Sabtu, 26 Mei 2018

Sikap orang tua terhadap anak


Wasiat Abah Guru Sekumpul tentang anak
=> 1. JANGAN SERING DIBUAT MENANGIS.
Karena kalau anak itu sering menangis atau sedih, otaknya akan sempit ( tidak mau pintar ) buatlah dia ( anak anak kita ) selalu gembira.
.
=> 2. ANAK KECIL ITU SEPERTI WALI ( tidak pernah berbuat berdosa )
Lalu kenapa dia ( anak anak kita ) sering sakit ...???
Sebab dia memikul dosa orang tuanya ( ayah dan ibu ) yang belum bertaubat kepada Allah SWT.
Bisa karena dosa yang disengaja atau yang tidak kita sadari dan jangan sampai kita termasuk orang tua yang TEGA terhadap anak kita sendiri.
Jika seperti itu ...
Sebaiknya kita segera bertaubat kepada Allah SWT dan banyak banyak mengingat Allah SWT ( Istighfar )
.
=> 3. JANGAN SERING DIPUJI DENGAN PUJIAN YANG BERLEBIHAN.
Karena kalau sering di puji akan membuat anak kita akan menjadi sombong atau besar kepala.
.
=> 4. INGIN MENJADIKAN ANAK KITA MENJADI ORANG YANG ALIM ...( sholeh dan sholehah ) usahakan ...

1.Carilah pekerjaan yg halal ( berkah ) ...
2.Arahkan anak-anak ke sekolah agama
Carikan guru yang jelas ( faseh ) karena anak anak kita tentunya akan mengikuti gurunya
3.Jagalah makanannya yg benar-benar halal
4.Carikan pergaulan dg teman-teman yg baik
.
5.Kenalkan dan cintakan serta bawa anak-anak kita ke orang-orang sholeh/alim
.
Demikian pesan Abah Guru Sekumpul...mudahan mudahan manfaat untuk kita semua...
Dan semoga kita dan anak keturunan kita menjadi anak anak yang alim, sholeh dan sholehah dikumpukan di akhirat bersama Nabi, ulama' dan auliya',,,

Semoga bermanfaat.

Senin, 14 Mei 2018

Salah kaprah tentang ke khusyuk'an sholat

Ada kesalah-kaprahan yang demikian meluas di kalangan umat Islam, yang saya sendiri pun pernah mengalami. Yakni, tentang kekhusyukan shalat. Banyak diantara kita yang tanpa sadar telah menjadikan ‘khusyuk’ sebagai tujuan shalat. Dan lantas, melupakan tujuan yang sesungguhnya dari shalat itu sendiri.
Sesungguhnya, shalat bukan bertujuan untuk memperoleh kekhusyukan. Karena fungsi dasar shalat memang bukan untuk mencapai kekhusyukan. Fungsi dasar shalat menurut al Qur’an ada dua, yakni: dzikrullah dan meminta pertolongan.

QS. Thaahaa (20): 14

 إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (lidzikriy).

QS. Al Baqarah (2): 45-46

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ

الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan bertemu Tuhannya (di dalam shalatnya), dan bahwa mereka (kelak) akan kembali kepada-Nya (bertemu di akhirat).

Khusyuk, dalam ayat di atas didefinisikan sebagai ’keyakinan’ akan bertemu Allah di dalam shalat maupun di luar shalat ~ kelak di hari akhir. Jadi khusyuk bukan tujuan, melainkan motivasi agar kita memiliki keyakinan bahwa kita bisa bertemu Allah di dalam aktifitas ibadah kita.
Karena itu, khusyuk bukan menjadi tujuan yang harus dicapai. Cukup ditanamkan ke dalam jiwa kita bahwa kita akan bertemu dan bisa bertemu Allah. Di dalam shalat kita atau ibadah apa pun yang kita lakukan. Karena itu, istilah khusyuk bukan hanya digunakan di dalam ibadah shalat, melainkan juga dalam aktifitas keseharian. Yakni, menunjuk kepada orang-orang yang setiap saat merasa ‘bersama’ Allah. ’Dilihat’ Allah. Dan ’bertemu’ dengan-Nya kemana pun dia menghadapkan wajahnya. Yang karenanya, ia selalu berusaha untuk berbuat kebaikan-kebaikan.

QS. Al Anbiyaa’ (21): 90

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.

Jadi, ketika kita merasa sudah selalu bersama Allah dalam setiap aktifitas, maka kita sudah termasuk orang-orang yang khusyuk itu. Dan orang-orang yang seperti inilah yang berpotensi untuk khusyuk juga di dalam shalat. Asal tidak salah menempatkan niat, yaitu: shalat untuk mengejar kekhusyukan.

Surat Al-Baqarah, ayat 45-46

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ

الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Maka, kalau Anda cermati QS. 2: 45-46 di atas, antara shalat dan kekhusyukan itu prosesnya lebih dulu kekhusyukan. Karena itu kalimatnyabegini: ’... yang demikian (menjadikan shalat sebagai media minta tolong) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk...’

Jadi, hanya orang-orang yang sudah khusyuklah yang akan merasa mudah dan ringan untuk meminta pertolongan kepada Allah lewat shalat. Jangan terbalik: dengan shalat kita mengejar kekhusyukan.
Berarti, prosesnya harus dibalik. Kita belajar khusyuk dulu di luar shalat ~ yakni membangun kedekatan dengan-Nya setiap saat ~ maka dengan sendirinya, shalat kita akan menjadi mudah dan ringan untuk minta tolong kepada-Nya. Saat itu, pasti kita ’sudah bertemu’ dengan-Nya di dalam shalat. Bagaimana tidak, lha wong kita sudah berdialog untuk meminta pertolongan kepada-Nya.
Karena itu, bagi yang belum bertemu Allah di dalam shalat, sebaiknya belajar membangun kekhusyukan di luar shalat. Jadikanlah setiap peristiwa sebagai media untuk berdialog dengan-Nya. Dapat musibah dikaitkan dengan Allah, dapat kenikmatan juga dikaitkan dengan Allah. Bangun tidur dikaitkan dengan Allah, sarapan dikaitkan dengan Allah, bekerja dikaitkan dengan Allah, ketemu kawan dikaitkan dengan Allah, diskusi dikaitkan dengan Allah, dan seterusnya sampai tidur kembali dikaitkan dengan Allah.

Inilah orang-orang yang khusyuk itu. Dan orang yang semacam ini, akan dengan ringannya melakukan shalat untuk meminta pertolongan kepada-Nya. Di luar shalat ia khusyuk, di dalam shalat pun ia khusyuk. Karena kekhusyukan memang sudah menjadi jiwanya setiap saat...
Maka, melakukan ibadah shalat bukan untuk mengejar kekhusyukan. Orang yang demikian, justru telah menggeser perhatian utamanya: dari bertuhan kepada Allah menjadi bertuhan kepada kekhusyukan. Maka, Allah tidak akan menganugerahkan kekhusyukan kepadanya. Karena yang dirindukan memang bukan Allah, melainkan ’kekhusyukan’.

Allah tidak mengajarkan cara untuk mencapai kekhusyukan, melainkan sekedar memotivasi untuk menjadi khusyuk, yakni mengaitkan segala peristiwa dengan kehadiran-Nya. Apa pun yang hadir di sekitar kita adalah Allah. Baik maupun buruk. Allah sedang menampakkan Diri-Nya kepada kita dalam semua peristiwa. Di luar shalat maupun di dalamnya. Lha Dia sedang menampakkan Diri-Nya kepada kita, kok kita tidak menyambut-Nya, melainkan malah sibuk mencari ’kekhusyukan’ dengan berpusat pada diri sendiri...
’Kekhusyukan’ baru akan diperoleh kalau kita memusatkan perhatian kepada Allah, bukan kepada diri sendiri. Kita tinggal memperhatikan-Nya dan kemudian menyambut-Nya, bukan mencari. Dia sudah hadir. Sudah hadir dimana pun dan kemana pun kita menghadap. Bukan dicari, cuma disadari dan ’diperhatikan’ belaka.
Dia sudah hadir di dalam segala yang kita lihat...
Dia sudah hadir di segala yang kita dengar...
Dia sudah hadir di segala yang kita ucapkan...
Dia sudah hadir di segala yang kita pikirkan...
Dia sudah hadir di segala yang kita diskusikan...
Dia sudah hadir di seluruh penjuru peristiwa yang melingkupi kita...
Bahkan Dia sudah hadir di triliunan sel-sel tubuh kita...
Karena Dia memang sudah meliputi kita dan seluruh alam semesta...

Kenapa kita masih mencari-Nya...?
Perhatikan saja apa yang sedang muncul dalam kesadaran Anda...
Dan kemudian rasakanlah, bahwa Allah sedang ’menampakan’ Diri-Nya di ufuk mana pun kita menghadapkan wajah...

QS. Al Baqarah (2): 115

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.

QS. An Nisaa’ (4): 126

 وَلِلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ مُّحِيطًا

Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.

Wallahu a’lam bishshwab
~ salam ~

Semoga bermanfaat.

Penderita Lepra, Orang Botak, dan Si Buta dalam Cerita Rasulullah

Hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
Rasulullah pernah bercerita tentang tiga orang dari Bani Israil, masing-masing adalah penderita lepra, orang berkepala botak, dan orang buta. Kepada ketiganya Allah suatu kali memberikan ujian dengan mengutus malaikat.
Dalam wujud manusia, malaikat itu menghampiri pengidap penyakit lepra atau semacam kudis akut. Kepadanya, malaikat bertanya, “Apa yang paling kau inginkan?”
“Rupa yang bagus, kulit yang mulus, dan penyakit yang lenyapnya penyakit yang menjijikkan banyak orang ini dari diriku,” jawab penderita lepra tersebut.
Diusaplah tubuh orang itu dan seketika penyakitnya hilang. Keinginannya terkabul: kini ia memiliki rupa dan kulit yang indah.
“Lalu kekayaan apa yang paling kamu senangi?”
“Unta.”
Maka diberilah seekor unta bunting. Malaikat yang menjelma manusia itu pun berdoa, “Semoga Allah melimpahkan berkah kepadamu dengan unta ini.”
Selanjutnya si malaikat mendatangi orang berkepala botak lantaran suatu penyakit. Orang ini menerima pernyataan yang sama, “Apa yang paling kau inginkan?”
“Rambut yang bagus dan hilangnya penyakit yang menjijikkan banyak orang ini.”
Malaikat mengusap kepalanya dan seketika itu hilanglah penyakitnya. Rambut yang ia idam-idamkan pun terkabulkan. Malaikat lantas bertanya lagi, “Harta apakah yang kamu senangi?”
“Sapi,” jawab lelaki yang semula berkepala botak itu.
Seekor sapi hamil diberikan sembari mengiringinya dengan doa, “Semoga Allah memberkahimu dengan sapi ini.”
Selepas penderita lepra dan kepala botak itu, giliran si malaikat mengunjungi orang buta. Percakapan serupa berlangsung kepada orang ini.
“Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?”
“Semoga Allah berkenan mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat orang-orang.”
Diusaplah wajah lelaki buta itu dan dalam sekejap Allah mengembalikan fungsi penglihatannya.
Malaikat itu bertanya lagi kepadanya: “Harta apakah yang paling kamu senangi?” Ia menjawab, “Kambing.” Maka diberilah ia seekor kambing yang hendak beranak.
Masa kandungan unta, sapi, dan kambing pemberian itu akhirnya menuai hasil. Masing-masing ternak mendapat perawatan yang baik sehingga beranak pinak dalam jumlah yang besar. Tiap orang dari ketiga orang yang ditemui malaikat tersebut kini memiliki sebanyak satu lembah hewan ternak piaraannya.
Cerita Rasulullah tentang ketiga orang ini tidak berhenti di sini. Karena malaikat kemudian mendatangi masing-masing dari mereka. Namun kali ini malaikat tampil dalam wujud sebagai orang yang menderita.
“Aku ini laki-laki miskin yang tak lagi punya pekerjaan untuk meneruskan perjalananku hari ini kecuali atas pertolongan Allah, lalu pertolongan anda. Demi Allah yang telah memberi anda rupa yang bagus, kulit yang mulus, dan kekayaan ini, aku minta kepada anda satu ekor unta saja sebagai bekal meneruskan perjalananku,” pinta malaikat.
“Tanggunganku masih banyak,” jawab mantan pengidap lepra itu.
“Sepertinya aku pernah mengenal anda. Bukankah anda orang yang dulu menderita lepra dan dijauhi banyak orang—fakir yang kemudian Allah karuniakan harta?” kata Malaikat bersandiwara.
“Kekayaan ini aku peroleh secara turun temurun dari leluhurku,” balasnya lagi.
“Jika anda berdusta, Allah akan mengembalikan keadaan anda seperti sediakala,” kata malaikat.
Giliran kepada orang yang semula botak, malaikat tetap melakukan percakapan yang sama. Termasuk meminta pertolongan. Tapi lagi-lagi ia ditolak.
“Jika anda berdusta, Allah akan mengembalikan keadaan anda seperti sediakala,” peringatan itu kembali terlontar.
Kemudian malaikat tadi menghampiri orang yang sebelumnya buta, lalu curhat, “Aku ini laki-laki miskin yang tak lagi punya pekerjaan untuk meneruskan perjalananku hari ini kecuali atas pertolongan Allah, lalu pertolongan anda. Demi Dzat yang telah mengembalikan penglihatan anda, aku minta seekor kambing saja untuk bekal melanjutkan perjalananku.”
“Sungguh aku semula buta, lalu Allah mengembalikan penglihatanku. Ambillah kambing itu sesukamu, dan tinggalkan yang tak kau suka. Demi Allah, sekarang ini aku tidak akan mempersulitmu dengan sesuatu yang telah kau ambil karena Allah.”
Di akhir cerita, malaikat itu berkata kepada lelaki yang semula buta ini, “Peganglah kekayaanmu, karena sesungguhnya kalian ini hanya diuji oleh Allah. Allah telah ridha kepadamu, dan murka kepada kedua teman anda.”
Kisah ini tercantum dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Keterangan bahwa malaikat menjalin kontak dengan menjelma sebagai manusia dijelaskan dalam kitab Dalîlul Fâlihîn li Tuhuruqi Riyâdlish Shâlihîn.
Cerita di atas menerangkan tentang keinginan seseorang untuk keluar dari penderitaan tertentu. Namun, ketika nasib secara lahiriah membaik, seseorang tetap saja dihadapkan dengan dua pilihan sikap: bersyukur atau kufur. Pelajaran dari kisah tiga orang Bani Israil tersebut adalah, bahwa nikmat yang jauh lebih besar dari keindahan fisik dan melimpahnya kekayaan adalah kesadaran untuk mensyukuri nikmat itu sendiri. Realisasinya: ikhlas dan bahagia terhadap apa yang tersedia, termasuk ketika harus dibagi kepada orang lain yang membutuhkan. Wallâhu a‘lam. (Mahbib)
Penderita Lepra, Orang Botak, dan Si Buta dalam Cerita Rasulullah
Ilustrasi (youtube)
Rasulullah pernah bercerita tentang tiga orang dari Bani Israil, masing-masing adalah penderita lepra, orang berkepala botak, dan orang buta. Kepada ketiganya Allah suatu kali memberikan ujian dengan mengutus malaikat.
Dalam wujud manusia, malaikat itu menghampiri pengidap penyakit lepra atau semacam kudis akut. Kepadanya, malaikat bertanya, “Apa yang paling kau inginkan?”
“Rupa yang bagus, kulit yang mulus, dan penyakit yang lenyapnya penyakit yang menjijikkan banyak orang ini dari diriku,” jawab penderita lepra tersebut.
Diusaplah tubuh orang itu dan seketika penyakitnya hilang. Keinginannya terkabul: kini ia memiliki rupa dan kulit yang indah.
“Lalu kekayaan apa yang paling kamu senangi?”
“Unta.”
Maka diberilah seekor unta bunting. Malaikat yang menjelma manusia itu pun berdoa, “Semoga Allah melimpahkan berkah kepadamu dengan unta ini.”
Selanjutnya si malaikat mendatangi orang berkepala botak lantaran suatu penyakit. Orang ini menerima pernyataan yang sama, “Apa yang paling kau inginkan?”
“Rambut yang bagus dan hilangnya penyakit yang menjijikkan banyak orang ini.”
Malaikat mengusap kepalanya dan seketika itu hilanglah penyakitnya. Rambut yang ia idam-idamkan pun terkabulkan. Malaikat lantas bertanya lagi, “Harta apakah yang kamu senangi?”
“Sapi,” jawab lelaki yang semula berkepala botak itu.
Seekor sapi hamil diberikan sembari mengiringinya dengan doa, “Semoga Allah memberkahimu dengan sapi ini.”
Selepas penderita lepra dan kepala botak itu, giliran si malaikat mengunjungi orang buta. Percakapan serupa berlangsung kepada orang ini.
“Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?”
“Semoga Allah berkenan mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat orang-orang.”
Diusaplah wajah lelaki buta itu dan dalam sekejap Allah mengembalikan fungsi penglihatannya.
Malaikat itu bertanya lagi kepadanya: “Harta apakah yang paling kamu senangi?” Ia menjawab, “Kambing.” Maka diberilah ia seekor kambing yang hendak beranak.
Masa kandungan unta, sapi, dan kambing pemberian itu akhirnya menuai hasil. Masing-masing ternak mendapat perawatan yang baik sehingga beranak pinak dalam jumlah yang besar. Tiap orang dari ketiga orang yang ditemui malaikat tersebut kini memiliki sebanyak satu lembah hewan ternak piaraannya.
Cerita Rasulullah tentang ketiga orang ini tidak berhenti di sini. Karena malaikat kemudian mendatangi masing-masing dari mereka. Namun kali ini malaikat tampil dalam wujud sebagai orang yang menderita.
“Aku ini laki-laki miskin yang tak lagi punya pekerjaan untuk meneruskan perjalananku hari ini kecuali atas pertolongan Allah, lalu pertolongan anda. Demi Allah yang telah memberi anda rupa yang bagus, kulit yang mulus, dan kekayaan ini, aku minta kepada anda satu ekor unta saja sebagai bekal meneruskan perjalananku,” pinta malaikat.
“Tanggunganku masih banyak,” jawab mantan pengidap lepra itu.
“Sepertinya aku pernah mengenal anda. Bukankah anda orang yang dulu menderita lepra dan dijauhi banyak orang—fakir yang kemudian Allah karuniakan harta?” kata Malaikat bersandiwara.
“Kekayaan ini aku peroleh secara turun temurun dari leluhurku,” balasnya lagi.
“Jika anda berdusta, Allah akan mengembalikan keadaan anda seperti sediakala,” kata malaikat.
Giliran kepada orang yang semula botak, malaikat tetap melakukan percakapan yang sama. Termasuk meminta pertolongan. Tapi lagi-lagi ia ditolak.
“Jika anda berdusta, Allah akan mengembalikan keadaan anda seperti sediakala,” peringatan itu kembali terlontar.
Kemudian malaikat tadi menghampiri orang yang sebelumnya buta, lalu curhat, “Aku ini laki-laki miskin yang tak lagi punya pekerjaan untuk meneruskan perjalananku hari ini kecuali atas pertolongan Allah, lalu pertolongan anda. Demi Dzat yang telah mengembalikan penglihatan anda, aku minta seekor kambing saja untuk bekal melanjutkan perjalananku.”
“Sungguh aku semula buta, lalu Allah mengembalikan penglihatanku. Ambillah kambing itu sesukamu, dan tinggalkan yang tak kau suka. Demi Allah, sekarang ini aku tidak akan mempersulitmu dengan sesuatu yang telah kau ambil karena Allah.”
Di akhir cerita, malaikat itu berkata kepada lelaki yang semula buta ini, “Peganglah kekayaanmu, karena sesungguhnya kalian ini hanya diuji oleh Allah. Allah telah ridha kepadamu, dan murka kepada kedua teman anda.”

Kisah ini tercantum dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Keterangan bahwa malaikat menjalin kontak dengan menjelma sebagai manusia dijelaskan dalam kitab Dalîlul Fâlihîn li Tuhuruqi Riyâdlish Shâlihîn.
Cerita di atas menerangkan tentang keinginan seseorang untuk keluar dari penderitaan tertentu. Namun, ketika nasib secara lahiriah membaik, seseorang tetap saja dihadapkan dengan dua pilihan sikap: bersyukur atau kufur. Pelajaran dari kisah tiga orang Bani Israil tersebut adalah, bahwa nikmat yang jauh lebih besar dari keindahan fisik dan melimpahnya kekayaan adalah kesadaran untuk mensyukuri nikmat itu sendiri. Realisasinya: ikhlas dan bahagia terhadap apa yang tersedia, termasuk ketika harus dibagi kepada orang lain yang membutuhkan. Wallâhu a‘lam.

Nabi Ditanya, Kenapa Perempuan Jarang Disebut dalam Al-Qur'an?

Advokasi untuk menciptakan konstruksi sosial yang setara dan berkeadilan disarankan antara lain melalui cara mendengarkan dan merespon suara-suara yang terpinggirkan, yang diabaikan dan yang tidak dihargai.

Dalam konteks kebudayaan patriarkhis di mana pun, suara-suara perempuan tidak didengarkan, diabaikan dan dibungkam. Aktualisasi personalnya dibatasi dan dimarginalkan. Kemerdekaan mereka dirampas sedikit atau banyak. Ini semua merupakan praktik-praktik kebudayaan yang tidak adil.
Tetapi sikap dan pandangan Nabi dalam hal ini sangat berbeda. Abd al-Rahman bin Syaibah mengatakan:

: سمعت أم سلمة زوج النبي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم تقول: قلت للنبي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم: يا رسول الله ما لنا لا نذكر في القرآن كما يذكر الرجال؟ قالت: فلم يرعني ذات يوم ظهرًا إلا نداؤه على المنبر وأنا أسرح رأسي، فلففت شعري ثم خرجت إلى حجرة من حجرهن، فجعلت سمعي عند الجريد، فإذا هو يقول على المنبر: يا أيها الناس إن الله يقول في كتابه:

“Aku mendengar Ummu Salamah, isteri Nabi saw, bertanya (mempertanyakan) kepada Nabi: “Wahai Nabi, mengapa kami (kaum perempuan) tidak (amat jarang) disebut-sebut dalam al-Qur’an, tidak seperti laki-laki”.
Setelah menyampaikan pertanyaan itu Ummu Salamah tidak melihat Nabi, kecuali mendengar suaranya di atas mimbar. “Waktu itu aku sedang menyisir rambut”, kata Ummi Salamah. “Aku segera membenahi rambutku lalu keluar menuju suatu ruangan. Dari balik jendela ruangan itu aku mendengarkan Nabi berbicara di atas mimbar masjid di hadapan para sahabatnya. Katanya: "Hai, manusia, Tuhan mengatakan:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Bahwa sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan yang beriman laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (Baca: Al-Thabari, Jami’ al Bayan, QS. al-Ahzab [33]:35).
Lihatlah bagaimana Tuhan dan Nabi mendengarkan dan merespon dengan begitu cepat suara-suara perempuan yang mengadukan pikiran dan suara hatinya. Ummu Salamah, isteri Nabi yang cerdas adalah representasi dari kaum perempuan. Dia tampaknya bukan sakedar bertanya tetapi mempertanyakan tentang hak-haknya yang dibedakan dari laki-laki. Pertanyaan itu merefleksikan sebuah pandangan kritis Ummu Salamah. Dia seakan-akan ingin mengatakan mengapa Nabi berlaku diskriminatif terhadap perempuan. Mengapa Nabi seakan-akan tidak menaruh perhatian terhadap hak-hak perempuan sebagaimana yang diberikan kepada laki-laki.
Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan segera menyampaikan klarifikasinya berdasarkan wahyu Tuhan dan menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, baik spiritual maupun sosial, privat maupun publik. Perhatikan pula bahwa pernyataan klarifikatif ini disampaikan Nabi kepada seluruh manusia: “Ayyuhan Nas” (Wahai manusia). Ini menunjukkan bahwa ajaran tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan harus diperjuangkan di mana pun dan kapan pun.

Semoga bermanfaat