Selasa, 01/07/2014 05:01
Berita Terkait
2. Jika tetap wajib, bolehkah dipisahkan waktu antara mengqadha dan membayar fidiyahnya? 3. Bagaimana cara membayar fidyah?
Feri (Nama Disamarkan) Jl. Cambanna No. 87, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, 91354
--
Wa’alaikum salam wa rahamatullahi wa barakatuh
Saudara penanya di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, yang mudah-mudahan dirahmati Allah. Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang sifatnya wajib bagi semua muslim yang telah memenuhi syarat sah maupun wajib atas pelaksanaan ibadah ini. Meninggalkannya dengan sengaja tanpa adanya udzur syar’i merupakan pelanggaran besar yang sebenarnya tidak cukup diganti dengan puasa setahun.
Rasulullah saw bersabda :
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِي غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللَّهُ لَهُ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صِيَامُ الدَّهْرِ
artinya: siapa yang tidak berpuasa satu dari bulan Ramadhan tanpa adanya dispensasi yang diberikan oleh Allah swt, maka belum cukup diganti dengan berpuasa satu tahun. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Mengingat besarnya konsekuensi yang harus diterima oleh seseorang apabila ia dengan sengaja tidak berpuasa pada bulan Ramadhan tanpa adanya alasan yang dapat dibenarkan oleh syara’, maka sebagai bukti perbaikan dan penyesalan diri, para ulama berpendapat bahwa orang yang tidak berpuasa tersebut wajib menggantinya dengan segera, artinya tidak boleh ditunda.
Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kitab al-Minhaj al-Qawim karya Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al-Haitami:
ويستحب موالاة القضاء والمبادرة به وتجب إن أفطر بغير عذر
Artinya: dan dianjurkan mengganti puasa secara beruntun dan segera, bahkan wajib segera mengganti puasa yang ditinggalkan tanpa adanya udzur.
Saudara penanya yang kami hormati. Menanggapi pertanyanyaan pertama sekaligus kedua bahwa tanggungan membayar fidyah atau denda masih berlaku pada anda dan wajib ditunaikan manakala telah diberi kemampuan untuk membayarnya, mengingat hak Allah yang terkait dengan masalah harta dan dalam masalah ini adalah membayar fidyah masih tetap berlaku dalam tanggungan orang yang seharusnya menjalankannya.
Syekh Muhammad Khatib Asy-Syarbini menjelaskan dalam kitab Al-Iqna’nya bab kaffarat jima’ pada bulan Ramadhan:
فَلَو
عجز عَن جَمِيع الْخِصَال الْمَذْكُورَة اسْتَقَرَّتْ الْكَفَّارَة فِي
ذمَّته لِأَنَّهُ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم أَمر الْأَعرَابِي بِأَن يكفر
بِمَا دَفعه إِلَيْهِ مَعَ إخْبَاره بعجزه فَدلَّ على أَنَّهَا ثَابِتَة
فِي الذِّمَّة
Artinya: apabila seseorang tidak mampu melaksanakan semua kaffarat
(denda) tersebut, maka ia masih mempunyai tanggungan, karena Rasulullah
saw masih memerintahkan seorang badui (yang melakukan jima’ di siang
hari bulan Ramadhan) untuk membayar kaffarat dengan menggunakan
pemberian dari Rasulullah saw, padahal ia telah memberitahukan kepada
beliau bahwa ia tidak mampu menunaikannya. Hal ini menunjukkan bahwa kaffarat masih menjadi tanggunggannya (meskipun ia belum mampu menunaikan). Selanjutnya mengenai pelaksanaan antara meng-qadha dan membayar fidyah tidak diharuskan bersamaan, artinya boleh dipisah antara saat mengganti puasa (qadha) dengan waktu pembayaran fidyah.
Sedangkan mengenai cara pembayaran fidyah sebagaimana pertanyaan ketiga adalah diserahkan kepada fakir miskin, dengan mengeluarkan makanan pokok (beras atau yang lain), untuk satu hari yang tinggalkan sebesar 1 mud (6 sampai 7 ons), demikian pula bila melakukan penundaan pelaksanaan tahun qadhanya, tinggal dilipatgandakan sesuai dengan jumlah yang ditinggallkan.
Hal ini adalah pendapat yang ashah (lebih shahih) di kalangan para ulama. Sementara pendapat lain mengatakan bahwa penundaan qadha pada tahun berikutnya tidak berdampak pada kelipatan hari dan tahun yang ditinggalkan. Pendapat ini menjelaskan bahwa orang yang menunda mengganti puasa (qadha) sampai lewat tahun berikutnya hanya dikenai denda (kaffarat) sejumlah hari yang ditingalkan dan untuk tiap tahun yang ditunda sebesar 1 mud (6-7 ons) dari makanan pokok.
Syekh Jalaluddin Al-Mahalli dalam karyanya Minhaj at-Thalibin menyebutkan:
وَالْأَصَحُّ تَكَرُّرُهُ-- أَيْ الْمُدِّ. (بِتَكَرُّرِ السِّنِينَ) وَالثَّانِي لَا يَتَكَرَّرُ أَيْ يَكْفِي الْمُدُّ عَنْ كُلِّ السِّنِينَ
Artinya: menurut pendapat yang lebih shahih adalah pelipat gandaan mud atau denda tersebut dihitung berdasarkan tahun-tahun yang ditunda, sementara pendapat kedua tidaklah demikian, artinya tidak dilipatgandakan dengan penundaan tahun qadha, dan cukup membayar 1 mud untuk tiap-tiap tahun yang ditunda tersebut.
Mudah-mudahan kita termasuk orang yang diberi anugerah oleh Allah untuk selalu menjaga ibadah puasa kita dan tidak termasuk orang yang meremehkan amalan ibadah ini. Amin. (Maftuhan)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ وَ فِيْ رِوَايَةٍ أَصَبْتُ أَهْلِيْ فِيْ رَمَضَانَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ- وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ- قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ عَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا -يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ -أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata: “Wahai, Rasulullah, celaka !” Beliau menjawab,”Ada apa denganmu?” Dia berkata,”Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.” (Dalam riwayat lain berbunyi : aku berhubungan dengan istriku di bulan Ramadhan). Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Apakah kamu mempunyai budak untuk dimerdekakan?” Dia menjawab,”Tidak!” Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata lagi,”Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab,”Ttidak.” Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi : “Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?” Dia menjawab,”Tidak.” Lalu Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi satu ‘irq berisi kurma –Al irq adalah alat takaran- (maka) Beliau berkata: “Mana orang yang bertanya tadi?” Dia menjawab,”Saya orangnya.” Beliau berkata lagi: “Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!” Kemudian orang tersebut berkata: “Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku”. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian (Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata: “Berilah makan keluargamu!”
KOSA KATA
1. رَجُلٌ : Seorang lelaki namanya Salamah atau Sulaiman bin Shakhr Al Bayadhi [1].
2. وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي: Aku menggauli istriku [2].
3. أَصَبْتُ أَهْلِيْ فِيْ رَمَضَانَ : Aku menggauli istriku (di siang) bulan Ramadhan [3].
4. وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ : Al araq adalah alat ukur (ini merupakan penafsiran dari perawi hadits) [4].
5. الْعَرَقُ : Satu keranjang yang dapat menampung 15 sha’ sehingga sama dengan 60 mud [5].
MAKNA HADITS
Ketika menjelaskan makna hadits ini, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menceritakan, dahulu mereka duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana kebiasaan mereka untuk belajar dan bergaul dengan Beliau. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba datang seseorang yang mengaku telah celaka dengan sebab dosa yang dilakukannya disertai keinginan untuk terbebas dari dosa tersebut, sembari berkata “Wahai Rasulullah, aku telah celaka”. Ketika itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya tentang sebabnya. Orang itupun menjawab, bahwa ia telah menggauli istrinya di siang bulan Ramadhan dalam keadaan puasa. (Mendengar ini, Red), Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memarahinya karena ia datang untuk bertaubat, ingin lepas dari perbuatan (dosa)nya. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan bimbingan dengan bertanya kepadanya, apakah ia bisa mendapatkan budak untuk dimerdekakan sebagai kafarat?. Laki-laki itu menjawab, tidak bisa. Kemudian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi, apakah ia mampu berpuasa dua bulan penuh berturut-turut? Ia menjawab, tidak bisa juga. Kemudian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pindah ke marhalah (tingkatan) ketiga yang akhir dengan menyatakan, dapatkah ia memberi makan 60 orang miskin? Orang itupun menjawab, tidak bisa juga. Kemudian ia duduk dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiam diri, hingga datang seorang Anshar membawa sekeranjang berisi kurma. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan kepada orang tersebut, ambillah dan bershadaqahlah dengannya, sebagai kafarat (tebusan) yang wajib ia keluarkan. Namun, karena kefakiran orang ini dan pengetahuannya tentang kedermawanan dan kecintaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada umatnya, orang tersebut malah menginginkannya sambil berkata: Adakah orang yang lebih fakir dariku? Dan ia bersumpah, bahwa di antara dua ujung Madinah, tidak ada keluarga yang lebih fakir dari keluarganya. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa karena ta’ajub (heran) dengan keadaan orang ini yang datang dalam keadaan takut ingin lepas dari dosanya, lalu ketika mendapatkannya berbalik menginginkan harta tersebut. Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkankanya untuk memberi makan keluarganya, karena memenuhi kebutuhan tersebut didahulukan dari kafarat [6].
FAIDAH HADITS
1. Kewajiban bertanya tentang amalan yang menyelisihi syariat yang dilakukan seseorang dan takut terhadap akibat buruknya [7].
2. Besarnya dosa orang berpuasa yang melakukan hubungan suami istri di siang Ramadhan [8].
3. Bergaul dengan istri di siang Ramadhan secara sengaja membatalkan puasa. Hal ini juga ditunjukkan oleh firman Allah, yang artinya : "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. "[Al Baqarah : 187].
Ibnu Taimiyah menyatakan, pembatal puasa menurut nash dan ijma’ adalah makan, minum dan jima’ (menggauli istri), berdasarkan firman Allah
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ) (البقرة:187)
Allah memberitahukan tentang bergaul dengan istri, sehingga dapat dipahami dari ayat ini, bahwa yang diinginkan adalah puasa (menahan diri) dari mempergauli istri, makan dan minum [9]. Hukum ini telah menjadi kesepakatan dan ijma’ ulama kaum Muslimin sebagaimana dinukil oleh Ibnu Al Mundzir, Ibnu Qudamah, Ibnu Hazm [10] dan Ibnu Taimiyyah [11].
Ibnu Hazm dalam Maratib Al Ijma’ menyatakan, kaum Muslimin sepakat (ijma’), bahwa minum dan jima’ (mengauli istri), jika dilakukan pada siang hari dengan sengaja dan ia ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal [12].
Sedangkan bila menggauli istrinya dalam keadaan lupa, bahwa ia sedang berpuasa atau lupa di hari Ramadhan, maka ini tidak membatalkan puasa dan tidak terkena kafarat, sebagaimana pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Pendapat ini berdalil kepada keumuman firman Allah :
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَآإِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا
"(Mereka berdoa): "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah". [Al Baqarah : 286].
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
"Sesungguhnya Allah mengampuni dari umatku, kesalahan, kelupaan dan keterpaksaan". [HR Ibnu Majah].
Juga dengan hadits :
مَنْ أَفْطَرَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضَاء عَلَيْهِ وَلاَ كَفَّارَة
"Siapa yang berbuka di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada kewajiban mengqadha dan tidak ada kewajiban kafarat". [HR Ibnu Hibban; Ad Daraquthni, 2/178 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, no. 1990] [13]
Menurut Ibnu Hajar, sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat tidak wajibnya mengqadha bagi orang yang berjima’ ini diambil dari keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebagian riwayat hadits berbunyi: مَنْ أَفْطَرَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ , karena berbuka lebih umum dari sekedar makan, minum atau jima’ saja [14].
Serta qiyas (analogi) pada hukum orang yang lupa makan dan minum pada siang Ramadhan. sebagaimana pandangan Ibnu Al Mulaqin. Menurutnya, jima’ (berhubungan suami istri) pada siang hari pada bulan Ramadhan karena lupa, sama seperti makan karena lupa. Ini adalah pendapat para sahabat kami (madzhab Syafi’iyah, Pen). Hal ini ditunjukkan oleh hadits di atas: Barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada kewajiban mengqadha dan tidak ada kewajiban kafarat. Karena, jika kita berpendapat puasanya sah, maka tidak ada kafarat [15].
4. Kewajiban membayar kafarat bagi orang yang mempergauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan [16].
Imam An Nawawi menyatakan, madzhab kami dan madzhab para ulama menyatakan wajibnya kafarat atasnya, jika berjima’ dengan sengaja [17]. Begitu pula Imam Taqiyuddin Ibnu Daqiq Al ‘Id menyatakan, mayoritas umat Islam berpendapat wajibnya kafarat dengan sebab merusakan puasa dengan jima’ secara sengaja, dan sebagian orang menukilkan pendapat, bahwa kafarat tidak wajib dan ini pendapat yang syadz (aneh) [18].
5. Kafarat (denda)nya adalah melakukan salah satu dari tiga jenis yang telah ditentukan tersebut, yaitu membebaskan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin.
Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu.
Ibnu Al Mulaqqin menyatakan, dalam hadits ini terdapat kewajiban membebaskan budak, kemudian berpuasa, kemudian memberi makan, secara tertib (berurutan) tidak diberi hak memilih salah satunya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, berbeda dengan yang ditulis dalam kitab Al Mudawanah [19].
Menurut Ibnu Daqiqi Al ‘Id, dalil kewajiban tertib urut (dalam kafarat ini) adalah tertib urut dalam pertanyaan Nabi. Pernyataan Beliau pertama kali, apakah kamu bisa mendapati budak untuk dimerdekakan? Kemudian diurutkan dengan puasa setelah membebaskan budak, kemudian memberi makan setelah puasa [20].
Sedangkan Ibnu Hajar menyatakan, pendapat wajibnya tertib urut dikuatkan juga dengan kenyataan, jika hal ini lebih hati-hati, karena mengamalkannya (secara tertib) itu sah, baik kita berpendapat boleh memilih salah satunya atau tidak boleh [21].
Pendapat terakhir inilah yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin [22].
6. Pada pertanyaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “apakah kamu bisa mendapati budak untuk dimerdekakan?” berisi permasalahan, apakah budak yang dimerdekakan itu harus beragama Islam atau tidak?
Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat.
Menurut Ibnu Daqiq Al ‘Id, pertanyaan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam “apakah kamu bisa mendapati budak untuk dimerdekakan?” digunakan sebagai dalil oleh orang yang membolehkan membebaskan budak kafir dalam membayar kafarat, karena pernyataannya Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ini bersifat mutlak (umum). Sedangkan ulama yang mensyaratkan budak tersebut harus beriman (artinya harus Islam), mereka mentaqyid kemutlakan (mengaitkan keumuman) yang ada disini dengan syarat yang ada dalam pembayaran kafarat pembunuhan [23].
Ibnu Mulaqqin menjelaskan, pernyataan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas dijadikan dalil kebolehan memerdekakan budak kafir dalam kafarat., dan ini pendapat Imam Abu Hanifah serta lainnya. Sedangkan Imam Asy Syafi’i berpendapat tidak boleh kecuali budak mukmin, karena beliau rahimahullah membawa (makna) kemutlakan (kata budak disini) kepada yang muqayyad dalam kafarat pembunuhan [24]. Sedangkan Abu Hanifah (sebaliknya, Red), yaitu membawa (makna, Red) muqayyad tersebut kepada (makna, Red) muthlak. Perbedaan ini dilandasi oleh perbedaan pendapat dalam masalah lain, yaitu apabila sebab berbeda, sementara hukumannya sama, apakah yang mutlak dapat dikaitkan kepada yang muqayyad ataukah tidak?[25] Maksudnya adalah, apakah hukum membebaskan budak dalam kafarat jima’ ini dapat disamakan dengan kafarat pembunuhan yang muqayyad (dikaitkan) dengan iman? Sehingga disyaratkan harus iman pada budak yang dimerdekakan sebagai kafarat tersebut.
Menurut Ibnu Mulaqqin, di antara yang menguatkan madzhab Asy Syafi’i ialah, sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits As Sauda`:
اعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
"Bebaskanlah karena ia seorang mukmin" [26].
7. Kemudahan syariat Islam yang memperhatikan keadaan mukallaf (orang yang sudah terkena beban syariat) dan tidak pernah membebani dengan sesuatu diluar kemampuannya [27].
8. Seseorang yang berbuat dosa kemudian datang bertaubat, tidak boleh dicela.
Sebagaimana orang tersebut menyatakan يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . Pengakuan ini menunjukkan, ia mengetahui bahwa hal itu merupakan kemaksiatan. Sebab, kedatangannya kepada Rasulullah untuk bertanya dan memberikan pengakuan seperti itu menunjukan pengetahuan, penyesalan dan taubat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghadapinya tanpa mencelanya.
[Diangkat dari kitab Umdatul Ahkam, Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi].
Maraji`:
1. Tambihul Afham Bi Syarhi ‘Umdat Al Ahkam, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, tanpa tahun dan penerbit.
2. Shahih Ibnu Khuzaimah, tahqiq Dr. Muhammad Mushthafa Al A’zhami, Cetakan kedua, Tahun 1412 H, Penerbit Al Maktab Al Islami.
3. Maratib Al Ijma’, Ibnu Hazm, tanpa cetakan dan tahu, penerbit Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut.
4. Ihkam Al Ahkam Syarhu Umdah Al Ahkam, Taqiyuddin Ibnu Daqiq Al ‘Id, tahqiq Ahmad Muhamad Syakir, Cetakan kedua, Tahun 1407H, Penerbit Alam Al Kutub Beirut.
5. Al I’lam Bi Fawaid Umdat Al Ahkam, Ibnu Al Mulaqqin, tahqiq Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, Cetakan Pertama, 1417 H, Dar Al ‘Ashimah, KSA.
6. Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam.
7. Fathul Bari, Ibnu Hajar.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
_______
Footnote
[1]. Al I’lam (5/210-212).
[2]. Tambih Al Afham (3/45).
[3]. Ibid.
[4]. Ibid.
[5]. Ihkam Al Ahkam (2/16).
[6]. Tambihul Afham (3/45).
[7]. Al I’lam (5/215).
[8]. Tambihul Afham (3/46).
[9]. Majmu’ Al Fatawa (25/219).
[10]. Al Muhalla, 722 dan Maratib Al Ijma’, no.39.
[11]. Majmu’ Al Fatawa (25/219).
[12]. Maratib Al Ijma’, no.39.
[13]. Dr. Muhammad Mushthafa Al A’zhami berkata,”Isnadnya hasan, karena adanya perbedaan pendapat para ulama tentang Muhammad bin ‘Amr.” Lihat Shahih Ibnu Khuzaimah, tahqiq beliau (3/339).
[14]. Fathul Bari (4/156).
[15]. Al I’lam (5/206).
[16]. Tambihul Afham (3/46).
[17]. Syarhu Muslim (7/182).
[18]. Ihkam Al Ahkam (2/13).
[19]. Al I’lam (5/220).
[20]. Al Ihkam (2/15).
[21]. Al Fath (4/164).
[22]. Tambihul Afham (3/46).
[23]. Ihkam (2/15).
[24]. Yaitu lafadz yang dikaitkan dengan iman dalam kafarat pembunuhan sebagaimana dalam firman Allah:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيماً حَكِيماً) ) النساء:92)
[25]. Al I’lam (5/227).
[26]. Lihat Al I’lam (5/227).
[27]. Tambihul Afham (2/47).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar