Bagian 2. Baca bagian Pertama : (Mengapa Indonesia Bukan Khilafah ? (Bagian 1)). Berikut lanjutannya :
Pertanyaannya adalah: “Apa itu Khilafah? Apa benar Khilafah itu sebuah
sistem yang diharuskan oleh Rasulullah Saw. untuk kita terapkan?”
Khilafah itu bentuk mashdar dari Khalafa-Yakhlufu (خلف – يخلف), yang artinya mengikuti. Di dalam al-Quran kata ‘khilafah’ dipakai dalam bentuk isim fa’il; Khalifah, artinya orang yang mengikuti atau orang yang diberikan kewenangan. Maka kalau kita lihat dalam QS. al-Baqarah ayat 30:
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Tetapi makna khalifah di sini adalah hamba Allah yang menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan amanah yang Allah berikan; sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Lalu di dalam QS. Shad ayat 26, Allah menyebut kata khalifah untuk menunjukkan tugas yang dijalankan oleh Nabi Daud As.:
یا داوُدُ إِنَّا جَعَلْناکَ خَلِیفَةً فِی الْأَرْضِ
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa, penerus amanah Allah yang telah Allah titipkan pada para nabi sebelumnya) di muka bumi.”
Nah, kalau kita lihat kata khalifah atau khilafah di dalam al-Quran tidak menunjuk kepada sistem pemerintahan. Kenapa? Karena al-Quran diturunkan bukan untuk bikin negara. Tidak ada kewajiban bagi setiap Muslim di muka bumi ini untuk mendirikan Negara Islam.
Bahkan Partai Masyumi, yang sering disebut-sebut sebagai partai yang berambisi untuk mendirikan Negara Islam, melalui keterangan resmi dari sekjennya, Almarhum H. Anwar Haryono, mengatakan: “Dengan usaha Masyumi mempertahankan 7 kata di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar dan 7 kata di dalam sila pertama Pancasila, jangan diartikan bahwa Masyumi ingin mendirikan Negara Islam di Indonesia.”
Pernyataan ini bisa dibaca dalam buku yang ditulis olehnya, berjudul ‘Politik Bangsa Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan”. Statemen itu menunjukkan bahwa memang Islam itu ada bukan untuk mendirikan negara. Saya kira ucapan dari Masyumi itu senafas dengan semangat yang diusung oleh para kyai pendiri Nahdlatul Ulama, bahwa: “Islam itu ada, bukan untuk mendirikan negara.”
Tetapi, kalau kita lihat dengan perkembangannya sekarang ini justru informasi-informasi tentang Sirah Nabawiyyah (perjalanan Nabi Muhammad Saw.) dan juga terjemahan-terjemahan al-Quran, dimanipulasi oleh kelompok tertentu lalu diarahkan pada satu kesimpulan bahwa: “Kalau sudah ngaji, kita mendirikan negara sesuai dengan isi pengajian.” Nah ini kan berbahaya, karena:
1. Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk selalu berpegang pada komitmen (perjanjian).
Disebutkan dalam QS. al-Maidah ayat 1:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah (peganglah) aqad-aqad (perjanjian) itu”. Dalam konteks yang lebih sederhana, perjanjian itu deperti hutang-piutang, komitmen kerja, kontrak kerja. Maka kita harus memegang komitmen. Kalau misalnya kontrak kerja kita dari jam 7 sampai jam 5, maka kita konsiten melaksanakan pekerjaan harus dari jam 7 sampai jam 5.
Dalam konteks yang lebih makro (luas) lagi adalah taat terhadap konstitusi. Karena konstitusi (Undang-Undang Dasar) itu adalah komitmen bersama kita sebagai warga negara, sebagai bangsa untuk mendirikan negara yang kita cita-citakan. Dan itu sudah diakui dengan cara pemiliha umum, pemilihan presiden, bahwa siapapun yang terpilih nanti maka kita sami’na wa atha’na; kita dengar dan kita taati.
Nah kalau umat Islam justru punya cara pandang yang lain, yang berimplikasi pada rusaknya komitmen itu, kita lihat konteks ayatnya disebutkan diawali dengan munada’ “Ya ayyuhalladzina amanu”, panggilan terhadap orang-orang yang beriman. Lalu setelah itu diikuti dengan fi’il amr “Aufu bil ‘uqud”. Artinya kalau orang itu gemar merusak perjanjian, maka kualitas keimanannya pun diragukan. Sebab diantara ciri orang beriman itu dia punya komitmen. Jangan sampai paginya ngomong tahu, sore ngomongnya tempe. Kalau konsisten, tahu ya tahu-tempe ya tempe, meskipun asalnya sama-sama dari kedelai.
2. Rusaknya keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang telah susah-payah diperjuangkan oleh para orangtua kita terdahulu.
Ada satu dialog yang menarik tentang jihad, yang dikatakan H. Agus Salim ketika beliau ditanya oleh seorang profesor sebuah universitas di Amerika. Jadi, setelah Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari mengobarkan Resolusi Jihad, kata jihad adalah kata yang paling menakutkan bagi orang-orang Barat. Karena pada saat itu, mereka (orang Barat) adalah kelompok orang yang mempraktekkan kebijakan kolonialisme penjajahan di negara-negara Asia. Sehingga pertanyaan itu tidak ditujukan kepada KH. Hasyim Asy’ari, tetapi kepada H. Agus Salim. “Apa arti jihad? Jelaskan kepada kami!”
Maka H. Agus Salim dengan kecerdasannya, padahal beliau hanya lulus kelas 5 SD tapi bisa menguasai 9 bahasa seperti Arab, Belanda, Jerman, Inggris dan Perancis, menjawab: “Jihad itu maknanya banyak, wahai Tuan Profesor. Yang pertama, jihad itu maknanya ijtihad. Ijtihad itu artinya bersungguh-sungguh menggali daya kreatisifitas berfikir untuk mencari inovasi-inovasi baru.”
H. Agus Salim menjelaskan lagi: “Yang kedua, jihad itu maknanya mujahadah. Artinya bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu, membersihkan diri. Terutama nafsu angkara murka, nafsu menguasai hak milik orang lain. Maka melawan hawa nafsu juga termasuk ke dalam pengertian jihad. Lalu yang ketiga, jihad itu artinya mempertahankan hak.” Kemudian beliau menjelaskan panjang lebar dalam kaitan ini, dan berkata: “Maka Bangsa Indonesia melakukan jihad karena haknya dirampas, hak atas tanah, hak atas kehormatan, tanah kami dirampas dan air kami dirampas.”
Lalu H. Agus Salim secara cerdas bertanya kepada si profesor: “Sekarang saya ingin bertanya kepada Anda, wahai Tuan Profesor. Jika Amerika, tiba-tiba datang bangsa asing yang mengobrak-abrik rumah Anda, merampas hak milik Anda, tanah Anda diambil, istri Anda diperkosa, apa yang akan Anda lakukan?!”
Profesor itu langsung menjawab: “Saya usir dari Amerika!”
“Begitulah yang dialami oleh kami Bangsa Indonesia. Maka jangan takut dengan kata jihad,” jawab H. Agus Salim.
Nah, kalau konsep bernegara yang sudah diusung oleh para ulama ini kemudian dirusak dengan mengatakan “Kita umat Islam harus mendirikan Khilafah Islmiyyah”, ini artinya sama saja ingin menghancurkan rumah yang sudah didirikan dengan susah-payah.
‘Khilafah’ di dalam konteks pemahaman para sahabat Nabi ‘alaihim ridhwanullah, maknanya bukan sistem pemerintah. Kenapa?
Ikuti edisi berikutnya...
Khilafah itu bentuk mashdar dari Khalafa-Yakhlufu (خلف – يخلف), yang artinya mengikuti. Di dalam al-Quran kata ‘khilafah’ dipakai dalam bentuk isim fa’il; Khalifah, artinya orang yang mengikuti atau orang yang diberikan kewenangan. Maka kalau kita lihat dalam QS. al-Baqarah ayat 30:
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Tetapi makna khalifah di sini adalah hamba Allah yang menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan amanah yang Allah berikan; sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Lalu di dalam QS. Shad ayat 26, Allah menyebut kata khalifah untuk menunjukkan tugas yang dijalankan oleh Nabi Daud As.:
یا داوُدُ إِنَّا جَعَلْناکَ خَلِیفَةً فِی الْأَرْضِ
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa, penerus amanah Allah yang telah Allah titipkan pada para nabi sebelumnya) di muka bumi.”
Nah, kalau kita lihat kata khalifah atau khilafah di dalam al-Quran tidak menunjuk kepada sistem pemerintahan. Kenapa? Karena al-Quran diturunkan bukan untuk bikin negara. Tidak ada kewajiban bagi setiap Muslim di muka bumi ini untuk mendirikan Negara Islam.
Bahkan Partai Masyumi, yang sering disebut-sebut sebagai partai yang berambisi untuk mendirikan Negara Islam, melalui keterangan resmi dari sekjennya, Almarhum H. Anwar Haryono, mengatakan: “Dengan usaha Masyumi mempertahankan 7 kata di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar dan 7 kata di dalam sila pertama Pancasila, jangan diartikan bahwa Masyumi ingin mendirikan Negara Islam di Indonesia.”
Pernyataan ini bisa dibaca dalam buku yang ditulis olehnya, berjudul ‘Politik Bangsa Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan”. Statemen itu menunjukkan bahwa memang Islam itu ada bukan untuk mendirikan negara. Saya kira ucapan dari Masyumi itu senafas dengan semangat yang diusung oleh para kyai pendiri Nahdlatul Ulama, bahwa: “Islam itu ada, bukan untuk mendirikan negara.”
Tetapi, kalau kita lihat dengan perkembangannya sekarang ini justru informasi-informasi tentang Sirah Nabawiyyah (perjalanan Nabi Muhammad Saw.) dan juga terjemahan-terjemahan al-Quran, dimanipulasi oleh kelompok tertentu lalu diarahkan pada satu kesimpulan bahwa: “Kalau sudah ngaji, kita mendirikan negara sesuai dengan isi pengajian.” Nah ini kan berbahaya, karena:
1. Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk selalu berpegang pada komitmen (perjanjian).
Disebutkan dalam QS. al-Maidah ayat 1:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah (peganglah) aqad-aqad (perjanjian) itu”. Dalam konteks yang lebih sederhana, perjanjian itu deperti hutang-piutang, komitmen kerja, kontrak kerja. Maka kita harus memegang komitmen. Kalau misalnya kontrak kerja kita dari jam 7 sampai jam 5, maka kita konsiten melaksanakan pekerjaan harus dari jam 7 sampai jam 5.
Dalam konteks yang lebih makro (luas) lagi adalah taat terhadap konstitusi. Karena konstitusi (Undang-Undang Dasar) itu adalah komitmen bersama kita sebagai warga negara, sebagai bangsa untuk mendirikan negara yang kita cita-citakan. Dan itu sudah diakui dengan cara pemiliha umum, pemilihan presiden, bahwa siapapun yang terpilih nanti maka kita sami’na wa atha’na; kita dengar dan kita taati.
Nah kalau umat Islam justru punya cara pandang yang lain, yang berimplikasi pada rusaknya komitmen itu, kita lihat konteks ayatnya disebutkan diawali dengan munada’ “Ya ayyuhalladzina amanu”, panggilan terhadap orang-orang yang beriman. Lalu setelah itu diikuti dengan fi’il amr “Aufu bil ‘uqud”. Artinya kalau orang itu gemar merusak perjanjian, maka kualitas keimanannya pun diragukan. Sebab diantara ciri orang beriman itu dia punya komitmen. Jangan sampai paginya ngomong tahu, sore ngomongnya tempe. Kalau konsisten, tahu ya tahu-tempe ya tempe, meskipun asalnya sama-sama dari kedelai.
2. Rusaknya keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang telah susah-payah diperjuangkan oleh para orangtua kita terdahulu.
Ada satu dialog yang menarik tentang jihad, yang dikatakan H. Agus Salim ketika beliau ditanya oleh seorang profesor sebuah universitas di Amerika. Jadi, setelah Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari mengobarkan Resolusi Jihad, kata jihad adalah kata yang paling menakutkan bagi orang-orang Barat. Karena pada saat itu, mereka (orang Barat) adalah kelompok orang yang mempraktekkan kebijakan kolonialisme penjajahan di negara-negara Asia. Sehingga pertanyaan itu tidak ditujukan kepada KH. Hasyim Asy’ari, tetapi kepada H. Agus Salim. “Apa arti jihad? Jelaskan kepada kami!”
Maka H. Agus Salim dengan kecerdasannya, padahal beliau hanya lulus kelas 5 SD tapi bisa menguasai 9 bahasa seperti Arab, Belanda, Jerman, Inggris dan Perancis, menjawab: “Jihad itu maknanya banyak, wahai Tuan Profesor. Yang pertama, jihad itu maknanya ijtihad. Ijtihad itu artinya bersungguh-sungguh menggali daya kreatisifitas berfikir untuk mencari inovasi-inovasi baru.”
H. Agus Salim menjelaskan lagi: “Yang kedua, jihad itu maknanya mujahadah. Artinya bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu, membersihkan diri. Terutama nafsu angkara murka, nafsu menguasai hak milik orang lain. Maka melawan hawa nafsu juga termasuk ke dalam pengertian jihad. Lalu yang ketiga, jihad itu artinya mempertahankan hak.” Kemudian beliau menjelaskan panjang lebar dalam kaitan ini, dan berkata: “Maka Bangsa Indonesia melakukan jihad karena haknya dirampas, hak atas tanah, hak atas kehormatan, tanah kami dirampas dan air kami dirampas.”
Lalu H. Agus Salim secara cerdas bertanya kepada si profesor: “Sekarang saya ingin bertanya kepada Anda, wahai Tuan Profesor. Jika Amerika, tiba-tiba datang bangsa asing yang mengobrak-abrik rumah Anda, merampas hak milik Anda, tanah Anda diambil, istri Anda diperkosa, apa yang akan Anda lakukan?!”
Profesor itu langsung menjawab: “Saya usir dari Amerika!”
“Begitulah yang dialami oleh kami Bangsa Indonesia. Maka jangan takut dengan kata jihad,” jawab H. Agus Salim.
Nah, kalau konsep bernegara yang sudah diusung oleh para ulama ini kemudian dirusak dengan mengatakan “Kita umat Islam harus mendirikan Khilafah Islmiyyah”, ini artinya sama saja ingin menghancurkan rumah yang sudah didirikan dengan susah-payah.
‘Khilafah’ di dalam konteks pemahaman para sahabat Nabi ‘alaihim ridhwanullah, maknanya bukan sistem pemerintah. Kenapa?
Ikuti edisi berikutnya...
Penulis : Sya'roni As-Samfury
Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN: http://www.muslimedianews.com/2014/08/mengapa-indonesia-bukan-khilafah-bagian_31.html#ixzz3CdcLOczc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar