Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati?
Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan
Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati
dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى
“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)
Juga hadits Nabi MUhammad SAW:
اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
“Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga
perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh
yang mendo’akan dia.”
Mereka sepertinya, hanya secara
letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan
dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a,
bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati.
Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW
beberapa di antaranya :
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami,
ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului
kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.
وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ
“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ
عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ
“Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW;
Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi
saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa
berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Dan masih banyak pula
dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at
do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat
diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa
yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan
orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk
orang lain.
Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27
dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah
masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata;
“Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami,
kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.
Maka Allah SWT
menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa
menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan,
bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain,
seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.
Di dalam surat At-Thuur Allah berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ
أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ
مِنْ
شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
Dan
orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka[1426], dan
Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap
manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS. At-Thuur 52:21)
[1426] Maksudnya: anak cucu mereka yang beriman itu ditinggikan Allah
derajatnya sebagai derajat bapak- bapak mereka, dan dikumpulkan dengan
bapak-bapak mereka dalam surga.
Dalam Tafsir ath-Thobari juga
dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah
di-mansukh atau digantikan hukumnya:
عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ:
قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ
اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ
بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ
بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ
“Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman
Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan,
kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang
beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan,
kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan
anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.”
Syaekhul Islam
Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata:
“Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan
perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu
ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat
manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.
Tahlil adalah
suatu acara seremoni sosial keagamaan untuk memperingati dan sekaligus
mendoakan orang yang meninggal. Disebut acara sosial-budaya karena
tahlil hanya dikenal dan dilakukan oleh sebagian umat Islam Indonesia.
Disebut acara keagamaan karena sebagian besar bacaan-bacaan dalam tahlil
diambil dari Al Quran dan Al Hadits dan bertujuan untuk mendoakan orang
yang meninggal.
PENJELASAN AYAT
Kenikmatan Ahli Jannah, Hidup Bersama Anak-Anak Mereka
Ayat di atas berbicara tentang salah satu kenikmatan sangat
menyenangkan, yang diraih oleh penghuni surga (ahlul-jannah). Karunia
yang tidak hanya direguk oleh para wali-Nya di surga. Yakni hidup
bersama-sama dengan keturunan mereka, meskipun amalan shalih anak
keturunan mereka tidak sepadan dengan orang tuanya baik dalam hal
kualitas maupun kuantitas.
Dengan ini, pandangan orang tua tersebut
menjadi sejuk damai, kebahagiaan mereka kian tak terkira, dan
kegembiraan pun semakin sempurna. Suasana menyenangkan ini lantaran
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatukannya kembali dengan anak
keturunan mereka. Itu merupakan takrimah (penghargaan), ganjaran dan
tambahan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala . [1]
Sungguh,
benar-benar sebuah kenikmatan yang membahagiakan, manakala orang tua
berjumpa kembali dengan anak-anaknya. Suatu kenikmatan yang sangat
besar. Kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sangat luas. Namun,
persyaratan yang harus ada, yaitu anak-anak mereka juga beriman kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, sebagaimana tercantum secara
jelas dalam ayat.
Perhatikan keterangan Imam Ibnu Katsir rahimahullah tentang ayat di atas berikut ini.
Beliau berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan mengenai
keutamaan, kemurahan, kenikmatan dan kelembutan-Nya, serta curahan
kebaikan-Nya kepada makhluk. Bahwa kaum mukminin, bila keturunan mereka
mengikuti dalam keimanan (sebagaimana keimanan orang tua mereka),
niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menempatkan anak-anak yang
beriman ini ke derajat orang tua mereka, kendatipun amalan-amalan shalih
mereka (anak-anak yang beriman) itu tidak sebanding dengan amalan para
orang tuanya itu. Supaya pandangan para orang tua menjadi damai sejuk
dengan kebersamaan anak-anaknya di tempat yang sama. Lantas, Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyatukan mereka dalam kondisi terbaik. Anak yang
kurang amalannya terangkat oleh orang tuanya yang sempurna amalannya.
Hal ini tidak mengurangi sedikit pun amalan dan derajatnya, meskipun
mereka berdua akhirnya berada di tempat yang sama.[2]
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ
(dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka).
Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan: Kami tidak mengurangi pahala
amalan anak-anak lantaran sedikitnya amalan mereka. Dan pula, tidak
mengurangi pahala para orang tua sedikit pun, meskipun menempatkan
keturunan mereka bersama dengan orang tua mereka (yang berada di derajat
yang lebih tinggi, Pen.).[3]
Atau dengan pengertian lain, seperti
diungkapkan oleh Imam ath-Thabari: Kami tidak mengurangi ganjaran
kebaikan mereka sedikit pun dengan mengambilnya dari mereka (para orang
tua) untuk kemudian Kami tambahkan bagi anak-anak mereka yang Kami
tempatkan bersama mereka. Akan tetapi, Kami beri mereka pahala dengan
penuh, dan (lantas) Kami susulkan anak-anak mereka ke tempat-tempat
mereka (para orang tua) atas kemurahan Kami bagi mereka.[4]
Demikianlah, kemurahan dan keutamaan yang diraih anak-anak melalui
keberkahan amalan para orang tua. Adapun keutamaan dan kemurahan yang
dilimpahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para orang tua melalui doa
anak-anaknya, tertuang pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ
وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِيْ الْجَنَّةِ
فَيَقُوْلُ : يَا رَبِّ أَنىَّ لِيْ هَذِهِ ؟ فَيَقُوْلُ : بِاسْتِغْفَارِ
وَلَدِكَ لَكَ
“Sungguh, Allah benar-benar mengangkat derajat seorang
hamba-Nya yang shalih di surga,” maka ia pun bertanya: “Wahai Rabbku,
bagaimana ini bisa terjadi?” Allah menjawab: “Berkat istighfar anakmu
bagi dirimu”.[5]
Hadits ini diperkuat oleh hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dalam Shahîh Muslim:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ
ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ
أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Ketika seorang manusia meninggal,
maka putuslah amalannya darinya kecuali dari tiga hal, (yaitu) sedekah
(amal) jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shalih yang
mendoakannya.
Setiap Manusia Terikat Oleh Amalannya
Firman Allah:
كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
(tiap-tiap manusia terikat dengan apayang dikerjakannya),
mengandung pemberitahuan mengenai keadilan Allah. Bahwa pada hari
kiamat kelak, setiap jiwa akan terikat dengan amalnya. Akan mendapat
pembalasan berdasarkan amalnya itu. Kalau amalnya baik, maka balasannya
baik pula. Sebaliknya, bila amalannya buruk, maka akibat balasan yang
diterimanya pun buruk.
Hanya saja, Allah Subhanahu wa Ta’ala
melimpahkan kemurahan-Nya kepada para orang tua, yaitu dengan bentuk
mengangkat derajat keturunan-keturunan mereka ke tingkatan mereka
sebagai wujud curahan kebaikan dari-Nya, tanpa adanya amalan dilakukan
oleh anak keturunannya itu.[6]
Imam al-Qurthubi membawakan beberapa
pengertian ayat ini dari keterangan para ulama. Yang pertama, ayat ini
berbicara tentang penghuni neraka.
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata:
Para penghuni neraka Jahannam terkungkung oleh amalan (buruk) mereka. Sementara itu, para penghuni surga menuju kenikmatan.
Hal ini serupa kandungan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ عَنِ الْمُجْرِمِينَ
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,
kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka tanya-menanya,
tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa. [al-Muddatstsir/74:38-41].
Kandungan ayat ini juga bersifat umum, berlaku bagi setiap manusia.
Yang ia terikat dengan tindak-tanduknya. Ia tidak dikenai pengurangan
pahala dari amalan baiknya. Adapun bertambahnya pahala, ialah karena
kemurahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Menurut penjelasan
lainnya, pengertian ayat ini dimaksudkan kepada anak keturunan yang
tidak beriman. Sehingga, lantaran tak beriman, maka anak-anak
keturunannya itu tidak bisa mencapai derajat seperti yang diraih oleh
orang tua mereka yang beriman, dan akan tetap terkungkung oleh
kekufurannya.[7]
Berbeda dengan keterangan-keterangan di atas,
Syaikh as-Sa’di berpendapat, penggalan ayat ini ditujukan untuk
menghilangkan prasangka bahwa anak-anak penghuni neraka (ahlun-nar) pun
mengalami hal serupa. Yaitu akan berada di tempat yang sama dengan orang
tua mereka. Lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa
keadaannya tidak demikian. Dalam masalah ini, tidaklah sama kondisi
antara surga dan neraka. Neraka adalah tempat penegakan keadilan.
Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengadzab seseorang
kecuali dengan perbuatan dosanya. Seseorang juga tidak memikul dosa
orang lain.[8]
PELAJARAN DARI AYAT
1. Besarnya keutamaan dan kemurahan Allah kepada para hamba-Nya, kaum mukminin.
2. Penetapan adanya hari Pembalasan dan Kebangkitan.
3. Keutamaan iman dan kemuliaan para ahlinya di sisi Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang menyebabkan anak keturunannya yang memiliki amalan sedikit
dapat dipersatukan dengan para orang tua mereka yang memiliki banyak
amal shalih.
4. Penetapan kaidah, setiap manusia akan tergantung dengan amal perbuatannya di akhirat kelak. Wallahu a’lam
5. Orang tidak menanggung dosa seseorang.
6. Sampainya do'a sesesama muslim yang telah wafat
7. Sampainya sedekah kepada mayat.
Marâji`:
1. Aisarut-Tafâsîr, Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal-Hikam, Madinah.
2. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah
Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq
al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-’Arabi, Cetakan IV, Tahun 1422 H – 2001 M.
3. Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta`wil Ay Al-Qur`ân, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
ath-Thabari, Dar Ibnu Hazm, Cetakan I, Tahun 1423 H – 2002 M.
4. Kutub wa Rasâ`il, Min Kunûzil Qur`anil Kariim, ‘Abdul-Muhsin al-Abbâd al-Badr.
5. Tafsîrul-Qur`ânil-’Azhîm, al-Hafizh Abul-Fida Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Dârul Hadîts Kairo 1426H-2005M.
6. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, ‘Allâmah Syaikh Abdur-Rahmân bin Nâshir
as-Sa’di, Dârul-Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H – 1999 M.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/Sya'ban 1429/2008M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Aisarrut-Tafâsir (2/1286), Jâmi’ul-Bayân (27/34), Taisîrul-Karîmir-Rahmân (hlm. 815).
[2]. Tafsîrul-Qur`anil-‘Azhîm, 7/437.
[3]. Al-Jâmi’ li Ahkamil-Qur`ân, 17/60.
[4]. Jâmi’ul-Bayân, 27/34.
[5]. Tentang hadits ini, Imam Ibnu Katsir t berkata: “Isnadnya shahîh”. Syaikh al-Albâni berkata: “……”
[6]. Aisarut-Tafâsir (2/1286), Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (7/438), Min Kunûzil-Qur`ânil-Karîm (1/314).
[7]. Lihat al-Jâmi’, 17/60.
[8]. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 815
Tidak ada komentar:
Posting Komentar