Selasa, 10 Juni 2014

Menghukum Maling (pencuri)

Benarkah Tindakan Menghukum Pencuri Dengan Cara Dibunuh Ramai-Ramai?
Sudah banyak kasus di negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragam islam, tapi cara menghakimi seorang maling dengan cara mengeroyok hingga mati, bahkan ada yang sampai membakarnya hidup-hidup, menurut saya hal demikian adalah tindakan yang sadis, dan nggak berperikemanusiaan, menghukum dengan caranya sendiri, menghukum dengan cara melampiaskan hawa nafsunya. Pernahkan Anda Anda melakukan hal demikan??? Jangan dong!! takutlah sama Allah SWT, Allah melarang membunuh seseorang kecuali secara sah dan dibenarkan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۖ وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ۖ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu:
✿ janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan
✿ janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan
✿ janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan
✿ janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. " Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”(QS. al-An‘aam : 151)

bahkan Allah SWT mengancam/mengecam tindakan manusia yang demikian (memutuskan sesuatu perkara dengan hawa nafsunya) dan tidak pernah diperintahkan Allah SWT, dalam firmannya Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara lalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan". (QS : aL- Israa' : 33)

Dalam hadis Rasulullah berpesan : “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan”.

✿ Musyrik kepada Allah,
✿ sihir,
✿ membunuh seseorang yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan jalan yang benar (al-haq),
✿ memakan riba,
✿ memakan harta anak yatim,
✿ menghindar pada saat kesulitan perang (zahf), dan
✿ menuduh zina kepada wanita mukmin yang menjaga diri dan kehormatannya”.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا

" Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)".(QS An-Nisa [4]: 31)


NALAR INTERAKSIONISME DALAM RUMUSAN USHUL FIQH  (“Koruptor Vs Maling Dalam Prespektif Hukum Islam”)

A. RUMUSAN MASALAH
Kasus tindak pidana korupsi yang berujung sampai kepada eksekusinya belum terjadi secara langsung di masa Nabi SAW. Sebab orang-orang yang menjadi pembantu beliau SAW adalah orang yang terpercaya dan merupakan para shahabat yang mulia. Tidak sedikit di antara mereka yang sejak masih hidup sudah diinformasikan masuk surga. Namun kalau para periode atau abad berikutnya, mungkin sudah mulai bisa kita dapatkan.

Sedangkan bagaimana pandangan syariah terhadap kasus korupsi, memang perlu lebih dicermati lebih mendalam. Bentuk hukuman untuk koruptor disesuaikan oleh hakim yang bertugas menangani kasus tersebut. Perlu diketahui bahwa secara hukum, kasus tindak pidana korupsi tidak sama persis dengan kasus pidana pencurian. Kedua kasus ini dalam format hokum Islam agak sedikit berbeda penanganannya. Pencurian dalam persepektif syariat Islam dibedakan dengan bentuk-bentuk lain dalam kasus pengambilan harta milik orang lain.
 
Hukum potong tangan bagi pencuri dalam beberapa literatur fiqh beberapa mazhab mengatakan bahwa setiap pencurian yang melebihi ¼ dinar maka sang pencuri akan dikenai hukum tersebut, mereka mempunyai dalil berdasarkan pada ayat al-Qur’an dan Hadits yakni; Firman Allah SWT.
 وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. Al-Maidah (5): 38).
 
Sabda Nabi Muhammad Saw.

حد ثنا اسما عيل بن ابي اويس عن ابن وهب عن يونس عن ابن شهاب عن عروة بن الزبير وعمرة عن عائشة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال تقطع يدالسارق في ربع دينار (رواه البخارى )
 
“menceritakan kepada kami ismail bin abi uwais dari ibnu wahab dari yunus dari ibnu syihab dari urwah bin zubair dan ‘amrah dari ‘aisyah dari nabi SAW. bersabda : tangan pencuri itu dipotong karena mencuri ¼ dinar”.

1) Apakah pada zaman Rasulullah sudah pernah terjadi korupsi?
2) Bagaimana hukuman bagi koruptor dalam syariat Islam? Karena dampak korupsi sepertinya lebih besar dari pencurian biasa, bahkan dibandingkan dengan pembunuhan terhadap satu orang sekalipun, karena merugikan dan menyebabkan kesengsaraan berjuta orang.

B. PEMBAHASAN
• Pengertian Korupsi Dan Pencuri
Pada zaman Umar, ketika itu dilanda musim kemarau yang dahsyat, yang menyebabkan makanan menjadi susah . Pada saat itu ada orang miskin yang mencuri, namun Umar menangguhkan hukum hudud karena pencurian yang di lakukan oleh orang tersebut untuk menyambung hidup, dia miskin akibat keadaan itu.
Dalam hukum Islam tindakan pencurian dikenal bentuk lainnya seperti:
  •   Perampasan/penodongan: yaitu mengambil secara paksa dengan sepengetahuan pemilik harta (intihab)
  • Pengkhianatan: yaitu pengambilan hak orang lain dimana pelakunya adalah orang yang diamanahi menjaga barang itu (khianah)
  • Penjambretan: yaitu mengambil hak orang lain dengan cara membuat lengah pemiliknya lalu mengambilnya dengan cepat dan melarikan diri (ikhtilas).
  • Penggelapan: yaitu mengambil hak orang lain dengan cara membawa lari uang yang dipinjamnya (jahid al-'ariyah). Namun ada juga pendapat yang mewajibkan pelakunya dipotong tangan.
Dalam satu riwayat: Dari Mu’az ibn jabal, ia berkata: Rosulallah menyuruh saya ke Yaman, krtika saya baru berangkat beliau mengirim seseorang untuk memanggil saya kembali, maka sayapun kembali, lalu beliau berkata: apakah enkao tahu mengapa saya mengirim seseorang untuk menyuruhmu kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu apapun tanpa seizin saya, karena hal itu adalah Ghulul (Penggelapan), dan barang siapa melakukan Ghulul, maka ia akan membawa barang yang di Gelapkan (di Korupsi) itu di hari kiamat untuk itulah saya memanggilmu sekarang berangkatlah untuk tugasmu. (HR. al-Tirmizi)

Mu’az diutus ke Yaman untuk menjabat kepala daerah dan guru. Dari pengertian hadist di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa cakupan Ghulul bukan hanya terbatas pada harta rampasan perang, melainkan sudah mencakup harta-harta lain seperti harta zakat dan jizyah, bahkan menurut syamsul Anwar (Dalsm Hermenia, Jurnal kajian Islam Interdislipiner vol 4, No 1, 2005. hal 121) bisa di perluas mencakup semua kekayaan public yang diambil oleh seorang pejabat secara tidak sah yaitu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

C. ANALISIS

Kriteria pencuri yang dikenakan potong tangan
Untuk bisa dihukum sesuai dengan had yaitu dipotong tangan, maka sebuah kasus pencurian harus memenuhi persyaratan dan kriteria tertentu. Bila syarat itu tidak terpenuhi tetap dihukum namun bukan dengan potong tangan tapi dengan hukuman ta'zir.
 

• Kriteria seorang pencuri yang harus dipotong tangannya adalah:
1) Akil.
2) Baligh.
3) Tidak dalam keadaan dipaksa dan dalam ikatan hukum Islam.
4) Pencurinya bukan ayah atau kakeknya sendiri.
5) Tidak dalam kondisi kelaparan.
6) Pencurinya tahu tidak bolehnya mencuri.
 

• Syarat Barang yang Dicuri
Sedangkan yang berkaitan dengan kondisi barang yang dicuri, ada beberapa kriteria dan persyarat agar bisa dikategorikan pencurian yang mewajibkan dilaksanakannya potong tangan. Bila syarat pada barang yang dicuri ini tidak ada, maka pelakunya tidak dipotong tangan tetapi hakim bias menerapkan hukuman ta'zir. syarat dan kreiteria itu adalah:
1) Barang yang dicuri memiliki nilai harga.
2) Nilai nominal barang itu mencapai nishab.
3) Barang yang dicuri berada dalam penjagaan.
4) Barang yang awet dan bisa disimpan (tidak lekas rusak) .
5) Barang yang dicuri yang bisa diambil oleh siapapun.
6) Dalam harta yang dicuri tidak ada bagian hak pencuri.
7) Tidak ada izin untuk menggunakannya.
8) Barang itu sengaja dicuri.
 

• Syarat Orang yang Kecurian
Selain adanya syarat yang harus terdapat pada pencuri dan barang yang dicuri, syarat berikutnya adalah syarat yang terkait dengan orang yang kecurian. Syarat ini juga harus termasuk salah satu dari tiga kondisi:
1) Dia adalah pemilik asli barang yang dicuri, atau,
2) Dia adalah orang yang diamanahi untuk menyimpan atau memegang harta itu, atau,
3) Dia adalah orang yang menjadi penjamin atas barang itu seperti orang yang menerima gadai.
 

• Syarat Tempat Pencurian
Sebuah pencurian bisa dikatakan sah bila terjadi di negeri yang adil dimana tidak terjadi perang disitu atau bukan daerah konflik bersenjata. Begitu juga pencurian itu terjadi bukan di daerah kekuasaan Islam, maka hukum hudud potong tangan tidak bisa dilakukan.


Apabila di lihat dari segi kemaslahatan umat maka hokum potong tangan ini sudah tidak efektif lagi untuk di terapkan. Apabila ada orang yang mencuri lalu dia kelihatan mencuri dan tertangkap, lalu hokum potong tangan ini di terapkan, maka apa yang dia lakukan dengan hanya satu tangan, bagaimana dia menghidupi keluarganya, sedangkan pencurian yang dia lakukan itu untuk menghidupi keluarganya…?? Maka disini kita bisa meminjam konsep Syahrur(.al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asyirah) bahwa hokum potong tangan yang telah di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 38 tersebut ialah batasan maksimal bagi pencuri yang mencuri lebih dari 2 dirham, seperti yang di sebutkan dalam hadis.

D. KESIMPULAN
Melihat definisi antara pencuri dengan Ghulul (penggelapan/korupsi) bisa di katakan sama – sama merugikan orang maupun pihak lain. Dalam hal ini seorang koruptor tidak dapat di kenai hukuman potong tangan, karena rosulullah lebih mementingkan hukuman dan pembinaan moral, dengan mempermalukan dia didepan umum atau public. Dengan menanamkan kesadaran untuk menghindari segala bentuk penyelewengan dan mengingatkan masyarakat akan adanya hukuman ukhrawi, berupa siksa neraka yang akan ditimpakan kepada pelakunya. Maka jika dilihat dari segi kemaslahatan umat, maka seorang hakim atau Qodi harus mampu berbuat adil untuk memberikan hukuman kepada para pelaku pencurian, seperti hukuman penjara atau kurungan dimana yang di potong bukan tangannya, melainkan langkahnya supaya dia tidak melakukan pencurian maupun korupsi lagi.
 

Tetapi ada kemungkinan analisis lain dimana Negara yang adil dan tidak ada konflik tersebut berbasis Syari’at Islam, itu bisa menerapkan hukuman potong tangan untuk kasus pencurian.


Kisah Maling Yang Ahli Fiqih


Dikisahkan bahwa suatu malam, seorang Qadli dari Anthokia pergi ke sawah miliknya namun tatkala baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ia dihadang oleh seorang maling yang membentak, “Serahkan semua yang engkau miliki.! Kalau tidak, aku tidak akan segan-segan berbuat kasar terhadapmu.!”

“Semoga Allah menolongmu. Sesungguhnya para ulama itu memiliki kehormatan. Dan aku adalah seorang Qadli negeri ini, karena itu lepaskan aku,” kata Qadli.

“Alhamdulillah, karena Dia telah memberikan kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan orang sepertimu. Aku sangat yakin bahwa kamu bisa kembali ke rumah dengan pakaian dan kendaraan yang serba berkecukupan. Sementara orang selainmu barangkali kondisinya lemah, faqir dan tidak mendapatkan sesuatu pun,” jawab si maling

“Menurutku, kamu ini orang yang berilmu,” selidik Qadli
“Benar, sebab di atas setiap orang yang ‘alim ada yang lebih ‘Alim,”jawabnya tenang

“Kalau begitu, apa katamu tentang hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, ‘Dien itu adalah Dien Allah, para hamba adalah para hamba Allah dan as-Sunnah adalah sunnah-Ku; barangsiapa yang membuat-buat sesuatu yang baru (bid’ah), maka atasnya laknat Allah.’ Maka, memalak dan merampok adalah perbuatan bid’ah dan aku menyayangkan bila kamu masuk dalam laknat ini,” kata Qadli mengingatkan

“Wahai tuan Qadli, ini hadits Mursal (bagian dari hadits Dla’if), periwayatnya tidak pernah meriwayatkan dari Nafi’ atau pun dari Ibn ‘Umar. Kalau pun aku mengikuti kamu bahwa hadits itu shahih atau terputus, maka bagaimana dengan nasib si maling yang amat membutuhkan, tidak memiliki makanan pokok (keseharian) dan tidak dapat pulang dengan berkecukupan. Sesungguhnya harta yang bersamamu itu halal bagiku. Malik meriwayatkan dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ‘Andaikata dunia itu ibarat darah segar, niscaya ia halal menjadi makanan pokok kaum Mukminin.’ Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan seluruh ulama bahwa seseorang boleh menghidupi dirinya dan keluarga (tanggungan)-nya dengan harta orang selainnya bila ia khawatir binasa. Demi Allah, aku takut diriku binasa sementara harta yang ada bersamamu dapat menghidupiku dan keluargaku, maka serahkanlah ia lalu pergilah dari sini dengan selamat,” ujar si maling

“Kalau memang demikian kondisimu, biarkan aku pergi dulu ke sawahku agar singgah ke penginapan para budak dan pembantuku untuk mengambil sesuatu yang dapat menutupi auratkku. Setelah itu, aku akan serahkan kepadamu semua apa yang bersamaku ini,”kata Qadli beralasan

“Tidak mungkin, tidak mungkin.! Orang sepertimu ini ibarat burung di dalam sangkar; bila sudah terbang ke udara, lepaslah ia dari genggaman tangan. Aku khawatir bila membiarkanmu pergi, kamu tidak bakal memberikan sesuatu pun kepadaku,” kata si maling lagi

“Aku bersumpah untukmu bahwa aku akan melakukan itu,” kata Qadli mempertegas

“Malik menceritakan kepada kami dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Sumpah orang yang dipaksa (terpaksa) tidak menjadi kemestian (tidak berlaku).’ Allah Ta’ala berfirman, ‘Kecuali orang yang dipaksa sementara hatinya mantap dengan keimanan.’ Aku khawatir nanti kamu menakwil-nakwil terhadap perkaraku ini, karena itu serahkan saja apa yang ada bersamamu itu.!” tegas si maling seakan tidak mau berkompromi

Maka, sang Qadli pun memberinya kendaraan dan pakaian tetapi tidak menyerahkan celananya. Lalu si maling berkata,
“Serahkan juga celana itu, ini harus.!”

“Sesungguhnya sekarang sudah waktunya shalat padahal Rasulullah SAW bersabda, ‘Celakalah orang yang melihat aurat saudaranya.’ Sekarang ini, sudah waktunya shalat sementara orang yang telanjang tidak boleh shalat sebab Allah berfirman, ‘Ambillah hiasan kamu setiap pergi ke masjid.’ Dikatakan bahwa tafsir ‘hiasan’ tersebut adalah pakaian ketika akan shalat,” sang Qadli mulai berargumentasi

“Adapun mengenai shalat kamu itu, maka hukumnya sah. Malik menceritakan kepada kami, dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang-orang yang bertelanjang melakukan shalat dengan berdiri sedangkan imam mereka berada di posisi tengah.’ Malik berkata, ‘Mereka tidak boleh shalat dengan berdiri tetapi shalat secara terpisah-pisah dan saling berjauhan hingga salah seorang dari mereka tidak bisa melihat kepada aurat sebagian yang lainnya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, ‘mereka shalat dengan duduk.’ Sementara mengenai hadits yang kamu sebutkan itu, maka ia adalah hadits Mursal dan andaikata aku menyerah kepada dalilmu, maka itu dapat diarahkan kepada makna ‘memandang dengan syahwat.’ Sedangkan kondisimu saat ini adalah kondisi terpaksa bukan bebas, dapat memilih. Bukankah engkau tahu bahwa wanita boleh mencuci farji (kemaluan)-nya dari najis padahal tidak dapat menghindar dari melihatnya.? Demikian juga dengan seorang laki-laki yang mencukur bulu kemaluannya, orang yang menyunat dan dokter. Bila demikian keadaannya, maka ucapan sang Qadli tidak berlaku,” sanggah si maling yang ahli fiqih ini

“Kalau begitu, kamulah Qadli sedangkan aku hanyalah seorang yang disidang (mustaqdla), kamulah Ahli Fiqih sedangkan aku hanya orang yang meminta fatwa dan kamulah Mufti sebenarnya. Ambillah celana dan pakaian ini.” aku sang Qadli mengakhiri debat itu

Lalu si maling yang ahli fiqih itu mengambil celana dan pakaian tersebut, kemudian berlalu. Sementara Qadli masih berdiri di tempatnya hingga akhirnya ada orang yang mengenalnya.

Qadli berkata, “Sesungguhnya ia adalah seorang ahli fiqih yang disanjung. Namun masa membuatnya pensiun hingga akhirnya melakukan apa yang telah dilakukannya tersebut.”

Akhirnya, sang Qadli mengutus seorang utusan kepadanya, memuliakannya serta menyuplai kebutuhan hidupnya.

Wasalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar