Melanjutkan pertanyaan kedua saudara Dido dari
Surabaya. Pada edisi yang lalu, kami telah menjelaskan tentang bagaimana
qadla-nya shalat yang ditinggalkan selama bertahun-tahun. Dan pada
kesempatan ini kami akan mencoba menjelaskan mengenai qadla-nya puasa
yang juga ditinggalkan selama bertahun-tahun.
Dalam kasus pembatalan puasa secara sengaja tanpa alasan yang dibenarkan syara` (‘udzr syar’i) para fuqaha` berbeda pendapat. Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, orang tersebut wajib meng-qadla` dan membayar kaffarat atau denda sebagaimana orang yang sengaja melakukan jima’ pada siang hari di bulan Ramadhan. (‘Alauddin al-Kasani dalam Bada’i ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i dan Malik bin Anas dalam al-Mudawwah al-Kubra)
Sedangkan menurut madzhab Syafii bahwa orang yang sengaja membatalkan puasa dengan tanpa alasan yang dibenarkan syara selain jima’ tidak memiliki kewajiban kaffarat. Sebab kaffarat menurut mereka hanya dalam kasus jima’ saja. (Ibrahim asy-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 1, h. 183). Kami cenderung memilih pendapat madzab Syafi’i.
Pandangan madzhab Syafi’i di atas juga diamini oleh madzhab Hanbali sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Qudamah. (Ibnu Qudamah al-Mughni, Riyadl-Dar al-‘Alam al-Kutub, cet ke-3, 1417 H/1997 M, juz, 4, h. 349)
Mengenai penundaan pelaksanaan qadla` sampai Ramadhan berikutnya. Dalam kasus ini menurut pendapat mayoritas ulama, bahwa orang yang dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan syara` seperti sakit, bepergian jauh, haid dan nifas menunda pelaksanaan qadla` sampai masuknya Ramadhan berikutnya maka ia wajib membayar fidyah.
Besarnya fidyah yang harus dibayar adalah 1 mud atau sekitar kurang lebih 7 ons beras untuk setiap puasa yang ditinggalkan, yang diberikan kepada orang miskin. Bahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab syafi’i, fidyah-nya bisa berlipat ganda sesuai dengan kelipatan tahun pendundaanya.
Misalnya, jika seseorang pada tahun 2009 tidak melakukan puasa selama lima hari dan baru di-qadla` pada tahun 2014 ia wajib membayar fidyah empat kali lipat. Dan jumlah keseluruhannya jadi 20 mud. Tetapi menurut madzhab maliki dan hanbali fidyah-nya tidak berlipat ganda.
Demikian jawaban yang bisa kami sampaikan. Tentu semua ketentuan dan konsekuensi di atas dilakukan menurut kadar kemampuan yang bersangkutan. Selain qadla puasa dan membayar fidyah, jangan lupa untuk memperbanyak istighfar, shalat sunnah, dan kebajikan kepada sesama. Semoga Allah SWT memberikan hidayah dan kekuatan kepada kita untuk menjadi hamba yang lebih baik dan lebih baik lagi di masa-masa yang akan datang. (Mahbub Ma’afi Ramdlan)
Dalam kasus pembatalan puasa secara sengaja tanpa alasan yang dibenarkan syara` (‘udzr syar’i) para fuqaha` berbeda pendapat. Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, orang tersebut wajib meng-qadla` dan membayar kaffarat atau denda sebagaimana orang yang sengaja melakukan jima’ pada siang hari di bulan Ramadhan. (‘Alauddin al-Kasani dalam Bada’i ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i dan Malik bin Anas dalam al-Mudawwah al-Kubra)
Sedangkan menurut madzhab Syafii bahwa orang yang sengaja membatalkan puasa dengan tanpa alasan yang dibenarkan syara selain jima’ tidak memiliki kewajiban kaffarat. Sebab kaffarat menurut mereka hanya dalam kasus jima’ saja. (Ibrahim asy-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 1, h. 183). Kami cenderung memilih pendapat madzab Syafi’i.
Pandangan madzhab Syafi’i di atas juga diamini oleh madzhab Hanbali sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Qudamah. (Ibnu Qudamah al-Mughni, Riyadl-Dar al-‘Alam al-Kutub, cet ke-3, 1417 H/1997 M, juz, 4, h. 349)
Mengenai penundaan pelaksanaan qadla` sampai Ramadhan berikutnya. Dalam kasus ini menurut pendapat mayoritas ulama, bahwa orang yang dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan syara` seperti sakit, bepergian jauh, haid dan nifas menunda pelaksanaan qadla` sampai masuknya Ramadhan berikutnya maka ia wajib membayar fidyah.
وَتَجِبُ
اْلفِدْيَةُ أَيْضاً مَعَ الْقَضَاءِ عِنْدَ الْجُمْهُورِ (غَيْرِ
الْحَنَفِيَّةِ) عَلَى مَنْ فَرَّطَ فِي قَضَاءِ رَمَضَانَ، فَأَخَّرَهُ
حَتَّى جَاءَ رَمَضَانُ آخَرُ مِثْلُهُ بِقَدْرِ مَا فَاتَهُ مِنَ
الْأَيَّامِ، قِيَاساً عَلَى مَنْ أَفْطَرَ مُتَعَمِّداً؛ لأن كِلَيْهِمَا
مُسْتَهِينٌ بِحُرْمَةِ الصَّوْمِ
“Begitu juga wajib membayar fidyah beserta qadla` menurut mayoritas ulama (selain madzhab hanafi) atas orang yang melalaikan qadla` puasa Ramadhan kemudian ia menunda qadla`
tersebut sampai datangnya puasa berikutnya, sejumlah puasa yang
ditinggalkan karena diqiyaskan dengan orang yang membatalkan puasa puasa
dengan sengaja. Sebab keduanya sama-sama dianggap orang yang tidak
menghormati kemulian puasa. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-2, 1405 H/1985 M, juz, 2, h. 688-689)Besarnya fidyah yang harus dibayar adalah 1 mud atau sekitar kurang lebih 7 ons beras untuk setiap puasa yang ditinggalkan, yang diberikan kepada orang miskin. Bahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab syafi’i, fidyah-nya bisa berlipat ganda sesuai dengan kelipatan tahun pendundaanya.
Misalnya, jika seseorang pada tahun 2009 tidak melakukan puasa selama lima hari dan baru di-qadla` pada tahun 2014 ia wajib membayar fidyah empat kali lipat. Dan jumlah keseluruhannya jadi 20 mud. Tetapi menurut madzhab maliki dan hanbali fidyah-nya tidak berlipat ganda.
Demikian jawaban yang bisa kami sampaikan. Tentu semua ketentuan dan konsekuensi di atas dilakukan menurut kadar kemampuan yang bersangkutan. Selain qadla puasa dan membayar fidyah, jangan lupa untuk memperbanyak istighfar, shalat sunnah, dan kebajikan kepada sesama. Semoga Allah SWT memberikan hidayah dan kekuatan kepada kita untuk menjadi hamba yang lebih baik dan lebih baik lagi di masa-masa yang akan datang. (Mahbub Ma’afi Ramdlan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar