Sabtu, 29 Desember 2018

Menghayati Makna Perang Nabi, agar tak menjadi Muslim Radikal



Sebelum meletus perang Badar di tahun 624, Nabi Muhammad menemani pasukan perintis dalam misi pengamanan sumur di Badar, dekat jalur Madinah. Dalam misi tersebut, salah satu pasukan perintis bernama Hubab Al-Jamuh yang sudah akrab dengan kawasan Badar, lantas mengkoreksi srategi yang dijalankan oleh nabi. Ia menegaskan bahwa tempat itu bukan tempat yang layak diperhitungkan. Ia justru menganjurkan pasukan perintis untuk terus maju ke sumur yang berada paling dekat dengan posisi musuh, behenti di sana, kemudian menyumbat sumur-sumur yang berada di belakangnya.

Selain air dari sumur tersebut berguna bagi pasukan muslim, strategi ini juga sebagai upaya melemahkan musuh sebelum bertarung. Karena musuh sudah terkulai lemas terlebih dahulu akibat kehabisan pasokan air. Benar saja, pasukan muslim yang hanya berkisar 300 orang, akhirnya dapat memenangkan peperangan melawan 1.000 lebih prajurit Makkah. Dalam konteks perang, air berguna bagi prajurit agar tetap bertenaga. Bila tak menemui air, masyarakat Arab pada saat itu harus menyembelih unta yang dikendarai untuk diminum darahnya dan diambil air di lambung si unta.

Jalan cerita di atas tentu akan berbeda andai Hubab menerima secara taken for granted, mentah-mentah, apa yang dipraktikan oleh nabi. Abu Jahal (Amr bin Hisyam) tidak jadi terbunuh, nabi mengalami kekalahan, lalu ketika kembali ke Madinah pasti akan menimbulkan kekecewaan yang berujung pada perpecahan antara suku dan agama di Madinah. Sebagaimana diketahui, nabi pada tahun 622 baru hijrah ke kota Madinah, yang sebelumnya mengalami kebuntuan saat berdakwah di Makkah.

Akan tetapi, tidak semua umat muslim layaknya Hubab Al-Jamuh. Belakangan, kisah-kisah peperangan zaman nabi dimaknai semena-mena oleh pemeluknya. Diperkuat dengan seruan jihad yang terdapat dalam teks suci, keduanya diseret untuk bertanggung jawab atas rangkaian teror yang terjadi. Simbol dan sejarah agama direplikasi sekelompok orang dalam melakukan setiap aksinya. Aksi yang berujung pada laku kekerasan yang kerap menimbulkan korban. Bila pada zaman nabi saja, ada seorang sahabat yang mempertanyakan strategi perang nabi, kini di abad 21 dan saat Islam telah menyebar ke pelosok dunia, kisah perang malah dimakan mentah-mentah.

Memaknai Kisah Perang Nabi
Mau tidak mau, umat muslim kini dihadapkan pada realitas, bahwa agama yang selama ini patuh dianutnya ternyata dilibatkan atau terlibat dalam serangkaian teror yang terjadi. Sebuah kenyataan pahit untuk mengakui bahwa agamanya melegalkan tercecernya darah kala ada pembeda. John Adair dalam buku Kepemimpinan Muhammad dari Alwiqidi di buku Al-Maghzi (penaklukan) memaparkan, terdapat 28 serangan dan 70 pertempuran yang terjadi pada 10 tahun terakhir kehidupan Nabi Muhammad.

Tentu tak mudah untuk melokalisir kisah-kisah perang zaman nabi pada etalase masa lalu saat melihatnya. Atau dengan kata lain, meletakan Islam sebagai ‘agama wahyu’ itu lebih mudah, dibanding Islam diletakan sebagai ‘agama historis’. Mengutip teori Antony Giddens tentang relasi agen dan stuktur, umat Islam sebagai sebuah agen sejak kecil sudah diyakinkan terhadap keduanya; bahwa itu merupakan panduan yang sempurna (stuktur), tidak ada keraguan di antaranya. Adagium andalan yang sering dilontarkan saat melihat realitas ialah cocok ditempatkan pada waktu dan tempat (Shohih likuli zaman wa makan) untuk keduanya.

Melalui kisah koreksi yang dilakukan oleh sahabat Hubab Al-Jamuh pada strategi perang Badar, dapat diambil pelajaran bahwa Islam saat itu terbentuk dari realitas umat. Sebagai seseorang yang baru berhijrah –belum mengetahui realita Madinah- Nabi Muhammad mendengarkan strategi yang diungkap oleh Hubab. Terbukti dengan ditandai perang Badar merupakan perang yang dikategorisasi sebagai perang pertama dalam sejarah Islam.

Perang, saat itu merupakan metode yang sudah biasa dilakukan di dataran Arab sebagai penuntasan tiap masalah. Budaya masyarakat Arab yang keras dan bergengsi tinggi diantara tiap kafilah menjadi kewajaran bila perang menjadi satu-satunya jalan keluar. Padahal jauh-jauh hari Nabi Muhammad pernah menyindir atas kondisi ini. Setelah perang Hunain, nabi membagi-bagikan seratus unta pada keempat orang terkemuka dari Suku Quraisy yang sebelumnya merupakan musuh besarnya. Sebuah laku yang kemudian berujung pada protes keras orang muslim Madinah.

Orang muslim Madinah menganggap diperlakukan secara tidak adil. Harusnya orang-orang Anshar (muslim asli Madinah) yang berhak menerima imbalan unta tersebut. Anshar yang pertama kali meyakini seruan Muhammad SAW ketika dipukul mundur saat di Makkah, Anshar pula yang pertama kali bertempur habis-habisan, tapi mengapa, saat perang usai bekas musuh yang diistimewakan. Laku ganda itu dilakukan oleh Nabi Muhammad, di satu sisi ia berlaku keras lewat perang, di sisi lain ia sangat menghormati musuh. Nabi Muhammad sedang memberi cermin terhadap budaya masyarakat Arab kala itu.

Refleksi Beragama di Indonesia
Jika di zaman nabi strategi perang Badar saja merupakan hasil dari proses dialog antara realitas dan ajaran, di tengah Islam yang kini telah menyebar ke penjuru dunia dan telah berumur tua, mengapa masih saja ada orang yang mengais kisah-kisah perang yang terakam dalam kata ‘jihad-qital-harb’ sebagai sebuah keharusan tanpa melihat realitas? Melakukan teror atas nama agama bukan sebuah amal melainkan kriminal. Baik itu kriminal terhadap agama maupun negara. Kriminal terhadap agama, lantaran menjauhkan agama dari pemeluknya (realitas), sedangkan terhadap negara karena kini umat muslim telah terjamin hidup secara merdeka di Indonesia, sebagaimana kehidupan yang damai dulu di Madinah (Piagam Madinah).

Di tengah kehidupan damai di Indonesia bila kemudian ditemukan sekelompok umat yang mengaku muslim, tapi mencederai keberagaman atas dasar nama agama, maka tak lain mereka sama persis seperti penghianatan yang dilakukan oleh Yahudi bani Nadzir saat di Madinah. Pengkhianatan terhadap Piagam Madinah (konsep ideal negara bangsa) yang dibuat oleh nabi guna memayungi perbedaan para kafilah dan pemeluk agama. Sebuah latar belakang yang memunculkan perang Khandaq.
Terhadap penghianatan, Allah menyerukan peperangan sebagaimana tertuang dalam surat Ash-shaf ayat 4; “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalanNya dengan berbaris seolah-seolah mereka itu suatu bangunan yang tersusun.” Surat yang turun sebagai pengingat bagi umat muslim akibat kekalahan yang dialami saat perang Uhud. Pengkhianatan terjadi saat berlangsungnya perang Uhud, di mana pasukan dari keturunan Bani Aus melakukan balas dendam terhadap salah satu pasukan muslim lain hingga berujung pada kematian.

Masyarakat muslim yang kini telah terjamin kemerdekaanya dalam konsep ideologi bangsa Pancasila yang terurai dalam Undang-Undang Dasar 1945, betapa naifnya bila kemudian melakukan pengkhianatan atas nama agama. Jihad fi sabilillah, pengusungan konsep khilafah, dan teror atas nama agama, di satu sisi merupakan sebuah bentuk kemalasan berpikir yang tidak ada di zaman nabi sebagaimana dicontohkan oleh Hubab Al-Jamuh, di sisi lain, ia merupakan bentuk dari pengkhianatan atas konsep negara bangsa. Bak pengkhianatan yang dilakukan Yahudi bani Nadzir terhadap konsep Piagam Madinah yang berguna untuk menaungi beragam kafilah dan agama.
 
Semoga bermanfaat.

Rabu, 26 Desember 2018

Dua ulama aswaja yang dikafirkan wahabi

Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al Maliki (Mekkah) & Syekh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi (Damaskus_Suriah) Adalah Dua Ulama Besar Dunia Yang Sangat Gigih Dalam Membela Ahlus Sunnah Wal Jama'ah,Sekaligus Menjadi Ulama Yang Paling Dibenci Oleh Kelompok Salafi Wahhabi. Saking Bencinya,Salafi Wahhabi Sampai-Sampai Mengkafirkan Keduanya.

Sayyid Muhammad bin Alwi
Terkenal Sebagai Peraih Gelar Doktor Hadits Termuda Dalam Sejarah Universitas Al Azhar (Kairo_Mesir) Karena Beliau Berhasil Memperoleh Predikat Doktoral Spesialis Hadits Dalam Usia 25 Tahun,Beliau Juga Dikenal Dengan Julukan "Muwattho' Berjalan" Dikarenakan Beliau Memang Sangat Hafal Dan Ahli Dalam Kitab Karya Imam Malik Tsb !!!
Sedangkan Syekh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi Juga Meraih Gelar Doktor S3 nya Di Universitas Yang Sama !!!

Meski Keduanya Dikenal Sangat 'Alim Luar Biasa, Namun Para Ulama Salafi Wahhabi Tetap Saja Mengkafirkan Keduanya.

Diantara Ulama Salafi Wahhabi ..
Yang Terang-Terangan Mengkafirkan Beliau Berdua Adalah Syekh Abdullah bin Sulaiman bin Mani' (Seorang Hakim Di Mahkamah Tamyiz Saudi Arabia),Ia Menulis Sebuah Kitab Berjudul AL HIWAR MA'AL MALIKI Yang Berisi Kumpulan Fitnah,Cacian Serta Pengkafiran Kepada Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki.

Kitab Ini Kemudian Dijadikan Rujukan Ulama Salafi Wahhabi Lainnya Dalam Mengkafirkan Ulama-Ulama Yang Tidak Sejalan Dengan Mereka,Termasuk Digunakan Oleh Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (Grand Mufti Kerajaan Wahhabi Arab Saudi Sekaligus Ketua Idarah Al Buhuts Al 'Ilmiyah Saudi) !!!
Sedangkan Ustadz-Ustadz Wahhabi Indonesia Yaitu Firanda Andirja Menyatakan Bahwa Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Telah MUSYRIK Dan Mencapnya Sebagai SYIAH !!!

Adapun Syekh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi Dikafirkan Dan Dihalalkan Darahnya Oleh Para Pemberontak Wahhabi Di Suriah. Hanya Karena Beliau Tidak Mendukung Pemberontakan Mereka, Lalu Mereka Pun Melakukan Makar Hingga Syekh Said Ramadhan Al Buthi Wafat Disaat Mengajar Tafsir Di Masjidnya.

Sekalipun Sayyid Al Maliki & Syekh Al Buthi Kini Telah Wafat,Namun Ilmu Dan Perjuangannya Dalam Membela Aswaja Tetap Abadi Dalam Karya-Karya Yang Sempat Beliau Berdua Tulis.

Sayyid Muhammad Al Maliki Meninggalkan Banyak Kitab Diantaranya MAFAHIM YAJIBU AN TUSHOHHAHA Yang Didalamnya Berisi Penjelasan Dan Pembelaan Aqidah Serta Amaliah Aswaja Yang Sering Dianggap Bid'ah Oleh Wahhabi.
Sedangkan Syekh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi Juga Meninggalkan Banyak Kitab Diantaranya AL LAA MADZHABIYYAH AKHTHORU BID'ATIN TUHADDIDU ASY SYARI'AH AL ISLAMIYYAH Yang Menjelaskan Bahaya Propaganda Anti Madzhab Yang Selalu Diteriakkan Oleh Kelompok Wahhabi.

Didalam Kitab Ini Juga, Dijelaskan Keringkasan Dialog Yang
Pernah Terjadi Antara Beliau Dengan Syekh Nashiruddin Al Albani (Ulama Wahhabi) Yang Berlangsung Selama Kurang Lebih 3 Jam.

Alhamdulillah Kedua Kitab Tsb Telah Dicetak Dan Disebarluaskan Ke Indonesia.

Semoga bermanfaat.

Ikut NU Berarti Ajaran Islam Kamu Terhubung ke Rasulullah

Ketua PBNU KH Abdul Manan Abdul Ghani mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi yang didirikan para ulama yang memiliki sanad keilmuan jelas melalui para guru yang terhubung kepada Rasulullah tanpa putus.

Menurut Kiai Manan, para guru ulama-ulama NU, jika ditelusuri dari Imam Syafi’i yang berguru kepada kepada Imam Malik, maka akan didapat susunan sebagai berikut, yaitu Imam Syafi’I berguru kepada Imam Malik, berguru kepada Imam Rabiatu Ra’yi, berguru kepada Kharijah, berguru kepada Zaid bin Tsabit, berguru kepada Rasulullah SAW.

“Jadi ketika kita ber-NU, kita menyambungkan rombongan sanad kepada Rasulullah. Pesannya KH Hasyim Asy’ari ya ayyuhal ulama, wahai para ulama Ahlussunah wal Jamaah, para ulama NU, kalian mengambil ilmu dari orang sebelum kalian. Orang sebelum kalian mengambil ilmu dari orang-orang sebelumnya dengan sanad yang tidak terputus kepada Rasulullah,” jelasnya.

Di dalam kesempatan lain, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj kerap menyampaikan sanad keilmuan para ulama NU pula. Ia hafal di luar kepala jalur keilmuan tersebut yaitu melalui pendiri NU, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari berguru kepada Syekh Mahfudz at-Termasi, Syekh Nawawi al-Bantani, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Imam Ahmad ad-Dasuqi, Imam Ibrahim al-Baijuri, Imam Abdullah as-Sanusi, Imam ‘Abduddin al-‘Iji, Imam Muhammad bin Umar Fakhrurrazi.

Selanjutnya, Imam Abdul Karim asy-Syahrastani, Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad al-Ghozali, Imam Abdul Malik al-Haramain al-Juwaini, Imam Abubakar al-Baqillani, Imam Abdullah al-Bahili, Imam Abu al-Hasan Ali al-Asy’ari, Abu Ali al-Juba’I, Abu Hasyim al-Juba’I, Abu al-Hudzail al-‘Allaf, Ibrahim an-Nadzdzam, Amr bin Ubaid, Washil bin Atha’, Sayyidina Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Rasulullah Muhammad SAW.

Senada dengan Kiai Manan, penceramah KH Ahmad Muwafiq menegaskan NU merupakan sebuah organisasi yang memiliki sanad keilmuan yang tanpa terputus hingga Rasulullah.

“NU tidak mengalami patahan pengetahuan, tidak mengalami mata rantai yang hilang,” katanya pada pengajian di PBNU, Jakarta, Selasa (25/12) malam. (Abdullah Alawi)
 
Semoga bermanfaat.

Rabu, 19 Desember 2018

Siapa yang menjadi imam sholat lebih dalu

Bagi yang bertanya-tanya, apaboleh presiden menjadi imam sholat?


Disebutkan dalam kitab Al Muhaddzab karya Imam As Syairozi yang saya posting di bawah ini.
Dan penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab sy tulis di bawah ini:

إذَا حَضَرَ الْوَالِي فِي مَحَلِّ وِلَايَتِهِ قُدِّمَ عَلَى جَمِيعِ الْحَاضِرِينَ فَيُقَدَّمُ عَلَى الافقه والاقراء وَالْأَوْرَعِ وَعَلَى صَاحِبِ الْبَيْتِ وَإِمَامِ الْمَسْجِدِ إذَا أَذِنَ صَاحِبُ الْبَيْتِ وَنَحْوُهُ


"Jika pemimpin datang di suatu daerah yang menjadi wilayahnya maka dia didahulukan(dipersilahkan) jadi imam  jama'ah, kemudian ahli faqih, qori' dan org yg waro', tuan rumah juga imam masjid dst...dst...

وَقَدْ أَوْضَحْتُهُ فِي تَهْذِيبِ اللُّغَاتِ: قَالَ أَصْحَابُنَا رَحِمَهُمُ اللَّهُ إذَا حَضَرَ الْوَالِي فِي مَحَلِّ وِلَايَتِهِ قُدِّمَ عَلَى جَمِيعِ الْحَاضِرِينَ فَيُقَدَّمُ عَلَى الافقه والاقراء وَالْأَوْرَعِ وَعَلَى صَاحِبِ الْبَيْتِ وَإِمَامِ الْمَسْجِدِ إذَا أَذِنَ صَاحِبُ الْبَيْتِ وَنَحْوُهُ فِي إقَامَةِ الصَّلَاةِ فِي مِلْكِهِ فَإِنْ لَمْ يَتَقَدَّمْ الْوَالِي قَدَّمَ من شاء من يَصْلُحُ لِلْإِمَامَةِ وَإِنْ كَانَ غَيْرُهُ أَصْلَحَ مِنْهُ لِأَنَّ الْحَقَّ فِيهَا لَهُ فَاخْتَصَّ بِالتَّقَدُّمِ وَالتَّقْدِيمِ: قَالَ الْبَغَوِيّ وَالرَّافِعِيُّ وَيُرَاعَى فِي الْوُلَاةِ تَفَاوُتُ الدَّرَجَةِ فَالْإِمَامُ الْأَعْظَمُ أَوْلَى مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ الْأَعْلَى فَالْأَعْلَى مِنْ الْوُلَاةِ وَالْحُكَّامِ وَحَكَى الرَّافِعِيُّ قَوْلًا أَنَّ الْمَالِكَ أَوْلَى مِنْ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَهَذَا شَاذٌّ غَرِيبٌ ضَعِيفٌ جِدًّا: وَلَوْ اجْتَمَعَ قوم لاوالى مَعَهُمْ فِي مَوْضِعٍ فَإِنْ كَانَ مَسْجِدًا فَإِمَامُهُ أَحَقُّ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَسْجِدٍ أَوْ كَانَ مَسْجِدًا لَيْسَ فِيهِ إمَامٌ فَسَاكِنُ الْمَوْضِعِ بِحَقٍّ اولى بالتقديم والتقدم مِنْ الْأَفْقَهِ وَغَيْرِهِ سَوَاءٌ سَكَنَهُ بِمِلْكٍ أَوْ إجَارَةٍ أَوْ عَارِيَّةٍ أَوْ أَسْكَنَهُ سَيِّدُهُ وَلَوْ حَضَرَ شَرِيكَانِ فِي الْبَيْتِ أَوْ أَحَدُهُمَا وَالْمُسْتَعِيرُ مِنْ الْآخَرِ لَمْ يَتَقَدَّمْ غَيْرُهُمَا إلَّا بِإِذْنِهِمَا وَلَا أَحَدُهُمَا إلَّا بِإِذْنِ الْآخَرِ فَإِنْ لَمْ يَحْضُرْ إلَّا أَحَدُهُمَا فَهُوَ أَحَقٌّ حَيْثُ يَجُوزُ انْتِفَاعُهُ وَلَوْ اجْتَمَعَ الْمَالِكُ وَالْمُسْتَأْجِرُ فَوَجْهَانِ (الصَّحِيحُ) تَقْدِيمُ الْمُسْتَأْجِرِ وَبِهِ قَطَعَ الْمُصَنِّفُ وَالْأَكْثَرُونَ لِمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ
(وَالثَّانِي)
الْمَالِكُ أَحَقُّ لِأَنَّ الْمُسْتَأْجِرَ إنَّمَا يَمْلِكُ السُّكْنَى حَكَاهُ الرَّافِعِيُّ وَإِنْ اجْتَمَعَ الْمُعِيرُ وَالْمُسْتَعِيرُ فَوَجْهَانِ (الصَّحِيحُ) وَبِهِ قَطَعَ الْمُصَنِّفُ والجمهور المعير احق (والثاني) المتسعير أَحَقُّ لِأَنَّهُ السَّاكِنُ حَكَاهُ الرَّافِعِيُّ وَلَوْ حَضَرَ السيد وعبده الساكن فالسيد أولى بالاتفاق لما ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ سَوَاءٌ الْمَأْذُونُ لَهُ فِي
التِّجَارَةِ وَغَيْرُهُ وَلَوْ حَضَرَ السَّيِّدُ وَالْمُكَاتَبُ فِي دَارِ المكاتب فالمكاتب أولي

 --------------------

Mendahulukan pemimpin menjadi Imam sholat


Hadits Abu Mas’ud Al Anshori rodhiyallahu ‘anhu, Beliau mengatakan,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِى الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِى سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِى بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

Rosulullah Shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Yang menjadi imam dari suatu kaum adalah orang yang paling banyak hafalan terhadap Kitab Allah (Al Qur’an), jika diantara mereka ada yang memiliki hafalan sama maka yang menjadi imam mereka adalah orang yang paling paham tentang sunnah Nabi (hadits) jika diantara mereka masih sama maka yang paling dahulu hijroh[4] jika mereka dalam masalah hijroh sama maka yang lebih dahulu masuk islam[5]. Janganlah seorang laki-laki menjadi imam seorang lelaki yang lain yang merupakan sulthonnya dalam daerah kekuasaan sulthon tersebut dan tidak pula di rumah orang yang di datanginya sebagai bentuk pemulian baginya kecuali atas izin orang tersebut”[6][6] HR. Muslim No. 672.

Siapa yang Lebih Berhak Menjadi Imam ?


Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam.

Kedudukan menjadi imam/pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa adalah sebuah keutamaan besar. Bahkan ia adalah do’a orang-orang yang sholeh. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. [QS. Al Furqon (25) : 74]

Menjadi imam dalam sholat adalah merupakan salah satu cakupan dari ayat di atas. Namun sebagian orang –Allahu a’lam- karena terlalu bersemangat dalam meraih kedudukan yang mulia ini, mereka tidak segan-segan meraih posisi ini padahal ia tidaklah layak untuk itu dan masih ada orang yang layak untuk itu.

Oleh karena itulah kami memilih topik pembahasan kali ini mengenai masalah yang berhubungan dengan hal tersebut yaitu manakah yang lebih berhak menjadi imam seorang qori’[1] atau seorang yang fakih tentang hukum-hukum (terutama sholat)? Dari kedua hal ini jelaslah bagi kita mereka adalah orang-orang yang tidak termasuk dalam kedua hal tersebut tidaklah layak menjadi imam. Semisal orang yang hafalannya sedikit dan bacaannya buruk maka orang yang demikian tidaklah layak menjadi imam. Apalagi jika hafalannya sedikit, bacaanya buruk dan tidak tahu bagaimana hukum-hukum (terutama sholat) maka orang yang demikian ini tidaklah layak menjadi imam. Maka sekali lagi penulis sampaikan topik pembahasan ini adalah manakah yang lebih utama untuk menjadi imam seorang qori’ yang hafalannya banyak atau orang yang fakih tentang hukum (terutama sholat) namun hafalannya tidak terlalu banyak.

Sebelum masuk ke dalam pembahasan yang dimaksud dengan qori’ adalah orang yang paling bagus bacaannya, sebagian ulama’ dari mazhab Hambali mengatakan, yang dimaksud dengan qori’ adalah orang yang paling banyak hafalannya. Penulis Shohih Fiqh Sunnah mengatakan, “Aku katakan pendapat sebagian ulama’ mazhab hambali inilah yang benar sesuai dengan dhohir hadits-hadits tentang hal ini akan tetapi dengan syarat bacaan Al Qur’annya benar dan sempurna makhrojul hurufnya”.

Berkaitan dengan masalah ini para ulama’ berbeda pendapat, mereka secara umum memiliki dua pendapat pokok.

[Pendapat Pertama, Qori’ yang Lebih Utama Menjadi Imam]

Pendapat ini adalah pendapat yang diambil oleh al Imam Abu Hanifah dan para pengikut mazhab Beliau, al Imam Sufyan Ats Tsauriy[2] dan Al Imam Ahmad bin Hambal rohimahumullah. Dalil mereka adalah :

[1]. Hadits Abu Sa’id al Khudriy rodhiyallahu ‘anhu, Beliau mengatakan,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا كَانُوا ثَلاَثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ »

Rosulullah Shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Jika kalian berjumlah tiga orang (dan hendak mengerjakan sholat berjamaah) makan hendaklah salah seorang dari kalian yang paling banyak hafalannya (qori’) menjadi imam”[3].

Mendahulukan pemimpin mendadi imam


[2]. Hadits Abu Mas’ud Al Anshori rodhiyallahu ‘anhu, Beliau mengatakan,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِى الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِى سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِى بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

Rosulullah Shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Yang menjadi imam dari suatu kaum adalah orang yang paling banyak hafalan terhadap Kitab Allah (Al Qur’an), jika diantara mereka ada yang memiliki hafalan sama maka yang menjadi imam mereka adalah orang yang paling paham tentang sunnah Nabi (hadits) jika diantara mereka masih sama maka yang paling dahulu hijroh[4] jika mereka dalam masalah hijroh sama maka yang lebih dahulu masuk islam[5]. Janganlah seorang laki-laki menjadi imam seorang lelaki yang lain yang merupakan sulthonnya dalam daerah kekuasaan sulthon tersebut dan tidak pula di rumah orang yang di datanginya sebagai bentuk pemulian baginya kecuali atas izin orang tersebut”[6][6] HR. Muslim No. 672.

[3]. Hadits Amr bin Salamah,

صَلُّوا صَلاَةَ كَذَا فِى حِينِ كَذَا ، وَصَلُّوا كَذَا فِى حِينِ كَذَا ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ ، فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ ، وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنً

“Sholatlah kalian pada keadaan demikian, Sholatlah kalian pada keadaan demikian, jika telah datang waktu sholat maka hendaklah salah seorang dari kalian beradzan dan hendaklah salah seorang dari kalian yang paling banyak hafalan Al Qur’annya menjadi imam”[7].

[Pendapat Kedua, Orang yang Fakih yang Lebih Utama Menjadi Imam]

Pendapat ini adalah pendapat yang diambil oleh al Imam Malik dan Syafi’i dan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa pendapat yang diambil oleh al Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rohimahumullah. Mereka mengambil pendapat ini berdasarkan dalil sebagai berikut.

[1]. Mungkin saja orang yang menggantikan imam dalam sholat orang yang tidak tidak tahu apa yang dilakukannya untuk menggantikan imam dalam sholat kecuali orang yang fakih. Maka orang yang fakih lebih utama.

[2]. Para ulama ini menjawab/berargumentasi dengan hadits yang dibawakan kelompok ulama sebelumnya[8] bahwa orang yang paling banyak hafalan Al Qur’annya di masa sahabat adalah orang yang paling fakih. Karena para sahabat tidaklah mereka membaca sepuluh ayat hingga mereka memamahi maknanya dan kandungan (salah satunya adalah fikih/hukum) yang ada pada ayat-ayat tersebut dan mengamalkannya. Para ulama terdahulu sebelumnya membantah argumen di atas dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, 

(فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ)

 hadits ini menunjukkan lebih utamannya orang yang banyak hafalannya menjadi imam secara mutlak.

[3]. Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam menunjuk Abu Bakar rodhiyallahu ‘anhu menjadi imam bagi para sahabat untuk menggantikan beliau padahal Abu Bakar bukanlah sahabat yang paling banyak hafalannya diantara para sahabat. Para ulama terdahulu sebelumnya membantah argumen di atas dengan mengatakan bahwa pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam pada Abu Bakar untuk menggantikan beliau mengimami para sahabat merupakan isyarat agar beliau menggantikan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam menjadi kholifah, dan kholifah lebih utama untuk menjadi imam walaupun ada orang yang lebih banyak hafalannya.

Penulis Shahih Fiqh Sunnah mengatakan, “Pendapat yang rojih/kuat adalah pendapat yang mendahulukan orang yang banyak hafalannya menjadi imam daripada orang yang fakih, akan tetapi dengan syarat orang yang banyak hafalannya tersebut memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum seputar sholat. Jika ia bukan orang yang demikian maka orang yang banyak hafalannya semisal keadaan di atas tidaklah diutamakan menjadi imam dengan sepakat para ulama’.

Demikianlah pembahasan singkat seputar masalah imam[9], mudah-mudahan kita dapat memperoleh faidah dari pembahasan ini. Amin

Sigambal,

Di hari yang penuh berkah, di saat yang penuh berkah, serta ketika turun rahmat Allah dari langit….

[1] Hal ini tentu saja qori’ tersebut mengetahui hukum-hukum sholat namun tidak sangat faham tentang khilaf dan tarjihnya dalam masalah-masalah seputar sholat (ed.).

[2] Shohih Fiqh Sunnah oleh Abu Malik Kamal bin Sayd hal.521/I, terbitan Maktabah Taufiqiyah, Kairo, Mesir.

[3] HR. Muslim No. 672.

[4] Al Iman An Nawawiy mengatakan, “Para ulama mazhab kami/mazhab Syafi’i mengatakan, “Termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam (فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً) ‘maka yang paling dahulu hijroh’ ini dua golongan. Golongan Pertama mereka orang-orang yang hidup di zaman kita yang lebih dahulu hijroh dari negeri kafir ke negeri Islam, karena kewajiban hijroh itu tetap ada menurut mazhab kami dan ini merupakan pendapat jumhur ulama’. Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam,

لَا حِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ

‘Tidak ada hijroh setelah penalukan kota Mekkah’

maksudnya adalah karena setelah itu kota Mekkah telah menjadi bagian dari Negeri Islam atau maksudnya adalah tidak ada hijroh yang keutamaannya seperti hijroh sebelum penaklukan kota Mekkah. Golongan Kedua anak keturunan orang-orang yang berhijrah kepada Rosulullah Shollallahu ‘alaihi was sallam

(أَوْلَاد الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ).

[Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawiy asy Syafi’i dengan tahqiq Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa hal. 177-178/III, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut].

[5] Dalam sebuah riwayat disebutkan (سِنًّا) yang paling tua, (فَأَكْبَرهمْ سِنًّا) yang paling banyak umurnya/tua. [Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim hal. 178/III].

[6] HR. Muslim No. 672.

[7] HR. Bukhori No. 4302.

[8] Yaitu yang mengatakan orang yang lebih utama menjadi imam adalah orang yang paling banyak hafalannya. Demikian yang dimaksudkan dalam tulisan ini untuk kata yang semisal.

[9] Tulisan ini diangkat dari kitab Shohih Fiqh Sunnah oleh Abu Malik Kamal bin Sayd hal.521-522/I, terbitan Maktabah Taufiqiyah, Kairo, Mesir dengan perubahan seperlunya.

Semoga bermanfaat.

Minggu, 16 Desember 2018

Kyai Kholil Bangkalan Madura

KYAI KHOLIL BANGKALAN (Madura)

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
KH Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiyai Hamim bin Kiyai Abdul Karim bin Kiyai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiyai Abdullah bin Sayid Sulaiman.
Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon.
Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra.

KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 Masihi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur.
Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langasung oleh ayah Beliau menginjak dewasa Beliau ta’lim diberbagai pondok pesantren.
Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur.
Dari Langitan Beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian Beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi.
Selama belajar di pondok-pesantren ini Beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini, sesungguhnya
masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab).
disamping itu juga Beliau juga seorang hafiz al-Quran .
Beliau mampu membaca alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran)
Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, KH Muhammad Khalil Belajar di Mekah. Di Mekah KH Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan :
Syeikh Nawawi al-Bantani(Guru Ulama Indonesia dari Banten).
Di antara gurunya di Mekah ialah :
Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi,
Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan,
Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki,
Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani .

Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan
Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
KH.Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah seangkatan dengan KH.Hasym Asy’ari,
KH.Wahab Hasbullah dan KH.Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama Rekannya, Dan Kh.Muhammad KHolil yang Dituakan dan dimuliakan diantara mereka.

Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, KH. Muhammad Khalil
bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar.
Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga,
yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan
Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon.
Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam
bahasa Jawa, Madura dan Sunda.

Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
karena Kiyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah,

Beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya.
Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
KH. Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya.
Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah
oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian.

Sesuai dengan keadaan Beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya. Kiyai Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya.

Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri .
Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah
dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun,
di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.
Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.
Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan.
”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan
yang senjatanya super modern.
Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,”
papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.

Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan.
Pernah ada peristiwa aneh saat Beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung Beliau basah kuyub,” cerita kh Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan Beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju. Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut,
langsung ditolong Mbah Kholil. ”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap Beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar kh Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
Di antara sekian banyak murid KH. Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah
KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama / NU)
Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang);
Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar);
Kiyai Haji Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang,
adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma’shum),
Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan
Kiyai Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo).

KH. Muhammad Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun,
pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masehi.


IJAZAH SYAICHONA MOH. CHOLIL BANGKALAN MADURA


Berkah keramat SyaiChona Cholil Bangkalan,
sekarang banyak penduduk Madura yg sudah menetap si Arab Saudi
Ini berawal dari kisah keramat beliau :
Setiap sore beliau meminta kepada sang guru Syech Abdul Ghoni bin Shubuh bin Ismail Al Bimawy (Bima, Sumbawa) seraya berkata "Ya Tuan guru, saya ingin pulang"
Pulang ke mana, tanya sang guru
"Ke Madura", Jawab Mbah Kholil
Guru menyahut, Trus, ke sini mu kapan ?
"Besok" jawab Kyai Cholil
Seketika itu Syech Abdul Ghoni menjewer telinga kholil muda, dan saat itu pula beliau sampai di Madura
Besok paginya, Kyai Kholil mengajak 5 tetangganya untuk ke Makkah seraya naik perahu sampan..
Lho apa bisa ? tanya para tetangga yang ikut..
Kyai Kholil menjawab "Bisa atas izin Allah, Yuk mari kita bersama selalu membaca Ya Hayyu Ya Qoyyum, La Ilaha Illa Anta".
Karena orang Madura saat itu masih banyak yang belum bisa baca arab hanya berkata Kayum-kayyum.. akhirnya dapat sampai Makkah pagi itu juga
Hal ini terjadi berkali-kali sehingga menjadikan orang Madura banyak yang sampai ke Makkah dengan bersama karamat wali

Dengan ini kami ingatkan ijazah membaca Ya Hayyu Ya Qoyyum La Ilaha Illa Anta sebanyak 40 kali sebelum sholat shubuh sebagaimana ijazah yang diberikan para masyayikh secara umum
Oleh : Hadrotus Syekh Al Habib Assegaf Bin Mahdi Bin Abu Bakar Bin Salim Parung Bogor.
Dalam ACara Hubbur Rosul Di Masjid Baitul Aziz Mayong Jepara.


اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد

Allahumma Sholli 'Ala Sayyidina Muhammad, Wa 'ala Aali Sayyidina Muhammad.
Semoga bermanfaat

Sumber bacaan:
Biografi " KYAI KHOLIL BANGKALAN "

Semoga bermanfaat.

Empat Ulama Makkah dari Nusantara

Inilah foto empat Ulama Makkah dari Nusantara, Tanah Jawi.
Waliyullah dan Ulama Besar Indonesia yang menuntut ilmu agama di MEKKAH sedang membaca kitab, yaitu :
SYEKH ABDUSSAMAD AL-PALEMBANI (SUMATERA).
SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI (KALIMANTAN).
SYEKH ABDUL WAHAB BUGIS (SULAWESI)
SYEKH ABDURRAHMAN MASHRI (TANAH JAWA).
.
Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah
Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya ialah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam ialah “Jalan bagi orang-orang yang memperoleh petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama”.
Syekh Muhammad Arsyad sudah mecatat untuk keperluan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya,
diantaranya ialah:
* Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh,
* Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membicarakan soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat,
* Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab mengenai hal perempuan serta tertib suami-isteri,
* Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata.
.
Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya lantas dihimpun dan jadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu mengenai hal syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, dan untuk mana biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.
.
Di Antara kitab karangan Sheikh Abdush Shamad al-Falimbani:
Zahratul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid, 1178 H/1764 M.
Risalah Pada Mengumumkan Karena Yang Diharamkan Bagi Nikah, 1179 H/1765 M.
Hidayatus Salikin fi Suluki MaslakilMuttaqin, 1192 H/1778 M.
Siyarus Salikin ila Ibadati Rabbil Alamin, 1194 H/1780 M-1203 H/1788 M.
Al-Urwatul Wutsqa wa Silsiltu Waliyil Atqa.
Ratib Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani.
Nashihatul Muslimina wa Tazkiratul Muminina fi Fadhailil Jihadi wa Karaamatil Mujtahidina fi Sabilillah.
Ar-Risalatu fi Kaifiyatir Ratib Lailatil Jumah
Mulhiqun fi Bayani Fawaidin Nafiah fi Jihadi fi Sabilillah
Zatul Muttaqin fi Tauhidi Rabbil Alamin
Ilmut Tasawuf.
 
Semoga bermanfaat.