MEMAHAMI KEHIDUPAN DAN THABAQÂT WALIYULLAH
waliyullah diyakini di sepanjang masa, karena ini merupakan bukti kelanjutan dari tradisi kenabian. Artinya, seorang yang berada dalam wilayah kewalian mempunyai kualitas batiniyah, hakikat jati diri, seperti seorang nabi,[1] di mana pikiran, perilaku dan ucapannya senantiasa berhubungan dengan ketuhanan. Karena itu,wali dianggap sebagai pewaris spiritual nabi.[2] Dan tidak sedikit di antara para wali yang diizinkan untuk menampilkan karamat sebagaimana seorang nabi diizinkan untuk menampilkan mu’jizat yang mampu melemahkan segala sikap dan tindakan batil dari para penantangnya.
Hubungan khusus yang dimiliki wali sama dengan hubungan khusus para nabi, sebagaimana pernyataan Islaminis, Joh L. Esposito yang dikutip oleh Sulaiman al-Kumayi:[3]
“Penghormatan kepada Muhammad dan para wali sufi sebagai perantara antara Allah dan manusia. Muhammad telah menekankan bahwa ia hanyalah manusia biasa. Muhammad sebagai perantara antara manusia dan Allah. Dan mukjizat yang dinisbatkan kepadanya, disebabkan oleh kedekatannya dengan Tuhan. Keajaiban-keajaiban ini juga diturunkan kepada para wali Allah. Kekuatan-kekuatan penuh mukjizat (menyambuhkan orang sakit, ada di dua tempat yang berbeda pada saat yang sama, membaca pikiran, melipat gandakan makanan) dan serangkaian kesempurnaan kewalian yang berlimpah-limpah.”
Mempunyai hubungan khusus sebagaimana para nabi tentunya ia sangat dekat dengan Allah SWT. Yusuf bin Ismail an Nabhani dalam kitabnya, Jami’ Karamat al-Auliya, yang dikutip oleh Majdi Muhammad asy-Syahawi, mengatakan bahwa,
“Wali dari segi bahasa artinya dekat. Apabila seseorang dekat kepada Allah SWT disebabkan ketaatannya dan keikhlasannya, dan Allah SWT pun dekat kepadanya dengan melimpahkan rahmat, kebajikan, dan karunia-Nya, maka pada saat itulah terjadi kewalian. Atau dengan kata lain, orang itu telah menjadi wali.”[4]
Dari sini kemudian berkembang makna baru seperti pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama, dan lain-lain yang semuanya diikat oleh benang merah kedekatan.[5]
Kedekatan Allah SWT kepada makhluk-Nya dapat berarti pengetahuan-Nya yang menyeluruh tentang mereka dan dapat juga, disamping itu, dalam arti cinta, pembelaan, dan bantuan-Nya. Yang petama berlaku terhadap segala sesuatu. Sedangkan yang berarti cinta, bantuan perlindungan, dan rahmat-Nya adalah kepada hamba-hamba-Nya yang taat lagi mendekat kepadanya.
Penggunaan kata wali jika menjadi sifat Allah SWT hanya ditunjukkan kepada orang-orang yang beriman. Karena itu, kata wali bagi Allah diartikan dengan pembela, pendukung, dan dejenisnya, tetapi pembelaan dan dukungan yang berakibat positif serta kesesudahan baik.[6]
Sedangkan kata wali itu sendiri, menurut al-Qusyairi yang dikutip In’amuzzahidin, dapat diartikan dengan dua pengertian.
Pertama, bisa dibentuk fa’il dan bermakna fa’il (pelaku pekerjaan), dengan menggunakan arti mubalaghah (sangat menekanan). Wali berarti orang yang betil-betul selalu taat kepada perintah Allah SWT, tanpa disertai maksiat.
Kedua, dapat berbentuk fa’il dengan makna maf’ul (orang yang dikenai pekerjaan). Dimana wali adalah orang yang selalu mendapat penjagaan dari Allah SWT.[7]
Fatwa syaikh Sa’id dalam kitabnya Syikh Ihsan bin Dahlan al-Jampesi, mengatakan bahwa auliya’ adalah jamaknya wali, yaitu orang yang makrifat terhadap Alah dan sifat-sifatnya dengan istiqomah menjalani taat, menjauhi larangan dan berpaling dari bujukkan kenikmatan dunia dan syahwat.[8]
Abu al-Ala Afifi, yang di kutip In’amuzzahidin, lebih jauh menerangkan bahwa wali adalah seseorang yang sibuk dengan Tuhan. Dan menghabiskan hidupnya untuk bergaul dengan-Nya, serta menghilangkan syahwat dan hubungan dengan diri dan lingkungan sosialnya. Ia memperoleh maqam (station) dekat dari Allah swt dengan kesucian dan kewira’iannya serta fana’ fi Allah, atau majdzub fi al hub Allah (dikuasai mahabbah ilahiyah, yang tidak meninggalkan tempat tersisa dalam hatinya, selain kekasihnya, Allah).[9]
Menurut Ibn Taymiyah, wali merupakan suatu peristilahan umum untuk orang-orang yang mempunyai kedekatan dengan Allah SWT, termasuk para Nabi, Rasul dan orang-orang saleh. Para wali Allah yang paling utama adalah para Nabi-Nya. Dari para Nabi yang paling utama adalah para Rasul-Nya. Dari para Rasul Allah SWT yang paling utama adalah yang bergelar Ulu al-‘azm; mereka adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad.[10]
Istilah wali juga banyak di sebutkan dalam al-Qur’an, terutama yang sering menjadi rujukan adalah surah Yunus ayat 62, Allah berfirman :
“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”[11]
Al-Tabari, dalam tafsirnya yang berjudul Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menyatakan:
(الآ إن أولياء الله) الآإن أنصار الله (لا خوف عليهم) في الآخرة من عقاب الله لأن الله رضي عنهم فآنهم من عقابه (و لا هم يخزنون) على ما فاتهم من الدنيا[12]
Menurut ath-Thabari, awliya (para wali Allah) adalah orang-orang yang dijamin dengan penjagaan dan terhindar dari hal yang menakutkan di kehidupan akhirat dan tidak akan pernah menemukan penyesalan dan kesedihan karena perbuatan yang telah dijalaninya semasa kehidupannya di dunia. Demikian itu dikarenakan apa yang telah diperbuat di dunia, tidak ada yang bertentangan dengan ketentuan Allah SWT. Atau dengan kata lain, semua yang telah diperbuatnya semasa hidup di dunia berada dalam bingkai rida dan izin Allah SWT.[13]
Kata khauf atau takut adalah keguncangan hati menyangkut sesuatu yang negatif di masa akan datang, dan sedih adalah kegelisahan menyangkut sesuatu yang negatif yang pernah terjadi. Firmannya (لا خوف عليهم) tidak ada ketakutan atas mereka dan seterusnya bukan berarti bahwa rasa takut mereka hilang sama sekali. Karena, ini adalah naluri manusia mustahil terjadi walau pada diri para nabi sekalipun. Bukankah nabi Musa as dilukiskan oleh al-Qur’an bahwa dia takut?.
Jika demikian, bisa jadi sesekali mereka takut, tetapi ketakutan itu tidak mengatasi kemampuan mereka untuk bertahan dan tidak juga meliputi seluruh jiwa raga mereka. Itulah agaknya yang diisyaratkan oleh kata (عليهم) ‘ala / atas pada firmannya: tidak ada ketakutan atas mereka.
Demikian juga dengan kesedihan. Sebagai manusia, mereka tentu saja tidak dapat luput dari kesediahan, tetapi kesedihan itu tidak berlanjut. Dan ini pulalah yang diisyaratkan oleh pengguna bentuk kata kerja masa kini dan masa datang (mudhori’) dalam firmannya yahzanûn. Rasul pun bersedih sewaktu putra beliau Ibrahim meninggal dunia. Air mata beliau bercucuran sambil bersabda,
“Sesungguhnya air mata bercucuran, sesungguhnya hati bersedih, tetapi kita tidak mengucapkan kecuali apa yang diridhai Allah SWT”.[14]
Demikian pula komentar Abu Turab an-Nakhsyabi tentang sifat wali yang tidak takut dan tidak cemas, karena perasaan cemas itu berasal dari penantian akan terjadinya sesuatu yang tidak disenangi pada masa mendatang atau penyesalan akan hilangnya kesenagan pada masa-masa yang sudah lewat.
Sedangkan para wali adalah anak waktu, ia tidak pernah berandai-andai tentang masa mendatang. Sebagaimana tidak mempunyai rasa cemas, seorang wali juga tidak mempunyai harapan. Karena namanya harapan adalah sebuah penantian akan tercapainya kesenangn atau akan hilangnya kesusahan.[15]
Keterangan yang diungkapkan al-Yuusi mengenai syarat-syarat wali seakan akan berbeda dengan keterangan di atas, terutama mengenai “’Alâ Innâ Awliya’ Allah La Khawf ‘Alayhim wa Lâ Hum Yahzanun”. Ia mengutip pendapat sebagian imam bahwa seorang tidak mencapai derajat wali kecuali dengan empat syarat.
Pertama, mengetahui “ushul ad-din”, sehingga bisa membedakan antara pencipta dan makhluk yang diciptakan. Juga antara nabi dan orang yang mengaku nabi.
Kedua, mengetahui hukum-hukum syari’at, baik secara naqli (al-Qur’an dan hadits) maupun pemahaman dalil dengan perumpamaan. Seandainya Allah mencabut ilmu penduduk bumi, niscaya akan bisa ditemukan pada orang tersebut.
Ketiga, mempunyai sifat-sifat terpuji. Seperti wira’i dan ikhlas dalam setiap amal.
Keempat, selama-lamanya dalam keadaan takut, tidak pernah merasa tenang sekejappun. Karena ia merasa tidak tahu apakah tergolong orang yang beruntung ataukah yang celaka.[16]
Keterangan yang keempat sebenarnya tidak bertentangan dengan ayat di atas. Bahkan Allah berfirman:
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”[17]
Suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Oleh karena adanya perasaan seperti itu, maka ia selalu berusaha agar sikap dan laku perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.
Sikap metal tersebut merangsang seseorang melakukan hal-hal yang baik dan mendorongnya untuk menjauhi perbuatan maksiat. Peranan khauf timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah SWT sudah mendalam sehingga ia merasa khawatir kalau-kalau Allah SWT melupakannya adatu takut kepada siksaan Allah SWT.[18]
Mengenai hal ini al-Ghazali mengatakan bahwa seseorang yang hatinya sedang asyik bercengkrama dengan yang dicintainya, ia akan takut berpisah dengannya. Dan itu akan membuat kecintaannya berkurang, padahal keabadian bercengkrama (al-Syuhud) adalah puncaknya maqamat (station dalam tasawuf).[19]
Selanjutnya al-Gahzali mengutip perkataan dari abu al-Qasim al-Hakim,
“Barangsiapa takut terhadap sesuatu, maka ia akan lari darinya. Dan barangsiapa akan takut terhadap Allah SWT maka ia akan lari kepadanya”.[20]
Keadaan yang sedemikian rupa itu membuat para wali tidak mengetahuai apakah ia termasuk kekasih Allah SWT atau bukan. Abu Qasim al-Qusyairi mengatakan bahwa para ulama’ berbeda pendapat, apakah seorang wali mengetahui bahwa dirinya itu termasuk wali atau tidak?
Sebagian ulama’ mengatakan, mereka tidak tahu. Karena seorang wali selalu memandang rendah dirinya. Dan jika nampak karomah pada diri mereka, justru menimbulkan rasa takut, jangan-jangan termasuk tipudaya setan. Tetapi ada sebagin ulama yang mengatakan mereka bisa mengetahuinya kalau dirinya seorang wali.[21]
Syaikh Abdillah bin Sahal ketika dianya, bagaimana wali itu dikenal?. Ia menjawab “Sesungguhnya Allah SWT tidak akan memberitahu keadaan mereka kecuali kepada sesama mereka atau kepada yang dikehendaki Allah SWT untuk memetik manfaat darinya. Seandainya Allah SWT memperlihatkannya, sehingga manusia mengenalinya niscaya ia akan menjadi bukti atas kesalahan manusia kelak di hari kiamat dan orang-orang yang mengingkarinya niscaya akan kufur. Begitu juga orang-orang yang tidak menghiraukannya niscaya akan berdosa. Allah SWT merahasiakannya semata-mata hanya kasihan kepada makhlukNya.”
Begitu pula pendapat syaikh Abul Abbas al-Mursiyyi yang mengatakan,
“Mengenali seorang wali itu lebih sulit dari pada mengenal Allah, karena Allah itu bisa dikenali dengan sifat-sifatnya yang sempurna dan indah. Sedangkan para wali bisa engkau jumpai kapan saja atau dimana saja, berupa makhluk yang sama seperti keadaanmu. Ia makan dan minum seperti halnya dirimu.”[22]
Abu Qasim al-Junidi mendengar dari Syaikh Aba Abdirahman as Sulami, ia mendengar dari Mansur bin Abdillah, dari Pamannya al-Bastami, dari bapaknya, dan dari Abu Yazid al-Bustami mengatakan,
“Para Wali Allah SWT laksana pengantin-pengantin Allah SWT. Pengantin-pengantin itu tidak bisa dilihat kecuali muhrimnya. Mereka ditidurkan di sisi Allah SWT dalam tirai kerinduan, dan mereka tidak bisa dilihat oleh seseorang baik di dunia dan di akhirat.”[23]
Syaikh Acmad Asrori al-Ishaqi mengklasifikasi wali menjadi tujuh:
1. Para wali Allah SWT yang hanya diketahui oleh orang-orang istimewa.
2. Para wali Allah SWT yang diketahui oleh orang-orang tertentu dan orang umum.
3. Para wali Allah SWT yang tidak dapat diketahui oleh orang-orang istimewa dan orang umum.
4. Para wali Allah SWT yang ditampakkan oleh Allah SWT pada awal pendakiannya, dan disamarkan oleh Allah pada puncak pendakiannya.
5. Para wali Allah SWT yang disamarkan oleh Allah Kepada makhluk dalam awal pendakiannya dan ditempatkan oleh Allah SWT kepada makhluk dalam puncak pendakiannya.
6. Para wali Allah yang hanya diketahui oleh Allah dan tidak ditampakkan kecuali pada malaikat hafidhoh al-kirom yang diberi mandat untuk menjaga sirri (rahasia).
7. Para wali Allah SWT yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan hakikat kewaliannya tiak ditampakkan kepada malaikat hafidhoh al kirom, mereka dengan apa yang telah dititipkan dihati mereka itu menjadi saksi alam malakut yang luhur dan sisi kanan ‘arasy, yakni para wali yang arwah mereka dicabut langsung oleh Allah SWT (tapa perantara malikat Izrail as)[24]
Derajat yang demikian tinggi dihadapan Allah SWT, menurut Syaikh Achmad Asrrori al-Ishaqy merupakan limpahan cahaya yang berasal dari kilauan sinar cahaya kenabian. Perumpamaan hakikat nur Nabi Muhammad SAW laksana matahari, sedangkan hati para wali Allah laksana rembulan. Sehingga terangnya rembulan karena sinar matahari yang menghadap dan membentang padanya. Maka selalu bersinar di siang hari dan terang di malam hari, tidak akan pernah padam. Oleh karenanya, nur para wali Allah SWT senantiasa langgeng karena langgengnya nur Rasulullah SAW.[25]
Sebagaimana dikatakan di atas, kewalian hanya limpahan cahaya kenabian. Sehingga seseorang untuk menjadi Nabi tidak mungkin bisa diusahakan dengan jalan khusus seperti kholwat (menyepi), selalu beribadah, makan makanan yang halal.
Adapun untuk mencapai kewalian ada dua jalan. Pertama, dengan usaha, yaitu menjalankan menjalankan perintah-perinyah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, ini dinamakan al-wilayah al ‘ammah (kewalian yang umum). Yang kedua, kewalian merupakan pemberian dari Allah SWT, seperti Ilmu ladunni, melihat lauh al-mahfudz dan lainnya.[26]
Derajat kenabian yang tidak bisa di lakukan dengan ‘uzlah. Ini bisa di pahami dari cerita Nabi Muhammad SWT sebagai sayyidul anbiya’ wa al mursalin (pemimpinnya para nabi dan rasul):
“Pada tahun 610 di malam ke tujuh belas bulan Ramadhan, tatkala Muahmmad dibangunkan dari tidur dan merasakan dirinya didekap oleh kehadiran ilahiyah yang dasyat. malaikat menampakkan diri kepadanya dan memberinya sebuah perintah “bacalah !” (iqra’ !).
Seperti halnya nabi-nabi Ibrani yang sering merasa berat mengucapkan firman Tuhan, Muhammad menolak dan memprotes, “Aku bukan pembaca !”. dia bukanlah seorang kahin, seorang peramal ekstatik Arab yang mengaku fasih membaca nubuat-nubuat yang diilhamkan Muhammad merasa dirinya berada dalam ketakutan dan perubahan, bergidik memikirkan bahwa dia mungkin telah menjadi sekedar seorang kahin tak terhormat yang dimintakan pendapatnya oleh orang-orang ketika mereka kehilangan unta.
Seorang Kahin diduga dikuasai oleh jin, sejenis makhluk halus yang dipercayai menghuni daratan Arab, yang bisa berubah-ubah wujud dan menyesatkan manusia. Muhammad mengira bahwa dia mungkin telah menjadi majnun, dikuasai jin, memenuhi dirinya dengan rasa putus asa seakan-akan keinginannya untuk hidup pupus sudah. Dia sangat tidak menyenagi para kahin itu.”[27]
[1] Ibn ‘Araby, al-Futuhat al-Makiyyah , Juz III , Beirut: Dar al- Kutub al -Islami, 2006, hlm 37
[2] Abu Abd al-Rahman Muhammad bin Husain al-Sulamy, Tabaqat al-Sufiyyah, Kairo, Matba’ al Matba’ al Madani, 1987, hlm 1
[3] Sulaimkan al Kumayi, Kewalian Dalam Perspektif Islam Lokal; Studi kasus Kotawaringin Barat , dalam jurnal Teologia, Semarang: fak. Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Volume 21 Nomor 1 Januari 2010, hlm 189
[4] Majdi Muhammad Asy- Syahawi, Karamah , Jakarta: Sahara Publishers, 2003, hlm 17-18
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Ciputat: Lentera Hati, 2001, hlm 449
[6] ibid, hlm 449
[7] In’amuzzahidin, Dari Waliyullah Menjadi Wali Gila; Antara Tasawuf d an Psikologi, Semarang: Syifa Press, 2007, hlm 50
[8] Ihsan Dahlan Al Jampesi, Sirajut Talibin, juz I, Bairut: Dar al Fikr, juz 1, 1997, hlm 17
[9] In’amuzzahidin, Dari Waliyullah Menjadi Wali Gila, hlm 51
[10] Ibn Taymiyah, Wali Allah; Kriteria & Sifat -Sfatnya, trj. Arief B. Iskandar, Jakarta: Lenera Basrima, 2000, hlm 6.
[11] QS: Yunus: 62
[12] Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tafsir al Tabari al-Musamma Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an Beirut:Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005, hlm 574.
[13] Tafsir yang serupa juga di ungkapkan oleh Muhammad Ali as Shobuni dalam karyanya Shofwah At Tafasir, juz 1, Kairo,:Dar at Turats Al Arabi, 1993, hlm 589. Senada dengan itu juga penafsiran dari as-Showi yang menjelaskan bahwa para wali dijaga di dunia dari perkara-perkara yang membuat mereka takut, dan di jaga dari kecemasan di akhirat, sebagaimana hadits “ Mereka tidak takut ketika semua orang takut, mereka tidak cemas ketika semua orang cemas”. lihat Tafsir As Showi Khasiyah ala tafsir Al Jalalain, juz II, Surabaya: Al Hidayah, tt, hlm 244
[14] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, hlm 451
[15] Ihsan Dahlan Al Jampesi, Sirajut Talibin, juz I, , hlm 18
[16] M. Ridwan Qoyyum Sa’id, Fiqih klenik; Fatwa-fatwa Ulama Menyorot Tarekat dan Mistik, Lirboyo: Mitra Gayatri, 2004, hlm 23
[17] QS: al- Fathir: 28
[18] A. Rivay Siregar, Tasawuf; dari sufisme klasik ke neo sufisme, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 133-134
[19] Al Ghazali, ihya’ ulumuddin, juz 4, hlm 152
[20] Ibid, hlm 153
[21] Ihsan Dahlan Al Jampesi, Sirajut Talibin, juz I, hlm 16
[22] Muhammad bin Ibrahim, Syarah al Hikam, juz 2, Surabaya: al Hidayah, tt, hlm 2
[23] Ihsan Dahlan Al Jampesi, Siraj ath Thalibin , juz I, hlm 17
[24] Achmad Asrori al Ishaqy, Untaian Mutiara; Dalam Ikatan Hati dan Jalinan Rohani, jilid 1, Surabaya: kantor Tariqoh al Qadiriyah wa Naqsabandiyah al Utsmaniyyah, cet ke 2, 2010, hlm 86-87
[25] ibid, hlm 73-74
[26] Syaikh Ibrahim al Baijuri, Hasyiah ala Jauhari at Tauhid, Semarang: Karya Toha Putra, tt, hlm 75
[27] Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, hlm 192-194
Tidak ada komentar:
Posting Komentar