Rabu, 31 Oktober 2018

Do'a yang sangat ditakuti Iblis

Iblis menyarankan Anda untuk bergunjing / menjelek-jelekkan seseorang .
Anda bisa membuat iblis marah kepanasan dengan membuat Do'a yang baik untuk orang tersebut .

Muhammad bin Wasi' Rahimahullah, seorang tabi'in yang terkenal alim berkata, bahwa ia telah melihat iblis setelah berdoa dengan doa dibawah ini pagi dan sore ,

Si Iblis berkata, "aku berjanji untuk tidak pernah menggoda mu, jika kau berjanji untuk tidak mengajar kan doa itu pada orang lain"

Muhammad bin Wasi' menjawab, "Tidak!! Akan ku ajarkan pada kaum muslimin doa ini"...

اللَّهُمَّ إنَّكَ سَلّطْتَ عَلَينَا عَدُوا بَصِيرًا بِعُيُوبِنَا، مُطَلِّعًا عَلَى عَوْرَاتِنَا، يَرَانَا هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيثُ لا نَرَاهُم , اللَّهُمَّ فَآيِسْهُ مِنَّا كَمَا آيَسْتَهُ مِنْ رَحْمَتِك , وَقَنِّطْهُ مِنَّا كَمَا قَنَّطتَهُ مِنْ عَفْوِكَ , وَبَاعِدْ بَينَنَا وَبَينَهُ كَمَا بَاعَدْتَ بَينَهُ وَبَين جَنَّتِك


Allahuma innaka salat-ta alayna ‘aduwan basiran bi-‘uyubina, mutali’an ‘ala ‘awraatina, yaraana huwa wa qabiluhu min haythu la naraahum. Allahuma fa-aayis-hu mina kama aaya-stahu min rahmatika, wa qanithu mina kama qanatahu min ‘afwika, wa ba’id baynana wa baynahu kama baa’adta baynahu wa bayna jannatika.

Ya Allah, telah engkau tetapkan kami agar berhadapan dengan musuh yang bisa melihat kesalahan kami, yang tahu kelemahan kami; ia dan pengikut-pengikutnya melihat kami dimana kami tak bisa melihat mereka.

Ya Allah, hapuskan harapan mereka untuk merugikan kami sama seperti Engkau telah membuatnya putus asa tak bisa menerima rahmat-Mu; buatlah dia menyerah pada kami seperti dia putus asa Tak dapat pengampunan-Mu. Ciptakan jarak antara dia dan kami seperti jarak tempat tinggalnya (neraka) dan SurgaMu

silahkan bagi yg mau share / Tandai / Bagikan
Semoga bermanfaat.

Kamis, 25 Oktober 2018

Keterangan soal hadis nabi dan bendera Khilafah HTI ISIS




ISIS dan HTI sama-sama mengklaim bendera dan panji yg mereka miliki adalah sesuai dg Liwa dan rayah-nya Rasulullah. Benarkah? enggak! Kalau klaim mereka benar, kenapa bendera ISIS dan HTI berbeda design dan khat tulisan arabnya? Ayoooo ...

Secara umum hadits-hadits yg menjelaskan warna bendera Rasul dan isi tulisannya itu tidak berkualitas shahih. Riwayatnya pun berbeda-beda: ada yg bilang hitam saja, ada yg bilang putih saja, ada riwayat yg bilang hitam dan putih, malah ada yang bilang merah dan juga kuning. Riwayat lain bendera itu gak ada tulisan apa-apa. Jadi gak ada tulisan tauhidnya, cuma kosong saja. Riwayat lain bilang ada tulisan tauhidnya. Riwayat seputar ini banyak sekali, dan para ulama sudah memberikan penilaian. Secara umum tidak berkualitas sahih.

Dalam sejarah Islam juga kita temukan fakta yang berbeda lagi. Ada yg bilang Dinasti Umayyah pakai bendera hijau, Dinasti Abbasiyah pakai hitam, dan pernah juga berwarna putih. Apa mau bilang para Khalifah ini tidak mengikuti bendera Rasul? Ribet kan!
Jadi yang mana bendera khilafah? Yah tergantung anda mau merujuk ke Khilafah Umayyah atau Abbasiyah? Gak ada hal yang baku soal bendera ini. Coba saja buka kitab Ahkamus Sulthaniyah karya Imam Mawardi: apa ada pembahasan soal bendera negara Khilafah? Enggak ada! Kenapa yang gak ada terus mau diada-adakan seolah menjadi urusan syariat? Mau bilang Imam al-Mawardi gak paham soal ini? Nah, tambah ribet kan!
Konteks bendera dan panji dipakai Rasul itu sewaktu perang untuk membedakan pasukan Rasul dengan musuh. Bukan dipakai sebagai bendera negara. Jadi kalau ISIS dan HTI tiap saat mengibarkan liwa dan rayah, emangnya kalian mau perang terus? Kok kemana-mana mengibarkan bendera perang?

Kalau dianggap sebagai bendera negara khilafah, kita ini NKRI, sudah punya bendera merah putih. Masak ada negara dalam negara?! Ini namanya makar! Bahkan ada tokoh HTI yang mempertanyakan apa ada haditsnya bendera RI yang berwarna merah-putih? Nah kan, kelihatan makarnya, sudah mereka tidak mau menerima Pancasila dan UUD 1945, sekarang mereka juga menolak bendera merah-putih. Jadi, yang syar’i itu bendera HTI, begitu maunya mereka, padahal urusan bendera ini bukan urusan syari’at.
Sekarang bagaimana status hadits soal bendera ini? Kita bahas singkat saja biar gak makin ribet membacanya.

Hadits riwayat Thabrani dan Abu Syeikh yg bilang bendera Rasul hitam dan panjinya putih itu dhaif. Mengapa demikian? Riwayat Thabrani ini dhaif karena ada rawi yg dianggap pembohong yaitu Ahmad bin Risydin. Bahkan kata Imam Dzahabi, dia pemalsu hadits.
Riwayat Abu Syeikh dari Abu Hurairah itu dhaif karena kata Imam Bukhari rawi yg namanya Muhammad bin Abi Humaid itu munkar.

Riwayat Abu Syeikh dari Ibn Abbas menurut Ibn Hajar dalam kitabnya Fathul Bari, sanadnya lemah sekali.

‎وجنح الترمذي إلى التفرقة فترجم بالألوية وأورد حديث جابر " أن رسول الله صلى الله عليه وسلم دخل مكة ولواؤه أبيض " ثم ترجم للرايات وأورد حديث البراء " أن راية رسول الله صلى الله عليه وسلم كانت سوداء مربعة من نمرة " وحديث ابن عباس " كانت رايته سوداء ولواؤه أبيض " أخرجه الترمذي وابن ماجه ، وأخرج الحديث أبو داود ، والنسائي أيضا ، ومثله لابن عدي من حديث أبي هريرة ، ولأبي يعلى من حديث بريدة ، وروى أبو داود من طريق سماك عن رجل من قومه عن آخر منهم " رأيت راية رسول الله صلى الله عليه وسلم صفراء " ويجمع بينها باختلاف الأوقات ، وروى أبو يعلى عن أنس رفعه " أن الله أكرم أمتي بالألوية " إسناده ضعيف ، ولأبي الشيخ من حديث ابن عباس " كان مكتوبا على رايته : لا إله إلا الله محمد رسول الله " وسنده واه

Kalau sudah Ibn Hajar yang komentar soal hadits, HTI dan ISIS mau ngeles apa lagi? Jangan marah sama saya, saya hanya mengutip pendapat Ibn Hajar yang otoritasnya dalam ilmu Hadits sangat diakui dalam dunia Islam. Kalau ada ulama yg menyatakan hadits Abu Syeikh ini sahih, ya silakan saja. Saya lebih percaya dengan Ibn Hajar daripada dengan ulama HTI.
Komentar Ibn Hajar di atas itu telak sekali.

Semoga ini membuka mata para kader HTI, yang sudah dibubarkan pemerintah itu. Bendera HTI dan juga ISIS tidak memliiki landasan yang kuat. Tidak ada perintah Rasulullah untuk kita mengangkat bendera semacam itu; tidak ada kesepakatan mengenai warnanya, dan apa ada tulisan atau kosong saja, dan tidak ada kesepakatan dalam praktek khilafah jaman dulu, serta para ahli Hadits seperti Ibn Hajar menganggap riwayatnya tidak sahih.
Katakanlah ada tulisannya, maka tulisan khat jaman Rasul dulu berbeda dengan di bendera ISIS dan HTI. Jaman Rasul, tulisan al-Qur'an belum ada titik, dan khatnya masih pra Islam yaitu khat kufi. Makanya meski mirip, bendera ISIS dan HTI itu beda khatnya. Kenapa ayo? Kan sama2 mengklaim bendera Islam? Itu karena tulisan khat-nya rekaan mereka saja. Gak ada contoh yg otentik dan sahih bendera Rasul itu seperti apa. Itu rekaan alias imajinasi orang-orang ISIS dan HTI berdasarkan hadits-hadits yg tidak sahih

Jadi jangan mau dibohongin yah sama bendera Islam-nya HTI dan ISIS.
Perkara ini bukan masuk kategori syari'ah yg harus ditaati. Gak usah ragu menurunkan bendera HTI dan ISIS. Itu bukan bendera Islam, bukan bendera Tauhid.
Tapi ada tulisan tauhidnya? Masak kita alergi dengan kalimat tauhid? Itu hanya akal-akalan mereka saja. Untuk mengujinya gampang saja, kenapa HTI gak mau mengangkat bendera ISIS dan kenapa orang ISIS tidak mau mengibarkan bendera HTI padahal sama-sama ada kalimat Tauhid-nya? Itu karena sifat sebuah bendera di masa modern ini sudah merupakan ciri khas perangkat dan simbol negara. Misalnya warga Indonesia tidak mau mengangkat bendera Belanda atau lainnya. Bukan karena benci dengan pilihan warna bendera mereka, tapi karena itu bukan bendera negara kita.
Bendera itu merupakan ciri khas sebuah negara. Apa HTI dan ISIS mau mengangkat bendera berisikan kalimat Tauhid yang khat dan layout-nya berbeda dengan ciri khas milik mereka? Atau angkat saja deh bendera Arab Saudi yang juga ada kalimat Tauhidnya. Gimana? Gak bakalan mau kan. Karena bendera sudah menjadi bagian dari gerakan mereka. Maka jelas bendera ISIS dan HTI bukan bendera Islam, bukan bendera Rasul, tapi bendera ISIS dan HTI.
Itu sebabnya Habib Luthfi bin Yahya dengan tegas meminta bendera HTI diturunkan dalam sebuah acara. Mursyid yang juga keturunan Rasulullah ini paham benar dengan sejarah dan status hadits soal bendera ini.

Saya ikut pendapatnya Imam Ibn Hajar dan ikut sikap Habib Luthfi.

Pada rame atas pembakaran bendera HTI ole BANSER yang katanya harus minta maaf karena telah membakar benderah Rasulullah dan menghina kalimat tauhid WHAT?????!!!!!!!!

*Penjelasan tentang benderah dan Panji Rasul

Matan hadist.
Ada puluhan hadist yang menyebutkan tentang bendera dan panji Rasul. Antara lain ( Yang pokok saja ya ... )

HR Tirmidzi 1604
“Bendera Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berwarna hitam dan umbul umbulnya berwarna putih”

HR Ibnu Majah. Bab Jihad : Bendera dan Umbul umbul 2806-2807-2808
2808 “ Sesungguhnya panji rasulullah shallalahu ‘alaihi wassallam berwarna hitam dan benderanya berwarna putih

HR Ahmad 17884
“warnanya adalah Hitam, berbentuk persegi panjang dan terbuat dari kain wol”

Bendera adalah kain persegi panjang, Sedang panji adalah kain berbentuk segitiga.
Apakah ada tulisan Tauhid ? Maaf ya, tidak ada satu periwayatan-pun dalam kitab klasik sebelum th 1000 ( HR Imam Malik, HR Bukhari, Muslim, Nasai, Darimi, Thabari dll..) . Kalau terdapat dalam kitab setelah tahun 1000, saya angkat tangan deh...

Cek di manuscript lama seperti Tarikhnama th 900M di berbagai riwayat perang, Tidak ada tulisan lafal Tauhid (lā ʾilāha ʾillā-llāh, muhammadun rasūlu-llāh). Ingat, dalam bendera tauhid modern terdapat HARAKAT ( Sandangan pembantu huruf arab ) yang notabene baru lahir di tahun 786 M oleh Al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi ( era Abbasyiah )
Juga teknologi pewarnaan atau penjahitan. Belum ada di jaman Rasul, karena teknologi pewarnaan dan penjahitan berkembang dari China lewat jalur Sutra. Gak percaya ?

Tonton Filem The Message (1976) ya... ini filem epic sekali, Saya nonton th 1984 pake Video model bata di Tetangga desa, Se Madrasah sekolahku nonton bareng he he he...Ratusan lho bro, Ngliat layar 21 inch sekampung !!! Film ini udah disetujui Univ Al Azhar lhoo...

Lalu kapan bendera dengan Lafal Tauhid lahir ? Menurut saya sih...
1. Kesultanan Nejd
Th 1921 oleh Kesultanan Nejd. Bapaknya Raja Salman raja Arab sekarang. Yaitu Abdulaziz bin Abdul Rahman. Latar belakang bendera Hijau dan Putih, Tanpa Pedang. Lafal Tauhid dengan harakat (1926-1932). Baru di tahun 1973 ditambahi gambar pedang.

2. Al Qaeda ( maaf lho ya... ) 1988
Dikenalkan oleh Osama bin Laden dan Ayman Al Zawahiri th 1988 di Afghanistan pada saat perang melawan Uni sovyet. Sedikit berbeda tapi sama dalam pengucapannya dengan bendera Arab. Dan mulai di perkenalkan oleh faksi faksi pendukungnya. Warna dasar putih. Dan kadang Hitam. Suka suka mbah Osama ajah. Faksi faksi yang tergabung dibawahnya adalah.
a) Emirat Kaukasus ( Chechnya )
b) Tehrik-i-Taliban Pakistan .
c) Al Nusra Syria.
d) Jabhat Fatah Al Syam.
e) Jundul Al Aqsa.
f) Mujahidin Syria
g) Turkistan Islamic Party

3. Emirat Islam Afganistan atau TALIBAN 1997
Kompatriot Osama bin laden. Bendera warna dasar putih dengan lafal Tauhid yang sudah baku. Diperkenalkan tahun 1997 oleh Mullah Mohammad Omar. Negara Afghanistan di serbu oleh Amerika setelah menyembunyikan Osama bin Laden .

4. Hizbut Tahrir Indonesia
Memperkenalkan bendera putih dan Hitam dengan lafal tauhid 2012 setelah eskalasi perang saudara di Suriah menjalar di Indonesia dengan tagar #savealeppo dan #savesuriah. Mulai diperkenalkan 2 bentuk bendera.

Saya pribadi sih jadi mikir kalo liat bendera tauhid putih dan hitam, Ini bendera Al Qaeda kan ? Kalo gitu Selamat ya...Udah jadi anggota.

Nug
Al Qaeda Newbie 😂😂

Link Film The Message (1976) : https://www.youtube.com/watch?v=egav1IFr5n0
(Link yang dulu mati...*edited at 10/09/2018)
-----------------------------------------------------------------------
#Nugraha Fahrul

Dari ket di atas sudah jelas klo benderah HTI itu bukan benderah Rasul ya temen2 mereka hanya memanfaatkan kalimat tauhid untuk kepentingan mereka

*Tentang kalimat tauhid

Sayyidina 'Ali Pernah Menangis Melihat Kalimat Muhammad Rasulullah di Bendera.
https://www.islampers.com/…/sayyidina-ali-pernah-menangis-m…

Dalam kitab Tanqihul Qoul karya Syech Nawawi Albantani, dikisahkan ada seseorang membeli dengan harga mahal yaitu kertas bertuliskan “Bismilahirohmanirohim” lalu membakarnya karena menjaga kesuciannya di khawatirkan terkena najis baik zhohir dan batin.

*GP Ansor Klaim Bakar Bendera HTI untuk Menjaga Kalimat Tauhid.

Yaqut menyatakan bendera itu lebih baik dibakar daripada ada pihak lain yang menaruh di tempat yang tidak semestinya.

"Membakar bendera yang ada tulisan kalimat tauhid tersebut, hemat saya, teman-teman ingin memperlakukan sebagaimana jika mereka menemukan potongan sobekan mushaf Alquran," kata Yaqut.

"Mereka akan bakar sobekan itu, demi untuk menghormati dan menjaga agar tidak terinjak-injak atau terbuang di tempat yang tidak semestinya," lanjutnya.

Pada dasar nya kalimat tauhid itu d hati bukan di benderah jd teman2 jg terbius dg penipuan berkedok agama mereka bertakbir bukan untuk membelah agama Alloh tapi untuk syahwat politik mereka.

 Warna bendera Nabi macam-macam, kadang putih, kadang hitam, kadang kuning.

Apa benar bendera Rosululloh bertuliskan kalimat tauhid? Ini Kitab Fathul Bari, syarah Kitab Shahih Bukhari, terdiri dari 13 jilid, karangan Ibn Hajar al-Asqalani.
.
Kepakaran dan otoritas Ibn Hajar dalam soal ilmu hadis tidak diragukan sedikit pun. Edisi yang saya pegang terbitan Dar Ihya Turats al-Arabi, Beirut, cet. ke-2, 1406 H.
.
Alhamdulillah dapat warisan kitab ini dari Bapak saya. Keterangan soal bendera Nabi ada di Juz 6, halaman 95.
Ismail Yusanto bilang, HTI tidak punya bendera. Bendera bertulis kalimat tauhid itu bendera Rasulullah, bukan bendera HTI.
.
Artinya bendera seluruh umat Islam. Ini cara sempurna pemutlakan kebenaran. Benarkah bendera Rasulullah bertulis kalimat tauhid?
.
Dalam bahasa Arab, bendera dan panji, sering bertukar bahasa. Liwa dan rayah dapat sekaligus bendera atau panji. Di dalam kitab ini, Ibn Hajar mengutip pendapat Abu Bakar ibn Arabi dan Tirmidzi. Keduanya membedakan perbedaan arti. Liwa diartikan panji, yang dipasang di ujung tombak. Rayah diartikan bendera, kain yang diikat di tombak dan berkibar oleh tiupan angin.
.
Hadis yang menerangkan warna bendera dan panji Nabi diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, dan Nasa´i. Bukari sendiri tidak meriwayatkan hadis tentang warna bendera atau panji Nabi. Bukhari hanya menerangkan bahwa dalam ekspedisinya, Nabi menggunakan bendera sebagai tanda untuk membedakan diri dari pasukan musuh. Hadis-hadis dari sejumlah rawi lain menyebut warna bendera Nabi berbeda-beda.
.
Dalam banyak ekspedisi militer, Nabi tidak menggunakan warna tunggal, kadang putih, hitam, atau kuning. Artinya, bendera Nabi bukan identitas paten, seperti konstruksi tafsirnya para pengasong khilafah. Dan hadis yang menyebut kalimat tauhid tertulis di bendera Nabi itu riwayat Abu Syaikh, tetapi menurut Ibn Hajar, sanadnya lemah ( ﺍﺳﻨﺎﺩﻩ ﻭﺍﻩ ).
.
Alhasil, kalau kita ikuti keterangan Ibn Hajar ini, klaim HTI rontok. Bendera Nabi polos dan tidak paten: berubah-ubah dari satu ekspedisi ke ekspedisi lain. Jadi berhentilah memanipulasi kalimat tauhid untuk merancang gerakan makar.
.
.
#Nahdlatululama
#Santrimoderat
#PriaKuduSarungan
#SantriNU
#BentengUlama
#BrigadeNU
#IslamNUsantara


Warna dan Bentuk Bendera Nabi Muhammad

Bendera ( الرَّايَةُ ) adalah satu di antara simbol identitas yang biasa dibawa saat perang sejak komunitas manusia mulai memiliki seorang pemimpin ( الْخَلِيْفَةُ ) bagi kelompoknya di muka bumi. Bahkan hingga saat ini bendera juga masih dibawa saat terjadi pertempuran maupun peperangan. Bendera juga dibawa di medan perang pada masa Nabi Muhamad SAW dan para pemimpin setelah beliau (الخلفاء الراشدين ). Sedang fungsi penggunaan bendera di medan perang adalah untuk menggertak atau menciutkan nyali lawan ( التَّهْوِيْلُ ). (ibnu Khaldun, al-Muqadimah, 2006, hlm. 202).

Selain di medan perang, bendera biasanya dibawa saat para khalifah maupun pejabat melakukan perjalanan ke luar daerah. Pada kondisi ini, untuk membedakan siapa yang sedang melakukan perjalanan dapat dilihat dari jumlah bendera yang dibawa. Yakni, bendera yang dibawa saat khalifah yang melakukan perjalanan itu lebih banyak dibanding bendera yang dibawa saat pejabat yang melakukan perjalanan. Disamping itu, bendera untuk kekhalifahan memiliki warna khusus, yang berbeda dengan bendera yang dipakai para pejabat. (ibnu Khaldun, al-Muqadimah, 2006, hlm. 202). Demikian pula perihal bendera Nabi SAW, yang konon juga memiliki warna khusus sebagaimana ragam informasi di bawah ini:

Informasi pertama:

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِيُّ، أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ، أَخْبَرَنَا أَبُو يَعْقُوبَ الثَّقَفِيُّ، حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ عُبَيْدٍ مَوْلَى مُحَمَّدِ بْنِ الْقَاسِمِ، قَالَ: بَعَثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْقَاسِمِ إِلَى الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ يَسْأَلُهُ عَنْ رَايَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاهِىَ؟ فَقَالَ: كَانَتْ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً مِنْ نَمِرَةٍ.


“Informasi dari Ibrahim bin Musa ar-Razi … Yunus bin Ubaid diutus Muhamad bin al-Qasim untuk bertanya kepada Bara bin Azib tentang bendera Nabi SAW, Bara menjawab, “Bendera Nabi SAW berwarna hitam, berbentuk segi empat (bujur sangkar), terbuat dari kain wol.” (H.r. Abu Daud, 1999, hlm. 293, hadis no. 2591).
Sanad hadis: hasan gharib, menurut at-Tirmizi (at-Tirmizi, 1996, vol. 3, hlm. 306, hadis no. 1680); hasan, menurut al-Bukhari (al-Manawi, Faidhul Qadir, 1972, hlm. 171); dhaif, menurut ulama yang lain (Ahmad bin Hanbal, 1999, vol. 30., hlm. 589, hadis no. 18627).

Informasi kedua:

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْمَرْوَزِيُّ وَهُوَ ابْنُ رَاهَوَيْهِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَمَّارٍ الدُّهْنِيِّ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، يَرْفَعُهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ كَانَ لِوَاؤُهُ يَوْمَ دَخَلَ مَكَّةَ أَبْيَضَ.


“Informasi dari Ishak bin Ibrahim al-Marwazi … dari Jabir, bahwasanya panji Nabi SAW saat memasuki Makkah berwarna putih.” (H.r. Abu Daud, 1999, hlm. 293, hadis no. 2592).
Sanad hadis: gharib, menurut al-Bukhari (al-Mizi, Tuhfatul Asyraf, 1999, vol. 2, hlm. 441, hadis no. 2889); gharib oleh at-Tirmizi (Abu Daud, 1999, hlm. 293, hadis no. 2592).; sahih menurut Muslim (al-Hakim, al-Mustadrak, 1998, vol. 2, hlm. 126, hadis no. 2560).

Informasi ketiga:

حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ، حَدَّثَنَا سَلْمُ بْنُ قُتَيْبَةَ الشَّعِيرِيُّ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ سِمَاكٍ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ قَوْمِهِ، عَنْ آخَرَ مِنْهُمْ قَالَ: رَأَيْتُ رَايَةَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَفْرَاءَ.


“Informasi dari Uqbah bin Mukram … dari sahabat yang tidak diketahui namanya, ia berkata, “Aku melihat bahwasanya bendera Nabi SAW berwarna kuning.”.” (H.r. Abu Daud, 1999, hlm. 293, hadis no. 2593).

Sanad hadis tidak jelas ( جَهالة ) dan/atau tidak diketahui ( مجهول ). (ibnu al-Mulaqin, al-Badru al-Munir, 2004, vol. 9, hlm. 63-64; ar-Rubai, Fathul Ghafar, 1427, vol. 4, hlm. 1761, hadis no. 5177).

Informasi keempat:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ وَهُوَ السَّالِحَانِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ، قَال: سَمِعْتُ أَبَا مِجْلَزٍ لَاحِقَ بْنَ حُمَيْدٍ يُحَدِّثُ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَتْ رَايَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ، وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ.


“Informasi dari Muhamad bin Rafik … dari ibnu Abas, ia berkata, “Bendera Rasulullah SAW berwarna hitam, sedang panjinya berwarna putih.”.” (H.r. at-Tirmizi,1996, vol. 3, hlm. 306-307, hadis no. 1681).

Sanad hadis: gharib, menurut a-Tirmizi (al-Mubarakfuri, Tuhaftul Ahwazi, tt., vol. 5, hlm. 328, hadis no. 1732); dhaif, menurut al-Iraqi (al-Iraqi, Turhut Tasrib, tt., vol. 7, hlm. 220).

Informasi kelima:

أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، قال: حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ (محمد بن يعقوب)، قال: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ، قال: حدثنا يونس بن بُكَيْرٍ، عَنْ ابْنِ إِسْحَاقَ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ لِوَاءُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفَتْحِ أَبْيَضَ، وَرَايَتُهُ سَوْدَاءَ قِطْعَةَ مِرْطٍ مُرَجَّلٍ ، وَكَانَتْ الرَّايَةُ تُسَمَّى الْعُقَابَ.


“Aku mendapat kabar dari Abu Abdillah al-Hafiz … dari Aisyah rha., ia berkata, ‘Panji Rasulullah saat memasuki kota Makah berwarna putih, sedang benderanya berwarna hitam berbahan potongan kain wol yang bergambar laki-laki, dan bendera itu dinamai Uqab.’.” (H.r. al-Baihaqi, Dalailun Nubuwah, 1988, vol. 5, hlm. 68).

Saat tulisan ini dibuat, penulis belum menemukan penjelasan perihal sanad hadis yang bersumber dari Aisyah rah. ini. Adapun, yang ada penjelasannya bersumber dari al-Hasan:

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، قَالَ ثنا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي الْفَضْلِ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: كَانَتْ رَايَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ تُسَمَّى الْعُقَابَ.


“Informasi dari Wakik … dari al-Hasan, ia berkata, ‘Bahwasanya bendera Nabi SAW berwarna hitam dan dinamai Uqab.’.” (H.r. ibnu Abi Syaibah, 2008, vol. 11, hlm. 219-220, hadis no. 34184).

Sanad hadis: mursal (ibnu Abi Syaibah, 2008, vol. 11, hlm. 220; al-Iraqi, al-Mughni, 1995, vol. 1, hlm. 672).

Informasi keenam:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ زَنْجُوَيْهِ الْمُخَرِّمِيُّ، نَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي السَّرِيِّ الْعَسْقَلَانِيُّ، نَا عَبَّاسُ بْنُ طَالِبٍ، عَنْ حَيَّانَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَتْ رَايَةُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ وَلِوَاءُهُ أَبْيَضَ، مَكْتُوبٌ فِيْهِ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ


“Informasi dari Ahmad bin Zanjuwaih al-Mukharimi … dari ibnu Abas ra., ia berkata, ‘Bendera Rasulullah SAW berwarna hitam, sedang panjinya berwarna putih dan ada tulisan kalimat tauhid.’.” (H.r. Abu asy-Syekh, Akhlaqun Nabi SAW, 1998, vol. 2, hlm. 416, hadis no. 424).

Sanad hadis: daif, menurut mayoritas ulama (Abu asy-Syekh, 1998, vol. 2, hlm. 416); sangat daif, menurut ibnu Hajar al-Asqalani. (ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 2001, vol. 6, hlm. 147).

***

Bertolak dari ragam informasi di atas, beberapa catatan perlu kita renungkan, di antaranya:

1. Panji ( اللِّوَاءُ ) adalah sesuatu (kain) yang diikat dan dibelitkan di ujung tombak saat perang. Adapun, bendera ( الرَّايَةُ ) adalah, kain yang diikatkan di ujung tombak saat perang, maupun yang diikat diujung tiang di luar perang. Panji berfungsi untuk menunjukkan posisi pemimpin pasukan, sedang bendera dibawa oleh pasukan perang. (ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 2001, vol. 6, hlm. 147).

2. Yang dimaksud warna hitam bukan berarti bendera Nabi SAW benar-benar berwarna hitam, melainkan kain yang dipakai didominasi warna hitam, sehingga saat dilihat dari kejauhan tampak berwarna hitam (putih kehitam-hitaman). Yang demikian, karena kain yang digunakan berbahan baku wol ( نَمِرَةٌ ) yang biasa dipakai orang Arab, yang mana kain tersebut dibuat menggunakan benang hitam dan putih. (al-Mubarakfuri, Tuhaftul Ahwazi, tt., vol. 5, hlm. 328).

3. Terkait warna bendera Nabi SAW ada tiga versi: pertama, bendera Nabi SAW disebut Uqab ( الْعُقَابُ ), berwarna hitam, berbentuk bujur sangkar; kedua, bendera Nabi
SAW disebut bendera putih ( الرَّايَةُ الْبَيْضَاءُ ); ketiga, bendera Nabi SAW berwarna merah ( الْحَمْرَاءُ ). (ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 2001, vol. 6, hlm. 147; al-Iraqi, Turhut Tasrib, tt., vol. 7, hlm. 221).

Merujuk pada sejumlah keterangan di atas, poin penting yang dapat kita jadikan bahan acuan sebelum mengambil kesimpulan, yakni:

1. Pemakaian bendera sebagai simbol identitas kelompok masyarakat sudah ada jauh sebelum Nabi SAW menggunakannya. Dengan kata lain, penggunaan bendera adalah murni produk budaya yang dikembangkan sesuai selera masing-masing komunitas masyarakat—meliputi bentuk dan warna bendera, bukan produk syariat agama. Sederhananya, penggunaan bendera sebagai simbol identitas kelompok masyarakat hanya untuk membedakan satu kelompok masyarakat tertentu dengan kelompok masyarakat yang lain.

2. Merujuk pada informasi (hadits) di atas, dijelaskan bahwa bentuk bendera Nabi SAW adalah segi empat ‘bujur sangkar’ ( مُرَبَّعٌ ), bukan persegi panjang ( مُسْتَطِيْلٌ). Bila informasi ini dianggap sebagai hukum syariat agama, maka penggunaan bendera persegi panjang, yang kemudian dinisbatkan sebagai bendera Nabi SAW tentu saja berdosa, karena menyalahi dan mengingkari ketentuan asalnya.

3. Terkait warna bendera Nabi SAW, antar informasi terjadi perbedaan, yakni warna hitam, kuning, merah, dan putih, termasuk juga terkait rangkaian transmisinya. Taruh kata ragam informasi di atas dapat dipakai semua ( الجمع بين الأحاديث ), maka penjelasan yang keluar adalah, bahwa warna bendera Nabi SAW itu berubah-ubah sesuai kondisi dan kebutuhan. (as-Sahrazuri, Muqadimah ibnu Shalah, 2006, hlm. 296).

4. Terkait tulisan kalimat tauhid, mayoritas informasi yang ada menjelaskan, bahwa yang bertuliskan kalimat tauhid adalah bendera Nabi SAW, semisal yang dikeluarkan ibnu Hajar al-Asqalani:

كان مكتوبا على رايته: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ.


“Bendera Nabi SAW bertuliskan kalimat tauhid.” (ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 2001, vol. 6, hlm. 147).

Namun, bagi penulis, hal tersebut menjadi aneh, karena term راية masuk kategori lafal muanas, sementara kata ganti (dhamir) yang dipakai dalam informasi keenam merujuk pada lafal muzakar, yakni term لواء . Oleh karena itu, penulis berpandangan bahwa yang bertuliskan kalimat tauhid bukanlah bendera Nabi SAW, melainkan panji Nabi SAW, itu saja kalau informasi keenam dapat digunakan. Namun sayangnya, informasi keenam yang menjelaskan tulisan kalimat tauhid tidak bisa dijadikan dasar hukum, kecuali bagi mereka yang tetap memaksakannya sebagai dasar hukum.
***

Pada akhirnya, kita pun harus mengakui kenyataan sejarah, bahwa penggunaan bendera tidak ada sangkut pautnya dengan syariat agama, begitu pula terkait bentuk ukuran dan warnanya. Bukankah warna bendera para raja paska khalifah pengganti Nabi SAW juga berbeda-beda, yang di antaranya:

1. Dinasti Abasiah, mereka menggunakan bendera warna hitam. Namun, pemilihan warna hitam bukan karena mengikuti informasi yang menjelaskan bila bendera Nabi SAW berwarna hitam, melainkan sebagai tanda kesedihan atas gugurnya para syuhada dari Bani Hasyim ( حزنا على شهدائهم من بني هاشم ), disamping sebagai celaan pada Bani Umayah yang telah membunuh mereka ( نعيا على بني أمية في قتلهم ). Oleh karenya, bendera tersebut dinamai al-musawwidah ( المسوِّدة ).

2. Dinasti Fatimiah ( العُبَيْدِيُّون ), mereka memakai bendera berwarna putih, yang dinamai al-mubaiyidhah ( المُبَيِّضَة ).

3. Khalifah al-Makmun, ia tidak menggunakan bendera warna hitam maupun putih, melainkan menggunakan bendera warna hijau ( الْخَضْرَاء ). (ibnu Khaldun, al-Muqadimah, 2006, hlm. 202).

4. Bahkan hingga sekarang, mayoritas negara-negara di Arab maupun Timur Tengah menggunakan bendera yang berwarna-warni, ada yang hijau, merah, atau kombinasi antara hijau-putih-hitam, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, bila kita membaca ragam literatur karya para ulama atau sarjana muslim terdahulu yang mengupas tentang sistem pemerintahan, mayoritas dari mereka tidak menjelaskan masalah perihal bentuk dan warna bendera yang harus dipakai. Hal ini, membuktikan bahwa para ulama atau sarjana muslim terdahulu sadar bila bendera bukanlah produk syariat agama, melainkan produk budaya semata.


Dan terkait budaya, mayoritas para pendahulu sepakat bila:

الْأَصْلُ فِي الْعُقُوْدِ وَ الْمُعَامَلَاتِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَأْتِيَ مَا يَدُلُّ عَلَى التَّحْرِيْمِ


“Pada dasarnya, hal-hal yang berkaitan dengan kesepakatan bersama dan hubungan sosial antar manusia boleh dilakukan selama tidak ada dasar hukum yang melarangnya.” (ash-Shawi, at-Taaddudiyyah as-Siyasiyyah, 1996, hlm. 75).

Wallahu a'lam bis-Shawaab
Semoga bermanfaat.

Rabu, 24 Oktober 2018

Mengapa NU Tidak Menggunakan Simbol Tauhid?


Jika kita berselancar sejenak di mesin pencarian Google dengan memasukkan kata kunci “tahlil”, halaman akan sesak dengan serentetan tautatan yang membahas tradisi keagamaan yang lazim dijalankan warga NU: Tahlilan. Tahlil pada dasarnya istilah untuk kalimat thayyibah “lâilâhaillallâh” (tiada Tuhan selain Allah). Pergeseran makna berlangsung karena NU-lah yang secara eksplisit dan konsisten mengajarkan dan mengamalkan secara rutin dalam bingkai budaya komunal. Tahlil lalu melekat sebagai bagian dari identitas Nahdlatul Ulama. Ormas tahlil, ya NU.

Tahlil adalah kalimat suci karena berisikan penegasan prinsip tertinggi dalam Islam, yakni tauhid (pengesaan Allah). Sebab itu pula tahlil sering disebut juga kalimat tauhid. Bukan hanya dalam tahlilan, warga NU melafalkan lâilâhaillallâh nyaris di setiap ritual keagamaannya, seperti istighotsah, ziarah, manaqiban, yasinan, ratiban, wirid bakda shalat, dan lain-lain. Bahkan bagi NU, mampu mengucapkan kalimat tauhid di akhir hayat adalah indikator paling konkret wafatnya seseorang dianggap sangat baik (husnul khatimah). Begitu dekatnya NU dengan kalimat tauhid.

Yang unik, mengapa kalimat tauhid itu nyaris tidak pernah digunakan NU sebagai simbol dalam aktivitas organisasi? Kok tidak seperti kelompok-kelompok mutakhir yang lantang mengaku menggaungkan “suara Islam”?

Sejak awal NU mendasarkan pemikirannya pada sistem bermazhab. Otoritas pengetahuan agama diserahkan kepada para ahlinya, yakni ulama. NU memang meyakini sumber primer Al-Qur’an dan Sunnah, tapi akses kepada kedua teks tersebut harus melalui disiplin ilmu dan pertanggungjawaban moral yang ketat, dan itu hanya bisa dimiliki oleh ulama. Bukan sembarang orang, terutama kalangan awam. Ini pula yang menjadi salah satu alasan kenapa nama “Nahdlatul Ulama” (kebangkitan para ulama) dipilih menjadi nama organisasi.

Paham semacam ini bukan tanpa risiko. Karena mengembangkan cara berpikir mazhab, NU dituding oleh sebagian kelompok yang mengusung agenda pemurnian Islam sebagai golongan yang menjauh bahkan menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah. Padahal, yang terjadi sesungguhnya adalah kerendahan hati dalam mengakui keterbatasan diri, lantas menyerahkan otoritas pengetahuan keagamaan kepada ulama. Ulama yang mana? Dalam fiqih, NU menganut empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali), dalam hal aqidah (al-Asy’ari dan al-Maturidzi), sedangkan dalam tasawuf (Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi).

Artinya, di lingkungan NU pluralitas pemikiran (mazhab) diakui. Seluruhnya dinilai sebagai produk ijtihadî (olah pikir manusia) yang memungkinkan terbukanya perbedaan. Hakikat kebenaran tak mungkin bisa diraih, tapi ikhtiar untuk mendekati itu bisa dilakukan. Proses itulah yang kemudian melahirkan ijtihad yang beragam. Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitab al-Mawâ’idh pernah mewanti-wanti umat untuk tidak terjermus dalam fanatisme. Terhadap produk ijtihadî pilihannya cuma dua: (1) semua mujtahid benar, atau (2) mujtahid yang benar hanya satu tapi mujtahid yang salah tetap mendapat pahala. Corak pemikiran ini tak ditemukan pada kelompok-kelompok penganut absolutisme yang menganggap kebenaran pasti tungal dan hanya kelompok dialah yang paling benar. Mereka menyamakan tafsir atas kebenaran dengan kebenaran itu sendiri.

Dari sini kita mendapat sedikit titik terang mengapa NU cenderung “menghindari” simbol-simbol yang secara langsung menggunakan nama Islam, termasuk soal kalimat tauhid. Sebagai as-sawâdul a’dham (komunitas terbesar Islam), bila mau, kiai-kiai pesantren generasi awal bisa saja menyepakati nama organisasi “pembela Islam”, “pejuang Islam”, “nahdlatul islam”, dan semacamnya; atau menjadikan kalimat tauhid sebagai lambang organisasi. Tapi itu tidak dilakukan. Mereka memilih nama “Nahdlatul Ulama” lewat mekanisme musyawarah dan logonya dirancang kemudian dari hasil istikharah.

Bagi ulama NU kala itu membawa nama “Islam” atau “kalimat tauhid” dalam organisasi barangkali dianggap mendekati sikap angkuh. Ada tanggung jawab dan risiko besar yang dipertaruhkan. Aspirasi dan pemikiran satu komunitas Islam belum tentu menjadi aspirasi dan pemikiran komunitas Islam lainnya. Karena itu, Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari yang keulamaannya diakui seluruh ulama di Nusantara, bahkan lintas negara, hanya cukup didaulat sebagai rais akbar Nahdlatul Ulama, bukan imam besar umat Islam. Bahkan, di era kepemimpinan berikutnya, karena ketawadukan KH Abdul Wahab Chasbullah, gelar “rais akbar” (pemimpin besar) berubah menjadi “rais aam” (pemimpin umum). Inilah pengejawantahan dari i'tidal dan tasamuh, garis sikap tegas sekaligus terbuka yang dipegang NU. Di satu sisi sangat teguh dengan paham yang dianut, di sisi lain tidak mau memonopoli pemahaman umat Islam yang faktanya memang berbeda-beda.

Kesadaran inklusif ini sulit didapati dari kelompok-kelompok yang sejak awal memahami Islam dengan kacamata monolitik. Paradigmanya kebenaran tunggal. Cara berpikirnya hitam-putih: halal-haram, Islam-kafir, sunnah-bid’ah, sistem Allah-sistem thaghut, dan seterusnya. Semua kelompok yang berlainan pemikiran dengannya dianggap salah. Apa pun masalahnya, khilafah atau negara Islam solusinya. Yang runyam, penyederhanaan masalah seperti ini berakibat pada ke-GR-an berlebih untuk sah mengklaim diri sebagai representasi umat Islam secara keseluruhan dan menggunakan simbol-simbol suci Islam untuk kepentingan kelompok.

Selain mustahil pasti mewakili umat Islam yang majemuk, penggunaan simbol-simbol semacam itu juga rentan disalahgunakan. Jika terjadi, yang kotor namanya bukan hanya kelompok bersangkutan melainkan citra Islam secara umum. Kita bisa belajar bagaimana islamofobia menjalar di negara-negara Barat hanya karena ulah segelintir kelompok yang menebar teror sembari mengibarkan bendera tauhid dan simbol-simbol Islam. Padahal, dalam kitab Tanbîhat al-Wâjibat, Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari juga berujar, memperalat sesuatu yang seharusnya agung untuk keperluan yang tidak semestinya adalah tindakan haram.

Ini bukan soal alergi nama Islam atau kalimat tauhid, melainkan soal pilihan sikap untuk mendudukkan simbol-simbol luhur itu dengan hati-hati dan proporsional. Dalam sejarah, di lingkungan NU pernah muncul nama Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah (pasukan Allah) untuk menyebut kelompok pejuang dari kalangan santri. Itu pun konteksnya masa-masa super-genting era penjajahan Jepang. Pascakemerdekaan, dalam suasana yang relatif damai, nama ini hilang. Sebagian anggotanya melebur dalam Tentara Nasional Indonesia.

Di NU Islam lebih banyak tampil dalam wajah kultural: maulidan, haul, pembacaan Barzanji, halal bihalal, slametan, sunatan, akikah, tahlilan, serta ibadah dan moralitas sehari-hari. Ia membumi dalam keseharian budaya dan harmoni masyarakat. Kalimat tauhid lebih sering berkibar di hati dan bibir tulus jamaah ketimbang jadi jargon politis kelompok. Kalau pun harus ada kain bertuliskan kalimat tauhid, cukuplah itu menempel di kain penutup keranda jenazah, kendaraan terakhir manusia yang entah benar-benar membawa tauhid di hatinya atau tidak. 
Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat.

Senin, 22 Oktober 2018

Hukum membakar bendera HTI

BANSER BAKAR BENDERA HTI BUKAN KALIMAT TAUCHID

Viral video Banser Garut diiringi lagu Syubbanul Wathon membakar bendera ormas terlarang yang mereka klaim bendera Rasul Ar-Rayah. Pujian mengalir deras dengan tindakan Banser tersebut meski ada sebagian kecil menghujat dan mengatakan itu adalah kebodohan.

Cacian muncul dari kelompok pecinta HTI dan sejenisnya, ada juga dari kalangan orang yang mangaku paling NU tapi kaku. Merekalah yang paling geram bendera terindikasi teroris dibakar.

Pembakaran tersebut dilakukan Banser semata-mata menjaga kalimat Tauhid agar tidak disalah gunakan, disamping menjaga keutuhan negeri dari perongrong berkedok agama yang menularkan penyakit berbentuk dogma serta anti Pancasila.

Habib Luthfi bin Yahya sangat geram jika dalam acaranya ada bendera terlarang dikibarkan, tak segan beliau memerintahkan agar segera diturunkan. Apakah Anda akan mengatakan beliau anti kalimat Tauhid? 

Tentu tidak bukan, karena eksistensinya Tauhid itu dibaca dan disimpan didalam dada bukan sekedar simbol belaka.

Maka apa yang dilakukan Banser tidaklah salah dan bukan merupakan penghinaan, tak ubahnya membakar sobekan Al-Quran sebagai kehati-hatian. Menjaga Indonesia agar terus damai, jauh dari virus kelompok yang ingin merusak tatanan kenegaraan.




SEMANTARA HTI MENGINJAK-INJAK BENDERA TAUCHID

DOSAKAH MEMBAKAR BENDERA HTI?

Bendera hitam putih yang kerap dibawa aktivis HTI merupakan simbol gerakan pemberontakan (bughat) terhadap daulah Islamiyah (NKRI). Itulah bendera Khilafah ala HTI yang terinspirasi oleh hadits-hadits Nabi Saw tentang liwa rayah. Liwa rayah merupakan bendera simbol kenegaraan kaum muslimin pada hubungan internasional saat itu. Di Indonesia umat Islam sepakat menggunakan bendera Merah Putih sebagai simbol kenegaraan mereka. Itulah liwa rayah kaum muslimin di Indonesia. Bendera pemersatu umat dari Sabang sampai Merauke.

Sebagai muslim/muslimah yang memiliki KTP, SIM dan Buku Nikah NKRI, makan minum, menggunakan mata uang Indonesia fasilitas jalan, bandara, pelabuhan, sekolah, rumah sakit, dsb udah seharusnya aktivis HTI mengusung bendera Merah Putih. Liwa rayah kita semua. Toh Nabi Saw sendiri tidak memerintahkan umatnya menggunakan liwa rayah hitam putih yang bertuliskan dua kalimat syahadat. Bukankah semua hadits tentang liwa rayah hanya bersifat khabariyah informatif tanpa ada qarinah (indikasi) wajib menggunakannya. Sesungguhnya Nabi Saw sudah tau, perihal bendera negara diserahkan kepada sepenuhnya kesepakatan umatnya.
Aksi pamer bendera HTI di wilayah NKRI menimbulkan kegaduhan, fitnah dan memecah belah umat Islam. Bukan hanya NU, Ansor dan Banser, ormas Islam lainnya pembentuk NKRI risih dengan bendera HTI. Sudah pasti tujuan HTI mendirikan Khilafah Tahririyah termasuk bughat. Setiap kegiatan dan atribut yang mengarah kepada bughat dihukumi haram. Sesuai kaidah ushul fiqih yang juga diadopsi HTI yang berbunyi: al-washilatu ila harami muharramah aw haramun.
Langkah-langkah Banser menindak peragaan bendera HTI tidak lain dan tidak bukan demi menjaga persatuan dan kesatuan umat, bangsa dan negara. Yang demikian itu sesuai dengan maqashidusy syariah yakni hifdzul umat, mujtama wa daulah. Inilah esensi dari penerapan syariah.

*Utsman Membakar al-Qur'an*

Pada saat terjadi perang irminiyah dan perang adzrabiijaan, Hudzaifah Ibnul Yaman yang saat itu ikut dalam dua perang tersebut melihat perbedaan yang sangat banyak pada wajah qiraah beberapa sahabat. Sebagiannya bercampur dengan bacaan yanag salah. Melihat kondisi para sahabat yang beselisih, maka ia melaporkannya kedapa Utsman radhiyallahu ‘anhu. Mendengar kondisi yang seperti itu, Utsman radhiyalahu ‘anhu lalu mengumpulkan manusia untuk membaca dengan qiraah yang tsabit dalam satu huruf (yang sesuai dengan kodifikasi Utsman). (lihat mabaahits fi ‘ulumil Qur’an karya Manna’ al Qaththan: 128-129. Cetakan masnyuratul ashr al hadits).
Setelah Utsman radhiyallahu ‘anhu memerintahkan kepada sahabat untuk menulis ulang al Qur’an, beliau kemudian mengirimkan al Qur’an tersebut ke seluruh penjuru negri dan memerintahkan kepada manusia untuk membakar al Qur’an yang tidak sesuai dengan kodifikasi beliau. (lihat Shahih Bukhari, kitab Fadhailul Qur’an bab jam’ul Qur’an, al Maktabah Syamilah)

Perbuatan Utsman disepakati oleh Ali Ibnu Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Beliau dengan tegas berkata:

لو لم يصنعه عثمان لصنعته

“Jika seandainya Utsman tidak melakukan hal itu maka akulah yang akan melakukannya.” (lihat al Mashahif, Bab Ittifaaqun naas ma’a Utsman ‘ala Jam’il Mushaf, hal. 177).

Mush’ab Ibnu Sa’ad berkata, “aku mendapati banyak manusia ketika Utsman membakar al Qur’an dan aku terheran dengan mereka. Dia berkata, Tidak ada seorang pun yang mengingkari/menyalahkan perbuatan Utsman. (lihat al Mashahif: 178)

Ibnul ‘Arabi berkata tentang jam’ul Qur’an dan pembakarannya, “itu adalah kebaikan terbesar pada Utsman dan akhlaknya yang paling mulia, karena ia menghilangkan perselisihan lalu Allah menjaga al Qur’an melalui tangannya. (lihat hiqbatun min at tarikh : 57 dan lihat al ‘awashim minal qawashim: 80)

Demi menjaga persatuan dan kesatuan umat dalam hal qiraat (langgam) al-Qur'an saja, para Sahabat mujma' akan kebolehan membakar mushaf yang tidak standar. Oleh karena itu Tentu saja membakar bendera HTI yang berisi dua kalimat demi menjaga persatuan dan kesatuan umat pasti boleh, bahkan wajib. Jadi tidak ada dosa seujung rambutpun perbuatan orang yang membakar bendera HTI
Hukum mebakar kayu ukiran lafal kalimah Tauchid

و يكره (إحراق خشب نقش به) أي بالقرآن، نعم إن قصد به صيانة القرآن فلا كراهة وعليه يحمل تحريق عثمان رضي الله عنه المصاحف. وقد قال ابن عبد السلام من وجد ورقة فيها البسملة ونحوها لايجعلها في شق ولا غيره لأنه قد تسقط فتوطأ وطريقه أن يغسلها بالماء أو يحرقها بالنار صيانة لاسم الله تعال عن تعرضه للامتهان

“Dimakruhkan membakar kayu yang terdapat ukiran Al-Qur’an di permukaannya. Akan tetapi, tidak dimakruhkan (membakar) bila tujuannya untuk menjaga Al-Qur’an. Atas dasar itu, pembakaran mushaf-mushaf yang dilakukan Utsman bin Affan dapat dipahami. Ibn Abdil Salam mengatakan, orang yang menemukan kertas bertulis basmalah dan lafal agung lainnya, janganlah langsung merobeknya hingga tercerai-berai karena khawatir diinjak orang. Namun cara yang benar adalah membasuhnya dengan air atau membakarnya dengan tujuan menjaga nama Allah dari penghinaan.”

SOLUSI TERHADAP MUSHAF AL-QUR'AN YANG SUDAH RUSAK/LAPUK

PERTANYAAN:
Tentang bagaimana solusinya ketika kita mendapati lembaran-lembaran Alquran atau kitab yang sudah lapuk dan menumpuk, entah itu di masjid atau mushalla atau bahkan di rumah kita. Bolehkah kita membakarnya? Atau.. apa yang harus kita lakukan? Silahkan pencerahan nya. "Terima kasih"

JAWABAN :
Menghilangkan mushaf (Al-Qur’an) dengan cara mencuci huruf-hurufnya atau membakarnya makruh jika masih memungkinkan untuk menjaganya. Namun jika tidak mampu menjaganya karena akan semakin rusak, maka boleh bahkan wajib apabila tidak ada cara menjaga kehormatannya kecuali dengan membakar atau mencucinya.
Sebagian ulama’ berpendapat, mencuci huruf-hurufnya lebih afdhol dari pada membakar dengan syarat tidak jatuh air cuciannya ke tanah. Namun sebagian ulama’ berpendapat membakarnya lebih afdhol daripada mencucinya karena sulit dihindari air cucian itu tidak jatuh ke tanah.

إعانة الطالبين – (ج 1 / ص 84)

(قوله: وتمزيقه) معطوف على تمكين أيضا.أي ويحرم تمزيق المصحف لانه ازدراء به. وقوله: عبثا أي لا لقصد صيانته. وعبارة فتاوي ابن حجر تفيد أن المعتمد حرمة التمزيق مطلقا، ونصها: سئل رضي الله عنه عمن وجد ورقة ملقاة في طريق فيها اسم الله تعالى، ما الذي يفعل بها ؟ فأجاب رحمه الله بقوله: قال ابن عبد السلام: الاولى غسلها، لان وضعها في الجدار تعرض لسقوطها والاستهانة بها. وقيل: تجعل في حائط. وقيل: يفرق حروفها ويلقيها. ذكره الزركشي. فأما كلام ابن عبد السلام فهو متجه، لكن مقتضى كلامه حرمة جعلها في حائط والذي يتجه خلافه، وأن الغسل أفضل فقط. وأما التمزيق، فقد ذكر الحليمي في منهاجه أنه لا يجوز تمزيق ورقة فيها اسم الله أو اسم رسوله، لما فيه من تفريق الحروف وتفريق الكلمة، وفي ذلك ازدراء بالمكتوب. فالوجه الثالث شاذ إذ لا ينبغي أن يعول عليه.

 

حواشي الشرواني – (ج 1 / ص 155)

قوله: (وتمزيقه) أي تمزيق الورق المكتوب فيه شئ من القرآن ونحوه شيخنا قوله: (وترك رفعه الخ) المراد منه أنه إذا رأى ورقة مطروحة على الارض حرم عليه تركها بقرينة قوله بعد وينبغي الخ وليس المراد كما هو ظاهر أنه يحرم عليه وضع المصحف على الارض والقراءة فيه ع ش وقوله: (ورقة الخ) أي فيها شئ من نحو القرآن قوله: (وينبغي أن لا يجعله الخ) وطريقه أن يغسله بالماء أو يحرقه بالنار صيانة لاسم الله تعالى عن تعرضه للامتهان شرح الروض وانظر هل المراد بالانبغاء هنا الندب أو الوجوب والاقرب الاول

 

تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج 2 / ص 147)

وَيُكْرَهُ حَرْقُ مَا كُتِبَ عَلَيْهِ إلَّا لِغَرَضِ نَحْوِ صِيَانَةٍ وَمِنْهُ تَحْرِيقُ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِلْمَصَاحِفِ وَالْغَسْلُ أَوْلَى مِنْهُ عَلَى الْأَوْجَهِ بَلْ كَلَامُ الشَّيْخَيْنِ فِي السِّيَرِ صَرِيحٌ فِي حُرْمَةِ الْحَرْقِ إلَّا أَنْ يُحْمَلَ عَلَى أَنَّهُ مِنْ حَيْثُ كَوْنُهُ إضَاعَةً لِلْمَالِ ، فَإِنْ قُلْت مَرَّ أَنَّ خَوْفَ الْحَرْقِ مُوجِبٌ لِلْحَمْلِ مَعَ الْحَدَثِ وَلِلتَّوَسُّدِ وَهَذَا مُقْتَضٍ لِحُرْمَةِ الْحَرْقِ مُطْلَقًا قُلْت ذَاكَ مَفْرُوضٌ فِي مُصْحَفٍ وَهَذَا فِي مَكْتُوبٍ لِغَيْرِ دِرَاسَةٍ أَوْ لَهَا وَبِهِ نَحْوُ بِلًى مِمَّا يُتَصَوَّرُ مَعَهُ قَصْدُ نَحْوِ الصِّيَانَةِ وَأَمَّا النَّظَرُ لِإِضَاعَةِ الْمَالِ فَأَمْرٌ عَامٌّ لَا يَخْتَصُّ بِهَذَا عَلَى أَنَّهَا تَجُوزُ لِغَرَضٍ مَقْصُودٍ وَلَا يُكْرَهُ شُرْبُ مَحْوِهِ ، وَإِنْ بَحَثَ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ حُرْمَتَهُ
 

حواشي الشرواني – (ج 1 / ص 155)

قوله: (ما كتب الخ) أي من الخشب نهاية ومغني أي مثلا فالورق كذلك قليوبي قوله: (إلا لغرض نحو صيانة) أي فلا يكره بل قد يجب إذا تعين طريقا لصونه وينبغي أن يأتي مثل ذلك في جلد المصحف أيضا ع ش قوله: (والغسل أولى منه) أي إذا تيسر ولم يخش وقوع الغسالة على الارض وإلا فالتحريق أولى بجيرمي عبارة البصري قال الشيخ عز الدين وطريقه أن يغسله بالماء أو يحرقه بالنار قال بعضهم إن الاحراق أولى لان الغسالة قد تقع على الارض انتهى ابن شهبة اه

 

فتح المعين – (ج 1 / ص 84)
ويكره حرق ما كتب عليه إلا لغرض نحو صيانة، فغسله أولى منه.
 

أسنى المطالب – (ج 1 / ص 335)
قَوْلُهُ : صِيَانَةً لِاسْمِ اللَّهِ تَعَالَى عَنْ تَعَرُّضِهِ لِلِامْتِهَانِ ) ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ : إنَّ الْإِحْرَاقَ أَوْلَى مِنْ الْغُسْلِ لِأَنَّ الْغُسَالَةَ قَدْ تَقَعُ عَلَى الْأَرْضِ .وَقَالَ الْحَلِيمِيُّ فِي الْمِنْهَاجِ : لَا يَجُوزُ تَمْزِيقُ الْوَرَقَةِ الَّتِي فِيهَا اسْمُ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ اسْمُ رَسُولِهِ لِمَا فِيهِ مِنْ تَقْطِيعِ الْحُرُوفِ وَتَفْرِيقِ الْكَلِمَةِ لِمَا فِيهِ مِنْ إزْرَاءِ الْمَكْتُوبِ ( قَوْلُهُ : بِخِلَافِ ابْتِلَاعِ قِرْطَاسٍ



 BANSER DI TENGAH PUSARAN PERTEMPURAN SHIFFIN

Kaum pemberontak yg dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sufyan tak menyangka jika pasukan Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib dg mudah dpt menghancurkannya.
Di tengah situasi terdesak itu, Muawiyah menyuruh seluruh pasukannya utk menancapkan mushaf al-Quran di ujung tombak dan pedang2 mereka.
Keadaan itu membuat pasukan Ali menjadi gamang dan ragu. Sebagian menghendaki pertempuran yg sdh berada di ujung kemenangan dilanjutkan sampai akhir. Namun sebagian yg lain menyerukan kpd Ali utk menghentikan pertempuran.
Ali memahami siasat busuk dan licik kubu Muawiyah, yg menggunakan al-Quran sbg tipu daya dan topeng politik. Ali segera berteriak kpd pasukannya,
"Mereka mengangkat al-Qurann, tapi tdk utk mengamalkannya. Itu hanya tipu daya mrk, dan sekaligus perangkap utk kalian. Pinjamilah aku tangan2 dan kepala2 kalian sebentar saja, niscaya kebenaran akan mencapai sasarannya, dan orang2 dzalim ini akan segera aku musnahkan..!"
Pertanyaannya, apakah sikap Amirul Mukmini Ali r.a ini bisa dianggap sbg sikap melawan al-Quran? Bahkan, andai Ali melanjutkan pertempuran dan menebas pedang2 dan tombak2 musuh yg di ujungnya tertancap mushaf bisa dipandang sbg pelecehan terhadap al-Quran?
Jawabannya adalah tegas: Tidak..!
Dan ketika Ali menuruti keinginan mrk utk menghentikan pertempuran dan menerima tahkim (perundingan), kelompok ini justru memusuhi Ali dan menumpahkan segala kekalahan dlm tahkim di pundak Ali.

Inilah kaum Khawarij yg ekstrem dan biadab itu. Bahkan mrk tdk segan2 menggunakan simbol agama dan seruan "La Hukma Illallah" utk menyerang Ali. Tapi dg tepat Ali menyanggahnya, "Sungguh itu adalah kalimat yg haq, tapi sayang digunakan utk tujuan yg batil".
Sejarah di atas adalah sebuah ilustrasi yg sangat baik utk menggambarkan situasi yg dihadapi Banser dlm menumpas gerakan bughat seperti HTI.

HTI ibarat pasukan Muawiyah dlm Pertempuran Shiffin, dan merepresentasikan karakter Khawarij dlm menggunakan simbol2 suci agama sbg kedok dlm gerakan politik.
Bagi Banser yg sdh sangat paham dg sejarah Perang Shiffin, mrk tak mau melihat negara kalah oleh kegiatan kaum bughat. Banser sangat menyadari, bhw yg dilakukan simpatisan HTI adalah tindakan provokasi utk memancing kemarahan Banser.
HTI melakukan gerakan politik dg berlindung di balik simbol kalimat tauhid. Kita tdk boleh terkecoh dg kegiatan mrk.


Rame bab bendera. Sudut pandang yg faqir ini .
Jangan kan bendera, masjid saja Rasulullah robohkan Masjid al Dhira(Masjid yg berbahaya atau saingan)

مسجد الضرار‎


juga disebut sebagai Masjid Munafik atau Masjid Pembangkang disebutkan dlm al Quran. Masjid Dhirar adalah sebuah masjid yg dibina oleh penduduk Madinah yg didirikan tak jauh dari Masjid Quba. Masjid tersebut pada mulanya diakui oleh baginda Nabi Muhammad saat dalam perjalanan untuk Perang Tabuk tetapi selepas kepulangan beliau, baginda mengarahkan masjid tersebut untuk dihancurkan. Peristiwa ini terjadi pada Oktober 630 M, beliau menerima wahyu (disebut di dalam al Quran Surah At Taubah ayat 107 dan 110, 7,8,9) yg menyebabkan masjid tersebut dimusnahkan. Surat At Taubah 107

والذين اتخذوا مسجدا ضِرارا وكفرا وتفريقا بين المؤمنين وإرصادا لمن حارب الله ورسوله من قبل وليحلفن إن أردنا إلا الحسنى والله يشهد إنهم لكاذبون

Dan (di antara orang² munafik itu) ada orang² yg mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang² mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang² mukmin serta menunggu kedatangan orang² yg telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan". Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).
Karenanya, masjid tersebut dikenal pula sebagai Masjid Pembangkang.

Menurut Syeikh Dr Muhammad Sa’id Ramadhan Buthy dalam "Fiqhus Sirah", kisah masjid ini merupakan puncak tipu daya orang² munafik kepada Nabi Muhammad , maka, baginda kemudian mengambil tindakan tegas berdasarkan wahyu dari Allah.

ISLAM ITU AGAMA DALIL BUKAN KEJANG KEJANG KESURUPAN APALAGI PARA ANGGOTA NYA ORMAS TERLARANG HARI DAN SIMPATISAN NYA
 

Ulama Malikiyah berpendapat haram karena akan menyebabkan kalimat -kalimat tersebut diremehkan .
Dalam kitab Al- Mausu ’ah Al -Kuwaitiyah penjelasanya sebagai berikut :



ﺫﻫﺐ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻭﺑﻌﺾ ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﺇﻟﻰ ﻛﺮﺍﻫﺔ ﻧﻘﺶ ﺍﻟﺤﻴﻄﺎﻥ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﺨﺎﻓﺔ ﺍﻟﺴﻘﻮﻁ ﺗﺤﺖ ﺃﻗﺪﺍﻡ ﺍﻟﻨﺎﺱ ، ﻭﻳﺮﻯ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﺣﺮﻣﺔ ﻧﻘﺶ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﺍﺳﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻴﻄﺎﻥ ﻟﺘﺄﺩﻳﺘﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻻﻣﺘﻬﺎﻥ

“ Ulam Syafiiyah dan sebagian ulama Hanafiyah berpendapat terhadap kemakruhan mengukir ( menulis) dinding dengan Al -Quran karena dikhawatirkan jatuh di bawah kaki manusia karena akan menyebabkan nantinya disepelekan.”
 

Apabila terlanjur ditulis pada benda tersebut , maka para ulama menyarankan dua tindakan untuk menjaga dan memuliakan kalimat -kalimat tersebut .
Pertama, kalimat -kalimat tersebut dihapus dengan air atau lainnya.
Kedua, benda tersebut dibakar dengan api.

Monggo di cerna klo bendera itu hanya jd kedok syahwat se gol orang .

Wallahu a'lam.

Semoga bermanfaat.