Minggu, 07 September 2014

Ziarah ke makam Nabi Muhammad

ZIARAH KE MAKAM RASULULLAH (Bantahan terhadap Wahabi yang menganggapnya sebagai perjalanan maksiat
Sebagian orang yang mengaku dirinya sebagai ulama mengklaim bahwa melakukan perjalanan (safar) dengan tujuan ziarah ke makam nabi atau wali adalah maksiat yang haram dilakukan. Pernyataan ini sama sekali tidak berdasar. Bahkan bertentangan dengan ijma' (kesepakatan para ulama) dari kalangan madzhab yang empat dan juga ulama selain madzhab empat. Yakni ulama sejati yang dapat dipercaya fatwa-fatwa mereka.

Ziarah ke makam nabi hukumnya adalah sunnah. Baik bagi orang yang berdomisili di Madinah maupun bagi mereka yang tinggal jauh dari Madinah. Tegasnya, menempuh perjalanan dari luar kota Madinah ke Madinah dengan niat hanya berziarah ke makam beliau adalah sunnah dan sudah barang tentu pelakunya mendapat pahala dari Allah 'azza wajalla.

Banyak hadits dan atsar yang bisa dijadikan dalil atas hal ini. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, ath-Thabarani dalam al Mu'jam al Kabir dan al Awsath dan al Hakim dalam Mustadrak-nya bahwasanya "pada suatu hari datang Marwan (Marwan ibn al Hakam, salah seorang khalifah bani Umayyah). Dia mendapati seseorang meletakkan wajahnya di atas makam Rasulullah (karena rindu dan ingin memperoleh berkah dari beliau). Marwan menghardik orang itu: "Tahukah kamu apa yang sedang kamu perbuat ?", lalu orang itu menoleh dan ternyata dia adalah Abu Ayyub al Anshari (salah seorang sahabat nabi) kemudian berkata: "Ya, aku mendatangi Rasulullah dan aku tidak mendatangi sebongkah batu, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda: "Jangan tangisi agama ini jika ia dikendalikan oleh ahlinya, tetapi tangisilah agama ini apabila ia dikendalikan oleh yang bukan ahlinya". Maksudnya, Anda, wahai Marwan tidak layak menjadi khalifah.

Ibn Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:

"مَنْ جَاءَنِيْ زائِرًا لاَ يَهُمُّهُ إلاَّ زِيَارَتِيْ كَانَ حَقًّا عَلَيَّ أنْ أكُوْنَ لَهُ شَفِيْعًا" (رَوَاهُ الطَّبَرَانِي)

Maknanya: "Barangsiapa mendatangiku untuk berziarah, tidak ada tujuan lain kecuali ziarah (ke makam) ku maka sungguh menjadi hak bagiku untuk memberikan syafa'at kepadanya"
(H.R. ath-Thabarani dan dishahihkan oleh al Hafidz Sa'id ibn as-Sakan dalam as-Sunan as-Shihah; kitab yang beliau karang khusus memuat hadits-hadits yang disepakati kesahihannya, seperti halnya Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim, lihat: Ithaf as-Sadah al Muttaqin karya al Hafizh az-Zabidi, juz IV, hlm. 416).

Dalam hadits lain, beliau bersabda:

"مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ" (رَوَاهُ الدَّارَ قُطْنِيّ)

Maknanya: “Barangsiapa berziarah ke makamku maka pasti akan memperoleh syafa'atku". (H.R. ad-Daraquthni, dan adz-Dzahabi berkomentar: "Hadits ini menjadi kuat dengan adanya jalur sanad yang berbeda-beda", lihat: Manahil ash-Shafa fi Takhrij Ahadits asy-Syifa karya  as-Suyuthi, hlm. 308).


Dalam kitab Wafa' al Wafa, juz IV, hlm. 1045, as-Samhudi meriwayatkan bahwa  Bilal ibn Rabah ketika berada di daerah Syam bermimpi melihat Rasulullah bersabda kepadanya: "Sudah lama engkau tidak mengunjungiku wahai Bilal...!" (Ma hadzihi al jafwah). Ketika terjaga dari tidurnya, Bilal langsung menaiki hewan tunggangannya dan bergegas menuju Madinah. Setelah sampai di makam Rasulullah, ia meneteskan air mata dan membolak-balikkan wajahnya di atas tanah makam Rasulullah ".

Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

" لَيَهْبَطَنَّ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَدْلاً وَإِمَامًا مُقْسِطًا وَلَيَسْلُكَنَّ فَجًّا حَاجًّا أوْ مُعْتَمِرًا أوْ بِنِيَّتِهِمَا وَلَيَأْتِيَنَّ قَبْرِيْ حَتَّى يُسَلِّمَ عَلَيَّ وَلأرُدَنَّ عَلَيْه "  رَوَاهُ الحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ الذَّهَبِيّ 

Maknanya: “Sungguh, Isa ibn Maryam akan turun menjadi penguasa dan Imam yang adil, dia akan menempuh perjalanan untuk pergi haji atau umrah atau dengan niat keduanya dan sungguh, dia akan mendatangi makamku sehingga berucap salam kepadaku dan aku pasti akan menjawabnya" (diriwayatkan oleh al Hakim dalam al Mustadrak dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi).


Al Hafizh 'Abdurrahman ibn al Jawzi mengisahkan dalam kitabnya, al Wafa bi Ahwaal al Musthafa dan kisah ini juga dituturkan oleh al Hafizh adl-Dliya' al Maqdisi bahwa Abu Bakr al Minqari berkata: "Adalah aku, ath-Thabarani dan Abu asy-Syaikh berada di Madinah. Kami dalam suatu keadaan dan kemudian rasa lapar melilit perut kami, pada hari itu kami tidak makan. Ketika tiba waktu Isya', aku mendatangi makam Rasulullah dan mengadu: “Wahai Rasulullah! lapar...lapar”, lalu aku kembali. Abu as-Syaikh berkata kepadaku: "Duduklah, (mungkin) akan ada rizqi atau (kalau tidak, kita akan) mati". Abu Bakr melanjutkan kisahnya: "Kemudian aku dan Abu asy-Syaikh beranjak tidur sedangkan ath-Thabarani duduk melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah seorang 'Alawi (sebutan bagi orang yang memiliki garis keturunan dengan Ali dan Fatimah) lalu ia mengetuk pintu dan ternyata ia ditemani oleh dua orang pembantu yang masing-masing membawa panci besar yang di dalamnya  ada banyak makanan. Maka kami duduk lalu makan. Kami mengira sisa makanan akan diambil oleh pembantu itu, tapi ternyata ia meninggalkan kami dan membiarkan sisa makanan itu ada pada kami. Setelah kami selesai makan, 'Alawi  itu berkata: "Wahai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah?, sesungguhnya aku tadi mimpi melihat beliau dan beliau menyuruhku untuk membawakan sesuatu kepada kalian". Dalam kisah ini, secara jelas dinyatakan bahwa menurut mereka, mendatangi makam Rasulullah untuk meminta pertolongan (al Istighatsah) adalah boleh dan baik. Siapapun mengetahui bahwa mereka bertiga (terutama, ath-Thabarani, seorang ahli hadits kenamaan) adalah ulama–ulama besar Islam. Dan kalau mau ditelusuri, banyak sekali cerita–cerita semacam ini .

Dalam kitab asy-Syifa bi Ta'rif Huquq al Mushthafa, al Qadli 'Iyadl menulis: "Ketika khalifah al Manshur menunaikan ibadah haji lalu ziarah ke makam Rasulullah, ia bertanya kepada Imam Malik (guru Imam Syafi'i): "Aku menghadap kiblat dan berdo'a ataukah aku menghadap (makam) Rasulullah?". Imam Malik menjawab: "Kenapa anda memalingkan wajah dari beliau sedangkan beliau adalah wasilah anda dan wasilah bapak anda, Adam ‘alayhissalam ?, menghadaplah kepada beliau dan berdo'alah kepada Allah agar anda memperoleh syafa'at dari beliau, niscaya Allah akan menjadikan beliau pemberi syafaat bagi anda". Cerita ini adalah shahih tanpa ada perselisihan pendapat, sebagaimana yang dikatakan Imam Taqiyyuddin al Hushni (lihat: Daf'u Syubah man Syabbaha wa Tamarrada, hlm. 74 dan 115).

Dalam kitab Tuhfah Ibn 'Asakir, sebagaimana dikutip oleh as-Samhudi dalam Wafa' al Wafa, juz IV, hlm. 1405 bahwa ketika Rasulullah dimakamkan, Fatimah datang kemudian berdiri di samping makam beliau lalu mengambil segenggam tanah dari makam dan ia letakkan (sentuhkan) tanah itu ke matanya kemudian ia menangis…".

Dalam kitab al Ilal wa Ma'rifat ar-Rijal, juz II, hlm. 35, dituturkan bahwa aku (Abdullah, putra Ahmad ibn Hanbal) bertanya kepadanya (kepada ayahnya, Imam Ahmad) tentang orang yang menyentuh mimbar nabi dengan niat agar mendapatkan berkah dengan menyentuh dan menciumnya, dan melakukan hal yang sama atau semacamnya terhadap makam Rasulullah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah 'azza wajalla.  Imam Ahmad menjawab: "Tidak mengapa (la ba'sa bi dzalik)".

Lebih dari itu, para ulama dalam kitab-kitab karangan mereka telah menjelaskan bahwa ziarah ke makam Rasulullah hukumnya adalah sunnah dan selalu disebutkan dalam rangkaian manasik haji (lihat kitab-kitab fiqh tentang manasik haji seperti al Idlah karya an-Nawawi, at-Tadzkirah karya Ibn 'Aqil al Hanbali dan lain-lain). Dan hukum kesunnahan itu adalah ijma'. Di antara mereka yang menegaskan hal tersebut adalah Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam kitab Syifa' as-Saqam Fi Ziyarah Khair al Anam, hlm. 65-66, al Qadli 'Iyadl al Maliki dalam karyanya asy-Syifa bi Ta'rif Huquq al Mushthafa juz II, hlm. 83, Imam an-Nawawi dalam Matn al 'Idlah fi al Manasik, hlm. 156, beliau mengatakan tentang ziarah ke makam Rasulullah:

"فَإِنَّهَا مِنْ أهَمِّ القُرُبَاتِ وَأنْجَحِ المَسَاعِي" 

Maknanya: “Ia tergolong hal terpenting untuk mendekatkan diri kepada Allah dan termasuk usaha paling sukses (baik)".


Selanjutnya adalah al Hafizh adl Dliya' al Maqdisi dalam Fadlail al A'mal, hlm. 108, beliau menuturkan beberapa hadits sebagai dalil penguat hal itu, di antaranya:

          "مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِيْ بَعْدَ وَفَاتِي فَكَأنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي" 

Maknanya: “Barangsiapa pergi haji kemudian ziarah ke makamku setelah aku wafat maka seakan-akan ia telah mengunjungiku sewaktu aku masih hidup".


Ulama lain yang menyatakan kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah adalah al Hafizh Ibn Hajar al 'Asqalany dalam Fath al Bari juz III, hlm. 65-66, Syekh Taqiyyuddin al Hushni (pengarang Kifayatul Akhyar) dalam kitabnya Daf'u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada hlm. 94-95, al Hafizh Abu Zur'ah al 'Iraqi dalam Tharh at-Tatsrib Fi Syarh at-Taqrib hlm. 43, Syekh Ibn Hajar al Haytami dalam al Jawhar al Munazhzham Fi Ziyarah al Qabr asy-Syarif an-Nabawi al Mukarram hlm. 27-28 dan masih banyak lagi yang lain.

Seseorang yang berziarah ke makam Rasulullah dianjurkan untuk berdo'a di sana, sebagaimana hal itu disebutkan oleh ulama-ulama empat madzhab. Di antaranya adalah Imam Abu Abdillah as-Samiri dalam al Mustaw'ab, an-Nawawi dalam al 'Idlah, Abu Mansur al Kirmani al Hanafi dan lain-lain (lihat nama-nama dan pernyataan mereka mengenai hal ini dalam Daf'u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada, hlm. 115-116).

Terakhir, penting untuk diketahui bahwa ziarah ke makam Rasulullah atau ke makam orang-orang shaleh lainnya bukan berarti menyembah mereka. Mereka hanyalah wasilah (perantara) kita kepada Allah dalam berdo'a. Karenanya, al Imam Syamsuddin Ibn al Jazary —seorang imam besar dalam hadits dan ilmu qira'at—menyatakan:

"مِنْ مَوَاضِع إجَابَةِ الدُّعَاءِ قُبُوْرُ الصَّالِحِيْنَ" 

Maknanya: “Termasuk tempat yang sering menyebabkan do'a terkabul adalah kuburan orang-orang yang shaleh". (al Hishn al Hashin dan 'Uddah al Hishn al Hashin).


Kalau ada orang yang berziarah ke suatu makam dengan niat menyembah orang yang ada dalam makam atau dengan membawa keyakinan bahwa si mayit bisa mendatangkan manfaat atau menolak bahaya dengan sendirinya tanpa seizin Allah, tentu saja, dia adalah musyrik.

Tips
Buat saudara2 muslim yg berniat ziarah ke makam Nabi kita yg kita cintai Muhammad Saw, ketika berdoa di depan makam Nabi Saw jangan kalian angkat tangan kalian...karena akan diusir oleh polisi syariat di sana. Lebih baik berdoanya di dalam hati sambil buka al-Qur'an supaya tidak diusir polisi syariat...(Sekedar tips)

Ziarah ke Makam Nabi Muhammad Saw.

Berikut adalah hujjah perihal absahnya ziarah ke makam Rasulullah Saw. oleh KH. Ali Ma’shum Krapyak Yogyakarta.

A. Pendahuluan
Pada suatu ketika Nabi Muhammad Saw. membaca ayat berisi keluhan Nabi Isa As.:

إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ ۖ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka itu hambaMu. Dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa Maha Bijaksana.” (QS. al-Maidah ayat 118).

Dan beliau membaca lagi ayat berisi keluhan Nabi Ibrahim As.:

رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ ۖ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي ۖ وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia. Barangsiapa yang mengikutiku maka ia termasuk golonganku, dan barangsiapa mendurhakaiku maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun Maha Penyayang.” (QS. Ibrahim ayat 36).

Lalu Nabi Muhammad Saw. berdoa mengangkat kedua tangannya dan bersabda:

اَلّلهُمَّ أُمَّتِي
“Ya Allah, umatku…”

Beliau Saw. bersujud dan menangis (benar-benar memohon dikabulkannya dari Allah Swt.). Selanjutnya. Allah Maha Mendengar doa keluhan itu dan mengutus Malaikat Jibril untuk menanyakan apa sebab Nabi Muhammad Saw. menangis. Setelah Malaikat Jibril melakukan tugas lalu melaporkan kembali kepada Allah Ta’ala. Lalu Allah memerintahkan kembali Malaikat Jibril untuk menyampaikan keputusanNya kepada Nabi Saw.:

  إِنَّا سَنُرْضِيْكَ فِي أُمَّتِكَ وَلاَ نَسُوْءُكَ
“Sesungguhnya Aku meluluskan kerelaanmu buat umatmu, dan Aku tidak menimpakan kejelekan atasmu.” (HR. Muslim).

Melihat kisah tersebut kita mengetahui betapa besar tanggung jawab Nabi Saw. untuk menyelamatkan umatnya, kaum muslimin. Dan betapa besar anugerah Allah Swt. yang dilimpahkan kepada kita lantaran permohonan beliau Saw. itu.

Nabi Muhammad Saw. benar-benar agung jasanya buat kita bahkan terlalu agung. Tidakkah kita perlu membalas jasanya itu? Dalam batas yang paling kecil saja, misalnya; seberapa besar kecintaan (mahabbah) kita  kepada Nabi Saw.?

Mahabbah kepada Nabi Saw. adalah pertanda keimanan. Nabi Saw. pernah mendoakan Sayyidina Harmalah bin Yazid yang datang menghadapnya:

اَلّلهُمَّ اجْعَلْ لَّهُ لِسَانًا صَادِقًا وَقَلْبًا شَاكِرًا وَاْرزُقْهُ حُبِّي وَ حُبَّ مَنْ يُحِبُّنِي
“Ya Allah jadikanlah lisan Harmalah berkata jujur, hatinya syukur, dan anugerahilah kecintaannya kepadaku dan kepada sekalian orang yang mencintaiku.” (HR. ath-Thabarani).

Dari hadits ini bisa kita petik suatu hikamah, yaitu betapa besarnya nilai mahabbah kepada Nabi Saw.

Mahabbah atau rasa cinta bukanlah sekedar diucapkan dengan lisan. Tetapi yang terpenting adalah sikap hati. Setelah hati cinta, maka lisan akan menyatakan dan dengan sendirinya perbuatan anggota badan akan siap mengabdi dan berkorban. Apabila kita benar-benar mencintai Nabi Saw., maka hati kita selalu tertambat pada beliau, lisan kita selalu menyebut asma beliau, dan kita kerahkan diri kita untuk memenuhi petunjuk beliau.

Tuntutan rasa cinta murni tidak sekedar begitu. Tetapi kita selalu ingin duduk berdampingan, melihat beliau dan mengunjungi kediaman beliau. Seperti inilah cinta yang sejati. Hal ini tidak beda dari sebait syair yang digubah oleh seseorang yang mencintai Nona Laila:

أَرَاْلأَرْضَ تُطْوَى لِي وَ يَدْ نُوْ بَعِيْدُهَا # وَكُنْتُ إِذَا مَا جِئْتُ ليلي أَزُرُوْهَا
“Dan jika aku berkunjung kepada Laila, kurasakan sang bumi terlipat kecil, jarak jauh terasa dekat.”

Dengan demikian kita bisa mengukur seberapa kadar mahabbah kita kepada Nabi Muhammad Saw. Berapa menit sehari hati kita tertambat kepada Nabi Saw.? Berapa puluh kali sehari lisan kita membaca Shalawat Nabi? Dan berapa banyak tuntunan Nabi Saw. telah kita kerjakan? Demikian pula, berapa kali kita telah mengunjungi Nabi Saw. –tempat kediaman Nabi Saw.? Atau berapa kali kita telah niat untuk ziarah kepada Nabi Saw, dan seterusnya?

B. Ziarah Ke Makam Nabi Muhammad Saw.
Ziarah makam Nabi Saw. adalah salah satu bentuk ekspresi rasa mahabbah kepada beliau. Selain itu, Nabi Saw. sendiri telah bersabda:

مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِى بَعْدَ وَفَاِتي فَكَأنَّمَا زَارَنىِ فِى حَيَاتى
“Barangsiapa berhaji lalu ziarah ke kuburku setelah wafatku, maka bagaikan ia mengunjungiku saat masih hidupku.” (HR. al-Baihaqi, ath-Thabarani dan lainnya).

مَنْ زَارَ قَبْرِى وجبت له شفِاعتى
“Barangsiapa ziarah ke kuburku, maka pastilah ia mendapat syafaatku.” (HR. al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).

مَنْ جَاءَنِى زَائِراً لَايَعْلَمُ حَاجَةً إِلاَّزِيَارَتِى كَانَ حَقًّا عَلَيَّ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ شَفِيْعًا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
“Barangsiapa berziarah kepadaku dan hanya itu saja keperluannya, maka kewajiban atasku untuk mensyafaatinya di hari kiamat.” (HR. ath-Thabarani dan ad-Daruquthni).

Demikianlah tiga dalil hadits secara tegas menerangkan keutamaan ziarah ke makam Nabi Saw. Dalam hadits berikut bisa kita ketahui adanya anjuran untuk kita melakukannya:

مَامِنْ أَحَدٍ مِنْ اُمَّتِي لَهُ سَعَةٌ ثُمَّ لَمْ يَزُرْنِى فَلَيْسَ لَهُ عُدْرٌ
“Tak seseorangpun dari umatku yang telah berkesempatan (untuk ziarah) kemudian tidak mau melakukan ziarah kepadaku, melainkan tiada lagi alasan baginya.” (HR. Ibn Najjar).

C. Keutamaan Ziarah Ke Makam Nabi Muhammad Saw.
Dari hadits di atas telah kita ketahui bahwa ziarah ke makam Nabi Muhammad Saw. adalah sama utamanya dengan ziarah kepada Nabi Saw. sewaktu hidupnya. Dalam hadits lainnya dikatakan:

لاَتُشَدُّالرَّجَلُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةٍ مَسَاجِدَ : المَسْجِدِ الحَرَامِ  وَمَسْجِدِي هَذَا، والمَسْجِدِاْلأَقْصَى
“Tidak perlu mengadakan pemberangkatan kecuali untuk menuju tiga masjid; Masjid al-Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi) dan Masjid al-Aqsha.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menegaskan bahwa ada tiga masjid yang mempunyai keutamaan. Selain yang tiga itu tingkat keutamaannya sama saja; masjid besar terletak di kota besar dan dihuni oleh orang-orang besar, tingkat keutamaannya sama saja dengan masjid kecil di kota kecil dibangun dan dihuni oleh orang-orang kecil.

  1. Masjid al-Haram di Makkah mempunyai keutamaan shalat di dalamnya bernilai 100.000 kali lipat. Keutamaan ini adalah merupakan pancaran dari keagungannya sebagai Baitullah dan di sini pula terletak Ka’bah yang menjadi kiblat kaum Muslimin. 
  2. Masjid al-Aqsha di Palestina mempunyai keutamaan shalat di sana bernilai 500 kali lipat. Keutamaan ini adalah merupakan pancaran dari keagungannya sebagai masjid tempat peribadahan para nabi Bani Israel. Dan bahkan di sini pula mereka disemayamkan. 
  3. Masjid Nabawi mempunyai keutamaan shalat di dalamnya bernilai 1000 kali lipat, yaitu dua kali keutamaan Masjid al-Aqsha. Keutamaan ini adalah merupakan pancaran dari keagungannya sebagai masjid yang dibangun oleh Nabi Saw., tempat beribadahnya Nabi Saw., pusat pennyiaran Islam di hari-hari pertamanya, dan bahkan di situ pula Nabi Saw. dikuburkan. Jadi keutamaan yang besar yang dimiliki Masjid Nabawi adalah semata-mata karena diri Nabi Saw. Nabi Saw. lah yang menjadi sumber keutamaan masjid tersebut. Kalau bukan karena Nabi Saw. ada di situ, maka niscaya sama saja dengan masjid-masjid yang lain.
Sekarang kita sudah mengetahui Masjid Nabawi mempunyai keutamaan sebesar itu dikarenakan ada Nabi Saw. Hal ini berarti sumber keutamaannya adalah Nabi Saw. dan Masjid Nabawi tersebut dapat menimbulkan curahan rahmat dan berkah bagi orang yang mengunjunginya dan beribadah di dalamnya.

Ada satu pertanyaan dari sekelompok orang yang salah memahami dalil bahwa: “Memang benar ziarah ke Masjid Nabawi akan memperoleh berkah, tetapi ziarah ke makam Nabi yang menjadi sumber berkah masjid tersebut justru tidak memperoleh berkah, dan bahkan dilarang melakukannya.”

Menurut pembaca risalah ini, benarkah logika kaum yang salah paham tersebut? Kami yakin, Anda sepakat dengan kami dan bahwa logika sekelompok orang itu salah. Anak yang baru tingkat ibtidaiyyah (SD) pun akan mampu menunjukkan kesalahan logika tersebut.

Syaikh Abu Said al-Hammami, seorang ulama al-Azhar Mesir, menilai bahwa logika itu hanya mungkin diucapkan oleh:

المَجَانِيُن اْلَّذِيْنَ لاَيَعُوْنَ مَا يَقُوْلُوْنَ أَوْ يَقُوْلُهُ عَدَوُّالإِسْلاَمَ وَرَسُوْلِ اْلإِسْلاَمِ
“Orang-orang gila yang tidak paham lagi perkataannya sendiri atau perkataan itu dikemukakan oleh musuh Islam dan musuh Rasulullah Saw.” (Lihat dalam Ghauts al-‘Ibad halaman 105 karya Syaikh Abu Yusuf al-Hammami, cet. Isal Babil Halabi, Mesir, tahun 1350 H).

D. Ada yang Salah Paham
Seperti telah kami singgung di atas ada sekelompok orang yang melarang untuk ziarah ke makam Nabi Saw. Mereka berdalil pada hadits:

لاَتُشَدُّالرَّجَلُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةٍ مَسَاجِدَ : المَسْجِدِ الحَرَامِ  وَمَسْجِدِي هَذَا، والمَسْجِدِاْلأَقْصَى
“Tidak perlu mengadakan pemberangkatan kecuali untuk menuju tiga masjid; Masjid al-Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi) dan Masjid al-Aqsha.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Kami merasa aneh bin ajaib. Mengapa hadits tersebut dikatakan menunjukkan adanya larangan ziarah ke makam Nabi Saw.? Uraian lebih lanjut dan lebih lengkap terlalu panjang ditulis di sini. Kami persilakan Anda membaca buku kami yaitu “Hujjatu Ahlissunnah wal Jama’ah” halaman 27-35.

Untuk menambah keterangan, dalam kitab asy-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Mushthafa, al-Qadhi Iyadh menyatakan bahwa ziarah makam Nabi Saw. adalah merupakan keutamaan dan hal itu telah menjadi ijma’ seluruh kaum Muslimin. Demikian, Wallahu A’lam. (Diedit ulang dari catatan Ustadz Muhammad Yusuf Anas, MA Unggulan Al-Imdad).

Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 22 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar