Selasa, 31 Desember 2013

Amalan di bulan shofar

Sholat Sunah

Pada malam pertama pada bulan Shofar, setelah sholat isya dan sebelum sholat witir disunahkan menjalankan sholat sunah empat rokaat. Setelah membaca surat al- fatihah, pada rokaat pertama membaca surat al- Kafirun 11 x, pad rokaat kedua membaca surat al- Ikhlas 11 x, pada rokaat ketiga memca surat al- Falaq 11 x dan pada rokaaat keempat membaca surat an-Naas 11 x.

Setelah salam kemudian membaca aurod merikut ini, masing-masing dibaca 70 x

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ 70×

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ 70×    


(lht. Kitab jawahirul Khomsy hal. 50 )

Amalan ini dilakukan di hari Rabu terakhir di bulan Sofar.

Tulislah tulisan dibawah ini di kertas atau di piring yang bersih (di tulis dengan menggunakan spidol dll. sekiranya tulisan bisa luntur) lalu dilebur dengan air aduk 7 kali serta membaca solawat dan diminum.

سَلَامٌ قََوْلًاً مِنْ رَبِّ الرَحِيْم (*) سَلَامٌ عَلَى نُوْحٍ فِى العَالَمِيْنَ (*) سَلَامٌ عَلَى إِبْــــــــــَراهِيْمَ (*) سَلَاٌم عَلَى مُوْسَى وَهَارُوََْنَ (*) سَلَامٌ عَلَى إِلْـــــــــيَاسِيْنَ (*) سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوْهَا خَالِدِيْنَ (*) مِنْ كُلِّ أَمْرٍ سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر (*)[1]


Ritual ini dilakukan setelah Sholat Ashar sebelum Magrib.

Faidah: untuk menolak bala’.

Setelah magrib: Membaca surat Yaasiin pada lafadz

 سَلَامٌ قَوْلًا مِنْ رَبٍّ رَّحِيمٍ 

dibaca 11 kali atau 313 kali.

Kemudian baca doa:

Sholawat Munjiyat

أَللَّهُمَّ صَلِّى وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ  سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تُنْجِينَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ الْأَهْوَالِِ وَالْأَفَاتِ وَتَقْضِى لَنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ الْحَاجَاتِ وَتَُطَهِّرُنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ وَتَرْفَعُنَا بِهَا عِنْدَكَ أَعْلَى الدَّرَجَاتِ وَتُبَلِّغُنَا بِهَا أَقْصَى الْغَايَاتِ مِنْ جَمِيْعِ الخَيْرَاتِ فِى الْحَيَاتِ وَبَعْدَ الْمَمَاتِ

أَلّلَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ بِأَسْمَائِكَ الْحُسْنَى وَبِكَلِمَاتِ الْتاَّمَّاتِ وَبِحُرْمَةِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ وصلى الله عليه وسلم أَنْ تَحْفَظَنِي وَأَنْ تُعَافِيَِنِى مِنْ بَلَائِكَ يَا دَافِعَ البَلاََياَ يَا مُفَرِّجَ الهَمِّ وَيَا كَاشِفَ الغَمِّ إِكْشِفْ عََنِّى مَا كُتِبَ عَلَيَّ فِى هَذِهِ السَّنَةِ فِى هَمٍّ أَوغَمٍّ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَ مَوْلَانَا  مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا.[2]

بسم الله الرحمن الرحيم. اَللَّهُمَّ اصْرِفْ عَنَّا شَرَّما يَنْزِلُ مِنَ السََّمَاءِ وَمَا يَخْرُجُ مِنَ الْأَرْضِ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. وصلى الله على سيدنا و مولانا  محمد وعلى اله وصحبه وسلم.[3]



Semoga bermanfaat

Amaliah bulan syawal dan fadhilahnya

1.      Disunnahkan mandi mulai pukul 24.00 sampai terbenamnya matahari pada hari raya ‘Idul Fitri walaupun tidak akan mengerjakan sholat hari raya. Sedang niat mandinya adalah :  

نَوَيْتُ سُنَّةَ الْغُسْلِ لِعِيْدِ اْلأَضْحَى للهِ تَعَالَى


2.      Ba’da sholat Subuh membaca istighfar 100 kali. Dihadiahkan untuk ahli kubur, maka ahli kubur akan mendoakan orang tersebut.

3.      Membaca “ 100x " سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ

Dihadiahkan kepada ahli kubur maka ahli kubur akan mendo’akan orang tersebut.

4.      Membaca 300 kali     سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ

Dihadiahkan kepada ahli kubur yang muslim maka  akan masuk 1000 nur dalam kubur dan Allah akan memberikannya juga kepada orang tersebut. Dan kemudian pahalanya disampaikan pada ahli qubur. Sedangkan do’anya adalah :

ياَرَبِّ اِنِّى اَعْطَيْتُ ثَوَابَهاَ اَهْلَ الْقُبُوْرِ


5.      Membaca:

لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَىٌّ لاَ يَمُوْتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ  عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ 400×


Faedah:  akan dinikahkan dengan 400 bidadari surga dan sama juga dengan memerdekakan 400 budak.

Begitu juga disunnahkan melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Mengumandangkan Takbir

Malam Idul Fitri atau malam 1 Syawal merupakan salah satu dari malam yang istimewa (selain malam Tarwiyah, malam Arofah dan malam Idul Adha). Pada malam itu disunnahkan membaca takbir dengan mengeraskan suara. Namun bagi kaum wanita tidak diperbolehkan mengeraskan suara. Adapun kalimat takbir yang masyhur adalah:

اللهُ أَكْبَرُ اَللهُُ أَكْبَرُ اَللهُُ أَكْبَرُلَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرْ اَللهُ أَكْبَرْ وَلِلّهِ الْـحَمْدُ.


أَللهُ أَكْبَرُ كبَِيْرًا وَالحَْمْدُ لِلّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً لآاِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهْ َونَصَرَعَبْدَهُ وَأَعَزَّجُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهْ. لَااِلَهَ إِلّاَللهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مخُلِْصِيْنَ لَهُ الدِّيْنُِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ.


2. Mengeluarkan Zakat.

Zakat fitrah wajib dikeluarkan sejak tenggelamnya matahari pada akhirnya bulan Romadlon sampai dengan tenggelamnya matahari pada tanggal 1 Syawal. Sedangkan yang paling utama dikeluarkan setelah terbitnya fajar pada tanggal 1 Syawal dan sebelum sholat Idul Fitri.

Syarat-syarat dari barang yang digunakan untuk zakat fitrah adalah:

    Berupa makanan  pokok.
    Sejenis atau tidak campuran.
    Dikeluarkan di tempat orang yang  dizakati.
    Satu Sho’ untuk satu orang yaitu; (1.862, 18 gr. untuk gandum), (2.719, 193 gr. untuk beras putih), (2.20, 22 gr. untuk gabah), (2.600, 12 gr. untuk kacang hijau), (2,522, 323 gr. untuk kacang tunggak).

3. Sholat Idul Fitri.

Sholat ‘Idul Fitri hukumnya sunnah Muakaddah (kesunahan yang sangat dianjurkan) bagi laki-laki dan perempuan.

Sedangkan waktu pelaksanaan shalatnya yaitu sejak terbitnya matahari pada tanggal 1 Syawal sampai masuk waktu dzuhur.

            Sholat Idul Fitri dilaksanakan dengan  2 rokaat. Untuk rokaat pertama setelah takbirotul ihrom dan do’a iftitah membaca takbir sebanyak 7 kali dan untuk rokaat ke dua setelah takbir intiqol membaca takbir sebanyak 5 kali. Antara takbir pertama, ke dua, ketiga dan seterusnya disunahkan membaca takbir, tahlil dan tahmid yaitu:

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحمَدْ ُلِلَّهِ وَلَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ


Adapun beberapa kesunahan-kesunahan sebelum melaksanakan ‘Idul fitri:

    Mandi

Pada tanggal 1 Syawal disunahkan mandi sekalipun dia tidak melakukan sholat Idul Fitri. Sedangkan niatnya:

نَوَيْتُ سُنَّة َالْغُسْلِ لِعِيْدِ الْفِطْرِ لِلَّهِ تَعََالَى


    Mengenakan pakaian yang indah.

Pengertian indah dalam bab sholat ‘Idul Fitri adalah baru, sedangkan dalam bab sholat Jum’at adalah putih.

    Makan pagi sebelum berangkat. Hal ini berdasarkan hadits nabi s.a.w:

وََكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَا يَغْدُوْ يَوْمَ االْفِطْرِحَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ


    Melewati jalan yang berbeda.

Berangkat menuju tempat ibadah melalui satu jalan dan kembali atau pulang melewati jalan yang lain. Hal ini berdasarkan hadits nabi:

وَكَانَ يَخْرُجُ اِلَى العِيْدَيْنِ مَا شِيًا وَيُصَلِّى بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا أَقَامَةٍ ثُمَّ يَرْجِعُ مَاشِيًا فِى طَرِيقٍ آخَرَ.


4. Sholat Sunnah.

            Setelah Sholat ‘Idul Fitri tanggal 1 Syawal disunahkan menjalankan sholat sunah dengan 4 rokaat, setelah membaca surat Al-Fatihah pada rokaat pertama kemudian membaca surat Al-‘Ala 1 kali. Rokaat ke dua, membaca surat As-Syamsu 1 kali, rokaat ke tiga membaca surat Ad- dhuha 1 kali dan rokaat yang ke empat membaca surat Al-Insyiroh 1 kali dan surat Al-Ikhlas 21 kali.

            Pada tanggal 6 Syawal disunahkan melaksanakan sholat sunnah dengan 6 rokaat. Pada setiap rokaat setelah membaca Al-Fatihah membaca Surat At-Thoriq 1 kali dan setelah salam membaca sholawat 100 kali.

            Selanjutnya pada 10 hari terakhir bulan Syawal, setiap harinya disunnahkan membaca surat Al-Fatihah 50 x.

Fadhilahnya: Mendapatkan pahala seperti menghatamkan Al-Qur’an dan mati syahid serta pada tahun tersebut segala dosa dan kesalahannya akan diampuni.[1]

5. Ziaroh kubur.

6. Shilaturrohim.

7. Membaca Dzikir dan wirid.

Dalam hadits dari Anas bin Malik R.A. Rosulallah s.a.w. bersabda:

زَيِّنُوا الْعِيْدَيْنِ بِالْتَهْلِيْلِ وَالتَقْدِيْسِ وَالْتَّحْمِيْدِ وَالتَّكْبِيْرِ [2]


Syekh Al-Wana’i dalam risalahnya menjelaskan: “Barang siapa yang membaca istigfar 100x setelah shalat subuh pada hari raya ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha, maka dosa- dosanya akan diampuni dan pada hari kiamat kelak ia termasuk golongan orang-orang  yang diselamatkan.

             Disunnahkan pula membaca tasbih dan tahmid 100 kali yaitu:

سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِه ِ100 × 


            Kemudian pahalanya diperuntukan pada semua orang yang telah meninggal dunia, maka kelak pada hari kiamat orang yang membaca tasbih dan tahmid tersebut akan dimintakan rahmat oleh semua orang yang telah meninggal dunia.

يَا رَبِّ إِنِّى أَعْطَيْتُ ثَوَابَهَا اَهْلَ القُبُورِ


            Azhuri menuturkan, Anas bin Malik R.a berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Barang siapa sebelum sholat ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha membaca kalimat di bawah ini sebanyak 400 kali maka akan dinikahkan  dengan 400 bidadari, mendapatkan pahala seakan-akan memerdekakan 400 budak, akan dibangunkan beberapa kota dan akan ditanamkan beberapa pohon”. Adapun kalimatnya ialah:

لَاإِلَهَ إِلَا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لَايَمُوْتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ  ....[3]


8. Puasa 6 hari

            Puasa 6 hari di bulan Syawal hukumnya ialah Sunnah Muakkadah. Mengenai tata cara pelaksanaan puasanya yaitu; boleh dikerjakan dengan sekaligus (6 hari berturut-turut) atau 6 hari secara terputus. Dan puasa 6 hari tersebut boleh dikerjakan di awal, pertengahan, atau di akhir bulan Syawal. Namun lebih utama jika dikerjakan dengan sekaligus dan dimulai setelah hari raya ‘Idul fitri yaitu tanggal 2 Syawal. Dalam hadits riwayat Bukhori-  Muslim  disebutkan:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ االدَّهْرِ (رواه البخارى ومسلم)


[1] Jawahirul Khomsi, Hal.62

[2] Kanzun Najah, Hal.113

[3] Kanzun Najah, Hal.114

Bunuh diri sebelum baligh

Hukum bunuh diri Bunuh Diri Sebelum Baligh

Bismillah was shalatu was slamau la arasulillah, amma ba’du,

Pertama, sesungguhnya bunuh diri termasuk dosa yang sangat besar, dan merupakan tanda suul khotimah, mengakhiri kehidupan dengan cara yang buruk.

Dalam beberapa hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang melakukan bunuh diri akan disiksa di neraka dengan cara sebagaimana yang dia lakukan ketika bunuh diri.

Dari Tsabit bin Dhahhak radhiallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ في الدُّنْيا عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيامَةِ


“Siapa yang membunuh dirinya dengan cara tertentu di dunia maka dia akan disiksa pada hari kiamat dengan cara yang sama.” (HR. Ahmad 16041 dan Muslim 164)

Dalam hadis yang lain dari Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ في نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيها أَبَدًا، وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ في يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ في نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فيها أَبَدًا، وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَديدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ في يَدِهِ يَجَأُ بِها في بَطْنِهِ في نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيها أَبَدًا


“Siapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung hingga mati maka di neraka jahanam dia akan menjatuhkan dirinya, kekal di dalamnya selamanya. Siapa yang menegak racun sampai mati, maka racun itu akan diberikan di tangannya, kemudian dia minum di neraka jahanam, kekal di dalamnya selamanya. Siapa yang membunuh dirinya dengan senjata tajam maka senjata itu akan diberikan di tangannya kemudian dia tusuk perutnya di neraka jahanam, kekal selamanya.” (HR. Bukhari 5778 dan Muslim 109)

Semua kejadian di atas menunjukkan betapa mengerikannya dosa bunuh diri. Sementara mereka yang telah ‘sukses’ bunuh diri, tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk bertaubat, karena telah menjemput ajalnya.

Kedua, seorang manusia tidak mendapatkan beban syariat sebelum dia menginjak usia baligh. Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ


“Pena catatan amal diangkat (tidak ditulis amalnya) untuk tiga orang: Orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai dia sadar.” (HR. Abu Daud 4403, Turmudzi 1423).

Ketika menjelaskan hukum anak kecil yang murtad, Ibnu Qudamah mengatakan,

الصبي لا يُقتل ، سواء قلنا بصحة ردته أو لم نقل ؛ لأن الغلام لا يجب عليه عقوبة ، بدليل أنه لا يتعلق به حكم الزنا والسرقة في سائر الحدود ، …


“Anak kecil tidak dihukum bunuh, baik kita anggap sah murtadnya atau tidak sah. Karena anak kecil tidak wajib dihukum, dengan dalil hukum zina, mencuri atau pelanggaran lainnya, tidak terkait dengannya…” (al-Mughni, 9:16).

Oleh karena itu, jika benar dia belum baligh maka kesalahannya tidak dicatat.

Allahu a’lam

Hukum Bersumpah “Demi Tuhan…!”

Tanya:
Salam tadz…, semoga Allah menjaga para ustadz dan memberkahi ilmunya. Amieen.

Saat ini ucapan Aryawiguna; demi Tuhan, sekarang marak disebarkn di berbagai media. Sbenarnya secara islam, itu boleh gak sumpah kayak gitu. Krn aku prnah dengar tdk boleh bersumpah kecuali dg nama Allah. Padahal tuhan bukan nama Allah. Trim’s

Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,Wa alaikumus salam, semoga Allah memberkahi kita semua.

Terkait sumpah ‘demi Tuhan’, ada dua hal yang perlu kita pahami,

Pertama, bersumpah dengan sifat Allah

Sumpah yang boleh dilakukan oleh seorang muslim adalah sumpah yang menyebut kata Allah, seperti ‘demi Allah’ atau salah satu nama Allah, seperti ‘demi Ar-Rahman’, atau salah satu sifat Allah, seperti ‘demi Keagungan Allah’.

Bersumpah yang menyebut kata ‘demi Allah’ atau salah satu nama Allah lainnya mungkin sudah sangat sering kita dengar, sehingga kita tidak akan banyak mempertanyakannya. Karena itu, yang perlu kita tekankan di sini adalah bersumpah dengan menyebut sifat Allah. Yang kami maksud sifat Allah, seperti keagungan Allah, rahmat Allah, firman Allah, dst.

Terdapat banyak dalil yang menyebutkan hal ini, sampai Imam Bukhari membuat satu bab khusus dalam shahihnya,

باب الحلف بعزة الله وصفاته وكلماته


“Bab tentang bersumpah dengan keagungan Allah, siafat-sifat-Nya, dan firman-Nya.”

Kemudian beliau membawakan beberapa hadis, diantaranya,

1. Hadis tentang penduduk surga yang terakhir masuk surga:

يَبْقَى رَجُلٌ بَيْنَ الجَنَّةِ وَالنَّارِ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ اصْرِفْ وَجْهِي عَنِ النَّارِ، لاَ وَعِزَّتِكَ لاَ أَسْأَلُكَ غَيْرَهَا


“Tinggallah seseorang diantara surga dan neraka. Dia meminta: ‘Wahai Rabku, palingkan wajahku dari neraka, demi keagungan-Mu, saya tidak minta yang lainnya.’

2. Hadis tentang ucapan Nabi Ayyub ketika mengambil belalang emas,

وَعِزَّتِكَ لاَ غِنَى بِي عَنْ بَرَكَتِكَ


“Demi keagungan-Mu, saya tidak pernah cukup untuk mendapatkan berkah-Mu”

[Shahih Bukhari: Bab tentang Sumpah dan Nadzar, 8/134]. Karena itulah, pendapat yang jauh lebih kuat dalam masalah ini, boleh bersumpah dengan menyebut sifat Allah. Ibnu Rusyd mengatakan,

وأما مَن منع الحلف بصفات الله وبأفعاله فضعيف


“Adapun pendapat yang melarang bersumpah dengan sifat atau perbuatan Allah adalah pendapat yang lemah.” (Bidayatul Mujtahid, 1/334)

Dalam beberapa hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersumpah dengan keterangan tentang Allah, yang hanya mungkin ada pada Dzat Allah, misalnya

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ


“Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya”

Sumpah semacam ini banyak disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari. Dan makna kalimat di atas, tidak lain hanya tertuju pada Allah.

Syaikh Bakr Abu Zaid menjelaskan satu kaidah dalam masalah sumpah,

قاعدة الشريعة المطردة ، أنه لا يجوز الحلف والقسم إلا بِاللهِ – تعالى – أو باسم من أسمائه ، أو صفة من صفاته – سبحانه – ؛ لأن الحلف يقتضي التعظيم الذي لا يشاركه فيه أحد ، وهذا لا يصرف إلا لله تعالى ؛ ولهذا كان الحلف بغير الله – تعالى – من المخلوقين كافة :شركاً بالله


Kaidah baku dalam syariat, bahwa tidak boleh bersumpah kecuali dengan kata ‘Allah’ atau salah satu nama Allah, atau salah satu sifatnya. Karena dalam sumpah, berarti unsur mengagungkan, dimana tidak boleh ada seorangpun yang menjadi sekutu di dalamnya. Dan pengagungan semacam ini hanya boleh ditujukan untuk Allah ta’ala. Oleh karena itu, bersumpah dengan menyebut makhluk selain Allah, sudah layak dikatakan syirik. (Mu’jam Al-Manahi Al-Lafdziyah).

Kedua, status kata ‘Tuhan’ dalam bahasa indonesia

Dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI), kata tuhan didefinisikan sebagai, sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dsb.

Dalam sila pertama pancasila tertera: Ketuhanan yang Mahaesa. Padahal kalimat ini tidak diingkari oleh penganut agama selain islam.

Menimbang penggunaan masyarakat indonesia untuk kata ‘Tuhan’, kita bisa menyimpulkan bahwa makna kata ‘Tuhan’ ada 2: Sesembahan (sesuatu yang disembah) atau Pencipta alam semesta.

Pancasila disetujui oleh penduduk indonesia yang memeluk agama berbeda-beda. Yang tentu saja masing-masing agama memiliki sesembahan yang tidak sama. Sehingga, arti ‘tuhan’ yang tepat di sini bukan sesembahan tetapi pencipta. Karena mereka tidak mengakui keesaan sesembahan, sebagaimana yang diyakini orang islam.

Lain halnya untuk KBBI, makna kata ‘Tuhan’ yang lebih ditekankan adalah dzat yang disembah. Dan bagi kita makna kedua penggunaan ini tertuju hanya kepada Allah, tidak keluar dari itu.

Oleh karena itu, kesimpulan yang bisa kami berikan – Allahu a’lam – diperbolehkan bersumpah dengan menyebut; demi Tuhan.

Hukum hubungan intim di malam hari raya

P E R T A N Y A A N :
Ngapunten badhe tanglet mbah, apa hukumnya ML ( Making Love = Jima' = Hubungan suami-istri = Bersenggama = Bersetubuh = Hubungan Intim / Badan ) pada malam hari raya ? kebetulan ini pas malem jum'at .. suwun..

J A W A B A N :

و ليلة الاضحى على المشهور # كالليلة الاولى من الشهور

وضف اليها نصف كل شهر # واخر الليالى منه فادر اخبر رحمه الله ان الجماع يمنع فى هذه الليالى الاربعة ؛ ليلة عيد الاضحى لما قيل من ان الجماع فيها يوجب كون الولد سفاكا للدماء....... قرة العيون ٦٦


Syekh penadhom menjelaskan dalam bait-bait Nadhom tsb, bahwa terdapat empat malam dimana persetubuhan bersama istrinya tidak diperbolehkan yaitu:
1. Malam hari raya kurban
2. Malam pertama disetiap bulan
3. Malam pertengahan disetiap bulan 4. Malam terahir disetiap bulan

Beberapa alasannya adalah
_. Anak akan bertabiat jelek yg senang menumpahkan darah (menjadi pembunuh)
_. Syetan akan hadir pada persetubuhan yg dilakukan pada malam-malam itu
_. Anak yg terlahir akan mudah stress atau berakibat gila _. Anak yg lahir akan mengidap penyakit kusta

Larangan tersebut hanya sebatas makruh tidaklah sampai mengakibatkan keharaman seperti bersetubuh di kala haid,atau nifas. Dan mengenai dampaknya hanya Allah lah yang maha tahu.

Sekedar untuk kelengkapan dokumen, berikut teks utuh dari kitab Qurrotul 'Uyun :

وليلة الأضحى على المشهور كالليلة الأولى من الشهور

وضف اليها نصف كل شهر وآخر الليالى منه فآدر

أخبر رحمه الله أن الجماع يمنع فى هذه الليالى الأربعة ؛ ليلة عيد الأضحى لما قيل من أن الجماع فيها يوجب كون الولد سفاكا للدماء. والليلة الأولى من أول كل شهر, وليلة النصف من كل شهر, والليلة الأخيرة من كل شهر. لقوله عليه الصلاة والسلام لاتجامع رأس ليلة الشهر وفي النصف. وقال الغزالي رحمه الله يكره الجماع في ثلاث ليال من الشهر: الأول, والأخير, والنصف. يقال إن الشياطين يحضرون الجماع في هذه الليالي, ويقال إن الشياطين يجامعون فيها. وروي كراهة ذلك عن علي ومعاوية وأبي هريرة رضي الله عنهم. ويقال إن الجماع في هذه الليالي يورث الجنون في الولد, والله أعلم. لكن المنع في هذه الأربعة بمعنى الكراهة لا التحريم كالحيض والنفاس وضيق الوقت.


Kebetulan sekali saya punya nukilan dari sebuah kitab, bahwa melakukan hubungan badan (jima) pada malam hari raya tsb hukumya makruh/karena akan menghasilkan anak cacat.

Pertama: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada permulaan bulan, pertengahan dan akhir bulan. karena hal itu dapat menyebabkan penyakit gila, kusta, dan kerusakan syaraf padanya dan keturunannya.

Kedua: Wahai Ali, jangan kamu menggauli isterimu sesudah waktu Zhuhur. Karena hal itu (jika membuahkan janin) dapat menyebabkan anaknya kelak punya ganguan psikologis, jiwanya mudah goncang.

Ketiga: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu sambil berbicara. Karena hal itu (jika membuahkan janin) dapat menyebabkan kebisuan bagi anak. Dan jangan melihat kemaluan isterinya, karena dapat menyebabkan kebutaan bagi anak
Keempat: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu dengan dorongan syahwat pada wanita lain (membayangkan perempuan lain), karena (jika membuahkan janin) dikhawatirkan memiliki sikap seperti wanita itu dan memiliki gangguan psikologis.
Kelima: Wahai Ali, barangsiapa yang bercumbu dengan isterinya di tempat tidur janganlah sambil membaca Al-Qur'an, karena aku khawatir turun api dari langit lalu membakar keduanya.

Keenam: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada malam ‘Idul Fitri, karena hal itu (jika membuahkan janin) dapat menyebabkan anak memiliki banyak keburukan

Dari kitab fathul izar sptnya ada keterangan mubah tapi konon jika hasil hubungan intim di malam ied, baik fitri maupun ied qurban, anaknya akan memiliki jari lebih dari sepuluh, ada jari yg kembar...

Syaikh Muhamamad Sholeh Munajed:

ما سمعته من بعض الإخوة الأصدقاء غير صحيح ، فالجماع ليلة العيد ويومه مباح ، ولا يحرم الجماع إلا في نهار رمضان ، وحال الإحرام بحج أو عمرة ، أو كانت المرأة حائضاً أو نفساء


Apa yang anda dengar dari sebagian teman anda itu tidak benar. Hubungan intim pada malam hari raya atau siang harinya hukumnya mubah. Dan tidak ada larangan hubungan intim kecuali ketika siang hari ramadhan (bagi yang wajib puasa), atau ketika ihram pada saat menjalankan haji atau umrah, atau ketika sang istri dalam kondisi haid atau nifas.[Fatwa Islam, no. 38224]

Allahu a’lam.  

Sholat nabi sebelum isra mi'raj

Pertanyaan:
Yang saya baca dalam hadis isra mi’raj disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sampai di masjidil Aqsa, beliau shalat mengimami para nabi yang lain. Bgmn beliau bisa shalat padahal beliau belum mndapat perintah shalat?. Kan ketika itu beliau belum naik ke langit. Matur nuwun jawabannya.

Jawaban:
Pertama, bahwa syariat shalat sudah dikenal sebelum peristiwa isra’ mi’raj.

Pernah ada seseorang yang bertanya kepada A’isyah tentang shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab

أَلَيْسَ تَقْرَأُ هَذِهِ السُّورَةَ؟ يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ، إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضَ قِيَامَ اللَّيْلِ فِي أَوَّلِ هَذِهِ السُّورَةِ، فَقَامَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ حَوْلًا حَتَّى انْتَفَخَتْ أَقْدَامُهُمْ، وَأَمْسَكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَاتِمَتَهَا اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا، ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ التَّخْفِيفَ فِي آخِرِ هَذِهِ السُّورَةِ فَصَارَ قِيَامُ اللَّيْلِ تَطَوُّعًا بَعْدَ أَنْ كَانَ فَرِيضَةً


Pernahkah anda membaca surat ini (surat Al-Muzammil)? Sesungguhnya Allah mewajibkan shalat malam seperti di awal surat ini. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melaksanakan shalat malam selama setahun, sampai kaki mereka bengkak, dan Allah tidak turunkan ayat-ayat akhir surat ini selama 12 bulan. Kemudian Allah menurunkan keringanan untuk shalat malam seperti disebutkan pada akhir surat ini, sehingga shalat malam hukumnya anjuran, setelah sebelumnya kewajiban. (HR. Nasai 1601, Ibnu Khuzaimah 1127).

Kemudian keterangan lainnya juga terdapat dalam hadis panjang yang menceritakan dialog antara Heraklius dengan Abu Sufyan, ketika dia mendapat surat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Heraklius bertanya kepada Abu Sufyan,

“Apa yang diperintahkan nabi itu kepada kalian?”

Jawab Abu Sufyan, yang saat itu sedang berdagang di Syam,

يَقُولُ : اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ ؛ وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ


Nabi itu mengajarkan, “Beribadahlah kepada Allah semata dan jangan menyekutukannya dengan sesuatu apapun, tinggalkan apa yang menjadi ajaran nenek moyang kalian. Dia memerintahkan kami untuk shalat, zakat, bersikap jujur, menjaga kehormatan, dan menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari 7 dan Muslim 1773)

Ketika menjelaskan hadis ini, Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan,

وهو يدل على أن النبي كان أهم ما يأمر به أمته الصلاة ، كما يأمرهم بالصدق والعفاف ، ، واشتُهر ذلك حتى شاع بين الملل المخالفين له في دينه ، فإن أبا سفيان كان حين قال ذلك مشركا ، وكان هرقل نصرانيا . ولم يزل منذ بُعث يأمر بالصدق والعفاف ، ولم يزل يصلي أيضا قبل أن تفرض الصلاة


Kisah ini menunjukkan bahwa perintah terpenting yang diserukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya adalah shalat, sebagaimana beliau memerintahkan mereka untuk bersikap jujur, menjaga kehormatan… Ajaran ini menjadi terkenal hingga tersebar ke berbagai pengikut agama selain islam. Karena Abu Sufyan ketika dialog itu masih musyrik, dan Heraklius beragama Nasrani. Dan sejak diutus beliau senantiasa memerintahkan untuk bersikap jujur dan menjaga kehormatan, beliau juga senantiasa shalat, sebelum shalat diwajibkan (shalat 5 waktu). (Fathul Bari Ibn Rajab, 2/303).

Sebagian ulama mengatakan, kewajiban shalat pertama kali adalah 2 rakaat di waktu subuh dan 2 rakaat sore hari. Berdasarkan keterangan Qatadah – seorang tabiin, muridnya Anas bin Malik –,

كان بدءُ الصيام أمِروا بثلاثة أيام من كل شهر ، وركعتين غدوة ، وركعتين عشية


Puasa pertama kali yang diperintahkan adalah puasa 3 hari setiap bulan, dan shalat 2 rakaat di waktu pagi dan 2 rakaat di waktu sore. (Tafsir At-Thabari, 3/501).

Meskipun ada ulama yang menolak keterangan Qatadah ini. Apapun itu, intinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat telah mengenal shalat sebelum peristiwa isra mi’raj.

Kedua, tidak ada keterangan yang jelas tentang tata cara shalat sebelum isra mi’raj.

Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang masalah ini, jawaban beliau,

الذي نعلمه أن الرسول صلى الله عليه وسلم كان يصلي قبل المعراج في الصباح والمساء بكرة وعشياً، وكيف كان يصلي؟ الله أعلم. ولا شك أنه كان يصلي إما باجتهاد أو بوحي، إن كان بوحي فهو منسوخ، وإن كان باجتهاد فقد تبين الشرع


Yang kami tahu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan shalat sebelum peristiwa isra mi’raj, di pagi dan sore hari. Bagaimana cara beliau shalat? Allahu a’lam, yang jelas beliau shalat. Bisa jadi tata caranya dengan ijtihad mereka atau berdasarkan wahyu. Jika tata cara shalat yang beliau kerjakan ketika itu, berdasarkan wahyu maka statusnya telah mansukh (dihapus) [dengan tata cara shalat yang saat ini]. Jika berdasarkan ijtihad, syariat telah menjelaskan tata cara shalat yang benar..

Hal yang sama juga yang dipesankan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah. Ketika menanggapi pertanyaan semacam ini, majlis fatwa mengatakan,

فلم يرد فيما نعلم نقل صحيح ولا حسن يبين كيفية الصلاة التي كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصليها قبل الإسراء والمعراج، وليس وراء العلم بذلك فائدة، فنحن متعبدون بما أمرنا الله تعالى به وما استقر عليه الشرع بعد تمامه


Yang kami ketahui, tidak terdapat keterangan yang shahih maupun hasan yang menjelaskan tata cara shalat yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum persitiwa isra’ mi’raj. Dan tahu masalah ini tidak memberikan banyak manfaat. Karena kita beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang Allah perintahkan untuk kita, dan yang sudah ditetap dalam syariat setelah sempurna. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 41207).

Ketiga, tentang shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjadi imam nabi-nabi yang lain pada saat peristiwa isra mi’raj. Shalat apakah yang beliau lakukan?

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kejadian isra’ mi’raj, diantara penggalannya,

ثُمَّ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ، فَصَلَّيْتُ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ


“Kemudian aku masuk masjid (Al-Aqsa) dan aku shalat 2 rakaat.” (HR. Muslim 162).

Syaikh Athiyah Shaqr pernah ditanya tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjidil Aqsha, ketika peristiwa isra’. Kemudian beliau membawakan keterangan dari kitab Al-Mawahib Al-Laduniyah dengan syarah Az-Zurqani,

وقد اختُلف في هذه الصلاة، هل هي فرض أو نفل قال بعض العلماء إنَّها فرْض، بناء على ما قاله النُّعماني، وقال البعض: إنها نفْل، وإذا قلنا: إنها فرْض، فأي صلاة هي؟ قال بعضهم الأقرب أنها الصبْح، ويُحتمل أن تكون العشاء


Diperselisihkan tentang shalat ini. apakah shalat wajib ataukah sunah. Sebagian ulama mengatakan wajib, berdasarkan keterangan An-Nu’mani, dan sebagian mengatakan, shalat sunah. Jika kita mengatakan itu wajib, lalu itu shalat apa? Sebagian berpendapat, yang mendekati, itu shalat subuh, bisa juga shalat isya.. ada yang mengatakan itu terjadi sebelum mi’raj (naik ke langit) dan ada yang mengatakan terjadi sesudah mi’raj.

Kemudian beliau membawakan keterangan As-Syami,

ليسا بشيء، سواء قلنا صلَّى بهم قبل العروج أم بعده؛ لأن أول صلاة صلاها النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ من الخَمْس مُطلقًا الظُّهر بمكة باتفاق، ومن حمل الأوَّليَّة على مكةَ فعليه الدليل


Pendapat-pendapat ini tidak perlu dihiraukan, baik pendapat yang mengatakan shalat jamaah itu sebelum mi’rajj atau sesudah mi’raj. Karena shalat wajib 5 waktu yang pertama kali dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mutlak adalah shalat zuhur di Mekah dengan sepakat ulama. Dan siapa yang mengatakan ada shalat wajib pertama sebelum di Mekah maka dia harus membawakan dalil..

Setelah cukup detail membawakan rincian perselisihan, beliau mengakhiri dengan nasehat,

ومهما يكن من شيء فالخلاف في هذا الموضوع ليست له نتيجة عملية


“Apapun itu, perselisihan dalam kasus semacam ini, tidak memiliki manfaat yang bisa diamalkan.”

Nabi muhammad jadi rebutan di madinah

Seperti yang diberitakan dalam al-Quran, bahwa sebelum kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, masyarakat ahli kitab telah mengetahui akan ada nabi terakhir yang mempimpin dunia dan mengalahkan berbagai macam suku dan golongan yang tidak mengikutinya. Dia membawa kitab yang menjadi penyempurna kitab-kitab sebelumnya, dan membawa ajaran yang menyempurnakan ajaran sebelumnya.

وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ


Ingatlah ketika Isa Ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan datangnya seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata.” (QS. As-Shaf: 6)

Di ayat lain, Allah berfirman,

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ


(yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-A’raf: 157)

Bahkan, para rahib ahli kitab, mengetahui dengan detail ajaran yang dibawa nabi terakhir, layaknya mereka mengetahui ciri-ciri anaknya sendiri,

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ


Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al kitab (Taurat dan Injil) Mengenal Muhammad seperti mereka Mengenal anak-anaknya sendiri. dan Sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 146).

Ibnu Katsir mengatakan,

يخبر تعالى أنّ علماء أهل الكتاب يعرفون صِحّة ما جاءهم به الرسول صلى الله عليه وسلم [كما يعرفون أبناءهم] كما يعرف أحدُهم ولده، والعربُ كانت تضرب المثل في صحة الشيء بهذا


Allah memberitakan, bahwa para ulama ahli kitab (rahib) mereka mengetahui kebenaran ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana mereka mengetahui anaknya sendiri. Masyarakat arab membuat permisalan kebenaran sesuatu dengan ungkapan seperti ini. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/462).

Mereka juga memahami bahwa nabi terakhir ini akan tinggal di daerah yang memiliki banyak kebun kurma.

Karena alasan inilah, masyarakat yahudi eksodus dari daerah asalnya di Syam, menuju Yatsrib (nama asal kota Madinah), untuk menyambut kehadiran nabi terakhir yang tinggal. Dalam ar-Rahiq al-Makhtum diterangkan tentang asal yahudi di Madinah,

وكانوا في الحقيقة عبرانيين، ولكن بعد الانسحاب إلى الحجاز اصطبغوا بالصبغة العربية في الزى واللغة والحضارة، حتى صارت أسماؤهم وأسماء قبائلهم عربية، وحتى قامت بينهم وبين العرب علاقة الزواج والصهر، إلا أنهم احتفظوا بعصبيتهم الجنسية، ولم يندمجوا في العرب قطعًا، بل كانوا يفتخرون بجنسيتهم الإسرائيلية


Aslinya mereka adalah ibrani, namun setelah mereka pindah ke daerah Hijaz (wilayah Madinah – Mekah), mereka melebur dengan kultur arab, mulai dari cara berpakaian, bahasa, sampai tradisi dan kebudayaan. Hingga nama mereka dan nama kabilah mereka kearab-araban. Sampai terjadi hubungan pernikahan antara yahudi dengan masyarakat arab. Hanya saja, mereka masih menjaga fanatisme kebangsaan, dan tidak berasimilasi penuh dengan masyarakat arab. Bahkan mereka membanggakan diri mereka sebagai keturunan Israil. (ar-Rahiq al-Makhtum, 139).
Perang Dingin Yahudi dan Masyarakat

Sikap fanatisme masyarakat yahudi di Madinah, mendorong mereka untuk berusaha merebut kota madinah dari tangan penduduk arab. Untuk mewujudkan tujuan ini, mereka berusaha mengadu domba antar-suku masyarakat Madinah, yang ketika itu terdiri dari 2 suku besar: Aus dan Khazraj. Hingga terjadi perang besar antara dua suku ini, yang dikenal dengan perang Bu’ats. Peristiwa ini terjadi sebelum kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mereka menggelari orang arab dengan kaum ummiyun (masyarakat buta huruf), primitif, lugu dan terbelakang. Mereka juga menguasai perekonomian Yatsrib, dan banyak membungakan uang serta menerima gadai tanah dengan penduduk asli.

Bahkan mereka berkeyakinan, dibolehkan mengambil harta penduduk pribumi. Allah ceritakan dalam al-Quran,

قَالُوا لَيْسَ عَلَيْنَا فِي الْأُمِّيِّينَ سَبِيلٌ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ


”Orang yahudi itu mengatakan, Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummiyun itu. Mereka juga berkata dusta atas nama Allah, padahal mereka menyadarinya.” (QS. Ali Imran: 75).

Karena itu, tidak heran jika kehadiran kaum yahudi di Madinah dengan segala karakter rakusnya, menimbulkan perang dingin antara penduduk asli dengan masyarakat yahudi.
Ancaman Yahudi kepada Penduduk Madinah

Karena telah memiliki taurat, dalam masalah keyakinan, masyarakat yahudi merasa diri mereka lebih berperadaban dibandingkan penduduk arab asli. Hingga mereka mengancam kepada masyarakat pribumi, ”Akan diutus kepada kami seorang nabi akhir zaman, yang akan berperang bersama kami, mengalahkan kalian.”

Abul Aliyah menyebutkan bahwa diantara doa orang yahudi itu,

اللهم ابعث هذا النبي الذي نجده مكتوبًا عندنا حتى نعذب المشركين ونقتلهم


”Ya Allah, utuslah nabi yang telah disebutkan kisahnya dalam taurat ini, sehingga kami bisa menghukum orang-orang musyrik itu, dan membantai mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/326)

Allah ceritakan hal ini dalam al-Quran,

وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا


Dan setelah datang kepada mereka Al-Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir. (QS. Al-Baqarah: 89).

Ibnu Katsir menafsirkan,

وقد كانوا من قبل مجيء هذا الرسول بهذا الكتاب يستنصرون بمجيئه على أعدائهم من المشركين إذا قاتلوهم، يقولون: إنه سيبعث نبي في آخر الزمان نقتلكم معه قتل عاد وإرم


”Dulu sebelum kedatangan Rasu terakhir dengan membawa al-Quran, mereka berharap kehadiran Rasul itu untuk membantu mereka mengalahkan musuh mereka di kalangan orang musyrikin (masyarakat arab, penduduk Yatsrib), ketika nabi itu memerangi mereka. Kaum yahudi itu mengatakan, “Akan diutus seorang nabi di akhir zaman, dan kami akan membantai kalian bersamanya, sebagaimana pembantaian yang terjadi pada kaum Ad dan Iram.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/325).

Akan tetapi harapan mereka meleset. Para yahudi itu berharap agar nabi terakhir diutus di kalangan mereka, namun ternyata Allah utus dari kalangan orang arab, suku Quraisy. Lebih dari itu, nabi terakhir ini tidak berpihak atas nama fanatisme keturunan Israil. Pupus sudah harapan besar mereka, hingga timbul hasad dan dengki kepada masyarakat arab. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain kufur terhadap nabi terakhir itu.

Di lanjutan ayat di atas, Allah berfirman,

فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ. بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ بَغْيًا أَنْ يُنَزِّلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ


”Ketika telah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. La’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. (QS. Al-Baqarah: 89 – 90)

Ibnu Abbas menceritakan,

أن يَهود كانوا يستفتحون على الأوس والخزرج برسول الله صلى الله عليه وسلم قبل مبعثه. فلما بعثه الله من العرب كفروا به، وجحدوا ما كانوا يقولون فيه. فقال لهم معاذ بن جبل، وبشر بن البراء بن مَعْرُور، أخو بني سلمة: يا معشر يهود، اتقوا الله وأسلموا، فقد كنتم تستفتحون علينا بمحمد صلى الله عليه وسلم ونحن أهل شرك، وتخبروننا بأنه مبعوث، وتصفُونه لنا بصفته


Sebelum diutusnya nabi, orang yahudi berharap akan mengalahkan kaum Aus dan Khazraj dengan kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika Allah mengutus beliau dari suku arab, mereka kufur kepadanya, dan mengingkari ucapan yang dulu pernah mereka sampaikan. Hingga Muadz bin Jabal dan Bisyr bin Barra dari Bani Salamah menyampaikan kepada orang yahudi: “Wahai orang yahudi, bertaqwalah kepada Allah dan masuklah ke dalam islam. Dulu kalian ingin menghabisi kami dengan kehadiran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika kami masih musyrik. Kalian sampaikan kepada kami bahwa beliau akan diutus dan kalian juga menceritakan sifat beliau kepada kami.”

Namun pernyataan dua sahabat ini dibantah oleh yahudi, melalui lidah Salam bin Misykam dari Bani Nadhir,

ما جاءنا بشيء نعرفه، وما هو بالذي كنا نذكر لكم


”Belum datang kepada kami nabi yang kami kenal, sama sekali. Dia (Muhammad) bukanlah orang yang pernah kami ceritakan kepada kalian.”

Dengan sebab ini, Allah turunkan surat al-Baqarah ayat 89 dan 90 di atas.
Mengapa Penduduk Madinah Mudah Menerima Islam?

Dalam sejarah perjuangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita sering mendengar usaha dakwah beliau yang sering mengalami penolakan. Dakwah di Mekah, mendapat banyak penolakan orang musyrikin Quraisy, dakwah di Thaif, beliau malah dilempari batu, banyak kabilah yang ditawari menjadi pengikut beliau, namun mereka tidak bersedia.

Ini berbeda dengan penduduk Yatsrib. Setelah mereka mendengar ada nabi terakhir di kota Mekah, betapa mudahnya masyarakat Madinah menerima dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan kehadiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka sambut dengan gembira dan suka cita.

Apa sebabnya? Apakah karakter mereka berbeda dengan musyrikin lainnya?

Bahwa setelah hidayah yang Allah berikan kepada mereka, salah satu analisis sejarah menyebutkan, karena motivasi untuk bisa mengalahkan orang yahudi yang menjadi musuh bebuyutan mereka. Berdasarkan berita dari para yahudi, nabi terakhir akan menaklukkan penjuru dunia, begitu mendengar nabi terakhir itu, merekapun dengan suka cita menjadi pengikutnya.
Yahudi Iri dan Dengki

Pelajaran penting yang juga perlu kita garis bawahi, sebab terbesar orang yahudi itu kufur kepada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah karena mereka iri dengan kita. Mereka dengki dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Allah sampaikan dalam al-Quran,

فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ . بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ بَغْيًا أَنْ يُنَزِّلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ


”Ketika telah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. La’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki mengapa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. (QS. Al-Baqarah: 89 – 90)

Makna: ”Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya” : Allah menurunkan kenabian terakhir kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Karena desakan sifat ’iri’ itu, mereka wujudkan dalam usaha memurtadkan kaum muslimin. Allah menceritakan,

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ


Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat menjadikan kalian kembali kafir setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. (QS. Al-Baqarah: 109).

Anda bisa perhatikan, mereka iri dengan agama kita. Itu artinya ajaran agama kita jauh lebih sempurna dan lebih baik dari pada agama mereka, dan bahkan tidak bisa dibandingkan, karena ajaran agama mereka telah disimpangkan.

Jika Si A iri kepada si B, mana yang lebih baik? Jelas jawabannya si B lebih baik. Karena jika si A lebih baik dari pada si B, untuk apa dia iri kepada si B.

Yahudi dan nasrani, iri kepada islam. Sekali lagi, karena ajaran islam lebih baik dari pada ajaran mereka. Jika islam jauh lebih baik dari pada nasrani dan yahudi, lantas dengan alasan apa umat islam mengucapkan ’selamat natal’ atau selamat tahun baru, yang itu semua perayaan agama usang yang seharusnya sudah ditinggalkan.

Namun sangat disayangkan, kehadiran generasi ’muslim liberal’ mewakili kelompok kaum muslimin yang rendah diri [bukan rendah hati], merasa hina di depan agama usang dan diselewengkan.

Allahu a’lam

Hukum mensholati jenazah bunuh diri

Pertanyaan :
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Apakah orang yang bunuh diri jenazahnya juga harus dishalatkan dan dikirimkan doa?

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Bunuh diri termasuk dosa yang sangat besar, karena pelakunya diancam oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk disiksa di neraka dengan cara sebagaimana dia membunuh jiwanya. Padahal orang yang melakukan bunuh diri sampai mati, tidak ada lagi kesempatan bertaubat baginya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ في نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيها أَبَدًا، وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ في يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ في نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فيها أَبَدًا، وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَديدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ في يَدِهِ يَجَأُ بِها في بَطْنِهِ في نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيها أَبَدًا

“Siapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung hingga mati maka di neraka jahanam dia akan menjatuhkan dirinya, kekal di dalamnya selamanya. Siapa yang menegak racun sampai mati, maka racun itu akan diberikan di tangannya, kemudian dia minum di neraka jahanam, kekal di dalamnya selamanya. Siapa yang membunuh dirinya dengan senjata tajam maka senjata itu akan diberikan di tangannya kemudian dia tusuk perutnya di neraka jahanam, kekal selamanya.” (HR. Bukhari 5778 dan Muslim 109)

Meskipun demikian, pelaku bunuh diri tidaklah dihukumi keluar dari islam. Artinya, meskipun dia mati suul khotimah, namun dia tetap muslim, sehingga jenazahnya tetap wajib disikapi sebagaimana layaknya jenazah seorang muslim. Dia wajib dimandikan, dikafani, dishalati, dan dimakamkan di pemakaman kaum muslimin.

Hanya saja, ada satu yang membedakan, dianjurkan bagi pemuka agama dan masyarkat, seperti ulama setempat atau pemerintah desa setempat, agar tidak turut menshalati jenazah ini secara terang-terangan, sebagai hukuman sosial dan pelajaran berharga bagi masyarakat.

Diantara dalil yang menunjukkan hal ini,

Dari Jabir bin Samurah radhiallahu ’anhu, beliau menceritakan,
أُتِي النبي صلى الله عليه وسلم برجل قتل نفسه بمشاقص فلم يصل عليه

Pernah dihadapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang jenazah korban bunuh diri dengan anak panah, dan beliau tidak bersedia menshalatinya. (HR. Muslim 978).

An-Nawawi mengatakan,
عن مالك وغيره أن الإمام يجتنب الصلاة على مقتول في حد وأن أهل الفضل لا يصلون على الفساق زجرا لهم وعن الزهري لا يصلى على مرجوم ويصلى على المقتول في قصاص

Imam Malik dan yang lainnya berpendapat bahwa hendaknya pemuka masyarakat tidak menshalati orang yang mati karena dihukum, dan para pemuka agama tidak menshalati orang fasik, sebagai peringatan bagi msyarakat. Sementara Az-Zuhri berpendapat, pemuka masyarakat tidak menshalati orang yang mati dirajam, namun menshalati orang yang mati sebagai qishas. (Syarh Shahih Muslim, 7/47 – 48)

Syaikhul Islam mengatakan,
ومن امتنع من الصلاة على أحدهم – أي : الغال والقاتل والمدين – زجراً لأمثاله عن مثل فعله كان حسناً ، ولو امتنع في الظاهر ودعا له في الباطن ليجمع بين المصلحتين : كان أولى من تفويت إحداهما

Orang yang tidak mau menshalati jenazah yang mati karena korupsi, qishas, dan punya utang, sebagai bentuk peringatan bagi yang lain agar tidak melakukan semacam itu, termasuk sikap yang baik. Dan andaikan dia tidak mau menshalati secara terang-terangan, namun tetap mendoakan secara diam-diam, sehingga bisa menggabungkan dua sikap paling maslahat, tentu itu pilihan terbaik dari pada meninggalkan salah satu. (al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah, hlm. 78)

Maksud beliau dengan “dia tidak mau menshalati jenazah orang fasik secara terang-terangan” adalah dalam rangka mengingatkan masyarakat terhadap bahaya perbuatan tersebut dan “tetap mendoakan secara diam-diam”, dalam rangka menunaikan hak sesama muslim.

Allahu a’lam

Hukum jasa mengawinkan binatang

Assalamu’alaikum,
Ustadz….apakah halal uang jasa dr hasil pacak hewan?
Dimana kita membayarkan uang karena hewan betina peliharaan kita dikawinkan dengan hewan jantan milik orang lain. Jazakumullahukhayr

Jawaban:
Wa alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الفَحْلِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli sperma pejantan. (HR. Bukhari 2284, Nasai 4671, Abu Daud 3429, dan yang lainnya).

Dalam riwayat lain, dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ ضِرَابِ الْجَمَلِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyewakan air mani pejantan. (HR. Muslim 1565).

Yang dimaksud dengan “melarang sperma pejantan” dalam hadits di atas mencakup dua pengertian:

Jual beli sperma pejantan.
   
Menyewakan pejantan untuk mengawini betina.

Ibnu Hajar mengatakan,

وعلى كل تقدير فبيعه وإجارته حرام لأنه غير متقوم ولا معلوم ولا مقدور على تسليمه

“Apapun maknanya, memperjual-belikan sperma jantan dan menyewakan pejantan itu haram karena sperma pejantan itu tidak bisa diukur, tidak diketahui, dan tidak bisa diserah-terimakan.” (Fathul Bari, 4/461)
Perbedaan Pendapat Ulama

Ulama berbeda pendapat tentang status larangan di atas,

Pertama, status larangan di atas adalah larangan haram. Artinya, pemilik hewan jantan atau pemilik sperma hewan jantan, sama sekali tidak dibenarkan mendapatkan upah atau bayaran apapun dari pemilik hewan betina yan dikawinkan.

An-Nawawi menyebutkan,

قال الشافعي وأبو حنيفة وأبو ثور وآخرون استئجاره لذلك باطل وحرام ولا يستحق فيه عوض ولو أنزاه المستأجر لا يلزمه المسمى من أجره ولا أجرة مثل ولا شئ من الأموال قالوا لأنه غرر مجهول وغير مقدور على تسليمه

As-Syafii, Abu Hanifah, dan Abu Tsaur, serta beberapa ulama lainnya mengatakan bahwa menyewakan hewan jantan untuk dikawinkan statusnya tidak sah dan haram. Pemiliknya tidak berhak mendapatkan ganti biaya. Meskipun penyewa itu mengawinkan hewan jantan (milik orang lain) dengan betina miliknya, dia tidak berkewajiban membayar upah yang telah dinyatakan di awal, tidak pula upah yang semisal atau harta apapun.

Mereka beralasan, karena semacam ini ada unsur gharar, tidak jelas, dan tidak bisa diserah-terimakan. (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 10/230)

Kedua, larangan dalam hadis di atas, tidak sampai derajat haram, tapi larangan makruh dan sebatas anjuran untuk bersikap baik kepada sesama. Disamping hasil utama dari penyewaan jantan adalah terjadinya perkawinan antara jantan dengan betina, dan bukan semata anak.

An-Nawawi menyebutkan,

وقال جماعة من الصحابة والتابعين ومالك وآخرون يجوز استئجاره لضراب مدة معلومة أو لضربات معلومة لأن الحاجة تدعو إليه وهي منفعة مقصودة وحملوا النهي على التنزيه والحث على مكارم الأخلاق…

”Beberapa sahabat, tabiin, Imam Malik, dan beberapa ulama lainnya berpendapat, boleh menyewakan pejantan untuk dikawinkan dalam masa yang disepakati, atau untuk beberapa kali proses mengawini. Karena ada kebutuhan untuk melakukan proses itu, danmengawinkan binatang merupakan manfaat utamanya.

Mereka memahami larangan di atas, sebagai larangan makruh dan motivasi untuk memiliki akhlak yang baik. (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 10/230)
Pendapat Yang Lebih Kuat

Ibnul Qayyim mengatakan,

والصحيح تحريمه مطلقا وفساد العقد به على كل حال ويحرم على الآخر أخذ أجرة ضرابه

“Yang benar, sewa pejantan adalah haram secara mutlak, dan akadnya batal, apapun skema transaksinya. Haram bagi pemilik pejantan untuk mengambil hasil dari menyewakan pejantan.

Kemudian Ibnul Qoyim menyebutkan beberapa alasan mengapa ini diharamkan,

وقد علل التحريم بعدة علل، إحداها : أنه لا يقدر على تسليم المعقود عليه فأشبه إجارة الآبق فإن ذلك متعلق باختيار الفحل وشهوته. الثانية : أن المقصود هو الماء وهو مما لا يجوز إفراده بالعقد فإنه مجهول القدر والعين

Ulama menjelaskan, alasan haramnya menyewakan pejantan,

Pertama, bahwa sperma pejantan tidak bisa diserah-terimakan. Sehingga statusnya sama dengan menyewakan budak kabur. Karena keluarnya sperma binatang tergantung dari syahwat dan naluri pejantan.

Kedua, tujuan utamanya adalah sperma, dan sperma termasuk benda yang tidak boleh dijual secara terpisah, karena takarannya dan kualitasnya tidak bisa diketahui.

أن ماء الفحل لا قيمة له ولا هو مما يعاوض عليه ولهذا لو نزا فحل الرجل على رمكة غيره فأولدها فالولد لصاحب الرمكة اتفاقا لأنه لم ينفصل عن الفحل إلا مجرد الماء وهو لا قيمة له

Sperma adalah benda yang tidak memiliki nilai, bukan pula benda yang layak dijual belikan. Karena itu, ketika ada hewan pejantan milik A yang mengiwini hewan betina milik B, kemudian menghasilkan anak. Maka anak hewan ini menjadi milik B, pemilik hewan betina dengan sepakat ulama. Karena anak ini tidak ada hubunganya dengan si jantan, selain sebatas sperma dan itu tidak ada harganya.(Zadul Ma’ad, 5/703).

Jika Bentuknya Hadiah, Boleh Diterima

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

أن رجلاً من كلاب سأل النبي صلى الله عليه وسلم عن عسب الفحل، فنهاه، فقال: يا رسول الله: إننا نطرق الفحل فنكرم، فرخص له في الكرامة

Ada seseorang dari suku Kilab yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sperma binatang, beliaupun melarangnya.Lalu beliau bertanya: ’Kam sering mengawinkan jantan dengan betina, lalu kami mendapat hadiah.’ Lalu beliau memberi keringanan untuk menerima hadiah dan bukan sewa. (HR. Turmudzi 1274 dan dishahihkan al-Albani).

Dalam Tuhfah al-Ahwadzi penjelasan sunan Turmudzi dinyatakan,

وفيه دليل على أن المعير إذا أهدى إليه المستعير هدية بغير شرط حلت له

Hadis ini merupakan dalil bahwa pemilik barang jika mendapat hadiah dari orang yang meminjam, tanpa syarat di depan, hukumnya halal. (Tuhfah Ahwadzi, 4/412)

Pahala Meminjamkan Pejantan Tanpa Sewa

Dari Abu Amir Al-Hauzani dari Abu Kabsyah Al-Anmari. Abu Kabsyah datang ke rumah Abu Amir lalu mengatakan, “Pinjami aku kuda pejantanmu untuk mengawini kuda betina milikku, karena sungguh aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَطْرَقَ فَرَسًا، فَعَقَبَ لَهُ الْفَرَسُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ سَبْعِينَ فَرَسًا حُمِلَ عَلَيْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ لَمْ تُعْقِبْ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ فَرَسٍ حُمِلَ عليه في سبيل الله

“Barang siapa yang meminjamkan kuda pejantannya secara cuma-cuma, lalu kuda betina yang dibuahi itu berketurunan, maka pemilik kuda jantan tersebut akan mendapatkan pahala tujuh puluh kuda yang dijadikan sebagai binatang tunggangan di jalan Allah. Jika tidak berketurunan maka pemilik kuda pejantan akan mendapatkan pahala seekor kuda yang digunakan sebagai hewan tunggangan di jalan Allah.” (HR. Ibnu Hibban, no. 4765)

Allahu a’lam

Senin, 30 Desember 2013

3 Keutamaan wudhu

Wudhu merupakan sarana bersuci (thaharah) umat Islam dari hadats kecil. Wudhu memiliki 3 keutamaan yang luar biasa sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di bawah ini:

1. Anggota wudhu akan bercahaya di hari kiamat

إِنَّ أُمَّتِى يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ

“Sungguh, umatku akan dipanggil (saat akan dihisab) nanti pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya di sekitar wajah, tangan dan kaki, karena bekas wudhu. Karena itu, barangsiapa diantara kalian yang ingin melebihkan basuhan wudhunya, maka lakukanlah.” (Muttafaq ‘alaih)

2. Mendapatkan perhiasan di surga sesuai batas wudhunya

تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنَ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوَضُوءُ

“Perhiasan orang mukmin (di surga) itu sesuai batas wudhunya” (HR. Muslim)

3. Diampuni dosanya

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ

“Barangsiapa berwudhu dan menyempurnakannya, maka semua dosa keluar dari jasadnya, hingga dari ujung kuku-kukunya.” (HR. Muslim)

مَنْ تَوَضَّأَ هَكَذَا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَكَانَتْ صَلاَتُهُ وَمَشْيُهُ إِلَى الْمَسْجِدِ نَافِلَةً

“Barangsiapa berwudhu demikian, maka dosa-dosanya yang telah lalu diampuni. Shalat dan berjalannya menuju masjid menjadi tambahan pahala.” (HR. Muslim)

إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ - أَوِ الْمُؤْمِنُ - فَغَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ - أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ - فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ - أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ - فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلاَهُ مَعَ الْمَاءِ - أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ - حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيًّا مِنَ الذُّنُوبِ

“Apabila seorang muslim –atau mukmin- berwudhu, maka ketika membasuh wajah, seluruh dosa yang telah dilihat dengan kedua matanya keluar dari wajahnya bersama air –atau tetesan air terakhir. Ketika membasuh kedua tangannya, setiap dosa yang disebabkan pukulan tangannya keluar dari tangannya bersama air –atau tetesan air terakhir. Ketika membasuh kakinya, seluruh dosa karena perjalanan kakinya keluar bersama air -atau tetesan air terakhir. Sehingga, ia pun keluar dalam keadaan bersih dari seluruh dosa.” (HR. Muslim)

Demikianlah 3 keutamaan wudhu, semoga membuat kita semakin bersemangat dalam berwudhu dan berusaha menjaga wudhu.

WUDHU PEMBERSIH JIWA

Pada Saat Wudhu, Ucapkanlah Perkataan Ini Didalam Hati

1. Ketika Membasuh Tangan, Ucapkanlah Basmalah
2. Ketika Berkumur, Ucapkanlah "Ya Allah Jauhkan Lidahku Dari Perkataan Yang Tidak Bermanfaat"
3. Ketika Membasuh Hidung, Ucapkanlah "Ya Allah Berilah Aku Ke-bau-an Surga"
4. Ketika Membasuh Wajah, Ucapkanlah "Ya Allah Jauhkanlah Wajahku Dan Wajah Kedua Orang Tuaku Dari Api Neraka"
5. Ketika Membasuk Tangan Dan Siku, Ucapkanlah "Ya Allah Jauhkan Tanganku Dari Kemaksiatan"
6. Ketika Mengusap Kepala, Ucapkanlah "Ya Allah Jauhkan Kepala Ku Dan Kepala Kedua Orang Tua Ku Dari Api Neraka, Serta Jauhkan Kami Dari Pikiran Maksiat"
7. Ketika Membasuh Telinga, Ucapkanlah "Ya Allah Jadikanlah Telinga ku Selalu Mendengar Hal Yang Baik"
8. Ketika Membasuh Kaki Dan Mata Kaki, Ucapkanlah "Ya Allah Permudahlah Kaki Ku Dan Kaki Kedua Orang Tua Ku Melintasi Titian Shiratul Mustaqim Di Akhirat Kelak" Lakukanlah Hal Berikut, Insya ALLAH Dikabulkan Oleh ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala Rasulullah shallallahu álaihi wasallam bersabda : “Barang siapa Menunjukkan kepada Kebaikan. Maka ia memperoleh Pahala yang sama seperti yang melakukan atau mengamalkan Kebaikan itu.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Minggu, 29 Desember 2013

Kisah 4 bayi yang bisa berbicara

Kisah 4 Bayi Yang Berbicara

Tanya:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ustadz yang ingin tanya tentang kisah bayi yang dapat berbicara selain Nabi Isa Alaihissalam, saya ingin tahu seperti apa kisahnya dan bagaimana dengan tingkat keshahihan hadits tersebut.

Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Sepanjang pengetahuan kami, ada 4 bayi yang tersebut dalam hadits bisa berbicara, yaitu:

1. Isa bin Maryam alaihissalam.

2. Bayi dalam kisah Juraij si ahli ibadah.

3. Bayi yang sedang menyusu kepada ibunya.

4. Bayi yang akan dilempar ke dalam api.

Adapun 3 bayi yang pertama, tersebut dalam hadits Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau telah bersabda:

لَمْ يَتَكَلَّمْ فِي الْمَهْدِ إِلَّا ثَلَاثَةٌ: عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ

وَصَاحِبُ جُرَيْجٍ وَكَانَ جُرَيْجٌ رَجُلًا عَابِدًا فَاتَّخَذَ صَوْمَعَةً فَكَانَ فِيهَا فَأَتَتْهُ أُمُّهُ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَتْ يَا جُرَيْجُ فَقَالَ يَا رَبِّ أُمِّي وَصَلَاتِي فَأَقْبَلَ عَلَى صَلَاتِهِ فَانْصَرَفَتْ فَلَمَّا كَانَ مِنْ الْغَدِ أَتَتْهُ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَتْ يَا جُرَيْجُ فَقَالَ يَا رَبِّ أُمِّي وَصَلَاتِي فَأَقْبَلَ عَلَى صَلَاتِهِ فَانْصَرَفَتْ فَلَمَّا كَانَ مِنْ الْغَدِ أَتَتْهُ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَتْ يَا جُرَيْجُ فَقَالَ أَيْ رَبِّ أُمِّي وَصَلَاتِي فَأَقْبَلَ عَلَى صَلَاتِهِ فَقَالَتْ اللَّهُمَّ لَا تُمِتْهُ حَتَّى يَنْظُرَ إِلَى وُجُوهِ الْمُومِسَاتِ فَتَذَاكَرَ بَنُو إِسْرَائِيلَ جُرَيْجًا وَعِبَادَتَهُ وَكَانَتْ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُتَمَثَّلُ بِحُسْنِهَا فَقَالَتْ إِنْ شِئْتُمْ لَأَفْتِنَنَّهُ لَكُمْ قَالَ فَتَعَرَّضَتْ لَهُ فَلَمْ يَلْتَفِتْ إِلَيْهَا فَأَتَتْ رَاعِيًا كَانَ يَأْوِي إِلَى صَوْمَعَتِهِ فَأَمْكَنَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا فَوَقَعَ عَلَيْهَا فَحَمَلَتْ فَلَمَّا وَلَدَتْ قَالَتْ هُوَ مِنْ جُرَيْجٍ فَأَتَوْهُ فَاسْتَنْزَلُوهُ وَهَدَمُوا صَوْمَعَتَهُ وَجَعَلُوا يَضْرِبُونَهُ فَقَالَ مَا شَأْنُكُمْ قَالُوا زَنَيْتَ بِهَذِهِ الْبَغِيِّ فَوَلَدَتْ مِنْكَ فَقَالَ أَيْنَ الصَّبِيُّ فَجَاءُوا بِهِ فَقَالَ دَعُونِي حَتَّى أُصَلِّيَ فَصَلَّى فَلَمَّا انْصَرَفَ أَتَى الصَّبِيَّ فَطَعَنَ فِي بَطْنِهِ وَقَالَ يَا غُلَامُ مَنْ أَبُوكَ قَالَ فُلَانٌ الرَّاعِي قَالَ فَأَقْبَلُوا عَلَى جُرَيْجٍ يُقَبِّلُونَهُ وَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ وَقَالُوا نَبْنِي لَكَ صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ لَا أَعِيدُوهَا مِنْ طِينٍ كَمَا كَانَتْ فَفَعَلُوا

وَبَيْنَا صَبِيٌّ يَرْضَعُ مِنْ أُمِّهِ فَمَرَّ رَجُلٌ رَاكِبٌ عَلَى دَابَّةٍ فَارِهَةٍ وَشَارَةٍ حَسَنَةٍ فَقَالَتْ أُمُّهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْ ابْنِي مِثْلَ هَذَا فَتَرَكَ الثَّدْيَ وَأَقْبَلَ إِلَيْهِ فَنَظَرَ إِلَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى ثَدْيِهِ فَجَعَلَ يَرْتَضِعُ قَالَ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَحْكِي ارْتِضَاعَهُ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ فِي فَمِهِ فَجَعَلَ يَمُصُّهَا قَالَ وَمَرُّوا بِجَارِيَةٍ وَهُمْ يَضْرِبُونَهَا وَيَقُولُونَ زَنَيْتِ سَرَقْتِ وَهِيَ تَقُولُ حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ فَقَالَتْ أُمُّهُ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ ابْنِي مِثْلَهَا فَتَرَكَ الرَّضَاعَ وَنَظَرَ إِلَيْهَا فَقَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا فَهُنَاكَ تَرَاجَعَا الْحَدِيثَ فَقَالَتْ حَلْقَى مَرَّ رَجُلٌ حَسَنُ الْهَيْئَةِ فَقُلْتُ اللَّهُمَّ اجْعَلْ ابْنِي مِثْلَهُ فَقُلْتَ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ وَمَرُّوا بِهَذِهِ الْأَمَةِ وَهُمْ يَضْرِبُونَهَا وَيَقُولُونَ زَنَيْتِ سَرَقْتِ فَقُلْتُ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ ابْنِي مِثْلَهَا فَقُلْتَ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا قَالَ إِنَّ ذَاكَ الرَّجُلَ كَانَ جَبَّارًا فَقُلْتُ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ وَإِنَّ هَذِهِ يَقُولُونَ لَهَا زَنَيْتِ وَلَمْ تَزْنِ وَسَرَقْتِ وَلَمْ تَسْرِقْ فَقُلْتُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا

“Tidak ada bayi yang dapat berbicara ketika masih berada dalam buaian kecuali tiga bayi:

(1)    Isa bin Maryam,

(2)    dan bayi dalam perkara Juraij.” Juraij adalah seorang laki-laki yang rajin beribadah. Ia membangun tempat peribadatan dan senantiasa beribadah di tempat itu. Ketika sedang melaksanakan shalat sunnah, tiba-tiba ibunya datang dan memanggilnya; ‘Hai Juraij! ‘ Juraij bertanya dalam hati; ‘Ya Allah, manakah yang lebih aku utamakan, melanjutkan shalatku ataukah memenuhi panggilan ibuku? ‘ Akhirnya ia pun meneruskan shalatnya itu hingga ibunya merasa kecewa dan beranjak darinya. Keesokan harinya, ibunya datang lagi kepadanya sedangkan Juraij sedang melakukan shalat sunnah. Kemudian ibunya memanggilnya; ‘Hai Juraij! ‘ Kata Juraij dalam hati; ‘Ya Allah, manakah yang lebih aku utamakan, memenuhi seruan ibuku ataukah shalatku? ‘ Lalu Juraij tetap meneruskan shalatnya hingga ibunya merasa kecewa dan beranjak darinya. Hari berikutnya, ibunya datang lagi ketika Juraij sedang melaksanakan shalat sunnah. Seperti biasa ibunya memanggil; ‘Hai Juraij! ‘ Kata Juraij dalam hati; ‘Ya Allah, manakah yang harus aku utamakan, meneruskan shalatku ataukah memenuhi seruan ibuku? ‘ Namun Juraij tetap meneruskan shalatnya dan mengabaikan seruan ibunya. Tentunya hal ini membuat kecewa hati ibunya. Hingga tak lama kemudian ibunya pun berdoa kepada Allah; ‘Ya Allah, janganlah Engkau matikan ia sebelum ia mendapat fitnah dari perempuan pelacur! ‘ Kaum Bani Israil selalu memperbincangkan tentang Juraij dan ibadahnya, hingga ada seorang wanita pelacur yang cantik berkata; ‘Jika kalian menginginkan popularitas Juraij hancur di mata masyarakat, maka aku dapat memfitnahnya demi kalian.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun meneruskan sabdanya: ‘Maka mulailah pelacur itu menggoda dan membujuk Juraij, tetapi Juraij tidak mudah terpedaya dengan godaan pelacur tersebut. Kemudian pelacur itu pergi mendatangi seorang penggembala ternak yang kebetulan sering berteduh di tempat peribadatan Juraij. Ternyata wanita tersebut berhasil memperdayainya hingga laki-laki penggembala itu melakukan perzinaan dengannya sampai akhirnya hamil. Setelah melahirkan, wanita pelacur itu berkata kepada masyarakat sekitarnya bahwa; ‘Bayi ini adalah hasil perbuatan aku dengan Juraij.’ Mendengar pengakuan wanita itu, masyarakat pun menjadi marah dan benci kepada Juraij. Kemudian mendatangi rumah peribadatan Juraij dan bahkan menghancurkannya. Selain itu, mereka pun bersama-sama menghakimi Juraij tanpa bertanya terlebih dahulu kepadanya. Lalu Juraij bertanya kepada mereka; ‘Mengapa kalian lakukan hal ini kepadaku? ‘ Mereka menjawab; ‘Kami lakukan hal ini kepadamu karena kamu telah berbuat zina dengan pelacur ini hingga ia melahirkan bayi dari hasil perbuatanmu.’ Juraij berseru; ‘Dimanakah bayi itu? ‘ Kemudian mereka menghadirkan bayi hasil perbuatan zina itu dan menyentuh perutnya dengan jari tangannya seraya bertanya; ‘Hai bayi kecil, siapakah sebenarnya ayahmu itu? ‘ Ajaibnya, sang bayi langsung menjawab; ‘Ayah saya adalah si fulan, seorang penggembala.’ Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Akhirnya mereka menaruh hormat kepada Juraij. Mereka menciuminya dan mengharap berkah darinya. Setelah itu mereka pun berkata; ‘Kami akan membangun kembali tempat ibadahmu ini dengan bahan yang terbuat dari emas.’ Namun Juraij menolak dan berkata; ‘Tidak usah, tetapi kembalikan saja rumah ibadah seperti semula yang terbuat dari tanah liat.’ Akhirnya mereka pun mulai melaksanakan pembangunan rumah ibadah itu seperti semula.

(3)    Dan bayi ketiga, Ada seorang bayi sedang menyusu kepada ibunya, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang gagah dan berpakaian yang bagus pula. Lalu ibu bayi tersebut berkata; ‘Ya Allah ya Tuhanku, jadikanlah anakku ini seperti laki-laki yang sedang mengendarai hewan tunggangan itu! ‘ Ajaibnya, bayi itu berhenti dari susuannya, lalu menghadap dan memandang kepada laki-laki tersebut sambil berkata; ‘Ya Allah ya Tuhanku, janganlah Engkau jadikan aku seperti laki-laki itu! ‘ Setelah itu, bayi tersebut langsung menyusu kembali kepada ibunya. Abu Hurairah berkata; ‘Sepertinya saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan susuan bayi itu dengan memperagakan jari telunjuk beliau yang dihisap dengan mulut beliau.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meneruskan sabdanya: ‘Pada suatu ketika, ada beberapa orang yang menyeret dan memukuli seorang wanita seraya berkata; ‘Kamu wanita tidak tahu diuntung. Kamu telah berzina dan mencuri.’ Tetapi wanita itu tetap tegar dan berkata; ‘Hanya Allah lah penolongku. Sesungguhnya Dialah sebaik-baik penolongku.’ Kemudian ibu bayi itu berkata; ‘Ya Allah, janganlah Engkau jadikan anakku seperti wanita itu! ‘ Tiba-tiba bayi tersebut berhenti dari susuan ibunya, lalu memandang wanita tersebut seraya berkata; ‘Ya Allah ya Tuhanku, jadikanlah aku sepertinya! ‘ Demikian pernyataan ibu dan bayinya itu terus berlawanan, hingga ibu tersebut berkata kepada bayinya; ‘Celaka kamu hai anakku! Tadi, ada seorang laki-laki yang gagah dan menawan lewat di depan kita, lalu kamu berdoa kepada Allah; ‘Ya Allah, jadikanlah anakku seperti laki-laki itu! Namun kamu malah mengatakan; ‘Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku seperti laki-laki itu! Kemudian tadi, ketika ada beberapa orang menyeret dan memukuli seorang wanita sambil berkata; ‘Ya Allah, janganlah Engkau jadikan anakku seperti wanita itu! ‘ Tetapi kamu malah berkata; ‘Ya Allah, jadikanlah aku seperti wanita itu! ‘ Mendengar pernyataan ibunya itu, sang bayi pun menjawab; ‘Sesungguhnya laki-laki yang gagah itu seorang yang sombong hingga aku mengucapkan; ‘Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku seperti laki-laki itu! ‘ Sementara wanita yang dituduh mencuri dan berzina itu tadi sebenarnya adalah seorang wanita yang shalihah, tidak pernah berzina, ataupun mencuri. Oleh karena itu, aku pun berdoa; ‘Ya Allah, jadikanlah aku seperti wanita itu!” (HR. AL-Bukhari no. 3181 dan Muslim no. 4626)

Sementara bayi keempat tersebut dalam hadits Shuhaib bin Sinan radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

كَانَ مَلِكٌ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ وَكَانَ لَهُ سَاحِرٌ فَلَمَّا كَبِرَ قَالَ لِلْمَلِكِ إِنِّي قَدْ كَبِرْتُ فَابْعَثْ إِلَيَّ غُلَامًا أُعَلِّمْهُ السِّحْرَ فَبَعَثَ إِلَيْهِ غُلَامًا يُعَلِّمُهُ فَكَانَ فِي طَرِيقِهِ إِذَا سَلَكَ رَاهِبٌ فَقَعَدَ إِلَيْهِ وَسَمِعَ كَلَامَهُ فَأَعْجَبَهُ فَكَانَ إِذَا أَتَى السَّاحِرَ مَرَّ بِالرَّاهِبِ وَقَعَدَ إِلَيْهِ فَإِذَا أَتَى السَّاحِرَ ضَرَبَهُ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَى الرَّاهِبِ فَقَالَ إِذَا خَشِيتَ السَّاحِرَ فَقُلْ حَبَسَنِي أَهْلِي وَإِذَا خَشِيتَ أَهْلَكَ فَقُلْ حَبَسَنِي السَّاحِرُ فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ إِذْ أَتَى عَلَى دَابَّةٍ عَظِيمَةٍ قَدْ حَبَسَتْ النَّاسَ فَقَالَ الْيَوْمَ أَعْلَمُ آلسَّاحِرُ أَفْضَلُ أَمْ الرَّاهِبُ أَفْضَلُ فَأَخَذَ حَجَرًا فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ أَمْرُ الرَّاهِبِ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ أَمْرِ السَّاحِرِ فَاقْتُلْ هَذِهِ الدَّابَّةَ حَتَّى يَمْضِيَ النَّاسُ فَرَمَاهَا فَقَتَلَهَا وَمَضَى النَّاسُ فَأَتَى الرَّاهِبَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ لَهُ الرَّاهِبُ أَيْ بُنَيَّ أَنْتَ الْيَوْمَ أَفْضَلُ مِنِّي قَدْ بَلَغَ مِنْ أَمْرِكَ مَا أَرَى وَإِنَّكَ سَتُبْتَلَى فَإِنْ ابْتُلِيتَ فَلَا تَدُلَّ عَلَيَّ وَكَانَ الْغُلَامُ يُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَيُدَاوِي النَّاسَ مِنْ سَائِرِ الْأَدْوَاءِ فَسَمِعَ جَلِيسٌ لِلْمَلِكِ كَانَ قَدْ عَمِيَ فَأَتَاهُ بِهَدَايَا كَثِيرَةٍ فَقَالَ مَا هَاهُنَا لَكَ أَجْمَعُ إِنْ أَنْتَ شَفَيْتَنِي فَقَالَ إِنِّي لَا أَشْفِي أَحَدًا إِنَّمَا يَشْفِي اللَّهُ فَإِنْ أَنْتَ آمَنْتَ بِاللَّهِ دَعَوْتُ اللَّهَ فَشَفَاكَ فَآمَنَ بِاللَّهِ فَشَفَاهُ اللَّهُ فَأَتَى الْمَلِكَ فَجَلَسَ إِلَيْهِ كَمَا كَانَ يَجْلِسُ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَنْ رَدَّ عَلَيْكَ بَصَرَكَ قَالَ رَبِّي قَالَ وَلَكَ رَبٌّ غَيْرِي قَالَ رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ فَأَخَذَهُ فَلَمْ يَزَلْ يُعَذِّبُهُ حَتَّى دَلَّ عَلَى الْغُلَامِ فَجِيءَ بِالْغُلَامِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ أَيْ بُنَيَّ قَدْ بَلَغَ مِنْ سِحْرِكَ مَا تُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَتَفْعَلُ وَتَفْعَلُ فَقَالَ إِنِّي لَا أَشْفِي أَحَدًا إِنَّمَا يَشْفِي اللَّهُ فَأَخَذَهُ فَلَمْ يَزَلْ يُعَذِّبُهُ حَتَّى دَلَّ عَلَى الرَّاهِبِ فَجِيءَ بِالرَّاهِبِ فَقِيلَ لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ فَأَبَى فَدَعَا بِالْمِئْشَارِ فَوَضَعَ الْمِئْشَارَ فِي مَفْرِقِ رَأْسِهِ فَشَقَّهُ حَتَّى وَقَعَ شِقَّاهُ ثُمَّ جِيءَ بِجَلِيسِ الْمَلِكِ فَقِيلَ لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ فَأَبَى فَوَضَعَ الْمِئْشَارَ فِي مَفْرِقِ رَأْسِهِ فَشَقَّهُ بِهِ حَتَّى وَقَعَ شِقَّاهُ ثُمَّ جِيءَ بِالْغُلَامِ فَقِيلَ لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ فَأَبَى فَدَفَعَهُ إِلَى نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى جَبَلِ كَذَا وَكَذَا فَاصْعَدُوا بِهِ الْجَبَلَ فَإِذَا بَلَغْتُمْ ذُرْوَتَهُ فَإِنْ رَجَعَ عَنْ دِينِهِ وَإِلَّا فَاطْرَحُوهُ فَذَهَبُوا بِهِ فَصَعِدُوا بِهِ الْجَبَلَ فَقَالَ اللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ بِمَا شِئْتَ فَرَجَفَ بِهِمْ الْجَبَلُ فَسَقَطُوا وَجَاءَ يَمْشِي إِلَى الْمَلِكِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَا فَعَلَ أَصْحَابُكَ قَالَ كَفَانِيهِمُ اللَّهُ فَدَفَعَهُ إِلَى نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ اذْهَبُوا بِهِ فَاحْمِلُوهُ فِي قُرْقُورٍ فَتَوَسَّطُوا بِهِ الْبَحْرَ فَإِنْ رَجَعَ عَنْ دِينِهِ وَإِلَّا فَاقْذِفُوهُ فَذَهَبُوا بِهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ بِمَا شِئْتَ فَانْكَفَأَتْ بِهِمْ السَّفِينَةُ فَغَرِقُوا وَجَاءَ يَمْشِي إِلَى الْمَلِكِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَا فَعَلَ أَصْحَابُكَ قَالَ كَفَانِيهِمُ اللَّهُ فَقَالَ لِلْمَلِكِ إِنَّكَ لَسْتَ بِقَاتِلِي حَتَّى تَفْعَلَ مَا آمُرُكَ بِهِ قَالَ وَمَا هُوَ قَالَ تَجْمَعُ النَّاسَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ وَتَصْلُبُنِي عَلَى جِذْعٍ ثُمَّ خُذْ سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِي ثُمَّ ضَعْ السَّهْمَ فِي كَبِدِ الْقَوْسِ ثُمَّ قُلْ بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلَامِ ثُمَّ ارْمِنِي فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ قَتَلْتَنِي فَجَمَعَ النَّاسَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ وَصَلَبَهُ عَلَى جِذْعٍ ثُمَّ أَخَذَ سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِهِ ثُمَّ وَضَعَ السَّهْمَ فِي كَبْدِ الْقَوْسِ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلَامِ ثُمَّ رَمَاهُ فَوَقَعَ السَّهْمُ فِي صُدْغِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ فِي صُدْغِهِ فِي مَوْضِعِ السَّهْمِ فَمَاتَ فَقَالَ النَّاسُ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ فَأُتِيَ الْمَلِكُ فَقِيلَ لَهُ أَرَأَيْتَ مَا كُنْتَ تَحْذَرُ قَدْ وَاللَّهِ نَزَلَ بِكَ حَذَرُكَ قَدْ آمَنَ النَّاسُ فَأَمَرَ بِالْأُخْدُودِ فِي أَفْوَاهِ السِّكَكِ فَخُدَّتْ وَأَضْرَمَ النِّيرَانَ وَقَالَ مَنْ لَمْ يَرْجِعْ عَنْ دِينِهِ فَأَحْمُوهُ فِيهَا أَوْ قِيلَ لَهُ اقْتَحِمْ فَفَعَلُوا حَتَّى جَاءَتْ امْرَأَةٌ وَمَعَهَا صَبِيٌّ لَهَا فَتَقَاعَسَتْ أَنْ تَقَعَ فِيهَا فَقَالَ لَهَا الْغُلَامُ يَا أُمَّهْ اصْبِرِي فَإِنَّكِ عَلَى الْحَقِّ

“Dulu, sebelum kalian ada seorang raja, ia memiliki tukang sihir, saat tukang sihir sudah tua, ia berkata kepada rajanya: ‘Aku sudah tua, kirimlah seorang pemuda kepadaku untuk aku ajari sihir.’ Lalu seorang pemuda datang padanya, ia mengajarkan sihir kepada pemuda itu. (Jarak) antara tukang sihir dan si raja terdapat seorang rahib. Si pemuda itu mendatangi rahib dan mendengar kata-katanya, ia kagum akan kata-kata si rahib itu sehingga bila datang ke si penyihir pasti dipukul, Pemuda itu mengeluhkan hal itu kepada si rahib, ia berkata: ‘Bila tukang sihir hendak memukulmu, katakan: ‘Keluargaku menahanku, ‘ dan bila kau takut pada keluargamu, katakan: ‘Si tukang sihir menahanku.’ Saat seperti itu, pada suatu hari ia mendekati sebuah hewan yang besar yang menghalangi jalanan orang, ia berkata, ‘Hari ini aku akan tahu, apakah tukang sihir lebih baik ataukah pendeta lebih baik.’ Ia mengambil batu lalu berkata: ‘Ya Allah, bila urusan si rahib lebih Engkau sukai dari pada tukang sihir itu maka bunuhlah binatang ini hingga orang bisa lewat.’ Ia melemparkan batu itu dan membunuhnya, orang-orang pun bisa lewat. Ia memberitahukan hal itu kepada si rahib. Si rahib berkata: ‘Anakku, saat ini engkau lebih baik dariku dan urusanmu telah sampai seperti yang aku lihat, engkau akan mendapat ujian, bila kau mendapat ujian jangan menunjukkan padaku.’ Si pemuda itu bisa menyembuhkan orang buta dan berbagai penyakit. Salah seorang teman raja yang buta lalu ia mendengarnya, ia mendatangi pemuda itu dengan membawa hadiah yang banyak, ia berkata: ‘Sembuhkan aku dan kau akan mendapatkan yang aku kumpulkan disini.’ Pemuda itu berkata: ‘Aku tidak menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan hanyalah Allah, bila kau beriman padaNya, aku akan berdoa kepadaNya agar menyembuhkanmu.’ Teman si raja itu pun beriman lalu si pemuda itu berdoa kepada Allah lalu ia pun sembuh. Teman raja itu kemudian mendatangi raja lalu duduk didekatnya. Si raja berkata: ‘Hai fulan, siapa yang menyembuhkan matamu? ‘ Orang itu menjawab: ‘Rabbku.’ Si raja berkata: ‘Kau punya Rabb selainku? ‘ Orang itu berkata: ‘Rabbku dan Rabbmu adalah Allah.’ Si raja menangkapnya lalu menyiksanya hingga ia menunjukkan pada pemuda itu lalu pemuda itu didatangkan, Raja berkata: ‘Hai anakku, sihirmu yang bisa menyembuhkan orang buta, sopak dan kau melakukan ini dan itu.’ Pemuda itu berkata: ‘Bukan aku yang menyembuhkan, yang menyembuhkan hanya Allah.’ Si raja menangkapnya dan terus menyiksanya ia menunjukkan kepada si rahib. Si raja mendatangi si rahib, rahib pun didatangkan lalu dikatakan padanya: ‘Tinggalkan agamamu.’ Si rahib tidak mau lalu si raja meminta gergaji kemudian diletakkan tepat ditengah kepalanya hingga sebelahnya terkapar di tanah. Setelah itu teman si raja didatangkan dan dikatakan padanya: ‘Tinggalkan agamamu.’ Si rahib tidak mau lalu si raja meminta gergaji kemudian diletakkan tepat ditengah kepalanya hingga sebelahnya terkapar di tanah. Setelah itu pemuda didatangkan lalu dikatakan padanya: ‘Tinggalkan agamamu.’ Pemuda itu tidak mau. Lalu si raja menyerahkannya ke sekelompok tentaranya, raja berkata: ‘Bawalah dia ke gunung ini dan ini, bawalah ia naik, bila ia mau meninggalkan agamanya (biarkanlah dia) dan bila tidak mau, lemparkan dari atas gunung.’ Mereka membawanya ke puncak gunung lalu pemuda itu berdoa: ‘Ya Allah, cukupilah aku dari mereka sekehendakMu.’ Ternyata gunung mengguncang mereka dan mereka semua jatuh. Pemuda itu kembali pulang hingga tiba dihadapan raja. Raja bertanya: ‘Bagaimana kondisi kawan-kawanmu? ‘ Pemuda itu menjawab: ‘Allah mencukupiku dari mereka.’ Lalu si raja menyerahkannya ke sekelompok tentaranya, raja berkata: ‘Bawalah dia ke sebuah perahu lalu kirim ke tengah laut, bila ia mau meninggalkan agamanya (bawalah dia pulang) dan bila ia tidak mau meninggalkannya, lemparkan dia.’ Mereka membawanya ke tengah laut lalu pemuda itu berdoa: ‘Ya Allah, cukupilah aku dari mereka sekehendakMu.’ Ternyata perahunya terbalik dan mereka semua tenggelam. Pemuda itu pulang hingga tiba dihadapan raja, raja bertanya: Bagaimana keadaan teman-temanmu? ‘ Pemuda itu menjawab: ‘Allah mencukupiku dari mereka.’ Setelah itu ia berkata kepada raja: ‘Kau tidak akan bisa membunuhku hingga kau mau melakukan yang aku perintahkan, ‘ Raja bertanya: ‘Apa yang kau perintahkan? ‘ Pemuda itu berkata: ‘Kumpulkan semua orang ditanah luas lalu saliblah aku diatas pelepah, ambillah anak panah dari sarung panahku lalu ucapkan: ‘Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini.’ Bila kau melakukannya kau akan membunuhku.’ Akhirnya raja itu melakukannya. Ia meletakkan anak panah ditengah-tengah panah lalu melesakkannya seraya berkata: ‘Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini.’ Anak panah di lesakkan ke pelipis pemuda itu lalu pemuda meletakkan tangannya ditempat panah menancap kemudian mati. Orang-orang berkata: ‘Kami beriman dengan Rabb pemuda itu.’ Kemudian didatangkank kepada raja dan dikatakan padanya: ‘Tahukah kamu akan sesuatu yang kau khawatirkan, demi Allah kini telah menimpamu. Orang-orang beriman seluruhnya.’ Si raja kemudian memerintahkan membuat parit di jalanan kemudian disulut api. Raja berkata: ‘Siapa pun yang tidak meninggalkan agamanya, pangganglah didalamnya.’ Mereka melakukannya hingga datanglah seorang wanita bersama anaknya, sepertinya ia hendak mundur agar tidak terjatuh dalam kubangan api lalu si bayi itu berkata: ‘Ibuku, bersabarlah, sesungguhnya engkau berada diatas kebenaran.“ (HR. Muslim no. 5327)
_____________________________________________________________________

ustadz,saya pernah mendengar bhw bayi masyitoh(tukang sisir firaun) juga berbicara,benarkah cerita itu? syukron atas jwbnya.

Wallahu A’lam, kami belum pernah dengar.
masyaallah, apakah ini kisah yang ada di surah al Buruj?
ustad bagai mana dengan bayi yang terdapat dalam kisah nabi yusuf ?

Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya dan selainnya dari jalan Hammad bin Salamah dari Atha` bin As-Sa`ib dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas secara marfu’.

Ini adalah sanad yang lemah, karena Atha` bin As-Sa`ib rusak hafalannya di akhir, sementara tidak diketahui apakah Hammad bin Salamah meriwayatkan darinya sebelum atau setelah hafalannya rusak. Dengan alasan inilah, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan dhoif hadits ini dalam Adh-Dha’ifah (2/271).

Catatan : Hadis dhoif boleh di amalkan

Mengapa anak mirip dengan orang tuanya?

.Bagaimana Seorang Anak Bisa Mirip Orang Tuanya ?

Jika kita baca ilmu pengetahuan kontemporer, khususnya di bidang biologi dan kesehatan, akan didapatkan beberapa teori yang mencoba menjawab permasalahan di atas. Namun, tahukah Anda bahwa Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan jawaban atas pertanyaan di atas ? Saya ajak Anda – para Pembaca budiman – untuk memperhatikan beberapa hadits berikut :

1.        Hadits Tsauban radliyallaahu ‘anhu.

Ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang permasalahan anak. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

“ماء الرجل أبيض وماء المرأة أصفر. فإذا اجتمعا، فعلا مني الرجل مني المرأة، أَذْكَرَا بإذن الله. وإذا علا مني المرأة مني الرجل، آنثا بإذن الله”

“Air (mani) laki-laki warnanya putih, sedangkan air mani wanita warnanya kekuning-kuningan. Apabila keduanya berkumpul (melalui satu persetubuhan) yang ketika itu air mani laki-laki mengalahkan air mani wanita, maka anak yang akan lahir adalah laki-laki dengan ijin Allah. Namun apabila air mani wanita mengalahkan air mani laki-laki, maka anak yang akan lahir adalah wanita dengan ijin Allah” [HR. Muslim no. 315, Al-Baihaqiy 1/169, Ibnu Khuzaimah no. 232, dan yang lainnya].

2.        Hadits Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu.

عن أنس : أن عبد الله بن سلام أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم مقدمه المدينة فقال يا رسول الله إني سائلك عن ثلاث خصال لا يعلمهن إلا نبي قال سل قال ما أول أشرط الساعة وما أول ما يأكل منه أهل الجنة ومن أين يشبه الولد أباه وأمه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أخبرني بهن جبريل عليه السلام آنفا قال …… وأما شبه الولد أباه وأمه فإذا سبق ماء الرجل ماء المرأة نزع إليه الولد وإذا سبق ماء المرأة ماء الرجل نزع إليها قال أشهد أن لا اله إلا الله وأنك رسول الله

Dari Anas : Bahwasannya ‘Abdullah bin Salaam mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat beliau tiba di Madinah. Ia pun bertanya : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku akan bertanya kepada engkau atas tiga permasalahan yang tidak diketahui kecuali oleh seorang Nabi”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Bertanyalah”. ‘Abdullah bin Salaam melanjutkan : “Apakah tanda hari kiamat untuk pertama kali ? Makanan apakah yang pertama kali dimakan oleh penduduk surga ? Dan dari mana datangnya sebab seorang anak menyerupai ayah dan ibunya ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Baru saja Jibril ‘alaihis-salaam mengkhabarkan kepadaku tentang jawaban ketiga hal tersebut”. Beliau melanjutkan : “………….Adapun sebab seorang anak menyerupai ayah dan ibunya : Apabila air mani laki-laki mendahului air mani wanita, maka anak (yang lahir) akan mirip ayahnya. Namun apabila air mani wanita mendahului air mani laki-laki, maka anak (yang lahir) akan mirip ibunya”. ‘Abdullah bin Salaam kemudian berkata : “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan (aku bersaksi) bahwa engkau adalah utusan Allah” [HR. Al-Bukhari no. 3329 , Ahmad 3/108, ‘Abdun bin Humaid no. 1389, Ibnu Abi Syaibah 13/125, dan yang lainnya].

3.        Hadits Ummu Sulaim radliyallaahu ‘anhaa.

أن أم سليم حدثت؛ أنها سألت نبي الله صلى الله عليه وسلم عن المرأة ترى في منامها ما يرى الرجل. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم “إذا رأت ذلك المرأة فلتغتسل” فقالت أم سليم: واستحييت من ذلك. قالت: وهل يكون هذا؟ فقال نبي الله صلى الله عليه وسلم “نعم. فمن أين يكون الشبه. إن ماء الرجل غليظ أبيض. وماء المرأة رقيق أصفر. فمن أيهما علا، أو سبق، يكون منه الشبه”.

Bahwasannya Ummu Sulaim pernah menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabiyullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang wanita yang bermimpi sebagaimana mimpi yang dialami oleh laki-laki. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila ia melihat yang demikian, hendaklah ia mandi”. Ummu Sulaim berkata (kepada perawi) : “Sebenarnya aku malu menanyakan hal tersebut”. Ia kembali bertanya kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Mungkinkah hal itu terjadi (pada diri seorang wanita) ?”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya. (Jika tidak), maka darimana adanya penyerupaan (seorang anak kepada orang tuanya) ?. Sesungguhnya air mani laki-laki kental lagi berwarna putih, sedangkan air mani wanita encer dan berwarna kekuning-kuninganan. Siapa saja di antara keduanya yang mengalahkan atau mendahului dari yang lain, maka akan terjadi penyerupaan (dari si anak) terhadap dirinya” [HR. Muslim no. 311].

4.        Hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.

عن عائشة؛ أن امرأة قالت لرسول الله صلى الله عليه وسلم: هل تغتسل المرأة إذا احتلمت وأبصرت الماء؟ فقال “نعم” فقالت لها عائشة: تربت يداك. وألت. قالت فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم “دعيها. وهل يكون الشبه إلا من قبل ذلك. إذا علا ماؤها ماء الرجل أشبه الولد أخواله. وإذا علا ماء الرجل ماءها أشبه أعمامه”.

 Dari ‘Aisyah : Bahwasannya ada seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah seorang wanita harus mandi jika ia bermimpi dan melihat air ?”. Beliau menjawab : “Ya”. Maka ‘Aisyah berkata kepadanya : “Taribat yadak ! (sebuah kalimat pengingkaran atas pertanyaan wanita tadi –Abul-Jauzaa’)”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Biarkanlah ia. Dari mana datangnya penyerupaan bila tidak berasal dari yang demikian ? Apabila air mani wanita mengalahkan/mengungguli air mani laki-laki, maka anak yang lahir akan menyerupai keluarga ibunya. Apabila air mani laki-laki mengalahkan air mani wanita, maka anak yang lahir akan menyerupai keluarga ayahnya” [HR. Muslim no. 314].

Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

والمراد بالعلو هنا السبق، لأن كل من سبق فقد علا شأنه فهو علو معنوي، وأما ما وقع عند مسلم من حديث ثوبان رفعه: “ماء الرجل أبيض وماء المرأة أصفر فإذا اجتمعا فعلا مني الرجل مني المرأة أذكرا بإذن الله، وإذا علا مني المرأة مني الرجل أنثا بإذن الله” فهو مشكل من جهة أنه يلزم منه اقتران الشبه للأعمام إذا علا ماء الرجل ويكون ذكرا لا أنثى وعكسه، والمشاهد خلاف ذلك لأنه قد يكون ذكرا ويشبه أخواله لا أعمامه وعكسه، قال القرطبي: يتعين تأويل حديث ثوبان بأن المراد بالعلو السبق. قلت: والذي يظهر ما قدمته وهو تأويل العلو في حديث عائشة وأما حديث ثوبان فيبقى العلو فيه على ظاهره فيكون السبق علامة التذكير والتأنيث والعلو علامة الشبه فيرتفع الإشكال، وكأن المراد بالعلو الذي يكون سبب الشبه بحسب الكثرة بحيث يصير الآخر مغمورا فيه فبذلك يحصل الشبه، وينقسم ذلك ستة أقسام: الأول أن يسبق ماء الرجل ويكون أكثر فيحصل له الذكورة والشبه، والثاني عكسه، والثالث أن يسبق ماء الرجل ويكون ماء المرأة أكثر فتحصل الذكورة والشبه للمرأة، والرابع عكسه، والخامس أن يسبق ماء الرجل ويستويان فيذكر ولا يختص بشبه، والسادس عكسه

“Yang dimaksud dengan al-‘ulluw adalah as-sabq (mendahului), karena setiap yang mendahului berarti ia telah mengungguli/mengalahkan dalam arti maknawi. Adapun hadits Tsauban yang diriwayatkan oleh Muslim : ‘Air (mani) laki-laki warnanya putih, sedangkan air mani wanita warnanya kekuning-kuningan. Apabila keduanya berkumpul (melalui satu persetubuhan) yang ketika itu air mani laki-laki mengalahkan air mani wanita, maka anak yang akan lahir adalah laki-laki dengan ijin Allah. Namun apabila air mani wanita mengalahkan air mani laki-laki, maka anak yang akan lahir adalah wanita dengan ijin Allah’ ; maka dalam hadits tersebut terdapat hal yang sulit dipahami (musykil). Karena, apabila air mani laki-laki yang mendahului, maka hal itu berkonsekuensi anak yang terlahir akan menyerupai keluarga suami dan berjenis kelamin laki-laki. Demikian pula jika sebaliknya. Sementara kenyataan yang ada, kadangkala anak laki-laki mirip dengan keluarga dari pihak ibu, bukan dari pihak keluarga ayah. Demikian juga sebaliknya. Al-Qurthubi berkata : “Dengan demikian jelaslah bahwa maksud dari kata al-‘ulluw dalam hadits Tsauban adalah as-sabq (mendahului)”. Aku (Ibnu Hajar) katakan : “Menurutku, demikianlah makna kata al-‘ulluw yang tercantum dalam hadits ‘Aisyah. Adapun hadits Tsaubaan, kata al-‘ulluw tetap ditafsirkan sesuai dengan dhahirnya. Dengan demikian, as-sabq (mendahului) merupakan penentu jenis kelamin laki-laki atau wanita, sedangkan al-‘ulluw (mengalahkan/dominansi) merupakan tanda penyerupaan/kemiripan. Berarti tidak ada lagi kesulitan dalam memahami makna hadits. Seakan-akan maksud al-‘ulluw yang merupakan sebab penyerupaan/kemiripan karena banyaknya air mani yang keluar sehingga membanjiri yang lainnya. Dengan keadaan ini, maka akan tercapailah penyerupaan/kemiripan. Perkara ini ada enam keadaan :

1.        Apabia air mani laki-laki lebih banyak dan keluar mendahului air mani wanita, maka anak yang lahir adalah laki-laki dan serupa dengan ayahnya atau keluarga ayahnya.

2.        Sebaliknya dari yang di atas (yaitu : apabila air mani wanita lebih banyak dan keluar mendahului air mani laki-laki, maka anak yang lahir adalah wanita dan serupa dengan ibunya atau keluarga ibunya).

3.        Apabila air mani laki-laki mendahului air mani wanita, namun air mani wanita lebih banyak; maka anak yang lahir adalah laki-laki dan serupa dengan ibunya atau keluarga ibunya.

4.        Sebaliknya dari yang di atas (yaitu apabila air mani wanita mendahului air mani laki-laki, namun air mani laki-laki lebih banyak; maka anak yang lahir adalah wanita dan serupa dengan ayahnya atau keluarga ayahnya).

5.        Apabila air mani laki-laki mendahului air mani wanita dan dua-duanya sama banyaknya, maka anak yang lahir adalah laki-laki tanpa ada keserupaan secara khusus kepada keduanya.

6.        Sebaliknya (yaitu apabila air mani wanita mendahului air mani laki-laki dan dua-duanya sama banyaknya, maka anak yang lahir adalah wanita tanpa ada keserupaan secara khusus kepada keduanya).

[selesai – Fathul-Baariy, 7/273].

Semoga ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab

Jumat, 27 Desember 2013

Hukum dua Masjid untuk sholat jum'at di satu daerah

Hukam dua masjid di satu daerah
Tanya:
Assalaamu’alaikum wr.wb.
Ustadz ana mau nanya, kebetulan di RW ana ada sekitar 3 mesjid yang menyelenggarakan shalat jumat dan ketiga-tiganya tidak penuh (tapi mencapai jumlah minimal 40 jamaah lebih sesuai pendapat imam asy-syafi’i) , ada ustadz yang bilang bahwa jika kondisinya seperti itu (mesjid tidak sampai penuh meskipun mencapai jumlah minimal 40 jamaah) maka jumatan yang dianggap sah adalah jumatan yang paling dahulu takbiratul ihram untuk shalat jumat, maka dengan demikian 2 masjid lainnya yang kedahuluan takbiratul ihramnya dianggap tidak sah shalat jumatnya dan diharuskan menggantinya dengan shalat dhuhur, betulkah demikian? syukran atas jawabannya

Jawab:

Waalaikumussalam warahmatullah

[Memperhatikan pelaksanaan jum'at di masa Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam, di mana sholat jum'at hanya dilakukan di masjid Nabawy padahal ada mesjid-mesjid lain yang di lingkungan para shohabat untuk sholat lima waktu, juga memcermati makna syari'at dalam penegakan jum'at dan makna pelaksanaannya, yaitu untuk menyatukan kaum muslimin dan mendekat hubungan antara sesama mereka, dimana telah ada mesjid ditegakkan jum'at di sekitar kantor, serta memperhatikan bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam dan para shohabatnya tidak pernah melakukan jum'at di dalam perjalanan, bahkan hanya beliau lakukan di mesjid yang telah ditetapkan, maka seharusnya apa yang disebutkan dalam pertanyaan tidaklah terjadi dan seharusnya mereka menegakkan jum'at bersama kaum muslimin yang lainnya di mesjid yang telah ada.] (Dinukil dari milis an-nasihah: 8 jan 2009)

Adapun ucapan ustadz yang antum sebutkan tidaklah benar, karena selama ketiganya mendapatkan izin dari pemerintah untuk mendirikan jumat, memenuhi semua syarat dan rukun shalat jumat, maka insya Allah shalat jumatnya syah dan tidak perlu diulang.

Walaupun sepantasnya antum shalat di masjid yang paling pertama mendirikan jumat, yakni yang lebih dahulu dibangun daripada yang lainnya. Karena masjid yang belakangan dibangun bisa dikategorikan sebagai masjid tandingan yang seorang muslim sebaiknya tidak shalat di tempat tersebut. Wallahu a’lam.

Catatan :
Masjid yang kedua(yang bangun baru) desebut masjid diror.

Assalamu alaiykum wrwb..
para yai, dan asatidz/h yg terhomat sy mao nanya:

1. tentang Hukum.
- Batasan ﺣﺪﺩ hudud membangun masjid yang satu dengan yang lain? apakah per قريه perkampung 1 masjid? atau per dusun. sedangkan di kota itu kan bukan dusun tapi jalan/ gang seandainya ada dua masjid dalam satu kampung bagaimana hukm nya apakah bisa dipakai sholat jumat?.
lanjut ke masalah ke 2

2. hukm mushola di jadikan masjid. segitu ajah minta keterangnya ?.
wassalamu alaiykum wrwb.

=========

JAWABAN:

Wa’alaikum salam wa rahmatullah wa barakatuh.

الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ.


Adakah batasan membangun masjid dalam sebuah perkampungan atau desa? Jika terdapat dua masjid dalam sebuah perkampungan, bolehkah kedua masjid tersebut dipergunakan untuk melaksanakan shalat Jum’ah menurut perspektif Fiqh? Dan bolehkan mushalla di jadikan masjid? Pertanyaan-petnyaan inilah yang disampaikan oleh sahabat fillah Raenaldy Abdillah yang masuk kedalam redaksi segenap anggota musyawirin MTTM. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmatnya.

Maka dalam menanggapi pertanyaan yang disampaikan oleh sahabat fillah Raenaldy Abdillah tersebut diatas berdasar literatur yang terdapat didalam kitab-kitab klasik mu’tabar yang kami jadikan sebagai referensi, kami segenap anggota musyawirin MTTM memiliki pandangan dan kesimpulan sebagai berikut:

Tidak ada batasan untuk membangun masjid dalam sebuah perkampungan atau desa, maka diperbolehkan membangun masjid lebih dari satu namun kebolehan untuk membangun beberapa masjid dalam sebuah perkampungan tidak serta merta diperbolehkannya menyelenggarakan beberapa shalat Jum’at. Imam Syamsuddin Muhammad Ibnu Abi Al Abbas; Ahmad Ibnu Hamzah Ibnu Syihabuddin Al Ramli menyatakan:

Jika didalam sebuah negara atau desa terdapat dua masjid yang dapat menampung semua masyarakat guna melaksanakan shalat Juma’ah secara terpisah sedang di negara atau desa tersebut juga terdapat sebuah tempat (selain masjid) yang dapat menampung jama’ah secara keseluruhan, maka yang paling benar adalah berkumpul ditempat tersebut (selain masjid) demi menghindari terselenggaranya dua shalat Jum’at dalam satu negara atau desa. Namun apabila didalam negara atau desa tersebut tidak terdapat tempat yang dapat menampung jama’ah, maka diperbolehkan menyelenggarakan shalat Jum’at lagi diselain tempat yang telah terselenggara pelaksanaan shalat Jum’at. Imam Abdul Chamid Al Maki Al Syarwani dan Imam Ahmad Ibnu Qasim Al ‘Ubbadi menuturkan bahwa Imam Al Syafi’i masuk ke kota Baghdad sedang disana telah terselenggara dua atau tiga shalat Jum’at karena sulit untuk menampung jama’ah dalam satu tempat dan Imam Al Syafi’i tidak mengingkarinya. Imam Abdurrahman Ibnu Muhammad Ibnu Husain Ibnu ‘Amr Ba’alawi menegaskan bahwa diperbolehkannya menyelenggarakan lebih dari satu shalat Jum’at adalah dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Tempat tidak dapat menampung semua jama’ah.
2. Adanya permusuhan diantara dua kelompok sehingga sulit untuk dipertemukan dalam satu tempat.
3. Berada ditempat yang jauh sehingga tidak dapat mendengar adzan yang dikumandangkan atau berjarak yang apabila ditempuh sejak keluarnya fajar maka tidak mendapati palaksanaan shalat Jum’at.


Jika penyelanggaraan beberapa shalat Jum’at tersebut dikarenakan salah satu dari tiga hal tersebut diatas, maka semua shalat Jum’at yang terselenggara adalah sah baik takbiratul ihramnya Imam dilakukan secara bersamaan atau berurutan. Namun jika tidak memenuhi ketentuan tersebut diatas, maka yang sah diantara beberapa shalat Jum’at yang terselenggara adalah shalat Jum’at yang takbiratul ihram imamnya selesai lebih dahulu.
Menanggapi pertanyaan berikutnya: Bolehkan mushalla dijadikan masjid?, kami segenap anggota musyawirin MTTM memilik pandangan dan kesimpulan sebagai berikut:

Jika mushalla tersebut bukan mushalla waqaf, maka boleh diwaqafkan menjadi masjid.
Jika mushalla tersebut adalah mushalla waqaf, maka tidak boleh dirubah menjadi masjid.

Imam Ibnu Hajar Al Haitami menyatakan bahwa tidak diperbolehkan merubah status barang waqaf, maka tidak diperbolehkan merubah status rumah yang diwaqafkan menjadi kebun atau menjadi kamar mandi juga tidak sebaliknya kecuali orang yang mewaqafkan memberikan hak sepenuhnya kepada Nadzir (Juru kunci) atas segala sesuatu yang dianggap maslahah untuk kepentingan barang waqaf. Didalam Fatawanya Imam Al Qaffal menyatakan bahwa boleh menjadikan tempat cukur rambut (Salon) menjadi toko roti. Kemudian Imam Abdul Karim Muhammad ibnu Abdul Karim Al Rafi’ dan Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Ibnu Syaraf Al Nawawi (الشيخان) mengomentari pernyataan Imam Al Qaffal dengan menyatakan bahwa pernyataan Imam Al Qaffal tersebut adalah diarahkan pada perubahan fisik bangunan bukan fungsi. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Ibnu Syaraf Al Nawawi dan Ulama’ Fiqh yang lain. Imam Al Subuki menuturkan: Diperbolehkan merubah barang waqaf dengan ketentuan tiga syarat yaitu:

1. Tidak merubah nama barang waqaf.
2. Tidak menghilangkan benda dari barang waqaf , maka diperbolehkan memindahkannya kerarah yang lain.

Wallahu a’lam bis shawab.


Dasar pengambilan (1) oleh @ Al-Ustadz Ro Fie:

قوله : في مكان مسجد أو غيره ) أي ولو مع وجود المسجد ، وعليه فلو كان في البلد مسجدان وكان أهل البلد إذا صلوا فيهما وسعاهم مع التعدد وكان هناك محل متسع كزريبة مثلا إذا صلوا فيه لا يحصل التعدد هل يتعين عليهم فعلها في الأولين أو الثانية ؟ فيه نظر ، والأقرب الثاني حرصا على عدم التعدد . نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج الجز 7. صفحة 24.



Dasar pengambilan (2) oleh @ Al-Ustadz Ibnu Hasyim Alwi:

الشَّرْطُ الثَّالِثُ أَنْ لَا يَتَقَدَّمَهَا وَلَا يُقَارِنَهَا جُمُعَةٌ في الْبَلَدِ لِأَنَّهُ صلى اللَّهُ عليه وسلم وَالْخُلَفَاءُ بَعْدَهُ لم يُقِيمُوا سِوَى جُمُعَةٍ وَاحِدَةٍ وَلِأَنَّ الِاقْتِصَارَ على وَاحِدَةٍ أَفْضَى إلَى الْمَقْصُودِ من إظْهَارِ شِعَارِ الِاجْتِمَاعِ وَاتِّفَاقِ الْكَلِمَةِ نعم إذَا كَثُرَ الناس وَعَسُرَ اجْتِمَاعُهُمْ في مَسْجِدٍ أو نَحْوِهِ فَالتَّعَدُّدُ جَائِزٌ لِلْحَاجَةِ بِحَسَبِهَا لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ رضي اللَّهُ عنه دخل بَغْدَادَ وَأَهْلُهَا يُقِيمُونَ بها جُمُعَتَيْنِ وَقِيلَ ثَلَاثًا فلم يُنْكِرْ عليهم فَحَمَلَهُ الْأَكْثَرُ على عُسْرِ الِاجْتِمَاعِ . أسنى المطالب في شرح روض الطالب - (ج 1 / ص 248)



Dasar pengambilan (3) oleh @ Al-Ustadz Imam Al-Bukhori:

والحاصل من كلام الأئمة أن أسباب جواز تعددها ثلاثة : ضيق محل الصلاة بحيث لا يسع المجتمعين لها غالباً ، والقتال بين الفئتين بشرطه ، وبعد أطراف البلد بأن كان بمحل لا يسمع منه النداء ، أو بمحل لو خرج منه بعد الفجر لم يدركها ، إذ لا يلزمه السعي إليها إلا بعد الفجر اهـ. وخالفه ي فقال : يجوز بل يجب تعدد الجمعة حينئذ للخوف المذكور ، لأن لفظ التقاتل نص فيه بخصوصه ، ولأن الخوف داخل تحت قولهم : إلا لعسر الاجتماع . بغية المسترشدين - (ج 1 / ص 164)



Dasar pengambilan (4) oleh Al_Ustad @ Ibnu Malik:

(قوله: ومن شروطها) أي صحة الجمعة. وهذا هو الشرط السادس كما مر التنبيه عليه. (وقوله: أن لا يسبقها بتحرم ولا يقارنها) الفعلان تنازعا قوله جمعة. والعبرة بتمام التحرم وهو الراء من أكبر. حاشية إعانة الطالبين . الجز 2. صفحة 73.



Dasar pengambilan (5) oleh @ Ibnu Malik:

لَا يَجُوزُ تَغْيِيرُ الْوَقْفِ عن هَيْئَتِهِ فَلَا يَجْعَلُ الدَّارَ بُسْتَانًا وَلَا حَمَّامًا وَلَا بِالْعَكْسِ إلَّا إذَا جَعَلَ الْوَاقِفُ إلَى النَّاظِرِ ما يَرَى فيه مَصْلَحَةَ الْوَقْفِ وفي فَتَاوَى الْقَفَّالِ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُجْعَلَ حَانُوتُ الْقَصَّارِينَ لِلْخَبَّازِينَ قال الشَّيْخَانِ وَكَأَنَّهُ احْتَمَلَ تَغَيُّرَ النَّوْعِ دُونَ الْجِنْسِ ا هـ الفتاوى الفقهية الكبرى - (ج 3 / ص 153)



Dasar pengambilan (6) oleh @ Al-Ustadz Abdulloh Salam:

لَا يَجُوزُ تَغْيِيرُ الْوَقْفِ عَنْ هَيْئَتِهِ، فَلَا تُجْعَلُ الدَّارُ بُسْتَانًا، وَلَا حَمَّامًا، وَلَا بِالْعَكْسِ، إِلَّا إِذَا جَعَلَ الْوَاقِفُ إِلَى النَّاظِرِ مَا يَرَى فِيهِ مَصْلَحَةً لِلْوَقْفِ، وَفِي فَتَاوَى الْقَفَّالِ: أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَجْعَلَ حَانُوتَ الْقَصَّارِينَ لِلْخَبَّازِينَ، فَكَأَنَّهُ احْتَمَلَ تَغْيِيرَ النَّوْعِ دُونَ الْجِنْسِ روضة الطالبين وعمدة المفتين . الجز 5. صفحة361.


Dasar pengambilan (7) oleh @ Al-Ustadz Jojo Finger-looser ItmyLife:

وقال السبكي يجوز تغيير الوقف بشروط ثلاثة ان لايغير مسماه وان يكون مصلحة له كزيادة ريعه وان لاتزال عينه فلايضر نقلها من جانب الي اخر . قليوبي . الجز 3. صفحة 108.


Referensi Kitab:

Nihayah Al Muhtaj Ila Syarch Al Manhaj XII/ 24.
Asna Al Mathalib I/ 248.
Bughyah Al Mustarsyidin I/ 164.
Hasyiyah I’anah Al Thalibin II/ 73.
Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubra III/ 153.
Raudlah Al Thalibin Wa ‘Umdah Al Muftin V/ 361.
Qulyubi III/ 108.
 ----------------

Dua Shalat Jum’at dalam Satu Komplek

Assalmu’alaikum. Kiai bagaimana hukumnya di satu komplek ada dua shalat Jum’at, mana yang sah? Dua shalat yang terpisah ini diadakan baik karena berbeda madzab/ormas maupun karena jumlah warga tidak muat dalam satu masjid, bagaimana solusinya?
---

Wa’alaikum salam wr. wb.

Saudara penanya yang dirahmati Allah SWT. Ajaran Islam memang sangat menekankan agar para pemeluknya senantiasa memelihara dan menjaga persatuan. Namun dalam kenyataannya sering sekali terjadi perselisihan diantara mereka yang berujung perpecahan dan ketidak harmonisan hubungan yang sekian lama telah terjalin. Terkadang penyebab terjadinya perselisihan dan perpecahan ini bukan merupakan masalah-masalah penting dan mendasar dalam agama.

Saudara penanya yang kami hormati. Selanjutnya terkait dengan permasalahan yang anda sampaikan, yakni diselenggarakannya dua jum’atan dalam satu komplek atau perkampungan, kami mengacu hasil muktamar NU tahun 1984 di Situbondo yang menetapkan bahwa dalam mazhab Syafi’i, penyelenggaraan Jum’at lebih dari satu (ta’addud al-Jum’ah) diperbolehkan jika terdapat hajah.

Yang dimaksud hajah dalam pembahasan kali ini ialah: Sulit berkumpul (‘usr al-ijtima’) antara lain karena sempitnya masjid (dhaiq al-makan) atau adanya permusuhan (‘adawah), atau jauhnya pinggir-pinggir negeri (athraf al-balad).

Diantara referensi yang digunakan pada waktu itu adalah:

1. Shulh al-Jama’atain bi Jawaz Ta’addud al-Jum’atain karya Ahmad Khatib al-Minangkabawi

إِذَا عَرَفْتَ أَنَّ أَصْلَ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ عَدَمُ جَوَازِ تَعَدُّدِ الْجُمْعَةِ فِيْ بَلَدٍ وَاحِدٍ وَأَنَّ جَوَازَ تَعَدُّدِهِ أَخَذَهُ اْلأَصْحَابُ مِنْ سُكُوْتِ الشَّافِعِيِّ عَلَى تَعَدُّدِ الْجُمْعَةِ فِيْ بَغْدَادَ وَحَمَّلُوْا الْجَوَازَ عَلَى مَا إِذَا حَصَلَتِ الْمَشَقَّةُ فِي الاجْتِمَاعِ كَالْمَشَقَّةِ الَّتِيْ حَصَلَتْ بِبَغْدَادَ وَلَمْ يُضْبِطُوْهَا بِضَابِطٍ لَمْ يَخْتَلِفْ فَجَاءَ الْعُلَمَاءُ وَمَنْ بَعْدَهُمْ وَضَبَطَهَا كُلُّ عَالِمٍ مِنْهُمْ بِمَا ظَهَرَ لَهُ


وَبَنَى الشَّعْرَانِيُّ أَنَّ مَنْعَ التَّعَدُّدَ لِأَجْلِ خَوْفِ الْفِتْنَةِ وَقَدْ زَالَ. فَبَقِيَ جَوَازُ التَّعَدُّدِ عَلَى اْلأَصْلِ فِيْ إِقَامَةِ الْجُمْعَةِ وَقَالَ أَنَّ هَذَا هُوَ مُرَادُ الشَّارِعِ وَاسْتَدَلَّ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ لَوْ كَانَ التَّعَدُّدُ مَنْهِيًّا بِذَاتِهِ لَوَرَدَ فِيْهِ حَدِيْثٌ وَلَوْ وَاحِدًا وَالْحَالُ أَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ شَيْءٌ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ سُكُوْتَ النَّبِيِّ كَانَ لِأَجْلِ التَّوْسِعَةِ عَلَى أُمَّتِهِ


Artinya: “Jika Anda tahu, bahwa dasar mazhab Syafi’i tidak memperbolehkan shalat Jum’at lebih dari satu di satu daerah. Namun kebolehannya telah diambil oleh para Ashhab dari diamnya Imam Syafi’i atas Jum’atan lebih dari satu di kota Baghdad, dan para Ashhab memahami kebolehannya pada situasi para jamaah sulit berkumpul, seperti kesulitan yang terjadi di Baghdad, mereka pun tidak memberi ketentuan kesulitan itu yang tidak (pula) diperselisihkan, lalu muncul para ulama dan generasi sesudahnya, dan setiap ulama menentukan kesulitan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka.

As-Sya’rani menyatakan bahwa pencegahan jum’atan lebih dari satu adalah karena kekhawatiran tertentu dan hal itu sudah hilang. Kebolehan Jum’atan lebih dari satu itu juga berdasarkan hukum asal tentang pelaksanaan shalat Jum’at. Beliau berkata: “Inilah maksud (Nabi Saw.) pembawa syari’ah.” Beliau berargumen, bahwa bila pendirian shalat Jum’at lebih dari satu itu dilarang secara dzatnya, niscaya akan terdapat hadits yang menerangkannya, meskipun hanya satu. Sementara tidak ada satupun hadits yang menyatakan begitu. Maka hal itu menunjukkan bahwa diamnya Nabi Saw. Itu bertujuan memberi kelonggaran kepada umatnya.”

2. Bughyah al-Mustarsyidin karya Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi

وَالْحَاصِلُ مِنْ كَلَامِ الْأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ تَعَدُّدِهَا ثَلَاثَةٌ ضَيِّقُ مَحَلِّ الصَّلَاةِ بِحَيْثُ لَا يَسَعُ اْلُمجْتَمِعِينَ لَهَا غَالِبًا وَالْقِتَالُ بَيْنَ الْفِئَتَيْنِ بِشَرْطِهِ وَبُعْدُ أَطْرَافِ الْبَلَدِ بِأَنْ كَانَ بِمَحَلٍّ لَا يُسْمَعُ مِنْهُ النِّدَاءِ أَوْ بِمَحَلٍّ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يُدْرِكْهَا إِذْ لَا يَلْزَمُهُ السَّعْيُ إِلَيْهَا إِلَّا بَعْدَ الْفَجْرِ


Artinya; “Dan kesimpulan pendapat para imam adalah boleh mendirikan Jum’atan lebih dari satu tempat karena tiga sebab. (i) Tempat shalat Jum’at yang sempit, yakni tidak cukup menampung para jama’ah Jum’at secara umum. (ii) Pertikaian antara dua kelompok masyarakat dengan syaratnya. (iii) Jauhnya ujung desa, yaitu bila seseorang berada di satu tempat (ujung desa) tidak bisa mendengar adzan, atau di tempat yang bila ia pergi dari situ setelah waktu fajar ia tidak akan menemui shalat Jum’at, sebab ia tidak wajib pergi jum’atan melainkan setelah fajar.”

Demikian jawaban dari kami, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Jadi dua shalat Jum’at yang dilakukan di satu komplek hukumnya sama-sama sah karena tiga sebab di atas.

Namun saran kami, jika dua tempat shalat itu terlalu berdekatan dan dikhawatirkan saling mengganggu (misalnya karena suara microphone yang sama-sama keras), kami sarankan memilih salah satu masjid/tempat yang lebih layak. Jika alasan menyelenggarakan dua jumatan itu karena terlalu banyak warga sehingga satu masjid tidak muat, maka solusinya sebenarnya jamaah shalat Jum’at bisa melebar ke tanah lapang atau jalan raya yang masih bisa dimanfaatkan sementara waktu. Jadi lebih baik melaksanakan shalat Jumat di satu masjid/tempat saja. Dan tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan jika warga masyarakat komplek/kampung/perumahan saling duduk bersama untuk membahas kemaslahatan bersama.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Semoga bermanfaat.