3. HAKIKAT SAKIT SEORANG WALI ALLAH
PALESTINIANS-ISRAEL/SWAPSuatu hari aku berziarah kepada Guruku. Saat itu Beliau sedang terbaring di opname dirumah sakit. Bersyukur sekali dalam kedaan darurat aku di izinkan untuk langsung bertemu Beliau. Aku masih ingat saat itu aku menangis lama melihat Guruku yang selama ini gagah dan sehat terbaring lemah di kamar rumah sakit. Aku masuk kekamar dengan pelan agar tidak mengganggu istrahat Beliau. Beliau melirik ke arahku dan berkata:
“Kapan kau datang?”
“Baru 1 jam yang lalu Guru”
Kemudian Beliau menatap langit-langit kamar seakan ingin mengatakan sesuatu tapi tidak sempat keluar dari mulut Beliau. Dalam hatiku berkata, bagaimana mungkin seorang wali Allah bisa sakit, padahal segala jenis penyakit sembuh berkat doa dan syafaat Beliau. Saat aku sedang mengucapkan itu dalam hati, kemudia Beliau menoleh kepadaku dan berkata:
“Sufi Muda, rohani Gurumu itu tidak pernah sakit karena dia berasal dari Yang Maha Sehat dan akan terus mengalirkan syafaat serta terus menerus menyalurkan rahmat dan karunia Allah lewat dadanya, akan tetapi fisik Gurumu akan tunduk kepada Firman Afaqi sesuai dengan hukum-hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan. Salah satu sifat dari Nabi adalah HARUS dia seperti manusia biasa. Kalau Nabi terkena api harus dirasakan panas seperti layaknya manusia begitu juga kalau nabi berjalan di tengah malam akan merasakan dingin. Begitu juga berlaku kepada wali-Nya, akan tunduk kepada hukum alam ini. Sifat HARUS seperti manusia itu juga salah satu cara Tuhan menyembunyikan Kekasih-Nya dari pandangan dunia ini. Junjungan kita Nabi Muhammad SAW berani dilempari kotoran unta dikarenakan orang kafir terhijab oleh hijab Insani”.
Aku hanya diam di sudut ranjang, menatap mata Guru yang amat aku sayangi dan setiap pertemuan aku dengan Guruku selalu aku rasakan hal baru yang sangat sulit diungkapkan dengan kata-kata. Benar sekali apa yang dikemukan oleh para sufi bahwa bertemu dengan Guru Mursyid itu adalah satu karunia Allah yang sangat besar. Saat menatap mata Beliau seakan-akan ruhani ini terbawa melayang langsung ke Alam Rabbani. Salah satu hadab bertemu dengan Guru adalah tidak diperkenankan kita banyak berbicara dan baiknya hanya mendengar dan ketika ditanya oleh Guru haruslah menjawabnya dengan bahasa yang sopan dan dalam hati terlebih dahulu harus memperbanyak Istikhfar, memohon ampun kepada-Nya agar dalam mengucapkan kata-kata kepada Guru nanti tidak disusupi oleh nafsu dan setan.
Dalam hatiku kembali timbul pertanyaan, bukankah Guru bisa berdoa kepada Allah agar disembuhkan dari penyakit ini? Sebagai Wali Allah tentu saja Beliau bisa mendengar suara hatiku, tiba-tiba guruku berkata, “Tidak seperti itu Sufimuda….”
“Pernahkah kau mendengar kisah tentang Nabi Ayyub?”
“Pernah Guru”
“Apa yang kau ketahui tentang Nabi Ayyub?”
“Nabi Ayyub adalah nabi yang paling banyak mengalami sakit, Guru” jawabku.
Kemudian Beliau dengan senyum berkata, “Nabi Ayyub, sakit-sakitan dia, kemudian dia berdoa kepada Allah, ‘Ya Allah sembuhkanlah penyakitku ini’, kemudian Allah berfirman, ‘Apa kau ucapkan Ayyub?’ nabi Ayyyub kembali mengulang do’anya: ‘tolong sembuhkanlah penyakitku ini’ dengan marah Tuhan berkata kepada Nabi Ayyub: ‘Hai Ayyub, sekali lagi kau berdo’a seperti itu aku tampar engkau nanti’ Kemudian dengan polosnya nabi Ayyub bertanya kepada Allah: ‘Ya Allah, berarti engkau senang kalau aku sakit?’ dengan tegas Allah menjawab: ‘Ya, Aku senang kau sakit’. Setelah Nabi Ayyub tahu Tuhan senang kalau dia sakit maka diapun dengan senang menjalani sakitnya itu. Setiap dia mau ambil wudhuk dia pindahkan ulat yang ada di badannya dan setelah selesai beribadah kembali diambil ulat tadi diletakkan di badannya sambil berkata kepadda ulat, ‘hai ulat, kembali kau kesini, Tuhan senang aku sakit’. Begitulah yang dialami nabi Ayyub, maka Gurumu ada persamaan seperti itu”.
Sambil minum segelas air putih kembali Beliau berkata kepadaku, “Aku sudah berjanji kepada Tuhan agar terus memuja-Nya dan berdakwah, makanya setiap aku cerita tentang Tuhan maka badanku terasa enak”.
“Sufi Muda….”
“Saya Guru…”
“Suatu saat nanti kau pasti tahu kenapa aku sakit, silahkan baca dan renungi 2 ayat terakhir dari surat at-Taubah, disana kau menemukan jawabannya. Bacalah Laqadjaakum dengan pelan dan mesra jangan seperti burung beo yang tidak pernah tahu makna dari ucapannya”.
Kemudian Beliau membacakan surat at-Taubah sambil menangis, “Laqadjaakum Rasulun min anfusikum, azizun alaihi ma anittum, harisun alaikum bil mukminina raufur rahim….”
Aku merasakan dadaku bergemuruh dan berguncang hebat mendengar ayat yang Beliau bacakan. Serasa rontok dada ini, dan seluruh tubuh berguncang hebat, aku menangis dengan sejadi-jadinya. Apalagi Beliau membacakan arti ayat tersebut, “…. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin….”
Sungguh lama aku tenggelam dalam tangisan sambil menatap wajah Guruku yang mulia. Firman Allah yang dibacakan oleh kekasih Allah sangat berbeda dengan ayat Allah yang dibacakan oleh pada umumnya orang. Benar seperti yang dikemukan oleh Para Syekh Besar bahwa apabila Wali-Nya membacakan ayat-Nya pastilah Dia hadir menyertai bacaan Kekasih-Nya.
Aku memangis menyesali diri yang selama ini hanya menjadi beban Guru, hanya bisa meminta tapi belum bisa memberi, hanya bisa membebani belum bisa berbhakti, hanya mementingkan diri sendiri tanpa mau peduli, hanya mengharapkan kasih sayang tanpa mau menyayangi.
“Sufi Muda….”
“Saya Guru…”
“Jangan pernah engkau patah semangat kalau melihat Gurumu seperti ini, seluruh dokter di dunia ini tidak akan bisa menyembuhkan sakitku ini. Tuhan ingin menunjukkan kebesaran-Nya. Dan Tuhan sekarang sedang bekerja ke arah sana. Yang kau lihat keramat dan gagah dalam nyata dan mimpimu itu bukanlah aku, tapi itu adalah pancarahan dari Nur Ilahi. Aku hanyalah seorang hamba yang tiada berdaya. Muridku….yang Hebat itu Tuhan saja”
Kemudian Beliau membacakan surat Al-Mujaadilah ayat 21: “Kataballahu La Aghlibanna anaa wa rusulii, innallahaa qawiyum ‘azii zun (Allah telah menetapkan, bahwa tiada kamus kalah bagi Ku dan rasul-rasul-Ku. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Gagah”.
Ketika aku berpamitan sambil mencium tangannya
Barulah aku tahu bahwa sakit seorang Wali itu bukan sakit biasa akan tetapi sakit karunia. Sakit menanggung beban dari orang-orang yang selalu bersamanya bahkan beban dunia ini. Seminggu kemudian Beliau sembuh, sehat wal afiat bahkan lebih sehat seperti sebelumnya. Terimakasih Tuhan atas berkenannya Engkau mengabulkan do’aku sehingga Guruku sehat kembali.
Ya Tuhan,
Berilah panjang umur dan kesehatan kepada Guruku agar beliau lebih lama lagi membimbing dan menuntun aku yang bodoh dan dungu ini ke jalan-Mu yang Maha lurus.
Ya Tuhan,
Andai masih ada karunia berupa kesenangan dunia yang kelak akan Engkau berikan sepanjang hidupku, berikanlah kesenangan itu kepada Guruku agar Beliau selalu bahagia dan sejahtera.
Ya Tuhan,
Jadikanlah aku orang yang selalu bisa merasakan apa yang dirasakan Guruku, senyumnya menjadi senyumku, deritanya menjadi deritaku, kepedihannya menjadi kepedihanku agar aku bisa mengerti makna dan tujuan hidup di dunia ini.
Ya Tuhan,
Jangan engkau memasukkan aku kedalam orang-orang yang merasa dekat kepada kekasih-Mu yang tanpa sadar justru lebih banyak menyakiti hatinya. Janganlah aku menyayangi kekasih-Mu seperti sayangnya anak kecil kepada seekor kuncing yang terus menerus didekap dalam pelukannya sehingga kucing itu sulit bernafas dan akhirnya mati. Jadikanlah rasa sayangku kepada Guruku sebagaimana Ia ingin disayang.
Ya Tuhan,
Ajari aku yang bodoh, lemah dan tiada berdaya ini untuk bisa mencintai kekasih-Mu sebagaimana ia ingin dicintai.
Ya Tuhan,
Izinkanlah aku bisa terus bersama kekasih-Mu dan bisa melayaninya dengan baik.
Ya Tuhan
Perkenankanlah doaku ini….
Koeta Radja, 9 Maret ’09
4. ‘UWAIYS AL – QARANI – WALI ALLAH YANG TERSEMBUNYI
“Wali-Wali Allah tidak berkata: ‘ikuti saya’ tapi berkata: ‘Ikuti Allah dan Rasul-Nya!’ Siapa yang terbuka hatinya mengikuti mereka.
berdoaWali-Wali Allah tersembunyi, bukan fisiknya tapi Maqom Spiritualnya
[tersembunyi] dari orang-orang yang buta matahatinya.
Banyak yang ingin mendekati Allah tapi menjauhi para wali-Nya.
Pemuka para wali adalah para Nabi dan Sahabat Rasulullah Saw.
Sultan para wali adalah Nabiyur-Rahmah Muhammad Saw.
yang melalui beliau mengalir ilmu-ilmu Hakikat Allah
dari “hati spiritual” ke “hati spiritual” para hamba-Nya yang mukhlisin.”
- Dikutip dari kata-kata mutiara Wiyoso Hadi -
Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah ra, bahwa Rasulullah SAW (ShollaLlahu ‘Alayhi Wassalam) bersabda: “Sesungguhnya Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Tinggi mencintai di antara makhluk-Nya orang-orang pilihan, (mereka) tersembunyi, taat, rambut mereka acak-acakan, wajah mereka berdebu dan perut mereka kelaparan. Jika meminta izin kepada pemimpin ditolak. Jika melamar wanita cantik tidak diterima. Jika mereka tak hadir tak ada yang kehilangan dan jika hadir tak ada yang merasa bahagia atas kehadirannya. Jika sakit tak ada yang mengunjunginya dan jika mati tak ada yang menyaksikan jenazahnya.”
Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, contohkan pada kami salahsatu dari mereka?” Beliau SAW menjawab: “Itulah ‘Uways al-Qarani.” Para sahabat bertanya kembali: “Seperti apakah ‘Uways al-Qarani?” Beliau SAW menjawab: “Matanya berwarna hitam kebiru-biruan, rambutnya pirang, pundaknya bidang, postur tubuhnya sedang, warna kulitnya mendekati warna tanah (coklat-kemerahan), janggutnya menyentuh dada (karena kepalanya sering tertunduk hingga janggutnya menyentuh dada), pandangannya tertuju pada tempat sujud, selalu meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri, menangisi (kelemahan) dirinya, bajunya compang-camping tak punya baju lain, memakai sarung dan selendang dari bulu domba, tidak dikenal di bumi namun dikenal oleh penduduk langit, jika bersumpah (berdo’a) atas nama Allah pasti akan dikabulkan. Sesungguhnya di bawah pundak kirinya terdapat belang putih. Sesungguhnya kelak di hari kiamat, diserukan pada sekelompok hamba, “Masukklah ke dalam surga!” Dan diserukan
kepada ‘Uways, “Berhenti, dan berikanlah syafa’at!” Maka Allah memberikan syafa’at sebanyak kabilah Rabi’ah dan Mudhar.”
“Wahai ‘Umar, wahai `Ali! Jika kalian berdua menemuinya, mintalah padanya agar memohonkan ampun bagi kalian berdua, niscaya Allah akan mengampuni kalian berdua.” Maka mereka berdua mencarinya selama sepuluh tahun tetapi tidak berhasil. Ketika di akhir tahun sebelum wafatnya, ‘Umar ra berdiri di gunung Abu Qubais, lalu berseru dengan suara lantang: “Wahai penduduk Yaman, adakah di antara kalian yang bernama ‘Uways?”
Bangkitlah seorang tua yang berjenggot panjang, lalu berkata: “Kami tidak tahu ‘Uways yang dimaksud. Kemenakanku ada yang bernama ‘Uways, tetapi ia jarang disebut-sebut, sedikit harta, dan seorang yang paling hina untuk kami ajukan ke hadapanmu. Sesungguhnya ia hanyalah penggembala unta-unta kami, dan orang yang sangat rendah (kedudukan sosialnya) di antara kami. Demi Allah tak ada orang yang lebih bodoh, lebih gila (lebih aneh/nyentrik), dan lebih miskin daripada dia.”
Maka, menangislah ‘Umar ra, lalu beliau berkata: “Hal itu (kemiskinan & kebodohan spiritual) ada padamu, bukan padanya. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Kelak akan masuk surga melalui syafa’atnya sebanyak kabilah Rabi`ah dan Mudhar.” Maka ‘Umar pun memalingkan pandangan matanya seakan-akan tidak membutuhkannya, dan berkata: Dimanakah kemenakanmu itu!? Apakah ia ada di tanah haram ini?” “Ya,” jawabnya. Beliau bertanya: “Dimanakah tempatnya?” Ia menjawab: “Di bukit ‘Arafat.” Kemudian berangkatlah ‘Umar dan ‘Ali ra dengan cepat menuju bukit ‘Arafat. Sampai di sana, mereka mendapatkannya dalam keadaan sedang shalat di dekat pohon dan unta yang digembalakannya di sekitarnya. Mereka mendekatinya, dan berkata: “Assalamu’alayka wa rahmatullah wa barakatuh.” ‘Uways mempercepat shalatnya dan menjawab salam mereka.
Mereka berdua bertanya: “Siapa engkau?” Ia menjawab: “Penggembala unta dan buruh suatu kaum.” Mereka berdua berkata: “Kami tidak bertanya kepadamu tentang gembala dan buruh, tetapi siapakah namamu?” Ia menjawab: ” `Abdullah (hamba Allah).” Mereka berdua berkata: “Kami sudah tahu bahwa seluruh penduduk langit dan bumi adalah hamba Allah, tetapi siapakah nama yang diberikan oleh ibumu?” Ia menjawab: “Wahai kalian berdua, apakah yang kalian inginkan dariku?”
Mereka berdua menjawab: “Nabi SAW menyifatkan kepada kami seseorang yang bernama ‘Uways al-Qarani. Kami sudah mengetahui akan rambut yang pirang dan mata yang berwarna hitam kebiru-biruan. Beliau SAW memberitahukan kepada kami bahwa di bawah pundak kirinya terdapat belang putih. Tunjukkanlah pada kami, kalau itu memang ada padamu, maka kaulah orangnya. Maka ia menunjukkan kepada mereka berdua pundaknya yang ternyata terdapat belang putih itu. Mereka berdua melihatnya seraya berkata: “Kami bersaksi bahwasannya engkau adalah ‘Uways al-Qarani, mintakanlah ampunan untuk kami, semoga Allah mengampunimu.”
Ia menjawab: “Aku merasa tidak pantas untuk memohon ampun untuk anak cucu Adam (‘alayhis-salam), tetapi di daratan dan lautan (di kapal yang sedang berlayar) ada segolongan laki-laki maupun wanita mu’min (beriman) dan muslim yang doanya diterima.” ‘Umar dan ‘Ali ra berkata: “Sudah pasti kamu yang paling pantas.”
‘Uways berkata: “Wahai kalian berdua, Allah telah membuka (rahasia spiritual) dan memberitahukan keadaaan (kedudukan spiritual)ku kepada kalian berdua, siapakah kalian berdua?” Berkatalah `Ali ra: “Ini adalah ‘Umar ‘Amir al-Mu’minin, sedangkan aku adalah `Ali bin Abi Thalib.” Lalu ‘Uways bangkit dan berkata: “Kesejahteraan, rahmat dan keberkahan Allah bagimu wahai ‘Amir al-Mu’minin, dan kepadamu pula wahai putra ‘Abi Thalib, semoga Allah membalas jasa kalian berdua atas umat ini dengan kebaikan.” Lalu keduanya berkata: “Begitu juga engkau, semoga Allah membalas jasamu dengan kebaikan atas dirimu.”
Lalu ‘Umar ra berkata kepadanya: “Tetaplah di tempatmu hingga aku kembali dari kota Madina dan aku akan membawakan untukmu bekal dari pemberianku dan penutup tubuh dari pakaianku. Di sini tempat aku akan bertemu kembali denganmu.”
Ia berkata: “Tidak ada lagi pertemuan antara aku denganmu wahai ‘Amir al-Mu’minin. Aku tidak akan melihatmu setelah hari ini. Katakan apa yang harus aku perbuat dengan bekal dan baju darimu (jika engkau berikan kepadaku)? Bukankah kau melihat saya (sudah cukup) memakai dua lembar pakaian terbuat dari kulit domba? Kapan kau melihatku merusakkannya! Bukankah kau mengetahui bahwa aku mendapatkan bayaran sebanyak empat dirham dari hasil gembalaku? Kapankah kau melihatku menghabiskannya? Wahai ‘Amir al-Mu’minin, sesungguhnya dihadapanku dan dihadapanmu terdapat bukit terjal dan tidak ada yang bisa melewatinya kecuali setiap (pemilik) hati (bersih-tulus) yang memiliki rasa takut dan tawakal (hanya kepada Allah), maka takutlah (hanya kepada Allah) semoga Allah merahmatimu.”
Ketika ‘Umar ra mendengar semua itu, ia menghentakkan cambuknya di atas tanah. Kemudian ia menyeru dengan suara lantang: “Andai ‘Umar tak dilahirkan oleh ibunya! Andai ibuku mandul tak dapat hamil! Wahai siapa yang ingin mengambil tampuk kekhilafahan ini?” Kemudian ‘Uways berkata: “Wahai ‘Amir al-Mu’minin, ambillah arahmu lewat sini, hingga aku bisa mengambil arah yang lain.” Maka ‘Umar ra berjalan ke arah Madina, sedangkan ‘Uways menggiring unta-untanya dan mengembalikan kepada kaumnya. Lalu ia meninggalkan pekerjaan sebagai penggembala dan pergi ke Kufah dimana ia mengisi hidupnya dengan amal-ibadah hingga kembali menemui Allah.
5. SEPUTAR RAHASIA WALI ALLAH
Inna auliya allahi la khaufun ‘alaihim walaa hum yahzanuun. Begitulah penegasan Allah tentang hakekat jiwa para wali, bahwa mereka tidak akan dirundung takut dan sedih. Tak heran bila kita melihat perjalanan hidup para wali sanga dan para wali jaman mutakhir, semisal KH Moch. Cholil Bangkalan, KH Abdul Hamid Pasuruan, KH Chamin Jasuli (Gus Mik) dan beberapa auliya’ lainnya, mereka tidak kenal rasa takut dan sedih, sebab hidup dan mati mereka memang untuk dan bagi Allah semata. Hanya saja, bagaimanapun dunia wali adalah dunia penuh rahasia.
sholat-1Terkait dengan rahasia wali Allah itu, Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali menulis sebuah cerita dalam Mukasayafat Al-Qulub. Alkisah, seorang bangsawan berjalan jalan di pasar budak. Matanya tertarik pada seorang budak bertubuh kekar. Lalu ia bertanya kepada budak itu, “Maukah kau bekerja untukku? Aku lihat kau mempunyai keterampilan yang aku butuhkan”. Dengan tenang budak itu menjawab, “ Aku mau bekerja untuk siapapun dengan dua syarat.” “Apa itu syaratmu anak muda?”, tanya sang bangsawan penasaran. “Dua syaratku adalah : pertama, aku hanya bekerja siang hari, jangan suruh aku bekerja malam hari dan kedua, aku tidak mau tinggal satu rumah denganmu, beri aku tempat tinggal yang lain.” Mendengar ini, timbul rasa penasaran di hati bangsawan, ia pun berniat untuk mempekerjakan budak itu, apalagi si budak memenuhi kriterianya.
Singkat cerita dibawalah budak itu ke rumah sang bangsawan. Ia diizinkan untuk tinggal di sebuah gubuk di sebelah rumah mewah bangsawan. Lalu dimulailah hari-hari sang budak bekerja bagi majikan barunya. Segala sesuatu berjalan apa adanya. Si budak bekerja di siang hari menjalankan tugas tugasnya sampai majikannya sangat puas terhadapnya. Ingin rasanya majikan itu memintanya kerja juga di malam hari walaupun hanya untuk pekerjaan ringan, tetapi ia teringat akan syarat pertama si budak. Dan ia merasa berkecukupan dengan kerja baik si budak itu pada siang hari.
Semuanya berjalan lancar sampai pada suatu saat ketika istri si bangsawan merasa ingin memberi hadiah atas kerja keras budak itu. Tanpa sepengetahuan suaminya, malam hari istri bangsawan itu membawakan sesuatu buat si budak. Ia menyelinap masuk ke dalam gubuk. Ia terkejut manakala menemukan budak itu telungkup sujud. Di atasnya bergayut lingkaran putih bercahaya.
Melihat ini, istri bangsawan segera berlari menemui suaminya dan berkata, “Wahai suamiku, sesungguhnya budak itu adalah seorang wali Allah !”. Dengan segera pasangan suami istri itu bergegas menemui si budak. Apa jawab budak itu ketika bertemu mereka ? Ia hanya menjawab singkat, “Bukankah sudah aku minta agar kalian tidak menggangguku di malam hari ?” Lalu ia menengadahkan tangannya ke langit seraya menggumankan sebuah syair yang artinya : “Wahai pemilik rahasia, sesungguhnya rahasia ini sudah terungkap, maka tak kuinginkan lagi hidup ini setelah rahasia ini tersingkap”. Tak lama setelah membacakan syair ini, si budak pun sujud dan menghembuskan nafasnya yang terakhir, meninggalkan suami istri itu dalam keheranan.
Cerita dari Imam Ghazali itu mengantarkan kita kepada beberapa hal, diantaranya bahwa kita sebagai manusia biasa tidak mengetahui begitu saja bahwa seseorang adalah wali Allah dan seseorang yang lain bukan . Menurut para sufi, la ya’rifal-wali illa al-wali, tidak akan mengetahui seorang wali selain wali Tuhan yang lainnya.
Demikianlah beberapa artikel tentang wali Allah dan tanda tandanya, mudah mudahan menambah wawasan dan meningkatkan motivasi kita untuk mendekatkan diri pada Allah. Dalam surat Al Waqiah ayat 10-14 disebutkan bahwa para Wali Allah adalah orang yang dekat dengan Allah (Al Mukarrobuun), mereka itu sebagian besar orang zaman dahulu dan sebagian kecil dari orang zaman sekarang (kemudian).
10. Dan orang-orang yang beriman paling dahulu, 11. Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah. 12. Berada dalam jannah kenikmatan13. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, 14. dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian (Al Waqiah 10-14)
Mari kita berlomba lomba untuk mendapatkan derajat Aulia Allah ataupun Al Muqarrobun seperti yang disebutkan dalam surat Al Waqiah tersebut diatas.
Dalam Al Quran ada beberapa jabatan yang mulia diberikan Tuhan, Allah SWT kepada makhluk-Nya, seperti antara lain khalifah, rasul, imam dan nabi serta wali. Dari beberapa jabatan atau istilah kedudukan ini, umumnya yang banyak disebut adalah nabi dan rasul. Oleh karena itu, wajarlah jika kita bertanya, apa beda rasul dan nabi ini?. Dalam Kamus Istilah Fiqih karangan M. Abdul Mujieb dkk., pengertian menurut istilah, nabi ialah orang yang menerima wahyu dari Allah SWT untuk dirinya sendiri tanpa berkewajiban menyampaikannya kepada orang lain. Rasul ialah orang yang menerima wahyu Allah SWT dan berkewajiban menyampaikannya kepada umatnya/umat manusia (hal. 238).
Jika pengertian ini kita pakai, maka bagi seorang ‘nabi’ karena tidaklah dibebani dengan kewajiban menyampaikan wahyu, menimbulkan kesan ‘seolah-olah’ hanya beliau sang nabinya saja yang akan masuk sorga, sementara umatnya tidak perlu. Lalu, apa beda nabi dengan rasul yang kiranya tepat dengan pengertian dan makna di dalam Al Quran itu sendiri.
Kalau kita lihat dari tugas pokok dan fungsi kenabian dan kerasulan, saya kira tidak ada bedanya karena missi yang diembannya mereka adalah sama, semua tokoh ini adalah ‘menyampaikan’ wahyu dari Allah SWT kepada umat manusia. Untuk ini, kita lihat dari konteks para penyandang jabatan itu sendiri dalam rangka melaksanakan tugasnya.
Kalau kita teliti dan kaji di dalam Al Quran maka tokoh rasul nampaknya tidak hanya dianugerahkan kepada ‘manusia pilihan’-Nya semata, tetapi juga kepada makhluk-Nya selain manusia, yang utama malaikat dan ada juga jin, bahkan bisa juga makhluk-Nya yang lain seperti hewan. Rasul yang disandang oleh malaikat seperti termuat dalam QS. 22:75; 11:81 dan QS. 6:130). Sementara nabi, tidak ada yang diberikan kepada malaikat dan jin, hanya kepada ‘manusia’ saja, terbukti dalam QS. 33:40 dengan tegas kenabian yang berasal dari manusia ini sudah tertutup dengan kedatangan Nabi Muhammad SAW. Tetapi, jabatan kerasulan dari malaikat tidak tertutup, kan malaikat sampai akhir zaman tetap saja melaksanakan missi-Nya seperti diutus untuk mencabut nyawa ‘anak manusia’, memberi rezeki dll. Jika demikian, ya kalau ada ‘manusia’ ingin mengaku menjadi ‘rasul’, maka dia harus menjadi malaikat atau jin terlebih dahulu. Selanjutnya, tidak juga tepat jika kita katakan bahwa Muhammad SAW adalah rasul dan nabi terakhir, hal ini tidak sesuai dengan QS. 33:40 ini.
Sementara tentang wali, ya siapa makhluk-Nya yang menyandang kewalian. Dalam Al Quran tidak disebut siapa-siapa tokoh dalam lingkup ‘kewalian’ apakah bisa manusia atau makhluk-Nya yang lain. Tapi, yang pasti kewenangan penganugerahan kewalian itu adalah haknya Tuhan kita, Allah SWT jadi bukan kita manusia yang amat zolim ini yang berhak menentukan seseorang itu sebagai wali Allah.
Terkait :
Mengenal para Wali (bagian 1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar