Senin, 29 Januari 2018

Maksud bersholawat untuk nabi Muhammad SAW


SHALAWAT Untuk Junjunganku

بسم الله الرحمن الرحيم. الحمد لله رب العالمين. أشهد ان لا إله الا الله الملك الحق المبين، وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله صادق الوعد الأمين. والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين، سيدنا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين. ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم القوي المتين. وبعد.

Syaikh ‘Izzu-d Din bin Abdi-s Salâm Rahimahu-Llâh berkata:
“Sebenarnyalah shalawat kita atas Rasuli-Llâh Shallâ-Llâh ‘alaihi wa Sallam bukanlah bentuk (permohonan) syafaat (dari) kita untuk beliau, karena orang semacam kita tidak dapat mensyafaati orang seperti beliau. Akan tetapi Allah memerintahkan kita agar memberikan balasan yang sepadan pada orang yang memberi kita kenikmatan. Manakala kita tak mampu memberi balasan yang sepadan padanya, maka kita berdoa pada Allah dan merendahkan diri di hadapanNya agar Dia memberi orang tersebut balasan yang sepadan dari kita.

(Jadi) saat kita tak mampu mempersembahkan balasan yang sepadan kepada sang Sayyidil Awwalîn wa-l Âkhirîn (Shallâ-Llâh ‘alaihi wa Sallam), maka Allah memerintahkan agar kita bersungguh-sungguh (memohon) padaNya, dan bershalawat pada beliau Shallâ-Llâh ‘alaihi wa Sallam, agar shalawat kita itu menjadi balasan kita yang sepadan dengan IHSÂN (kebaikan) Beliau pada kita, serta kedatangan Beliau dengan membawa hidayah dan anugerah (Iman dan Islam) kepada kita.
Tidak ada ihsân yang melebihi ihsân Beliau Shallâ-Llâh ‘alaihi wa Sallam (pada kita), karena Beliau telah menuntun kita pada jalan yang lurus (agama Islam), yang menjadi sebab kita mencapai kebahagian abadi dan memperoleh segala kebaikan dunia akhirat." -- selesai*

Allâhumma Shalli wa Sallim wa Bârik ‘alâ Sayyidinâ wa Maulânâ Muhammad wa ‘alâ Âlihî wa Shahbihî Ajma’în…
_____________________________________
*Diterjemah dengan segala keterbatasan al Faqîr, dari “Syarh Râtibi-l Haddâd” li-l Habib al-‘Allâmah ‘Alwi bin Ahmad bin al-Hasan bin Abdillah bin ‘Alwi al-Haddâd Bâ‘alawi, hlm. 202. Bisa juga dilihat dalam “Afdalu-sh Shalawât ‘alâ Sayyidi-s Sâdât” li-s-Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhaniy hlm. 14.

Semoga bermanfaat.

Asy’ariyah menurut pandangan mereka


Kita umat Islam prihatin melihat status atau tulisan mereka di jejaring atau media sosial Facebook seperti yang terungkap dalam gambar di atas karena mereka tampaknya sesuai dengan nubuat Rasulullah bahwa kelak akan bermunculan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yang karena mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka terjerumus kesombongan dan menganggap bahwa mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) telah rusak padahal mereka sendirilah yang rusak

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; Aku membaca Hadits Malik dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila ada seseorang yang berkata; ‘Celakalah (rusaklah) manusia’, maka sebenarnya ia sendiri yang lebih celaka (rusak) dari mereka. (HR Muslim 4755)
Dalam gambar di atas mereka menganggap atau menuduh umat Islam pada umumnya yang dalam perkara aqidah atau i’tiqod menisbatkan atau menyandarkan kepada Imam Abul Hasan al-Asy'ari (w.324 H/936 M) telah rusak atau telah sesat karena dianggap atau dituduh menyelisihi ahlus sunnah.
Pada kenyataannya yang dimaksud oleh mereka sebagai AHLUS SUNNAH adalah AHLI (MEMBACA) SUNNAH atau sabda Rasulullah yakni orang-orang yang menemukan, membaca, menterjemahkan dan memahami sunnah atau sabda Rasulullah secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri.
Mereka meneladani ahli (membaca) hadits mereka, Al Albani yang mengatakan , “Saya bukan ahli hadits penghafal, saya ahli hadits kitab.” sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/10/14/ahli-membaca-had…/
Jadi yang dimaksud dengan ahli hadits adalah ahli (membaca) hadits bukan ahli hadits sebenarnya yang menghafal dan menerima hadits dari lisan ahli hadits sebelumnya secara turun temurun sehingga tersambung sampai ke lisannya para perawi yang meriwayatkan lisan atau sabda Rasulullah.
Dalam ilmu musthalah Hadits jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status haditsnya adalah dlaif, bukan perawi sahih
Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh ahli (membaca) hadits mereka, Al Albani yang tidak didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-hafidz dalam ilmu hadits) juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan.
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Salah satu ciri khas mereka adalah mereka berpegang pada sunnah atau sabda Rasulullah atau dalil (nash) secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Mereka mengatakan bahwa “Rasulullah sendiri yang mengatakan” namun pada kenyataannya adalah perkataan mereka sendiri yang menterjemahkan dan memahami sabda Rasulullah selalu dengan makna dzahir sehingga terjerumus memfitnah Rasulullah sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/sebagai-kata-rasulullah/
Asy'ariyah maupun Maturidiyah memang bukan dikatakan AHLUS SUNNAH tetapi AHLUS SUNNAH wal JAMA'AH karena kata SUNNAH dalam "AHLUS SUNNAH" ditinjau dari sudut tata bahasa kata SUNNAH di sini belum menunjukkan sifatnya.
Dalam kamus bahasa Arab dapat dengan mudah kita ketahui bahwa arti kata SUNNAH adalah “Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelek”.
Pengertian SUNNAH ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji atau tidak.
Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan dinamai SUNNAH, walaupun tidak baik.
Sedangkan AHLUS SUNNAH wal JAMA'AH, kata JAMA'AH menerangkan atau mensifatkan kata SUNNAH maknanya adalah AHLUS SUNNAH sebagaimana yang diikuti oleh as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Para ulama terdahulu menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy’ari (Asy’ariyah) dan Abu Manshur al-Maturidi (Maturidiyah) radhiyallaahu ‘anhumaa sebagaimana yang telah disampaikan pula oleh para ulama pada zaman sekarang pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/hasil-muktamar-di-chec…/
“Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah wal-Jama’ah, dan mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu ‘anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)” (Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in.
Contoh yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa itu adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim.
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim adalah orang-orang yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri sehingga mereka terjerumus kesombongan sebagaimana perlakuan Dzul Khuwaishirah terhadap Rasulullah.
Dzul Khuwaishirah tokoh penduduk Najed dari bani Tamim walaupun termasuk salaf / sahabat (bertemu dengan Rasulullah) namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga menjadikannya sombong dan durhaka kepada Rasulullah yakni merasa lebih pandai dari Rasulullah sehingga berani menyalahkan dan menghardik Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil”.
Maka Rasulullah berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. (HR Bukhari 3341)
Begitupula orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah (meneladani tokoh panutan mereka yang menyalahkan Rasulullah) berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah yang dipahami oleh mereka secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri, mereka suka mencela, menyalahkan, menganggap sesat mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) sehingga mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang disebut dengan khawarij.
Asal kata khawarij adalah dari akar kata kha-ra-ja. Ia adalah bentuk jama’ dari kharij, yaitu isim fa’il dari kata kharaja yang memiliki arti keluar.
Bahkan oleh karena kesalahpahaman mereka sehingga mereka bersikap takfiri yakni mengkafirkan umat Islam dan berujung menghalalkan darah atau membunuhnya.
Sedangkan pada masa kemudian (khalaf) atau masa sekarang, mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) adalah bagi siapa saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Memang ada mazhab selain yang empat, namun pada masa sekarang sudah sulit ditemukan ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari imam mazhab selain yang empat sehingga tidak mudah untuk menjadikannya tempat bertanya.
Sebagaimana pepatah mengatakan “malu bertanya sesat di jalan” maka kesesatan dapat timbul dari keengganan untuk bertanya kepada orang-orang yang dianugerahi karunia hikmah oleh Allah Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf [7]:43)
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Penunjuk para Tabi’in adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat.
Imam Asy’ari bermazhab Imam Syafi’i dan Imam Maturidi bermazhab Imam Hanafi mendalami dan meletakkan dasar-dasar dalam perkara aqidah atau i'tiqod
Dalam perkara aqidah atau i’tiqod tidak ada perbedaan di antara mazhab yang empat karena i’tiqod bukanlah masalah yang bersifat furu’iyyah.
Kesalahpahaman dalam i’tiqod menyebabkan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod.
Mereka yang mengaku sebagai ahlus sunnah atau kadang mengaku mengikuti Imam Ahmad bin Hambal pada kenyataannya adalah mereka mengikuti paham Wahabisme yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman ulama panutannya, Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat.
Memang salah satu ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz (makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/…/belajar-ushul-fiqh-ma…/
Jadi jelaslah bahwa mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang disangkakan oleh orang awam karena ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi memberikan pedoman cara menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya

***** awal kutipan ******
bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan).

***** akhir kutipan ******
Jadi kesimpulannya bahwa jika dipahami dengan makna dzahir akan mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak patut maka pasti ayat-ayat mutasyabihat tersebut harus dipahami dengan makna majaz (metaforis atau makna kiasan) karena pilihannya hanya dua makna dzahir atau makna majaz.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan makna majaz (makna kiasan) yang didalami dalam ilmu balaghah maka dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga mereka akan sesat dan menyesatkan.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih untuk menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama yang semula bermazhab dengan Imam Ahmad. Contoh terjemahannya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/…/dafu-syubah-imam…
Ibn al Jawzi berkata, “sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita (nash) bahwa Allah memiliki kepala”
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
Kita mengetahui “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat, Maha Mendengar namun terlarang mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua tangan dan keduanya kanan dan lain lainnya karena tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
Jadi mereka yang mengaku mengikuti manhaj Salaf atau kadang mengaku ahlus sunnah namun pada kenyataannya mereka melanggar larangan Rasulullah yakni larangan untuk menanyakan atau memikirkan DzatNya sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/bertanya-tanpa-berpikir/
Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah“.
Paham Wahabisme dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi dari http://saudiembassy.net/islam
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Berikut contoh kutipan catatan kaki (footnote) ketika mereka menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255 sebagaimana termuat dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja Fahd yang biasa menjadi oleh-oleh bagi Jama’ah haji atau umroh Indonesia sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/02/17/tempat-telapak-k…/
***** awal kutipan ****
161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak telapak Kaki-Nya.”

***** akhir kutipan ****
Begitupula dalam perkara aqidah, salah satu ustadz panutan mereka, Khalid Basalamah dalam sebuah video yang dipublikasikan di http://www.youtube.com/watch?v=IxPYMh-KWFg pada menit 02: 55 mengatakan bahawa, “Allah itu Maha Besar. Jadi kenapa Allah itu tidak kelihatan karena Allah terlalu besar untuk dilihat” dan pada menit 03:35 mengatakan bahwa, “Ayat kursi berarti informasi tentang pijakan kakinya Allah di singgasana”.
Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki seperti
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.”
Berikut kutipan penjelasan Ibn al Jawzi terkait riwayat tersebut,

***** awal kutipan ****
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki seorang yang duduk di atas ranjang
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada di bawah tempat duduk (singgasana) mereka”.

***** akhir kutipan *****
Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.
Mereka mengatakan bahwa “kaki gajah dan kaki semut tidak sama walaupun sama-sama kaki namanya. Begitupula kaki meja dan kaki kamera yang untuk sandaran juga tidak sama walaupun sama-sama kaki namanya” sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=CaT4wldRLF0 mulai pada menit ke 03 detik 15.
Walaupun kaki manusia, kaki meja, kaki kursi, kaki kamera berbeda bentuk dan ukurannya namun mempunyai sifat yang sama yakni bagian bawah, untuk penopang (penyangga) sedangkan Allah Ta’ala “Laisa kamitslihi syaiun” tidak serupa dengan makhlukNya dari sisi apapun.
Jadi mereka mensifatkan yang tidak dilayak bagi Allah yakni sifat kaki, suatu bagian yang menopang sesuatu yang mempunyai suatu bentuk serta ukuran walaupun dikatakan bentuknya tidak serupa dengan makhlukNya sedangkan bentuk dan ukuran adalah sifat makhluk bukan sifat Allah Ta’ala.
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)
Para pengikut paham Wahabisme yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab terjerumus mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat adalah karena “terhipnotis” perkataan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa pemahaman (pendapat) yang disampaikannya adalah mazhab salaf dan mazhab salaf itu pasti benar.
Mereka yang menisbatkan sebagai Salaf(i) BUKAN mengikuti PEMAHAMAN Salafush Sholeh dan BUKAN berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah namun mereka berdasarkan atau mengikuti PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI terhadap Al Qur’an dan As Sunnah secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/01/27/pemahaman-sendiri/
Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Salah satu akibat mereka melanggar larangan Rasulullah adalah mereka bertuhan bukan kepada Allah Ta’ala.
Contohnya mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan kedua-duanya kanan akibat mereka selalu berpegang pada nash (dalil) secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sehingga salah memahami hadits shahih seperti
Dari Abdullah bin ‘Amr رضي الله عنه ia berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah عزوجل (pada hari kiamat) di atas mimbar-mimbar dari nur (cahaya) di sebelah kanan Ar Rahman عزوجل dan KEDUA TANGAN-Nya adalah KANAN. Yaitu orang-orang yang berlaku adil di dalam hukum mereka, dan pada keluarga mereka, dan pada apa yang mereka pimpin”. (Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan Nasaa-i no 5379 dan yang selain dari keduanya).
Jelas sekali bahwa apa yang mereka sampaikan BUKAN aqidah atau PEMAHAMAN para Sahabat (Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI menurut akal pikiran mereka sendiri terhadap nash atau dalil yang mereka baca.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam (Q.S. Al Imran [3] : 7), mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat selalu dengan makna dzahir sehingga menimbulkan fitnah.
Fitnah mereka seolah-olah Rasulullah yang mengatakan Tuhan punya dua tangan dan kedua-duanya kanan.
Silahkan periksa tulisan salah satu ulama panutan mereka yang menisbatkan atau melabeli pemahaman mereka sebagai pemahaman Salafush Sholeh sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/…/benarkah-kedua-tangan-a…

***** awal kutipan ******
Menurut Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dari Salaful Ummah yaitu yang terdiri dari para Sahabat, Taabi’in dan Taab’ut Taabi’in bersama dengan orang yang mengikuti mereka dari para Imam dan para Ulama dan seterusnya dari zaman ke zaman sampai hari kiamat

***** akhir kutipan ******
Oleh karenanya untuk menangkal paham Wahabisme sebaiknya sejak dini disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana mengenal Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang mengikuti Imam mazhab yang empat yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai sarana mengenal Allah.
Selain itu aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.
KH Thobary Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan bahwa salah satu faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang telah diarsip pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/
Imam Al Ghazali berkata : “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengenal Allah yang wajib disembah”
Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata:“Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)”
Berdasarkan penjelasan di atas maka mereka yang belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya sehingga dapat berakibat amal ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla.
Mereka yang belum dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya karena mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir sehingga mereka terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Yahudi.
Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam riwayat berikut
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari, seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah:

“وما قدروا الله حق قدره ” 

(“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Bahkan mereka menganggap “telah kafir” bagi umat Islam yang tidak mau mengikuti pemahaman mereka yang “tanpa perlu takwil” alias “tanpa takwil” yakni memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir karena dianggap telah mengingkari sifat-sifat Allah sebagaimana yang mereka publikasikan pada http://almanhaj.or.id/…/slash/0/mengingkari-tauhid-asma-wa…/

***** awal kutipan ****
Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka mengingkarinya secara sengaja, dan mengajak yang lain untuk mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah kafir karena mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka mengetahui hal tersebut tanpa perlu takwil-nya.

***** akhir kutipan *****
Kaum muslim yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat tentu bukanlah mengingkari sifat-sifat Allah atau bukanlah mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya namun mengingkari memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir karena akan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Mereka mengklaim bahwa manhaj salaf atau Salafush Sholeh bermanhaj isbat yakni mengisbatkan (menetapkan) semua sifat-sifat Allah dengan mengetahui maknanya sesuai makna dzahir dan Salafush Sholeh hanya menafikan pengetahuan tentang keadaan sifat tersebut (nafi ilmul kaif)
Pada kenyataannya, Salafush Sholeh bukanlah nafi ilmul kaif melainkan nafi aslul kaif yakni menafikan akan adanya keadaan kaif itu sendiri yang di-nisbat-kan pada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Menafikan aslul kaif berarti mencegah orang dari menggambarkan lafaz-lafaz ayat sifat tersebut dengan maknanya dari sudut bahasa atau makna dzahir karena ketika seseorang mendengar lafaz-lafaz ayat sifat akan terus menggambarkan sifat-sifat tersebut dengan makna dzahir maka dia akan terjerumus kepada paham tajsim atau menjisimkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Salafush Sholeh bukanlah menetapkan berdasarkan makna dzahir (isbat makna dzahir) melainkan menetapkan berdasarkan lafaznya (isbat lafaz) dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa dan menyerahkan maknanya kepada Allah.
Salasush Sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Jadi kalau mereka konsisten dan benar mengikuti salaf maka tidak boleh menterjemahkan, menafsirkan atau memaknai apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya ke selain daripada bahasa Arab harus membiarkan sebagaimana lafaznya.
Imam Sufian bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada bahasa Arab”.
Jadi ada dua cara dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya yakni
1. Cara yang dipergunakan ulama salaf (terdahulu) pada umumnya menggunakan TAKWIL IJMALI (ringkas dan menyeluruh),
Yakni beriman kepada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain namun tidak meng-kaif atau tidak membagaimanakan istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain maksudnya tidak memaknakan istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dengan makna dzahir namun membiarkan sebagaimana lafaznya dan menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala
2. Cara yang digunakan oleh ulama khalaf (kemudian) untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang suka menggunakan akal pikirannya sendiri yakni TAKWIL TAFSILI (memalingkan dari makna dzahir)
Yakni beriman pada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dan memahaminya menggunakan ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3)
Berikut contoh cara memahami TAKWIL IJMALI dan TAFSILI,
Si A berkata bahwa gadis itu cantik bagaikan bulan. Sore itu bulan masuk ke warung makan.
Takwil Ijmali “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah yang mengetahuinya
Takwil Tafsili “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di waktu malam, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.
Jadi dalam memahami sifat Allah yang ditetapkanNya boleh menggunakan takwil ijmali atau takwil tafsili karena takwil ijmali dengan takwil tafsili adalah sejalan atau tidak bertentangan yakni sama-sama memalingkan dari makna dzahir.
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” menyampaikan bahwa mereka yang men-jisim-kan Allah atau mereka yang mensifatkan Allah dengan angota-angota badan walaupun dikatakan tidak serupa dengan anggota badan makhlukNya adalah hukumnya ‘aashin yakni telah berbuat DURHAKA kepada Allah.

***** awal kutipan *****
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (bentuk seperti tangan, kaki) sebagaimana jisim-jisim (bentuk tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (bentuk seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (bentuk tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
– I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.

***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa orang-orang yang selalu memahami dengan makna dzahir seperti memaknai istawa dengan istaqarra (menetap atau bertempat) sehingga menetapkan arah dan tempat bagi Allah adalah mereka yang menghina atau durhaka kepada Allah.
Contohnya Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar al-Haitami ‘alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj menuliskan:

***** awal kutipan *****
“Jangan tertipu dengan pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah, karena sesungguhnya dia adalah manusia yang telah disesatkan oleh Allah.
Penghinaan Ibnu Taimiyah terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh.
Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan.
Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji.
Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”

***** akhir kutipan *****
Berdasarkan pernyataan Imam Ibnu Hajar al-Haitami di atas bahwa ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah telah dikafirkan oleh banyak ulama maka perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Beliau.
Contohnya ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’
Akibatnya para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan kekhawatiran atas fatwa sejak zaman dahulu kala tersebut pada http://faisalchoir.blogspot.co.id/…/ibnu-taimiyah-dikafirka…

***** awal kutipan *****
Penyebab kitab ini dikarang sebagaimana yang tercantum dalam kitab tersebut adalah Fatwa yang menyebar di khalayak Umum saat itu tentang kafirnya orang yang memberi julukan ibnu Taimiyah sebagai Syaikhul Islam dan tidak sah sholat dibelakang orang tersebut.
Fatwa tersebut secara jelas bukan saja pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah, tapi juga pengkafiran terhadap pengikutnya.

***** akhir kutipan ****
Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan Al Hafizh as-Sakhawi dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736 menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani , “Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana tulisan sejenis pada http://abul-harits.blogspot.co.id/…/pembelaan-al-hafidz-ibn…
Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab yang mereka kutip sendiri yakni

ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه

“Meskipun demikian, beliau adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
Catatan penting tersebut bukanlah masalah furuiyyah namun masalah pokok yakni aqidah sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 sebagaimana yang dinformasikan pada http://www.aswj-rg.com/…/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-…

****** awal kutipan ******
Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah, ada sebagian kelompok yang menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya : Ibnu Taimiyyah mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “ Aku tidak setuju batasan dan bagian termasuk kekhushusan jisim “. Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan batasan bagi Dzat Allah.

****** akhir kutipan ******
Jadi Ibnu Hajar Al-Asqalani pun menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap permasalahan pokok bukan furuiyah yakni dalam perkara aqidah atau kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan Dzat Allah alias meng-kaif-kan (membagaimanakan) Dzat Allah.
Oleh karenanya ditengarai (diduga) kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi berupaya untuk menyesatkan umat Islam dengan menyodorkan kitab-kitab Ibnu Taimiyyah kepada ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab sehingga diberi julukan “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyyah” sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/…/imam-muhammad-bin-abdul-…/

***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan

***** akhir kutipan *****
Dugaan ini perlu disampaikan karena para ulama terdahulu justru telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/kitab-taimiyyah-dilara…/
Contohnya Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjadikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah : 203)
Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari meneruskan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, pendiri firqah Wahabi dan penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi, sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6 selengkapnya pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/…/risalah-aswaja.pdf
Imam Ibn Hajar Al-Haitami menyampaikan dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 116)
Kontrofersi pemahaman Ibnu Taimiyyah lainnya dapat dibaca dalam tulisan yang kami arsip pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/kontrofersi-paham-taim…/
Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah akibat mereka mengikuti pemahaman seorang ulama sebelum bertaubat.
Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan sebuah tulisan berjudul “Taubatkah Ibnu Taimiyah ke dalam Aqidah Asy’ariyah?” dari sebuah link yang kami arsip (simpan) dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/taubatkah-ibnu-taimiyy…/
Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan tidak bertaubat dari pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir
Memang ada yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai sidang ke empat hingga ia wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar dari http://www.muslimedianews.com/…/kisah-taubatnya-ibnu-taimiy…
Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa Beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala menerima taubat Beliau.
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang suka menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu yang tidak sepaham (sependapat) dengannya sebagaimana informasi yang kami arsip (salin) pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/…/nasehat-adz-dzaha…
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
Berikut kutipan tulisan ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dari tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah) sebagaimana contoh yang termuat pada http://mahadilmi.wordpress.com/…/allah-turun-ke-langit-dun…/

**** awal kutipan ****
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’ di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara akal kita terbatas untuk melliputi ilmu Allah Ta’ala”

**** akhir kutipan ****
Pemahaman “tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” tentu bukanlah pemahaman para Sahabat atau Salafush Sholeh namun pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan menjelaskan hadits shahih berikut
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah tersebut, mereka mengatakan bahwa walaupun Tuhan mereka berada atau bertempat atau menetap tinggi atau bahkan melayang tinggi di atas ‘Arsy (karena menafikan menempel di atas ‘Arsy) dan setiap sepertiga malam terakhir turun ke langit dunia namun ‘Arsy tidak kosong sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/akibat-bermazhab-otodid…
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Habib Rizieq Shihab ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain kebanyakan Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan firqah sesat dan menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat sebagaimana yang dipubllikasikan pada http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html
Berikut kutipannya

***** awal kutipan *****
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”

***** akhir kutipan ******
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah.
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara”.
7. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
8. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.
9. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam Rasulullah.

Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/…/ahlussunnahbantah…

Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Semoga bermanfaat.

Sabtu, 20 Januari 2018

KH. M.BISRI SYANSURI


~ KH. M.BISRI SYANSURI ~
Kiai Haji Bisri Syansuri (lahir di Pati, Jawa Tengah, 18 September 1886 – meninggal di Jombang, Jawa Timur, 25 April 1980 pada umur 93 tahun) seorang ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU).
Beliau adalah pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang dan terkenal atas penguasaannya di bidang fikih agama Islam.

Kyai Bisri Syansuri juga pernah aktif berpolitik, antara lain sempat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante, ketua Majelis Syuro Partai Persatuan Pembangunan dan sebagai Rais Aam NU. Ia adalah kakek dari Kh.Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia keempat.
Kh.Bisri Syansuri dilahirkan di Kecamatan Tayu, Pati, Jawa Tengah, tanggal 18 September 1886.
Ayahnya bernama KH. Syansuri dan ibunya bernama Nyai.Mariah.
Beliau adalah anak ketiga dari lima bersaudara.
Beliau memperoleh pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH Abdul Salam di Kajen,
KH Fathurrahman bin Ghazali di Sarang Rembang, KH Kholil di Bangkalan,
dan KH Hasyim Asy'arie di Tebu Ireng, Jombang.
Saat belajar tersebut beliau juga berkenalan dengan rekan sesama santri,KH Abdul Wahab Chasbullah, yang kelak juga menjadi tokoh NU.
Ketika Belajar di Mekkah
Beliau kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa'id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu'aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas. Ketika berada di Mekkah, KH. Bisri Syansuri menikahi adik perempuan KH. Abdul Wahab Chasbullah.

Di kemudian hari, anak perempuan KH. Bisri Syansuri menikah dengan KH Wahid Hasyim dan menurunkan KH Abdurrahman Wahid dan Ir.H. Solahuddin Wahid.
Sepulangnya dari Mekkah, beliau menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun.
Beliau kemudian berdiri sendiri dan pada 1917 mendirikan Pondok Pesantren Mambaul Ma'arif di Denanyar, Jombang. Saat itu,KH. Bisri Syansuri adalah kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.

Dalam Pergerakan dan politik

Di sisi pergerakan, beliau bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Mas Mansyur, KH Dahlan Kebondalem, dan KH Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar.
Beliau adalah peserta aktif dalam musyawarah hukum agama, yang sering berlangsung di antara lingkungan para kiai pesantren, sehingga pada akhirnya terbentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintisnya di berbagai tempat.
Pada masa penjajahan Jepang, KH.Bisri Syansuri ini terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.
Pada masa kemerdekaan beliai pun terlibat dalam lembaga pemerintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masyumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis).
Beliau juga menjadi anggota Dewan Konstituante tahun 1956, hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971.

Setelah wafatnya KH Abdul Wahab Chasbullah, tahun 1972 beliau diangkat sebagai Rais Aam (ketua) Syuriah (pimpinan tertinggi) Nahdlatul Ulama. Ketika NU bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan, beliau pernah menjadi ketua Majelis Syuro partai ini.
Beliau terpilih menjadi anggota DPR sampai tahun 1980.

KH Bisri Syansuri wafat dalam usia lanjut tahun 1980 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur.

إلى حضرة كياهي بشري شنسوري، على نبينا محمد صل الله عليه وسلم، وآل بيته وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين.

الفاتحة....

~ SRUPUUUUT,,, Monggo di raup semoga bermanfaat dan menambah wawasan ~

Kamis, 18 Januari 2018

Kiai Kholil Bangkalan

Sepotong Cerita Kiai Kholil di Banyuwangi
Perkembangan pesantren di Nusantara ini, tidak terlepas dari nama Syaikhona Kholil Bangkalan (1820-1925). Banyak para pendiri pesantren di awal abad ke-20 yang pernah nyantri kepada putra Kiai Abdul Latif tersebut. Sebut saja KH. Hasyim Asyari pendiri Pesantren Tebuireng, KH. As’ad Syamsul Arifin pengasuh Pesantren Sukerojo, KH. Abdul Karim pendiri Pesantren Lirboyo, dan banyak lagi lainnya.

Keilmuwan dan keberkahan hidup Kiai Kholil tersebut, tentu tak terlepas dari jasa para guru-gurunya yang telah mendidik dan membinanya. Tak hanya satu dua orang guru saja yang telah disesap ilmu dan doanya oleh Kiai Kholil. Ada puluhan, mulai dari Madura, Jawa hingga di Makkatul Mukarromah.
Namun, ada satu nama dan memiliki peran yang cukup signifikan dalam menentukan karir intelektual Kiai Kholil. Ia adalah KH. Abdul Basyar (w. 1915), pengasuh Pesantren Jalen, Genteng, Banyuwangi. Di pesantren yang kini berubah nama menjadi Al-Ashriyah inilah, Kiai Kholil menuntut ilmu sebelum berangkat ke Arab.

Tak ada catatan berapa lama Kholil muda itu berguru ke kiai yang asalnya dari tatar Pasundan tersebut. Dalam catatan Saifur Rahman (Surat Kepada Anjing Hitam), menyebutkan Kiai Kholil belajar di Banyuwangi sebelum tahun 1859. Kiai Kholil belajar di tanah Jawa kurang lebih selama tujuh tahun (1852-1858). Namun, Kholil tak hanya belajar di Banyuwangi. Ada beberapa pesantren lainnya. Mulai dari Pesantren Langitan (KH. Muhammad Nur), Pesantren Cangaan, Bangil (KH. Asyik), Pesantren Darussalam Kebon Candi (Kiai Arif), dan Pesantren Sidogiri. Hanya di Pesantren Langitan saja yang ada catatan waktunya, yaitu 3 tahun. Yang lainnya ditempuh pada 4 tahun yang tersisa.

Selama nyantri di Kiai Basyar ini, Kholil tak hanya mengaji. Tapi juga menjadi buruh pemetik kelapa kepada kiainya tersebut. Setiap 80 pohon, Kholil mendapatkan upah sebesar 3 Sen. Akan tetapi, uang tersebut tak pernah ia pergunakan. Ia kumpulkan upahnya tersebut, di dalam sebuah kotak dan dititipkan pada gurunya tersebut.
Sedangkan untuk kebutuhan lainnya, Kholil menjadi buruh serabutan. Cukup sekedar untuk dapat makan. Mulai dari buruh tani, mencuci hingga ikut memasakkan orang.
Setelah dirasa cukup belajar pada Kiai Basyar, ia berpamitan untuk melanjutkan pendidikannya ke Mekkah. Saat itu, Kiai Basyar mengembalikan uang tabungan upah hasil memetik kelapa kepadanya. Awalnya, Kholil menolaknya karena ia telah niat untuk mensedekahkannya pada gurunya tersebut. Namun, Kiai Basyar malah mengasihkannya kembali sebagai ongkos ke tanah suci.
Mencermati kisah Raden Demang Panji Nagara – sebagaimana dikupas oleh Henri Chambert Choir dalam buku Naik Haji di Masa Silam – yang naik haji pada 1953, ongkos untuk pergi ke tanah suci cukup mahal. Untuk ongkos naik kapal dan sewa kabin saja, yang termurah 88 Pasmat atau setara 88 Ringgit. Belum lagi biaya hidup selama perjalanan yang bisa menelan waktu lebih dari tiga bulan. Dengan demikian, maka besar artinya upah yang diberikan kepada Kiai Kholil untuk bekal ke tanah suci.

Menghitung besaran upah yang dikumpulkan dan dibandingkan dengan ongkos naik haji, mungkin kita bisa memprediksi seberapa lama Kiai Kholil nyantri di Banyuwangi. Diandaikan saja ongkos yang dibawa selama perjalanan adalah 100 ringgit, maka Kiai Kholil membutuhkan setidaknya 3.300 pohon kelapa untuk dipanen.
Tak ada catatan berapa banyak pohon kelapa milik Kiai Basyar. Hanya ada keterangan kebunnya amat luas. Sebut saja seribu pohon yang dimiliki oleh Kiai Basyar, maka setidaknya butuh 3 kali panen. Jika rentang tiap panen butuh 4 bulan, maka butuh waktu satu tahun bagi Kiai Kholil untuk mencapai targetnya.

Mengingat tradisi pesantren saat itu, tentunya tak hanya Kholil yang menjadi buruh pemetik kelapanya Kiai Basyar. Akan ada buruh-buruh lain dari santri yang lain. Jika probabilitas ini dimasukkan juga, maka akan lebih lama lagi bagi Kholil tinggal di Banyuwangi. Bakal lebih dari setahun.

Hitungan tersebut, hanya kalkulasi kasar. Namun yang perlu digarisbawahi dari uraian tersebut, fase tinggal di Banyuwangi merupakan fase penting. Karena dari fase inilah, menentukan Kholil untuk melanjutkan pendidikannya ke Mekkah. Karena, saat itu, Mekkah menjadi pusat keilmuwan dan legetemasi keulamaan dari segala penjuru dunia Islam. Termasuk di Nusantara. Wallahu’alam!

Semoga bermanfaat.

Selasa, 09 Januari 2018

Amalan agar selalu ditemani nabi Muhammad SAW


AMALAN ISTIGHFAR BUAT KEDUA ORANG TUA NABI DAN AHLIL BAIT .
DARI AL IMAM NAWAWI AL BANTANI AGAR SELALU DITEMANI NABI MUHAMMAD SHALALLAHU 'ALAIHI WASALLAM
DIMANA SAJA kita BERADA. 

(مَأْخُوْذٌ مِنَ الكِتَابِ " تَرْغِيْبُ المُشْتَاقِيْنَ " للشيخ الإمام محمد نواوي بن عمر البانتاني الجاوي ، ص ؛ ٨ )

← (فائدة) : رَأَى رَجُلٌ صَالِحٌ مِنَ المَالِكِيَّةِ رَسُوْلَ اللّٰهِ صلّى اللّه عليه وسلّم فِي المَنَامِ وَسَمِعَهُ يَقُوْلُ « مَنْ قَالَ كُلَّ يَوْمٍ " أَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ لِأَبَوَيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِائَةَ مَرَّةٍ أَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ لِأَهْلِ بَيْتِ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِائَةَ مَرَّةٍ أَيْضًا كُنْتُ مَعَهُ أَيْنَمَا كَانَ "» وَهٰذَا دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّهُمَا مُؤْمِنَانِ وَإِلَّا فَلَا فَائِدَةَ فِي الإِسْتِغْفَارِ ....، إنتهى.

( تَرْغِيْبُ المُشْتَاقِيْنَ للشيخ الإمام محمد نواوي بن عمر البانتاني الجاوي ، ص ؛ ٨ )


→( FAEDAH ) : Ada seseorang yang shalih dari madzhab Malikiyyah melihat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam didalam mimpi dan beliau mendengar Rasulullah shalallahu 'alaihi bersabda : " Barang siapa yang mengucapkan setiap hari ;
- ASTAGHFIRULLAAH LIABAWAY RASUULILLAAHI SHALALLAAHU 'ALAIHI WASALLAM - 100 KALI
- ASTAGHFIRULLAAH LIAHLI BAITI RASUULILLAAHI SHALALLAHU 'ALAIHI WASALLAM - 100 KALI.
maka saya akan bersamanya dimana saja dia berada ". Imam Nawawi menerangkan ; " Dan ini (istighfar) adalah dalil bahwa sesungguhnya kedua orang tua Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam adalah orang mukmin yang beriman, jika tidak mukmin maka tidak ada faedahnya didalam beristighfar kepada kedua orang tua Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam " .
(Kitab Targhib Al Musytaaqin Lis Syaikh Al Imam Muhammad Nawawi bin Umar Al Bantany Al Jawy, hal; 8 )

Semoga bermanfaat bagi kita semuanya fiddiini wad dunya wal aakhirah aamiin aamiin aamiin aamiin yaa rabbal aalamiin bisirri asrari Al-Faatihah....

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى رُوْحِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِى الْأَرْوَاحِ وَعَلَى جَسَدِهِ فِى الْأَجْسَادِ وَعَلَى قَبْرِهِ فِى الْقُبُوْرِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ.


Semoga bermanfaat.