حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَغِمَ أَنْفُ
ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ
كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلْ الْجَنَّةَ
Telah menceritakan kepada kami [Syaiban bin Farrukh]; Telah
menceritakan kepada kami [Abu ‘Awanah] dari [Suhail] dari [Bapaknya]
dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau
bersabda: “Dia celaka! Dia celaka! Dia celaka!” lalu beliau ditanya;
“Siapakah yang celaka, ya Rasulullah?”Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barang Siapa yang mendapati kedua orang tuanya (dalam usia lanjut), atau salah satu dari keduanya, tetapi dia tidak berusaha masuk surga (dengan berusaha berbakti kepadanya dengan sebaik-baiknya).” (HR. Shahih Muslim: 4627) [1]
Nabi saw naik mimbar kemudian bersabda, “Amin, amin, amin” Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, apa yang engkau aminkan?” Beliau bersabda, “Jibril datang kepadaku, lalu berkata, “Hai Muhammad, amat kecewalah orang yang tidak membaca shalawat kepadamu tatakala namamu disebutkan padanya. Katakanlah amin!” Maka aku pun mengatakan amin”, Jibril berkata, “Amat kecewa orang yang datang kepadanya bulan Ramadhan hingga berakhir bula itu tetapi ia tidak memperoleh ampunan. Maka katakanlah amin!” Aku pun mengatakan amin.” Kemudian Jibril melanjutkan, “Kecewalah orang yang dapat mengecap hidup bersama kedua orangtuanya atau salah satunya, namun keduanya tidak menyebabkannya masuk surga. Ucapkanlah amin bagi orang demikian, maka aku pun mengucapkannya.” [Hadist yang diriwayatkan Anas r.a dari berbagai Jalur, dikutip dari Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Isra ayat 23-24]
KISAH UWAIS BIN AMIR AL-QORNI, TABI’IN TERBAIK YANG SANGAT BERBAKTI PADA IBU
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al Hanzhali dan Muhammad bin Al Mutsanna serta Muhammad bin Basysyar. Ishaq berkata: Telah mengabarkan kepada kami. Sedangkan yang lainnya berkata: Telah menceritakan kepada kami. Lafazh ini milik Ibnu Al Mutsanna: Telah menceritakan kepada kami Mu’adz Ibnu Hisyam: Telah menceritakan kepadaku Bapakku dari Qotadah dari Zurarah bin Aufa dari Usair bin Jabir dia berkata,
Ketika Umar bin Khaththab didatangi oleh rombongan orang-orang Yaman, ia selalu bertanya kepada mereka,”Apakah Uwais bin Amir dalam rombongan kalian?”
Hingga pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab bertemu dengan Uwais seraya berkata, “Apakah kamu Uwais bin Amir?” Uwais menjawab, “Ya, benar. Saya adalah Uwais.”
Khalifah Umar bertanya lagi, “Kamu berasal dari Murad dan kemudian dari Qaran?” Uwais menjawab, “Ya, benar.”
Selanjutnya Khalifah Umar bertanya lagi, “Apakah kamu pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali tinggal sebesar mata uang dirham pada dirimu?” Uwais menjawab, “Ya, benar.”
Khalifah Umar bertanya lagi, “Apakah ibumu masih ada?” Uwais menjawab, “Ya, ibu saya masih ada.”
Khalifah Umar bin Khaththab berkata, “Hai Uwais, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Uwais bin Amir akan datang kepadamu bersama rombongan orang-orang Yaman yang berasal dari Murad kemudian dari Qaran. Ia pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali sebesar uang dirham. Ibunya masih hidup dan ia selalu berbakti kepadanya. Kalau ia bersumpah atas nama Allah maka akan dikabulkan sumpahnya itu, maka jika kamu dapat memohon agar dia memohonkan ampun untuk kalian, lakukanlah!” Oleh karena itu hai Uwais, mohonkanlah ampunan untukku!” Lalu Uwais pun memohonkan ampun untuk Umar bin Khaththab.
Setelah itu, Khalifah Umar bertanya kepada Uwais, “Hendak pergi kemana kamu hai Uwais?”
Uwais bin Amir menjawab, “Saya hendak pergi ke Kufah ya Amirul Mukminin.”
Khalifah Umar berkata lagi, “Apakah aku perlu membuatkan surat khusus kepada pejabat Kufah?”
Uwais bin Amir menjawab, “Saya lebih senang berada bersama rakyat jelata ya Amirul Mukminin.”
Usair bin Jabir berkata, “Pada tahun berikutnya, seorang pejabat tinggi Kufah pergi melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Selesai melaksanakan haji, ia pun pergi mengunjungi Khalifah Umar bin Khaththab. Lalu Khalifah pun menanyakan tentang berita Uwais kepadanya. Pejabat itu menjawab, “Saya membiarkan Uwais tinggal di rumah tua dan hidup dalam kondisi yang sangat sederhana.”
Umar bin Khaththab berkata, “Sesusungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kelak Uwais bin Amir akan datang kepadamu bersama rombongan orang-orang Yaman.
Ia berasal dari Murad dan kemudian dari Qaran. Ia pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali tinggal sebesar mata uang dirham. Kalau ia bersumpah dengan nama Allah, niscaya akan dikabulkan sumpahnya. Jika kamu dapat meminta agar ia berkenan memohonkan ampunan untukmu, maka laksanakanlah!”
Setelah itu, pejabat Kufah tersebut langsung menemui Uwais dan berkata kepadanya, “Wahai Uwais, mohonkanlah ampunan untukku!”
Uwais bin Amir dengan perasaan heran menjawab, “Bukankah engkau baru saja pulang dari perjalanan suci, ibadah haji di Makkah? Maka seharusnya engkau yang lebih pantas mendoakan saya.”
Kemudian Uwais balik beretanya kepada pejabat tersebut, “Apakah engkau telah bertemu dengan Khalifah Umar bin Khaththab di Madinah?” Pejabat Kufah itu menjawab, “Ya. Aku telah bertemu dengannya.”
Akhirnya Uwais pun memohonkan ampun untuk pejabat Kufah tersebut. Setelah itu, Uwais dikenal oleh masyarakat luas, tetapi ia sendiri tidak berubah hidupnya dan tetap seperti semula.
Usair berkata, “Maka aku memberikan Uwais sehelai selendang yang indah, hingga setiap kali orang yang melihatnya pasti akan bertanya, “Dari mana Uwais memperoleh selendang itu?”
(HR. Shahih Muslim: 4613)[1]
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb; Telah menceritakan kepada kami Hasyum bin Al Qasim; Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Al Mughirah; Telah menceritakan kepadaku Sa’id Al Jurairi dari Abu Nadhrah dari Usair bin Jabir bahwa penduduk Kufah mengutus beberapa utusan kepada Umar bin Khaththab, dan di antara mereka ada yang biasa mencela Uwais.
Maka Umar berkata, “Apakah di sini ada yang berasal dari Qaran. Lalu orang itu menghadap Umar. Kemudian Umar berkata, “Sesusungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Sesungguhnya akan datang kepadamu laki-laki dari Yaman yang biasa dipanggil dengan Uwais. Dia tinggal di Yaman bersama ibunya. Dahulu pada kuliatnya ada penyakit belang (berawarna putih). Lalu dia berdo’a kepada Allah, dan Allah pun menghilangkan penyakit itu, kecuali tingga sebesar uang dinar atau dirham saja. Barang siap di antara kalian yang menemuinya, maka mintalah kepadanya untuk memohonkan ampun kepada Allah untuk kalian.”
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Muhammad bin Al Mutsanna keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami ‘Affan bin Muslim; Telah menceritakan kepada kami Hammad yaitu Ibnu Salamah dari Sa’id Al Jurairi melalui jalur ini dari ‘Umar bin Khaththab dia berkata, “Sunggu aku telah mendengara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik tabi’in, adalah seorang laki-laki yang dibiasa dipanggil Uwais, dia memiliki ibu, dan dulu dia memiliki penyakit belang di tubuhnya. Carilah ia, dan mintalah kepadanya agar memohonkan ampun untuk kalian.”
(HR. Shahih Muslim: 4612)[1]
KISAH SEORANG YANG BERBAKTI PADA KEDUA ORTU, TERJEBAK BERSAMA TEMANNYA DI DALAM GOA [2]
Bukhari Muslim meriwayatkan dari Shahih, masing-masing dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Ketika tiga orang sedang berjalan-jalan, tiba-tiba hujan turun. Maka mereka berteduh di sebuah goa di gunung. Sebuah batu besar tiba-tiba menggelinding dari gunung menuju pintu goa dan menutupnya.
Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, ‘Lihatlah amal shalih yang telah kamu kerjakan karena Allah, lalu berdoalah kepada Allah dengannya. Semoga Allah memberi kemudahan bagi kalian.’
Salah seorang dari mereka berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai dua orang tua yang telah berusia lanjut, istri dan beberapa anak yang masih kecil. Aku yang menggembala untuk mereka. Jika aku pulang di sore hari, aku memerah susu, lalu memberi minum kedua orang tuaku terlebih dahulu sebelum anak-anakku. Suatu hari aku menggembala cukup jauh dari desa. Aku tidak pulang kecuali hari telah sore, dan aku mendapati mereka berdua telah tidur. Aku memerah susu seperti biasa. Aku membawa bejana susu kepada keduanya dan berdiri menunggu di atas kepala mereka berdua. Aku tidak ingin membangunkan kedunya dari tidur dan aku tidak ingin memberi minum anak-anakku sebelum keduanya minum. Sementara anak-anak menangis kelaparan di bawah kakiku. Aku tetap melakukan apa yang aku lakukan dan anak-anak juga demikian sampai terbit fajar. Jika engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu hanya demi mencari wajah-Mu, maka bukalah pintu goa ini sedikit sehingga kami bisa melihat langit.’ Lalu Allah membuka pintu goa sedikit dan mereka melihat langit.
Yang lain berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai sepupu perempuan, dan aku sangat mencintainya seperti laki-laki mencintai perempuan. Aku meminta dirinya, tetapi dia menolak sampai aku bsia memberinya seratus dinar. Aku bekerja keras hingga aku berhasil mengumpulkan seratus dinar. Aku menyerahkan kepadanya. Manakala aku telah duduk di antara kedua kakinya, dia berkata, ‘”Wahai hamba Allah, bertaqwalah kepada Allah, jangan membuka cincin kecuali dengan haknya.’ Maka aku meninggalkannya. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu karena mencari Wajah-Mu, maka bukalah pintu goa sedikit.’ Maka pintu goa terbuka agak lebar.
Yang ketiga berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku menyewa seorang pekerja dengan imbalan satu faraq besar. Selesai menunaikan pekerjaaannya, dia berkata, ‘Berikan hakku.’ Lalu aku menyodorkan faraq-nya, tetapi dia menolaknya. Seterusnya aku menanamnya sampai aku mengumpulkan beberapa sapi sekaligus pengembalanya darinya. Dia datang lagi dan berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah, jangan menzhalimi hakku.’ Aku berkata, ‘Pergilah kepada sapi-sapi itu berikut penggembalanya. Ambillah.’ Dia menjawab, ‘Jangan mengolok-olokku, bertakwalah kepada Allah.’ Aku berkata, ‘Aku tidak mengolok-olok dirimu. Ambillah sapi-sapi itu dan pengembalanya.’ Lalu dia mengambil dan pergi. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan hal itu demi mendapakan wajah-Mu, maka bukakanlah sisanya.’ Maka Allah membuka apa yang tersisa.
KISAH JURAIJ SI AHLI IBADAH DENGAN MAKBULNYA DOA SEORANG IBU [3]
Dahulu kala, di kalangan Bani Israil ada seorang yang dikenal bernama Juraij. Pada suatu hari, ketika dia sedang shalat, datanglah ibunya memanggil.
Juraij enggan memenuhi panggilannya. Katanya (dalam hati), “Saya menjawab panggilannya, ataukah saya tetap shalat?”
Kemudian ibunya datang lagi (memanggil, tapi Juraij tidak menyahut). Sang ibu pun berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau mematikan dia sampai Engkau memperlihatkan kepadanya wajah para wanita pelacur.”
Suatu ketika, Juraij sedang berada di tempat ibadahnya. Ada seorang wanita berkata, “Sungguh, saya pasti akan membuat Juraij terfitnah (tergoda untuk menzinainya, red.).” Dia pun menawarkan diri kepadanya dan mengajaknya bicara. Namun Juraij menolak.
Akhirnya wanita itu mendatangi seorang penggembala kambing dan menyerahkan diri kepadanya (berzina, red.).
(Beberapa waktu kemudian), wanita itu melahirkan seorang anak. Dia berkata, “(Anak) ini dari Juraij.”
Penduduk kampung itu pun mendatangi Juraij, menghancurkan tempat ibadahnya dan menyeretnya serta mencacinya.
Juraij pun berwudhu dan shalat. Kemudian dia mendatangi bayi itu dan bertanya, “Siapakah ayahmu, wahai anak?”
Bayi itu menjawab, “Si penggembala.”
Akhirnya penduduk kampung itu pun berkata, “Kami bangun kembali biaramu dari emas?”
Kata Juraij, “Tidak. Tapi (bangunlah kembali) dari tanah.”
(Al-Bukhari (no. 3253) dan Muslim (no. 2500) dari Abu Hurairah)
DILARANG MEMBENCI BAPAK KALIAN
(Shahih Muslim No. 94) [1]
Telah menceritakan kepadaku Harun bin Sa’id al-Aili telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Amru dari Ja’far bin Rabi’ah dari Irak bin Malik bahwa dia mendengar Abu Hurairah r.a. berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian, barangsiapa yang membenci bapaknya maka dia kafir.”
AYAT-AYAT YANG MEMERINTAHKAN BERBUAT BAIK KEPADA ORANG TUA [4]
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya
dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga
puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat
puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri
nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku
dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah
kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri”.
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,
Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
EMPAT PERKARA YANG DILAKUKAN JIKA ORTU KITA SUDAH MENINGGAL DUNIA
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Asil, yaitu Malik bin Rabi’ah as-Saidi, dia berkata, “Ketika aku duduk di samping Rasulullah saw, tiba-tiba datanglah seorang kaum dari kaum Anshar. Dia berkata, “Ya Rasulullah, apa yang dapat aku lakukan untuk berbuat baik kepada orang tuaku setelah keduanya meninggal?” Beliau bersabda, “Ada empat perkara yang dapat kamu lakukan: mendoakan keduanya, memohonkan ampun dan melaksanakan janji keduanya, menghormati teman-teman keduanya, dan bersilaturahim dengan kerabat yang tiada hubungan denganmu kecuali melalui kedua orang tuamu. Itulah perbuatan baik yang dapat kamu lakukan untuk keduanya setelah mereka meninggal,” [HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Israa ayat 23-24]
KISAH SAHABAT NABI DAN TABI’IN DALAM BIRRUL WALIDAYN [5]
Suatu hari, Ibnu Umar melihat seorang yang menggendong ibunya sambil thawaf mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut lalu berkata kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, meskipun sekadar satu erangan ibumu ketika melahirkanmu. Akan tetapi engkau sudah berbuat baik. Allah akan memberikan balasan yang banyak kepadamu terhadap sedikit amal yang engkau lakukan.” (Diambil dari kitab al-Kabair, karya adz-Dzahabi)
Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang terkenal sangat berbakti kepada ibunya, sampai-sampai ada orang yang berkata kepadanya, “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibumu, akan tetapi kami tidak pernah melihatmu makan bersama ibumu.” Beliau menjawab, “Aku takut kalau-kalau tanganku mengambil makanan yang sudah dilirik oleh ibuku. Sehingga aku berarti mendurhakainya.” (Diambil dari kitab Uyunul Akhyar, karya Ibnu Qutaibah)
Abu Hurairah menempati sebuah rumah, sedangkan ibunya menempati rumah yang lain. Apabila Abu Hurairah ingin keluar rumah, maka beliau berdiri terlebih dahulu di depan pintu rumah ibunya seraya mengatakan, “Keselamatan untukmu, wahai ibuku, dan rahmat Allah serta barakahnya.” Ibunya menjawab, “Dan untukmu keselamatan wahai anakku, dan rahmat Allah serta barakahnya.” Abu Hurairah kemudian berkata, “Semoga Allah menyayangimu karena engkau telah mendidikku semasa aku kecil.” Ibunya pun menjawab, “Dan semoga Allah merahmatimu karena engkau telah berbakti kepadaku saat aku berusia lanjut.” Demikian pula yang dilakukan oleh Abu Hurairah ketika hendak memasuki rumah.” (Diambil dari kitab Adab al-Mufrad, karya Imam Bukhari)
Dari Anas bin Nadzr al-Asyja’i, beliau bercerita, suatu malam ibu dari sahabat Ibnu Mas’ud meminta air minum kepada anaknya. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum, ternyata sang Ibu sudah ketiduran. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya sambil memegang wadah berisi air tersebut hingga pagi.” (Diambil dari kitab Birrul walidain, karya Ibnu Jauzi)
Sufyan bin Uyainah mengatakan, “Ada seorang yang pulang dari bepergian, dia sampai di rumahnya bertepatan dengan ibunya berdiri mengerjakan shalat. Orang tersebut enggan duduk padahal ibunya berdiri. Mengetahui hal tersebut sang ibu lantas memanjangkan shalatnya, agar makin besar pahala yang di dapatkan anaknya. (Diambil dari Birrul walidain, karya Ibnu Jauzi)
Haiwah binti Syuraih adalah seorang ulama besar, suatu hari ketika beliau sedang mengajar, ibunya memanggil. “Hai Haiwah, berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum.” Mendengar panggilan ibunya beliau lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya. (Diambil dari al-Birr wasilah, karya Ibnu Jauzi)
Kahmas bin al-Hasan at-Tamimi melihat seekor kalajengking berada dalam rumahnya, beliau lantas ingin membunuh atau menangkapnya. Ternyata beliau kalah cepat, kalajengking tersebut sudah masuk ke dalam liangnya. Beliau lantas memasukkan tangannya ke dalam liang untuk menangkap kalajengking tersebut. Beliaupun tersengat kalajengking. Melihat tindakan seperti itu ada orang yang berkomentar, “Apa yang kau maksudkan dengan tindakan seperti itu.” Beliau mengatakan, “Aku khawatir kalau kalajengking tersebut keluar dari liangnya lalu menyengat ibuku.” (Diambil dari kitab Nuhzatul Fudhala’)
Muhammad bin Sirin mengatakan, di masa pemerintahan Ustman bin Affan, harga sebuah pohon kurma mencapai seribu dirham. Meskipun demikian, Usamah bin Zaid membeli sebatang pohon kurma lalu memotong dan mengambil jamarnya. (bagian batang kurma yang berwarna putih yang berada di jantung pohon kurma). Jamar tersebut lantas beliau suguhkan kepada ibunya. Melihat tindakan Usamah bin Zaid, banyak orang berkata kepadanya, “Mengapa engkau berbuat demikian, padahal engkau mengetahui bahwa harga satu pohon kurma itu seribu dirham.” Beliau menjawab, “Karena ibuku meminta jamar pohon kurma, dan tidaklah ibuku meminta sesuatu kepadaku yang bisa ku berikan pasti ku berikan.” (Diambil dari Shifatush Shafwah)
Hafshah binti Sirin mengatakan, “Ibu dari Muhammad bin Sirin sangat suka celupan warna untuk kain. Jika Muhammad bin Sirin memberikan kain untuk ibunya, maka beliau belikan kain yang paling halus. Jika hari raya tiba, Muhammad bin Sirin mencelupkan pewarna kain untuk ibunya. Aku tidak pernah melihat Muhamad bin Sirin bersuara keras di hadapan ibunya. Apabila beliau berkata-kata dengan ibunya, maka beliau seperti seorang yang berbisik-bisik. (Diambil dari Siyar A’lam an-Nubala’, karya adz-Dzahabi).
Ibnu Aun mengatakan, “Suatu ketika ada seorang menemui Muhammad bin Sirin pada saat beliau sedang berada di dekat ibunya. Setelah keluar rumah beliau bertanya kepada para sahabat Muhammad bin Sirin, “Ada apa dengan Muhammad, apakah dia mengadukan suatu hal? Para sahabat Muhammad bin Sirin mengatakan, “Tidak. Akan tetapi memang demikianlah keadaannya jika berada di dekat ibunya.” (Diambil dari Siyar A’lamin Nubala’, karya adz-Dzahabi)
Humaid mengatakan, tatkala Ibu dari Iyas bin Muawiyah meninggal dunia, Iyas menangis, ada yang bertanya kepada beliau, “Mengapa engkau menangis?” Beliau menjawab, “Aku memiliki dua buah pintu yang terbuka untuk menuju surga dan sekarang salah satu pintu tersebut sudah tertutup.” (Dari kitab Bir wasilah, karya Ibnul Jauzi)
Catatan :
Birrul Walidain berasal dari dua kata, birru dan al-walidain. Imam Nawawi ketika mensyarah Shahih Muslim memberi penjelasan, bahwa kata-kata Birru mencakup makna bersikap baik, ramah dan taat yang secara umum tercakup dalam khusnul khuluq (budi pekerti yang agung).
Sedangkan, walidain mencakup kedua orangtua, termasuk kakek dan nenek. Jadi, birrul walidain adalah sikap dan perbuatan baik yang ditujukan kepada kedua orangtua, dengan memberikan penghormatan, pemuliaan, ketaatan dan senantiasa bersikap baik termasuk memberikan pemeliharaan dan penjagaan dimasa tua keduanya.
Perintah untuk berinfaq kepada keduanya. Allah SWT berfirman, “… Setiap harta yang kamu infakkan hendaklah diberikan kepada kedua orang tua, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan setiap kebajikan yang kamu lakukan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (Qs. Al-Baqarah: 215).
Berikut bunyi hadits tersebut:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”
Sebuah hadits yang berbunyi:
اَلْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ الأُمَّهَاتِ، مَنْ شِئْنَ أَدْخَلْنَ وَ مَنْ شِئْنَ أَخْرَجْنَ
Surga itu di bawah telapak kaki ibu, siapa yang ia kehendaki maka akan dimasukkan dan siapa yang ia ingini maka akan dikeluarkan.
firman Allah ta’ala :
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh sayang
MAKSUD UNGKAPAN SYURGA DI BAWAH TELAPAK KAKI IBU
Syda Ajjah
assalamu 'alaikum ajenge tanglet ,apa benar surga ada di telapak kaki ibu dan knapa bisa di telapak kaki ibu trus seandai nya ibu udah wafat dmana kta bisa mendpatkan surga ? dan knapa bukan ayah,,?
trus kalau surga seorang istri dmana kah ,,?mhon penjelasan nya makash
JAWABAN :
>> Akhi Rezume Shi
setahu ana, itu kiasan saja. bahwasannya surga di bwah telapak kaki ibu bukan taman firdaus yang bercokol di bawah telapak kaki beliau. ntu hanya perumpamaan bahwasannya seorang ibu wajib dihormati 3x lebih baik ketimbang bapak/ayah. jadi gk ad hubungannya sama ibu yang telah meninggaldan untuk istri ...
>> Cahaya Hati
Syurga di telapak kaki ibu..it perumpamaan untk kita sbgai ank jgn pernh melawan ibumemb4ntahmembentakmenyakiti ht nya...Knp syurga tdk d telapak kaki bpak..Krn ibu lbh besar jasa dan kasih sayang'y ..!
>> Masaji Antoro
Wa'alaikumsalam
Maksud “Surga itu dibawah telapak kaki ibu” adalah kata kiasan betapa kita wajib mentaati dan berbakti pada ibu, mendahulukan kepentingan beliau mengalahkan kepentingan pribadi hingga diibaratkan letak diri kita bagaikan debu yang ada dibawah telapak kakinya bila kita ingin meraih SURGA...
الْجَنَّة تَحْت أَقْدَام الْأُمَّهَات قَالَ رَوَاهُ أَحْمَد وَالنَّسَائِيّ وَابْن مَاجَهْ وَالْحَاكِم
“Surga itu dibawah telapak kaki ibu”. (HR. Ahmad, an-Nasaai, Ibn Maajah dan al-Hakim)
==========
( الجنة تحت أقدام الأمهات ) يعني لزوم طاعتهن سبب قريب لدخول الجنة
“Surga itu dibawah telapak kaki ibu”.Artinya selalu mentaatinya menjadikan sebab akan dekatnya seseorang memasuki surga.
At-Taysiir Bi Syarh al-Jaami’ as-Shaghiir I/996
===============
«الجنة تحت أقدام الأمهات» ويعني: أن من بر أمه وقام بحقها دخل الجنة
“Surga itu dibawah telapak kaki ibu”. Artinya barangsiapa yang berbkti dan memenuhi hak-hak ibunya miscaya masuk surga.
Daliil al-Faalichiin I/245
==============
3642 (الجنة تحت أقدام الأمهات) يعني التواضع لهن وترضيهن سبب لدخول الجنة ....وقال العامري المراد أنه يكون في برها وخدمتها كالتراب تحت قدميها مقدما لها على هواه مؤثرا برها على بر كل عباد الله لتحملها شدائد حمله ورضاعه وتربيته وقال بعض الصوفية : هذا الحديث له ظاهر وباطن وحق وحقيقة لأن المصطفى صلى الله عليه وسلم أوتي جوامعالكلم فقوله الجنة إلخ ظاهره أن الأمهات يلتمس رضاهن المبلغ إلى الجنة بالتواضع لهن وإلقاء النفس تحت أقدامهن والتذلل لهن والحقيقة فيه أن أمهات المؤمنين هن معه عليه السلام أزواجه في أعلى درجة في الجنة والخلق كلهم تحت تلك الدرجة فانتهاء زوس الخلق في رفعة درجاتهم في الجنة وآخر مقام لهم في الرفعة أول مقام أقدام أمهات المؤمنين فحيث انتهى الخلق فهن ثم ابتداء درجاتهن فالجنة كلها تحت أقدامهن وهذا قاله لمن أراد الغزو معه وله أم تمنعه
“Surga itu dibawah telapak kaki ibu”. Artinya patuh dan ridhanya menjadi sebab masuknya seseorang didalam surgaAl-Aamiri berkata “maksudnya ukuran dalam berbakti dan khidmah pada para ibu bagaikan debu yang berada dibawah telapak kaiki mereka, mendahulukan kepentingan mereka atas kepentingan sendiri dan memilih berbakti pada mereka ketimbang berbakti pada setiap hamba-hamba Allah lainnya karena merekalah yang rela menanggung beban penderitaan kala mengandung, menyusui serta mendidik anak-anak mereka”.
Sebagian Ulama Tashawwuf menyatakan "Hadits ini memiliki arti secara dhahir, bathin, hak dan hakikat karena baginda nabi Muhammad SAW mampu menguasai segala kesempurnaan bahasaMaka arti “Surga itu dibawah telapak kaki ibu” arti dhahirnya adalah para ibu keridhaannya yang mampu menghantarkan kedalam surga harus diraih dengan berprilaku rendah diri, patuh bagaikan meletakkan diri kita dibawah telapak kakinya.
Arti hakikatnya bahwa para ibu-ibu orang mukmin kelak disurga berada ditempat tertinggi bersama dengan Nabi Muhammad SAW dan setiap makhluk berada dibawah derajat tersebut,Maka puncak derajat para makhluk disurga berada kedudukannya berada dibawah telapak kaki para ibu, dengan demikian semua derajat yang terdapat didalam surga yang kelak dihuni orang-orang mukmin kesemuanya berada dibawah telapak kaki para ibu sebab keluhuran derajat mereka dialam surga.
Faidh al-Qadiir III/477
===============
الجنة تحت أقدام الأمهات قال الطيبي قوله عند رجلها كناية عن غايةالخضوع ونهاية التذلل كما في قوله تعالى واخفض لهما جناح الذل من الرحمة الإسراء
“Surga itu dibawah telapak kaki ibu”.At-Thiiby berkata “Ungkapan Nabi ‘dibawah telapak kakinya’ adalah kata kiasan dari bersikap patuh dan taat padanya secara totalitas sebagaimana keterangan dalam firman Allah Ta’alaa :Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. 17:24)
Marqah al-Mafaatiih Syarh al-Misykaah XIV/224
Berbaktilah padanya, bila ia telah meninggal minimal doakan keduanya selepas shalat.....
{ أن اشكر لي ولوالديك إلي المصير } (3) . فالشكر لله على نعمة الإيمان ، وللوالدين على نعمة التربية . وقال سفيان بن عيينة : من صلى الصلوات الخمس فقد شكر الله تعالى ، ومن دعا لوالديه في أدبار الصلوات فقد شكرهما .وفي صحيح البخاري عن عبد الله بن مسعود قال : سألت النبي صلى الله عليه وسلم : أي الأعمال أحب إلى الله عز وجل ؟ قال : الصلاة على وقتها قال : ثم أي ؟ قال : بر الوالدين قال : ثم أي ؟ قال : الجهاد في سبيل الله (1) . فأخبر صلى الله عليه وسلم أن بر الوالدين أفضل الأعمال بعد الصلاة التي هي أعظم دعائم الإسلام . (2)
__________
(3) سورة لقمان / 14 .
(1) حديث ابن مسعود : " أي الأعمال أحب إلى الله . . . " أخرجه البخاري ( الفتح 10 / 400 ـ ط السلفية ) ومسلم ( 1 / 90 ـ ط الحلبي )
(2) الجامع لأحكام القرآن للقرطبي 10 / 237ـ 238 .
“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. 31:14)Dalam ayat diatas syukur pada Allah artinya mensyukuri atas kenikmatan iman, sedang syukur pada kedua orang tua artinya mensyukuri atas jerih payahnya merawat, mendidik dan mengasuh kita semenjak kecil.Tsufyan Bin ‘Uyainah berkata “Barangsiapa telah menjalani shalat lima waktu maka ia telah bersyukur kepada Allah, dan barangsiapa mendoakan kedua orangtuanya seusai shalat maka ia telah bersyukur pada keduanya”
Dalam shahih al-Bukhari diriwayatkan dari Ibn Mas’ud, ia berkata “Saya bertanya kepada Rasulullah, ‘Apakah amal yang paling dicintai oleh Allah ?’ , Beliau bersabda, ‘Sholat pada waktunya’, Saya bertanya, ‘Kemudian apa lagi ?’, Beliau bersabda, ‘Berbakti kepada kedua orang tua’, Saya bertanya lagi, ‘Kemudian apa lagi ?’, Beliau bersabda, ‘Berjihad (berjuang) di jalan Allah’. Kemudian Rasulullah mengkhabarkan bahwa berbakti kepada orang tua adalah amalan yang paling disukai oleh Allah setelah shalat yang merupakan paling agungnya tiang-tiang agama islam. “ (HR.Bukhari dan Muslim).
Al-Mausuuah al-Fiqhiyyah VIII/65
Wallaahu A'lamu Bis Showaab
Link Asal >>
http://
Terkait :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar