengarnya dari Rasulullah SAW.

Mengucapkan Selamat Hari Raya (Tahniah)


Salah satu amalan baik yang dianjurkan dalam hari raya adalah tahniah (mengucap selamat) hari raya. Imam al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani pernah ditanyakan tentang landasan hukum tahniah ini. Jawaban tersebut beliau tuangkan dalam sebuah risalah singkat tentang tahniah pada hari raya dan hari lainnya. Kitab tersebut bisa di download di SINI.

Kesimpulan dari jawaban Ibnu Hajar adalah hukum tahniah hari raya adalah sunat dan memang merupakan satu hal yang dianjurkan oleh syara’. Hal ini berdasarkan beberapa hadits Rasulullah SAW tentang anjuran mengucapkan taqabbalallahu minna wa minkum bagi sesama. Walaupun hadits-hadits ini dhaif namun al-Hafidh Ibnu Hajar mengatakan bahwa kumpulan hadits-hadits tersebut masih bisa dijadikan sebagai hujjah dalam hal-hal ini (fadhilah a’mal).



al-Hafidh Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa kesunnahan tahniah juga masuk dalam keumuman perintah sujud syukur dan sebagaimana kisah taubatnya Ka’ab bin Malik, salah satu shahabat Rasulullah SAW yang diceritakan dalam shahihain. Ketika mendengar berita dari Rasulullah SAW bahwa taubat Ka’ab telah Allah terima, shahabat Rasulullah, Thalhah bin Ubaidillah langsung berdiri dan mengucapkan selamat.

Kami segenap keluarga besar Prabu Agung Alfayed, mengucapkan ;

Selamat Hari Raya Idhul Adha, Taqabbalallahu minna wa minkum. Mohon maaf lahir batin.

Tulisan ini di rangkum dari kitab karangan Syeikh Abdul Hamid Qudus, Kanzu an-Najah wa Surur fi Ad'iyah al-Ma`tsur allati tasyrah ash-Shudhur  Cet. I (Damaskus, Dar Sanabil, 2009), hal 266- 284. Kitab ini bisa di download pada postingan kami sebelumnya. Format PDF dan Format box 

Minggu, 20 September 2015

Larangan kulit menjadi upah kurban

Agar diketahui oleh semua Panitia Qurban di Masjid / Musholla dimanapun anda berada bahwa KULIT HEWAN QURBAN baik itu sapi, unta, maupun kambing TIDAK BOLEH dijadikan UPAH tukang jagal / tukang potong hewan Qurban tersebut, sebagaimana Hadits Shahih melalui Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu :

أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا، وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا» ، قَالَ: نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا.

“Aku (Ali bin Abi Thalib) pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan untanya, dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan unta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan aku tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam redaksi lainnya, Imam Ali berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim).

Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Imam Nawawi dalam Raudhatuth Thalibin wa Umdatul Muftiyyin, Jilid 2, halaman 222 mengatakan,

وَلَا أَنْ يُعْطِيَ الْجَزَّارَ شَيْئًا مِنْهُمَا أُجْرَةً لَهُ، بَلْ مُؤْنَةُ الذَّبْحِ عَلَى الْمُضَحِّي وَالْمَهْدِيِّ كَمُؤْنَةِ الْحَصَادِ. وَيَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهُ مِنْهُمَا شَيْئًا لِفَقْرِهِ، أَوْ يُطْعِمَهُ إِنْ كَانَ غَنِيًّا. (روضة الطالبين وعمدة المفتين 3/ 222(

“Ia (orang yang berqurban) tidak boleh memberikan kepada tukang sembelih dari daging qurban dan hadyu (hewan yang disembelih di tanah), sebagai ongkos penyembelihan. Namun, biaya penyembelihan dibebankan kepada orang yang berqurban, seperti ongkos panen. Boleh bagi orang yang berqurban untuk memberi tukang sembelih itu dari qurban dan hadyu, karena kefakiran tukang sembelih itu, atau memberi tukang sembelih itu makan, jika tukang sembelih itu orang yang kaya.”

Mengapa lafal "samawat dan ardhu" selalu bergandengan?

Asllmlkm Wr' Wb'. Lafal (السموات) dan (الارض) dalam Alqur'an kebanyakan penyebutanya selalu bergandengan, tapi kok lafal samawat hampir selalu dalam bentuk jama' (plural) sedang lafal ardi hamir selalu dalam bentuk mufrod (singular).. Mohon penjelasannya

JAWABAN :
Wa'alaikum salam. Lafadz, السماء ia terkadang disebutkan dalam bentuk jamak dan terkadang dalam bentuk mufrad, sesuai dengan keperluan. Jika yang dimaksudkan adalah “bilangan” maka ia didatangkan dalam bentuk jamak yang menunjukkan betapa sangat besar dan luasnya, seperti dalam ayat :

سبح لله ما فى السموات وما فى الأرض

“Telah bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan bumi “. (al Hasyr : 1).

Dan jika yang dimaksudkan adalah “arah” maka ia didatangkan dalam bentuk mufrad, seperti :

ءأمنتم مَن فى السماء أن يخسف بكم الأرض

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu“.(al mulk: 16).

KESIMPULAN
Mengapa dalam alquran ada lafadz yang bentuk jamaknya saja atau hanya mufrodnya saja, bahkan ada yang jamak dan mufrod ? karena dalam kejamakkan dan kemufrodannya itu mempunyai fungsi, maksud, dan tujuan tersendiri untuk menyampaikan maksud dari ayat tersebut. Sehingga jika lafadz itu berupa jamak, maka dalam keadaan mufrod lafadz tersebut mempunyai maksud yang berbeda. Waallahu a'lam

ومن هذا نرى أن التعبير القرآنى عن السموات بلفظ الجمع يرد دائما حيث يراد المقابلة بينها وبين الأرض، لا من حيث الوضع علوا وسفلا، وإنما من حيث البناء التركيبى لكل منهما، وأن السموات عوالم متعددة، والأرض بالنسبة لها أشبه بالمفرد بالنسبة لجمعه، وأنهما إن اختلفتا اسما، فقد اتفقتا صفة، بأنهما آيتان من آيات اللّه الدالة على علمه، وقدرته، وحكمته.


Dalam keterangan lain sebagaimana dijelaskan mufassirin :

ذكر بعض المفسرين أن السماء ذكرت بصيغة الجمع لنكات تليق لذلك المحل، ومنها أن لما أريد بيان سعة العظمة والكثرة أتي بصيغة الجمع فقال تعالى (( سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ )) (الحديد:1)، أي جميع سكانها على كثرتهم، وقال تعالى: (( يُسَبِّحُ لَهُ مَافِي السَّمَاوَاتِ )) (الحشر:24)، أي كل واحد على اختلاف عددها، وحيث أريد بيان الجهة اتي بصيغة الإفراد كالآية المذكورة وقوله تعالى: (( وَفِي السَّمَاء رِزقُكُم وَمَا تُوعَدُونَ )) (الذاريات:22)، وقوله تعالى: (( أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخسِفَ بِكُمُ الأَرضَ )) (الملك:16).

وأما سبب عدم جمع الأرض في الآيات القرآنية فيذكر هذا المفسر بأن السبب في عدم الجمع هو لثقل جمعها ولذا لما أريد ذكر جمع الأرضين قال: (( وَمِنَ الأَرضِ مِثلَهُنَّ )) (الطلاق:12)، أنظر الاتقان في علوم القرآن للسيوطي.

وقيل: إنما جمع السماوات وأفرد الأرض، لأن السماوات طبقات متفاصلة بالذات مختلفة بالحقيقة بخلاف الأرضين (البحار56/349).

وقيل: جمعت السماوات ووحدت الأرض في جميع القرآن، لأن طبقاتها السبع خفية عن الحس وليس كذلك السماوات (التبيان 5/393).

وقيل: وإنما جمعت السماوات ووحدت الأرض لأنه لما ذكر السماوات بأنها سبع في قوله (( فَسَوَّاهُنَّ سَبعَ سَمَاوَاتٍ )) (البقرة:29)، وقوله: (( خَلَقَ سَبعَ سَمَاوَاتٍ )) (الطلاق:12) جمع لئلا يوهم التوحيد معنى الواحدة من هذه السبع وقوله: (( وَمِنَ الأَرضِ مِثلَهُنَّ )) (الطلاق:12)، وإن دل على معنى السبع فأنه لم يجر على جهة الإفصاح بالتفصيل في اللفظ وأيضاً الأرض لتشاكلها تشبه الجنس الواحد الذي لا يجوز جمعه إلا أن يراد الاختلاف وليس تجري السماوات مجرى الجنس المتفق لأنه دبر في كل سماء وأمرها التدبير الذي هو حقها (مجمع البيان 1/454).

ودمتم في رعاية الله

http://www.aqaed.com/faq/3915/

- Tafsir Ibnu 'Asyur :

و { السموات } جمع سماء والسماء إذا أطلقت مفردة فالمراد بها الجو المرتفع فوقنا الذي يبدو كأنه قبة زرقاء وهو الفضاء العظيم الذي تسبح فيه الكواكب وذلك المراد في نحو قوله تعالى : { ولقد زينا السماء الدنيا بمصابيح } [ الملك : 5 ] ، { إنا زينا السماء الدنيا بزينة الكواكب } [ الصافات : 6 ] ، { وأنزل من السماء ماء } [ البقرة : 22 ] . وإذا جمعت فالمراد بها أجرام عظيمة ذات نظام خاص مثل الأرض وهي السيارات العظيمة المعروفة والتي عرفت من بعد والتي ستعرف : عطارد والزهرة والمريخ والشمس والمشتري وزحل وأرانوس ونبتون . ولعلها هي السموات السبع والعرش العظيم ، وهذا السر في جمع ( السموات ) هنا وإفراد ( الأرض ) لأن الأرض عالم واحد وأما جمعها في بعض الآيات فهو على معنى طبقاتها أو أقسام سطحها .
والمعنى إن في خلق مجموع السموات مع الأرض آيات ، فلذلك أفرد الخلق وجعلت الأرض معطوفاً على السموات ليتسلط المضاف عليهما .

http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/tanweer/sura2-aya164.html
الاسئلة و الأجوبة الخلق والخليقة لماذا ذكرت السماوات بصيغة الجمع دون الأرضخديجة الكويتالسؤال لماذا ذكرت السماوات بصيغة الجمع دون الأرضالسلام عليكم ورحمة الله وبركاتهيقول
aqaed.com
 
Semoga bermanfaat