A. Pendahuluan
Menurut catatan sejarah, peran kepemimpinan
sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan khulafa al-Rasyidun itu tidak sekadar
sebagai pemimpin negara, tapi juga sebagai pemimpin spiritual (agama).
Maka disamping mereka mengeluarkan kebijakan dan perintah terakait
persoalan negara dan rakyat, mereka juga mengeluarkan fatwa-fatwa hukum
terkait persoalan-persoalan agama. Namun setelah berakhirnya kekuasaan
khulafa al-Rasyidun yang terakhir; Sayidina Ali Ibn Abi Thalib (w. 40
H.) dan dimulainya dinasti-dinasti kerajaan, peran dwi fungsi khalifah
sudah tidak lagi berfungsi ganda, maka terjadilah pemisahan antara
keduanya (negara dan agama). Peran sebagai pemimpin negara tetap
dipegang oleh khalifah atau umara, sedangkan peran sebagai pemimpin
agama dipegang oleh sesosok manusia yang berpredikat atau dikategorikan
sebagai ulama.
Dan konsekuensi dari pemisahan peran tersebut
berdampak pada seringnya terjadi pertentangan antara keduanya. Yang
antara lain tercermin sikap ulama yang bervarisasi terhadap kebijakan
umara yang bertentangan dengan syari’ah atau bertentangan dengan
kepentingan umum masyarkat luas. Sehingga ada ulama yang tegas dan
berani menasehati dan menentang umara yang zalim, ada yang diam saja
tanpa reaksi apapun dan bahkan ada yang berdiri dibelakang umara sebagai
pengikut dan pabrik fatwa yang bisa menjastifikasi dan memberi
dalil-dalil yang dipesan umara untuk melancarkan aksi politik dan
kebijakannya yang tidak jarang bertentangan dengan nalar syara’ dan
nalar sehat manusia.
Berangkat dari hal di atas, menarik untuk
dicermati dan dianalisis apa itu pengertian ulama pada zaman awal
munculnya Islam?, yaitu zaman Nabi Muhammad SAW. Maka penelusuran
pengertian ulama pada zaman Nabi SAW itu hanya bisa dikaji lewat dua
peninggalan Nabi SAW yang masih ada sekarang, yaitu al-Qur’an dan
al-Sunnah. Walaupun kemudian dalam interpretasi keduanya lewat pendapat
para ulama yang terdokumentasikan dalam kitab-kitab tafsir dan syarah
Hadits yang notabene sudah bukan zaman Nabi Muhammads SAW lagi, tapi
paling tidak bisa memberi gambran yang jelas terkait dengan definisi
ulama yang terdiskripsikan lewat peran dan fungsi pokok ulama menurut
keduanya.
B. Pembahasan
Kata ulama dalam bahasa
Arab adalah bentuk plural dari dari kata ‘alim yang berarti tahu,
mengerti, pandai dan sejenisnya. Kata ‘alim dalam al-Qur’an terulang
sebanyak 106 kali, namun kata ulama tersebut dalam al-Qur’an hanya dua
kali saja.
Pertama,dalam konteks ajakan al-Qur’an untuk
memperhatikan turunnya hujan dari langit, gunung-gunung dan beraneka
ragam jenis dan warna buah-buahan, hewan dan manusia, yaitu Q.S. Fatir:
28:
(وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ
أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء
إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ) (فاطر : 28 )
“dan demikian (pula)
di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang
ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Maka yang dimaksud dengan ulama dalam ayat di atas ialah orang-orang
yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah, yakni mereka yang
memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah yang bersifat kauniyah
(Sains atau alam semesta). Karena di dalam al-Qur’an itu sendiri
terdapat banyak anjuran yang mengajak manusia untuk menghayati alam
semesta.[2]Alam semesta adalah ciptaan Allah yang –karena keteraturan
system dan kehebatan yang dimilikinya- mengandung hikmah yang luar
biasa. Di balik kesempurnaan hukum alam semesta, terdapat bukti
kekuasaan sang Pencipta. Maka dengan menyelidiki alam semesta, manusia
akan semakin sadar dan insyaf akan kebesaran Tuhunnya dan semakin besar
keinginannya untuk selalu dekat dengan-Nya.[3] Maka membaca dan memahami
ayat-ayat al-Qur’an itu, di samping ayat-ayat Qauliyah (teks
al-Qur’an), Allah juga menciptakan alam semesta ini sebagai ayat-ayat
Kauniyah (teks/tanda alam semesta) yang keduanya saling melengkapi. Oleh
karena itu, istilah ulama dalam bahasa Arab modern juga berarti para
cendekiawan dalam salah satu bidang sains dan teknologi.
Ibn Katsir (w. 774 H) menafsiri ayat di atas pada teks { إنما يخشى الله من عباده العلماء } sebagai berikut[4]:
{ إنما يخشى الله من عباده العلماء } أي إنما يخشاه حق خشيته العلماء
العارفون به لأنه كلما كانت المعرفة للعظيم القدير العليم الموصوف بصفات
الكمال المنعوت بالأسماء الحسنى كلما كانت المعرفة به أتم والعلم به أكمل
كانت الخشية له أعظم وأكثر . قال علي بن أبي طلحة عن ابن عباس في قوله
تعالى : { إنما يخشى الله من عباده العلماء } قال : الذين يعلمون أن الله
على كل شيء قدير وقال ابن لهيعة عن ابن أبي عمرة عن عكرمة عن ابن عباس قال :
العالم بالرحمن من عباده من لم يشرك به شيئا وأحل حلاله وحرم حرامه وحفظ
وصيته وأيقن أنه ملاقيه ومحاسب بعمله وقال سعيد بن جبير : الخشية هي التي
تحول بينك وبين معصية الله عز وجل وقال الحسن البصري : العالم من خشي
الرحمن بالغيب ورغب فيما رغب الله فيه وزهد فيما سخط الله فيه ثم تلا الحسن
{ إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور{وعن ابن مسعود رضي
الله عنه أنه قال : ليس العلم عن كثرة الحديث ولكن العلم عن كثرة الخشية
وقال أحمد بن صالح المصري عن ابن وهب عن مالك قال : إن العلم ليس بكثرة
الرواية وإنما العلم نور يجعله الله في القلب قال أحمد بن صالح المصري :
معناه أن الخشية لا تدرك بكثرة الرواية وإنما العلم الذي فرض الله عز وجل
أن يتبع فإنما هو الكتاب والسنة وما جاء عن الصحابة رضي الله عنهم ومن
بعدهم من أئمة المسلمين فهذا لا يدرك إلا بالرواية ويكون تأويل قوله : نور
يريد به فهم العلم ومعرفة معانيه وقال سفيان الثوري عن أبي حيان التيمي عن
رجل قال : كان يقال العلماء ثلاثة : عالم بالله عالم بأمر الله وعالم بالله
ليس بعالم بأمر الله وعالم بأمر الله ليس بعالم بالله فالعالم بالله وبأمر
الله الذي يخشى الله تعالى ويعلم الحدود والفرائض والعالم بالله ليس بعالم
بأمر الله الذي يخشى الله ولا يعلم الحدود ولا الفرائض والعالم بأمر الله
ليس العالم بالله الذي يعلم الحدود والفرائض ولا يخشى الله عز وجل
“{Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama}, maksudnya hanyalah ulama yang ‘arif billah yang
benar-benar takut pada-Nya, karena sesungguhnya ketika ma’rifat pada zat
yang maha agung, berkuasa, mengetahui dan semua sifat-sifat baik itu
semakin sempurna dan pengetahuan tentang-Nya juga semakin sempurna, maka
khasyyah (takut) pada-Nya juga semakin besar dan banyak. Ali Ibn Abu
Tolhah meriwayatkan maksud ayat di atas dari Ibn Abbas ra, yaitu ulama
yang dimaksud adalah orang-orang yang yakin bahwa Allah maha berkuasa
atas segala sesuatu. Berkata Ibn Abu Lahi’ah dari Ibn Abu ‘Umrah dari
‘Ikrimah dari Ibn Abbas: Orang yang alim dengan Allah adalah orang yang
tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, menghalalkan yang dihalalkan-Nya,
mengharamkan yang diharamkan-Nya, menjaga wasiat-Nya serta yakin bahwa
ia akan bertemu dengan-Nya untuk menghisab semua amal perbuatannya.
Berkata Sa’id Ibn Jubair: al-Khasyyah adalah sesuatu yang bisa
menjauhkan dari maksiat pada Allah SWT. al-Hasan al-Bashri berkata:
Orang yang alim adalah orang yang takut pada Allah yang tidak
dilihatnya, senang dengan apa yang di senangi-Nya dan menjauhi diri dari
apa yang dibenci-Nya lantas al-Hasan membacakan ayat di atas. Ibn
Mas’ud ra berkata: ilmu itu tidak diukur dengan banyaknya meriwayatkan
Hadits, tapi dengan banyaknya al-Khasyyah. Berkata Ahmad Ibn Saleh
al-Mashri dari Ibn Wahb dari Malik: ilmu itu bukan dengan banyaknya
riwayat, tapi dengan adanya nur yang Allah letakan dalam qolb. Lalu
Ahmad Ibn Saleh al-Mashri memberi penjelasan; artinya bahwa al-Khasyyah
itu tidak bisa dihasilkan semata dengan banyaknya riwayat, karena memang
tidak bisa dipungkiri bahwa ilmu yang diwajibkan itu terkait dengan
al-Qur’an, al-Sunnah dan apa-apa yang datang dari para Sahabat serta
para Imam itu hanya bisa didapat dengan cara periwayatan. Maka takwil
makna Nur adalah pemahaman ilmu dan mengerti makna-maknanya. Berkata
Sufyan al-Tsauri dari Abu Hayan al-Taimi dari seorang ulama yang berkata
bahwa ulama itu dibagi tiga macam, yaitu: 1) Alim bi Allah dan bi amr
Allah, 2) Alim bi Allah, tapi tidak alim bi amr Allah dan 3) Alim bi Amr
Allah, tapi tidak alim bi Allah. Dan kelompok pertama itulah tipikal
ulama yang khasyyah pada Allah juga mengerti akan hudud
(batasan-batasan) dan faraidl (kefardluan)[5]. Adapun kelompok kedua
adalah tipikal ulama yang punya khasyyah tapi tidak mengerti hudud dan
faraidl. Sedangkan kelompok ketiga adalah tipikal ulama yang mengerti
hudud dan faraidl tapi tidak punya khasyyah pada Allah SWT.”
Kedua, dalam konteks membicarakan tentang kebenaran al-Qur’an dan Nabi
Muhammad SAW sebagai penutup para Nabi yang telah lama diketahui oleh
ulama Bani Israil, yaitu Q.S. al-Syu’ara: 197:
(أَوَلَمْ يَكُن لَّهُمْ آيَةً أَن يَعْلَمَهُ عُلَمَاء بَنِي إِسْرَائِيلَ) (الشعراء : 197 )
“dan Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa Para ulama Bani Israil mengetahuinya?”
Maka pengertian ulama menurut ayat di atas adalah para ahli agama yang
mampu memahami arti dan maksud dari teks-teks kitab suci dengan baik dan
benar. [6] Bahkan Zamakhsyari (w. 538 H/1143 M) menegaskan bahwa para
ulama dari Bani Israil pun mengusai ilmu kauniyah seperti astronomi dan
kedokteran namun tidak mereka ajarkan kepada generasi berikutnya
(anak-anak mereka) agar anak-anak mereka tidak mendekati raja atau
didekati raja sebab mengusai ilmu astronomi dan kedokteran sehingga
agama mereka bisa selamat dari intervensi raja yang bisa menyesatkan
umat.[7]
Oleh karena itu, berdasar dari kedua ayat tersebut di
atas, maka pengertian ulama menurut al-Qur’an dengan dua konteks berbeda
itu adalah “orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat
Allah SWT, baik yang Qauliyah maupun yang Kauniyah.”
Namun ada
istilah lain dalam al-Qur’an yang sama dengan pengertian ulama,
yaitu:utu al-‘Ilm, ulu al-‘Ilm, al-Rasikhun fi al-‘Ilm, ulu al-Albab,
ahl al-Hikmah (Hukama), ahl al-Fiqh (Fuqaha) dan ahl al-Zikr.
Kata utu al-‘Ilm terdapat dalam Q.S. al-Mujadilah: 11:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي
الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا
فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ
أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ)
(المجادلة : 11 )
“Hai orang-orang beriman apabila kamu
dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila
dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”
Sedangkan kata ulu al-‘Ilm tersebut dalam Q.S. Ali Imran: 18:
y(شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ
وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ
الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ) (آل عمران : 18 )
Allah menyatakan
bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
al-Nasafi (w. 710 H/1310 M) membedakan antara istilah utu al-‘Ilm dan
ulu al-‘Ilm,yakni yang pertama menunjukan arti yang bervariasi,
sedangkan yang kedua dikhususkan kepada nabi-nabi dan ulama.[8]
Istilah al-Rasikhun fi al-‘Ilm (orang-orang yang mempunyai ilmu yang
mendalam) disebut dalam al-Qur’an sebanyak dua kali; Q.S. Ali Imran: 7
dan al-Nisa: 163 yang diartikan oleh al-Asfahani dengan orang-orang yang
mempunyai ilmu yang tidak bercampur keragu-raguan di dalamnya.[9]
Sedangkan istilah ulu al-Albab terulang-ulang dalam sebanyak 16 kali,
seperti Q.S. Ali Imran: 190 yang memberi kesimpulan bahwa kreteria ulu
al-Albab adalah 1) berzikir atau mengingat Allah dalam segala situasi,
2) memikirkan penciptaan langit dan bumi dan 3) selalu berdoa kepada
Allah memohon perlindungan dari api neraka dan selalu mensucikan-Nya.
Adapun istilah ahl al-Hikmah yang bentuk pluralnya adalah hukama
tersebut dalam al-Qur’an di surat al-Baqarah: 269. Ibn Katsir menegaskan
bahwa yang dimaksud dengan hikmah itu ada beberapa pendapat ulama,
yaitu nubuwwah, al-Qur’an, al-Sunnah, ilmu pengetahuan, kecerdasan akal,
benar dalam berijtihad, khasyyah (takut/taqwa) dan fiqh, namun jumhur
ulama menolak pendapat yang terlalu menyempitkan makna hikmah dengan
nubuwwah (derajat kenabian) saja.[10] Dan dari sekian pendapat tentang
hikmah itu bisa diambil kesimpulan bahwa ahl al-hikmah adalah istilah
lain bagi istilah ulama, karena beberapa pendapat itu dapat ditarik
benang merah dengan teks dan konteks dua ayat tersebut di atas yang
secara mantuq (eksplisit) menggunakan kata ulama, yaitu, Q.S. Fatir: 28
dan al-Syu’ara: 197. Walaupun sebagian ulama ada yang berusaha
membedakan antara ulama dan hukama seperti al-Fudlail Ibn ‘Iyadl (w. 187
H.) salah seorang sufi besar pada masanya. Ia berkata bahwa ulama
memang banyak, tapi hukama sangat sedikit. Dan ketika ada orang yang
berkata bahwa ulama adalah pewaris para Nabi, lantas al-Fudlail
membantahnya bahwa hukama itulah yang hakikatnya pantas menjadi pewaris
para Nabi.[11] Namun menurut penulis, sebenarnya al-Fudlail tidak
bermaksud membedakan antara ulama dan hukama, namun ia hanya ingin
menegaskan bahwa ulama-ulama yang hakiki yang pantas menjadi pewaris
para Nabi dalam melanjutkan misi suci mereka adalah para ulama yang
ikhlas karena Allah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, beramal
dengan ilmu yang dimilkinya serta sabar atas cobaan yang menimpanya.
Dengan kata lain, ulama yang hukama adalah ulama dengan tipikal pertama
seperti dalam tafsir Ibn Katsir yang telah penulis sebut di atas, yaitu
‘alim bi Allah wa ‘alim bi amr Allah. Maka ulama yang tidak pantas
menjadi pewaris para Nabi yang di maksud al-Fudlail adalah ulama yang
tidak punya khasyyah, karena termasuk dalam tipikal ulama yang ‘alim bi
amr Allah wa laisa ‘alim bi Allah.
Seorang ulama adalah mereka
yang tafakkuh fi al-din (belajar ilmu agama) atau bisa disebut ahl
al-fiqh sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Taubah: 122:
(وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ
فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ
وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُونَ) (التوبة : 122 )
“tidak sepatutnya bagi mukminin itu
pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.”
Seorang ulama juga sebagai tempat konsultasi
dan bertanya persoalan-persoalan agama khsususnya dan ia bisa disebut
ahl al-Zikr seperti dijelaskan Q.S. al-Nahl: 43 dan al-Anbiya: 7 yang
sama-sama berbunyi “فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون”. Dan kata ahl
al-zikr bisa berarti ahli al-Qur’an atau ahli berzikr pada Allah.
Oleh karena itu, dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengertian ulama menurut al-Qur’an adalah “orang-orang yang memiliki
disiplin ilmu yang mendalam tanpa membedakan disiplin ilmu yang
dimilikinya, namun memiliki ketaqwaan yang tinggi (khasyyah) pada Allah
SWT dan selalu berzikir pada-Nya dalam segala kondisi.”
Sedangkan
pengertian ulama perspektif Hadits Nabi Muhammad SAW itu tidak banyak
ditemui Hadits-Hadits yang secara langsung memakai istilah ulama kecuali
Hadits yang berbunyi وإن العلماء ورثة الأنبياء yang berarti
“sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi”. Adapun sebuah ungkapan
yang sering dianggap sebagai Hadits Nabi SAW yang berbunyi: علماء أمتي
كأنبياء بني إسرائيل yang berarti “ulama dari umatku itu seperti ulama
Bani Israil” itu difatwakan oleh al-Hafidz al-Iraqi bukan sebagai Hadits
karena tidak ditemukan sanadnya dan sumbernya.[12] Begitu juga Hadits
berikut ini juga banyak ditentang oleh ulama, seperti Ibn Hibban dan
al-Daruquthni karena terlalu dloif sehingga tidak boleh digunakan
sebagai hujjah, [13]yaitu :أكرموا العلماء فإنهم ورثة الأنبياء فمن
أكرمهم فقد أكرم الله ورسوله .
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani (w.
852 H.) dalam “Fath al-Bari” menjelaskan bahwa ungkapan Hadits ) dapat
ditemukan dalam beberapa kitab Hadits, seperti Abu Dawud[14],
al-Turmudzi dan Ibn Hibban. Hadits ini dipandang sahih oleh Ibn Hibban,
berstatus hasan oleh Hamzah al-Kinnani dan di-dloif-kan oleh sebagian
ulama Hadits lainnya karena haditsnysa ada idltirab (kekacauan dan
kesimpang-siuran para perawinya).[15]
Dalam penelusuran penulis
terhadap pemahaman teks Hadits di atas oleh para ulama salaf, maka
penulis menyimpulkan bahwa seluruhnya memahami bahwa ulama punya peran
dalam melanjutkan misi suci para Nabi untuk mengajarkan ilmu tauhid dan
ilmu syari’ah, artinya para ulama mewarisi tampuk kepemimpinan spiritual
(wilayah al-Din) dari para Nabi dan menafikan tampuk kepemimpinan
sebagai pemimpin negara (wilayah al-Amr). Padahal banyak para Nabi yang
memegang otoritas pemimpin negara, seperti Nabi Muhammad SAW, Nabi Daud
AS, Nabi Sulaiman AS dan lain-lain. Dan penyempitan makna dan fungsi
ulama menurut para ulama salaf ini antara lain bisa dilihat dari
ungkapan Abu Hatim (w. 208 H) berikut ini:[16]
في هذا الحديث بيان
واضح أن العلماء الذين لهم الفضل الذي ذكرنا هم الذين يعلمون علم النبي
صلى الله عليه وسلم دون غيره من سائر العلوم ألا تراه يقول : ( العلماء
ورثة الأنبياء ) والأنبياء لم يورثوا إلا العلم وعلم نبينا صلى الله عليه
وسلم سنته فمن تعرى عن معرفتها لم يكن من ورثة الأنبياء
“Di dalam
Hadits ini terdapat penjelasan yang terang bahwa orang-orang yang
mendapat keutamaan (sebagai pewaris para Nabi) tersebut adalah
orang-orang yang mengetahui ilmu Nabi Muhammad SAW dan bukan ilmu
lainnya, karena bukankah Nabi bersabda “para ulama adalah pewaris Nabi”,
sedangkan para Nabi hanya mewariskan ilmu dan ilmu Nabi Muhammad SAW
adalah sunnah-sunnahnya. Maka barangsiapa ulama yang tidak
mengetahuinya, berarti ia bukanlah pewaris para Nabi.”
Dari ungkapan Abu Hatim di atas, jelaslah bahwa ia hanya membatasi
definisi ulama bagi umat Nabi Muhammad SAW pada aspek pengusaanya
terhadap ilmu sunah-sunnah (prilaku) Nabi SAW yang berupa ilmu agama
dengan cakupanya yang terbatas pada bidang aqidah, syari’ah dan akhlak
dan menafikan predikat ulama bagi orang yang mengusai ilmu lain seperti
ilmu kauniyah (sains dan teknologi). Maka pemahaman Abu Hatim dan ulama
salaf lainnya dalam pandangan penulis cukup bertentangan dengan konteks
al-Qur’an yang tidak membatasi ulama sebagai orang yang paham ilmu
qur’aniyah saja tapi juga ilmu kauniyah sebagaimana telah penulis
jelasakan di atas. Pemahaman ulama yang sempit seperti Abu Hatim inilah
yang mengakar sampai sekarang di dunia Islam seperti Indonesia walau
dunia arab sekarang telah memberikan istilah ulama juga bagi para
ilmuwan sains dan teknologi.
al-Munawwar menegaskan bahwa sebagai
pewaris para Nabi, maka ulama mengemban beberapa fungsi sebagaimana
dinyatakan dalam al-Qur’an, yaitu: 1) tabligh(menyampaikan pesan-pesan
agama) yang menyentuh hati dan merangsang pengalaman, misalnya Q.S.
al-Nisa: 63, 2) tibyan (menjelsakan masalah-maalah agama berdasarkan
kitab suci) secara transparan, misalnya Q.S. al-Nahl: 44, 3) tahkim
(menjadikan al-Qur’an sebagai sumber utama dalam memutuskan perkara)
dengan bijaksana dan adil, mislanya Q.S. al-Baqarah: 213 dan 4) Uswah
hasanah (menjadi teladan yang baik) dalam pengamalan agama, misalnya
Q.S. al-Ahzab: 21.[17]
C. Kesimpulan
Pengertian
ulama perspektif al-Qur’an yang dipahami lewat teks dan konteksnya
adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah
SWT, baik yangQauliyah (ajaran Qur’an atau agama) maupun yang Kauniyah
(ilmu pengetahuan umum dan teknologi) yang bisa mengantarkan manusia
kepada pengetahuan tentang kebenaran Allah dan memiliki sifat taat dan
khasyyah (takut) pada-Nya, sesuai antara ilmu dan amalnya serta ikhlas
dalam beramal.
Sedangkan pengertian ulama perspektif Hadits lewat
interpretasi para ulama salaf lebih sempit dari perspektif al-Qur’an di
atas, karena hanya membatasi pada orang-orang yang mengusai ayat-ayat
qauliayah saja. Padahal teks Haditsnya masih sangat umum dan masih
memungkinkan untuk reinterpretasi yang berbeda. Maka penulis lebih
mendukung pengertian ulama perspektif al-Qur’an, bahkan bila perlu
wilayah kepemimpinan ulama tidak terbatas sebagai pemimpin spritual tapi
juga pemimpin negara, minimal sebagai pemimpin non formal pada sebuah
wilayah.
Dan di dalam menghadapi perkembangan masyarakat,
perubahan sosial budaya dan kemajuan peradaban, ilmu pengetahan dan
teknologi modern, maka seorang ulama harus memilki kualifikasi dan
kapabilitas terhadap pengusaan ilmu-ilmu Islam yang lengkap dan dinamis,
di samping perangkat ilmu dan wawasan yang memadai untuk mengimbangi
perkembangan zaman dan masyarakat.
Daftar Kepustakaan
Arfan, Abbas. 2010. Ayat-Ayat Kauniyah, (Malang: UIN Press)
Haryono. 2002 Bahasa Politik al-Qur’an; Mencurigai Makna Tersembunyi di Balik Teks. (Bekasi: PT Gugus Press)
Tafsir Ibn Katsir: Juz 3 (Program Maktabah Syamilah versi 1)
Abd. Rauf al-Manawi, Faidh al-Qadir, Juz 3 & 4 (Program Maktabah Syamilah versi 1)
al-Munawar,Said agil. tt. Dimensi-Dimensi Kehidupan Dalam Perspektif Islam ( Malang: PPs UNISMA)
al-Ashbahani, Abu Nu’aim Hilyat al-Auliya wa Thabaqat al-Asfiya, (Baerut: Dar al-Kutub al-‘Arabi), Juz 8
Sunan Abu Dawud hadits itu No. 3641, Juz 2 (Program Maktabah Syamilah versi 1)
Alhamdulillaah, semoga anda adalah bagian dari 'ulama yg khasyyah
BalasHapus