Rasulullah Saw pernah ditanya:
أَيُّ الصَّوْمِ أَفْضَلُ بَعْدَ رَمَضَانَ؟ قَالَ:
شَعْبانُ لِتَعْظيمِ رَمَضَانَ، قِيلَ: فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟
قَالَ: صَدَقَةٌ فِي رَمَضَانَ (وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ غَرِيبٌ)
“Puasa apakah yang paling utama setelah
Ramadhan?” Beliau menjawab: “Puasa Sya’ban, karena mengagungkan
Ramadhan.” Beliau ditanya: “Sedekah (di bulan) apakah yang paling
utama?” Beliau menjawab: “Sedekah di bulan Ramadhan.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata: “Ini hadits gharib.”)Bahkan Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- pernah berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ, وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا
يَصُومُ, وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اِسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا شَهْرَ رَمَضَانَ, وَمَا
رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
Rasulullah Saw pernah berpuasa sehingga kami katakan:
“Beliau tidak akan berbuka. Dan pernah tidak berpuasa sehingga kami
katakan: “Beliau tidak akan berpuasa.” Saya tidak pernah melihat
Rasulullah Saw menyempurnakan puasa sebulan (penuh) sama sekali kecuali
bulan Ramadhan. Saya tidak pernah melihat beliau dalam suatu bulan lebih
banyak berpuasa dari pada bulan Sya’ban. (HR. Al-Bukhari, Muslim, an-Nasa`i, at-Tirmidzi, dan selainnya)Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata pula:
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ في شَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ، كَانَ
يَصُومُهُ إِلَّا قَلِيلًا، بَلْ كَانَ يَصُومُهُ كُلَّهُ[1]
Saya tidak pernah melihat Nabi Saw (melewati) suatu
bulan yang puasanya lebih banyak dari pada bulan Sya’ban. Beliau
memuasainya, kecuali sedikit, bahkan beliau memuasai semuanya.” Dalam riwayat Abu Dawud ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata:
كَانَ أَحَبَّ الشُّهُورِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَصُومَهُ شَعْبَانُ ثُمَّ يَصِلُهُ
بِرَمَضَانَ
Bulan yang paling menyenangkan Rasulullah Saw untuk
beliau puasai adalah bulan Sya’ban. Kemudian beliau menyambungnya dengan
(puasa) bulan Ramadhan.Dalam riwayat an-Nasa`i ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata:
لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِشَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ لِشَعْبَانَ كَانَ يَصُومُهُ
أَوْ عَامَّتَهُ
Rasulullah Saw tidak pernah puasa untuk suatu bulan yang lebih
banyak dari pada Sya’ban. Beliau memuasainya, atau sebagian besarnya.Sedangkan dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim disebutkan:
لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ
يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، وَكَانَ يَقُولُ: خُذُوا مِنَ الْعَمَلِ مَا
تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَأَحَبُّ
الصَّلاَةِ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَ
إِنْ قَلَّتْ، وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلاَةً دَاوَمَ عَلَيْهَا
Nabi Saw tidak pernah berpuasa dalam satu bulan yang
lebih banyak dari pada bulan Sya’ban. Maka sungguh beliau memuasai bulan
Sya’ban, seluruhnya. Beliau bersabda: “Lakukanlah amal sekuat kalian.
Sebab, sungguh Allah tidak akan bosan[2]
sehingga kalian bosan.” Shalat yang paling menyenangkan Nabi Saw adalah
shalat yang dilakukan secara kontinyu, meskipun sedikit. Dan bila
beliau melaksanakan shalat, maka beliau melaksanakannya secara
kontinyu.”Kebenaran Pendapat Tentang Puasa Sya’ban
Dari Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, ia berkata:
لَمْ يكن النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَصُومُ شَهْرًا أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ
شَعْبَانَ كُلَّهُ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)
Nabi Saw tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan yang
lebih banyak dari pada bulan Sya’ban. Maka sungguh beliau memuasai bulan
Sya’ban, seluruhnya. (HR. Al-Bukhari)Imam Muslim meriwayatkan pula dari Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, ia berkata:
كَانَ يَصُومُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حَتَّى نَقُولَ قَدْ صَامَ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ
أَفْطَرَ، وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ
صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ. كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ
شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.
Nabi Saw pernah berpuasa sehingga kami katakan: “Sungguh
beliau berpuasa.” Dan beliau pernah tidak berpuasa sehingga kami
katakan: “Sungguh beliau tidak berpuasa.” Saya tidak melihatnya berpuasa
pada suatu bulan sama sekali yang lebih banyak puasanya daripada bulan
Sya’ban. Beliau memuasai bulan Sya’ban, semuanya, kecuali sedikit.Dalam riwayat an-Nasa`i dan at-Tirmidzi disebutkan:
كَانَ يَصُومُهُ إِلَّا قَلِيلًا، بَلْ كَانَ يَصُومُهُ كُلَّهُ
Beliau memuasai bulan Sya’ban, kecuali sedikit, bahkan beliau pernah memuasai semuanya.
Syaikh Mula Ali al-Qari menjelaskan:Ucapan Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-: “Nabi Saw memuasai seluruh bulan Sya’ban”, bermakna bahwa sungguh hari bulan Sya’ban yang tidak beliau puasai sangatlah sedikit, sehingga beliau disangka memuasai semuanya. Maka kata بَلْ menunjukkan makna peningkatan (dari memuasainya kecuali sedikit pada memuasai semuanya). Bila demikian, maka hadits tersebut tidak menafikan ucapan Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berupa: “Kecuali sedikit.” Tidak pula menafikan hadits yang menyatakan: “Sungguh beliau Saw tidak pernah puasa satu bulan penuh sejak datang di Madinah kecuali Ramadhan.” Kata كُلَّهُ(semua bulan sya’ban) di sini mungkin pula dipahami secara hakikatnya. Yakni peristiwa ini (baca: Nabi Saw memuasai seluruh bulan Sya’ban) terjadi sebelum beliau tiba di Madinah. Dengan pemaknaan semacam ini, maka kata بَلْ menunjukkan makna idhrab[3] dari ucapan Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-: “Kecuali sedikit.” Hikmah redaksi idhrab tersebut adalah terkadang kata sedikit dalam ucapan Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-: “Kecuali sedikit.” diasumsikan pada makna sepertiga bulan, lalu dengan kata: “Semua bulan Sya’ban.” beliau memperjelas bahwa yang dimaksud sedikit adalah sangat sedikit, sehingga Nabi Saw diasumsikan berpuasa penuh selama satu bulan Sya’ban.”
Dalam riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim disebutkan, dari Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-:
وَمَا رَأَيْتُهُ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ
إِلَّا شَهْرَ رَمَضَانَ, وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا
مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Saya tidak pernah melihat Rasulullah Saw
menyempurnakan puasa sebulan (penuh) sama sekali kecuali bulan Ramadhan.
Saya tidak pernah melihat beliau dalam suatu bulan lebih banyak
berpuasa dari pada bulan Sya’ban.”Dalam riwayat Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- yang lain disebutkan:
لَمْ يَكُنْ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ كُلَّهُ
“Nabi Saw tidak pernah berpuasa dalam sebulan yang
lebih banyak dari pada bulan Sya’ban. Maka sungguh beliau memuasai bulan
Sya’ban, seluruhnya.”Dalam riwayat lain dari Abu Dawud disebutkan:
كَانَ أَحَبَّ الشُّهُورِ إِلَى رَسُولِ اللهُ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَصُومَ شَعْبَانُ ثُمَّ يَصِلُهُ
بِرَمَضَانَ
“Bulan yang paling menyenangkan Rasulullah Saw untuk
beliau puasai adalah bulan Sya’ban. Kemudian beliau menyambungnya dengan
(puasa) bulan Ramadhan.”Dalam riwayat an-Nasa`i disebutkan:
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ أَوْ عَامَّةَ شَعْبَانَ
“Rasulullah Saw memuasai bulan Sya’ban atau sebagian besar bulan Sya’ban.”Dalam riwayat an-Nasa`i yang lain disebutkan:
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Rasulullah Saw memuasai bulan Sya’ban, seluruhnya.”
Makna lahiriyah hadits-hadits tersebut menunjukkan, bahwa puasa
bulan Sya’ban lebih utama dari pada puasa bulan Rajab dan bulan-bulan
mulia lainnya. Namun kesimpulan ini dimusykilkan dengan hadits marfu’ riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah Ra:
أفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ: شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ
“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa bulan Allah Muharram.”Meski begitu, kemusykilan tersebut dapat dijawab dengan beberapa alternatif jawaban:
Pertama, mungkin saja beliau Saw belum mengetahui keutamaan puasa bulan Muharram kecuali di akhir hidupnya sebelum sempat melaksanakannya. Atau beliau Saw mempunyai udzur, baik berupa bepergian atau sakit yang mencegahnya untuk memperbanyak puasa di bulan Muharram, seperti pendapat Imam an-Nawawi.
Mirak[4] berpendapat:“Kedua kemungkinan tersebut sama-sama mempunyai kelemahan.” Begitu kata Mirak.
Kedua, dijawab dengan hadits riwayat ath-Thabarani, dari Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَصُومُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرِ، فَرُبَّمَا أَخَّرَ ذَلِكَ
حَتَّى يَجْتَمِعَ عَلَيْهِ صَوْمُ السَّنَةِ فَيَصُومُ شَعْبَانَ
“Rasulullah Saw pernah berpuasa tiga hari
setiap bulan. Lalu terkadang beliau menundanya sehingga sampai terkumpul
puasa setahun baginya. Terkadang (pula) puasa itu beliau tunda sampai
beliau puasai di bulan Sya’ban.”Ketiga, beliau mengkhususkan bulan Sya’ban dengan berpuasa karena mengagungkan bulan Ramadhan. Maka hal ini seperti halnya mendahulukan shalat sunah rawatib sebelum shalat fardhu. Kesimpulan ini diperkuat dengan hadits gharib riwayat penyusun (at-Tirmidzi), meskipun dalam sanadnya terdapat Shadaqah yang menurut para pakar hadits bukanlah termasuk perawi hadits yang kuat. Rasulullah Saw pernah ditanya:
أَيُّ الصَّوْمِ أَفْضَلُ بَعْدَ رَمَضَانَ؟ قَالَ: شَعْبانُ لِتَعْظيمِ رَمَضَانَ
“Puasa apakah yang paling utama setelah Ramadhan?” Beliau menjawab: “Puasa Sya’ban, karena mengagungkan Ramadhan.” Keempat, puasa Sya’ban seolah merupakan pelatihan bagi puasa Ramadhan, dan larangan puasa di paruh kedua bulan Sya’ban diarahkan bagi orang yang tidak menyambungnya dengan puasa sebelumnya dan ia tidak mempunyai kebiasaan berpuasa, qadha’ atau nadzar puasa, serta puasa Sya’ban membuatnya lemah atau malas melaksanakan puasa, sehingga ia berpuasa Ramadhan tanpa gairah.
Kelima, kemusykilan di atas dapat terjawab dengan hadits shahih sesuai riwayat an-Nasa`i dan Abu Dawud, serta disahihkan oleh Ibnu Huzaiah, dari Usamah bin Zaid, ia berkata:
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ
شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ
يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ
تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ
يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Saya berkata: “Wahai Rasulullah! Saya tidak melihat
anda berpuasa pada suatu bulan dari beberapa bulan seperti hanya puasa
anda di bulan Sya’ban.” Beliau bersabda: “Sya’ban adalah bulan yang
dilupakan orang-orang di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Ia adalah
bulan yang di dalamnya amal-amal dilaporkan kepada Tuhan semesta Alam,
dan aku senang amalku dilaporkan dalam kondidi diriku berpuasa.”Begitu pula bisa dijawab dengan hadits seperti itu, sebagaimana hadits Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la, di sana Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللهَ يَكْتُبُ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مَيْتَةٍ تِلْكَ السُّنَّةِ، فَأُحِبُّ أَنْ يَأْتِيَنِي أَجَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Sungguh dalam bulan Sya’ban Allah telah
memutuskan kematian bagi setiap manusia, maka aku senang ajalku tiba di
saat aku dalam kondisi berpuasa.”Dalam dua hadits terakhir terdapat isyarat bahwa dahulu para sahabat -radhiyallahu ‘anhum- memperbanyak puasa di bulan Rajab karena termasuk bulan-bulan mulia. Kemudian dengan puasa beliau Saw di bulan Sya’ban, Rasulullah Saw mengingatkan mereka agar tidak melupakan puasa bulan Sya’ban, serta menambah keterangan bahwa pada bulan Sya’ban amal-amal manusia dilaporkan kepada Allah dan ajal mereka ditentukan.
Kesimpulan ini dikuatkan hadits riwayat Sayyidah ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, ia berkata:
أَرَى أَكْثَرَ صِيَامِكَ فِي شَعْبَانَ،قَالَ:
أَنَّ هَذَا الشَّهْرَ يُكْتَبُ فِيهِ لِمَلَكِ الْمَوْتِ أَسْمَاءٌ مَنْ
يُقْبَضُ فَأَحَبُّ أَنْ لَا يُنْسَخَ اسْمِي إِلَّا وَأَنَا صَائِمٌ
“Wahai Rasulullah! Saya melihat puasa terbanyak anda
di bulan Sya’ban. Beliau bersabda: “Dalam bulan ini sungguh dituliskan
nama-nama orang yang akan dicabut nyawanya, maka aku senang agar namaku
tidak dihapus (dicabut nyawanya) melainkan diriku dalam kondisi
berpuasa.”Mungkin inilah hikmah pengistimewaan bulan Sya’ban yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, beliau bersabda:
رَجَبٌ شَهْرُ الله، وشَعْبانُ شَهْرِي، وَرَمَضانُ شَهْرُ أُمَّتِي(عَلَى مَا رَوَاهُ الدَّيْلَمِيُّ وَغَيْرُهُ عَنْ أَنَسٍ)
“Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku, dan Ramadhan bulan umatku.” Sesuai riwayat ad-Dailami dan selainnya dari Anas Ra.Saya (Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani) berkata:
“Hadits ini disebutkan oleh as-Suyuthi berupa hadits mursal, ia berkata: “Abu al-Fath bin Abi al-Fawaris meriwayatkannya dari al-Hasan berupa hadits mursal, dan hadits itu hadits dha’if.”
Al-Munawi berkata:
Al-Hafizh az-Zain al-’Iraqi dalam Syarh at-Tirmidzi berkata:
“Hadits tersebut sangat lemah dan termasuk hadits-hadits mursal al-Hasan. Kami meriwayatkannya dalam kitab at-Targhib wa at-Tarhib karya al-Ashfihani. Sedangkan hadits-hadits mursal al-Hasan tidak berharga (tidak bisa dijadikan hujjah) menurut para ahli hadits, dan tidak ada hadits shahih tentang keutamaan bulan Rajab.” Demikian kata al-’Iraqi. Ungkapan penyusun (as-Suyuthi) seperti menegaskan bahwa ia tidak melihatnya sebagai hadits yang berstatus musnad. Jika tidak demikian, niscaya ia tidak berpindah pada riwayat yang memursalkannya. Ini sungguh mengherankan. Sebab, dalam Musnad al-Firdaus al-Dailami telah meriwayatkannya dari tiga sanad, begitu pula Ibn Nashr dan selain mereka berdua, dari hadits Anas Ra dengan redaksi yang persis.”[5]
Terkait sabda Nabi Saw:
شَعْبَانُ شَهْرِي، وَرَمَضَانُ شَهْرُ وَشَعْبَانُ المُطَهِّرُ وَرَمَضَانُ المُكَفِّرُ
“Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan
Allah. Sya’ban adalah bulan yang menyucikan dan Ramadhan adalah bulan
yang melebur (dosa).”Dalam kitab Kasyf al-Khafa` al-’Ajjaluni mengatakan:
Ad-Dailami meriwayatkannya dari ‘Aisyah dengan status marfu’. Ibn Ghars berkata: “Guruku Hijazi berpendapat: “Hadits itu adalah hadits dha’if.”[6]
Sabda Rasulullah Saw: “Sya’ban adalah bulanku.” maksudnya adalah saya (Rasulullah Saw) mengisinya dengan ibadah.
Saya (Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani) berpendapat:
Mungkin saja penyandaran bulan Sya’ban kepada Rasulullah Saw karena di dalamnya diturunkan ayat tentang perintah mendoakan rahmah ta’dhim (shalawat) dan keselamatan bagi beliau Saw.
[1]HR. At-Tirmidzi. (Penerjemah).
[2]Menurut para ulama, Allah tidak mungkin bersifat bosan. Oleh sebab itu, hadits ini perlu dita`wil. Dalam hal ini ulama muhaqqiqin memaknai hadits tersebut dengan makna;
Lihat, Badruddin al-’Aini, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Juz XVII, h. 57.(Penerjemah).
لَا يُعَامِلُكُمْ مُعَامَلَةَ الْمَلَلِ فَيَقْطَعُ عَنْكُمْ ثَوَابَهُ وَفَضْلَهُ وَرَحْمَتَهُ حَتَّى تَقْطَعُوا أَعْمَالَكُمْ
Allah tidak membuat kalian melakukan suatu amal dengan
bermalas-malasan, lalu pahala, fadhilah dan rahmatNya terputus dari
kalian, sehingga kalian sendiri yang memutus amal kalian.Lihat, Badruddin al-’Aini, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Juz XVII, h. 57.(Penerjemah).
[3]Idrab adalah berpaling dari (menghilangkan) pembahasan yang terletak sebelum kata بَلْ
sehingga seolah pembahasan itu tidak dihiraukan, dan berpindah pada
pembahasan yang terletak setelahnya. Lihat, Lajnah Ta’lif Gerbang Lama, Kamus Istilah Nahwu, Gerbang Andalus, (Kediri: Pustaka Gerbang Lama: 2010), h. 99. (Penerjemah).
[4]Muhammad
ath-Thasyakandi, terkenal dengan sebutan Marik an-Naqsyabandi, penulis
Nawadir al-Amtsal dengan bahasa Turki yang diselesaikannya pada tahun
1021 H. Lihat, Isma’il Basya al-Baghdadi, Idhah al-Maknun pada Kasyf
azh-Zhunun, (ttp.: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H/1992 M), Juz IV, h.
680. (Penerjemah).
[5]Jam’ al-Wasa`il fi Syarh asy-Syama`il, karya Syaikh Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari II/121-122.
[6]Kasyf al-Khafa` wa Mazil al-Ilbas karya al-’Ajjaluni, Juz II, h. 9. Dalam Syarh at-Tirmidzi Al-Hafizh az-Zain al-’Iraqi berkata: “Hadits tersebut adalah hadits yang sangat lemah.”
(Demikian juga dalam Faidh al-Qadir, Juz IV, h. 18. Saya (Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani) berpendapat:“Pendapat al-Iraqi inilah yang benar. Sedangkan penuturan hadits tersebut yang dilakukan Ibn Qayyim al-Jauzi (dalam kitab al-Maudhu’at), termasuk kategori hadits-hadits palsu) bukanlah pendapat yang benar.”
(Demikian juga dalam Faidh al-Qadir, Juz IV, h. 18. Saya (Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani) berpendapat:“Pendapat al-Iraqi inilah yang benar. Sedangkan penuturan hadits tersebut yang dilakukan Ibn Qayyim al-Jauzi (dalam kitab al-Maudhu’at), termasuk kategori hadits-hadits palsu) bukanlah pendapat yang benar.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar