Senin, 29 September 2014

Makna Surat Al Fatihah

SEKILAS MAKNA SURAT AL-FATIHAH
*Oleh: Hakam Ahmed ElChudrie*
Ada perbedaan pendapat seputar apakah lafadz bismillahirrahmanirrahim termasuk bagian dari surat al-Fatihah atau tidak. Perbedaan itu hanyalah masalah khilafiyah, yang masing-masing mengemukakan argumentasi yang sama-sama kuat. Karenanya, perlu dikembangkan sikap toleransi, yaitu mempersilahkan kepada umat untuk mengikuti pendapat mana yang dirasakan paling cocok.
Dengan cara demikian, perbedaan pendapat tersebut tidak menimbulkan konflik, melainkan mendatangkan rahmat, karena masing-masing memliki pilihan-pilihan yang secara bebas dapat mengambil pendapat mana yang paling cocok.
Keseluruhan ayat yang terdapat dalam surat al-Fatihah adalah sebagai berikut:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ مَالِكِ يَومِ الدِّيْنِ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ اهْدِناَ الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّالِّيْنَ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam; Maha Pemurah lagi Maha Penyayang; Yang menguasai hari pembalasan; Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan; Tunjukillah kami jalan yang lurus; (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Q.S. al-Fatihah: 1-7).[1]

Makna mufradat dari ayat tersebut adalah sebagai berikut: (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ) (Dengan menyebut nama Allah), (اَلْحَمْدُ للهِ) (Segala puji bagi Allah), (رَبِّ الْعَالَمِيْنَ) (Tuhan semesta alam), (اَلرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ) (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), (يَوْمِ الدِّيْنِ) (Hari pembalasan), (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْم) (Jalan yang lurus/kebenaran), (الضَّالِّيْنَ) (Jalan yang sesat).[2]

Adapun tafsir pada setiap lafadz surat al-Fatihah sebagaimana yang dikemukakan oleh para mufasir adalah sebagai berikut.
Pertama, lafadz (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ ). Kata ism menurut al-Baidhawi adalah lafadz yang menunjukkan pada nama pribadi seseorang seperti Muhamamd dan manusia, atau menunjukkan pada sebuah pengertian abstrak seperti ilmu dan kesopanan. Dengan demikian, pada konteks ini kata ism menunjukkan pada nama Allah, di mana ayat-ayat al-Qur’an banyak memerintahkan agar menyebut nama-Nya.[3]
Selanjutnya lafadz Allah, adalah nama khusus bagi zat yang wajib dipuja dan tidak dapat diberikan sama sekali nama tersebut kepada selain Dia, sebagaimana orang Arab Jahiliyah ketika ditanya siapakah yang menciptakan langit dan bumi; ia menjawab Allah, dan jika ditanya apakah al-Lata dan al-Uzza termasuk sesuatu yang diciptakan? Ia menjawab tidak.[4]

Al-Rahman al-Rahim, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir, kedua-duanya diambil dari kata al-rahmah, yang berarti pengertian yang bersemayam dalam hati yang dimunculkan oleh orang yang memiliki dalam bentuk perbuatan baik terhadap orang lain.
Lafadz al-rahman menunjukkan pada sifat orang yang melakukan kasih sayang dengan cara memberikan kenikmatan dan kebaikan pada orang lain. Sedangkan al-rahim menunjukkan pada tempat munculnya kasih sayang, karena al-rahim mengacu kepada sifat yang tetap dan mesti berlangsung selama-lamanya.
Karenanya, jika Allah S.W.T. diberi sifat al-rahman, maka maksudnya bahwa Allah adalah Zat yang berkuasa memberikan kenikmatan, namun ini tidak dapat dipahami bahwa al-rahmah termasuk sifat yang wajib selamanya pada Allah. Sedangkan jika sesudah itu disifati dengan al-rahim, maka dapat diketahui bahwa pada zat Allah terdapat sifat yang tetap dan terus berlangsung, yaitu al-rahmah yang pengaruhnya terlihat dalam berbuat baik kepada seluruh ciptaan-Nya selama-lamanya.[5]
Kedua, tafsir lafaldz (الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ). Menurut Ibn Katsir, maksud dari lafadz al-hamdu dari segi bahasa adalah pujian atau sanjungan terhadap perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang melalui usahanya apakah semula ia mengharap pujian atau tidak. Kata al-hamdu ini selanjutnya menjadi pangkal kalimat pernyataan syukur, sebagaimana Allah tidak bersyukur kepada seorang hamba yang tidak memuji-Nya.
Hal yang demikian didasarkan pada alasan karena menyatakan kenikmatan dengan lisan dan pujian terhadap orang yang melakukannya menyebabkan ia terkenal di kalangan sesama manusia, dan menyebabkan pemiliknya memiliki perasaan yang menyenangkan. Adapun bersyukur dengan hati termasuk perbuatan yang tidak tampak dan sedikit sekali orang yang mengetahuinya, demikian juga bersyukur dengan perbuatan tidak dapat terlihat tampak jelas di kalangan manusia.[6]

Sedangkan kata rabb menurut al-Maraghi dapat berarti pemilik yang mendidik yaitu orang yang mempengaruhi orang yang dididiknya dan memikirkan keadannya.
Pendidikan yang dilakukkan Allah terhadap manusia ada dua macam; yaitu pendidikan, pembinaan atau pemeliharaan terhadap kejadian fisiknya yang terlihat pada pengembangan jasa atau fisiknya sehingga mencapai kedewasaan, serta pendidikan terhadap perkembangan potensi kejiwaan dan akal pikirannya, pendidikan keagamaan dan akhlaknya yang terjadi dengan diberikannya potensi-potensi tersebut kepada manusia, sehingga dengan itu semua manusia mencapai kesempurnaan akalnya dan bersih jiwanya.
Selanjutnya kata rabb dapat pula digunakan oleh manusia, seperti ungkapan rabb al-dar memiliki rumah dan rabb hadzihi al-an’am yang berarti memiliki binatang ternak ini.[7]
Adapun kata al-‘alamin yang bentuk tunggal ‘alam adalah meliputi seluruh yang tampak ada. Kata ‘alamin ini biasanya tidak digunakan kecuali pada kelompok yang dapat dibedakan jenis dan sifat-sifatnya yang lebih mendekati pada makhluk yang berakal, walaupun bukan manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Katsir. Yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah ‘alam al-insan (alam manusia), ‘alam al-hayawan (alam binatang), dan ‘alam nabat (alam tumbuh-tumbuhan), dan tidak dapat dimasukkan ‘alam al-hajar (alam batu), ‘alam al-turab (alam tanah).
Pengertian ini didasarkan pada adanya kata rabb yang mendahului kata alam tersebut, yang berarti mendidik, membina, mengarahkan dan mengembangkan yang mengharuskan adanya unsur kehidupan seperti makan dan minum serta berkembang biak. Sedangkan batu dan tanah tidak memiliki unsur-unsur yang demikian itu.[8]

Setiap pujian yang baik hanyalah untuk Allah, karena Dia-lah sumber segala yang ada. Dia-alah yang mengerahkan seluruh alam dan mendidiknya mulai dari awal hingga akhir dan memberikannya nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan. Dengan demikian, puji itu hanya kepada pencipta dan syukur kepada yang memiliki keutamaan.[9]
Ketiga, tafsir makna (الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ). Sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir di atas, bahwa al-rahman adalah yang memberikan kenikmatan yang baik kepada hamba-hamba-Nya tanpa mengenal batas dan akhir. Lafadz ini hanya untuk Allah dan tidak dapat dilekatkan pada yang lain-Nya.
Sedangkan al-rahim adalah Zat yang padanya terdapat sifat rahmah (kasih sayang) yang daripadanya dapat dimbul perbuatan yang baik.[10]
Keempat, tafsir makna (مَالِكِ يَومِ الدِّيْنِ). Kata maliki berarti mengatur perilaku orang-orang yang berakal dengan cara memberikan perintah, larangan dan balasan. Hal ini sejalan dengan ungkapan malik al-naas yang mengatur dan menguasai manusia.[11]
Sedangkan lafadz al-din dari segi bahasa digunakan untuk pengertian al-hisab, yakni penghitungan, dan berarti pula memberikan kecukupan, pembalasan yang setara dengan perbuatan yang dilakukan manusia semasa hidup di dunia.[12]
Kelima, tafsir makna (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ). Kata ibadah dalam ayat ini menurut al-Maraghi berarti merendahkan yang disertai perasaan dan getaran hati yang muncul karena menggunakan Zat Yang Disembah (Allah S.W.T.) yang didasarkan pada keyakinan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan yang hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran, karena melampaui batas yang dapat dijangkau oleh pemikiran atau dicapai oleh sejauh kemampuan nalarnya.[13]
Menurut al-Maraghi, inti ayat ini berisi perintah Allah agar seseorang tidak menyembah selain Allah, karena Dialah yang tersendiri denagn kekuasaan-Nya. Selain itu, ayat itu juga melarang seseorang menyekutukan-Nya atau mengagungkan selain diri-Nya, dan menyuruh agar tidak meminta pertolongan kepada selain Dia atau meminta pertolongan yang dapat menyempurnakan perbuatannya dan menyampaikan kepada hasil yang diharapkan.[14]
Keenam, tafsir lafadz (اهْدِناَ الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ). Kata hidayah yang terdapat dalam ayat ini menurut Ibn Katsir mengandung arti petunjuk yang membawa kepada tercapainya sesuatu yang diharapkan.[15]
Sedangkan al-shirath menurut Jalaluddin al-Suyuthi berarti jalan, dan mustaqim berarti lurus, lawan dari bengkok. Selanjutnya, hidayah Allah yang diberikan kepada manusia bermacam-macam.
(1) Hidayah al-ilham, yaitu hidayah yang diberikan kepada bayi sejak kelahirannya, seperti perasaan butuh terhadap makanan dan ia menangis karena mengharapkan makanan tersebut.
(2) Hidayah al-hawas. Hidayah ini dan hidayah yang pertama kedua-duanya diberikan kepada manusia dan binatang, bahkan kedua hidayah tersebut lebih sempurna pada binatang dibandingkan pada manusia, karena hidayah ilham dan hidayah hawas pada manusia pertumbuhannya amat lambat, dan bertahap dibandingkan pada binatang, yang ketika lahir sudah dapat bergerak, makan, berjalan dan sebagainya.
(3) Hidayah al-aql, yaitu hidayah yang kedudukannya lebih tinggi daripada hidayah yang pertama dan kedua. Hidayah ini hanya untuk manusia, karena manusia diciptakan untuk hidup bersama dengan yang lainnya, sedangkan ilham dan hawasnya tidak cukup untuk mencapai kehidupan bersama itu.
Untuk mencapai kehidupan bersama orang lain harus disertai akal yang dapat memperbaiki kesalahan yang diperbuat pancaindera. Pancaindera terkadang melihat tongkat yang sebenarnya lurus menjadi bengkok ketika tongkat itu berada dalam air, dan terkadang lidah merasakan pahit terhadap makanan yang sebenarnya manis, dan sebaginya.
(4) Hidayah al-adyan wa al-syara, yaitu hidayah yang ditujukan kepada manusia yang cenderung mengikuti hawa nafsunya, membiarkan dirinya terperdaya oleh kelezatan duniawi dan syahwat menempuh jalan keburukan dan dosa, saling bermusuhan antara sesamanya, saling mengahalkan antara satu dan lainnya yang kesemuanya itu terjadi karena akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu.
Keadaan seperti ini dijelaskan batas-batas dan aturan, agar mereka berpegang teguh kepadanya. Batas-batas dan aturan tersebut adalah hidayah al-din yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Karenanya, tafsir ayat tersebut berarti petunjuk jalan yang lurus (shirat), yaitu Islam.[16]
Ketujuh, tafsir lafadz (صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّالِّيْنَ). Yang dimaksud dengan kata al-ladzina dalam ayat ini menurut Ibn Katsir adalah orang-orang yang mendapatkan kenikmatan Allah, yaitu para Nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang shaleh yang terdiri atas kelompok pemeluk Islam terdahulu.[17]
Sedangkan al-maghdlubi alaihim sebagaimana dikemukakan oleh al-Maraghi adalah orang-orang yang menolak agama yang benar yang disyari’atkan Allah kepadanya. Mereka berpaling dari kebenaran dan tetap mengikuti apa yang diwariskan nenek moyang mereka, dan semua itu menyebabkan mereka dimasukkan ke dalam neraka jahanam.[18]
Lafadz al-dlallin adalah orang-orang yang tidak mengenal kebenaran, atau tidak mengetahui sesuatu secara benar, yaitu orang-orang yang kepadanya tidak sampai risalah, atau sampai risalah kepada mereka namun mereka enggan mengikutinya.[19]
Dari pendapat para mufasir di atas dapat disimpulkan bahwa kandungan surat al-Fatihah di atas mengandung pokok-pokok kandungan al-Qur’an secara global, yaitu mengenai tahuid, janji dan ancaman, ibadah yang menghidupkan tauhid, penjelasan tentang jalan kebagahiaan dan cara mencapainya di dunia dan di akhirat, dan pemberitaan atau kisah generasi terdahulu.
Kelima pokok ajaran terserbut tercermin pada; ajaran tauhid pada ayat kedua dan kelima, janji dan ancaman tersurat pada ayat pertama, ketiga dan ketujuh, ibadah pada ayat kelima dan ketujuh, sedangkan sejarah atau kisah masa lalu diisyaratkan oleh ayat terakhir. wallahu a'lam bis showab
[1] Bustami A. Gani, dkk., al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf al-Syarif, 1418 H.), hlm. 5-6.
[2] M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim; Tafsir Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka al-Hidayah, 1999), hlm. 8-61.
[3] Nasiruddin bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi al-Musamma al-Nur al-Tanzil wa al-Israr al-Ta’wil, Juz I, (Beirut-Libanon: Daar al-Kitab al-Ilmiah, t.th.), hlm. 6.
[4] Ibid., hlm. 7.
[5] Ibn Katsir al-Damasqy, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Juz I, (Beirut: Maktabah al-Nur al-Ilmiah, t.th, hlm. 20.
[6] Ibn Katsir al-Damasqy, op.cit., hlm. 21.
[7] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz I, (Beirut: Daar al-Fikr, t.th.), hlm. 30-31.
[8] Ibn Katsir al-Damasqy, op.cit., hlm. 23.
sumber: http://hakamabbas.blogspot.com/2013/12/makna-surat-al-fatihah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar