Soal: Assalamu’alaikum, mau Tanya, kentut adalah salah satu perkara yang membatalkan wudhu, namun kenapa saat kentut yang dibasuh bukan tempat keluarnya? Mohon dijelaskan..
(Pertanyaan dari: Ragiel Benagung)
Jawab: wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuh
Untuk menjawab pertanyaan diatas akan kami paparkan penjelasan dari Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi yang menjelaskan mengenai hikmah dibalik hukum tersebut, dalam kitab beliau, Hikmah At-tasyri’ wa Falsafatuh, berikut penjelasan beliau:
“Mungkin ada orang yang menanyakan, mengapa saat buang angina (kentut) yang merupakan salah satu sebab batalnya wudhu yang dibasuh bukan anggota badan tempat keluarnya angin yang menjadi sebab wudhu harus diulangi lagi dengan cara ini, sedangkan yang dibasuh adalah anggota-anggota badan yang lain yang tak ada kaitannya dengan sebab batalnya wudhu.
Maka kami katakan; sesungguhnya angina yang keluar dari tempat tersebut sama sekali tak berpengaruh secara dhohir, sehingga bisa kita bisa mengatakan bahwa bekasnya telah hilang ketika dibasuh. Selain itu bagian keluarnya angina tersebut tidak termasuk bagian-bagian yang biasa dilihat, sehingga perlu dibasuh, sebagaimana anggota-anggota tubuh yang dibasuh saat wudhu.
Hanya saja ketika angina tersebut keluar anggota badan terasa lemas disertai dengan adanya bau yang tidak sedap, maka anggota-anggota badan yang dibasuh ketika wudhu yang dibasuh dengan tujuan untuk menghilangkan kemalasan yang ditimbulkan keluarnya angina tersebut. Yang dibasuh bukan anggota tubuh tempat keluarnya angina tersebut sebab anggota tubuh tersebuh ketika dibasuh atau diusah tidak menjadikan pulihnya semangat dan hilangnya lemas yang dirasakan.
Hal diatas jika dilihat dari sudut pandang wudhu sebagai cara untuk menghilangkan kotoran yang nampak (najasah mahsusah) dan hal lain yang berkaitan hukumnya dengan itu.
Sedangkan dipandang dari segi hukum yang berkaitan dengan menghilangkan kotoran yang tidak nampak (najis maknawiyah); ketika angin tersebut keluar dari dalam tubuh, hal tersebut sama saja dengan keluarnya penyakit dari manusia jika tertahan didalam tubuh aakan sangat membahayakan manusia, jadi keluarnya angina tersebut merupakan obat dari penyakit tersebut. Dari sudut pandang inidisyariatkannya wudhu dengan cara ini merupakan wujud syukur kepada Allah ta’ala yang telah memberi kenikmatan berupa keluarnya angina tersebut.”
Wallahu a’lam.
(Dijawab oleh: Siroj Munir)
Referensi:
1. Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuh, juz 1 hal. 66-67
(Pertanyaan dari: Ragiel Benagung)
Jawab: wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuh
Untuk menjawab pertanyaan diatas akan kami paparkan penjelasan dari Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi yang menjelaskan mengenai hikmah dibalik hukum tersebut, dalam kitab beliau, Hikmah At-tasyri’ wa Falsafatuh, berikut penjelasan beliau:
“Mungkin ada orang yang menanyakan, mengapa saat buang angina (kentut) yang merupakan salah satu sebab batalnya wudhu yang dibasuh bukan anggota badan tempat keluarnya angin yang menjadi sebab wudhu harus diulangi lagi dengan cara ini, sedangkan yang dibasuh adalah anggota-anggota badan yang lain yang tak ada kaitannya dengan sebab batalnya wudhu.
Maka kami katakan; sesungguhnya angina yang keluar dari tempat tersebut sama sekali tak berpengaruh secara dhohir, sehingga bisa kita bisa mengatakan bahwa bekasnya telah hilang ketika dibasuh. Selain itu bagian keluarnya angina tersebut tidak termasuk bagian-bagian yang biasa dilihat, sehingga perlu dibasuh, sebagaimana anggota-anggota tubuh yang dibasuh saat wudhu.
Hanya saja ketika angina tersebut keluar anggota badan terasa lemas disertai dengan adanya bau yang tidak sedap, maka anggota-anggota badan yang dibasuh ketika wudhu yang dibasuh dengan tujuan untuk menghilangkan kemalasan yang ditimbulkan keluarnya angina tersebut. Yang dibasuh bukan anggota tubuh tempat keluarnya angina tersebut sebab anggota tubuh tersebuh ketika dibasuh atau diusah tidak menjadikan pulihnya semangat dan hilangnya lemas yang dirasakan.
Hal diatas jika dilihat dari sudut pandang wudhu sebagai cara untuk menghilangkan kotoran yang nampak (najasah mahsusah) dan hal lain yang berkaitan hukumnya dengan itu.
Sedangkan dipandang dari segi hukum yang berkaitan dengan menghilangkan kotoran yang tidak nampak (najis maknawiyah); ketika angin tersebut keluar dari dalam tubuh, hal tersebut sama saja dengan keluarnya penyakit dari manusia jika tertahan didalam tubuh aakan sangat membahayakan manusia, jadi keluarnya angina tersebut merupakan obat dari penyakit tersebut. Dari sudut pandang inidisyariatkannya wudhu dengan cara ini merupakan wujud syukur kepada Allah ta’ala yang telah memberi kenikmatan berupa keluarnya angina tersebut.”
Wallahu a’lam.
(Dijawab oleh: Siroj Munir)
Referensi:
1. Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuh, juz 1 hal. 66-67
ولرب قائل يقول : لماذا عند خروج الريح
الذي هو من نواقض الوضوء لا يغسل العضو الذي خرج منه مع أنه المحل المماس
للريح الذي كان السبب في إعادة الوضوء بهذه الكيفية وتغسل الأعضاء الأخرى
التي لا دخل لها في موضوع النقض. فنقول له : إن الريح الخارج من هذا الموضع
ليس له أدنى أثر في الظاهر حتى نقول أن الأثر قد زال بالغسل. وهو أيضا ليس
من المواضع التي يقع النظر عليها فيغسل كباقي أعضاء الوضوء المخصوصة. ولما
كان خروجه من الجسم يحدث فتورا في الأعضاء مع الرائحة الكريهة فيغسل هذه
الاعضاء يذهب الكسل الذي حصل. والعضو المخصوص ليس من الأعضاء التي بغسلها
أو مسحها يحصل النشاط ويذهب الفتور من الجسم.
هذه هي الحكمة من حيث فرض الوضوء لإزالة النجاسة المحسوسة وما في حكمها.
وأما الحكم المتعلقة بإزالة النجاسة
المعنوية. فهي إن الريح إذا خرج من الجوف كان بمثابة داء زال عن الإنسان
اذا حبسه في جوفه من أشد الاشياء ضررا وخطرا على الإنسان فخروجه شفاء منه.
والوضوء بعد ذلك بهذه الكيفية يكون بمثابة شكر لله تعالى الذي منّ عليه
بمنة الشفاء بخروجه.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar