40 Hadits Tentang Pemimpin dan Penjelasanya
Dalil boleh membatalkan sumpah jabatan, untuk mengerjakan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi umat:
Diriwayatkan oleh Muslim, 1650, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَأْتِهَا وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ
“Barangsiapa yang bersumpah, dan dia
melihat yang lainnya itu lebih baik darinya, maka pilihlah yang lebih
baik dan tebuslah sumpahnya.”
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam
hadits ini ada dalil bahwa barang siapa yang bersumpah melakukan sesuatu
amalan atau meninggalkannya.
Sementara melanggar itu lebih baik dari
pada mengulur-ulur sumpah. Maka dia dianjurkan untuk melanggarnya dan
diharuskan menebusnya (kaffarah) dan hal ini telah disepakati.”
Dalil yang lainnya:
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ
Abu Said (abdurrahman) bin samurah r.a. Berkata: rasulullah saw telah bersabda kepada saya :
Ya Abdurrahman bin Samurah, jangan
menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan
tanpa minta, kau akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya, tetapi
jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas
bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah
untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih
baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu. (Bukhari, Muslim)
40 Hadits lain Tentang Pemimpin dan Penjelasanya
Hadis ke 1
Kesejahteraan rakyat adalah Tanggung jawab seorang pemimpin
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Ibn umar r.a berkata : saya telah
mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan
akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala
negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.
Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang
isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal
tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga
yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari
hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya
(diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya. (buchary,
muslim)
Penjelasan:
Pada dasarnya, hadis di atas berbicara
tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam hadis ini dijelaskan bahwa
etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab. Semua orang
yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya,
sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab,
sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung
jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya,
seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan
bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati,
gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.
Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan
semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan
tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari
itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih berarti upaya
seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang
dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala dan
kata ra-‘in berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat,
memberi makan dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya.
Singkatnya, seorang penggembala bertanggung jawab untuk mensejahterakan
binatang gembalanya.
Tapi cerita gembala hanyalah sebuah
tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan binatang, sehingga menggembala
manusia tidak sama dengan menggembala binatang. Anugerah akal budi yang
diberikan allah kepada manusia merupakan kelebihan tersendiri bagi
manusia untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus mengantungkan
hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya, pertama-tama yang
disampaikan oleh hadis di atas adalah bahwa setiap manusia adalah
pemimpin yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau
denga kata lain, seseorang mesti bertanggung jawab untuk mencari makan
atau menghidupi dirinya sendiri, tanpa mengantungkan hidupnya kepada
orang lain
Dengan demikian, karena hakekat
kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud tanggung jawab adalah
kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar memberi makan
anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan
pendidikannya tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna
tanggung jawab yang sebenarnya. Demikian pula bila seorang majikan
memberikan gaji prt (pekerja rumah tangga) di bawah standar ump (upah
minimu provinsi), maka majikan tersebut belum bisa dikatakan bertanggung
jawab. Begitu pula bila seorang pemimpin, katakanlah presiden, dalam
memimpin negerinya hanya sebatas menjadi “pemerintah” saja, namun tidak
ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari jurang kemiskinan
menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa dikatakan telah
bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang presiden harus
diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan
kaum miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekat.
Oleh sebab itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari standar
kesejahteraan, maka tanggung jawab pemimpinnya masih perlu
dipertanyakan.
Hadis ke 2
Hukuman bagi pemimpin yang menipu rakyat
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ لِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Abu ja’la (ma’qil) bin jasar r.a berkata:
saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: tiada seorang yang
diamanati oleh allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih
menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkan baginya surga.
(buchary, muslim)
Penjelasan:
Kejujuran adalah modal yang paling
mendasar dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran, kepemimpinan ibarat
bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah namun di dalamnya rapuh
dan tak bisa bertahan lama. Begitu pula dengan kepemimpinan, bila tidak
didasarkan atas kejujuran orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka
jangan harap kepemimpinan itu akan berjalan dengan baik. Namun kejujuran
di sini tidak bisa hanya mengandalakan pada satu orang saja, kepada
pemimpin saja misalkan. Akan tetapi semua komponen yang terlibat di
dalamnya, baik itu pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga
struktur yang paling bawah dalam kepemimpnan ini, semisal tukang
sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Hal itu karena
tidak sedikit dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah organisasi,
terdapat pihak yang jujur namun juga terdapat pihak yang tidak jujur.
Bila pemimpinnya jujur namun staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan
itu juga akan rapuh. Begitu pula sebaliknya.
Namun secara garis besar, yang sangat
ditekankan dalam hadis ini adalah seorang pemimpin harus memberikan suri
tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang dipimpinnya. Suri tauladan
ini tentunya harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau
keputusan-keputusan pemimpin yang tidak menipu dan melukai hati
rakyatnya. Pemimpin yang menipu dan melukai hati rakyat, dalam hadis ini
disebutkan, diharamkan oleh allah untuk mengninjakkan kaki si sorga.
Meski hukuman ini nampak kurang kejam, karena hanya hukuman di akhirat
dan tidak menyertakan hukuman di dunia, namun sebenarnya hukuman “haram
masuk sorga” ini mencerminkan betapa murkanya allah terhadap pemimpin
yang tidak jujur dan suka menipu rakayat.
Hadis ke 3
Pemimpin dilarang bersikap birokratis
حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ أَسْأَلُهَا عَنْ شَيْءٍ فَقَالَتْ مِمَّنْ أَنْتَ فَقُلْتُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ مِصْرَ فَقَالَتْ كَيْفَ كَانَ صَاحِبُكُمْ لَكُمْ فِي غَزَاتِكُمْ هَذِهِ فَقَالَ مَا نَقَمْنَا مِنْهُ شَيْئًا إِنْ كَانَ لَيَمُوتُ لِلرَّجُلِ مِنَّا الْبَعِيرُ فَيُعْطِيهِ الْبَعِيرَ وَالْعَبْدُ فَيُعْطِيهِ الْعَبْدَ وَيَحْتَاجُ إِلَى النَّفَقَةِ فَيُعْطِيهِ النَّفَقَةَ فَقَالَتْ أَمَا إِنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي الَّذِي فَعَلَ فِي مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَخِي أَنْ أُخْبِرَكَ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي بَيْتِي هَذَا اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ حَرْمَلَةَ الْمِصْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
‘Aisjah r.a berkata : saya telah
mendengar rasulullah saw bersabda di rumahku ini : ya allah siapa yang
menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersukar pada mereka, maka
persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah
lembut pada mereka, maka permudahlah baginya. (hr. Muslim)
Penjelasan:
Hadis ini menerangkan tentang larangan
seorang pemimpin untuk bersikap arogan, elitis, represif dan birokratis
atau mempersulit urusan-urusan rakyatnya. Karena sebagaimana kita
ketahui, tidak sedikit pemimpin yang bersikap arogan dan mempersulit
urusan-urusan rakyatnya. Untuk mengurusi dokumen-dokumen kewarganegaraan
saja misalkan, seperti ktp, akta kelahiran, perijinan usaha, dsb,
seorang rakyat harus melalui tahapan-tahapan yang cukup rumit dan
memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Padahal, seorang pemimpin, menurut hadis
ini, harus memberikan pelayanan yang maksimal serta tidak menyulitkan
warga atau rakyat. Bila semua urusan itu bisa dipermudah kenapa harus
dipersulit. Akibatnya, birokrasi yang sejatinya bertujuan untuk
mempermudah, berbalik menjadi mempersulit segala urusan rakyat. Oleh
sebab itu, bila sorang pemimpin suka mempersulit urusan rakyatnya, maka
niscaya allah akan mempersulit segala urusan dia baik di dunia
lebih-lebih di akhirat nanti.
Hadis ke 4
Kontrak politik sebagai mekanisme kontrol terhadap pemimpin
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Abu hurairah r.a berkata : rasulullah saw
bersabda : dahulu bani israil selalu dipimpin oleh nabi, tiap mati
seorang nabi seorang nabi digantikan oleh nabi lainnya, dan sesudah aku
ini tidak ada nabi, dan akan terangkat sepeninggalku beberapa khalifah.
Bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: ya rasulullah apakah
pesanmu kepada kami? Jawab nabi: tepatilah baiatmu (kontrak politik)
pada yang pertama, dan berikan kepada mereka haknya, dan mohonlah kepada
allah bagimu, maka allah akan menanya mereka dari hal apa yang
diamanatkan dalam memelihara hambanya.
Penjelasan:
Pada umumnya, kata bai’at diartikan
sebagai janji. Namun sebenarnya, kata bai’at berasal dari suku kata
bahasa arab ba-ya-‘a yang bermakna transaksi. Bila transaksi ini
konteksnya adalah ekonomi maka ia berarti jual beli yang kemudian
dikenal dengan kata kerja bu yu’ yang berarti terjadinya transaksi
antara penjual dan pembeli. Akan tetapi bila konteks kata tersebut
adalah politik, maka yang dimaksud transaksi di sini adalah sebuah
perjanjian antar rakyat dan pemimpin. Karena itu, tak heran bila rasul
s.a.w senantiasa menekankan pentingnya bai’at dalam sebuah kepemimpinan,
dengan bai’at seorang pemimpin telah melakukan transaksi politik yang
menuntut pemenuhan atas point-poin yang menjadi ksepakatan dalam
transaksi mereka (pemimpin dan rakyat).
Akan tetapi, dalam konteks belakangan
ini, kata bai’at mengalami reduksi makna hanya sekedar sumpah jabatan
yang biasanya bersifat pasif dan tidak memberikan ruang tawar menawar
politik antara rakyat dan pemimpin. Bila kita melihat praktik sumpah
jabatan di indonesia misalkan, sumpah jabatan presiden hanya dibacakan
secara sepihak antara mpr dan presiden namun tidak menyisakan ruang
negoisasi antara rakyat dan prsiden. Padahal, rakyat sebagai pihak yang
dipimpin seharusnya berhak membuat kesepakatan-kesepakatan politik
tertentu dengan presiden yang bila kesepakatan itu dilanggar maka
jabatan presidien dengan sendirinya akan gugur. Oleh sebab itu, agar
sumpah jabatan ini tidak sekedar menjadi ritual dalam setiap pemilihan
presiden atau pemimpin namun tidak memiliki dampak yang berarti dalam
proses kepemimpinannnya, maka kemudian kita mengenal apa yang dalam
istilah politik disebut sebagai “kontrak politik”.
Kontrak politik di sini mengandung
pengertian sebuah ruang dimana antara pemimpin dan rakyat melakukan
“transaksi” dan membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu yang memilki
resiko-resiko bila kedua belah pihak melanggarnya. Kontrak politik,
dalam hal ini tidak berbeda dengan ba’at dalam istilah islam. Hanya
saja, kontrak politik terjadi antara rakyat dan pemimpin secara setara
dan diketahui secara publik, tetapi bai’at dilakukan oleh rakyat,
pemimpin dan di atas keduanya ada tuhan sebagai saksi. Oleh sebab itu,
bila kita memaknai hadis di atas secara dalam dan kontekstual, maka kita
dapat menangkap pesan bahwa rasul s.a.w menekankan betapa pentingnya
sebuah kontrak politik dalam sebuah sistem kepemimpinan yang islami.
Hadis ke 5Pemimpin dilarang bersikap otoriter
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ أَنَّ عَائِذَ بْنَ عَمْرٍو وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ زِيَادٍ فَقَالَ أَيْ بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ فَقَالَ لَهُ اجْلِسْ فَإِنَّمَا أَنْتَ مِنْ نُخَالَةِ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَهَلْ كَانَتْ لَهُمْ نُخَالَةٌ إِنَّمَا كَانَتْ النُّخَالَةُ بَعْدَهُمْ وَفِي غَيْرِهِمْ
‘Aidz bin amru r.a, ketika ia masuk
kepada ubaidillah bin zijad berkata: hai anakku saya telah mendengar
rasulullah saw bersabda: sesungguhnya sejahat-jahat pemerintah yaitu
yang kejam (otoriter), maka janganlah kau tergolong daripada mereka.
(HR. Buchary, Muslim)
Penjelasan: -
Hadis ke 6
Pemimpin sebagai pelayan rakyat
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُخَيْمِرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا مَرْيَمَ الْأَزْدِيَّ أَخْبَرَهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ مَا أَنْعَمَنَا بِكَ أَبَا فُلَانٍ وَهِيَ كَلِمَةٌ تَقُولُهَا الْعَرَبُ فَقُلْتُ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ أُخْبِرُكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ قَالَ فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى حَوَائِجِ النَّاسِ
Abu maryam al’ azdy r.a berkata kepada
muawiyah: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: siapa yang
diserahi oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemdian ia
sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka allah akan menolak hajat
kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah
mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang
(rakyat). (abu dawud, attirmidzy)
Penjelasan:
Pemimpin sebagai pelayan dan rakyat
sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak disampaikan oleh hadis di
atas. Meski tidak secara terang-terangan hadis di atas menyebutkan
rakyat sebagai tuan dan pemimpin sebagai pelayan, namun setidaknya hadis
ini hendak menegaskan bahwa islam memandang seorang pemimpin tidak
lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah
melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak
beda dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas melayani
kebutuhan-kebutuhan majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan,
harus bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian
juga seorang pelayan kepentingan rakyat harus bertanggung jawab untuk
melayani seluruh kepentingan rakyatnya.
Dalam konteks indoensia, sosok “pelayan”
yang bertugas untuk memenuhi kepentingan “tuan” rakyat ini adalah
presiden, menteri, dpr, mpr, ma, bupati, walikota, gubernur, kepala
desa, dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah
orang-orang yang kita beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk
mengurus segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena
itu, bila mereka tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat,
maka kita sebagai “tuan” berhak untuk “memecat” mereka dari jabatannya.
Hads ke 7Pemimpin harus bersikap adil
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَّامٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِي خَلَاءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ
Abu hurairah r.a: berkata: bersabda nabi
saw: ada tujuh macam orang yang bakal bernaung di bawah naungan allah,
pada hati tiada naungan kecuali naungan allah:
Imam(pemimpin) yang adil, dan pemuda yang
rajin ibadah kepada allah. Dan orang yang hatinya selalu gandrung
kepada masjid. Dan dua orang yang saling kasih sayang karena allah, baik
waktu berkumpul atau berpisah. Dan orang laki yang diajak berzina oleh
wanita bangsawan nan cantik, maka menolak dengan kata: saya takut kepada
allah. Dan orang yang sedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan
kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan
orang berdzikir ingat pada allah sendirian hingga mencucurkan air
matanya. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Meski hadis ini menjelaskan tentang tujuh
macam karakter orang yang dijamin keselamatannya oleh allah nanti pada
hari kiamat, namun yang sangat ditekankan oleh hadis ini adalah karakter
orang yang pertama, yaitu pemimpin yang adil. Bukannya kita
menyepelekan enam karakter sesudahnya, akan tetapi karakter pemimpin
yang adil memang menjadi tonggak bagi kemaslahatan seluruh umat manusia.
Tanpa pemimpin yang adil maka kehidupan ini akan terjebak ke dalam
jurang penderitaan yang cukup dalam.
Untuk melihat sejauh mana seorang
peimimpin itu telah berlaku adil terhadap rakyatnya adalah melalui
keputusan-keputuasan dan kebijakan yang dikeluarkannya. Bila seorang
pemimpin menerapkan hukum secara sama dan setara kepada semua warganya
yang berbuat salah atau melanggar hukum, tanpa tebang pilih, maka
pemimpin itu bisa dikatakan telah berbuat adil. Namun sebaliknya, bila
pemimpin itu hanya menghukum sebagian orang (rakyat kecil) tapi
melindungi sebagian yang lain (elit/konglomerat), padahal mereka
sama-ama melanggar hukum, maka pemimpin itu telah berbuat dzalim dan
jauh dari perilaku yang adil.
Hadis ke 8
Jaminan bagi pemimpin yang adil
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو بَكْرٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Abdullah bin ‘amru bin al ‘ash r.a
berkata: rasulullah saw bersabda: sesungguhnya orang-orang yang berlaku
adil, kelak disisi allah ditempatkan diatas mimbar dari cahaya, ialah
mereka yang adil dalam hokum terhadap keluarga dan apa saja yang
diserahkan (dikuasakan) kepada mereka. (muslim)
Penjelasan:
Bila hadis sebelumnya berbicara tentang
“garansi” allah atas pemimpin yang berbuat adil, maka hadis ini lebih
mengulas tentang “imbalan” bagi seorang pemimpin yang adil. Dalam hadis
ini disebutkan bahwa imbalan bagi pemimpin yang adil adalah kelak di
sisi allah akan ditempatkan di atas mimbar dari cahaya. Secara harfiyah,
mimbar berarti sebuah tempat khusus untuk orang-orang yang hendak
berdakwah atau berceramah di hadapan umum. Karenanya, mimbar jum’at
biasanya mengacu pada sebuah tempat khusus yang disediakan masjid untuk
kepentingan khotib. Sementara cahaya adalah sebuah sinar yang menerangi
sebuah kehidupan. Kata cahaya biasanya mengacu pada matahari sebagai
penerang bumi, lampu sebagai penerang dari kegelapan, dsb. Oleh sebab
itu, kata mimbar dari cahaya di dalam hadis di atas tentu tidak serta
merta dimaknai secara harfiyah seperti mimbar yang dipenuhi hiasan
lampu-lampu yang bersinar terang, melainkan mimbar cahaya adalah sebuah
metafor yang menggambarkan sebuah posisi yang sangat terhormat di mata
allah. Posisi itu mencrminkan sebuah ketinggian status setinggi cahaya
matahari.
Hadis ke 9
Sorga bagi pemimpin yang adil
حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارِ بْنِ عُثْمَانَ وَاللَّفْظُ لِأَبِي غَسَّانَ وَابْنِ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّيرِ عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ الْمُجَاشِعِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ َأَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ
Ijadl bin himar r.a berkata: saya telah
mendengar rasulullah saw bersabda: orang-orang ahli surga ada tiga
macam: raja yang adil, mendapat taufiq hidayat ( dari allah). Dan orang
belas kasih lunak hati pada sanak kerabat dan orang muslim. Dan orang
miskin berkeluarga yang tetap menjaga kesopanan dan kehormatan diri.
(muslim).
Penjelaan:
Bila yang pertama tadi allah akan
menjamin pemimpin yang berbuat adil dengan jaminan naungan rahmat dari
allah, dan hadis selanjutnya menjamin dengan jaminan mimbar yang terbuat
dari cahaya, maka jaminan yang ke tiga ini adalah jaminan sorga. Ketiga
jaminan di atas tentunya bukan sekedar jaminan biasa, melainkan semua
jaminan itu menunjukkan betapa islam sangat menekankan pentingnya sikap
keadilan bagi seorang peimimpin. Rasul s.a.w tidak mungkin memberikan
jaminan begitu tinggi kepada seseorang kecuali seseorang itu benar-benar
dituntut untuk melakukan hal yang sangat ditekankan dalam islam. Dan
keadilan adalah perkara penting yang sangat ditekankan dalam islam. Oleh
karena itu, siapa yang menjunjung tinggi keadilan, niscaya orang
tersebut akan mendapat jaminan yang tinggi dari islam (allah), baik di
dunia, maupun di akhirat.
Hadis ke 10
Batas-batas kepatuhan rakyat terhadap pemimpin
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw :
seorang muslim wajib mendengar dan ta’at pada pemerintahannya, dalam
apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah
ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan
tidak wajib ta’at.
Penjelasan:
Hadis di atas menunjukkan kepada kita
bahwa kepatuhan seorang rakyat terhadap pemimpin tidaklah mutlak. Ada
batasan-batasan tertentu dimana seorang rakyat wajib ta’at dan patuh dan
ada pula saat dimana rakyat tidak perlu patuh, bahkan boleh berontak
atau melawan. Dalam hadis di atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap
pemimpin itu adalah selama pimimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk
berbuat ma’siyat. Lantas pertanyaanya, apa yang dimaksud engan ma’siyat
itu?
Secara bahasa ma’siyat adalah berarti
durhaka atau tidak ta’at kepada allah. Namun secara istilahi, makna
ma’siyat cukup beragam. Karenanya, adalah salah kaprah bila kita
membatasi makna ma’siyat hanya pada perkara-perkara semacam pornografi
dan pornoaksi, seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang
mengatasnamakan islam dalam melakukan pengrusakan tempat hiburan dengan
dalih menghapus kema’siyatan.
Padahal kem’siyatan bukan hanya berada di
tempat hiburan malam, akan tetapi di kantor-kantor pemerintah justru
lebih banyak kema’siyatan dalam bentuknya yang samar namun cukup
memprihatinkan. Lihatlah misalnya di kantor-kantor departemen, di
ruang-ruang sidang para wakil rakyat, bahkan di masjid sekalipun, kita
bisa menjumpai kema’siyatan. Namun yang dimaksud kema’siyatan di sini
tentunya bukan penari telanjang atau orang yang sedang mabuk-mabukan,
melainkan tindakan-tindakan yang mendurhakai allah yang dipertontonkan
oleh para pemimpin kita, wakil rakyat kita dan bahkan ulama-ulama kita.
Bukankah korupsi, kolusi dan semua hal yang mengarah pada ketidak
jujuran dalam memimpin negeri ini serta mengeluarkan kebijakan yang
tidak berpihak pada rakyat kecil juga termasuk ma’siyat. Bukan hanya
itu, seorang ulama yang pandai berkhutbah namun dia menjadi jurkam dari
pemimpin yang korup juga telah masuk dalam kategori berbuat ma’siyat.
Bahkan tindakan yang tidak melindungi anak-anak terlantar, janda-janda
tua dan kaum miskin papa juga termasuk ma’siyat karena semua itu
merupakan perintah allah, dan bagi siapa yang tidak melaksanakan
perintah allah maka dia telah mendurhakai allah, dan orang yang durhaka
berarti berbuat ma’siyat kepada allah.
Dengan demikian, kema’siyatan yang tidak
perlu dipatuhi seorang rakayat terhadap pemimpinnya adalah kema’siyatan
dengan pengertiannya yang cukup luas (mendurhakai allah) bukan saja
kema’siyatan yang berarti sempit (seperti pornoaksi dan pornografi).
Oleh sebab itu, dari hadis di atas bisa kita simpulkan bahwa apabila
pemimpin kita sudah tidak lagi memegang prinsip-prinsip kejujuran serta
tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat kecil, maka batasan
kepatuhan terhadap pemimpin tersebut sudah gugur dengan sendirinya,
karena pemimpin itu sendiri sudah termasuk kema’siyatan yang perlu untuk
di hapuskan di muka bumi ini.
Hadis ke 11
Kepemimpinan tidak mengenal warna kulit
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
Anas r.a berkata : bersabda rasulullah
saw: dengarlah dan ta’atlah meskipun yang terangkat dalam pemerintahanmu
seorang budak habasyah yang kepalanya bagaikan kismis. (buchary)
Penjelasan:
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin.
Begitu pula nabi muhammad s.a.w diutus sebagai nabi bukan hanya untuk
orang arab saja, melainkan untuk semua umat manusia. Karena itu, para
pengikut nabi bukan saja dari kalangan suku quraisy yang menjadi suku
bergengsi saat itu, melainkan juga dari suku-suku lainnya yang sebelum
datang islam termasuk suku “hina”. Bahkan kita mengenal salah seorang
sahabat nabi yang bernama bilal bin rabah yang warna kulitnya cukup
hitam legam. Padahal, sebelum datangnya ajaran islam di arab dulu, orang
kulit hitam adalah termasuk kelompok suku yang sebagian besar
berprofesi sebagai budak. Mereka sama sekali tidak dihargai dan tidak
diperlakukan sebagaimana manusia yang lain. Akan tetapi setelah turun
ajaran islam, semua batasan-batasan ras, warna kulit, dan golongan itu
dihapus, dan semua manusia adalah sama statsunya di muka allah, hanya
keimanan dan ketaqwaanlah yang membedakan mereka.
Pengakuan islam terhadap dimensi
kemanusian universal bukan hanya dalam pergaulan sosial sehari-hari,
melainkan islam juga mengakui semua orang berhak menjadi pemimpin. Tidak
peduli mereka itu berkulit hitam, coklat, merah, hijau, dsb, asalkan
bisa memimpin secara adil, maka dia berhak untuk menjadi pemimpin. Dalam
konteks ini, keadilan dan kejujuran menjadi kriteria paling pokok dalam
menentukan seorang pemimpin, bukan warna kulit atau asal golongan. Dan
apabila yang terpilih sebagai pemimpin adalah dari kalangan kulit hitam,
islam juga mewajibkan kita agar tidak boleh meremehkan pemimpin itu.
Akan tetapi kita juga harus mematuhi semua perintahnya (selama tidak
untuk ma’siyat) sebagaimana kita mematuhi perintah pemimpin-pemimpin
yang lain.
Hadis ke 12
Keseimbangan hak rakyat dan tanggung jawab pemimpin
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ وَقَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَقَالَ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
Abu hunaidah (wa’il) bin hadjur r.a.
Berkata : salamah bin jazid aldju’fy bertanya kepada rasulullah saw : ya
rasulullah, bagaimana jika terangkat diatas kami kepala-kepala yang
hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka bagaimanakah kau
menyuruh kami berbuat? Pada mulanya rasulullah mengabaikan pertanyaan
itu, hingga ditanya kedua kalinya, maka rasulullah saw bersabda :
dengarlah dan ta’atlah maka sungguh bagi masing-masing kewajiban
sendiri-sendiri atas mereka ada tanggung jawab dan atas kamu tanggung
jawabmu. (muslim)
Penjelasan:
Rakyat memiliki hak dan pemimpin memiliki
tanggung jaab. Begitu pula sebaliknya, rakyat memiliki tanggung jawab
dan pemimpin juga memiliki hak. Antara keduanya harus ada keseimbangan
dan kesetaraan. Yang satu tidak boleh mendominasi yang lain. Akan tetapi
kekuasaan sepenuhnya adalah tetap berada di tangan rakyat. Karena
hakekat kepemimpinan hanyalah amanat yang harus diemban oleh seorang
pemimpin. Bila sang pemimpin tidak bisa menjaga amanat itu dengan baik,
maka kekuasaan kembali berada di tangan rakyat.
Oleh sebab itu, mengingat kesetaraan
poisi rakyat dan pemimpin ini, maka masing-masing memilki hak dan
tanggung jawabnya. Hadis di atas menjelaskan bahwa seorang pemimpin
jangan hanya bisa memenuhi haknya, dan mengebiri hak rakyatnya, akan
tetapi seorang pemimpin harus mengakui dan menjamin hak-hak rakyatnya
secara bebas.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang
ini, mungkin kita sudah mengenal konsep hak azazi manusia (ham). Oleh
sebab itu, bila kita tarik hadis di atas dalam kontek saat ini, maka
sebanarnya nabi muhammad s.a.w jauh sebelumnya sudah mengajarkan
prinsip-prinsip ham dalam kehidupan politik rakyatnya. Betapa tidak,
dari hadis di atas dapat kita gali sebuah pesan bahwa islam menjamin ham
termasuk di dalamnya hak-hak sipil dan politik (isipol) dan hak-hak
ekonomi sosial dan budaya (ekosob). Karena itu, bila seorang peimimpin
tidak menjamin hak-hak azasi manusia (ham) warganya, maka pemimpin itu
telah keluar dari sunnah rasul s.a.w.
Hadis ke 13
Allah membenci pemimpin yang mengejar jabatan
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ
Abu said (abdurrahman) bin samurah r.a.
Berkata: rasulullah saw telah bersabda kepada saya : ya abdurrahman bin
samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau
diserahi jabatan tanpa minta, kau akan dibantu oleh allah untuk
melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka
akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan
apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau
lakukan lainnya akan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan
apa yang lebih baik itu. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Dalam hadis lain rasul s.a.w juga pernah
bersabda: “barang siapa telah menyerahkan sebuah jabatan atau amanat
kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”.
Kedua hadis di atas sebenarnya mengajarkan kepada kita bahwa amanat itu
tidak perlu dicari dan jabatan itu tidak perlu dikejar. Karena bila kita
mencari dan mengejar amanat dan jabatan itu, maka niscaya allah tidak
akan memabntu kita. Akan tetapi bila kita tidak menuntut dan tidak
mencari amanat itu, maka justru allah akan membantu untuk meringankan
beban amanat itu sendiri.
Hadis di atas sebenarnya mengajarkan
tentang etika politik. Seoarang politisi tidak serta-merta bebas dari
etika, sebagaimana ditunjukkan oleh para politisi kita selama ini.
Melainkan seorang politisi dan kehidupan politik itu sendiri harus
berdasarkan sebuah kode etik. Bila kehidupan politik tidak berasarkan
etika, maka kesan yang muncul kemudian bahwa politik itu kotor. Padahal,
tidak selamanya politik itu kotor, nabi muhammad s.a.w sendiri pernah
menjadi seorang politisi, tapi tidak pernah bermain kotor.
Bila kita mencermati hadis di atas, maka
akan kita temukan bahwa citra “ke-kotoran” dari politik itu sebenarnya
bersumber dari sikap para pelakuknya yang ambisius. Dalam hal ini,
ambisi menjadi salah satu faktor uatama dalam membentuk sikap dan
pandangan politik eseorang sehingga menjadi kotor. Betapa tidak, dari
ambisi itu, seseorang bisa saja membunuh orang lain yang menjadi pesaing
politiknya. Dan dari ambisi itu pula seseorang bisa melakukan apa aja
untuk meraih jabatan politik yang diinginkannya, baik melalui korupsi,
penipuan, pembunuhan, ke dukun, dsb. Oleh sebab itu, “menjaga ambsi”
adalah sebuah etika politik yang diajarkan islam kepada umatnya,
terutama bagi mereka yang berkiprah di dunia politik.
Hadis ke 14
Amanat di balik jabatan
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ الْأَكْبَرِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Abu dzar berkata : ya rasulallah tidakkah
kau memberi jabatan apa-apa kepadaku? Maka rasulullah memukul bahuku
sambil berkata : hai abu dzar kau seorang yang lemah, dan jabatan itu
sebagai amanat yang pada hari qiyamat hanya akan menjadi kemenyesalan
dan kehinaan. Kecuali orang yang yang dapat menunaikan hak dan
kewajibannya, dan memenuhi tanggung jawabnya.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي أَبِي شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ الْحَارِثِ بْنِ يَزِيدَ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ ابْنِ حُجَيْرَةَ الْأَكْبَرِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Abu hurairah r.a. Berkata : rasulullah
saw bersabda : kamu akan berebut pemerintahan, dan akan menjadi
kemenyasalan pada hari qiyamat. (buchary)
Penjelasan:
Hadis ini tidak jauh berbeda dengan hadis
sebelumnya di atas. Bila hadis sebelumnya melarang kita agar tidak
berambisi untuk meraih jabatan, maka hadis ini lebih menekankan betapa
beratnya amanat dalam sebuah jabatan. Dan saking beratnya hingga rasul
s.a.w mengatakan bahwa kelak di hari qiamat kita merasakan penyesalan
yang begitu dahsyat karena kita telah bersedia mengemban amanat itu.
Janganlah kita mengira bahwa menjadi seorang peimimpin dengan sendirinya
akan bergelimang harta dan kehormatan. Padahal, harta dan kehormatan
itu justru menjadi batu sandungan yang bisa mengakibatkan seseorang
terjerumus ke dalam jurang kenistaan.
Lihatlah misalnya, seorang presiden
dengan tanggung jawab yang begitu besar untuk mensejahterakan rakyatnya,
atau seorang suami yang begitu besar tanggung jawabnya untuk menafkahi
istrinya, atau seorang bapak yang memikul amanat untuk mebesarkan
anak-anaknya. Semua itu merupakan amanat yang harus dijaga dan
dilaksanakan sebaik-baiknya. Apabila kita tidak bisa berbuat adil dan
tidak mampu mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi pihak yang kita
pimpin, maka janganlah sekali-kali kita mencoba-coba untuk mengemban
amanat tersebut. Apabila seorang presiden tidak mampu mengemban amanat
untuk membawa kehidupan bangsanya dari keterpurukan menuju kesejahteraan
dan keadilan, maka janganlah kita kembali memilih presiden atau
pemimpin itu untuk kedua kalinya. Karena itu, amanat adalah ringan
dikatakan namun berat untuk dilaksanakan. Barang siapa hanya bisa
mengatakan namun tidak bisa melaksanakan, maka ia tidak layak untuk
dijadikan pemimpin.
Hadis ke 15
Pemimpin dilarang mengeksploitasi rakyat kecil
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ كِلَاهُمَا عَنْ الْمُقْرِئِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ الْقُرَشِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي سَالِمٍ الْجَيْشَانِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
Abu dzar r.a. Berkata : rasulullah saw
abersabda : ya abu dzar saya melihat kau seorang yag lemah, dan saya
suka bagi dirimu apa yang saya suka bagi diriku sendiri, jangan menjadi
pemimpin walau terhadap dua orang, dan jangan menguasai harta anak
yatim. (muslim)
Penjelasan:
Hadis ini menerangkan kepada kita bahwa
jabatan sebagai pemimpin itu sangat berat, hingga rasul.s.a.w
menganjurkan salah seorang sahabat untuk, kalau bisa, tidak menjadi
pemimpin walau hanya terhadap dua orang. Akan tetapi pesan yang paling
menonjol dari hadis di atas adalah bahwa godaan terberat bagi seorang
peimimpin adalah menguasai harta anak yatim. Tentunya, anak yatim di
sini adalah salah satu contoh yang merepresentaskan sebuah kelompok
masyarakat yang paling lemah. Di luar anak yatim, kita juga bisa
menyaksikan orang-orang lemah yang lain, seperti, janda tua, anak-anak
terlantar, pengemis, buruh, petani gurem, pengangguran, dsb, yang semua
itu menjadi tanggung jawab pemimpin untuk melindunginya, bukan untuk
menguasainya. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana kita menguasai harta
mereka, la wong mereka aja tidak punya harta?
Yang dimaksud menguasai harta mereka ini
bukan berarti kita mengambil alih harta kekayaan mereka, melainkan
tindakan mengeksploitasi keberadaan mereka untuk kemudian dijual
sehingga menghasilkan uang juga termasuk menguasai harta mereka. Selain
itu, kebijakan yang tidak berpihak terhadap kaum miskin dan anak yatim
ini juga termasuk dalam menguasai harta mereka. Bukankah di dalam harta
kita terdapat sebagian harta mereka? Sehingga kita wajib menyisihkan
sebagian harta kita untuk kepentingan mereka. Oleh sebab itu, bila kita
maknai hadis di atas secara global, maka pesan pokok yang hendak
disampaikan adalah, bahwa islam sangat melarang seorang pemimpin
mengeksploitasi rakyat kecil, bahkan islam mendorong pemimpin untuk
melindungi mereka, karena mereka merupakan bagian dari tanggung jawab
pemimpin.
Hadis ke 16
Mewaspadai para pembisik pemimpin
حَدَّثَنَا أَصْبَغُ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا بَعَثَ اللَّهُ مِنْ نَبِيٍّ وَلَا اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيفَةٍ إِلَّا كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ فَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَ
Abu si’id dan abu hurairah r.a. Berkata :
rasulullah saw bersabda : allah tiada mengutus seorang nabi atau
mengangkat seorang khalifah, melainkan ada dua orang kepercayaan
pribadi, seseorang yang menganjurkan kebaikan, dan seorang yang
menganjurkan kejahatan. Sedang orang yang selamat ialah yang dipelihara
oleh allah. (buchary)
Penjelasan:
Setiap pemimpin tentunya memilki asisten
pribadi. Asisten ini biasanya menjadi kepercayaan seorang pemimpin dalam
melakukan banyak hal yang berkaitan dengan kebutuhan pemimpin. Akan
tetapi, seorang pemimpin juga harus waspada terhadap orang-orang
kepercayaannya. Karena rasul s.a.w telah mengingatkan di antara
orang-orang kepercayaan pemimpin tersebut tentu ada yang jujur dan ada
yang tidak jujur. Seorang kepercayaan pemimpin yang jujur pasti akan
memberikan informasi yang benar terhadap pemimpinnya, tetapi seorang
kepercayaan yang tidak jujur tentu akan memberikan informasi yang tidak
benar kepada pemimpinnya. Orang yang terakhir ini lah biasanya yang
selalu menghasut dan membisikkan informasi-informasi yang justru bukan
memperkuat kepemimpinannya, melainkan akan menurunkan integritas
kepemimpinannya. Karena itu, islam sangat menganjurkan agar kita aspada
terhadap orang-orang yang pekerjaannya hanya membisikkan
informasi-informasi salah sehingga pemimpin terdorong untuk megeluarkan
kebijakan yang merugikan kepentingan rakyat banyak.
Hadis ke 17
Pemimpin perlu “pembantu” yang jujur
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَامِرٍ الْمُرِّيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهِ غَيْرَ ذَلِكَ جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ إِنْ نَسِيَ لَمْ يُذَكِّرْهُ وَإِنْ ذَكَرَ لَمْ يُعِنْهُ
‘Aisyah r.a. Berkata : rasulullah saw
bersabda : jika allah menghendaki kebaikan terhadap seorang raja, maka
diberinya seorang menteri yang jujur, jika lupa diingatkan, dan jika
ingat dibantu. Dan jika allah menghendaki sebaliknya dari itu, maka
allah memberi padanya ,menteri yang tidak jujur, hingga jika lupa tidak
diingatkan dan jika ingat tidak dibantu. (abu dawud).
Penjelasan:
Seorang pemimpin pasti mengemban segudang
tugas dan amanat yang begitu berat yang harus dijalankan. Sementara
untuk melaksanakan semua tugas itu tidak mungkin dia sendiri
melakukannya. Oleh sebab itu dibutuhkan sejumlah pembantu untuk
meringankan tugas sang pemimpin. Dalam kehidupan politik modern, para
pembantu presiden itu bisa disebut sebagai menteri. Dan barangkali bukan
hanya presiden, semua jabtan publik di negeri ini, baik bupati,
gubernur, wali kota, dpr, hingga kepala sekolah pun, juga membutuhkan
pembantu atau pendamping ahli yang bisa meringankan tugas-tugasnya.
Sehingga dalam konteks indoensia, kita tidak hanya mengenal menteri
sebagai pembantu presiden, melainkan juga terdapat apa yang kita kenal
sebagai juru bicara, asisten ahli, staf ahli, penasehat ahli, dsb.
Keberadan “orang-orang pendamping” ini
tentunya perlu kita apresiasi dengan baik, karena mereka membantu
tugas-tugas kepresidenan. Akan tetapi, kita juga perlu mencermati bahkan
jika diperlukan kita mesti waspada karena tidak semua “orang-orang
pendamping” itu berniat tulus untuk membantu. Akan tetapi lebih dari itu
ada juga yang menyimpan kepentingan tertentu dan menjadi “pembisik”
yang licik. Tentunya banyak cara yang dilakukan para pembantu pemimpin
yang licik ini. Salah satu contoh yang sering kita lihat dalam kehidupan
birokrasi kita adalah; melaporkan situasi yang tidak sebenarnya kepada
pemimpin yang bersangkutan. Bila yang terjadi di lapangan adalah
kelaparan, maka si pembantu hanya melaporkan kekuranagn gizi. Selain itu
tidak sedikit kita jumpai “orang-orang” yang pekerjaanya hanya
membisikkan informasi-informasi bohong kepada pemimpinnya sehingga
pemimpin tersebut mengeluarkan kebijakan berdasarkan informasi bohong
yang ia peroleh. Akibatnay, selain kebijakan itu tidak tepat, sang
pemimpin itu juga jatuh kredibilitasnya. Oleh sebab itu, memilih
pendamping itu harus hati-hati dan waspada. Kedekatan seseorang dengan
pemimpin tersebut dan kepintaran seseorang tidak menjamin dia akan
berbuat jujur terhadap atasannya.
Hadis ke 18
Shalat mendorong pemimpin berbuat adil
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ ضَبَّةَ بْنِ مِحْصَنٍ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
Rasulullah saw bersabda: akan ada para
pemimpin yang kalian kenal dan kalian ingkari. Siapa yang tidak
menyukainya maka dia bebas dan barang siapa yang mengingkarinya maka dia
selamat, akan tetapi (dosa dan hukuman) diberlakukan kepada orang yang
yang ridha dan mengikuti para pemimpin itu. Para sahabat bertanya:
apakah kami boleh memeranginya wahai rasulullah saw. Beliau menjawab:
tidak boleh selama para pemimpin itu masih mengerjakan shalat.
(hr.muslim)
Penjelasan:
Hadis ini tidak bisa kita fahami secara harfiyah,
Hadis ke 19
Hadis ke 20
Pemimpin yang bodoh
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ ابْنِ خُثَيْمٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ الصَّوْمُ جُنَّةٌ وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ وَالصَّلَاةُ قُرْبَانٌ أَوْ قَالَ بُرْهَانٌ يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ النَّاسُ غَادِيَانِ فَمُبْتَاعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا وَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُوبِقُهَا
Rasulullah saw bersabda kepada ka’ab bin
ujrah: mudah-mudahan allah melindungimu dari para pemimpin yang bodoh
(dungu). Ka’ab bin ujzah bertanya: apa yang dimaksud dengan pemimpin
yang dungu wahai rasulullah saw? Beliau menjawab: mereka adalah para
pemimpin yang hidup sepeninggalku. Mereka tidak pernah berpedoman pada
petunjukku, mereka tidak mengikuti sunnahku. Barang siapa yang
membenarkan kedustaan mereka ataupun mendukung atas kezaliman mereka,
maka orang itu tidak termasuk golonganku, karena aku bukanlah orang
seperti itu. Mereka juga tidak akan mendapatkan air minum dari telagaku.
Wahai ka’ab, sesungguhnya puasa adalah benteng, sedekah itu bisa
menghapus kesalahan, sedangkan shalat adalah upaya mendekatkan diri
kepada allah (qurban) –dalam riwayat lain burhan (dalil)- wahai ka’ab
sesungguhnya tidak akan masuk surga seonggok daging yang berasal dari
barang haram. Dan api neraka lebih berhak untuk melahapnya. Wahai ka’ab
bin ujrah, manusia terpecah menjadi dua golongan: pertama, orang yang
membeli dirinya (menguasai dirinya), maka dia itulah yang memerdekakan
dirinya. Golongan yang menjual dirinya, maka dia itulah yang
membinasakan dirinya sendiri. (hr. Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Hadis ini berbicara tentang “nasib”
kepemimpinan sepeninggal rasul s.a.w. Bahwa pasca meninggalnya rasul,
kepemimpinan umat islam akan diwarnai tindakan-tindakan yang oleh rasul
disebut “bodoh”. Karena itu, rasul kemudian senantiasa berdo’a semoga
umatnya terlindungi dari “bahaya-bahaya” akibat pemimpin yang bodoh ini.
Akan tetapi, kita di sini tentunya tidak akan memaknai kata bodoh
secara harfiyah. Karena bisa jadi kita memiliki pemimpin yang pintar,
cerdas, bergelar profesor atau bahkan sekaligus ulama, namun jika
pemimpin itu tidak berpegang teguh pada sunnah rasul maka dia layak
disebut sebagai yang bodoh atau dungu.
Lantas siapa yang dimaksud pemimpin yang
mengikuti sunnah rasul itu? Apakah pemimpin yang puasa sunnah senin
kamis ? Tentunya yang dimaksud pemimpin yang mengikuti sunnah rasul di
sini adalah pemimpin yang mengikuti jejak rasul dalam menjalankan
kepemimpinannya. Kita tahu, bahwa kepemimpinan rasul adalah kepemimpinan
yang menjunjung tinggi keadilan, toleransi, dan dekat dengan rakyat.
Apa yang kini kita kenal sebagai “piagam madinah” adalah sebagai pedoman
rasul dalam menjalankan kepemimpinannya terhadap semua rakayat saat itu
tanpa memandang latar belakang agama, etnis, warna kulit dan jenis
kelamin. Semua rakyat madinah yang plural itu dilindungi dan dijamin
haknya oleh rasul. Oleh sebab itu, bagi pemimpin pasca rasul yang tidak
mampu mengikuti jejak rasul seperti di atas maka dia disebut bodoh oleh
rasul.
Hadis ke 21
Pemimpin dzalim dibenci Allah
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ فُضَيْلِ بْنِ مَرْزُوقٍ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي سَعِيدٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya
manusia yang paling dicintai allah pada hari kiamat dan yang paling
dekat kedudukannya di sisi allah adalah seorang pemimpin yang adil.
Sedangkan orang yang paling dibenci allah dan sangat jauh dari allah
adalah seorang pemimpin yang zalim. (hr. Turmudzi)
Penjelasan:
Hadis ini sekali lagi menekankan bahwa
kriteria adil sangat penting bagi seorang pemimpin. Tanpa nilai-nilai
keadilan yang dijunjung tinggi oleh seorang pemimpin, maka sebuah
kepemimpinan tidak akan berhasil mengangkat kesejahteraan umatnya.
Karena itu, bisa kita fahami mengapa rasul berkali-kali menekankan akan
pentingnya seorang pemimpin yang adil. Dalam hadis ini, seorang pemimpin
yang adil akan ditempatkan sangat dekat sekali kedudukannya dengan
allah, sedangkan pemimpin yang dzalim adalah sangat dibenci sekali oleh
allah. Kedua balasan (imbalan dan ancaman) ini tentunya mencerminkan
sebuah penghargaan allah yang begitu besar kepada pemimpin yang mampu
berbuat adil kepada rakyatnya.
Hadis ke 22
Kedzaliman pemimpin mempercepat datangnya kiamat
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي عَمْرٌو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَشْهَلِ عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتُلُوا إِمَامَكُمْ وَتَجْتَلِدُوا بِأَسْيَافِكُمْ وَيَرِثُ دِيَارَكُمْ شِرَارُكُمْ
Rasulullah saw bersabda: kiamat tidak
akan terjadi sampai kalian membunuh para pemimpin kalian, pedang-pedang
kalian banyak sekali meminum darah, dan agama kalian diwarisi (dikuasai)
oleh orang-orang yang paling buruk di antara kalian. (hr. Ahmad bin
hambal)
Penjelasan:
Hadis ini mengilustarikan sebuah zaman
dimana bila seorang pemimpin bertindak sangat lalim dan rakyat
melawannya hingga membunuh pemimpin lalim itu, maka itu pertanda kiamat
sudah dekat. Logikanya, bila dalam sebuah zaman muncul perlawanan rakyat
terhadap pemimpin, maka di zaman itu berarti terdapat pemimpin yang
dzalim nan lalim. Karena bila sebuah kepemimpinan itu baik dan tidak ada
kedzaliman, maka niscaya tidak mungkin akan muncul perlawanan rakyat.
Oleh sebab itu, pesan pokok yang hendak disampaikan oleh hadis ini
adalah bahwa bila terjadi kedzaliman pemimpin di mana-mana, maka itu
berarti pertanda kiamat sudah dekat.
Lalu bagaiman dengan zaman kita saat ini,
dimana sebagian besar pemimpin sedikit sekali yang berbuat adil dan
banyak sekali yang berbuat dzalim, serta perlawanan rakayat begitu
dahsyata hingga ada pemimpin yang dibunuh oleh rakyatnya, apakah zaman
kita sudah termasuk tanda-tanda kiamat ? Pertanyaan ini memang tidak
bisa kita jawab “ya” atau “tidak”. Karena yang maha mengetahui kapan
kiamat itu terjadi adalah allah. Akan tetapi, bila kita melihat kondisi
kepemimpinan kita di zaman ini akan nampak sekali tanda-tanda kiamat
sebagaiman telah diseritakan rasul dalam hadis di atas.
Hadis ke 23
Menjaga amanat adalah bagian dari iman
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ بْنُ زِيَادٍ الثَّقَفِيُّ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ
Rasulullah saw bersabda: tidak beriman
orang yang tidak bisa menjaga amanah yang dibebankan padanya. Dan tidak
beragama orang yang tidak bisa menepati janjinya. (hr. Ahmad bin hambal)
Penjelasan:
Mungkin kita hanya mengenal slogan-slgan
keagamaan semisal: kebersihan adalah bagian dari iman, malu adalah
bagian dari iman, dsb. Tapi kita jarang –atau mungkin tidak pernah-
mengatakan bahwa menjaga amanat adalah bagian dari iman. Padahal, rasul
juga pernah bersabda bahwa menjaga amanat adalah bagian dari dasar-dasar
keimanan dan keagamaan. Dan barang siapa yang tidak menjaga amanat maka
rasul menyebut dia tidak sempurna iman dan agamanya.
Andai kita mengkampanyekan hadis ini ke
masyarakat luas, apalagi di saat-saat kampanye presiden, bupati,
gubernur, dsb, maka kita setidaknya telah menekan munculnya “potensi”
penyelewengan amanat oleh pemimpin kita, meskipun itu sekecil semut. Hal
itu karena dalam tradisi kepemimpinan kita, upaya menjaga amanat itu
sangat kecil. Sumpah jabatan sebagai mekanisme penyerahan amanat
ternyata tidak disertai sebuah mekanisme kontrol yang ketat terhadap
amanat itu. Oleh sebab itu, kampanye keagamaan untuk mendorong seseorang
(pemimpin) agar senantiasa menjaga amanat (kepemimpinanya) adalah
penting segera kita galakkan.
Hadis ke 24
Pemimpin dianjurkan memberi suri tauladan yang baik (nasehat) kepada rakyatnya
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُسْهِرٍ حَدَّثَنِي عَبَّادُ بْنُ عَبَّادٍ الْخَوَّاصُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي عَمْرٍو السَّيْبَانِيِّ عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ السَّيْبَانِيِّ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَقُصُّ إِلَّا أَمِيرٌ أَوْ مَأْمُورٌ أَوْ مُخْتَالٌ
Rasulullah saw bersabda: tidak ada yang
berhak untuk memberikan ceramah (nasehat/cerita hikmah) kecuali seorang
pemimpin, atau orang yang mendapatkan izin untuk itu (ma’mur), atau
memang orang yang sombong dan haus kedudukan. (hr. Muslim)
Penjelasan:
Hadis ini bukan berarti hanya pemimpin
yang berhak memberi nasehat kepada umat, melainkan hadis ini mengandung
pesan bahwa seorang pemimpin seharusnya bisa memberikan suri tauladan
yang baik kepada umatnya. Karena yang dimaksud ceramah disini bukan
dalam arti ceramah lantas memberi wejangan kepada umat, akan tetapi yang
dimaksud ceramah itu adalah sebuah sikap yang perlu dicontohkan kepada
umatnya. Seorang penceramah yang baik dan betul-betul penceramah
tentunya bukan dari orang sembarangan, melainkan dari orang-orang
terpilih yang baik akhlaqnya. Begitu pula dalam hadis ini, pemimpin yang
berhak memberikan ceramah itu pemimpin yang memiliki akhlaq terpuji
sehingga akhlaqnya bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya.
Jadi kriteria-kriteria yang harus
dipenuhi oleh seorang penceramah, maka itu juga harus dipenuhi oleh
seorang pemimpin. Karena pada zaman rasul dulu, seorang penceramah atau
yang memberikan hikmah kepada umat adalah para penceramah ini, sehingga
rasul mengharuskan seorang pemimpin harus memiliki akhlaq yang sama
dengan penceramah ini.
Hadis ke 25
Jabatan Pemimpin itu dekat dengan neraka
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ حَدَّثَنَا مُجَالِدٌ عَنْ عَامِرٍ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ حَاكِمٍ يَحْكُمُ بَيْنَ النَّاسِ إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَلَكٌ آخِذٌ بِقَفَاهُ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَإِنْ قَالَ أَلْقِهِ أَلْقَاهُ فِي مَهْوَاةٍ أَرْبَعِينَ خَرِيفًا
Rasulullah saw bersabda: setiap pemimpin
yang memimpin rakyatnya, pada hari kiamat pasti akan didatangkan.
Kemudian malaikat mencengkeram tengkuknya dan mengangkatnya sampai ke
langit. Kalau ada perintah dari allah: lemparkanlah, maka malaikat akan
melemparkannya ke bawah yang jauhnya adalah empat puluh tahun
perjalanan. (hr. Ibnu majah)
Penjelasan:
Hadis ini menggambarkan betapa jabatan
sebagai pemimpin itu berat dan seolah bediri diantara ranjau-ranjau
neraka yang sewaktu-waktu bila orang itu salah menginjaknya maka ranjau
itu akan akan meledak dan membunuh sang pemimpin itu. Mungkin kita
memandang bahwa menjadi pemimpin (presiden) itu serba enak; fasilitas
dijamin, harta melimpah dan kehormatan terpandang, sehingga semua orang
bercita-cita ingin menjadi presiden, padahal bila semua orang tahu bahwa
pemimpin (presiden) itu berjalan di atas jembatan yang dibawahnya
berkobar api neraka, maka niscaya semua orang mungkin tidak akan
berharap akan menjadi presiden (pemimpin). Posisi pemimpin yang cukup
rentan ini dikarenakan beratnya tanggung jawab yang harus dipikul
seorang pemimpin. Sekali ia lengah dan mengabaikan tanggung jawabnya,
maka ia bisa tergelincir dan jatuh ke jurang neraka selama-lamanya. Oleh
sebab itu, tak heran bila rasul mengambarkan poisi pemimpin itu
sebagaimana digambarkan oleh hadis di atas.
Hadis ke 26
Pemimpin harus membimbing rakyatnya
و حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ دَخَلَ عَلَى مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ بِحَدِيثٍ لَوْلَا أَنِّي فِي الْمَوْتِ لَمْ أُحَدِّثْكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِي أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لَا يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلَّا لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمْ الْجَنَّةَ و حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ الْعَمِّيُّ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَقَ أَخْبَرَنِي سَوَادَةُ بْنُ أَبِي الْأَسْوَدِ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ مَرِضَ فَأَتَاهُ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ يَعُودُهُ نَحْوَ حَدِيثِ الْحَسَنِ عَنْ مَعْقِلٍ
Rasulullah saw bersabda: setiap pemimpin
yang menangani urusan kaum muslimin, tetapi tidak berusaha semaksimal
mungkin untuk mengurusi mereka dan memberikan arahan kepada mereka, maka
dia tidak akan bisa masuk surga bersama kaum muslimin itu. (hr. Muslim)
Penjelasan:
Seorang pemimpin tidak bisa sekedar
berpikir dan bergulat dengan wacana sembari memerintah bawahannya untuk
mengerjakan perintahnya, melainkan pemimpin juga dituntut untuk bekerja
keras mengurus sendiri persoalan-persoalan rakyatnya. Salah seorang
khulafau rasyidin yaitu umar bin utsman pernah berkeliling keseluruh
negeri untuk mencari tahu adakah di antara rakyatnya masih kekurangan
pangan. Jika ada, maka khalifah umar tidak segan-segan untuk memberinya
uang (bekal) untuk menunjang kehidupan rakyatnya tadi. Bahkan khalifah
abu bakar harus turun tangan sendiri untuk memerangi orang-orang yang
tidak mau membayar zakat.
Semua peristiwa yang dilakukan oleh dua
sahabat nabi di atas adalah contoh betapa islam sangat menekankan kepada
pemimpin untuk selalu bekerja keras agar rakyatnya benar-benar terjamin
kesejahteraannya. Tidak bisa seorang pemimpin hanya duduk dan
berceramah memberi sambutan di mana-mana, tetapi semua tugas-tugas
kepemimpinannnya yang lebih kongkrit malah diserahkan kepada
bawahan-baahannya. Memang betul bahwa bawahan bertugas untuk membantu
meringankan beban atasannya, akan tetapi tidak serta-merta semua tugas
harus diserahkan kepada bawahan. Suatu pekerjaan yang memang menjadi
tugas seseorang dan dia mampu melakukannya, maka janganlah pekerjaan itu
diserahkan kepada orang lain.
Hadis ke 27
Situasi zaman pasca kepemimpinan Rasul s.a.w
أَخْبَرَنَا صَالِحُ بْنُ سُهَيْلٍ مَوْلَى يَحْيَى بْنِ أَبِي زَائِدَةَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ مُجَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ عَامٌ إِلَّا وَهُوَ شَرٌّ مِنْ الَّذِي كَانَ قَبْلَهُ أَمَا إِنِّي لَسْتُ أَعْنِي عَامًا أَخْصَبَ مِنْ عَامٍ وَلَا أَمِيرًا خَيْرًا مِنْ أَمِيرٍ وَلَكِنْ عُلَمَاؤُكُمْ وَخِيَارُكُمْ وَفُقَهَاؤُكُمْ يَذْهَبُونَ ثُمَّ لَا تَجِدُونَ مِنْهُمْ خَلَفًا وَيَجِيءُ قَوْمٌ يَقِيسُونَ الْأُمُورَ بِرَأْيِهِمْ
Abdullah berkata: akan datang pada kalian
satu tahun (masa) yang lebih buruk daripada tahun (masa) sebelumnya.
Akan tetapi yang aku maksud bukanlah sebuah tahun yang lebih subur
daripada tahun yang lain, ataupun seorang pemimpin yang lebih baik
daripada pemimpin lainnya. Akan tetapi di masa itu, telah hilang (wafat)
para ulama, orang-orang terpilih dan para ahli fiqh kalian. Dan kalian
tidak menemukan pengganti mereka. Sehingga datanglah sebuah kaum yang
berdalil hanya dengan menggunakan rasio mereka. (hr. Ad darimi)
Penjelasan:
Membaca ramalan rasul di atas sungguh
membuat kita cemas akan datangnya suatu zaman yang oleh rasul dikatakan
lebih buruk dari zaman-zaman sebelumnya. Namun yang dimaksud lebih buruk
di sini tentunya bukan dalam pengertian kuantitas. Melainkan kualitas
kehidupan yang tengah berlangsung pada sebuah zaman. Kalau ukurannya
adalah kuantitas, mungkin zaman kita bisa dibilang lebih bagus karena,
misalnya, kita saat ini bisa memproduksi sebuah barang dengan hanya
memakan waktu yang singkat namun menghasilkan barang yang cukup banyak.
Akan tetapi bila ukurannya adalah kualitas, maka zaman kita saat ini
lebih rendah dan lebih buruk dari zaman-zaman sebelumnya (zaman rasul).
Lihatlah misalnya kualitas arsitektur dan bangunan yang berkembang saat
ini, kemudian bandingkan dengan arsitektur dan bangunan pada tempo dulu,
seperti tembok cina, borobudur, dsb, tentu kualitasnya jauh sekali
berbeda.
Mungkin di zaman ini kita tidak bisa lagi
menemukan orang yang mampu membangun semacam borobudur dengan kualitas
banunannya yang terjamin sebagaimana candi borobudur. Begitu pula dengan
kualitas kepemimpinan pada saat ini jauh lebih baik dari kulaitas
kepemimpinan pada masa-masa rasul dan sahabat. Meskipun pada masa
sahabat juga penuh diwarnai intrik politik yang mengakibatkan
pertumpahan darah, akan tetapi setidaknya sejarah telah mencatat bahwa
dua sahabat periode pertama (abu bakar dan umar) adalah potret zaman
dimana kepemimpinan benar-benar dijalankan atas dasar prinsip-prinsip
keadilan. Meski saat ini kita mengembar-gemborkan sistem demokrasi yang
dianggap paling baik, namun ternyata negara tempat kelahiran demokrasi
juga tidak menerapkan nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya. Dan banyak
sekali pihak yang mengatasnamakan demokrasi namun menginjak-injak
nilai-nilai demokrasi. Meskipun saat ini ada yang namanya pemilu, namun
semua sistem dan mekanisme demokrasi itu tidak menjamin terwujudnya
kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera. Kalau sudah demikian,
bisakah zaman kita ini disebut lebih baik dari zaman rasul.s.a.w ?
Hadis ke 28
Kepemimpin yang buruk
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا صَدَقَةُ بْنُ مُوسَى عَنْ فَرْقَدٍ السَّبَخِيِّ عَنْ مُرَّةَ الطَّيِّبِ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ خَبٌّ وَلَا بَخِيلٌ وَلَا مَنَّانٌ وَلَا سَيِّئُ الْمَلَكَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ الْمَمْلُوكُ إِذَا أَطَاعَ اللَّهَ وَأَطَاعَ سَيِّدَهُ
Rasulullah saw bersabda: tidak akan masuk
surga orang yang suka menipu, orang yang bakhil, orang yang suka
mengungkit-ungkit kebaikan/pemberian, dan pemimpin yang buruk. Orang
yang pertama kali masuk surga adalah budak yang taat kepada allah dan
taat kepada majikannya.
Penjelasan:
Hadis ini menjelaskan tentang sekelompok
orang yang diharamkan oleh allah untuk masuk sorga. Dan ternyata, di
antara sekelompok orang tersebut terdapat kriteria pemimpin yang buruk.
Pada bagian awal buku ini, kita mungkin sudah mendapati banyak hadis
yang berbicara tentang hukuman neraka bagi pemimpin yang dzalim. Namun
kini kita kembali menemukan satu hadis lagi yang kembali berbicara
tentang ancaman bagi pemimpin yang berlaku buruk. Dan pemimpin yang
buruk ini disamakan dengan mereka yang suka menipu, pelit, dan suka
mengungkit kebaikannya/pemberiannya sendiri.
akan tetapi apa sih bedanya pemimpin yang
dzalim dan pemimpin yang buruk ? Pada dasarnya tidak ada perbedaan
subtansial antara keduanya, namun karena rasul benar-benar menekankan
sebuah kepemimpinan yang baik, maka rasul juga mengancam kepemimpinan
yang buruk. Yang jelas, sebuah kepemimpinan bila tidak menjamin dan
melindungi rakyatnya serta tidak menjadikan rakyatnya sejahtera, maka
kepemimpinan itu bisa dikatakan buruk, dzalim, kejam, dsb. Sama seperti
kita yang pada zaman ini mengenal berbagai macam istilah yang terkait
dengan perlakuan buruk penguasa, seperti, otoriter, totaliter, represif,
korup, tidak demokratis, dsb yang kesemua itu mencerminkan sebuah
kepemimpinan yang berbahaya bagi rakyat. Jadi, kepemimpinan yang buruk
menurut rasul dalam hadis ini adalah sebuah kepemimpinan yang justru
menjauhkan rakyat dari kehidupan yang sejahtera.
Hadis ke 29
Balasan bagi pemimpin yang otoriter
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ عَلِيِّ بْنِ مُبَارَكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ عَامِرٍ الْعُقَيْلِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَوَّلَ ثَلَاثَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ الشَّهِيدُ وَعَبْدٌ أَدَّى حَقَّ اللَّهِ وَحَقَّ مَوَالِيهِ وَفَقِيرٌ عَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ وَإِنِّي لَأَعْلَمُ أَوَّلَ ثَلَاثَةٍ يَدْخُلُونَ النَّارَ سُلْطَانٌ مُتَسَلِّطٌ وَذُو ثَرْوَةٍ مِنْ مَالٍ لَا يُؤَدِّي حَقَّهُ وَفَقِيرٌ فَخُورٌ
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya aku
orang yang paling tahu tentang tiga golongan yang pertama kali masuk
surga: orang yang mati syahid, seorang hamba yang menunaikan hak allah
dan hak majikannya, dan orang fakir yang menjauhkan diri dari hal-hal
yang tidak baik. Aku juga orang yang paling tahu tentang tiga golongan
yang pertama kali masuk neraka: seorang pemimpin yang otoriter
(sewenang-wenang), seorang kaya yang tidak menunaikan kewajibannya, dan
seorang fakir yang sombong. (hr. Ahmad)
Penjelasan:
Bila hadis sebelumnya berbicara soal
kepemimpinan yang buruk, dalam hadis ini kita kembali menyoroti model
kepemimpinan namun lebih spesifik, yaitu kepemimpinan otoriter.
Kepemimpinan otoriter adalah sebuah kepemimpinan yang dijalankan atas
dasar kesewenag-wenangan. Semua keputusan dan kebijakan pemimpin harus
ditaati oleh semua rakyat tanpa memberi ruang terjadinya “negoisasi”
dengan rakyat. Bila pemimpin berkata merah, maka rakyat harus mengikuti
merah. Demikianlah ciri-ciri sederhana sebuah kepemimpinan otoriter.
Lalu bagaimana islam menyikapi
(ke)pemimpin(an) yang otoriter ini? Islam jelas tidak pernah memberikan
tempat, walau sejengkal, kepada pemimpin yang otoriter ini. Sebagaimana
pemimpin yang dzalim, pemimpin otoriter juga diancam dengan hukuman
neraka. Dan sebaliknya, islam justru sangat menekankan pentingnya
demokrasi (syura) dan partisipasi rakyat dalam sebuah sistem
kepemimpinan. Rasul s.a.w telah memberikan contoh bagaimana syura
menjadi prinsip pokok dalam menjalankan roda kepemimpinan. Dalam syura
(demokrasi) semua rakyat, tanpa membedakan latar agama, etnis, arna
kulit, bahasa, jenis kelamin, berhak untuk terlibat dalam merumuskan
arah dan haluan sebuah kepemimpinan. Ketika rasul menjadi pemimpin
politik di madinah, rasul tidak segan-segan memberikan hak yang setara
anatara kaum muhajirin dan anshar. Bahkan dalam medan peperangan, siti
‘aisyah juga diberi hak untuk mengukiti bahkan memimpin sebuah
peperangan dengan kaum kafir. Dengan demikian, cukup jelas sekali bahwa
islam adalah agama yang “mengharamkan” otoritariansme dan “mewajibkan”
demokrasi (syura).
Hadis ke 30
Melawan pemimpin dzalim adalah jihad akbar
حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ دِينَارٍ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُصْعَبٍ أَبُو يَزِيدَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي أُمَامَةَ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya
jihad yang paling besar adalah mengungkapkan kalimat kebenaran di
hadapan sultan yang zalim. (hr. Turmudzi)
Selama ini, banyak umat islam memahami
konsep jihad hanya sebatas turun ke medan perang. Pemaknaan semacam ini
cukup berbahaya karena hanya mengambil makna yang tekstual seraya
menutupi makna lain yang lebih substansial. Bila ada dua orang khalifah
dibaiat maka bunuhlah salah satunya.
Hadis ke 31
Keputusan pemimpin harus aspiratif
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْجُعْفِيُّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ حَنَشٍ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَقَاضَى إِلَيْكَ رَجُلَانِ فَلَا تَقْضِ لِلْأَوَّلِ حَتَّى تَسْمَعَ كَلَامَ الْآخَرِ فَسَوْفَ تَدْرِي كَيْفَ تَقْضِي قَالَ عَلِيٌّ فَمَا زِلْتُ قَاضِيًا بَعْدُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Apabila ada dua orang laki-laki yang
meminta keputusan kepadamu maka janganlah engkau memberikan keputusan
kepada laki-laki yang pertama sampai engkau mendengarkan pernyataan dari
laki-laki yang kedua. Maka engkau akan tahu bagaimana enkau memberikan
keputusan (hr. Turmudzi)
Hadis ini mengajarkan kita sebuah
kepemimpinan yang mau mendengar semua suara rakyat. Tidak peduli rakyat
itu pengemis, pemulung, orang penyandang cacat, perempuan, atau anak
kecil sekalipun, maka semua itu harus didengar suaranya oleh pemimpin.
Artinya, kepemimpinan itu, atau lebih tepatnya seorang pemimpin itu
harus benar-benar aspiratif. Karena bila kita dalam mengambil keputusan
atau kebijakan hanya berdasarkan suara kelompok tertentu, lebih-lebih
suara kelompok yang dekat dengan lingkungan kekuasaan (pemimpin) maka
keputusan itu pasti akan jauh dari rasa keadilan. Alasannya adalah
karena suara satu kelompok itu belum tentu mewakili suara kelompok yang
lain. Sehingga bila ingin mencapai rasa keadilan bagi eluruh rakyat,
maka harus mendengar suara semua rakyat.
Hadis ini penting terutama dalam konteks
sistem demokrasi yang meniscayakan keterwakilan seperti di indoensia
misalkan. Dimana dpr (dewan perwakilan rakyat) memiliki wewenang untuk
mewakili suara rakyat. Bila dpr ini tidak menjaring aspirasi dari semua
lapisan dan status masyarakat, maka jangan harap kebijakan-kebijakan
yang dihasilakannya akan memenuhi rasa keadilan rakyat indonesia. Oleh
sebab itu, agar rasa keadilan dalam sebuah masyarakat itu benar-bnar
terpenuhi, maka islam mewajibkan seorang pemimpin untuk tidak mengambil
keputusan hanya dari satu orang (satu kelompok suara), tetapi lebih dari
itu.
Hadis ke 32
Pemimpin dituntut berijtihad
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَعُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيِّ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ
Apabila seorang hakim melakukan ijtihad
dan kemudian benar maka dia mendapat dua pahala, dan apabila dia
berijtihad ternyata salah maka dia hanya mendapat satu pahala
Hadis ini memang bercerita tentang
kewenagan hakim. Namun sejatinya, hadis ini bukan saja ditujukan kepada
seorang hakim, melainkan lebih dari itu juga untuk seorang pemimpin.
Pada masa rasul s.a.w. Jabatan hakim dan pemimpin politik tidak
dibedakan. Nabi muhammad sendiri adalah seorang pemimpin politik tapi
sekaligus juga seorang hakim. Demikian juga dengan para khalifah
pengganti beliau sesudahnya (khulafa urrasyidin) yang menjabat pemimpin
sekaligus hakim dan bahkan panglima perang. Oleh sebab itu, bila merujuk
pada konteks di atas, maka hadis ini tentunya bukan hanya relevan untuk
para hakim tetapi juga dianjurkan untuk para pemimpin (politik).
Apabila dikaitkan dengan konteks pemimpin
politik, maka yang dimaksud ijtihad di sini adalah bisa berupa sebuah
upaya politik seorang pemimpin dalam mengeluarkan keputusan yang
berdasarkan konstitusi dan nilai-nilai kemanusiaan serta kesejahteraan
rakyat. Artinya, seorang pemimpin dituntut bekerja keras semaksimal
mungkin, tentunya berdasarkan ikhtiar politiknya, untuk berupaya
menjadikan rakyatnya terangkat dari garis kemiskinan serta memenuhi
standar kesejahteraan. Bila ikhtiar politik pemimpin ini benar dan
berhasil mensejahteraakan rakyatnya, maka dia akan mendapat dua pahala,
akan tetapi bila ikhtiar dia salah dan rakyat tetap berada di bawah
garis kemiskinan, maka dia akan mendapat satu pahala. Tentunya ikhtiar
ini harus benar-benar dilandasi oleh ketulusan dan niat baik untuk
mengabdi kepada rakyat, bukan semata-mata mencari keuntungan politik
tertentu. Bila yang terakhir ini yang dilakukan, maka bukan hanya satu
pahala yang didapat, melainkan justru akan mendapat celaka dan siksa
dari allah swt.
Hadis ke 33
Pemimpin harus punya pedoman kepemimpinan
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي عَوْنٍ الثَّقَفِيِّ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو ابْنِ أَخٍ لِلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ عَنْ مُعَاذٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ عِنْدِي بِمُتَّصِلٍ وَأَبُو عَوْنٍ الثَّقَفِيُّ اسْمُهُ مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ
Ketika rasul mengutus mu’adz ke yaman,
beliau bertanya: wahai mu’adz, bagaimana caramu memberikan
putusan/hukum? Dia menjawab; aku memutuskan/menghukumi berdasarkan
ketentuan dari al-qur’an. Lalu rasul bertanya lagi: bagaimana kalau
tidak ada dalam al-quran? Mu’adz menjawab, maka aku memutuskan
berdasarkan sunnah rasul s.a.w. Rasul bertanya lagi: bagaimana bila
tidak kau temukan dalam sunnah rasul ? Mu’adz menjawab: maka aku
berijtihad berdasarkan pendapatku sendiri. Rasul bersabda: segala puji
bagi allah yang telah memberikan petunjuk/taufik kepada duta rasul saw
Hadis ini turun ketika salah seorang
sahabat rasul s.a.w, mu’adz bin jabal, hendak diutus rasul untuk menjadi
gubernur di yaman. Namun sebelum mu’adz berangkat ke yaman, rasul
terlebih dahulu memanggilnya untuk di uji (fit and propertest) sejauh
mana dia bisa diandalkan menjadi gebernur. Akan tetapi materi test yang
disampaikan rasul tidak muluk-muluk, beliau hanya menanyakan tentang
pedoman dia (mu’adz) dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Dalam
pengakuan mu’adz, dia akan menjalankan roda kepemimpinanya sebagai
gubernur yaman dengan berlandaskan pada al-qur’an, sunnah, dan ijtihad
(berpikir dan bekerja keras). Untuk jawaban yang pertama dan kedua,
rasul mungkin sudah bisa menebak jawaban yang akan diberikan mu’adz,
akan tetapi untuk pertanyaan ketiga itulah rasul mencoba menggali sejauh
mana upaya mu’adz bila sebuah keputusan tidak ada dasarnya dalam
al-qur’an dan sunnah. Dan ternyata nabi cukup bangga kepada mu’adz
karena dia bisa menjawab pertanyaan ketiga itu dengan cukup memuaskan.
Ini artinya bahwa hadis di atas telah
memberikan isyarat kepada kita bahwa dalam menjalankan roda kepemimpinan
kita tidak bisa hanya mengandalkan pedoman al-qur’an dan sunnah, akan
tetapi kita juga harus pandai-pandai mencari alternatif pedoman yang
lain yang bisa mengilhami kita dalam mengeluarkan keputusan. Bukannya
kita hendak mengatakan bahwa al-qur’an dan sunnah tidak sempurna, akan
tetapi untuk merespon semua peristiwa yang terjadi di dunia ini kita
dituntut untuk mencari dan mencari segala macam alternatif solusinya.
Apabila kita tidak menemukan dasarnya di al-qur’an dan sunnah, mungkin
kita bisa mencarinya di nilai-nilai kearifan lokal yang telah tumbuh dan
berkembang di dalam sebuah masyarakat. Karena itulah kita juga mengenal
apa yang oleh para ahli ushul fiqh dikenal dengan ‘urf atau kaidah fiqh
yang berbunyi al-‘adah muhakkamah. Bahkan rasul pun pernah bersabda:
bila engkau menemukan kebijakan maka ambillah meski ia keluar dari mulut
anjing.
Hadis ke 34
Good and clean governance dalam Islam
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْقُدُّوسِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَبُو بَكْرٍ الْعَطَّارُ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ حَدَّثَنَا عِمْرَانُ الْقَطَّانُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ الشَّيْبَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الْقَاضِي مَا لَمْ يَجُرْ فَإِذَا جَارَ تَخَلَّى عَنْهُ وَلَزِمَهُ الشَّيْطَانُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عِمْرَانَ الْقَطَّانِ
Rasul bersabda sesungguhnya allah
senantiasa bersama dengan hakim/qodi sepanjang dia tidak menyeleweng.
Kalau dia sudah menyeleweng maka allah akan menjauh darinya, dan syetan
menjadi temannya.
Selain islam mengajarkan pentingnya
prinsip keadilan dalam sebuah kepemimpinan, islam juga menekankan
pentingnya kepemimpinan yang bersih. Secara substansial, keduanya memang
tidak ada perbedaan yang berarti, bahkan bila seorang pemimpin sudah
berbuat adil, maka bisa dikatakan kepemimpinannya sudah bersih. Karena
keadilan merupakan forndasi dan perilaku bersih adalah dindingnya. Jadi
meski fondasinya kuat namun bila tidak ditopang oleh dinding yang juga
kuat, maka bangunagan itu mudah roboh oleh “goyangan-goyangan” dari
pihak luar. Oleh sebab itu, yang satu tidak bisa mengabaikan yang lain,
bahkan harus saling menopang antara keduanya.
lantas bagaimana yang dimaksud dengan
kepemimpinan yang bersih di dalam hadis ini? Yang dimaksud kepemimpinan
yang besih adalah sebuah sistem kepemimpinan yang tidak “dinodai” oleh
perilaku-perilaku menyeleweng dari pemimpinanya. Wujud konkrit dari
perilaku menyeleweng ini adalah seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Selain itu, pemimpin juga dituntut harus menjaga “kebersihan” moralnya.
Sehingga yang dimaksud bersih kemudian bukan saja menyangkut perilaku
sosial melainkan juga perilaku individual.
sedangkan dalam konteks kepemimpinan
politik kontemporer, kita mengenal istilah yang disebut “clean and good
governance”. Istilah ini sebenarnya mengandung konsep dasar bahwa sebuah
kepemimpinan itu harus baik dan bersih, terutama bersih dari korupsi
dan modus-modus penyelewengan yang lain. Sehingga untuk mencapai sebuah
kepemimpinan seperti itu diperlukan kesetaraan peran antara negara
(pemerintah), pasar dan rakyat yang salah satu di antara ketiganya tidak
boleh ada yang mendominasi. Karena bila peran negara terlalu kuat atau
dominan maka akan menimbulakn hegemoni dan cenderung totaliter,
sedangkan bila peran pasar (swasta) yang terlalu dominan, maka semua
kehidupan rakyat akan diatur dengan modal atau pemilki modal. Bila
seseorang tidak punya modal, maka dia tidak punya posisi tawar yang
kuat. Sementara bila kedua instutusi di atas terlalu lemah, dan rakyat
begitu kuatnya, maka chaos atau kekacauan yang akan menghantui sebuah
negara. Oleh sebab itu, kembali pada hadis di atas, bahwa tindakatan
kotor seperti penyelewengan kekuasaan adalah tindakan yang sangat
dikutuk dalam islam. Dan sebaliknya, pemerintahan yang baik dan bersih
justru sangat ditekankan dan dijamin pasti akan dilindungi oleh allah.swt.
Hadis ke 35
Pemimpin harus peka terhadap Kebutuhan rakyat
قَال عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ لِمُعَاوِيَةَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ إِمَامٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ خَلَّتِهِ وَحَاجَتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ
Setiap pemimpin yang menutup pintunya
terhadap orang yang memiliki hajat, pengaduan, dan kemiskinan maka allah
akan menutup pintu langit terhadap segala pengaduan, hajat dan
kemiskinannya.
Kepemimpinan bukan saja menuntut
kecerdasan otak dan kekuatan otot, melainkan juga harus ditunjang oleh
rasa sensifitas yang tinggi terhadap persoalan-persoalan menyangkut
rakyatnya. Sehingga apapun persoalan yang menimpa rakyatnya, maka
pemimpin harus peka dan segera mencarikan solusinya. Di sinilah
sebenarnya tugas pokok seorang pemimpin; yaitu mendengar keluh kesah
rakyat untuk kemudian mencarikan jalan keluarnya.
Karena itulah, islam (melalui hadis di
atas) memerintahkan seorang pemimpin untuk membuka pintu terhadap segala
keluh kesah rakyatnya. Tentunya, yang dimaksud pintu disini bukan
semata-mata berarti pintu rumah ataupun pintu istana, melainkan lebih
dari itu yang sangat ditekankan adalah pintu hati atau nurani seorang
pemimpin. Karena meski seorang pemimpin tinggal di istana megah dan
berpagarkan besi dan baja, bila pintu hatinya terbuka untuk kepentingan
rakayat, maka allah juga akan membukkaan “pintu hati-nya” untuk
mendengar keluh kesah sang pemimpin itu.
Hadis ke 36
Pemimpin dilarang mengambil keputusan dalam keadaan emosional
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ كَتَبَ أَبِي إِلَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ وَهُوَ قَاضٍ أَنْ لَا تَحْكُمْ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَأَنْتَ غَضْبَانُ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحْكُمْ الْحَاكِمُ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَأَبُو بَكْرَةَ اسْمُهُ نُفَيْعٌ
Janganlah seorang pemimpin (hakim) itu menghukumi antara dua orang yang berseteru dalam keadaan marah (emosional)
Keputusan seorang presiden adalah dasar
dari kebijakan sebuah negara. Begitu juga keputusan seorang pimpinan
dalam sebuah organisasi adalah acuan dalam menjalankan roda organisasi.
Oleh sebab itu, dalam mengambil keputusan atau mengeluarkan kebijakan,
seorang pemimpin sebaiknya tidak sedang dalam keadaan “panas”, marah,
atau emosional. Hal ini bukan saja ditentang oleh hadis nabi s.a.w
melainkan juga dikutuk oleh teori manajemen organisasi. Dalam teori
manajemen organisasi dijelaskan bahwa seseorang tidak boleh mengeluarkan
atau membuat keputusan dalam keadaan marah atau emosi yang tidak
stabil. Bila dipaksakan, maka keputusan itu dihasilakan dari sebuah
proses yang kurang matang dan terburu-buru sehingga dampaknya akan
sangat merugikan terhadap pelaksana keputusan tersebut.
Meski di dalam hadis ini yang disebutkan
adalah hakim, namun secara substansial kita sepakat bahwa dalam keadaan
emosi labil, siapapun orangnya, baik hakim, pemimpin, maupun orang awam
sekalipun, sebaiknya tidak perlu mengambil keputusan. Banyangkan bila
kita sedang bertengkar dengan istri di rumah misalkan, tetapi setelah di
tiba di kantor kita disuguhi sebuah persoalan yang harus diputuskan,
maka bisa jadi sisa-sisa emosional kita di rumah, secara sadar atau
tidak, akan ikut terbawa hingga ke kantor dan mempengaruhi kita dalam
memutuskan sebuah perkara. Oleh sebab itu, bila kita hendak mengambil
keputusan maka terlebih dahulu kita harus mendinginkan suasana dan
menengkan pikiran sehingga semua pertimbangan bisa kita akomodir secara
seimbang dan matang.
Hadis ke 37
Hukuman bagi pemimpin yang suka money politic
Rasul s.a.w melaknat orang yang menyuap dan disuap.
Hadis ini sungguh sangat relevan untuk
konteks indoensia saat ini, di mana dalam setiap unsur birokrasi kita
hampir dipastikan tidak bisa lepas dari yang namanya “suap”. Mulai dari
ngurus ktp di tingkat rt, hingga ngurus tender proyek infrastruktur di
tingkat presiden, mulai dari pemilihan ketua rt hinhha pemilihan
presiden. Semuanya tidak steril dari praktik suap-menyuap. Entah dari
mana asal muasalnya, yang jelas praktik suap ini sudah diperingatkan
oleh rasul. Itu artinya, sejak kepemimpinan rasul s.a.w, pratik suap ini
sudah terjadi, dan rasul turun untuk memerangi pratik kotor ini.
Bila kita memaknai ancaman “laknat” bagi
penyuap dan yang disuap sebagaiman hadis di atas, maka sebenarnya
ancaman itu menunjukkan sebuah ancaman yang cukup berat. Karena bahasa
laknat biasanya bukan hanya berarti hukuman tuhan di akhirat, melainkan
juga terjadi di dunia. Kita lihat misalkan dalam kasus kaum sodom yang
dilaknat tuhan dengan berbagai penyakit yang menyakitkan dan mematikan,
demikian pula setelah di akhirat nanti mereka juga akan kembali dilaknat
dengan lebih kejam. Oleh sebab itu, allah tidak akan bermain-main
dengan praktik kotor yang menjijikkan ini.
Namun anehnya, banyak di antara orang
yang tidak sadar kalau dirinya sudah disuap. Fenomena ini banyak kita
temui ketika menjelang pemilu, misalkan seorang kiai/ulama pemimpin
pesantren yang diberi (biasanya pakai bahasa disumbang) sejumlah dana
oleh partai politik tertentu agar pesantrennya mau mendukung parpol yang
bersangkutan. Sang kia sering tidak sadar (atau berpura-pura tidak
sadar) bahwa dana sumbangan itu bisa dikategorikan, yang dalam bahasa
politiknya, sebagai money politic. Memang praktik “sumbangan politik”
ini tidak terlalu kentara sebagai suap, namun bila sebuah sumbangan itu
dilandasi oleh kepentingan tetentu dan tuntutan tertentu, maka ia layak
disebut suap. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana bila sumbangan dana
itu tidak disertai tuntutan ? Memang dalam setiap sumbangan, terutama
menjelang pemilu, kepentingan dan tuntutannya tidak mungkin dikatakan
secara harfiyah atau gamblang. Bahkan bisa jadi seorang politisi pemberi
sumbangan itu tidak langsung mneyebutkan kepentingannya dalam
menyumbang. Akan tetapi, bila sumbangan itu turun sementara situasi saat
itu adalah pemilu, maka sudah bisa dipastikan bahwa sumbangan itu
adalah money politic. Oleh sebab itu, untuk menjaga kesyubhatan sebuah
sumbangan, sebaiknya kita perlu melacak dulu asbabul wurudnya.
Hadis ke 38
Hadis ke 39
Wajib berkata benar kepada pemimpin meski terasa pahit
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أُنَاسٌ لِابْنِ عُمَرَ إِنَّا نَدْخُلُ عَلَى سُلْطَانِنَا فَنَقُولُ لَهُمْ خِلَافَ مَا نَتَكَلَّمُ إِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِهِمْ قَالَ كُنَّا نَعُدُّهَا نِفَاقًا
Ada serombongan orang yang berkata kepada
ibnu umar; kalau kami bertemu dengan para pemimpin kami maka kami pasti
mengatakan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang kami
katakan bila tidak bertemu dengan mereka (pemimpin). Ibnu umar berkata:
hal itu kami anggap sebagai sebuah sikap munafik. (hr. Bukhori)
Ada satu tradisi buruk yang sering kita
lakukan ketika kita menghadap pimpinan, yaitu, selalu mengatakan yang
baik-baik, yang senang-senang, dan yang sukses-sukses. Tradisi ini bukan
saja dilakukan oleh para menteri ketika menghadap presiden, melainkan
tidak jarang juga dilakukan oleh rakyat biasa. Jelas, kalu menteri
melakukan tradisi buruk itu dengan tujuan menjilat dan mengharap pujian
dari sang pemimpin (presiden). Tapi yang tidak bisa kita fahami ternyata
tidak sedikit rakyat biasa juga melakukan praktik buruk tersebut.
Memang, bila rakyat biasa tidak separah sebagaiman dilakukan menteri,
akan tetapi sebuah sikap berdiam diri ketika berhadapan dengan pemimpin
adalah sebuah sikap yang oleh hadis di atas bisa dikategorikan sebagai
“munafik”. Padahal, bila kita bertemu pemimpin kita, misalkan kita
mendapat kesempatan bertemu langsung dengan presiden kita, maka harus
kita manfaatkan waktu pertemuan itu untuk mnegatakan yang sebenarnya
tentang situasi atau kehidupan rakyat yang dipimpinnya. Di hadapan
pemimpin itulah justru sebuah kesempatan untuk mengatakan bahwa,
misalnya, rakyat sedang kekuranagn pangan, rakyat butuh pendidikan
gratis, rakyat butuh harga murah, dsb. Bila pemimpin yang bersangkutan
marah dan mengancaman sikap tegas kita, maka kita jangan sekali-kali
mundur, karena itu adalah kenyataan yang sebenarnya. Dan membohongi
kenyataan adalah sama dosanya dengan berbuat munafik. Oleh sebab itu,
hadis ini sangat relevan dengan situasi indoensia saat ini yang banyak
diwarnai oleh sikap kepura-puraan dalam berperilaku dan berkomunikasi
dengan pimpinan.
Hadis ke 40
Sikap dengki pemimpin sangat membahayakan
Muadz berkata: rasul s.a.w mengutusku
pergi ke yaman. Ketika aku berangkat kemudian rasul menyuruh orang untuk
memanggilku pulang kembali. Kemudian beliau berkata: tahukah engkau
kenapa aku memanggilmu kembali ? Yaitu agar engkau tidak terjerumus pada
sesuatu yang tidak aku perbolehkan, yakni sifat dengki, karena siapa
yang dengki, maka kedengkiannya itu akan datang kepadanya hari kiamat.
Dengan maksud itulah aku memanggilmu, ingat itu…! Sekarang kembalilah
kamu ke wilayah kekuasaanmu.
Hadis ini turun ketika rasul s.a.w telah
mengutus mu’adz bin jabal untuk menjadi gubernur di negeri yaman.
Sebagaimana diceritakan dalam hadis di atas, bahwa kepentingan rasul
untuk sejenak memanggil pulang kembali mu’adz adalah untuk menasehati
dia agar menghindari sikap dengki, karena sikap itu akan menjerumuskan
dia ke jurang kesesatan. Mungkin kita tidak pernah berfikir bahwa sikap
dengki itu cukup berbahaya. Padahal dari sikap yang seolah remeh
tersebut, bisa melahirkan sebuah sikap yang dampaknya jauh lebih
berbahaya dari sekedar dengki, terutama bila dikaitkan dengan masalah
kepemimpinan.
Bila seorang pemimpin selalu dihinggapi
rasa dengki, maka jangan harap kepemimpinannya akan sukses. Namun tentu
yang dimaksud dengki di sini bukan sekedar bermakna iri hati atau
cemburu, akan tetapi sebuah sikap ketidak puasan seotang pemimpin atas
kekuasaan yang dipegangnya. Padahal, seorang pemimpin sudah diberi
“kekuasaan”, diberi fasilitas, di beri kehormatan, namun tidak sedikit
masih banyak pemimpin yang merasa kurang dan kurang lagi atas jabatan,
kehormatan, status, harta, dan kakuasaan. Bila seorang pemimpin tidak
mampu menahan nafsu semacam ini, maka jangan harap kepemimpinanya serta
rakyat yang dipimpinnya akan hidup dengan sejahtera. Oleh sebab itu,
meski rasa dengki adalah masalah biasa , namun dampak negatifnya menjadi
luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar