Saya adalah orang yang biasa mengerjakan shalat Awwabin, yakni shalat sunnah ba’da maghrib sebanyak 6 raka’at. Hal ini lazim saya lakukan sampai kemudian
saya mendapat nasehat dari seorang ulama agar hendaknya kelaziman saya mengerjakan shalat 6 raka’at ba’da maghrib tersebut tidak dilakukan. Beliau memepersilahkan mengerjakan shalat sunnah ba’da maghrib –karena itu memang disunnahkan- hanya tidak perlu dengan terikat bilangan tertentu. Beliau beralasan bahwa shalat Awwabin ini hadits-hadits yang menerangkan tentangnya adalah lemah. Mohon penjelasan dari bapak pengasuh. Hamba Allah – Bontang.
Jawaban :
Istilah Awwabin mungkin masih terasa asing ditelinga sebagian orang, hal ini mungkin disebabkan karena memang masalah ini jarang sekali dibahas. Meskipun sebenarnya istilah Awwabin ini telah disebutkan disejumlah hadits nabawi.
Terlebih bila kata Awwabin dikaitkan untuk nama sebuah amalan shalat sunnah, bisa dikatakan hal ini hanya familiar dikalangan tertentu saja. Karena itu diedisi jum’at kali ini, kita akan mencoba mengurai tentang apa itu Awwabin dan hukum shalat-shalat yang sering disebut sebagai shalat Awwabin.
Makna Awwabin
Kata Awwabin jama' (bentuk plural) dari Awwab, maknanya: orang yang taat, yang kembali kepada ketaatan, atau orang yang kembali kepada taubat dan ketaatan. [1]
Menurut Imam al-Shan'an rahimahullah "Al-Awwab adalah sebutan bagi mereka yang banyak kembali (bertaubat) kepada Allah Ta'ala dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa dan melaksanakan perbuatan-perbuatan baik."[2]
Apa Maksud Shalat Awwabin ?
Mayoritas ulama menyatakan bahwa penamaan shalat sunnah ba’da maghrib sebagai shalat Awwabin adalah tidak tepat. Karena istilah awwabin yang sesuai itu adalah untuk shalat sunnah dhuha. Ini Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Shalat Awwabin adalah apabila anak onta sudah merasa kepananasan di waktu Dhuha." (Mutafaqqun ‘Alaih)[3]
Dan dalam sebuah hadits lainnya disebutkan perkataan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu : "Kekasihku shallallahu 'alaihi wasallam mewasiatkan kepadaku untuk berpuasa tiga hari dari setiap bulan, shalat witir sebelum tidur, dan dari shalat Dhuha, maka sungguh itu adalah shalatnya awwabin (shalatnya orang-orang yang banyak taat kepada Allah)." (HR. Ahmad dan Ibnu Huzaimah)
Kalangan ini menambahkan mengapa shalat dhuha yang dikerjakan pada waktu onta sudah kepanasan (Waktu menjelang tengah hari atau kira-kira seperempat jam sebelum adzan Dhuhur) disebut Awwabin, karena ia dikerjakan pada waktu padatnya aktivitas, maka dengan mengerjakan shalat di dalamnya menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh dalam mencari ridha Allah ta'ala dari pada menuruti keinginan jiwa.
Sedangkan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa Awwabin digunakan sebagai istilah untuk shalat sunnah yang dikerjakan ba’da maghrib dengan bilangan tertentu. Yakni dengan bilangan; dua raka’at, empat rakaat, enam rakaat, sepuluh rakaat, sampai dua puluh rakaat. Penamaan ini berdasarkan sebuah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang shalat 6 raka’at setelah maghrib maka akan ditulis sebagai golongan Awwabin.[4]
Manakah yang benar ?
Harus diakui bahwa pendapat pertama lebih didukung oleh dalil yang lebih kuat. Dan ini pula yang menjadi pendapat mayoritas ulama. Namun tidak menutup kemungkinan pula, bahwa keduanya bisa saja disebut Awwabin.
Dalam kitab Al Mausu’ah dikatakan : Shalat ini (shalat sunnah ba’da Maghrib) disebut Awwabin karena sebab adanya hadits diatas (Hadits riwayat Ibnu Umar). Dan ia juga disebut shalat ghoflah. Sedangkan penamaan shalat Awwabin tidaklah bertentangan dengan hadits shahihain dari perkataan Rasulullah n : "Shalat Awwabin adalah apabila anak onta sudah merasa kepananasan di waktu Dhuha," karena tidak menutup kemungkinan keduanya sama-sama bisa disebut shalat Awwabin.[5]
Ini pula yang menjadi pendapat kalangan ulama Syafi’iyah, mereka memandang bahwa shalat dhuha dan shalat sunnah ba’da maghrib berserikat dalam nama Awwabin.[6]
Demikian juga para ulama lainnya cendrung tidak terlalu mempermasalahkan penyebutan Awwabin untuk shalat sunnah ba’da maghrib ini.[7]
Hukum mengerjakan shalat Awwabin
Apakah shalat Awwabin disyariatkan ? Bila shalat awwabin yang dimaksud adalah sebagian dari shalat Dhuha, yakni shalat dhuha yang dikerjakan saat matahari sudah meninggi dan memanaskan pasir dan bebatuan, sehingga anak onta mengangkat kakiknya karena kepanasan. Maka telah jelas hukum dan pensyariatannya (silahkan untuk melihat pembahasan hal ini diedisi yang telah lalu : Hukum shalat dhuha).
Sedangkan apabila yang dimaksud dengan shalat Awwabin ini adalah shalat ghoflah atau shalat ba’diyah maghrib, sebagaimana yang ditanyakan, berikut penjelasannya yang kami sarikan dari kitab al Mausu’ah :
“Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan fuqaha (para ahli fiqih) bahwa menghidupkan (dengan shalat) antara maghrib dan isya adalah sunnah. Menurut Syafi’iyah dan Malikiyah kesunnahannya sampai derajat sunnah muakkadah. Dan kalangan Hanabilah menguatkannya.[8]
Berapa jumlah raka’atnya ?
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah raka’at shalat yang dianjurkan untuk dikerjakan pada shalat Awwabin/Ghoflah/ ba’da Maghrib.
Pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang dianjurkan untuk dikerjakan antara dua shalat (maghrib dan isya) adalah 6 raka’at, ini adalah pendapat Abu Hanifah, dan ini pula pendapat yang rajih dari mazhab Hanabilah. Dalil yang digunakan adalah dalil dari Ibnu Umar diatas (“Barangsiapa yang shalat 6 raka’at setelah maghrib maka akan ditulis sebagai golongan Awwabin).
Kalangan mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa paling sedikit ia dikerjakan dua raka’at dan yang paling banyak 20 raka’at. Dalilnya yang digunakan adalah sebuah hadits "Barangsiapa shalat 20 rakaat setelah maka Allah mambangun rumah di sorga untuknya." (HR Tirmidzi)
Sedangkan kalangan Mazhab Malikiyah tidak membatasi jumlah raka’atnya, namun yang terbaik menurut mazhab ini adalah dikerjakan sebanyak 6 raka’at.
Sedangkan sebagian ulama lainnya menolak pembatasan shalat ini menjadi bilangan tertentu. Mereka menganggap hal ini tidak perlu dilakukan karena hadits-hadits yang menerangkan pembatasan jumlah raka’at shalat sunnah antara Maghrib dan Isya semuanya lemah.
Bagaimana dengan kalangan yang mempermasalahkan kesahihan hadits-hadits bilangan shalat ini?
Harus diakui bahwa hadits yang menyatakan jumlah bilangan tertentu raka’at dari shalat ini semua dha’if. Sehingga sebagian ulama kemudian menolak mengamalkan shalat sunnah ini melebihi dua raka’at.
Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits-hadits dha’if tersebut dipandang bukan sebagai hadits ahkam (hukum) yang melandasi sebuah amalan, dalam hal ini shalat Awwabin, tetapi hanya sebagai fadhilahnya.
Diantaranya apa yang dijelaskan oleh Imam Shaukani dalam Nailul Autar setelah menyebutkan hadist-hadist tentang bilangan raka’at shalat ba’diyah maghrib ini, beliau menjelaskan hadist-hadistnya memang semuanya dha’if (lemah), namun semuanya bermakna penganjuran memperbanyak shalat sunnah ini.[9]
Kesimpulan
Ulama berbeda pendapat tentang penamaan Awwabin untuk shalat sunnah antara Maghrib dan Isya. Sebagian membolehkan sebagian yang lain menolak. Yang menolak beralasan bahwa penaman ini hanya untuk shalat dhuha yang dikerjakan diwaktu tertentu.
Ulama sepakat bahwa shalat sunnah ini paling sedikit dikerjakan 2 raka’at. Namun mereka berbeda pendapat tentang bilangan raka’at yang mustahab (disukai) untuk dikerjakan. Namun diketahui bahwa jumhur ulama berpendapat maksimal 6 raka’at.
Selesai. Wallahu a’lam.
[1] Syarah Shahih Muslim li an-Nawawi no. 1237, Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (27/133).
[2] Subul al-Salam, (2/293)
[3] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (27/134).
[4] Dikatakan hadits ini disebutkan dalam Syarah Fath al Qadir, lihat Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (2/273)
[5] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (2/238).
[6] Mughni al Muhtaj (1/225)
[7] Nail al Authar (3/55), Fath al Qadir (1/317), al Iqna’ (1/108).
[8] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (2/237).
[9] Nail al Authar (3/55).
Diposkan oleh Ahmad Syahrin Thoriq
Terkait :
Apa Itu Shalat Awwabin?
Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada rasul yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam,
Nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Istilah
shalat awwabin mungkin belum terlalu familiar, karena jarang digunakan
dan dijelaskan. Padahal beberapa hadits menyebutkannya. Oleh sebab itu
kami menyusun tulisan ini untuk menjelaskannya. Terlebih ada pertanyaan
pembaca voa-islam.com yang ditujukan kepada redaksi melalui pesan
singkat SMS yang menanyakannya. "Ustad Apakah Shalat Awwabin itu dan apa
perbedaannya dengan shalat sunnah rawatib," isi pertanyaan tersebut.
Makna Awwabin
Kata Awwabin jama' (bentuk plural) dari Awwab, maknanya: orang yang taat, yang kembali kepada ketaatan. (Lihat Syarh Shahih Muslim li an-Nawawi no. 1237)
Menurut Syaikh al-Mubarakfuuri dalam Ithaful Kiram, ta'liq atas Bulughul Maram hal. 112, maknanya adalah Al-Raja'
(yang banyak kembali), maksudnya: orang yang banyak kembali kepada
Allah Ta'ala dengan melaksanakan kebaikan-kebaikan dan hasanat
(kebajikan) serta meninggalkan perbuatan-perbuatan munkar dan buruk."
Menurut Imam al-Shan'ani rahimahullah,
"Al-Awwab adalah yang banyak kembali kepada Allah Ta'ala dengan
meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa dan melaksanakan
perbuatan-perbuatan baik." (Subul al-Salam: 2/293 dari Maktabah
Syamilah)
Apa Maksud Shalat Awwabin?
Istilah shalat Awaabin digunakan untuk menyebut shalat Dhuha. Ini terdapat dalam hadits Zaid bin Arqam , ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah pergi ke penduduk Qubba' pada saat mereka mengerjakan shalat Dhuha. Lalu beliau bersabda,
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتْ الْفِصَالُ مِنْ الضُّحَى
"Shalat Awwabin adalah apabila anak onta sudah merasa kepananasan di waktu Dhuha." (HR. Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi. Lafadz milik Imam Ahmad)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata:
أَوْصَانِي
خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَبِالْوِتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ وَبِصَلَاةِ الضُّحَى
فَإِنَّهَا صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ
"Kekasihku
Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewasiatkan kepadaku untuk berpuasa tiga
hari dari setiap bulan, shalat witir sebelum tidur, dan dari shalat
Dhuha, maka sungguh itu adalah shalatnya awwabin (shalatnya orang-orang yang banyak taat kepada Allah)."
(HR. Ahmad dan Ibnu Huzaimah. Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam
Shahih al-Targhib wa al-Tarhib. Dan dalam Irwau; Ghalil beliau
mengatakan, "Dikeluarkan Imam Ahmad: 2/505 dari al-'Awwam. Sanadnya
shahih sesuai syarat Syaikhain. . .")
Shalat
awwabin pada dua hadits di atas adalah shalat Dhuha. "Shalat Awwabiin
adalah shalat Dhuha yang dikerjakan sebanyak 2 rakaat, empat rakaat,
enam rakaat, atau delapan rakaat semenjak matahari sudah meninggi sampai
mendekati waktu Dhuhur, dan mengakhirkannya sampai matahari sudah
sangat memanas adalah lebih utama." Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Munajjid yang dinukil dari www.imanway.com.
Beliau mendasarkan pada hadits Muslim dari Zaid bin Arqam di atas,"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah pergi ke penduduk Qubba' pada saat mereka mengerjakan shalat (Dhuha). Lalu beliau bersabda,
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتْ الْفِصَالُ مِنْ الضُّحَى
"Shalat Awwabin adalah apabila anak onta sudah merasa kepananasa di waktu Dhuha."
Dalam riwayat Imam Ahmad, dari Zaid bin Arqam,
أَنَّ
نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى عَلَى مَسْجِدِ
قُبَاءَ أَوْ دَخَلَ مَسْجِدَ قُبَاءَ بَعْدَمَا أَشْرَقَتْ الشَّمْسُ
فَإِذَا هُمْ يُصَلُّونَ فَقَالَ إِنَّ صَلاةَ الأَوَّابِينَ كَانُوا
يُصَلُّونَهَا إِذَا رَمِضَتْ الْفِصَالُ
"Bahwasanya
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam datang ke masjid Qubba' atau masuk ke
dalam masjid Qubba' sesudah matahari terbit yang pada saat itu mereka
sedang mengerjakan shalat. Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya shalatnya
awwaabin (orang yang banyak taan kepada Allah) yang mereka
mengerjakannya apabila anak onta sudah kepanasan."
Maksud رَمِضَتْ الْفِصَالُ
(anak onta sudah kepanasan) adalah matahari sudah sangat panas sampai
memanaskan tanah dan pasir sehingga panasnya itu dirasakan oleh kaki
anak-anak onta. Hal itu tidak terjadi kecuali pada saat matahari sudah
meninggi dan mendekati pertengahan siang. Hal itu terjadi beberapa menit
menjelang tergelincirnya matahari, sekitar seperempat jam menjelang
adzan Dzuhur. Dan pada waktu inilah pelaksanaan shalat Dhuha yang paling
utama. (lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal: 1/85-86)
Imam
Nawawi berkata, "Dan faidah di dalamnya (hadits tersebut): utamanya
shalat (Dhuha) pada waktu ini. Para shahabat kami berkata: Ia merupakan
waktu shalat dhuha yang paling utama, walaupun boleh dikerjakan sejak
terbitnya matahari hingga waktu zawal (tergelincirnya matahari di tengah
hari)." (Syarah Shahih Muslim li an-Nawawi, hadits no. 1237)
Syaikh
Mubarakfuuri mengatakan, "Dan hadits tersebut memberi faidah untuk
mengakhirkan shalat Dhuha sampai menjelang pertengahan siang." (Lihat
Bulughul maram dg ta'liqnya Ithaful Kiram: hal. 112)
Dari
al-Qasim al-Syaibani, bahwasannya Zaid bin Arqam melihat suatu kaum yang
sedang melaksanakan shalat di waktu dhuha, maka ia berkata:
أَمَا
لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ
الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Tidakkah
mereka mengetahui bahwasannya shalat di selain waktu ini lebih utama?
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:
“Shalat Awwabiin dilakukan saat anak onta kepanasan.” (HR. Muslim)
Pengingkaran
Zaid bin Arqam ini bukanlah merupakan pengingkaran terhadap keberadaan
shalat Dhuha di awal siang. Akan tetapi pengingkaran Zaid bin Arqam ini
adalah agar supaya orang-orang melakukannya ketika matahari telah
meninggi sehingga mereka mendapatkan pahala yang lebih besar, karena
waktu pelaksanaan shalat Dhuha (Shalat Awwabiin) yang paling utama
adalah ketika matahari telah memanas. Wallahu Ta'ala a'lam.
Kenapa Disebut Shalat Awwabin?
Dinamakannnya
shalat yang dikerjakan pada waktu tersebut dengan shalat awwabin,
karena pada saat itu jiwa ini cenderung untuk istirahat, maka sibuk
mengerjakan shalat di dalamnya lebih mengutamakan mencari ridha Allah
Ta'ala dari pada menuruti keinginan jiwa. (Lihat Bulughul Maram dengan
Ta'liqnya Ithaful Kiram, hal. 112)
Shalat Awwabin adalah Shalat antara Maghrib dan Isya'
Ada
beberapa ulama yang menyebut shalat di antara maghrib dan Isya' adalah
shalat awwabin. Jumlah rakaatnya berlainan; dari dua rakaat, empat
rakaat, enam rakaat, sepuluh rakaat, sampai dua puluh rakaat. Hanya saja
riwayat-riwayat yang dijadikan sandaran tidak ada yang shahih dari Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Padahal sebagaimana yang diketahui bahwa asal dari ibadah adalah tawakkuf sehingga ada dalil shahih yang menunjukkannya.
Syaikh al-albani dalam Silsilah Dhaifah
(1/481) mengatakan: Ketahuilah bahwa setiap hadits yang menganjurkan
untuk melaksanakan beberapa rakaat tertentu di antara maghrib dan isya'
adalah tidak shahih, sebagiannya lebih dhaif dari yang lain. Dan
sesungguhnya telah ada riwayat shahih tentang shalat di waktu ini dari
praktek Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tanpa menetapkan jumlah tertentu. Sedangkan yang berasal dari sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka setiap hadits yang diriwayatkan darinya adalah bermasalah yang tidak boleh diamalkan. Wallahu Ta'ala a'lam.
Kesimpulan
Shalat
awwabin adalah shalat Dhuha itu sendiri yang dikerjakan saat matahari
sudah meninggi dan memanaskan pasir dan bebatuan, sehingga anak onta
mengangkat kakiknya karena kepanasan. Waktu itu menjelang tengah hari
atau kira-kira seperempat jam sebelum adzan Dhuhur. Ini adalah waktu
terbaik untuk mendirikan shalat Dhuha.
Sedangkan
penamaannya untuk shalat di antara Maghrib dan Isya', memang ada
beberapa ulama yang mengakuinya, hanya saja riwayat-riwayat yang
menerangkannya tidak ada yang shahih, dan ini diakui oleh Imam Syaukani
dalam Nailul Authar. Sehingga yang lebih benar, bahwa shalat awwabin
adalah shalat Dhuha itu sendiri yang dilaksanakan menjelang Dhuhur.
Karenanya
sangat jelas perbedaannya dengan sunnah rawatib (shalat sunnah yang
mengiringi shalat fardhu), khususnya antara Maghrib dan Isya'. Dan
terdapat beberapa hadits shahih yang menerangkan tentang adanya shalat
sunnah sesudah Maghrib yang berjumlah dua raka'at. Bahkan jumhur
memasukkannya sebagai sunnah mu'akkadah (yang sangat-sangat ditekankan).
Namun itu tidak dinamakan dengan shalat awwabin. Wallahu Ta'ala a'lam.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/ibadah/2011/05/24/14911/apa-itu-shalat-awwabin/#sthash.FNAEVj21.dpufApa Itu Shalat Awwabin?
Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada rasul yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam,
Nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Istilah
shalat awwabin mungkin belum terlalu familiar, karena jarang digunakan
dan dijelaskan. Padahal beberapa hadits menyebutkannya. Oleh sebab itu
kami menyusun tulisan ini untuk menjelaskannya. Terlebih ada pertanyaan
pembaca voa-islam.com yang ditujukan kepada redaksi melalui pesan
singkat SMS yang menanyakannya. "Ustad Apakah Shalat Awwabin itu dan apa
perbedaannya dengan shalat sunnah rawatib," isi pertanyaan tersebut.
Makna Awwabin
Kata Awwabin jama' (bentuk plural) dari Awwab, maknanya: orang yang taat, yang kembali kepada ketaatan. (Lihat Syarh Shahih Muslim li an-Nawawi no. 1237)
Menurut Syaikh al-Mubarakfuuri dalam Ithaful Kiram, ta'liq atas Bulughul Maram hal. 112, maknanya adalah Al-Raja'
(yang banyak kembali), maksudnya: orang yang banyak kembali kepada
Allah Ta'ala dengan melaksanakan kebaikan-kebaikan dan hasanat
(kebajikan) serta meninggalkan perbuatan-perbuatan munkar dan buruk."
Menurut Imam al-Shan'ani rahimahullah,
"Al-Awwab adalah yang banyak kembali kepada Allah Ta'ala dengan
meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa dan melaksanakan
perbuatan-perbuatan baik." (Subul al-Salam: 2/293 dari Maktabah
Syamilah)
Apa Maksud Shalat Awwabin?
Istilah shalat Awaabin digunakan untuk menyebut shalat Dhuha. Ini terdapat dalam hadits Zaid bin Arqam , ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah pergi ke penduduk Qubba' pada saat mereka mengerjakan shalat Dhuha. Lalu beliau bersabda,
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتْ الْفِصَالُ مِنْ الضُّحَى
"Shalat Awwabin adalah apabila anak onta sudah merasa kepananasan di waktu Dhuha." (HR. Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi. Lafadz milik Imam Ahmad)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata:
أَوْصَانِي
خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَبِالْوِتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ وَبِصَلَاةِ الضُّحَى
فَإِنَّهَا صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ
"Kekasihku
Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewasiatkan kepadaku untuk berpuasa tiga
hari dari setiap bulan, shalat witir sebelum tidur, dan dari shalat
Dhuha, maka sungguh itu adalah shalatnya awwabin (shalatnya orang-orang yang banyak taat kepada Allah)."
(HR. Ahmad dan Ibnu Huzaimah. Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam
Shahih al-Targhib wa al-Tarhib. Dan dalam Irwau; Ghalil beliau
mengatakan, "Dikeluarkan Imam Ahmad: 2/505 dari al-'Awwam. Sanadnya
shahih sesuai syarat Syaikhain. . .")
Shalat
awwabin pada dua hadits di atas adalah shalat Dhuha. "Shalat Awwabiin
adalah shalat Dhuha yang dikerjakan sebanyak 2 rakaat, empat rakaat,
enam rakaat, atau delapan rakaat semenjak matahari sudah meninggi sampai
mendekati waktu Dhuhur, dan mengakhirkannya sampai matahari sudah
sangat memanas adalah lebih utama." Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Munajjid yang dinukil dari www.imanway.com.
Beliau mendasarkan pada hadits Muslim dari Zaid bin Arqam di atas,"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah pergi ke penduduk Qubba' pada saat mereka mengerjakan shalat (Dhuha). Lalu beliau bersabda,
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتْ الْفِصَالُ مِنْ الضُّحَى
"Shalat Awwabin adalah apabila anak onta sudah merasa kepananasa di waktu Dhuha."
Dalam riwayat Imam Ahmad, dari Zaid bin Arqam,
أَنَّ
نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى عَلَى مَسْجِدِ
قُبَاءَ أَوْ دَخَلَ مَسْجِدَ قُبَاءَ بَعْدَمَا أَشْرَقَتْ الشَّمْسُ
فَإِذَا هُمْ يُصَلُّونَ فَقَالَ إِنَّ صَلاةَ الأَوَّابِينَ كَانُوا
يُصَلُّونَهَا إِذَا رَمِضَتْ الْفِصَالُ
"Bahwasanya
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam datang ke masjid Qubba' atau masuk ke
dalam masjid Qubba' sesudah matahari terbit yang pada saat itu mereka
sedang mengerjakan shalat. Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya shalatnya
awwaabin (orang yang banyak taan kepada Allah) yang mereka
mengerjakannya apabila anak onta sudah kepanasan."
Maksud رَمِضَتْ الْفِصَالُ
(anak onta sudah kepanasan) adalah matahari sudah sangat panas sampai
memanaskan tanah dan pasir sehingga panasnya itu dirasakan oleh kaki
anak-anak onta. Hal itu tidak terjadi kecuali pada saat matahari sudah
meninggi dan mendekati pertengahan siang. Hal itu terjadi beberapa menit
menjelang tergelincirnya matahari, sekitar seperempat jam menjelang
adzan Dzuhur. Dan pada waktu inilah pelaksanaan shalat Dhuha yang paling
utama. (lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal: 1/85-86)
Imam
Nawawi berkata, "Dan faidah di dalamnya (hadits tersebut): utamanya
shalat (Dhuha) pada waktu ini. Para shahabat kami berkata: Ia merupakan
waktu shalat dhuha yang paling utama, walaupun boleh dikerjakan sejak
terbitnya matahari hingga waktu zawal (tergelincirnya matahari di tengah
hari)." (Syarah Shahih Muslim li an-Nawawi, hadits no. 1237)
Syaikh
Mubarakfuuri mengatakan, "Dan hadits tersebut memberi faidah untuk
mengakhirkan shalat Dhuha sampai menjelang pertengahan siang." (Lihat
Bulughul maram dg ta'liqnya Ithaful Kiram: hal. 112)
Dari
al-Qasim al-Syaibani, bahwasannya Zaid bin Arqam melihat suatu kaum yang
sedang melaksanakan shalat di waktu dhuha, maka ia berkata:
أَمَا
لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ
الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Tidakkah
mereka mengetahui bahwasannya shalat di selain waktu ini lebih utama?
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:
“Shalat Awwabiin dilakukan saat anak onta kepanasan.” (HR. Muslim)
Pengingkaran
Zaid bin Arqam ini bukanlah merupakan pengingkaran terhadap keberadaan
shalat Dhuha di awal siang. Akan tetapi pengingkaran Zaid bin Arqam ini
adalah agar supaya orang-orang melakukannya ketika matahari telah
meninggi sehingga mereka mendapatkan pahala yang lebih besar, karena
waktu pelaksanaan shalat Dhuha (Shalat Awwabiin) yang paling utama
adalah ketika matahari telah memanas. Wallahu Ta'ala a'lam.
Kenapa Disebut Shalat Awwabin?
Dinamakannnya
shalat yang dikerjakan pada waktu tersebut dengan shalat awwabin,
karena pada saat itu jiwa ini cenderung untuk istirahat, maka sibuk
mengerjakan shalat di dalamnya lebih mengutamakan mencari ridha Allah
Ta'ala dari pada menuruti keinginan jiwa. (Lihat Bulughul Maram dengan
Ta'liqnya Ithaful Kiram, hal. 112)
Shalat Awwabin adalah Shalat antara Maghrib dan Isya'
Ada
beberapa ulama yang menyebut shalat di antara maghrib dan Isya' adalah
shalat awwabin. Jumlah rakaatnya berlainan; dari dua rakaat, empat
rakaat, enam rakaat, sepuluh rakaat, sampai dua puluh rakaat. Hanya saja
riwayat-riwayat yang dijadikan sandaran tidak ada yang shahih dari Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Padahal sebagaimana yang diketahui bahwa asal dari ibadah adalah tawakkuf sehingga ada dalil shahih yang menunjukkannya.
Syaikh al-albani dalam Silsilah Dhaifah
(1/481) mengatakan: Ketahuilah bahwa setiap hadits yang menganjurkan
untuk melaksanakan beberapa rakaat tertentu di antara maghrib dan isya'
adalah tidak shahih, sebagiannya lebih dhaif dari yang lain. Dan
sesungguhnya telah ada riwayat shahih tentang shalat di waktu ini dari
praktek Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tanpa menetapkan jumlah tertentu. Sedangkan yang berasal dari sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka setiap hadits yang diriwayatkan darinya adalah bermasalah yang tidak boleh diamalkan. Wallahu Ta'ala a'lam.
Kesimpulan
Shalat
awwabin adalah shalat Dhuha itu sendiri yang dikerjakan saat matahari
sudah meninggi dan memanaskan pasir dan bebatuan, sehingga anak onta
mengangkat kakiknya karena kepanasan. Waktu itu menjelang tengah hari
atau kira-kira seperempat jam sebelum adzan Dhuhur. Ini adalah waktu
terbaik untuk mendirikan shalat Dhuha.
Sedangkan
penamaannya untuk shalat di antara Maghrib dan Isya', memang ada
beberapa ulama yang mengakuinya, hanya saja riwayat-riwayat yang
menerangkannya tidak ada yang shahih, dan ini diakui oleh Imam Syaukani
dalam Nailul Authar. Sehingga yang lebih benar, bahwa shalat awwabin
adalah shalat Dhuha itu sendiri yang dilaksanakan menjelang Dhuhur.
Karenanya
sangat jelas perbedaannya dengan sunnah rawatib (shalat sunnah yang
mengiringi shalat fardhu), khususnya antara Maghrib dan Isya'. Dan
terdapat beberapa hadits shahih yang menerangkan tentang adanya shalat
sunnah sesudah Maghrib yang berjumlah dua raka'at. Bahkan jumhur
memasukkannya sebagai sunnah mu'akkadah (yang sangat-sangat ditekankan).
Namun itu tidak dinamakan dengan shalat awwabin. Wallahu Ta'ala a'lam.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/ibadah/2011/05/24/14911/apa-itu-shalat-awwabin/#sthash.FNAEVj21.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar