Tatkala Si Bahlul Sadarkan Sang Khalifah
Istilah “bahlul”
rasanya cukup akrab di telinga kita. Kata tersebut biasa digunakan untuk
menyebut orang yang bodoh, tolol, atau sejenisnya. Sebetulnya, dari
mana asal kata itu? Bagaimana pula sejarahnya?
Dalam kitab
Uqalâul Majânîn (Orang-orang Gila yang Berakal) karya al-Hasan bin
Muhammad bin Habib al-Naisaburi, dikisahkan tentang seorang bernama
Bahlul, yang dikenal sebagai orang gila di zaman Abbasiyah saat khalifah
Harun al-Rasyid bertakhta.
Pada suatu hari lewat Harun al-Rasyid di hadapan Bahlul al-Majnun yang sedang duduk di dekat kuburan.
Harun al-Rasyid berkata kepadanya: “Wahai Bahlul, kapan kamu berakal?”
Sejurus kemudian, Bahlul beranjak dari tempatnya lalu naik ke atas
pohon. Setelah itu, dia memanggil Harun al-Rasyid dengan sekuat
suaranya.
“Wahai Harun yang gila, kapan engkau sadar?”
Harun al-Rasyid kemudian menghampiri pohon dengan menunggangi kudanya
seraya berkata: “Siapa yang gila, aku atau engkau yg selalu duduk di
kuburan?”
“Aku berakal dan engkau yang gila.”
“Bagaimana bisa begitu?”
“Karena aku tahu bahwa gedungmu akan hancur dan kuburan ini tetap
kekal. Makanya, aku memakmurkan kubur sebelum gedung. Sementara engkau
memakmurkan gedungmu dan menghancurkan kuburmu, sampai-sampai engkau
takut dipindahkan dari gedungmu ke kuburan. Padahal, engkau tahu bahwa
engkau pasti masuk kubur.”
“Sekarang katakan, wahai Harun, siapa yang gila di antara kita?”
Bergetarlah hati Harun. Lalu, ia pun menangis bercucuran hingga air
matanya membasahi jenggot. Kemudian ia berkata, “Demi Allah engkau yang
benar. Tambahkan nasihatmu untukku, wahai Bahlul.”
“Cukup bagimu al-Qur'an maka jadikanlah pedoman,” tegas Bahlul.
“Apa engkau memiliki permintaan, wahai Bahlul? Aku akan penuhi,” tanya sang khalifah.
Bahlul berkata, “Iya, aku punya tiga permintaan. Jika engkau penuhi aku akan berterima kasih padamu.”
“Mintalah,” jawab Harun al-Rasyid.
“Tambahkan umurku.”
“Aku tak mampu.”
“Jagalah aku dari malaikat maut.”
“Aku tak mampu.”
“Masukkan aku ke surga dan jauhkan aku dari api neraka.”
“Aku tak mampu.”
“Ketahuilah, wahai khalifah. Engkau itu dimiliki (seorang hamba), bukan pemilik (Tuhan). Aku tidak butuh kepadamu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar