Dalam Al Qur’an surat Al Ashr, Allah menjelaskan kepada kita tentang
ciri orang beriman. Yaitu, orang-orang yang saling menasehati dalam
kebenaran dan kesabaran. Artinya, setiap muslim beriman hendaknya
berupaya semaksimal mungkin untuk saling mengajak kepada kebaikan,
mengajak kepada hal yang akan mendekatkan kepada Allah. Dan, melarang
dari perbuatan yang tidak disukai Allah.
Salah satu hikmah mengapa kita harus saling menasehati adalah karena
setiap orang mendambakan keselamatan hidup. Keselamatan dari kerusakan,
dari hal-hal yang membahayakan dirinya, lahir atau batin. Dan, harus ada
yang memberitahukan kepada kita tentang hal-hal yang tidak kita ketahui
tersebut. Pemberitahuan itulah yang bisa jadi sebuah nasehat, masukan
atau kritikan. Sehingga, sungguh sangat penting sebuah nasehat dalam
kehidupan kita. Agar kita tahu kekurangan kita dan segera
memperbaikinya.
Sayangnya, diantara kita masih belum siap menerima kritikan, nasehat
dari orang lain. Terlebih jika orang yang memberi nasehat itu kita
anggap lebih rendah dari kita. Sehingga, langkah awal kita untuk
mengamalakan ayat di atas, adalah berusaha menerima kritikan, saran dari
siapapun tentang diri kita, tanpa melihat dari siapa yang mengeluarkan
nasehat trersebut.
Kita harus selalu bahagia, ketika ada yang memberikan saran kepada kita.
Ibarat cermin, kita selalu ingin tampak rapih di depan cermin. Jika ada
yang berantakan tanpa segan kita membetulkannya. Kita tidak kesal
dengan cermin yang menampilkan bayangan kita yang berantakan. Justru
kita tetap merapihkan bagian yang kurang bagus. Begitulah orang yang
selalau senang menerima kritikan dari orang lain. Ia akan berterima
kasih, bukannya marah atau kesal. Yang ia lakukan selanjutnya adalah
segera memperbaiki kekurangan yang disebutkan itu, seperti saat ia
lantas merapihkan dirinya di depan cermin.
Subhannalah, andai setiap orang mampu bersikap seperti hal ini. Senang
menerima kritikan dan segera memperbaikinya, tentu setiap akhlaq,
perilaku kita dapat terjaga. Begitu ada yang salah dengan sikap kita,
orang yang lain sigap memberitahukannya. Mudah-mudahhan suatu saat kita
memiliki lingkungan seperti ini. Inilah hidup jika saling menasehati,
Insya Allah.
Kokohkan Silaturahmi
Dari
Jubair bin Mut?im ra sesungguhnya Rosulullah saw bersabda, " Tidak akan
masuk surga orang yang memutus hubungan.". Sufyan berkata : “yaitu yang
memutus hubungan tali silaturahmi” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagaimana firman Allah:
Artinya:
“
Maka Apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di
muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? mereka Itulah
orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan
dibutakan-Nya penglihatan mereka.”(QS Muhammad 22-23)
Andai saja kita tahu kedahsyatan manfaat silaturahmi, niscaya
sepanjang waktu ini rasanya ingin selalu bersilaturahmi. Karena salah satu tanda keimanan seseorang adalah senantiasa meghubungkan silaturahmi. Setidaknya
silaturahmi yang baik akan menambah saudara baru dan mempereratnya,
menambah wawasan dan ilmu serta semakin menambah kekuatan bagi ukhuwah
kita. Sering sekali terjadi salah paham karena lemahnya komunikasi
akibat jarangnya bersilahturami. Pendek kata silahturami yang teratur
dan terprogram dengan baik adalah bagian kunci suksesnya ukhuwah kita
ini. Dengan semangat yang baru, mari bersama sama kita mengawalinya dengan :
Pertama, Meningkatkan Silaturahmi
Hikmah dari sikap Nabi Muhammad selalu berbeda jalan ketika berangkat
dan pulang dari masjid adalah karena beliau setiap waktu ingin selalu
memperbanyak silaturahmi dengan umatnya. Artinya kitapun harus memiliki
budaya yang sama yaitu upayakan memiliki jadwal dan cara khusus untuk
bersilaturahmi dengan sebanyak mungkin kalangan, baik yang sudah dikenal
ataupun yang belum. Baik yang akrab maupun yang tak menyukai kita.
Kedua, Kirimlah Hadiah
Nabi Muhammad Saw, sudah mengisyaratkan bahwa berkiriman itu akan
menambah rasa sayang dan memang kenyataannyapun demikian. Bila ada yang
berkirim sesuatu yang bermanfaat bagi kita, pada umumnya akan senang
hati dan merasa hutang budi.
Ketiga, Jauhi Perdebatan walaupun Benar
Seringkali perdebatan yang banyak terjadi di sekitar kita, tampaknya
bukan sedang mencari kebenaran tapi lebih dekat kepada mencari
kemenangan pendapatnya sendiri, hal ini tampak dari cara dan bentuk
percakapannya yang lebih menjurus pada berbantah-bantahan secara emosi,
kata yang saling menyerang dan bau permusuhan saling menyudutkan, jauh
dari cara kajian ilmiah yang penuh etika.
Maka sekiranya kita ada dalam situasi yang tak sehat ini menghindar dari
berdebat bukanlah suatu tindakan menghindar dari kebenaran, melainkan
menghindar dari peluang bangkit dan berkobarnya suasana permusuhan,
berpalinglah dan carilah topik bahasan yang lebih mempersatukan,
didasari kesiapan mental yang baik, kesiapan ilmu yang memadai, dan
kesiapan mendengar serta berbicara yang baik pula, Insya Allah akan
datang petunjuk Allah dalam mecari kebenaran.
Sebagaimana firman Allah :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku 'adil dan berbuat kebajikan,
memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran".(Surat an-Nahl ayat 90)
Keempat, Selalu Berusaha Mendahului Menegur, Mengucapkan Salam, Berjabat Tangan Dengan Ramah Dan Tulus.
Dengan kata lain, praktekkan lima (5) S senyum, sapa, salam, sopan, dan
santun. Insya Allah interaksi kita kepada siapapun akan jauh lebih
bermakna jikalau wajah kita senantiasa diliputi senyuman, sapa penuh
kelembutan, dan akhlak yang penuh kerendahan hati akan memikat setiap
orang yang kita jumpai. Alangkah indahnya wajah yang jernih, ceria,
senyum yang tulus dan ikhlas, membahagiakan siapapun.
Betapa nyamannya suasana saat salam hangat ditebar, saling mendo’akan,
menyapa dengan ramah, lembut dan penuh perhatian. Alangkah agungnya
pribadi kita, jika penampilan kita selalu sopan dengan siapapun dan
dalam kondisi bagaimanapun. Betapa nikmatnya dipandang, jika pribadi
kita santun, mau mendahulukan orang lain, rela mengalah dan memberikan
haknya, lapang dada, pemaaf yang tulus, dan ingin membalas keburukan
dengan kebaikan serta kemuliayaan.
Sebagaimana firman Allah :
وَ لَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَ الْجُوْعِ وَ نَقْصٍ
مِّنَ الْأَمَوَالِ وَ الْأنْفُسِ وَ الثَّمَرَاتِ وَ بَشِّرِ
الصَّابِرِيْنَ
اَلَّذِيْنَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ قَالُوْا إِنَّا ِللهِ وَ إِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ
أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَ رَحْمَةٌ وَ أُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ
"Dan sungguh akan Kami Berikan Cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita yang gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun." Mereka itulah yang mendapatkan
keberkatan yang sempurna dan Rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah (2):155-157)
Dalam hidup jangan pernah bermimpi dapat hidup dengan tenang dan
bahagia sekiranya kita belum memiliki bekal ilmu yang benar untuk
mengarungi belantara dunia yang penuh dengan jebakan, rintangan dan
ancaman berbahaya ini. Kalau toh hidup ini kerapkali dicekam perasaan
yang kacau balau dan menyengsarakan, maka penyebab pokoknya adalah
karena kita kurang memahami ilmu dengan benar.
Orang yang tidak memiliki kesiapan mental menerima kenyataan yang ada.
Pikiranya tidak akan pernah bisa menerima kenyataan yang sesungguhnya
dengan kesabaran dan keikhlasan, akan menjadi orang yang tak pernah bisa berpikir realitis, yang membuatnya terlalu
sibuk menyesali sesuatu yang sudah terjadi, hinggah menambah
kesengsaraan dan kepedihan hidupnya sendiri.
Dalam sebuah hadits dinyatakan, pada suatu ketika datanglah seseorang
kepada Ibnu Ma’ud r.a, sahabat Rasulullah saw, untuk meminta nasihat.
Wahai Ibnu Mas’ud, “ujarnya“ "berilah nasihat yang dapat kujadikan obat
bagi jiwaku yang sedang dilanda kecemasan dan kegelisahan. Dalam
beberapa hari ini aku merasa tidak tentram. Jiwaku gelisah dan pikiran
pun serasa kusut, makan tak enak, tidur pun tidak nyenyak.”
Mendengar hal itu, Ibnu Mas’ud kemudian menasehatinya “Kalau penyakit
seperti itu yang menimpamu, maka bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat,
yaitu ke tempat orang membaca Al Qur’an, kau baca Al Qur’an atau
dengarkanlah baik-baik orang yang membacanya; atau pergilah ke majelis
pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah; atau carilah waktu dan
tempat yang sunyi, kemudian berkhalwatlah untuk menyembah-Nya, misalnya
di tengah malam buta, ketika orang-orang sedang tidur nyenyak, engkau
bangun mengerjakan shalat malam, memohon ketenangan jiwa, ketentraman
pikiran dan kemurnian hati kepada-Nya. Seandainya jiwamu belum terobati
dengan cara ini, maka mintalah kepada Allah agar diberi hati yang lain
karena hati yang kau pakai itu bukanlah hatimu.
Setelah orang itu kembali ke rumahnya, diamalkannyalah nasihat Ibnu
Mas’ud tersebut. Dia pergi mengambil air wudhu. Setelah itu, diambilnya
Al Qur’an, kemudian dibacanya dengan hati yang khusyuk. Selesai membaca
Al Qur’an, ternyata jiwanya berubah menjadi sejuk dan tentram,
pikirannya pun menjadi tenang, sedangkan kegelisahannya hilang sama
sekali. Wallahu a’lam
HABLUM MINALLAH wa HABLUM MINANNAS
Unik Kalau dimaknakan secara bahasa, hablum minallah itu adalah hubungan
dengan Allah dan hablum minan-nas adalah hubungan dengan manusia. Akan
tetapi dalam pengertian istilah syari'ah maknanya adalah sebagai
berikut:
1). Hablum minallah , maknanya ialah perjanjian dari Allah. Yaitu masuk
Islam atau beriman dengan Islam sebagai jaminan keselamatan bagi mereka
di dunia dan akherat. Atau tunduk kepada pemerintahan Muslimin dengan
jaminan dari pemerintah itu sebagaimana yang diatur oleh Syari'ah dalam
perkara hak dan kewajiban orang kafir dzimmi (yaitu orang kafir yang
menjadi warga negara Islam) untuk mendapatkan jaminan perlindungan
hak-haknya sebagai manusia di dalam kehidupan dunia saja, dan mendapat
ancaman adzab di akhirat. (Lihat Tafsir At-Thabari , Tafsir Al-Baghawi ,
dan Tafsir Ibnu Katsir tentang pengertian surat Ali Imran 112).
2). Hablum minan-nas , maknanya ialah perjanjian dari kaum Mukminin
dalam bentuk jaminan keamanan bagi orang kafir dzimmi dengan membayar
upeti bagi kaum Mukminin melalui pemerintahnya untuk hidup sebagai warga
negara Islam dari kalangan minoritas non Muslim. Atau dengan bahasa
lain ialah dalam berinteraksi dengan sesama manusia, maka jaminan yang
bisa dipercaya hanyalah dari kaum Muslimin yang dibimbing oleh Syari'at
Allah Ta'ala.
Dengan demikian, akhlaqul karimah dibangun di atas kerangka hubungan
dengan Allah melalui perjanjian yang diatur dalam Syari'at-Nya berkenaan
dengan kewajiban menunaikan hak-hak Allah Ta'ala dan juga kerangka
hubungan dengan sesama manusia melalui kewajiban menunaikan hak-hak
sesama manusia baik yang muslim maupun yang kafir. Dari kerangka inilah
kemudian diuraikan kriteria akhlaqul karimah . Hak-hak Allah itu ialah
mentauhidkan-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain-Nya. Yaitu
menunaikan tauhidullah dan menjauhi syirik , mentaati Rasul-Nya dan
menjauhi bid'ah (yakni penyimpangan dari ajarannya). Dan inilah
sesungguhnya prinsip utama bagi akhlaqul karimah , yang kemudian dari
prinsip ini akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam
dipuji dan disanjung oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya engkau (hai Muhammad) di atas akhlaq yang agung.” ( Al-Qalam : 4)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tentang ayat ini:
“Dan adapun akhlaq yang agung yang Allah terangkan bahwa ia itu ada pada
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam , pengertiannya adalah
pengamalan segenap ajaran agama ini, yaitu segenap apa yang Allah
perintahkan dengan mutlak.” (Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah jilid ke 10
halaman 658).
Dalam pengertian yang demikian inilah akhlaq Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wa sallam sebagai penafsiran yang sah bagi ajaran Allah
yang ada di dalam Al-Qur'an, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Aisyah
Ummul Mu'minin radliyallahu `anha :
“Akhlaq Rasulullah itu adalah Al-Qur'an.” (HR. Muslim ).
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi rahimahullah dalam
kitabnya Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah menerangkan tentang pengertian
daripada pernyataan A'isyah ini sebagai berikut:
“Maksudnya ialah, bahwa beliau berpegang dengan adab-adab yang diajarkan
oleh Al-Qur'an, dan segenap perintah yang ada padanya dan juga segenap
larangannya, juga berpegang dengan apa yang dikandunginya dari kemuliaan
akhlaq dan kebaikan perangai serta kelembutan.” ( Al-Aadaab
Asy-Syar'iyyah , jilid ke dua hal. 194).
Bahkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan:
“Sesungguhnya seorang Mu'min itu akan bisa mencapai derajat amalan puasa
dan shalat malam dengan memiliki akhlaq yang baik.” (HR. Abu Dawud
dalam Sunan nya, Kitabul Adab bab Fi Husnil Khuluq hadits ke 4798 dari
A'isyah radliyallahu `anha ).
Al-`Allamah Abit Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adhim Abadi
rahimahullah dalam kitabnya Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud
menerangkan makna hadits tersebut di atas:
“Orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang baik diberi keutamaan yang
besar seperti ini, karena memang orang yang puasa dan orang yang shalat
malam adalah orang-orang yang berjihad melawan hawa nafsunya. Demikian
pula orang yang akhlaqnya baik terhadap manusia, walaupun kenyataannya
manusia itu beraneka ragam tabiatnya juga tingkah laku mereka yang
berbeda-beda satu dengan lainnya, maka dengan tetap dia berakhlaq yang
baik kepada semua mereka itu, berarti dia harus berjihad melawan
berbagai hawa nafsu dari banyak orang itu. Sehingga dengan demikian,
Mu'min yang berakhlaq seperti ini mencapai keutamaan seperti yang
dicapai oleh orang yang banyak puasa sunnah dan selalu menunaikan shalat
malam. Kedudukannya sederajat dengan mereka, bahkan kadang-kadang
derajatnya lebih tinggi.” ( Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud juz 13
halaman 154).
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menegaskan
tentang keutamaan orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang mulia dalam
sabda beliau sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang yang terbaik dari kalangan kalian adalah yang paling
baik akhlaqnya.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya Kitabul Adab bab Husnul
Khuluq was Sakha' wa Maa Yukrahu Minal Bukhli hadits ke 6035 dari
Abdullah bin Amr, lihat Fathul Bari juz 10 hal. 456).
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ketempat yang
serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada terputus.”
(QS. At-Tin: 4-6).
Di dalam ayat tadi disebutkan manusia adalah makhluk unggulan karena
peran gandanya, peran sebagai ‘abid seperti terindikasikan dalam
ungkapan âmanû dan peran sebagai khalifah seperti terindikasikan dalam
ungkapan wa ‘amilû as-shâlihât. Konsep ‘abid menunjukan hubungan
vertikal (hablum minallah), dan itu lebih bersifat personal. Sementara
konsep khalifah, terkait dengan tanggung jawab sosial, hubungan
horizontal (hablum minannas). Kalau ‘abid itu tanggung jawab personal
dengan Tuhan, sedang khalifah itu adalah tanggung jawab sosial dalam
hubungannya dengan sesama manusia. Karena Allah selalu menggandengkan
dua kalimat itu hampir di semua ayat-ayat-Nya, manusia unggulan akan
selalu melakukan kedua peran itu secara bersamaan. Dengan demikian,
kualitas manusia menurut perspektif tasawuf dilihat dari peran ganda
ini.
Pada suatu hari Umar bin Khattab Ra. pernah ditanya, “kenapa engkau
tidak pernah tidur?” Umar menjawab, “kalau saya tidur di malam hari
bagaimana saya bisa dekat kepada Allah Swt, karena sepanjang hari waktu
habis untuk mengurus umat.” Jadi, waktu dia sepanjang hari habis untuk
melayani umat, karena dia seorang khlaifah. Tapi malam hari, ia selalu
bangun malam untuk beribadah. Yang demikian itu adalah contoh konkrit
amalan tasawuf yang berpijak dari ayat dimaksud.
Masih banyak orang berasumsi bahwa aktifitas tasawuf hanya terbatas pada
dzikir-dzikir, shalat, puasa, dan ibadah-ibadah ritual lainnya (hablu
minallah), sementara sisi ibadah sosial (hablu minannas) diabaikan.
Asumsi seperti itu tentu saja tidak benar, karena ibadah sosial juga
tidak kalah pentingnya dibandingkan ibadah ritual. Bahkan, tidak jarang
karena mengabaikan ibadah sosial, ibadah ritual bisa menjadi tidak
berarti. Itu merupakan inti dari tujuan tasawuf, seperti disinyalir
dalam surah al-Ma’un;
“Apakah anda tahu orang yang mendustakan agama itu? Itulah orang yang
menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang
miskin, maka celakalah bagi orang yang shalat.” (QS. Al-Ma’un: 1- 4).
Ayat “maka celakalah bagi orang yang shalat” disebutkan setelah dua ayat
yang berkaitan dengan masalah sosial, yaitu menghardik anak yatim dan
tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Itu adalah suatu gambaran
bahwa pelaku shalat yang tidak peduli terhadap orang-orang yang
membutuhkan bantuan, lemah, tidak mampu, dan tidak memberikan dampak
sosial yang baik yang direalisasikan melalui interaksi mereka dengan
sesamannya, justru shalatnya itu akan mencelakakannya.
Lebih jelas lagi diceritakan dalam sebuah hadis, ada seorang wanita yang
rajin shalat di malam hari dan rajin puasa di siang hari, tetapi Rasul
mengatakan dia itu masuk neraka, tentu saja para sahabat menunjukan
keheranannya dan bertanya alasannya kepada Rasulullah Saw, beliau
menjawab, “ia masuk neraka karena ia selalu menyakiti hati tetangganya
dengan lidah”. (HR. Ahmad dan Al-Hakim dari Abu Hurairah). Berdasarkan
hadis tersebut, seakan-akan shalat dan puasa yang dilakukan wanita tadi
tidak berarti sama sekali, lantaran ia tidak mau berkomunikasi secara
baik dengan tetangga atau sesamanya.
Di dalam Islam, tugas-tugas kemasyarakatan ini mempunyai kedudukan
penting, sehingga dihargai lebih tinggi dari pada ibadah-ibadah ritual.
Mantan syekh Al-Azhar, Abdul Halim Mahmud, memberikan bukti-bukti bahwa
beberapa orang sufi adalah pedagang-pedagang yang aktif dan cukup
sukses.
Pada suatu ketika, ada seorang sahabat Rasulullah Saw. melewati sebuah
lembah yang cukup indah dan memesona. Lembah itu mempunyai mata air yang
jernih dan segar, sehingga sahabat itu berfikir untuk menghabiskan sisa
hidupnya di lembah yang jauh dari keramaian masyarakat itu, dan ia
ingin mengisinya dengan shalat, puasa, dzikir, berdo’a kepada Allah Swt.
Kemudian maksud itu diberitahukan kepada Rasulullah Saw, dan beliau
berkata:
“Jangan lakukan itu, kedudukanmu di jalan Allah lebih utama daripada
shalat yang engkau lakukan di rumahmu selama tujuh puluh tahun. Tidakkah
anda ingin agar Allah mengampuni dosamu dan memasukkanmu ke surga?
Berjuanglah di jalan Allah”. (HR. Tirmidzi).
Dalam hadis lain disebutkan juga:
“Dari Abu Umamah, dia bercerita: “Kami keluar bersama Rasulullah Saw.
dalam salah satu ekspedisi beliau, kemudian seseorang melewati sebuah
gua yang di situ ada air. Orang itu berkata kepada dirinya sendiri untuk
tinggal dalam gua itu dengan jaminan hidup dari air yang ada dan
memakan tetumbuhan di sekitarnya kemudian melepaskan diri dari dunia.
Lalu orang itu berkata, “Kalau nanti aku bertemu Nabi Allah Saw. aku
akan ceritakan perkara itu kepada beliau. Kalau beliau izinkan, aku akan
lakukan, kalau tidak, tidak”. Maka, datanglah ia menemui beliau (Nabi),
lalu berkata, “Wahai Nabi Allah, aku melewati sebuah gua yang di situ
ada air dan tetumbuhan yang menjamin hidupku. Maka, aku pun berkata
kepada diriku sendiri untuk tinggal di gua itu dan melepaskan diri dari
dunia.” Orang itu menuturkan bahwa Nabi saw. menjawab, “Aku tidak diutus
dengan keyahudian, juga tidak dengan kekeristenan. Aku diutus dengan
kehanifan yang lapang (al-hanafiyatu al-samha’). Demi Dia yang jiwa
Muhammad ada di tangan-Nya, pergi-pagi dan pulang–petang di jalan Allah
adalah lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya. Pastilah
berdiri tegaknya seseorang di antara kamu (dalam barisan perjuangan)
adalah lebih baik daripada sembahyangnya selama enam puluh tahun.” (H.R.
Ahmad).
Berjuang atau pergi di jalan Allah Swt. adalah hidup di tengah-tengah
masyarakat dan ikut berperan serta dalam membangun, memberikan yang
terbaik bagi sesama, menyebarkan rasa cinta dan kasih sayang, menyerukan
perbuatan yang baik dan mencegah perbuatan mungkar, dan peran-peran
kemanusiaan lainnya, karena kehadiran seorang muslim sebagai anggota
masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting untuk suatu perubahan
masyarakat.
Ada beberapa hadis menjelaskan tentang manusia terbaik, dan semua itu
bermuara pada sikap perbuatan yang dilakukan antar sesama, di antara
hadis- hadis itu adalah:
“Manusia yang paling baik ialah yang paling baik akhlaknya. Manusia yang
paling baik adalah manusia yang paling banyak manfaatnya kepada sesama.
Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling baik dalam membayar
hutangnya. Yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik
kepada isteri dan anak-anaknya. Yang paling baik di antara kamu adalah
engkau masukan rasa bahagia kepada hati saudaramu yang mukmin.”
Sekali lagi, kebanyakan ayat al-Qur’an ketika menyebut kata âmanû
(ibadah ritual) selalu digandengkan dengan kata wa ‘amilû as-shâlihât
(ibadah soaial), karena memang keduanya tak bisa terpisah. Sesudah
shalat pada waktunya dan membasahi lidah dengan dzikir kepada Allah,
manusia paling baik akan berjuang di tengah-tengah manusia. Ia akan
berusaha memasukan rasa bahagia kepada orang lain, ia akan memperlakukan
isteri dan anak-anaknya dengan baik, ia memperbaiki masyarakat dengan
melakukan kontrol sosial yang penuh tanggung jawab dan lain-lain, karena
memang kecintaan kepada Allah Swt. melalui kecintaan kepada sesama, dan
kedekatan manusia kepada Allah Swt. dengan melakukan sopan santun
kepada sesamanya. Inilah salah satu yang terkandung dalam pengertian
tasawuf, seperti dikatakan seorang sufi besar Junaid Al-Baghdadi,
“bertasawuf adalah engkau merasa bersama Allah Swt. dan Allah Swt.
bersama engkau, dan kedekatan itu bisa dilakukan dengan menyantuni
sesama, seperti menyantuni orang-orang yang hancur hatinya.”
Ketika Nabi Musa bertanya kepada Allah Swt, “Tuhanku, di mana aku harus
mencari-Mu, Allah Swt. menjawab, “Carilah aku di tengah-tengah mereka
yang hancur hatinya”.
Tetapi, ketika tugas ganda ini terlepas dari manusia, Allah akan
menempatkan manusia ke tempat yang sangat hina (neraka), mereka menjadi
manusia yang tak berarti, manusia yang lebih sesat, lebih keji, dan
lebih kejam daripada binatang, dan ketika itu tidak akan ada yang
namanya kebaikan, kesejahteraan, dan kedamaian, baik buat dirinya maupun
buat masyarakatnya. Allah Swt. berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan
dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi)
tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka itu
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. Al-A’raf:
179).
Dengan begitu, manusia unggulan dalam perspektif tasawuf yaitu mereka
yang selalu melaksanakan dua tugas pokok ini, tugas ibadah sebagai
bentuk aplikasi pengkhidmatan kepada Allah dan tugas sosial sebagai
bentuk pengabdian kepada sesama.
Wa Allâhu a’lam bi ash-shawwâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar