Selasa, 17 Juni 2014

Puasa Nisfu Sya'ban dan setelahnya

Tolong dijelaskan tentang puasa Nishfu Sya’ban dan sesudahnya. (inbox FB)

Jawaban:
Ada dua point yang perlu dipilah dalam masalah ini, yakni puasa sunah secara khusus di siang hari Nishfu Sya’ban dan puasa sunah secara umum setelah Nishfu Sya’ban sampai Ramadlan. Kedua masalah diatas sama-sama menjadi khilafiah dari para ulama.

Kita awali dengan masalah pertama. Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali berkata:

وَأَمَّا صِيَامُ يَوْمِ النِّصْفِ مِنْهُ فَغَيْرُ مَنْهِيٍّ عَنْهُ فَإِنَّهُ مِنْ جُمْلَةِ أَيَّامِ الْبِيْضِ الْغُرِّ الْمَنْدُوْبِ إِلَى صِيَامِهَا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَقَدْ وَرَدَ الْأَمْرُ بِصِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ بِخُصُوْصِهِ فَفِي سُنَنِ ابْنِ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ عَنْ عَلِيٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا. فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ (لطائف المعارف - ج 1 / ص 151)
“Puasa di hari Nishfu Sya’ban tidaklah dilarang, sebab termasuk diantara hari-hari purnama yang bersinar yang dianjurkan berpuasa dalam setiap bulan. Dan telah datang perintah melakukan puasa di bulan Sya’ban secara khusus. Diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Maja dengan sanad yang dlaif: “Dari Ali, dari Nabi Saw: “Jika datang malam Nishfu Sya’ban maka bangunlah di malam harinya dan puasalah di siang harinya. Sebab (rahmat) Allah turun di malam itu sejak terbenam matahari ke langit terdekat. Allah berfirman: “Adakah yang meminta ampunan, maka Aku ampuni. Adakah yang meminta rezeki, maka aku beri rezeki. Adakah yang terkena penyakit, maka Aku sembuhkan, dan lainnya, dan lainnya hingga terbit fajar” (Lathaif al-Ma’arif 1/151)

Bagi ulama Wahabi hadis ini dinilai sebagai hadis palsu. Karenanya bagi mereka melakukan puasa Nishfu Sya’ban adalah bid’ah.

Masalah kedua saya kutipkan dari ahli hadis Syaikh al-Munawi:

وَقَدِ اخْتُلِفَ فِي التَّطَوُّعِ بِالصَّوْمِ فِي النِّصْفِ الثَّانِي مِنْ شَعْبَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْوَالٍ أَحَدُهَا الْجَوَازُ مُطْلَقًا يَوْمَ الشَّكِّ وَمَا قَبْلَهُ سَوَاءٌ صَامَ جَمِيْعَ النِّصْفِ أَوْ فَصَّلَ بَيْنَهُ بِفِطْرِ يَوْمٍ أَوْ إِفْرَادِ يَوْمِ الشَّكِّ بِالصَّوْمِ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ أَيَّامِ النِّصْفِ الثَّانِي قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ وَهُوَ الَّذِي عَلَيْهِ أَئِمَّةُ الْفَتْوَى لَا بَأْسَ بِصِيَامِ الشَّكِّ تَطَوُّعَا كَمَا قَالَهُ مَالِكٌ ، الثَّالِثُ عَدَمُ الْجَوَازِ سَوَاءٌ يَوْمُ الشَّكِّ وَمَا قَبْلَهُ مِنَ النِّصْفِ الثَّانِي إِلَّا أَنْ يَصِلَ صِيَامَهُ بِبَعْضِ النِّصْفِ الْأَوَّلِ أَوْ يُوَافِقَ عَادَةً لَهُ وَهُوَ الْأَصَحُّ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ ، الرَّابِعُ يَحْرُمُ يَوْمُ الشَّكِّ فَقَطْ وَلَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ غيْرُهُ مِنَ النِّصْفِ الثَّانِي وَعَلَيْهِ كَثِيْرٌ مِنَ اْلعُلَمَاءِ (فيض القدير – ج 1 / ص 391)
“Ulama berbeda pendapat dalam masalah puasa Nishfu Sya’ban, menjadi 4 macam. Pertama: “Boleh secara mutlak”, baik puasa di hari Syak (hari yang diragukan apakah termasuk Sya’ban atau Ramadlan) dan hari sebelumnya. Baik puasa keseluruhan separuh Sya’ban, dipisah-pisah, disendirikan di hari Syak, dan sebagainya sejak separuh kedua Sya’ban. Kedua, Ibnu Abdil Barr berkata: “Boleh puasa hari Syak untuk puasa sunah”, sebagaimana pendapat Imam Malik. Ketiga: “Tidak boleh”, baik di hari Syak dan hari sebelumnya sejak separuh kedua Sya’ban, kecuali jika disambung dengan puasa sebelum Nishfu Sya’ban, atau sesua dengan kebiasaannya (misal puasa senin-kamis dll). Ini adalah pendapat yang kuat dalam madzhab Syafiiyah. Keempat: (Ditafsil) “Haram melakukan puasa di hari Syak dan tidak haram di hari lainnya sejak Nishfu Sya’ban. Inilah pendapat kebanyakan para ulama” (Faidl al-Qadir 1/391)

Masalah ini berangkat dari hadis berikut yang dinilai dlaif oleh sebagian ulama dan dinilai sahih oleh sebagian lainnya:

عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا { إذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلَا تَصُومُوا } أَخْرَجَهُ أَصْحَابُ السُّنَنِ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَغَيْرُهُ . وَقَالَ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ : يَجُوزُ الصَّوْمُ تَطَوُّعًا بَعْدَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، وَضَعَّفُوا الْحَدِيثَ الْوَارِدَ فِي النَّهْيِ عَنْهُ . وَقَدْ قَالَ أَحْمَدُ وَابْنُ مَعِينٍ : إنَّهُ مُنْكَرٌ . (نيل الأوطار – ج 7 / ص 180)
“Diriwayatkan dari al-Ala’ bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfu’: “Jika Sya’ban sudah mencapai setengah, maka janganlah kalian berpuasa” HR Abu Dawud, Turmudzi, Nasai, Ibnu Majah dll. Dinilai sahih oleh Ibnu Hibban dan lainnya. Kebanyakan ulama berkata: Boleh puasa sunah setelah Nishfu Sya’ban. Mereka menilai dlaif hadis yang melarangnya. Ahmad dan Ibnu Ma’in berkata: Hadis ini Munkar” (asy-Syaukani, Nail Authar 7/180, mengutip dari al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari) 
Oleh : Ustadz Muhammad Ma'ruf Khozin

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN: http://www.muslimedianews.com/2014/06/puasa-nishfu-syaban-dan-setelahnya.html#ixzz35AyGZd4z

Tidak ada komentar:

Posting Komentar