Minggu, 01 Juni 2014

Memandang Perang Shiffin Bukan dari Mata Pendengki

Shiffin merupakan sebuah wilayah berada di antara Kufah dan Syam. Di tempat itulah terjadi pertempuran antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Banyak pihak yang masih menilai bahwa perang tersebut disebabkan perebutan kekuasaan antara kedua sahabat muliya itu. Padahal kalau merujuk kembali sejarah yang ditulis para ulama, prasangka buruk tidaklah benar. Dan yang tidak pula kalah pentingnya, bahwa sebenarnya kadua sahabat tersebut beserta mayoritas umat Islam yang hidup di masa itu sama sakali tidak menginginkan pertumpahan darah, pengikut Abdullah bin Saba’ lah yang sebenarnya menjadi pemantiknya. Untuk mengetahui lebih detail mengenai persoalan itu, silahkan menyimak.
Dari Dendam terhadap Muawiyah Bermula
Peristiwa perang Shiffin tidak berdiri sendiri, dendam lama pengikut Abdullah bin Saba’ terhadap Muawiyah adalah faktor yang cukup menentukan.
Gerakan makar yang dilakukan Abdullah bin Saba’ beserta pendukungnya sudah terjadi sejak zaman Khalifah Utsman. Gerakan khas yang banyak mereka lakukan adalah menjelek-jelekkan citra pejabat negara, dan menyebarkannya di tengah-tengah rakyat, hingga mereka tidak munyukai para pemimpin mereka. Amru bin Ash, gubernur Mesir adalah sasaran pertama, hingga beliau diturunkan dari jabatannya. Selanjutnya, ”kelompok Mesir” mengajak para pendukungnya yang sudah tersebar di Syam, Kufah dan Bashrah untuk melawan gubernur mereka, tapi hanya ”kelompok Kufah yang bangkit, hingga Said bin Ash, pun turun dari jabatannya. Selanjutnya, dari Kufah bergeser menuju Mawiyah yang berada di Syam. Akan tetapi, upaya mereka untuk menjatuhkan Muawiyah tidak mampu mereka laksanakan, dan beliau tetap memimpin wilayah Syam walau selanjutnya mereka berhasil membunuh Khalifah Utsman.
Muawiyah telah menjabat sebagai gubernur di Syam sejak masa Khalifah Umar bin Al Khattab. Di masa Utsman menjadi khalifah, Muawiyah tetap menjadi gubernur wilayah itu. Keadaan ini tetap berlangsung hingga Ali bin Abi Thalib dibaiat penduduk Madinah, tidak lama setelah Ustman terbunuh oleh kelompok Saba’iyah (pengikut Abdullah bin Saba’).
Posisi Gubernur Muawiyah terjaga dari gerakan ”makar Sabaiyah” disebabkan ada beberapa hal yang mendukung, yakni, bahwa di wilayah itu banyak tinggal para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW), seperti Muadz bin Jabal, Ubadah bin As Shamit, Abu Darda, Abu Siad Al Khudri, Syadad bin Aus, Nu’man bin Bashir, Fudhalah bin Ubaid dan yang lainnya. Dengan demikian, penduduk Syam lebih mudah memperoleh pemahaman Islam yang baik, di bawah bimbingan para sahabat tersebut, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh hasutan Khawarij Saba’iyah. Selain itu, kedekatan Muawiyah dengan rakyat Syam juga mempersulit gerakan makar ini.Apalagi Muawiyah memahami kerakter kelompok ini, karena beliau pernah berhadapan dengan mereka di saat Khalifah Utsman Masih hidup. “Telah keluar kepadamu sekelompok penduduk Kufah, untuk membuat fitnah, hadapilah mereka. Jika mereka burbuat baik-baik terimalah, akan tetapi jika mereka melemahkanmu, maka kembalikan ke Kufah”, pesan Utsman kepada Muawiyah, sebagaimana dicatat dalam Tarikh At Thabari (5/138).
Benar adanya, mereka datang kepada Muawiyah, dan meminta agar Muawiyah melepas jabatannya. Muawiyah menjawab,”Seandainya ada orang lain yang lebih mampu daripada saya, maka saya dan yang lainnya tidak menduduki jabatan ini. Jangan tergesa-gesa, karena hal ini mirip apa yang diharapkan syetan”. Kamudian mereka dikeluarkan dari Syam.
Dan setelah wafatnya Utsman, kelompok inilah yang pertama-tama membaiat Ali bin Abi Thalib. Rupanya, kesegeraan mereka melakukan bai’at, memiliki misi tersembunyi, yang perlahan-lahan tersingkap setelah nanti berbagai peristiwa yang berkenaan dengan sahabat Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah terjadi.
Permulaan Perselisihan antara Ali dan Muawiyah
Sebenarnya tidak ada perselisihan antara kedua sahabat Rasulullah sebelumnya, akan tetapi yang ada malah perselisihan antara pengikut Abdullah bin Saba’ dan Muawiyah, disebabkan Muawiyah amat getol menyerukan dilakukannya hukuman hadd kepada mereka, atas terbunuhnya Utsman dan beliau yang membuka berhasil membuka kedok kelompok pembuat makar tersebut.
Dan kelompok ini sudah bergabung dalam barisan Ali bin Abi Thalib. Sehingga Dr. Hamid Muhammad Khalifah, dalam buku beliau Al Inshaf (hal.418), menyebutkan,”Sesungguhnya sebab-sebab yang membuat meruncingnya hubungan Ali dan Muawiyah adalah adanya para ”provokator” dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang ingin memerangi Muawiyah.”
Perselisihan dimulai setelah Ali memutuskan untuk mengganti Muawiyah dengan sahabat Sahl bin Hunaif. Pengganti yang telah ditunjuk tersebut bersama rombongan pergi Syam. Sesampai di wilayah Tabuk, sejumlah pasukan Muawiyah menemui rombongan itu dan meminta mereka kembali. Mengetahui demikian, Ali mengirim surat kepada gubernur Syam itu, akan tetapi surat itu tidak dibalas, hingga tiga bulan setelah syahidnya Utsman.
Sampai akhirnya Muawiyah mengutus Qubishah Al Abasi, untuk menyampaikan kepada Amir Al Mukminin Ali, bahwa alasan penduduk Syam tidak melakukan baiat, karena mereka meminta agar pelaku atas pembunuhan Utsman diadili. Ali pun mengatakan,”Ya Allah sesungguhnya saya berlepas diri kepada Engkau dari darah Utsman,”
Setelah Qubishah keluar, kaum Saba’yah mengatakan,”Ini anjing, ini adalah utusan anjing, bunuhlah ia!” Saat itu kelompok ini mengerumuni Qubishah, akan tetapi Bani Mudhar mencegah mereka, sebagaimana disebut dalam Tarikh At Thabari (5/215).
Periwayatan ini menjukkan bahwa kaum Saba’iyah memang masih menyimpan dendam, karena gagal menjatuhkan Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Syam untuk ke sekian kalinya.
Di saat Ali berada di Bashrah saat terjadi perang Jamal, disebutkan Imam Al Bukhari dalam At Tarikh As Saghir (1/102), bahwa Imam Ali berada di wilayah itu hanya satu bulan, dan tidak berniat keluar menuju Syam, kecuali setelah ada desakan dari Saba’iyah.
Dalam At Tarikh At Thabari (5/282) disebutkan,”Saba’iyah inginkan Ali segera meninggalkan Bashrah, hingga mereka melakukan perjalanan tanpa meminta izin kepadanya. Sebab itulah Ali mengikuti jejak mereka, guna menyingkap apa kemauan mereka, dan itulah yang sebenarnya yang mereka inginkan.”
Al Asytar dan Ali bin Abi Thalib
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib ada kelompok ”provokator”, salah satu dari pemimpin mereka adalah seorang laki-laki yang bernama Al Asytar An Nakhai. Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa sebelum meninggalkan Bashrah, Ali bin Abi Thalib menunjuk Ibnu Abbas untuk ”memegang” wilayah itu. Al Asytar An Nakhai tidak menerima keputusan Amir Al Mukminin tersebut, dengan penuh amarah ia pergi meninggalkan beliau, sebagaimana tertulis dalam Tarikh At Thabari (5/239).
Bahkan kelompok Al Asytar sempat juga mengancam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana tertulis dalam Tarikh At Thabari (6/40), tatkalah salah satu sahabat Al Asytar, Al Asy’as bin Qais berkata kepada beliau,”Apakah kita hanya memperhatikan hukuman Al Asytar?” Amir Al Mukminin menjawab,”Apa hukumannya?” Al Asy’as berkata,”Hukumannya adalah timbulnya peperangan antara kita.” Beliau menjawab,”Tidakkah ada yang membakar bumi, kecuali Al Asytar?”
Sesampainya di Kufah, Amir Al Mukminin mengutus sahabat Jarir bin Abdullah Al Bajali kepada Muawiyah, untuk kembali menyeru agar Muawiyah melakukan baiat, dan memberi kabar bahwa kalangan Muhajirin dan Anshar telah membaiatnya, sebagaimana disebut dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/265).
Sekali lagi, Al Asytar tidak menyukai sikap yang diambil oleh Amir Al Mukminin ini, dikarenakan kemulyaan akhlak yang dimiliki Jarir. Utusan ini kembali ke Kufah dengan memberi kabar, bahwa Muawiyah enggan melakukan baiat, dikarenakan belum ditegakkan hukum hadd kepada si pembunuh Utsman. Jika ditegakkan hadd, maka beliau bersedia melakukan baiat.
Mendengar penuturan Jarir, Al Asytar mengatakan kepada Amirul Mukminin, ”Bukankah saya telah melarangmu untuk mengutus Jarir? Kalau engkau mengutusku, maka Muawiyah tidak akan membuka pintu, kecuali aku yang menutupnya.”
Mendengar ucapan Al Asytar, Jarir membalas,”Kalau engkau yang datang, mereka akan membunuhmu, disebabkan terbunuhnya Utsman.”
Al Asytar tidak mau kalah, ”Kalau Amir Al Mukminin mematuhiku, maka ia akan mengurungmu, beserta orang-orang sepertimu, hingga perkara ini menjadi lebih baik.”. Jarir marah, hingga belau mememutukan untuk keluar dari Kufah, menuju Firqisiya’ wilayah yang pernah beliau pimpin saat menjadi gubernur di masa Utsman, kisah ini disebutkan dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah (7/294).
Sikap buruk yang membuat sahabat Jarir keluar di atas menunjukkn bahwa para pembesar pembuat fitnah sudah berada dalam tubuh kekhalifahan. Dan peristiwa ini juga menunjukkan bagaiamana usaha mereka untuk selalu menggagalkan usaha perdamaian.
Bukan Perebutan Kursi Kekuasaan
Ada pihak yang menilai bahwa perang Shiffin terjadi karena perebutan kekuasaan antara Ali dan Muawiyah, sayang sekali pandangan ini tidak memiliki dasar kuat
Setelah kembalinya utusan Amir Al Mukminin dari Syam, dan gamblangnya pendirian penduduk Syam, bahwa mereka enggan melakukan baiat, kecuali dilaksanakan hukuman hadd atas pelaku pembunuhan Utsman. Maka, eksistensi kelompok Saba’iyah semakin terncam, karena merekalah yang berdiri di balik peristiwa tragis itu.
Tidak ada cara lain bagi mereka, kacuali mendesak Amirul Mukminin untuk menghadapi Muawiyah. Disebutkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah (8/10),”Maka para tokoh yang secara langsung terlibat pembunuhan Utsman,yang berada di sekitar Ali bin Abi Thalib, memberi saran, agar beliau memecat Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Syam.”
Saat itu Amir Al Mukminin pun melihat bahwa pelaksanaan hadd tidak bisa dilakukan kacuali setelah baiat bisa diselesaikan, apalagi para pelakunya berkeliaran di sekitar beliau dan jumlah mereka pun banyak, ini semakin menyulitkan posisi beliau.
Mayoritas Umat Tak Menghendaki Perang
Sudah maklum, bahwa umat Islam di masa peperangan Siffin adalah generasi yang amat dekat dengan masa Rasulullah (SAW), dimana mereka amat memahami, bagaimana berinteraksi dengan sesama Muslim, hingga mayoritas umat Islam, baik di Syam maupun Kufah, bahkan Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib sebenarnya sama-sama menghindari adanya pertumpahan darah.Hal ini bisa dilihat, bagaimana usaha mereka dalam berunding, menghindari peperangan dan usaha penduduk Kufah yang menghalangi jalannya pasukan Khalifah menuju Syam.
Diriwayatkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/267), bahwa Imam Ali telah mengirimkan pasukan pembuka, yang berjumlah 8 ribu tentara. Pasukan ini menuju Syam dengan melewati sisi kanan sungai Eufrat, sedangkan pasukan Khalifah melewat sisi kirinya. Karena khawatir adanya serangan dari Muawiyah, disebabkan sedikitnya jumlah mereka, maka pasukan ini berancana bergabung dengan pasukan Khalifah di seberang, dengan melalui penyeberangan di wilayah ‘Anat, akan tetapi apa yang terjadi, penduduk kota wilayah itu menghalangi mereka. Tidak bisa melalui ‘Anat, pasukan hendak melalui penyeberangan lainnya, yang berada di wilayah Hiit, akan tetapi, seperti yang sudah-sudah, mereka dihalangi oleh penduduk setempat. Akhirnya, mereka terlambat, dan bertemu dengan pasukan Ali yang sudah berada di depan mereka.
Selanjutnya penduduk Qirqisiya’ menghalangi pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib itu, sedangkan penduduk Ar Riqah mengumpulkan seluruh perahu mereka dan enggan membantu pasukan itu menyeberang menuju Shiffin, hingga mereka memutuskan untuk menyeberang di wilayah Manbaj.
Sikap Khalifah Ali yang lemah lembut terhadap mereka yang menghalangi perjalanan pasukannya menunjukkan bahwa tujuan utama bukanlah menumpahkan darah, akan tetapi melakukan ishlah. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Al Asytar, yang juga berada dalam barisan yang sama, terhadap mereka yang enggan membantu penyeberangan ia mengancam”Jika tidak kalian lakukan, aku benar-benar akan membunuh para laki-laki, merusak tanah atau mengambil harta.” Riwayat ini termaktub dalam Tarikh At Thabari (5/229).
Awal mulanya, Khalifah masih mempercayai Al Asytar, karena tidak menilai, bahwa pria itu adalah salah satu pembunuh Utsman, walau ia adalah salah satu pemimpin Khawarij. Akan tetapi ada indikasi bahwa akhirnya beliau merubah pandangan tersebut. Diceritakan Al Hakim dalam Al Mustadrak (3/107), bahwa saat itu, penduduk Nakha’ berkumpul di dalam rumah Al Asytar. Ali bin Abi Thalib menyeru kepada mereka,”Apakah di dalam rumah hanya ada Al Asytar?” Mereka menjawab, ”tidak.” Khalifah kembali mengatakan,”Umat ini bersandar kepada kaluarga yang paling baik, akan tetapi mereka telah membunuhnya (Utsman). Sesungguhnya kami memerangi Bashrah karena baiat yang kami takwilkan, sedangkan kalian bergerak menuju sebah kaum yang kami tidak dibaiat oleh mereka (Syam), handaklah setiap orang melihat, dimana pedang harus diletakkan.”
Dialog di atas menunjukkan bahwa Amirul Mukminin telah memperingatkan Al Asytar, mengenai keputusannya untuk pergi ke Shiffin, dan menjelaskan bahwa tidak perlu dilakukan pertempuran di sebuah wilayah yang tidak terikat oleh Baiat, semisal Syam.
Niatan Amirul Mukminin untuk tidak mengutamakan kekuatan senjata didukung dengan riwayat yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (8/127) yang menyebutkan, bahwa Khalifah Ali mengirim utusan ke Damaskus untuk membawa pesan kepada penduduk Syam, bahwa beliau telah berdiri di atas rakyat Iraq untuk ingin mengetahui ketaatan penduduk Syam terhadap Muawiyah. Ketika perkara itu sampai kepada Muawiyah, beliau naik mimbar masjid dan mengatakan kepada jama’ah,”Sesungguhnya Ali telah berdiri di penduduk Iraq untuk kalian. Apa pendapat kalian?” Para jama’ah tidak berkata-kata, hingga seorang ada yang mengatakan,”Anda yang berfikir, kami yang melaksanakan.” Akhirnya Muawiyah memerintahkan agar mereka bersiap-siap membentuk pasukan menjadi 3 bagian.
Setelah itu, kembalilah utusan menuju Khalifah Ali bin Abi Thalib lalu mengabarkan, apa yang terjadi di Syam. Ali akhirnya naik mimbar dan mengatakan kepada jama’ah,”Muawiyah telah mengumpulkan pasukan untuk memerangi kalian, apa pendapat kalian?” Semua hadirin terheran dan berbiacara satu sama lain. Khalifah Ali akhirnya turun dari mimbar, dengan mengatakan,”la haula wa la quwwata ila billah.”

Kenapa Ali Tak Segera Menghukum Para Pembunuh Utsman?

Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/242) setelah menjelaskan, bahwa kaum yang ikut serta membunuh Utsman termasuk kelompok awal yang ikut mambaiat Ali bin Abi Thalib, beliau mengatakan,”Padahal Ali membenci mereka, dan berusaha menghindar dari kelompok tersebut serta sangat menginginkan agar beliau bisa menundukkan mereka, hingga hak Allah bisa ditegakkan hak Allah (yakni hukuman hadd).”
Disebutkan juga oleh Ibnu Katsir bahwa, setelah Ali dibaiat, para tokoh sahabat beserta Thalhah dan Zubair menemui beliau dan meminta agar dilaksanakan hukuman kepada para pembunuh Utsman. Ali menyatakan udzur untuk melaksanakan hal itu di waktu itu, karena kekuatan mereka yang besar dan memiliki pendukung. Bahkan Ali meminta kepada Zubair untuk memerintah Kufah dan Thalah untuk memerintah Bashrah, dan beliau siap membekali keduanya dengan pasukan, agar bisa memperkuat dalam menghadapi kekuatan kaum Khawarij.
Akhirnya, para sahabat, termasuk Thalhah dan Zubair mendatangi lagi Ali, setelah menunggu beberapa waktu dan melihat Khalifah belum melakukan ”apa-apa” untuk menghukum kaum Khawarij. ”Wahai saudaraku, bukannya saya tidak mengerti masalah itu, akan tetapi apa yang mampu saya perbuat atas sebuah kaum yang menguasai kita akan tetapi kita tidak menguasa mereka? Mereka berada di sekitar kalian, sesuka hati mereka, apakah kalian melihat ada peluang untuk melakukan hal yang kalian inginkan?” Mereka menjawab,”Tidak”. Ali mengatakan,”Tidak, demi Allah saya tidak melihat, kacuali apa yang telah kalian lihat insyaallah.”
Jelas, dari penjelasan di atas, tidak diragukan lagi, Ali sendiri berkeinginan untuk menegakkan hadd kepada para pembunuh Utsman, tapi beliau merasa kesulitan, karena mereka sendiri berada di sekeliling khalifah, dan kekuatan mereka tidak bisa diremehkan, hingga para sahabat pun mengakui hal tersebut.
Upaya Perdamaian di Shiffin
Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.
Dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/272) disebutkan bahwa Abu Muslim Al Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Muawiyah dengan mengatakan,”Apakah engkau melawan Ali ataukah engkau juga sepertinya?” Muawiyah menjawab, ”Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengatahui kalau ia (Ali) lebih baik dariku, lebih utama dan lebih berhak dalam masalah ini (kekhalifahan) daripada aku. Akan tetapi bukanlah kalian mengetahui bahwa Utsman terbunuh dengan keadaan terdhalimi, sedangkan saya adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepadanya, agar ia menyerahkan pembunuhnya, maka saya menyerahkan persoalan ini kepadanya.
Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu Darda’ dan Abu Umamah mendatangi Muawiyah, dengan isi percakapan yang hampir sama dengan riwayat sebelumnya. Setelah itu keduanya kembali kepada Ali bin Abi Thalib, dan beliau mengatakan,”Mereka adalah orang-orang yang kalian maksudkan.” Maka keluarlah banyak orang, dan mengatakan,”Kami semua yang telah membunuh Utsman, siapa yang berkehendak maka silahkan dia melemparkan kami.”
Dalam Minhaj As Sunnah (4/384) juga dinukil bagaimana sikap para pendukung Muawiyah, mangapa mereka tidak membaiat Ali.”Kami jika membaiat Ali, maka pasukannya akan mendhalimi kami, sabagaimana mereka mendhalimi Utsman, sedangkan Ali tidak mampu melakukan pembelaan terhadap kami.”
Dari periwayatan di atas semakin jelas, bahwa memang kedua belah pihak, baik Ali dan Muawiyah tidak berselisih mengenai jabatan kekhalifahan, dan keduanya memang tidak bermaksud menyerang satu sama lain, kecuali pihak pengikut Saba’iyah yang berada di barisan Amirul Mukminin, yang selalu menginginkan adanya konflik antara Ali dan Muawiyah. Dan Muawiyah tetap berdiri tegak guna melawan para pengiku Abdullah bin Saba’ yang berada dalam pasukan Khalifah.
Khawarij yang Berbalik ”Menikam” Khalifah
Berbagai upaya menghentikan peperangan dilakukan kedua belah pihak, tapi kaum Saba’iyah terus berusaha memantiknya
Para utusan terus melakukan perundingan, dan pasukan kedua belah pihak sama-sama menahan diri untuk melakukan serangan, hingga berakhirnya bulan-bulan haram di tahun itu (37 H). Pasukan Kufah menyeru kepada pasukan Syam, ”Amir Al Mukminin telah menyeru kepada kalian, aku telah memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali kepada al haq, dan saya telah menegakkan atas kalian hujah, akan tetapi kalian tidak menjawab…”
Pasukan Syam menjambut seruan itu, dengan mempersiapkan diri di shafnya masing-masing. Pada hari Rabu, tanggal 7 pada bulan Safar, pertempuran berlangsung pada hari Rabu, Kamis, Jumat serta malam Sabtu. Dalam Al Aqdu Al Farid (4/3140) disebutkan bahwa kdua pihak bersepakat bahwa mereka yang terluka harus dibiarkan, begitu pula mereka yang melarikan diri tidak boleh dikejar, mereka yang meletakkan senjata akan aman, tidak boleh mengambil benda milik mereka yang meninggal, serta mereka mendoakan dan menshalati jenazah yang berada di antara kedua belah pihak.
Mayoritas sahabat tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Pada saat itu jumlah mereka sekitar 10 ribu, akan tetapi yang ikut serta tidak lebih dari 30 sahabat saja, sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam Minhaj As Sunnah (6/237).
Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu sama lain, akan tetapi Ibnu Katsir menyebutkan dalam Al Bidayah wa An Nihayah (7/288) bahwa pasukan Kufah berjumlah 120 ribu orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang.

Terbunuhnya Amar bin Yasir

Peristiwa terbunuhnya sahabat Amar bin Yasir dalam pertempuran Shiffin memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya Rasulullah (SAW) telah berkata kepada Amar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua kelompok orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan Al Bukhari dalam Tarikh As Saghir (1/104).
Sedangkan Amru bin Ash, sahabat yang bergabung dalam barisan Muawiyah pernah mendengar bahwa Rasulullah bersabda mengenai Amar bin Yasir, sebagaimana termaktub dalam Al Majma’ Az Zawaid (7/244) ”Sesungguhnya orang yang membunuh dan mengambil hartanya (sebagai ghanimah) akan masuk neraka.” Lalu ada yang mengatakan kepadanya,”Sesungguhnya engkau yang memeranginya!” Amru bin Ash menjawab,”Sesungguhnya yang disabdakan adalah pembunuh dan perampas hartanya.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa memang kedua belah pihak mengetahui keutamaan masing, masing dan tidak ada kesengajaan untuk berniat saling membunuh.
Meninggikan Mushaf
Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak para ulama yang menyeru, baik dalam barisan pasukan Syam maupun Kuffah,”Jika kita besok baru berhenti (bertenpur) maka Arab akan sirna, dan hilangnya kehormatan…”
Muawiyah yang juga mendengar khutbah itu membenarkan,”Benar, demi Rabb Ka’bah, jika kita masih berperang esok, maka Romawi akan mengincar para wanita dan keturunan kita. Sedangkan Persia akan mengincar para wanita dan ketururnan Iraq. Ikatlah mushaf-mushaf di ujung tombak kalian.”
Maka saat itu, pasukan Syam menyeru,”Wahai pasukan Iraq diantara kami dan kalian adalah Kitabullah!” Muawiyah memerintahkan seorang utusan untuk menghadap kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, ”Iya, diantara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah mendahulukan hal itu.” Jawab beliau.
Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi sebelumnya, para pengikut Abdullah bin Saba’ enggan menerima usulan untuk berdamai, mereka ingin agar Khalifah Ali meneruskan pertempuran. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (8/336) bahwa kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi Thalib, dengan pedang di atas pundak mereka,”Wahai Amir Al Mukminin, tidakkah sebaiknya kita menyongsong mereka, hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras oleh sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari. ”Tuduhlah diri kalian! Kami telah bersama Rasulullah (SAW) saat peristiwa Hudaibiyah. Kalau sendainya kami berpendapat akan berperang, maka kami perangi (tapi kenyataannya mereka tidak berperang)”
Sahl juga menjelaskan bahwa setelah perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu turunlah surat Al Fath kepada Rasulullah (SAW). Ali bin Abi Thalib pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai manusia, ini adalah fath (hari pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran itu pun berakhir.
Peristiwa Tahkim
Tahkim adalah penunjukkan dua pihak yang berselisih terhadap seseorang yang adil, dengan tujuan agar memberi keputusan terhadap dua pihak tersebut. Kedua pihak yang terlibat pertempuran Shiffin, yakni Ali dan Muawiyah telah sepakat memilih Abu Musa Al Asy’ari untuk menjadi penengah. Sesuai dengan yang ditulis oleh Ibnu Hibban dalam At Tsiqat (2/293), hasil tahkim berisi, bahwa Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Iraq dan penduduknya, sedangkan Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para penduduknya, tidak ada penggunaan senjata, dan hal ini berlaku dalm satu tahun. Jika sudah melewati masanya, kedua belah pihak bisa menolaknya, atau bisa memperpanjang. Dari kandungan tersebut, bisa disimpulkan bahwa Muawiyah tidak ada keharusan untuk membaiat Ali, bagitu juga Ali, tidak ada keharusan untuk menghukum pembunuh Utsman.
Dengan demikian, tidak ada lagi peperangan antara Syam dan Iraq, Muawiyah tetap tidak membaiat Ali, dan Ali pun tetap tidak menghukum para pembunuh Utsman. Dan konflik pun bergeser antara Khalifah Ali dengan Kaum khawarij, yang semula menjadi pendukung Amir Al Mukminin, yang tidak menyukai perdamaian antara Iraq dan Syam. Lantas mereka mengisukan bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak setuju dengan hasil yang telah diputuskan.Hingga akhirnya beliau menegaskan,”Barang siapa mengira bahwa aku tidak setuju dengan hasil tahkim, maka ia telah berbohong, barang siapa berfikiran demikian maka ia telah sesat. Akhirnya kaum Khawarij keluar dari masjid, dengan mengatakan,”la hukma illa lillah”, atau tidak ada hukum selain hukum Allah. Sehingga ada yang mengatakan kepada Khalifah,”Mereka telah keluar dari ketaatan terhadapmu.”Saya tidak akan memerangi mereka, hingga mereka memerangi kami, dan mereka akan melakukannya.” Hal ini disebutkan Ibnu Abdi Rabbih dalam Al Aqdu Al Farid (2/218).
Gerakan Khawarij tidak berhenti sampai di sini, mereka masih tetap bernafsu tidak hanya membunuh Muawiyah, tapi membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib serta Amru bin Ash. Ali bin Abi Thalib menjadi incaran, karena mereka merasa bahwa kedok mereka sudah terbuka secara sempurna dihadapan Khalifah, dan tidak ada yang bisa ditutupi dari gerakan mareka. Dan pembunuhan itu masih belum sempurna, kacuali jika menyertakan Muawiyah dalam terget serupa. Sedangkan Amru bin Ash ikut menjadi target, karena beliau adalah musuh pertama kelompok ini, di saat beliau berkuasa di Mesir, sehingga jika beliau tidak dibunuh, maka keberadaan beliau juga berpotensi untuk mengancam gerakan kelompok ini, beliau tidak ada bedanya dengan Muawiyah.
Ditugaskan tiga orang, untuk membunuh tiga sahabt mulia itu, Ibnu Muljim, sahabat dekat Ibnu Saba’ dari kalangan Khawarij menyerang Ali bin Abi Thalib di malam ke 17 dari bulan Ramadhan tahun 40 H, dengan menebaskan pedang, hingga mengenai kening beliau. Setelah bertahan selama dua hari, Khalifah Ali bin Abi Thalib akhirnya wafat. Sedangkan Al Burk bin Abdullah Al Khariji, yang bertugas membunuh Muawiyah malah terbunuh terlebih dahulu oleh beliau, dengan pedangnya sendiri. Sedangkan Amru bin Bukair yang ditugaskan membunuh Amru bin Ash, malah membunuh salah satu petugas, yang disangkanya sasarannya, hingga kedua sahabat itu selamat dari pembunuhan.
Inilah peristiwa beruntun yang dilakukan kelompok Abdullah bin Sabba’ terhadap para sahabat mulia, hingga terjadi fitnah besar yang menyebabkan bertumpahnya banyak darah. Mudah-mudahan umat Islam bisa mengambil ibrah dari rentetan peristiwa ini. Allahu’alam bishawab.

70 Responses to “Memandang Perang Shiffin Bukan dari Mata Pendengki”

  1. ahmad Juli 20, 2009 pukul 8:14 am
    assalamualaikum.wr.wb.
    setelah membaca sejarah diatas,saya tertarik sekali untuk mengetahui secara mendetail siapa sebenarnya abdullah bin saba’ sebenarnya? darimana asalnya? kapan masuk islamnya? siapa ibu-bapaknya? apa sukunya? siapa saja pengikutnya dan kawan2 dekatnya? sepak terjangnya dan lain2 secara runtut dari lahirnya sampai kematiannya,karena betapa hebat,cerdas dan lihainya dia, yg berhasil memecah-belah dan mengadu domba para sahabat yg kecerdasn,ilmu dan keluhuran akhlaknya tidak diragukan lagi. betapa hebatnya dia,yg berhasil memecah-belah dan menghancurkan islam dari dalam…yg akibatnya kita rasakan sampai sekarang(saling mengkafirkan,bahkan menghalalkan darah dan harta sesama umat Muhammad SAW) tolong… ceritakan siapa sebenarnya abdullah bin saba’…atau tunjukkan buku tarikh yg khusus bercerita tentang abdullah bin saba’ dari lahir sampai matinya berserta sepak terjangnya…sehingga saya tidak bingung mendengar kehebatannya…abdullah bin saba’ itu tokoh khayalan atau kenyataan? sehingga akan terbuka kebenaran sejarah tentang penyebab terpecahnya umat islam pasca wafatnya Rasulullah Muhammad SAW.
    wassalamualaikum wr.wb
  2. imem Agustus 4, 2009 pukul 2:45 pm
    @ahmad
    anda tahu kan si paulus yang ajarannya menjadi ajaran resmi nashrani? padahal dia hanya seorang, tetapi ajarannya telah menyebar ke seluruh Dunia menggantikan ajaran Nabi Isa yang murni.. demikian juga si Ibnu Saba’ dalam mengacaukan ajaran Islam.. mungkin ada pertanyaan kenapa si Paulus dan Ibnu Saba’ yg sama2 Yahudi (anda tahu-lah kaum Yahudi kan otaknya byk yg di atas rata2) bisa mengacaukan ajaran para Nabi sampai sedemikian rupa? ya karena dibantu oleh Iblis, Syaithan dari kalangan Jin dan manusia yg mereka mempunyai tujuan yg sama yaitu menyesatkan umat manusia..
    Jadi keheranan anda itu terlalu berlebihan saya kira.. dan Ibnu Saba’ itu bukan tokoh khayalan tapi kenyataan, yg terekam baik di literatur Sunni maupun Syi’ah..
    • ahmad Agustus 4, 2009 pukul 4:31 pm
      keheranan saya tidak berlebihan,karena tokoh selevel ibnu saba’ tidak terekam dg baik biografinya,sepak terjangnya dsb.
      hanya disebutkan abdullah bin saba’ tokoh yahudi dr yaman,pura2 masuk islam jaman kalifah usman,menebarkan fitnah,memecah belah umat,mengagung-agungkan imam Ali,dan pendiri aliran syi’ah?
      padahal titik inilah yg paling krusial yg menyebabkan perpecahan umat islam,padahal kalau melihat sepak terjang dan pengaruhnya bisa berjilid-jilid buku yg bisa ditulis tentang ibnu saba’.biografi dan sepak terjang paulus jauh lebih mudah dicari dan ditelusuri drpd ibnu saba’ kendati zaman paulus ratusan tahun lebih dulu dari ibnu saba’.
  3. imem Agustus 5, 2009 pukul 2:22 am
    silahkan baca link yg sdh ditunjukkan sdr kembali ke aqidah yg benar..
    tidak harus sama antara Paulus dan Ibnu Saba’ dalam sepak terjangnya dan tidak harus sama para sejarawan dalam merekam ke 2 tokoh tsb,terlalu banyak alasan yg bisa disebutkan, tetapi yg jelas eksistensi keduanya telah tercatat. untuk Ibnu Saba’ tercatat dalam literatur sunni dan syi’ah, jadi tidak ada alasan lagi bagi kaum syi’ah utk mengingkarinya.. sedikit ato banyak catatan ttg tokoh satu ini tidaklah menafikan eksistensinya.. sedangkan hasil makar dr tokokh ini, sebagian anda bisa baca di atas..kalo ga puas anda bisa baca misalnya di tarikh at-Tabari atopun yg lainnya.
    • ahmad Agustus 7, 2009 pukul 4:28 am
      @imem…saya sudah baca link yg anda maksud insyaalah termasuk tarikh baik dr suni/syiah.
      permasalahan pokok ibnu saba’ bukan masalah ada dan tidak adanya ibnu saba’,tapi detail sepak terjangnya,dr detail sepak terjangnya kita bisa menganalisa keberadaannya dan dari pengaruhnya kita kita tahu kehebatannya. dlm kasus ibnu saba’ banyak kontradiksi,keanehan,kejanggalan bahkan(maaf)menganggap goblok,bodoh para sahabat nabi karena mudah ditipu,dihasut dan diadu domba oleh ibnu saba’yg tidak jelas asal-usulnya, ilmunya,kecerdasannya dst dst.
      dlm menganalisa sejarah kita tidak bisa mengandalkan sumber dari satu pihak,tapi juga sumber pihak lain bahkan pihak ketiga,tidak sepotong2tapi utuh,merekontruksinya sedemikian rupa,urut(waktu&kejadian),detail terperinci dan obyektif apa adanya,tidak menutupi satu kejadian dan menceritakan kejadian lainnya.
      cerita bin saba’ sungguh memilukan sekaligus menggelikan…
      sayang…tarikh pasca wafatnya Rasulullah SAW sering disusun atas suka dan tidak suka,kepentingan kelompok,bahkan pesanan penguasa.
      padahal sejarah nilainya sama dg hadist,bahkan alquran 1/3nya adalah sejarah.
      tarikh yg keluar dari lidah pembohong nilainya sama dg(maaf) sampah…
      semoga Allah SWT memberi cahaya pada akal kita,dan menerangi qalbu kita…amin
      • ihsan Januari 5, 2013 pukul 7:31 am
        Asal muasal Syi’ah ini adalah pendukung Ali yg berada diwilayah Kufah yg begitu fanatik,termasuk org2 Khawarij itu. Dimasa inilah Abdullah bin Saba berperan melakukan provokasi dgn mengkultuskan Ali,dan mengu tuk Abu Bakar yg merampas hak Ali sebagai Khalifah. Lebih dari itu juga mengatakan bhw Jibril salah mebawa wahyu yg sebenarnya bukan kpd Muhammad,tetapi harusnya kpd Ali. Org syi’ah sekarang ini sengaja me ngaburkan kisah si Saba ini, pada hal didalam kitab2 syi’ah diceritakan keberadaan Abdullah bin Saba.Jadi org syi’ah keberatan kalau tokoh pe nyesat ini di-sebut2,karena tak ingin terbongkar kedok kepalsuan ajaran Sesat nya.Salah satu kepercayaan syi’ah yg KONYOL ialah mengatakan bahwa padang Karbala tempat Husein mati syahid,dianggap lebih suci dari Makkah dan Madinah,bahkan dikatakan kalau sdh pergi “haji”ke Kar bala,tidak perlu lagi pergi haji ke Makkah. Siapa yang syirik dan SESAT?
    • ahmad Agustus 7, 2009 pukul 6:14 am
      @imem…saya sudah baca link yg anda maksud…insyaalah termasuk tarikh baik dr suni/syiah.
      permasalahan pokok ibnu saba’ bukan masalah ada dan tidak adanya ibnu saba’,tapi detail sepak terjangnya,dr detail sepak terjangnya kita bisa menganalisa keberadaannya dan dari pengaruhnya kita kita tahu kehebatannya. dlm kasus ibnu saba’ banyak kontradiksi,keanehan,kejanggalan bahkan(maaf)menganggap goblok,bodoh para sahabat nabi karena mudah ditipu,dihasut dan diadu domba oleh ibnu saba’yg tidak jelas asal-usulnya, ilmunya,kecerdasannya dst dst.
      dlm menganalisa sejarah kita tidak bisa mengandalkan sumber dari satu pihak,tapi juga sumber pihak lain bahkan pihak ketiga,tidak sepotong2tapi utuh,merekontruksinya sedemikian rupa,urut(waktu&kejadian),detail terperinci dan obyektif apa adanya,tidak menutupi satu kejadian dan menceritakan kejadian lainnya.
      cerita bin saba’ sungguh memilukan sekaligus menggelikan…
      sayang…tarikh pasca wafatnya Rasulullah SAW sering disusun atas suka dan tidak suka,kepentingan kelompok,bahkan pesanan penguasa.
      padahal sejarah nilainya sama dg hadist,bahkan alquran 1/3nya adalah sejarah.
      tarikh yg keluar dari lidah pembohong nilainya sama dg(maaf) sampah…
      semoga Allah SWT memberi cahaya pada akal kita,dan menerangi qalbu kita…amin
  4. yusuf Agustus 6, 2009 pukul 3:52 pm
    ternyata orang yang disebut “Abdullah bin Saba” itu berdasarkan pada beberapa catatan mempunyai jalan cerita yang berbeda-beda. Adakah “abdullah bin Saba” satu nama untuk beberapa orang?. Nah fokus ke Abdullah bin Saba yang memiliki peran seperti disampaikan pada blog ini. Tinggal diurut…. dari siapa berita ini…terus–terus — dan ujungnya…dari Thabari…dari Saif bin Umar at-Tamimi yang oleh para ulama sebagai pendusta.
    Kesimpulannya Abdullah bin Saba yang memiliki peran sebagai pendiri paham syi’ah adalah tokoh novel karangan Saif bin Umar.
    mempercaya eksistensi Abdullah bin Saba’ mengindikasikan bahwa kecerdasan dan kemuliaan sahabat dan Ahlulbait itu tidak ada apa-apanya dibanding Abdullah bin Saba, seorang muallaf Yahudi karena semuanya terkecoh oleh permainannya…dan saya berlepas diri dari keyakinan seperti itu.
    ====
    maaf pa Ustadz Thoriq saya mau titip pesan sama imem..(imem, tolong sampaikan sama pemilik blog Abuthalhah, Demi Allah saya tidak bisa mengomentari pernyataan anda.. setiap mengirim pesan selalu discarted. Entah sengaja atau tidak itulah yang terjadi.
  5. ahmad Agustus 7, 2009 pukul 6:36 am
    @ imem
    saya sudah baca link yg anda maksud…insyaalah termasuk tarikh baik dr suni/syiah.
    permasalahan pokok ibnu saba’ bukan masalah ada dan tidak adanya ibnu saba’,tapi detail sepak terjangnya,dr detail sepak terjangnya kita bisa menganalisa keberadaannya dan dari pengaruhnya kita kita tahu kehebatannya. dlm kasus ibnu saba’ banyak kontradiksi,keanehan,kejanggalan bahkan(maaf)menganggap goblok,bodoh para sahabat nabi karena mudah ditipu,dihasut dan diadu domba oleh ibnu saba’yg tidak jelas asal-usulnya, ilmunya,kecerdasannya dst dst.
    dlm menganalisa sejarah kita tidak bisa mengandalkan sumber dari satu pihak,tapi juga sumber pihak lain bahkan pihak ketiga,tidak sepotong2tapi utuh,merekontruksinya sedemikian rupa,urut(waktu&kejadian),detail terperinci dan obyektif apa adanya,tidak menutupi satu kejadian dan menceritakan kejadian lainnya.
    cerita bin saba’ sungguh memilukan sekaligus menggelikan…
    sayang…tarikh pasca wafatnya Rasulullah SAW sering disusun atas suka dan tidak suka,kepentingan kelompok,bahkan pesanan penguasa.
    padahal sejarah nilainya sama dg hadist,bahkan alquran 1/3nya adalah sejarah.
    tarikh yg keluar dari lidah pembohong nilainya sama dg(maaf) sampah…
    semoga Allah SWT memberi cahaya pada akal kita,dan menerangi qalbu kita…amin
  6. imem Agustus 7, 2009 pukul 11:25 am
    @yusuf
    Riwayat mengenai Ibnu Saba’ si founding father syi’ah rofidhoh bukan hanya dari jalur Saif saja, jadi tidak diragukan lagi eksistensi tokoh pembuat makar ini, dan tokoh-tokoh perusak spt ini selalu ada pada setiap umat, contoh Samiri pada zaman Nabi Musa, Paulus perusak agama Nashrani dan Ibnu Saba’ perusak agama ini.. apakah kemudian ente mau merendahkan Nabi Harun karena umatnya menyembah anak sapi atas hasutan Samiri sepeninggal Nabi Musa? apakah ente akan merendahkan para hawariyun, pengikut Nabi Isa karena fitnah yang dilakukan oleh Paulus, dan sekarang ente akan merendahkan sahabat karena fitnah yg dikobarkan oleh Ibnu Saba’?. apakah ente akan merendahkan Imam Ali yg termasuk korban fitnah Ibnu Saba’ yang menyebabkan beliau terbunuh? apakah kemuliaan beliau hilang karena fitnah yg terjadi? mikir tho mikir…
    @ahmad
    Anda menghendaki detail sepak terjang Ibnu Saba’? anda tahu kan agen rahasia CIA, FBI dll? apakah anda bisa mengetahui detail dg jelas dr makar yg dilakukan oleh organisasi2 rahasia semacam itu? yg bisa dilihat adlh akibat yg terjadi atas makar mereka. ok tapi coba anda baca link berikut ini mengenai insiden Jamal dan Shiffin.. dan anda akan melihat sebagian sepak terjang si Ibnu Saba’ ini. (dan saya kira artikel Al-Akh Thoriq di atas juga sudah menggambarkan sebagian sepak terjang dari si Ibnu Saba’ ini)
    http://yakinku.wordpress.com/2008/06/18/insiden-jamal-dan-shiffin/
  7. yusuf Agustus 7, 2009 pukul 12:53 pm
    @imem
    saya minta satu sanad yang shahih tentang Abdullah bin Saba untuk saya pelajari… syukron.
  8. yusuf Agustus 7, 2009 pukul 1:21 pm
    Abdullah bin Saba’ dengan beberapa versi:
    1. Abdullah bin Wahab Saba’i, pemimpin suku Khawarij yang menentang Ali.
    2. Abdullah bin Saba yang mendirikan suku Saba’iyah yang meyakini bahwa Ali adalah Tuhan. la dan pengikutnya dibakar tak lama setelah itu.
    3. Abdullah bin Saba, yang juga terkenal dengan nama Ibnu Sauda bagi mereka yang meriwayatkan dari Saif. la adalah pendiri kelompok yang meyakini kepemimpinan Ali, dan menghasut pengikut Utsman kemudian memulai perang Jamal.
    @Imem
    Saya minta sanad yg shahih cerita Abdullah bin Saba’ yang meyakini kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
  9. yusuf Agustus 10, 2009 pukul 2:00 am
    [b]ASAL MUASAL CERITA ABDULLAH BIN SABA’[/b]
    itinjau dari sanad cerita Abdullah bin Saba’ dapat dibagi menjadi tiga kelompok.
    1. Yang Diriwayatkan Oleh Saif Bin Umar
    2. Yang Tidak Memiliki Sanad Dan Perawi Sama Sekali
    3. Yang Diriwayatkan Dari Selain Saif Bin Umar
    A. YANG DIRIWAYATKAN OLEH SAIF BIN UMAR
    Diantara sejarahwan yang mencatat cerita tersebut dari Saif secara langsung:
    1. Thabari.
    2. Dzahabi, ia juga menyebutkan dari Thabari (1).
    3. Ibmi Abu Bakir, ia juga mencatatnya dari Ibnu Atsir (15), yang mencatat dari Thabari (1).
    4. Ibnu Asakir.
    Berikut ini sejarahwan yang tidak secara langsung mencatat dari Saif:
    5. Nicholson dari Thabari (1).
    6. Ensiklopedi Islam karya Thabari (1)
    7. Van Floton dari Thabari (1)
    8. Wellhauzen dari Thabari (1).
    9. Mirkhand dari Thabari (1).
    10. Ahmad Amin dari Thabari (1), dan dari Wellhauzen (8).
    11. Farid Wajdi dari Thabari (1).
    12. Hasan Ibrahim dari Thabari (1).
    13. Said Afghani dari Thabari (1), dan dari ibnu Abu Bakir (3), Ibnu Asakir (4), dan Ibnu Bardan (21).
    14. Ibnu Khaldun dari Thabari (1).
    15. Ibnu Atsir dari Thabari (1).
    16. Ibnu Katsir dari Thabari (1).
    17. Danaldson dari Nicholson (5), dan dari ensiklopedia (6).
    18. Ghiathuddin dari Mirkhand (9).
    19. Abu Fida dari Ibnu Atsir (15).
    20. Rasyid Ridha dari Ibnu Atsir (15).
    21. Ibnu Bardan dari Ibnu Asakir (4).
    22. Bustani dari Ibnu Katsir (16).
    B. YANG TIDAK MEMILIKI SANAD dan PERAWI SAMA SEKALI
    Di antara kaum Sunni yang menyebutkan nama Abdullah bin Saba dalam cerita mereka tanpa memberikan sumber klaim mereka adalah:
    1. Ali bin Isma’il Asyari (330) dalam bukunya yang berjudul Maqalat al-Islamiyyin (esai mengenai masyarakat Islam).
    2. Abdul Qahir bin Thahir Baghdadi (429) dalam bukunya yang berjudul al-Farq Bain al-Firaq (perbedaan di antara aliran-aliran).
    3. Muhammad bin Abdul Karim Syahrastani (548) dalam bukunya yang berjudul al-Milal wa an-Nihal (Negara dan Kebudayaan).
    Di antara perawi Syi’ah yang menyebutkan nama Abdullah bin Saba tanpa memberi keterangan mengenai sumbernya adalah dua sejarahwan berikut ini:
    1. Sa’d bin Abdullah Asy’ari Qummi (301) dalam bukunya al-Maqalat wal-Firaq. Najasyi (450) dalam bukunya ar-Rijal berkata bahwa Asy’ari Qummi mengembara ke banyak tempat dan terkenal dengan hubungannya dengan sejarahwan Sunni dan banyak mendengar cerita dari mereka. la menulis banyak riwayat lemah dari apa yang ia dengar, salah satunya adalah cerita tentang Abdullah bin Saba, tanpa memberi referensi.
    2. Hasan bin Musa Naubakhti (310), seorang sejarahwan Syi’ah yang menuliskan sebuah riwayat dalam bukunya al-Firaq tentang nama Abdullah bin Saba. Tetapi ia tidak pernah menyebut dari mana ia mendapat riwayat tersebut serta sumbernya.
    C. YANG DIRIWAYATKAN DARI SELAIN SAIF BIN UMAR
    Riwayatnya berjumlah 14 riwayat yang terdapat di kalangan Syi’ah dan Suni. Diantara sejarahwan yang mencatat cerita tersebut adalah:
    1. Khusyi atau al-Kusysyi, juga disingkat dengan nama Kosli (369), menulis dalam bukunya berjudul Rijal pada tahun 340 mengenai Abdullah bin Saba. Dalam buku tersebut ia menyebut beberapa hadis yang dalamnya muncul nama Abdullah bin Saba.
    2. Syekh Thusi (460), (dari al-Kusysyi)
    3. Ahmad bin Thawus (673), (dari al-Kusysyi)
    4. Allamah Hilli (726). (dari al-Kusysyi)
    5. Ulama Syi`ah lain telah menyebut nama Abdullah bin Saba yang mengutip Kusysyi atau dua sejarahwan yang telah disebut di atas (Asy’ari Qummi dan Naubakhti yang tidak memberi sanad perawi atau sumber untuk riwayat mereka).
    Cerita yang diberikan oleh hadis-hadis Sunni dan Syi’ah, sangat berbeda dengan riwayat yang disebarluaskan oleh Saif bin Umar. Hadis ini menyatakan bahwa ada seorang lelaki bernama Abdullah bin Saba yang muncul pada saat pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Lelaki ini menyatakan bahwa ia adalah seorang rasul dan Ali adalah Tuhan. Hadis-hadis ini (tidak lebih dari 14 hadis) tidak ada dalam kitab-kitab kumpulan hadits utama (kutub as-Sittah bagi suni, dan al-Arba’ bagi Syi’ah) dan tidak pernah dinyatakan sebagai riwayat yang shahih baik oleh ulama Sunni atau Syi’ah.
    Kesimpulan, Abdullah bin Saba’ sebagai pendiri pahan Syi’ah adalah cerita fiktif untuk mendiskriditkan Syi’ah.
    Inilah yang saya ketahui sementara ini. Tulisan diambil dari buku Antologi Islam.
  10. almanar Agustus 10, 2009 pukul 3:28 am
    Assalamalaikum warahmatullah wabarakatuh…
    Ikut komentar…
    Ok, tulisan di atas ana publikasikan dengan beberapa tujuan:
    1. Menunjukkan makar Saba’iyah yang mendalangi terjadinya perselisihan di anatara para sahabat yang mulia.
    2. Bagaimana para sahabat menyikapi makar ini, hingga gerakan makar ini tidak mencapai target alias gagal.
    Komentar-komantar yang ada hanya menyinggung substansi yang pertama, bukan yang kedua. Yakni hanya seputar ada tidaknya gerakan Sabai’yah dan ada tidaknya Abdullah bin Saba’, yang jelas-jelas ada dalam tarikh baik yang ditulis para sejarawan Sunni, Syi’ah maupun para orientalis.
    Mereka yang tidak setuju kabanyakan merujuk kepada pendapat Murtadha Al Askari (Dekan Kuliyah Ushuluddin di Najaf) yang berargumen bahwa mengani kisah Abdullah bin Saba’ bersumber dari Saif At Tamimi dan Saif dituduh dhoif, pemalsu dll.
    Jawab: Ok, kita rujuk perkataan ulama hadits mengenai Saif: An Nasai, Abu Hatim Ar Razi, Yahya bin Ma’n, Ad Dzahabi juga menukil dari Ibnu Ma’in. Intinya Saif dhaif dalam hadits (mana yang dikatakan maudhu’ atau pemalsu?)
    Akan tetapi dhoif dala hadits bukan berarti tidak dipakai dalam sejarah. Ibnu Hajar mengatakan, “Saif lemah dalam hadits (umdah) pijakan dalam tarikh”
    Ok, la kita kita katakan bahwa Saif dhaif (secara retorika), tapi kisah mengenai Abdullah bin Saba’ tidak hanya diriwayatkan Saif saja.
    1. At Thabari juga menukil dari Qatadah bin Diamah
    2. Hafidz Ibnu Asakir meriwayatkan dari Zaid bin Wahb al Juhni juga Sya’bi Umar bin Syarahil serta Ibnu Thufail.
    3. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat nya meriwayatkan dari Ibrahim bin Yazid An Nakhai.
    4. Yahya bin Hamzah Az Zubaidi dalam Thauq Al Hamamah meriwayatkan dari Suwaid bin Ghaflah Al Ja’fi
    Ok. Kalau ingin mendapatkan jawaban lebih detail dan lengkap, silahkan rujuk link : http://www.saaid.net/bahoth/43.htm
    Mudah-mudahan ada waktu untuk menulis masalah ini secara detail. Wallah A’la wa ‘Alam
    • ahmad Agustus 11, 2009 pukul 7:25 am
      persilisihan sahabat sudah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW masih hidup,tapi bisa diselesaikan oleh Rasul,hanya satu perselisihan yg membuat Rasulullah marah yg akibatnya kita rasakan sampai sekarang yaitu tentang keinginan Rasulullah SAW meninggalkan wasiat supaya umat tidak tersesat tapi ditentang sebagian sahabat sehingga terjadi perselisihan sahabat dikamar Rasul,yg membuat Rasul marah dan mengusir mereka,rasul tidak jadi meninggalkan surat wasiat maka terjadilah apa yg harus terjadi.
      #.perselisihan kekalifahan pasca Rasulullah wafat sehingga beberapa sahabat menunda bai’at bahkan ada yg keluar dari madinah krn tidak mau bai’at,bahkan rumah sayidah fatimah mau dibakar krn masalah bai’at.
      #.perselisihan warisan kebun fadak antara sayidah fatimah dg abu bakar.
      #.sebagian sahabat tidak menyetor zakat kebaitul mal tapi langsung dibagi di suku mereka yg dianggap oleh penguasa waktu itu tidak membayar zakat,sehingga terjadilah peperangan
      yg menyedihkan.
      #.penunjukan langsung umar oleh abu bakar tanpa dewan syura(yg tidak terfikirkan Rasullah SAW???).
      #.penunjukan dewan syura yg anggota dan aturannya ditentukan oleh kalifah umar.
      #.pemanggilan marwan bin hakam dari pengasingan oleh kalifah usman.
      #.pengusiran abu dzar algiffari oleh kalifah usman ke padang pasir rabadzah sampai wafat.
      apakah semua itu karena saba’iyah???.
      cerita abdullah bin saba’ dg saba’iyahnya dimasukkan memang untuk mengaburkan permasalahan yg sebenarnya tentang perselisihan sahabat.mana yg benar mana yg salah?,mana yg tetap berjalan dijalan kebenaran mana yg mulai menyimpang? mana yg tetap mengikuti sunah Rasul mana yg mengada-adakan bid’ah? pasca Rasulullah Muhammad SAW wafat.
      dengan cerita abdullah bin saba’ dan saba’iyahnya membuat semua sahabat menjadi maksum,adil,jujur dan tidak perlu bertanggunjawab atas perpecahan dan pembantaian antar umat islam…khan ada abdullah bin saba’ yg bertanggung-jawab.
      maafkan kami… ya Allah…
      maafkan kami… ya Rasulullah…
      maafkan kami… saudaraku.
      wassalam….
      ___________________
      Thoriq:
      waalaikum salam…
      Memang benar! dengan adanya Abdullah bin Saba’ maka thesis yang berpendapat behwa kedua sahabat mulia Ali (semoga Allah meridhai beliau) dan Muwiyah (semoga Allah meridhai beliau) berselisish karena kekuasaan akan runtuh.
      Tapi, tidak cukup dengan ada tidaknya Abdullah bin Saba’, pengakuan Muawiyah (semoga Allah meridhai beliau) dan Ali (semoga Allah meridhahi beliau) mengenai perselisihan yang tertulis di atas juga menentukan. Dan periwayatan ini tidak ada hubungannya dengan Saif atau pemberitaan Abdullah bin Saba’.
      Adapun perselisisihan yang antum sebut, memang tidak ana bahas. Lebih baik kalau komentarnya menyangkut apa yang saya tulis di atas. Supaya tidak melebar ke mana-mana. Allahu A’lam
      • ahmad Agustus 14, 2009 pukul 3:05 am
        kenapa antum tidak bahas isi surat menyurat antara imam Ali dan muawiyah,isi surat memyurat antara muhammad bin abu bakar dg muawiyah,tantangan bertanding imam Ali terhadap muawiyah untuk mencegah korban yg lebih banyak,pertarungan imam Ali dg amru bin ash yg sangat memalukan dlm sejarah umat islam,ketidak setujuan imam Ali untuk menghentikan peperangan karena imam Ali tahu bahwa penggunaan mushaf alqur’an hanya siasat muawiyah atas saran amru bin ash(yg kita tahu karakter aslinya saat bertanding dg imam Ali) untuk menghindari kehancuran pasukannya.
        kenapa tidak antum mulai dg dari dendam terhadap imam Ali bermula,fakta bahwa kakek,paman2,saudara muawiyah telah dikirim ke neraka oleh imam Ali dg pedang zulfikar saat parang badar dan uhud,
        kenapa harus mengarang kambing hitam yg bernama abdullah bin saba’ dari negeri kabur kanginan…(salut buat imajinasi saif bin umar)
        kenapa kita tidak berani melihat dan mengatakan apa adanya tentang para sahabat dan para sahabat bukanlah golongan maksumin.
        sungguh Rasulullah SAW sudah melihat apa yg akan terjadi pada umatnya sepeninggalnya nanti, oleh karena itu beliau ingin meninggalkan surat wasiat(inilah usaha terakhir yg Rasulullah lakukan yg tertulis dan tak terbantahkan setalah petunjuk dan peringatan secara lisan)supaya umat tidak tersesat dan terpecah belah….tapi apa yg terjadi,kita semua tahu…
        akhirul kata….penyebab awal umat islam terpecah belah dan saling membantai adalah karena sebagian sahabat tidak patuh terhadap perintah Rasulullah SAW…maka terjadilah apa yg harus terjadi.
        Demi Allah rabbulalamin
        aku bersaksi ya Rasulullah…bahwasanya engkau sudah menyampaikan apa yg Allah SWT perintahkan untuk disampaikan…dan aku berlepas diri dari apa yg mereka karang dan perselisihkan.
        wassalam
  11. yusuf Agustus 10, 2009 pukul 8:11 am
    Assalamu’alaikum WArohmatullahi Wabarakatuh.
    Beberapa ulama terkemuka Sunni berikut ini membenarkan bahwa Saif bin Umar terkenal sebagai seorang pendusta dan orang yang tidak dapat dipercaya:
    1. Hakim (405 H) menulis, “Saif adalah seorang ahli bid’ah. Riwayatnya harus diabaikan.”
    2. Nasa’i (303 H) menulis, “Riwayat yang disampaikan Saif lemah dan riwayat tersebut harus diabaikan karena tidak dapat dipercaya dan tidak berdasar.”
    3. Yahya bin Muin (233 H) menulis, “Riwayat Saif lemah dan tidak berdasar.”
    4. Abu Hatam (277 H) menulis, “Hadis yang diriwayatkan Saif harus ditolak.”
    5. Ibnu Abu Hatam (327) menulis, “Para ulama telah mengabaikan riwayat yang disampaikan Saif .”
    6. Abu Daud (316 H) menulis, “Saif bukan seorang yang dapat dipercaya. la adalah seorang pembohong. Beberapa hadis yang ia sampaikan sebagian besarnya tertolak.”
    7. Ibnu Habban (354 H) menulis, “Saif merujukkan hadis-hadis palsu pada perawi-perawi yang sahih. la dianggap sebagai seorang pebid’ah dan pembohong.”
    8. Ibnu Abdul Barr (462 H) menyebutkan dalam tulisannya tentang Qa’fa ; “ Saif meriwayatkan bahwa Qa`qa berkata, ‘Aku menghadiri kematian Nabi Muhammad.”‘ Ibnu Abdul Barr melanjutkan “ Ibnu Abu Hatam berkata, ‘Riwayat Saif lemah. Oleh karenanya, apa yang disampnikam tentang keberadaan Qa’qa pada wafatnya Nabi Muhammad ditolak. Kami menyebutkan hadis-hadis Saif hanya untuk diketahui saja.”‘
    9. Darqutni (385 H) menulis, “Riwayat yang disampaikan Saif lemah.”
    10. Firuzabadi (817 H) menulis dalam buku Tawalif tentang Saif dan beberapa orang lainnya bahwa riwayat yang mereka sampaikan lemah.
    11. Ibnu Sakan (353 H) menulis, “Riwayat Saif lemah.”
    12. Safuddin (923 H) menulis, “Riwayat yang disampaikan Saif dianggap lemah.”
    13. Ibnu Udai (365 H) menulis tentang Saif, “Riwayat yang ia sampaikan lemah. Beberapa riwayatnya terkenal tetapi sebagian besar dari riwayat itu lemah dan tidak digunakan.”
    14. Suyuthi (900 H) menulis, “Hadis yang disampaikan Saif lemah.”
    15. Ibnu Hajar Asqalani (852 H) menulis setelah ia menyebut sebuah hadis, “Banyak perawi hadis ini lemah dan yang paling lemah di antara mereka adalah Saif.”
    Menarik untuk kita perhatikan bahwa meskipun Dzahabi (748 H) telah mengutip dari Saif dalam buku sejarahnya, ia menyebutkan di bukunya yang lain bahwa Saif adalah perawi yang lemah. Dalam buku al-Mughni fi al-Dhu’afa, Dzahabi menulis, “Saif memiliki dua buku yang berdasarkan kesepakatan telah diabaikan oleh para ulama.”‘
    Bila Saif berani berbohong atas Nabi saww, maka apalagi terhadap yang lainnya….
    Bila kita mempercayai orang seperti ini maka akan kacaulah agama ini. Itu menurut saya, syukron ustadz.
    Saya menunggu kajian selanjutnya….
    ________________
    Thoriq:
    1. Jarh di atas berfungsi untuk hadits, bukan tarikh
    2. Tidak perlu khawatir, ajaran Islam tidak menerima hadits maudhu’.
    3. Dalam hadits pun Saif dihukumi dhaif, bukan maudhu’. Nah, bagaimana dengan beberapa huffadz yang mengatakan bahwa Saif suka berbohong, memalsukan hadits atau zindiq? Jawabannya bisa dibaca di sini http://www.bab.com/persons/92/show_particle.cfm?article_id=269
    4. Sebagaimana juga ana sudah sebutkan bahwa periwayatan yang menunjukkan bahwa Abdullah bin Saba’ ada tidak hanya melalui Saif saja.
    Koreksi: Yang benar Abdullah bin Main bukan Abdullah bin Muin. Abu Hatim bukan Abu Hatam, Ibnu Abi Hatim bukan Ibnu Abi Hatam, Ibnu Hibban bukan Ibnu Habban, Ibnu Adi bukan Ibnu Udai.
    Wassalamualaikum….
  12. yusuf Agustus 10, 2009 pukul 8:35 am
    Oh ya link-nya sudah saya baca…
    Insya Allah saya pelajari.
    Syukron ustadz..
    ___________
    Thoriq: (Hmmm…ustadz?) Sama-sama
  13. yusuf Agustus 12, 2009 pukul 8:18 am
    Assalamu’alaikum
    Saya mau menanggapi poin 1.Jarh di atas berfungsi untuk hadits, bukan tarikh.
    Lantas bagaimana ketika kita mendengar berita dari seorang yang suka berbohong.
    “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. ”
    (QS. 49 Al Hujurat : 6)
    Saya sudah pelajari link-nya, entah saya yang salah mengerti, atau bagaimana link yang antum berikan menambah kuat pendapat saya.
    Dan perang siffin bagi saya bukan perebutan kekuasaan, tapi sebagai perang antara pemberontak dan penguasa yang sah.
    syukron.
    _________________________
    Thoriq:
    waalaikum salam…
    1. Sumbernya memang pada pemahaman antum…dalam link tarjih perkataan ulama masalah jarh terhadap Saif, dirajihkan bahwa saif dhaif. Amat gamblang sekali kok. So kalau dhaif saja, haditsnya pun masih bisa dipakai dalam hal-hal tertentu dengan beberapa syarat, sebagaimana disebutkan dalam musthalah. So, tidak ada hubungannya dengan ayat yang antum tulis. Coba deh, baca dengan baik. Karena dhaif tidak berhubungan dengan perbuatan maksiyat seperti bohong atau melakukan dosa besar, atau melakukan perbuatan bid’ah, akan tetapi lebih banyak kepada masalah katelelitian dan hafalan. Oleh karena itu As Suyuthi mengrkritik Ibnu Al Jauzi, yang menyatakan bahwa salah satu hadits yang diriwayatkan Saif maudhu’.
    Ok la taruh saja Saif suka berbohong, maka harus ada tabayaun, sesuai dengan ayat. Akhirnya ditemukan bahwa periwayatan mengenai adanya Abdullah bin Saba telah diriwayatkan lewat pihak lain, yang telah ana sebutkan di atas, yang tidak bertolak belakang dengan periwayatan Saif, maka khabarnya bisa diterima. So, posisi Saif maudhu’ dalam hadits atau dhaif tidak berpengaruh apa-apa terhadap isi khabar. Tentu, kalau antum dah membaca dan memahami dengan baik 2 link yang saya berikan tidak akan muncul pertanyaan ini.
    2. Bukan memberontak, karena tidak berbaiat. Memberontak jika sudah melakukan baiat. Oleh sebabnya Imam Ali (semoga Allah meridhai beliau) menolak memerangi Muawiyah (semoga Allah meridhai beliau) dengan alasan itu. Ini dah ada koq di artikel di atas.
    Yang disebut sebagai al baghy (pemberontak) semisal kaum khawarij, yang telah membaiat Ali (semoga Allah meridhai beliau) lalu mengingkari tahkim, sebagaimana disebut Imam Al Mawardi.
    Ala kulli hal, trims atas segala responnya.
    • ahmad Agustus 14, 2009 pukul 3:21 am
      kalau batasan pemberontak adalah yg sudah berbaiat berarti talhah dan zubair adalah pemberontak karena keduanya telah berbaiat pada imam Ali lalu mengingkari baiat lalu pergi ke basrah bersama aisyah dan melancarkan pemberontakan…terjadilah perang jamal.
      aneh….demikian gigih antum melindungi dan membelah muawiyah anak hindun si pemakan hati.
      sebaiknya JUDUL diatas di ganti “MEMANDANG PERANG SIFFIN DARI MATA PEMBELAH DAN PENDUKUNG MUAWIYAH”
      • almanar Agustus 18, 2009 pukul 2:08 am
        @Ahmad
        Hmmm….thalhah dan zubair tidak memberontak…mereka melakukan ishlah….tunggu tar bahasannya di perang jamal…
        Tidak aneh sih, di sini saya membela semua sahabat…membela Muawiyah dan membela Ali semoga Allah meridhahi keduannya, dan menentang Abdullah bin Saba’. Coba renungi lagi deh…siapa yang aneh, ane atau ente…
        Tidak Perlu Diganti…itu dah pas koq…
        @ Ibnu Sabil
        Silahkan dikopi….asal tidak ada perubahan…wa iyakum
      • alim September 12, 2012 pukul 1:01 am
        @ahmad. antum juga kukuh memandang para sahabat nabi menyimpang setelah nabi wafat, he2 aneh, jadi antum dan yang lainnya sama bersikukuh bahwa kebenaran ada pada anda, hormati pendapat org lain.
      • Muhammad Andri April 27, 2013 pukul 4:50 pm
        Assalamu’alaikum
        Bismillahirrahmanirrahim
        semoga kita semua di rahmati Allah SWT dan ditunjuki jalan yang benar
        wahai sabahatku @ahmad ada satu saran yang mungkin bisa saya sampaikan,
        bahwa dari semua hal itu, mari semua kita jangan menghina sahabat-sahabat Rasullullah SAW, jangan berprasangka buruk terhadap sahabat RAsulullah SAW. Sesungguhnya tentu Rasullullah akan sedih melihat sahabat-sahabatnya dihina dan direndahkan.
        Semoga Allah merahmati kita semua
  14. Ibnu Sabil Agustus 17, 2009 pukul 2:14 pm
    artikel yang sangat bagus dan komprehensif mengenai sejarah Islam… Boleh saya copy ustadz? Jazakallahu Khairan..
  15. pembela Islam01 Agustus 29, 2009 pukul 7:51 am
    sy menilai penulis blog ini bermaksud baik dgn infonya yng bermanfaat. untuk komen ‘ahmad’ kita harus hati2 krn dia coba kaburkan inti dr tulisan ini. sengaja sy pakai nama pembela Islam01 dgn harapan antum2 yg memang org Islam sejati meniru dgn Pemb.Islam02 dst..sehingga nantinya muncul angka bilangan pemb.Islam ratusan juta bahkan milyard an yg akan buat musuh2 Islam ketakutan..amin..
  16. badar April 27, 2010 pukul 3:14 am
    semasa memimpin sebagai gubernur di Syam, muawiyah dan pengikut setianya hidup bergelimang kemewahan, tidak sesuai dengan sunah NABI MOHAMMAD SAW yang hidup sederhana. dia tahu kalau SYECH SAYYIDINA ALI R.A dibiarkan menjadi Khalifah, dia pasti akan dicopot dari jabatannya. karenanya dengan bantuan amr bin ash (manusia najis) mereka berkomplot untuk menjatuhkan Amirul Mukminin dengan segala cara(halal haram hantam)agar mereka tetap bisa berkuasa. saya curiga jangan jangan penulis diatas adalah keturunan mereka yang mati matian berusaha merubah pandangan orang Muslim yg belum membaca sejarah yang sesungguhnya . muawiyah setelah mati digantikan oleh anaknya yazid yang tukang mabuk , zina, membunuh ulama yang menentang kebiadabannya. dan terakhir memerintahkan pembunuhan keji terhadap SYECH SAYYIDINA HUSEIN R.A, cucu kesayangan NABI MOHAMMAD SAW. hati hati kaum muslimin, janganlah sampai anjing buduk dan babi haram jadah dimuliakan.
    • admlfs Januari 10, 2011 pukul 2:24 am
      @badar.. Naudzubillah, jaga itu kalimat.. Yang mengatakan/menulis itu akan kembali kepada dirinya, dan inilah sdh masuk meghina Shohabat Sosululloh Sholalloohu ‘Alayhi wa Sallam. Semoga Alloh ‘Azza wa Jalla mengampuni apa yang antum ketik di sini.
      • admlfs Januari 12, 2011 pukul 1:45 am
        @badar.. Naudzubillah, jaga itu kalimat.. Yang mengatakan/menulis itu akan kembali kepada dirinya, dan inilah salah satu contoh “oknum” yg terkena fitnah sehingga berani meghina Shohabat Rosululloh Sholalloohu ‘Alayhi wa Sallam.
        Carilah informasi tarikh/sejarah dari literatur ahlussunnah sebagai penyeimbang informasi yang antum baca/peroleh juga talaqqi dgn ‘ulama secara langsung, jangan hanya membaca buku/blog saja. Semoga Alloh ‘Azza wa Jalla mengampuni apa yang antum ketik di sini.
    • alim September 12, 2012 pukul 1:04 am
      haha2 satu lagi manusia yg gampang mengistilahkan “anjing, najis kepada sesama manusia, akhir jaman….
    • aceh Mei 10, 2013 pukul 4:51 pm
      badar@
      Apa yg membuat anda begitu berani menghina para sahabat (radhiyallahu anhum), yg jelas2 Rasulullah sangat menghormati mereka ? Khalifah Ali (karamallahu wajhah) sendiri tidak pernah menyatakan bahwa sahabat muawiyah dan para pengikutnya (radhiallahu anhum) itu sebagai pemberontak kekhalifahan atau lain sebagainya ! misalkan anda mempunyai 2 org guru, antara mereka berdua berselisih pendapat dalam suatu hukum yg tidak tertulis secara nash. Nah, apakah anda akan menghakimi mereka dgn mengatakan salah satunya benar dan yg lain salah? Kemudian anda akan menghina guru anda yg pendapatnya salah (menurut anda)?
      Saran saya, klo (anda dan kita semua) tidak mengetahui secara jelas duduk persoalannya, lebih baik duduk manis berdiam diri drpd berbicara yg belum tentu benar dgn keyakinan kuat dalam hati bahwa ‘semua sahabat Rasulullah adalah orang2 yg mulia, tidak patut seorangpun menghakimi beliau semua hanya karna perselisihan yg terjadi antara mereka, biarkan perselisihan antara mereka dalam bingkai yg telah di garisbawahi Rasulullah ”ikhtilafu ummati rahmatun > selisih pendapat dalam umatku adalah rahmat”
      Terima kasih
  17. zaki mubarak Mei 12, 2011 pukul 6:39 pm
    bismillahirrahmanirrahim.
    setelah membaca artikel yang satu ini saya memang mendapatkan gambaran tentang kuatnya keinginan untuk memelihara kehormatan para sahabat nabi yang mulia,Namun tidak bijak rasanya kalau kita sampai mengesampingkan fakta fakta sejarah yang mencatat track record mereka semenjak masa Rasulullah dan pasca rasulullah, saya percaya bahwa Rasul hidup ditengah komunitas sosial yang tak mungkin vakum dari problematika sosial, hanya saja kehadiran rasul yang mulia senentiasa menjadi pemecah masalah dan pemberi Solusi ang terbaik bagi masalah sosial yang terjadi, nah tibalah masa para sahabat sepeninggal rasul, yang mesti menyelesaikan permasalahan mereka dengan warisannya yaitu Al qur’an dan hadits rasul dimulailah era penafsiran terhadap kedua sumber hukum tersebut, sedianya mereka yang terkenal ke’alimannya dan keshalehan pribadinya menjadi penafsir utama kedua hukum tersebut, tetapi terkadang dendam kesukuan lama,kepentingan politik menafikan hal tersebut, saya tidak ingin berpanjang leber tetapi terkait posyingan diatas saya cuma coba mengingatkan tentang apa yang terjadi setelahnya dimana setelah Sayyidina Ali Wafat, sebagian Ummat membay’at Sayyidina Hasan dan terus mengalami rongrongan dari Mu’awiyah sampai akhirnya terjadi perjanjian, kepemimpinan akan diberikan kembali kepada ummat untuk memilih pemimpin seterusnya, tetapi Muawiyah mewarisi kepemimpinan Ummat kepada putranya Yazid yang kemudian dimulilah dinasti umayyah yang selama masa kekuasaan Dinasti ini Hujatan terhadap Sayyidina Ali dan keturunannya seolah menjadi rukun dalam setiap Khutbah Jum’at yang terkecuali hanya pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz.
    saya tidak ingin terjebak dalam polemik Sunnah-Syi’ah lebih dalam tetapi menurut saya tidak selayaknya kita menutupi fakta sejarah yang memang sudah seperti itulah jalannya toh dibalik itu semua kita merasakan juga hikmahnya dimana perselisihan di kalangan sahabat disatu sisi semakin memperkuat semangat berdakwah dan memobilisasi para penganut Islam yang kemudian menyebarkan keyakinannya keseluruh penjuru dunia.
    Syukron ustadz untuk postingannya kali ini dan seluruh ikhwah fillah,saya senang mengikuti diskusinya.
  18. joker Agustus 9, 2011 pukul 5:24 am
    saya jadi makin yakin bahwa islam memang tidak cocok untuk indonesia. agama ini mempunyai sejarah panjang berdarah2 karena konflik antar pemeluknya. jadi tidak benar kalau “agama Islam” itu agama kedamian.
  19. pembela Islam02 Agustus 12, 2011 pukul 8:13 am
    Bismillahirrahmaanirrahim
    Postingan ini sangat bermanfaat untuk para pencari kebenaran dan pencari hikmah,, mengenai sejarah yang telah lewat itu kita berserah kepada Allah yang telah mentaqdirkan hal tersebut,,dan tidak membawanya ke masa kini dalam bentuk
    dendam kesumat, tokh kita tidak hidup dimasa itu dan kita tidak mengetahui secara haqiqi kejadian tersebut,,, mayoritas para sahabat berdiam diri atas masalah tersebut (tidak pro kepada yang satu dan memerangi yang satu),,, lalu apa hak kita dan kealiman kita sudah melebihi para sahabat Rasulullah …?
    @joker, agama islam adalah agama kedamaian dan cocok dibumi mana saja,, dalam agama kami setiap kejadian mengandung hikmah dan pelajaran yang Tuhan telah taqdirkan untuk generasi berikutnya dan ini menjadi suatu kebenaran atas Kenabian Nabi Muhammad atas nubuat-nubuatannya…
    Wallahu a’lam bisshawab.
  20. ahmad nasihin Oktober 4, 2011 pukul 6:06 am
    menerawang perang shiffin yang sama-sama kita nilai sebagai awal dari perpecahan umat islam, ni terjadi karena salah persepsi dari pengikut saja
  21. ikhsan cahyo Desember 2, 2011 pukul 10:53 am
    saya kira kesalah fahaman hingga terjadi peristiwa di atas,,adalah kurang nya komunikasi antar dua pemimpin besar,kenapa tidak ada pertemuan,,,,untuk memusywarahkan permasalahan,kenapa perundingan harus dg wakil,,,,kurang nya ,,,,waktu ,,,serta hal2 yg perlu untuk di bahas secara panjang lebar,,,,,adalah pelajaran ber harga buat kita semua,,,mohon maaf bila saya salah dlm menganalisa peristiwa di atas,,,mohon di koreksi,,,
  22. yusuf ardiyanto Desember 5, 2011 pukul 6:55 pm
    Satu yang pasti, tak ada yang bisa memberikan alasan mengapa Muawiyah menolak berbai’at kepada Ali. Jika jawabannya adalah karena menuntut agar pengusutan terhadap pembunuhan Utsman, mengapa Muawiyah tidak mau bekerja sama dengan Ali untuk sama-sama mengusutnya?
  23. Sugiarto Desember 27, 2011 pukul 8:05 am
    Saya ini orang awam, boleh tanya apa maksud hadits ini :
    “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim No. 3436 dari Abu Hurairah).
    Apakah hadist ini sahih ?
    Apakah menurut antum2 semua Ali bin Abi Tholib bukan pemimpin yg sah saat itu ?
  24. Alanbosa Laode Januari 8, 2012 pukul 6:17 pm
    assalamu ‘alaikum wr. wb.
    menurut saya, sejarah sering dikorupsi oleh politik kekuasaan, apalagi yang terjadi dimasa lalu ketika tradisi perekaman terhadap setiap peristiwa belum seperti sekarang yang dapat diliput media masa dan dikontrol secara bersama-sama. ambisi kekuasaan terlalu kuat mengkorupsi data sejarah dan memanipulasinya sesuai versi penguasa. terutama karakter buruk model dinasti bani umayah yang dengki terhadap bani hasyim, dan terkenal dimasanya banyak menerbitkan hadis-hadis palsu. kita tidak bisa begitu saja mengabaikan fakta-fakta kejahatan bani umayah terhadap bani hasyim dimasa jahiliyah, permusuhan sengit mereka terhadap da’wah Nabi, dan kejahatan turun temurun mereka selama berkuasa terhadap keturunan Rasulullah. tidak logis memaksakan fiktif / tidak fiktifnya sosok abdullah bin saba, yang setelah mengikuti diskusi antum, menurut saya hanya sebagai kambing hitam sejarah.
    abaikan itu, cukup dengan mengamati track record seorang muawiyah saja, siapa orang tuanya, siapa kakeknya dan bagaimana kelakuan anak keturunannya, sudah memadai mencurigai kejahatannya. terlalu naif menggambarkan seakan-akan bahkan muawiyah lebih cerdas dari imam Ali, yang digambarkan mudah diprovokasi al asytar. saya kira seorang Ali kw. tahu siapa yang pantas menjadi orang kepercayaannya. Muawiyah bergelimang kemewahan berlebih semasa hidupnya yang (katanya) oleh Nabi didoakan sebagai orang yang tidak akan pernah kenyang.
    saya tanya, memang peperangan dan pengorbanan apa yang diikuti muawiyah semasa dawah Rasulullah? saya curiga, tidak mungkin mengalahkan Nabi, dia dan bapaknya masuk islam menjelang futuh mekah karena terpaksa. dia juga membesarkan anaknya si yazid sebagai pemabuk, penzinah dan pembunuh. saya heran mengapa orang seperti ini diberi peluang hingga menjadi gubernur di damaskus? padahal masih banyak sahabat ashabiqunal awwalun pejuang badar dan uhud yang hidup dimasa itu.
    saya heran orang seperti ini juga dibela habis-habisan tanpa kecurigaan yang logis? orang seperti ini antum gambarkan seakan-akan lebih teliti keislamannya dari Amirul Mu’minin yang antum tuduh lemah dibawah pengaruh yahudi.
    mengapa setelah fakta tewasnya sekitar 60-70 ribu kaum muslimin di perang siffin ini, kita masih berkutat hanya ingin menyalahkan abdullah bin saba. siapakah dia? panglima perang bukan, mentri bukan, lurah juga bukan, memang jabatan dan kekayaan apa, atau pamor sosial apa yang dimiliki abdullah bin saba ini, sehingga dengan mudahnya seakan-akan dia mampu membodohi sahabat-sahabat Nabi? setelah mengikuti diskusi kalian, saya pikir sabaiyah itu memang fiksi bikinan bani umayah untuk menutupi kejahatannya.
    Jangan sampe gara-gara fiksi sabaiyah ini, akhirnya orang-orang syi’ah menjadi pecundang pengkafiran. Melindungi pembrontak siffin yang mengakibatkan tewasnya puluhan ribu muslimin, sekaligus memfitnah orang-orang syi’ah yang jumlahnya mungkin ratusan ribu saat ini dan milyaran di sepanjang sejarah, saya kira itu akan menjadi kekeliruan yang fatal.
    wallahu ‘alam, assalamu ‘alaikum wr wb.
  25. alanbosa Maret 5, 2012 pukul 11:04 pm
    “..Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu..” (QS 57:10)
    inilah penilaian al Qur’an mengenai keutamaan Imam Ali dan Amar bin Yasir di bandingkan dengan Muawiyah dan Amru bin ash… Allah telah lebih dahulu menilainya sebelum peristiwa perang siffin terjadi.
    mengapa kita masih mendengar cerita absurd yang dipaksakan versi kerajaan bani umayah setelah Allah menjelaskannya dengan ayat suci di atas.
    • Zunairah September 20, 2013 pukul 5:07 pm
      Tampaknya kamu sengaja tidak menghabiskan ayat yang kamu petik itu. Pada lafaz wakullau wa’adallahul husna. Maksudnya”Dan tiap-tiap satu (dari dua golongan itu) Allah menjanjikan dengan balasan yang baik (Syurga)”
  26. Syiah Ali... Maret 7, 2012 pukul 2:00 pm
    Muawiyah itu adalah pemimpin dari tentara-tentaranya Anjing-anjing Neraka.Aneh kok orang seperti ini dikatakan sebagai sahabat Nabi?aneh juga kok orang seperti dia masih saja dibela?hanya orang-orang piciklah yang masih saja percaya kepada segala alasan Muawiyah untuk tetap berperang dengan Imam Ali.ra
    • abdul manan April 1, 2012 pukul 4:42 pm
      oo..saya kira anda orgnya ramah,sopan bkin blo syi’ah yg ktny cinta muslim lain & sy sruh mmpir blog ini biar trbuka wawasannya.Eee mlh memaki-maki org lain.Pepatah hanya mngatakan”LIHATLAH !ORANG YG BICARANYA KASAR MENANDAKAN OTAKNYA SEMPIT”.Trnyata yg mngaku dirinya”PALING ISLAM”sekasar itu kata2nya untuk dakwah islam???
  27. muhammad Maret 18, 2012 pukul 9:52 am
    belajar belajar,ojo debat terus …
    badar …
    dar dar,ente mendingan nguras kali dar …
    ngmng seenak nye …
    ya allah,syahadat lagi nt,istighfar nt …
  28. al-athas Maret 18, 2012 pukul 9:58 am
    waduh duh duh duh duh duh duh duh …..
    syiah syiah ….
    gw jadi presiden gw ancurin gw usir lo dari indonesia,emang pengrusak,sma kyak yg di anut nya,bn saba,n imam nya,seorang homo seks,khumaini …
    matio ndang ah …
  29. abdul manan April 1, 2012 pukul 5:14 pm
    assalamu’alaikum.Urun rembug.sy suka dg blog ini.Tp dimanapun sllu ada yg suka & tdk suka.Contoh,Sjarah yg dipaparkn tdk mnyudutkn satu pihak ini sj dicaci maki yg tdk suka.Klo sy pribadi sbg org sgt bodoh hny merenung,APA UNTUNGNYA MENCACI-MAKI PARA SAHABAT NABI?DAN APA RUGINYA KITA BERKHUSNUDZDZON DG PARA SAHABAT NABI??blhkh kita brkhusnudzdzon atas org muslim yg mninggal??mereka sdh mninggal yg dicaci & dipuji.
    astghfirullohal’adhim…semoga kita tetap dikaruniai keteguhan iman islam.wassalam
  30. Dhely Wang Mei 9, 2012 pukul 2:37 am
    di dalam kisah di atas, peran para sahabat Rasulullah sangat lah bodoh dan seperti orang yg tidak mempunyai akal, yg dengan gampang di adu domba oleh seorang tokoh yg menurut saya sangat aneh yaitu abdullah bin saba’, yg kecerdasan otaknya melebihi para sahabat Rasullulah dan menurut saya di sinilah letak kejanggalan kisah ini, jd hemat saya untuk saudara2 mukmin yg lain, sebaiknya kisah ini di kaji ulang terlebih dahulu,
    wallahu ‘alam, assalamu ‘alaikum wr wb.
  31. al-Fakirilallaah Obhay Agustus 19, 2012 pukul 6:41 pm
    Gag nyangka Sayidina ‘Ali Bin Abd. Manaf (karomallaahu wajhahu)…yg kata Rosulallaah PINTUNYA ILMU bisa dibodohin sama si Saba….. (yakin 100% gag masuk akal)
    Oh… iye ni om admin mo nanya…….
    Apa tndakan/kebijakan yg di ambil Muawiyah RA thdp para pmbunuh Sayidina Usman Ibn. Affan RA setelah beliau brhasil naik tahta jadi Khalifah????
    (((Muawiyah RA jd khalifah ni cmn bonus duang yee… soalna tujuan utamanya ::: Tuntut had u/ para pembunuh Sayidina Usman Ibn. Affan RA)))
  32. bangun Agustus 27, 2012 pukul 12:49 pm
    Assalamuallaikum Wr Wb.. Bismillahirrahmanirrahim.. Saudara2 sekalian.. Berfikirlah dengan bijak, jangan turuti syetan yang menyuruh qta mengeluarkan kata-kata kotor.. Islam mengajarkan kita untuk saling menghormati sesama tidak saling dendam dan menghujat, apalagi terhadap sesama kaum muslim… Selalu ingat bahwa kebenaran itu adalah milik Allah semata.. Justru dengan melihat sejarah yang seperti itu, kita malah harus lebih mendekatkan diri kepada Allah.. Dengan cara apa? Dengan cara berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.. #Jangan melihat kesalahan orang lain dan membicarakannya sehingga timbul kesenjangan diantara umat, sebaliknya lihat selalu diri kita yang berlumuran dosa ini.. Memohon ampun kepada Allah dan memperbanyak amal baik di dunia jauh lebih baik.. Karena kelak hanya amal itulah yang mampu menolong kita dari panasnya api neraka.. # Dan ingatlah segala perbuatan akan dimintai pertanggungan jawabnya oleh Allah di akhirat kelak.. jadi selalu berhati-hatilah dalam berbuat dan berkata-kata di dunia ini.. Wassalamuallaikum Wr Wb..
  33. Hendaru Agustus 29, 2012 pukul 9:41 am
    Assalamuallaikum Wr Wb.. Bismillahirrahmanirrahim.. Saudara2 sekalian..
    Bagaimanapun juga Muawiyah (dan keturunannya dalam khilafah Bani Ummayah) adalah salah satu pengukir sejarah Islam. Jika mengikuti perdebatan ini, pangkalnya menurut saya hanya masalah pemahaman saja. Manusia, walaupun dia adalah sahabat Nabi, tentulah tidak bisa meninggalkan sifat fitrahnya sebagai manusia, yang selalu memiliki kekurangan dan dosa (disamping tentu saja kelebihannya).
    Betapa umat Islam sebagian besar seperti ini. Selalu membersar-besarkan perbedaaan dan sangat suka berdebat akan hal-hal yang lebih banyak membawa keburukan. Akankah Islam sebagai Rahmat bagi semesta alam dan yang telah dicontohkan oleh yang mulia nabi Muhammad SAW dalam kehidupan nyata, bisa bangkit lagi..?
    Baru saja 88 tahun lamanya khilafah terakhir runtuh, apakah sebagian besar umat Islam masih merindukan ditegakkannya hukum allah..? Jika kita yakin dengan kebenaran hukum allah dan rosulnya, harusnya kita malu berkata “Islam agamaku” jika tidak berkeinginan menegakkan kembali Khilafah.
    Marilah kita terima sejarah Islam sebagai sebuah pelajaran, baik maupun buruk. Bahwasannya hukum Allah dan Rosulnya adalah multak kebenarnnya. Bahwa para pelaksana hukum setelah Rasulullah SAW ada kesalahan-kesalahan, mari kita jadikan evaluasi untuk perbaikan kedepan. Bukan justru membahas hal-hal yang menimbulkan keburukan ataupun perpecahan.
    Saat ini, alih – alih kita bercita-cita menegakkan kembali Khilafah. Bermimpi pun kita takut, ragu bahkan tidak yakin bahwa hukum Allah bisa tegak kembali. Kita sibuk dengan debat dan debat. Sadarlah hai umat Islam…bahwa kita saat ini telah tidak memiliki harga diri lagi.
    Sejelek-jeleknya Muawiyah, saya yakin jika ada yang membakar Al qur’an saat itu pasti akan diperangi. Sekarang apa yang bisa kita lakukan? Membela saudara yang tertindas pun kita tidak mampu.
    Wassalamuallaikum Wr Wb..
  34. Sanubari Tersasar November 21, 2012 pukul 4:25 am
    komentar2 dari artikel ini sudah bergulir 3th lamanya….dalam kurun waktu tersebut terlihat bagaimana org2 syi’ah yg mulanya secara diam2 membelokan subtansi dari tulisan ini (ahmad & yusuf) menjadi terang2an menunujukan ke-syi’ahannya dgn memaki para sahabat nabi (badar, syi’ah ali, DLL), nampaknya Syi’ah sudah mulai mempunyai pendukung yg banyak hingga tak ada lg taqiyah di hadapan muslimin yg mayoritas ini
  35. gulaku November 28, 2012 pukul 2:48 pm
    Seperti judul diatas pada dasarnya aqidah ahlus sunah adalah pandangan berbaik sangka dan ini tentu berbeda dengan apa yang di yakini oleh syiah laknatullah yang selalu memfitnah sahabat.
  36. faat April 5, 2013 pukul 8:28 pm
    nabi muhammad tidak akan pernah salah memilih para sahabat kepercayaan nya. Kalo ada seseorang yg mencaci para sahabat lantas siapa yg lebih tau nabi kami muhammad ato para pendengki2 itu onde mak bapiki la nak
  37. beneran kok Mei 10, 2013 pukul 5:48 pm
    komen kok repot-repot amat, tanya aja langsung ke nabi saw, apa menurut beliau peperangan yang terjadi diantara sahabatnya setelah nabi saw tiada ? perhatikan apa sabda beliau saw :
    “Jangan kamu kembali kafir sesudah aku meninggal, yaitu sebagian kamu memukul leher sebagiannya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
    ___________________________
    jadi ijtihad muawiyah memerangi khalifah yang sah hingga menewaskan 70.000 lebih hamba2 Allah di perang siffin itu dapet pahala tidak ? Padahal menurut nabi saw. peperangan itu merupakan kemunduran kembali kepada kekufuran… kira2 kemana mereka semua didorong oleh ide muawiyah itu ? ke jahanam … !!
    “Apabila ada dua orang Islam, salah satunya membawa senjata untuk membunuh saudaranya, maka kedua-duanya berada di tepi jahanam; dan apabila salah satunya membunuh kawannya, maka kedua-duanya masuk jahanam. Kemudian Rasulullah s.a.w. ditanya: Ya Rasulullahl Ini yang membunuh memang mungkin, tetapi mengapa yang terbunuh sampai begitu? Jawab Nabi: Karena dia bermaksud akan membunuh saudaranya juga.” (Riwayat Bukhari)
    ___________________________
    memang siapakah Imam Ali kw yang diperangi muawiyah itu ?
    “Nabi saw. memandang Ali lalu bersabda:
    يا عليُّ أنتَ سَيِّدٌ فِي الدنيا و سَيِّدٌ فِي الآخرة. حبيِبُكَ حبيِبِي و حَبِيْبِي حَبِيْبُ الله. و عَدُوُّك عَدُوِّي عَدُوُّ الله. ويلٌ لمَن أبْغضك بعْدِي.
    “Hai Ali, engkau adalah Sayyidun/penghulu di dunia dan Sayyidun di akhirat. Kekasihmu adalah kekasihku dan kekasihku adalah kekasih Allah. Musuhmu adaalah musuhku dan musuhku adalah musuh Allah. Dan neraka Wail (celaka) atas orang yang membencimu sepeninggalku.”
    _____________________________
    lalu, apa kira2 hukuman bagi mereka yang memerangi Imam Ali kekasih Allah dan Rasulnya itu ?
    “Barangsiapa membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya neraka jahanam dengan kekal abadi di dalamnya, dan Allah akan murka dan melaknatnya serta mempersiapkan untuknya siksaan yang besar.” (an-Nisa’: 93)
  38. Mr_R Juli 17, 2013 pukul 4:38 am
    Kenapa yah komen orang2 Syiah selalu menunjukan kebencian :(
  39. adirose Agustus 14, 2013 pukul 11:27 am
    Di Jewish Encyclopedia aja ada dibahas tentang Abdallah Ibn Saba
    http://www.jewishencyclopedia.com/articles/189-abdallah-ibn-saba
    Untuk membedakan umat yg benar & salah kita bisa lihat dari ibadahnya sehari-hari. Sungguh Syiah sudah melewati batas dari yg diajarkan Rasulullah. Anda bisa lihat dari kehidupan Imam atau Ulama anda sendiri. Contoh hidupnya Khomeini yg matinya dipermalukan, mengeluarkan fatwa menyerang Kabah. Ingin menggali kuburan Abu Bakar & Umar… Banyak ulama Syiah yg ber Taqiyah (menipu). Di Irak menghabisi Ahlusunnah. Beginikah Akhlak Syiah yg anda mau ikuti??
    7 dari 12 imam yg umat Syiah hormati memberi nama anaknya Abu Bakar, Umar, Usman & Aisyah. Coba Pakai Logika Anda, jika Imam anda benci dengan nama-nama itu sampai mati mereka tidak akan rela menamakan anak-anaknya dengan nama tersebut yg tiap hari dilaknat oleh Syiah
    Anda diciptakan Allah sbg manusia berakal & maka pakailah akal & logika Anda. Semoga anda mendapat Jalan yang Lurus dari Allah SWT
  40. banta Agustus 20, 2013 pukul 10:00 am
    عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
    Dari Abu Sa’id Al Khudri RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Janganlah Kalian mencela para SahabatKu. Seandainya salah seorang dari Kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud tidak akan menyamai satu mud infaq salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya”.
    Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih Bukhari 5/8 no 3673, Muslim dalam Shahih Muslim 4/1067 no 221 (2540), Sunan Tirmidzi 5/695 no 3861, Sunan Abu Dawud 2/626 no 4658, Sunan Ibnu Majah 1/57 no 161 dan Musnad Ahmad 3/11 no 11094.
  41. arif Agustus 29, 2013 pukul 4:19 pm
    oh,,,mengapa mengkambing hitamkan orang laing,hanya karna ingin membersihkan diri.
    Sunni mengakui dan menghormati kekhalifaan empat sahabat Rasulullah sallallahualaihiwasallam,,,,,syiah radifha hanya mengakui kekhalifaan Ali bin Abi talib ra,,,,sedangkan kalian wahai wahabi hanya mengakui kekhalifaan tiga sahabat Rasulullah saw,,dan mengingkari kekhalifaan Ali ra,bahkan memberontak padanya,ternyata muawiya dahulu tidak ada bedanya dg muawiya sekarang yg demi kekuasaan rela bersukutu dan menjilat terhadap negara kafir,,,,,,,,,,Kalian tidak dpt membersihkan diri terhadap sejarah hitam kalian yang telah tergolres di dlm lembaran2 sejarah.
  42. adirose Agustus 29, 2013 pukul 11:14 pm
    Ini lagi Wahabi dibawa-bawa….paham Wahabi baru lahir 12 abad setelah perang Shiffin….
    Sebaiknya selidiki dulu Wahabi itu apa n tujuannya apa…jgn asal gablek ikut2an sekelompok orang Cela A ente ikut2an Cela A tanpa tau asal muasal masalahnya.
    Mending yg udah kecantol n baru ikut-ikutan pahaman Syiah atau udah telanjur baca ini buku bagus banget.
    Ini buku untuk mengenal lebih mendalam tentang Syiah, silahkan Anda bisa baca buku yang ditulis oleh Dr.Sayyid Musa al-Musawi.
    Beliau di Qom pernah jadi Tokoh Besar Syiah, beliau lulusan Sekolah Tinggi Ahlul-Bait di Qom, Irak yang akhirnya bertaubat dan meninggalkan kesesatan Syiah.
    Bukunya berjudul “Kenapa Aku Meninggalkan Syiah”. e-book size 3,8mb only, Link PDF: http://bit.ly/15sqddT
    Semoga kita semua diberi petunjuk jalan yang lurus yang di ridhoi oleh Allah SWT…amien
  43. ZooM September 4, 2013 pukul 4:40 pm
    Saya kurang banyak mendapat referensi dari karangan para ahli sjarah islam yang banyak dikutip dalam diskusi ini (mudah2an diskusi untuk mendapat kebenaran dari Allah …).. akan tetapi mungkin dengan menarik “benang merah” (bukan lagi mencari benang merah ya ) dengan segala kekurangan yg ada tersebut dan berdasarkan fakta (hadis) Rasul SAW pernah bersabda bahwa “Daulah Islamiyah (Dinnul Islam) itu hanya berumur 30 tahun sesudah ku” artinya 30 tahun lebih kurang itu adalah masa seetelah wafatnya Rasul SAW sampai wafatnya Ali Bin Abi Thalib ra…. Untuk itu marilah kita berfikir objektif berdasarkan Al-Quran dan Hadits bahwa para sahabat yang dimuliakan kemungkinan juga sudah “sudah diracuni” oleh Yahudi …. tanpa menyebutkan siapa oknum yg diperkarakan dalam diskusi ini…tanpa bermaksud mendiskreditkan mereka yang telah dikategorikan “para sahabat” itu coba kita bentangkan benang merah itu mulai dari …. Abu Syofian > Hindun > (Futuha MaKKAH) > Mu’awiyah >Yazid dst…… didalamnya ada Abdullah bin Saba:…. dan coba kita dalami tentang khabar yang yang disampaikan oleh Rasul SAW tentang masa depan sahabat Amar bin Yasir itu …. nah selanjutnya silahkanlah antum semua membuat kesimpulan … dan kenapa kita tidak semua mendapat secara detil yang pasti tentang perseteruan antara kubu kedua sahabat hingga timbulnya Perang Shiffin yg menjadi sejarah kelam perkembangan Islam Pasca Rasul SAW ini….. tdak seperti Perang Badar, Khandak dan perang2 dizaman rasul yang ditulis secara jelas …. adakah ini juga permainan Yahudi lagi untuk cuci tangan ?
    bagaimana kira2 pemahaman dari ajaran Islam yang kita terima dari nenek moyang kita ini sekarang ini baik berupa hadist dan budaya Islam yang sudah menjadi dogma kita “yakini” apakah benar2 sudah steril dari tangan kotor Yahudi ?
    Kebenaran pasti selalu datangnya dari Allah…. tulisan saya ini mungkin tidak lengkap …jadi maaf kalau ada yg tertinggal…
    wassalam…
  44. adirose September 21, 2013 pukul 2:39 am
    pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya bukanlah Yazid tetapi adalah golongan Syiah Kufah.
    Dakwaan ini berdasarkan beberapa fakta dan bukti-bukti daripada sumber-sumber rujukan sejarah yang muktabar. Kita akan membahagi-bahagikan bukti-bukti yang akan dikemukakan nanti kepada dua bahagian :
    (1) Bukti-bukti utama
    (2) Bukti-bukti sokongan
    I. Bukti-bukti utama
    Dengan adanya bukti-bukti utama ini, tiada mahkamah yang dibangunkan untuk mencari kebenaran dan mendapatkan keadilan akan memutuskan Yazid sebagai pesalah dan sebagai penjenayah yang bertanggungjawab di dalam pembunuhan Sayyidina Husain. Bahkan Yazid akan dilepaskan dengan penuh penghormatan dan akan terbongkarlah rahsia yang selama ini menutupi pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain yang sebenarnya di Karbala.
    Bukti pertamanya ialah pengakuan Syiah Kufah sendiri bahawa merekalah yang membunuh Sayyidina Husain. Golongan Syiah Kufah yang mengaku telah membunuh Sayyidina Husain itu kemudian muncul sebagai golongan “At Tawwaabun” yang kononnya menyesali tindakan mereka membunuh Sayyidina Husain. Sebagai cara bertaubat, mereka telah berbunuh-bunuhan sesama mereka seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi sebagai pernyataan taubatnya kepada Allah kerana kesalahan mereka menyembah anak lembu sepeninggalan Nabi Musa ke Thur Sina.
    Air mata darah yang dicurahkan oleh golongan “At Tawaabun” itu masih kelihatan dengan jelas pada lembaran sejarah dan tetap tidak hilang walaupun cuba dihapuskan oleh mereka dengan beribu-ribu cara.
    Pengakuan Syiah pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain ini diabadikan oleh ulama-ulama Syiah yang merupakan tunggak dalam agama mereka seperti Baaqir Majlisi, Nurullah Syustri dan lain-lain di dalam buku mereka masing-masing. Baaqir Majlisi menulis :
    “Sekumpulan orang-orang Kufah terkejut oleh satu suara ghaib. Maka berkatalah mereka, ” Demi Tuhan! Apa yang telah kita lakukan ini tak pernah dilakukan oleh orang lain. Kita telah membunuh “Ketua Pemuda Ahli Syurga” kerana Ibn Ziad anak haram itu. Di sini mereka mengadakan janji setia di antara sesama mereka untuk memberontak terhadap Ibn Ziad tetapi tidak berguna apa-apa”. (Jilaau Al’Uyun, m.s. 430)
    Qadhi Nurullah Syustri pula menulis di dalam bukunya Majalisu Al’Mu’minin bahawa selepas sekian lama (lebih kurang 4 atau 5 tahun) Sayyidina Husain terbunuh, ketua orang-orang Syiah mengumpulkan orang-orang Syiah dan berkata, ” Kita telah memanggil Sayyidina Husain dengan memberikan janji akan taat setia kepadanya, kemudian kita berlaku curang dengan membunuhnya. Kesalahan kita sebesar ini tidak akan diampunkan kecuali kita berbunuh-bunuhan sesama kita “. Dengan itu berkumpullah sekian ramai orang-orang Syiah di tepi Sungai Furat sambil mereka membaca ayat yang bermaksud, ” Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang telah menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu “. (Al Baqarah :54). Kemudian mereka berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Inilah golongan yang dikenali dalam sejarah Islam dengan gelaran “At Tawaabun”.
    Sejarah tidak tidak akan melupai peranan Shits bin Rab’ie di dalam pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala. Tahukah anda siapa itu Syits bin Rab’ie? Dia adalah seorang Syiah pekat, pernah menjadi duta kepada Sayyidina Ali di dalam peperangan Siffin, sentiasa bersama Sayyidina Husain. Dialah juga yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk mencetuskan pemberontakan terhadap kerajaan pimpinan Yazid, tetapi apakah yang telah dilakukan olehnya?
    “Sejarah memaparkan bahawa dialah yang mengepalai 4,000 orang bala tentera untuk menentang Sayyidina Husain dan dialah orang yang mula-mula turun dari kudanya untuk memenggal kepala Sayyidina Husain”. (Jilaau Al’Uyun dan Khulashatu Al Mashaaib, m.s. 37)
    Adakah masih ada orang yang ragu-ragu tentang Syiahnya Syits bin Rab’ie dan tidakkah orang yang menceritakan perkara ini ialah Mulla Baaqir Majlisi, seorang tokoh Syiah terkenal ? Secara tidak langsung ia bermakna pengakuan daripada pihak Syiah sendiri tentang pembunuhan itu.
    Lihatlah pula kepada Qais bin Asy’ats ipar Sayyidina Husain yang tidak diragui tentang Syiahnya tetapi apa kata sejarah tentangnya? Bukankah sejarah mendedahkan kepada kita bahawa itulah orang yang merampas selimut Sayyidina Husain dari tubuhnya selepas selesai pertempuran ? (Khulashatu Al Mashaaib, m.s. 192)
    Selain daripada pengakuan mereka sendiri yang membuktikan merekalah sebenarnya pembunuh- pembunuh Sayyidina Husain, kenyataan saksi-saksi yang turut serta di dalam rombongan Sayyidina Husain sebagai saksi-saksi hidup di Karbala yang terus hidup selepas peristiwa ini juga membenarkan dakwaan ini termasuk kenyataan Sayyidina Husain sendiri yang sempat dirakamkan oleh sejarah sebelum beliau terbunuh. Sayyidina Husain berkata dengan menujukan kata-katanya kepada orang- orang Syiah Kufah yang siap sedia bertempur dengan beliau :
    ” Wahai orang-orang Kufah! Semoga kamu dilaknat sebagaimana dilaknat maksud- maksud jahatmu. Wahai orang-orang yang curang, zalim dan pengkhianat! Kamu telah menjemput kami untuk membela kamu di waktu kesempitan tetapi bila kami datang untuk memimpin dan membela kamu dengan menaruh kepercayaan kepadamu maka sekarang kamu hunuskan pedang dendammu kepada kami dan kamu membantu musuh-mush di dalam menentang kami “. (Jilaau Al’ Uyun, ms 391).
    Beliau juga berkata kepada Syiah:
    “Binasalah kamu! Bagaimana boleh kamu menghunuskan perang dendammu dari sarung-sarungnya tanpa sebarang permusuhan dan perselisihan yang ada di antara kamu dengan kami? Kenapakah kamu siap sedia untuk membunuh Ahlul Bait tanpa sebarang sebab? ” (Ibid).
    Akhirnya beliau mendoakan keburukan untuk golongan Syiah yang sedang berhadapan untuk bertempur dengan beliau:
    “Ya Allah! Tahanlah keberkatan bumi dari mereka dan selerakkanlah mereka. Jadikanlah hati-hati pemerintah terus membenci mereka kerana mereka menjemput kami dengan maksud membela kami tetapi sekarang mereka menghunuskan pedang dendam terhadap kami “. (Ibid)
    Beliau juga dirakamkan telah mendoakan keburukan untuk mereka dengan kata-katanya: “Binasalah kamu! Tuhan akan membalas bagi pihakku di dunia dan di akhirat……..Kamu akan menghukum diri kamu sendiri dengan memukul pedang-pedang di atas tubuhmu dan mukamu akan menumpahkan darah kamu sendiri. Kamu tidak akan mendapat keberuntungan di dunia dan kamu tidak akan sampai kepada hajatmu. Apabila mati nanti sudah tersedia azab Tuhan untukmu di akhirat. Kamu akan menerima azab yang akan diterima oleh orang-orang kafir yang paling dahsyat kekufurannya”. (Mulla Baqir Majlisi-Jilaau Al’Uyun, m.s. 409).
    Daripada kata-kata Sayyidina Husain yang dipaparkan oleh sejarawan Syiah sendiri, Mulla Baqir Majlisi, dapat disimpulkan bahawa:
    (i) Diayah yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam menerusi penulisan sejarah bahawa pembunuhan Ahlul Bait di Karbala merupakan balas dendam dari Bani Umayyah terhadap Ahlul Bait yang telah membunuh pemimpin-pemimpin Bani Umayyah yang kafir di dalam peperangan Badar, Uhud, Siffin dan lain-lain tidak lebih daripada propaganda kosong semata-mata kerana pembunuh-pembunuh Sayyidina Husain dan Ahlul Bait di Karbala bukannya datang dari Syam, bukan juga dari kalangan Bani Umayyah tetapi dari kalangan Syiah Kufah.
    (ii) Keadaan Syiah yang sentiasa diburu dan dihukum oleh kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang sejarah membuktikan termakbulnya doa Sayyidina Husain di medan Karbala ke atas Syiah.
    (iii) Upacara menyeksa tubuh badan dengan memukul tubuhnya dengan rantai, pisau dan pedang pada 10 Muharram dalam bentuk perkabungan yang dilakukan oleh golongan Syiah itu sehingga mengalir darah juga merupakan bukti diterimanya doa Sayyidina Husain dan upacara ini dengan jelas dapat dilihat hingga sekarang di dalam masyarakat Syiah.
    Adapun di kalangan Ahlus Sunnah tidak pernah wujud upacara yang seperti ini dan dengan itu jelas menunjukkan bahawa merekalah golongan yang bertanggungjawab membunuh Sayyidina Husain.
    (iv) Betapa kejam dan kerasnya hati golongan ini dapat dilihat pada tindakan mereka menyembelih dan membunuh Sayyidina Husain bersama dengan sekian ramai ahli keluarganya walaupun setelah mendengar ucapan dan doa keburukan untuk mereka yang dipinta oleh beliau. Itulah dia golongan yang buta mata hatinya dan telah hilang kewarasan pemikirannya kerana sebaik saja mereka selesai membunuh, mereka melepaskan kuda Zuljanah yang ditunggangi Sayyidina Husain sambil memukul-mukul tubuh untuk menyatakan penyesalan. Dan inilah dia upacara perkabungan pertama terhadap kematian Sayyidina Husain yang pernah dilakukan di atas muka bumi ini sejauh pengetahuan sejarah. Dan hari ini tidakkah anak cucu golongan ini meneruskan upacara perkabungan ini setiap kali tibanya 10 Muharram?
    Ali Zainal Abidin anak Sayyidina Husain yang turut serta di dalam rombongan ke Kufah dan terus hidup selepas berlakunya peristiwa itu pula berkata kepada orang-orang Kufah lelaki dan perempuan yang merentap dengan mengoyak-ngoyakkan baju mereka sambil menangis, dalam keadaan sakit beliau dengan suara yang lemah berkata kepada mereka, ” Mereka ini menangisi kami. Tidakkah tidak ada orang lain yang membunuh kami selain mereka ?” (At Thabarsi-Al Ihtijaj, m.s. 156).
    Pada halaman berikutnya Thabarsi menukilkan kata-kata Imam Ali Zainal Abidin kepada orang-orang Kufah. Kata beliau, ” Wahai manusia (orang-orang Kufah)! Dengan Nama Allah aku bersumpah untuk bertanya kamu, ceritakanlah! Tidakkah kamu sedar bahawasa kamu mengutuskan surat kepada ayahku (menjemputnya datang), kemudian kamu menipunya? Bukankah kamu telah memberikan perjanjian taat setia kamu kepadanya? Kemudian kamu membunuhnya, membiarkannya dihina. Celakalah kamu kerana amalan buruk yang telah kamu dahulukan untuk dirimu”.
    Sayyidatina Zainab, saudara perempuan Sayyidina Husain yang terus hidup selepas peristiwa itu juga mendoakan keburukan untuk golongan Syiah Kufah. Katanya, ” Wahai orang-orang Kufah yang khianat, penipu! Kenapa kamu menangisi kami sedangkan air mata kami belum lagi kering kerana kezalimanmu itu. Keluhan kami belum lagi terputus oleh kekejamanmu. Keadaan kamu tidak ubah seperti perempuan yang memintal benang kemudian dirombaknya kembali. Kamu juga telah merombak ikatan iman dan telah berbalik kepada kekufuran…Adakah kamu meratapi kami padahal kamu sendirilah yang membunuh kami. Sekarang kamu pula menangisi kami. Demi Allah! Kamu akan banyak menangis dan sedikit ketawa. Kamu telah membeli keaiban dan kehinaan untuk kamu. Tompokan kehinaan ini sama sekali tidak akan hilang walau dibasuh dengan air apapun”. (Jilaau Al ‘ Uyun, ms 424).
    Doa anak Sayyidatina Fatimah ini tetap menjadi kenyataan dan berlaku di kalangan Syiah hingga ke hari ini.
    Ummu Kulthum anak Sayyidatina Fatimah pula berkata sambil menangis di atas segedupnya, ” Wahai orang-oang Kufah! Buruklah hendaknya keadaanmu. Buruklah hendaklah rupamu. Kenapa kamu menjemput saudaraku Husain kemudian tidak membantunya bahkan membunuhnya, merampas harta bendanya dan menawan orang-orang perempuan dari ahli rumahnya. Laknat Allah ke atas kamu dan semoga kutukan Allah mengenai mukamu”.
    Beliau juga berkata, ” Wahai orang-orang Kufah! Orang-orang lelaki dari kalangan kamu membunuh kami sementara orang-orang perempuan pula menangisi kami. Tuhan akan memutuskan di antara kami dan kamu di hari kiamat nanti”. (Ibid, ms 426-428)
    Sementara Fatimah anak perempuan Sayyidina Husain pula berkata, ” Kamu telah membunuh kami dan merampas harta benda kami kemudian telah membunuh datukku Ali (Sayyidina Ali). Sentiasa darah-darah kami menitis dari hujung-hujung pedangmu……Tak lama lagi kamu akan menerima balasannya. Binasalah kamu! Tunggulah nanti azab dan kutukan Allah akan berterusan menghujani kamu. Siksaan dari langit akan memusnahkan kamu akibat perbuatan terkutukmu. Kamu akan memukul tubuhmu dengan pedang-pedang di dunia ini dan di akhirat nanti kamu akan terkepung dengan azab yang pedih “.
    Apa yang dikatakan oleh Sayyidatina Fatimah bt. Husain ini dapat dilihat dengan mata kepala kita sendiri di mana-mana Syiah berada.
    Dua bukti utama yang telah kita kemukakan tadi, sebenarnya sudah mencukupi untuk kita memutuskan siapakah sebenarnya pembunuh Sayyidina Husain di Karbala. Daripada keterangan dalam kedua-dua bukti yang lalu dapat kita simpulkan beberapa perkara :
    1. Orang-orang yang menjemput Sayyidina Husain ke Kufah untuk memberontak adalah Syiah.
    2. Orang-orang yang tampil untuk bertempur dengan rombongan Sayyidina Husain di Karbala itu juga Syiah.
    3. Sayyidina Husain dan orang-orang yang ikut serta di dalam rombongannya terdiri daripada saudara- saudara perempuannya dan anak-anaknya menyaksikan bahwa Syiahlah yang telah membunuh mereka.
    4. Golongan Syiah Kufah sendiri mengakui merekalah yang membunuh di samping menyatakan penyesalan mereka dengan meratap dan berkabung kerana kematian orang-orang yang dibunuh oleh mereka.
    Mahkamah di dunia ini menerima keempat-empat perkara yang tersebut tadi sebagai bukti yang kukuh dan jelas menunjukkan siapakah pembunuh sebenar di dalam sesuatu kes pembunuhan, iaitu bila pembunuh dan yang terbunuh berada di suatu tempat, ada orang menyaksikan ketika mana pembunuhan itu dilakukan. Orang yang terbunuh sendiri menyaksikan tentang pembunuhnya dan kemuncaknya ialah pengakuan pembunuh itu sendiri. Jika keempat-empat perkara ini sudah terbukti dengan jelas dan diterima oleh semua mahkamah sebagai kes pembunuhan yang cukup bukti-buktinya, maka bagaimana mungkin diragui lagi tentang pembunuh- pembunuh Sayyidina Husain itu ?
    II. Bukti-bukti Sokongan
    Walaubagaimanapun kita akan mengemukakan lagi beberapa bukti sokongan supaya lebih menyakinkan kita tentang golongan Syiah itulah sebenarnya pembunuh Sayyidina Husain. Di antaranya ialah :
    1. Tidak sukar untuk kita terima mereka sebagai pembunuh Sayyidina Husain apabila kita melihat kepada sikap mereka yang biadap terhadap Sayyidina Ali dan Sayyidina Hasan sebelum itu. Begitu juga sikap mereka yang biadap terhadap orang-orang yang dianggap oleh mereka sebagai Imam selepas Sayyidina Husain. Bahkan terdapat banyak pula bukti yang menunjukkan merekalah yang bertanggungjawab terhadap pembunuhan beberapa orang Imam walaupun mereka menuduh orang lain sebagai pembunuh Imam- imam itu dengan menyebar luaskan propaganda- propaganda mereka terhadap tertuduh itu.
    Di antara kebiadapan mereka terhadap Sayyidina Ali ialah mereka menuduh Sayyidina Ali berdusta dan mereka pernah mengancam untuk membunuh Sayyidina Ali. Bahkan Ibnu Muljim yang kemudiannya membunuh Sayyidina Ali itu juga mendapat latihan serta didikan untuk menentang Sayyidina Utsman di Mesir dan berpura-pura mengasihi Sayyidina Ali. Dia pernah berkhidmat sebagai pengawal Sayyidina Ali selama beberapa tahun di Madinah dan Kufah.
    Di dalam Jilaau Al’ Uyun disebutkan bahawa Abdul Rahman Ibn Muljim adalah salah seorang daripada kumpulan yang terhormat yang telah dikirimkan oleh Muhammad bin Abu Bakr dari Mesir. Dia juga telah berbai’ah dengan memegang tangan Sayyidina Ali dan dia juga berkata kepada Sayyidina Hasan, ” Bahawa aku telah berjanji dengan Tuhan untuk membunuh bapamu dan sekarang aku menunaikannya. Sekarang wahai Hasan jika engkau mahu membunuhku, bunuhlah. Tetapi kalau engkau maafkan aku, aku akan pergi membunuh Muawiyah pula supaya engkau terselamat daripada kejahatannya”. (Jilaau Al U’yun, ms 218)
    Tetapi setelah golongan Syiah pada ketika itu merasakan perancangan mereka semua akan gagal apabila perjanjian damai di antara pihak Sayyidina Ali dan Muawiyah dipersetujui, maka golongan Syiah yang merupakan musuh-mush Islam yang menyamar atas nama Islam itu memikirkan diri mereka tidak selamat apabila perdamaian antara Sayyidina Ali dan Muawiyah berlaku. Maka segolongan dari mereka telah mengasingkan diri daripada mengikuti Sayyidina Ali dan mereka menjadi golongan Khawarij sementara segolongan lagi tetap berada bersama Sayyidina Ali. Perpecahan yang berlaku ini sebanarnya satu taktik mereka untuk mempergunakan Sayyidina Ali demi kepentingan mereka yang jahat itu dan untuk berselindung di sebalik beliau daripada hukuman kerana pembunuhan Khalifah Utsman.
    Sayyidina Hasan pula pernah ditikam oleh golongan Syiah pehanya sehingga tembus kemudian mereka menunjukkan pula kebiadapannya terhadap Sayyidina Hasan dengan merampas harta bendanya dan menarik kain sejadah yang diduduki oleh Sayyidina Hasan. Ini semua tidak lain melainkan kerana Sayyidina Hasan telah bersedia untuk berdamai dengan pihak Sayyidina Muawiyah. Bahkan bukan sekadar itu saja mereka telah menuduh Sayyidina Hasan sebagai orang yang menghinakan orang-orang Islam dan sebagai orang yang menghitamkan muka orang-orang Mukmin.
    Kebiadaban Syiah dan kebusukan hatinya ditujukan juga kepada Imam Jaafar As Shadiq bila seorang Syiah yang sangat setia kepada Imam Jaafar As Shadiq iaitu Rabi’ menangkap Imam Jaafar As Shadiq dan membawanya kehadapan Khalifah Al-Mansur supaya dibunuh. Rabi’ telah memerintahkan anaknya yang paling keras hati supaya menyeret Imam Jaafar As Shadiq dengan kudanya. Ini tersebut di dalam kitab Jilaau Al ‘ Uyun karangan Mulla Baqir Majlisi.
    Di dalam kitab yang sama pengarangnya juga menyebutkan kisah pembunuhan Ali Ar Ridha iaitu Imam yang ke lapan di sisi Syiah, bahawa beliau telah dibunuh oleh Sabih Dailamy, seorang Syiah kental dengan perintah Al Makmun. Bagaimanapun diceritakan bahawa selepas dibunuh itu Imam Ar Ridha dengan mukjizatnya terus hidup kembali dan tidak ada langsung kesan-kesan pedang di tubuhnya.
    Bagaimanapun Syiah telah menyempurnakan tugasnya untuk membunuh Imam Ar Ridha. Oleh itu tidaklah hairan golongan yang sampai begini biadapnya terhadap Imam-imam boleh membunuh Sayyidina Husain tanpa belas kasihan di medan Karbala.
    Boleh jadi kita akan mengatakan bagaimana mungkin pengikut-pengikut setia Imam-imam ini yang dikenali dengan ‘syiah’ boleh bertindak kejam pula terhadap Imam-imamnya? Tidakkah mereka sanggup mempertahankan nyawa demi mempertahankan Iman-imam mereka? Secara ringkas bolehlah kita katakan bahawa ‘perasaan kehairanan’ yang seperti ini mungkin timbul dari dalam fikiran Syiah, yang tidak mengetahui latar belakang kewujudan Syiah itu sendiri. Mereka hanya menerima secara membabi buta daripada orang-orang terdahulu. Adapun orang-orang yang mengadakan sesuatu fahaman dengan tujuan-tujuan yang tertentu dan masih hidup ketika mana ajaran dan fahaman itu mula dikembangkan tentu sekali mereka sedar maksud dan tujuan mereka mengadakan ajaran tersebut. Pada lahirnya mereka menunjukkan taat setia dan kasih sayang kepada Imam-imam itu, tetapi pada hakikatnya adalah sebaliknya.
    2. Di antara bukti yang menunjukkan tidak ada peranan Yazid dalam pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala, bahkan golongan Syiahlah yang bertanggungjawab membunuh beliau bersama dengan ramai orang-orang yang ikut serta di dalam rombongan itu, ialah adanya hubungan persemendaan di antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah, selepas berlakunya peperangan Siffin dan juga selepas berlakunya peristiwa pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala.
    Tidak mungkin orang-orang yang bermaruah seperti kalangan Ahlul Bait akan berkahwin dengan orang-orang yang diketahui oleh mereka sebagai pembunuh-pembunuh atau orang-orang yang bertanggungjawab di dalam membunuh ayah, datuk atau bapa saudara mereka Sayyidina Husain. Hubungan ini selain daripada menunjukkan pemerintah-pemerintah dari kalangan Bani Muawiyah dan Yazid sebagai orang yang tidak bersalah di dalam pembunuhan ini, ia juga menunjukkan mereka adalah golongan yang banyak berbudi kepada Ahlul Bait dan sentiasa menjalinkan ikatan kasih sayang di antara mereka dan Ahlul Bait.
    Di antara contoh hubungan persemendaan ini ialah:
    (1) Anak perempuan Sayyidina Ali sendiri bernama Ramlah telah berkahwin dengan anak Marwan bin Al-Hakam yang bernama Muawiyah iaitu saudara kepada Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan. (Ibn Hazm-Jamharatu Al Ansab, m.s. 80)
    (2) Seorang lagi anak perempuan Sayyidina Ali berkahwin dengan Amirul Mukminin Abdul Malik sendiri iaitu khalifah yang ke empat daripada kerajaan Bani Umaiyah. (Al Bidayah Wa An Nihayah, jilid 9 m.s. 69)
    (3) Seorang lagi anak perempuan Sayyidina Ali iaitu Khadijah berkahwin dengan anak gabenor ‘Amir bin Kuraiz dari Bani Umaiyah bernama Abdul Rahman. (Jamharatu An Ansab, m.s. 68). ‘Amir bin Kuraiz adalah gabenor bagi pihak Muawiyah di Basrah dan dalam peperangan Jamal dia berada di pihak lawan Sayyidina Ali.
    Cucu Sayyidina Hasan pula bukan seorang dua yang telah berkahwin dengan pemimpin-pemimpin kerajaan Bani Umaiyah bahkan sejarah telah mencatatkan 6 orang daripada cucu beliau telah berkahwin dengan mereka iaitu:-
    1. Nafisah bt Zaid bin Hasan berkahwin dengan Amirul Mukminin Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan.
    2. Zainab bt Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Ali juga telah berkahwin dengan Khalifah Al Walid bin Abdul Malik. Zainab ini adalah di antara orang yang turut serta di dalam rombongan Sayyidina Husain ke Kufah dan dia adalah salah seorang yang menyaksikan peristiwa pembunuhan Sayyidina Husain di Karbala dengan mata kepalanya sendiri.
    3. Ummu Qasim bt Hasan Al Mutsanna bin Hasan bin Ali berkahwin dengan cucu Sayyidina Uthman iaitu Marwan bin Aban. Ummu Qasim ini selepas kematian suaminya Marwan berkahwin pula dengan Ali Zainal Abidin bin Al Husain.
    4. Cucu perempuan Sayyidina Hasan yang keempat telah berkahwin dengan anak kepada Marwan bin Al-Hakam iaitu Muawiyah.
    5. Cucu Sayyidina Hasan yang kelima bernama Hammaadah bt Hasan Al Mutsanna berkahwin dengan anak saudara Amirul Mukminin Marwan bin Al Hakam iaitu Ismail bin Abdul Malik.
    6. Cucu Sayyidina Hasan yang keenam bernama Khadijah bt Husain bin Hasan bin Ali juga pernah berkahwin dengan Ismail bin Abdul Malik yang tersebut tadi sebelum sepupunya Hammaadah.
    Perlu diingat bahawa semua mereka yang tersebut ada meninggalkan zuriat.
    Dari kalangan anak cucu Sayyidina Husain pula ramai yang telah menjalinkan perkahwinan dengan individu-individu dari keluarga Bani Umaiyah, antaranya ialah:-
    (1) Anak perempuan Sayyidina Husain yang terkenal bernama Sakinah. Selepas beberapa lama terbunuh suaminya Mus’ab bin Zubair, beliau telah berkahwin dengan cucu Amirul Mukminin Marwan iaitu Al Asbagh bin Abdul Aziz bin Marwan. Asbagh ini adalah saudara kepada Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz sedangkan isteri Asbagh yang kedua ialah anak kepada Amirul Mukminin Yazid iaitu Ummu Yazid. (Jamharatu Al -Ansab)
    (2) Sakinah anak Sayyidina Husain yang tersebut tadi pernah juga berkahwin dengan cucu Sayyidina Uthman yang bernama Zaid bin Amar bin Uthman.
    Sementara anak cucu kepada saudara-saudara Sayyidina Husain iaitu Abbas bin Ali dan lain-lain juga telah mengadakan perhubungan persemendaan dengan keluarga Umaiyah. Di antaranya yang boleh disebutkan ialah:-
    Cucu perempuan kepada saudara Sayyidina Husain iaitu Abbas bin Ali bernama Nafisah bt Ubaidillah bin Abbas bin Ali berkahwin dengan cucu Amirul Mukminin Yazid yang bernama Abdullah bin Khalid bin Yazid bin Muawiyah. Datuk kepada Nafisah ini iaitu Abbas bin Ali adalah di antara orang yang ikut serta dalam rombongan Sayyidina Husain ke Kufah. Beliau terbunuh dalam pertempuran di medan Karbala .
    Sekiranya benar cerita yang diambil oleh ahli -ahli sejarah dari Abu Mukhnaf, Hisyam dan lain–lain tentang kezaliman Yazid di Karbala yang dikatakan telah memerintah supaya tidak dibenarkan setitik pun air walaupun kepada kanak–kanak yang ikut serta dalam rombongan Sayyidina Husain itu sehingga mereka mati kehausan apakah mungkin perkahwinan di antara cucu kepada Abbas ini berlaku dengan cucu Yazid. Apakah kekejaman–kekejaman yang tidak ada tolak bandingnya seperti yang digambarkan di dalam sejarah boleh dilupakan begitu mudah oleh anak – anak cucu orang–orang yang teraniaya di medan Karbala itu? Apa lagi jika dilihat kepada zaman berlakunya perkahwinan mereka ini, bukan lagi di zaman kekuasaan keluarga Yazid, bahkan yang berkuasa pada ketika itu ialah keluarga Marwan. Di sana tidak terdapat satu pun alasan untuk kita mengatakan perkahwinan itu berlaku secara kekerasan atau paksaan.
    Perkahwinan mereka membuktikan kisah–kisah kezaliman yang dilakukan oleh tentera Yazid ke atas rombongan Sayyidina Husain itu cerita–cerita rekaan oleh Abu Mukhnaf, Al Kalbi dan anaknya Hisyam dan lain–lain.
    Cucu perempuan kepada saudara Sayyidina Husain, Muhammad bin Ali (yang terkenal dengan Muhammad bin Hanafiyah) bernama Lubabah berkahwin dengan Said bin Abdullah bin Amr bin Said bin Al Ash bin Umaiyah. Ayah kepada Lubabah ini ialah Abu Hisyam Abdullah yang dipercayai sebagai imam oleh Syiah Kaisamyyah.
  45. CN Desember 1, 2013 pukul 2:21 am
    Wes ta lah BrO? Kpn endonesa merdeka? itu tanggungjawab kita sekarang!
  46. elkim Desember 6, 2013 pukul 3:27 am
    semoga sejarah ini,bisa menjadi pelajaran untuk kaum muslimin.
  47. manusia taubat Februari 3, 2014 pukul 5:00 pm
    sesungguhnya syiah adalah kafir. ahlun naar. seluruh riwayat syiah wajib ditolak.
  48. manusia taubat Februari 3, 2014 pukul 5:03 pm
    riwayat diatas sangat bagus dan jelas. semua orang yang mengkafirkan sahabat khususon abu bakar, umar, usman, muawiyah, amr bin ash adalah orang kafir. yang mengkafirkan mereka adalah kafir.
  49. Uyung Februari 14, 2014 pukul 7:28 am
    peganglah pendapat Abu hurairah yang mengatakan shalat ikut Ali akan lurus, ikut Mu’awiyah makanannya lezat……
  50. doni Maret 1, 2014 pukul 3:12 pm
    saat itu sayyidina Ali adl Amirul mukminin sedang Muawiyah adalah gubernur syam seperti layaknya SBY dan jokowi. jadi yg seharusnya ditaati adl atasannya bila dilihat hirarki kekuasaan.
    bila jokowi melawan berarti beliau dianggap pemberontak pemerintah SBY yg sedang berkuasa..
    Jadi silahkan diartikan sendiri bagaimana posisi muawiyah terhadap kepemimpinan Ali..
    (Tidak ada dua guru yg berkelahi, yg ada salah satu guru lebih tinggi keilmuannya)

  1. Memandang Perang Shiffin Bukan dari Mata Pendengki « Learn something by Tomy gnt Lacak balik pada September 8, 2010 pukul 7:43 am
  2. Teori Yang InsyaAllah Fair Atas Insiden Shiffin « muhara’s simple web log… Lacak balik pada Februari 21, 2012 pukul 10:46 am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar