Selasa, 02 September 2014

Tahlil Pahalanya sampai ke Mayit

Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati?

Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:

وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى
“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)

Juga hadits Nabi MUhammad SAW:
اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

“Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”

Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)

Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.
وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ

“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ
“Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).

Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.

Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.

Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.

Di dalam surat At-Thuur Allah berfirman:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ
شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka[1426], dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS. At-Thuur 52:21)
[1426] Maksudnya: anak cucu mereka yang beriman itu ditinggikan Allah derajatnya sebagai derajat bapak- bapak mereka, dan dikumpulkan dengan bapak-bapak mereka dalam surga.

Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:

عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ
“Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.”

Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.
Tahlil adalah suatu acara seremoni sosial keagamaan untuk memperingati dan sekaligus mendoakan orang yang meninggal. Disebut acara sosial-budaya karena tahlil hanya dikenal dan dilakukan oleh sebagian umat Islam Indonesia. Disebut acara keagamaan karena sebagian besar bacaan-bacaan dalam tahlil diambil dari Al Quran dan Al Hadits dan bertujuan untuk mendoakan orang yang meninggal.

PENJELASAN AYAT
Kenikmatan Ahli Jannah, Hidup Bersama Anak-Anak Mereka
Ayat di atas berbicara tentang salah satu kenikmatan sangat menyenangkan, yang diraih oleh penghuni surga (ahlul-jannah). Karunia yang tidak hanya direguk oleh para wali-Nya di surga. Yakni hidup bersama-sama dengan keturunan mereka, meskipun amalan shalih anak keturunan mereka tidak sepadan dengan orang tuanya baik dalam hal kualitas maupun kuantitas.
Dengan ini, pandangan orang tua tersebut menjadi sejuk damai, kebahagiaan mereka kian tak terkira, dan kegembiraan pun semakin sempurna. Suasana menyenangkan ini lantaran Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatukannya kembali dengan anak keturunan mereka. Itu merupakan takrimah (penghargaan), ganjaran dan tambahan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala . [1]
Sungguh, benar-benar sebuah kenikmatan yang membahagiakan, manakala orang tua berjumpa kembali dengan anak-anaknya. Suatu kenikmatan yang sangat besar. Kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sangat luas. Namun, persyaratan yang harus ada, yaitu anak-anak mereka juga beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, sebagaimana tercantum secara jelas dalam ayat.
Perhatikan keterangan Imam Ibnu Katsir rahimahullah tentang ayat di atas berikut ini.
Beliau berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan mengenai keutamaan, kemurahan, kenikmatan dan kelembutan-Nya, serta curahan kebaikan-Nya kepada makhluk. Bahwa kaum mukminin, bila keturunan mereka mengikuti dalam keimanan (sebagaimana keimanan orang tua mereka), niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menempatkan anak-anak yang beriman ini ke derajat orang tua mereka, kendatipun amalan-amalan shalih mereka (anak-anak yang beriman) itu tidak sebanding dengan amalan para orang tuanya itu. Supaya pandangan para orang tua menjadi damai sejuk dengan kebersamaan anak-anaknya di tempat yang sama. Lantas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatukan mereka dalam kondisi terbaik. Anak yang kurang amalannya terangkat oleh orang tuanya yang sempurna amalannya. Hal ini tidak mengurangi sedikit pun amalan dan derajatnya, meskipun mereka berdua akhirnya berada di tempat yang sama.[2]
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ
(dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka).
Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan: Kami tidak mengurangi pahala amalan anak-anak lantaran sedikitnya amalan mereka. Dan pula, tidak mengurangi pahala para orang tua sedikit pun, meskipun menempatkan keturunan mereka bersama dengan orang tua mereka (yang berada di derajat yang lebih tinggi, Pen.).[3]
Atau dengan pengertian lain, seperti diungkapkan oleh Imam ath-Thabari: Kami tidak mengurangi ganjaran kebaikan mereka sedikit pun dengan mengambilnya dari mereka (para orang tua) untuk kemudian Kami tambahkan bagi anak-anak mereka yang Kami tempatkan bersama mereka. Akan tetapi, Kami beri mereka pahala dengan penuh, dan (lantas) Kami susulkan anak-anak mereka ke tempat-tempat mereka (para orang tua) atas kemurahan Kami bagi mereka.[4]
Demikianlah, kemurahan dan keutamaan yang diraih anak-anak melalui keberkahan amalan para orang tua. Adapun keutamaan dan kemurahan yang dilimpahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para orang tua melalui doa anak-anaknya, tertuang pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ : يَا رَبِّ أَنىَّ لِيْ هَذِهِ ؟ فَيَقُوْلُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sungguh, Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba-Nya yang shalih di surga,” maka ia pun bertanya: “Wahai Rabbku, bagaimana ini bisa terjadi?” Allah menjawab: “Berkat istighfar anakmu bagi dirimu”.[5]
Hadits ini diperkuat oleh hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dalam Shahîh Muslim:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Ketika seorang manusia meninggal, maka putuslah amalannya darinya kecuali dari tiga hal, (yaitu) sedekah (amal) jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shalih yang mendoakannya.

Setiap Manusia Terikat Oleh Amalannya
Firman Allah:
كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
(tiap-tiap manusia terikat dengan apayang dikerjakannya),

mengandung pemberitahuan mengenai keadilan Allah. Bahwa pada hari kiamat kelak, setiap jiwa akan terikat dengan amalnya. Akan mendapat pembalasan berdasarkan amalnya itu. Kalau amalnya baik, maka balasannya baik pula. Sebaliknya, bila amalannya buruk, maka akibat balasan yang diterimanya pun buruk.
Hanya saja, Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan kemurahan-Nya kepada para orang tua, yaitu dengan bentuk mengangkat derajat keturunan-keturunan mereka ke tingkatan mereka sebagai wujud curahan kebaikan dari-Nya, tanpa adanya amalan dilakukan oleh anak keturunannya itu.[6]
Imam al-Qurthubi membawakan beberapa pengertian ayat ini dari keterangan para ulama. Yang pertama, ayat ini berbicara tentang penghuni neraka.
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata:
Para penghuni neraka Jahannam terkungkung oleh amalan (buruk) mereka. Sementara itu, para penghuni surga menuju kenikmatan.

Hal ini serupa kandungan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ عَنِ الْمُجْرِمِينَ
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka tanya-menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa. [al-Muddatstsir/74:38-41].

Kandungan ayat ini juga bersifat umum, berlaku bagi setiap manusia. Yang ia terikat dengan tindak-tanduknya. Ia tidak dikenai pengurangan pahala dari amalan baiknya. Adapun bertambahnya pahala, ialah karena kemurahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Menurut penjelasan lainnya, pengertian ayat ini dimaksudkan kepada anak keturunan yang tidak beriman. Sehingga, lantaran tak beriman, maka anak-anak keturunannya itu tidak bisa mencapai derajat seperti yang diraih oleh orang tua mereka yang beriman, dan akan tetap terkungkung oleh kekufurannya.[7]
Berbeda dengan keterangan-keterangan di atas, Syaikh as-Sa’di berpendapat, penggalan ayat ini ditujukan untuk menghilangkan prasangka bahwa anak-anak penghuni neraka (ahlun-nar) pun mengalami hal serupa. Yaitu akan berada di tempat yang sama dengan orang tua mereka. Lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa keadaannya tidak demikian. Dalam masalah ini, tidaklah sama kondisi antara surga dan neraka. Neraka adalah tempat penegakan keadilan. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengadzab seseorang kecuali dengan perbuatan dosanya. Seseorang juga tidak memikul dosa orang lain.[8]

PELAJARAN DARI AYAT
1. Besarnya keutamaan dan kemurahan Allah kepada para hamba-Nya, kaum mukminin.
2. Penetapan adanya hari Pembalasan dan Kebangkitan.
3. Keutamaan iman dan kemuliaan para ahlinya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyebabkan anak keturunannya yang memiliki amalan sedikit dapat dipersatukan dengan para orang tua mereka yang memiliki banyak amal shalih.
4. Penetapan kaidah, setiap manusia akan tergantung dengan amal perbuatannya di akhirat kelak. Wallahu a’lam
5. Orang tidak menanggung dosa seseorang.
6. Sampainya do'a sesesama muslim yang telah wafat
7. Sampainya sedekah kepada mayat.

Marâji`:
1. Aisarut-Tafâsîr, Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal-Hikam, Madinah.
2. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-’Arabi, Cetakan IV, Tahun 1422 H – 2001 M.
3. Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cetakan I, Tahun 1423 H – 2002 M.
4. Kutub wa Rasâ`il, Min Kunûzil Qur`anil Kariim, ‘Abdul-Muhsin al-Abbâd al-Badr.
5. Tafsîrul-Qur`ânil-’Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Dârul Hadîts Kairo 1426H-2005M.
6. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, ‘Allâmah Syaikh Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa’di, Dârul-Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H – 1999 M.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/Sya'ban 1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Aisarrut-Tafâsir (2/1286), Jâmi’ul-Bayân (27/34), Taisîrul-Karîmir-Rahmân (hlm. 815).
[2]. Tafsîrul-Qur`anil-‘Azhîm, 7/437.
[3]. Al-Jâmi’ li Ahkamil-Qur`ân, 17/60.
[4]. Jâmi’ul-Bayân, 27/34.
[5]. Tentang hadits ini, Imam Ibnu Katsir t berkata: “Isnadnya shahîh”. Syaikh al-Albâni berkata: “……”
[6]. Aisarut-Tafâsir (2/1286), Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (7/438), Min Kunûzil-Qur`ânil-Karîm (1/314).
[7]. Lihat al-Jâmi’, 17/60.
[8]. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 815

Tidak ada komentar:

Posting Komentar