Hadits 21: Benci Kekafiran
Alhamdulillah, posting hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya bisa hadir kembali pada pekan ini, biidznillah. Posting 17 Rabiul Akhir 1432 H yang bertepatan dengan 22 Maret 2011 ini memasuki pembahasan hadits ke-21.
Hadits yang akan kita bahas ini masih termasuk dalam kitab Al-Iman, kitab kedua dalam Shahih Bukhari. Bagi pembaca yang mengikuti rubrik hadits ini secara rutin, insya Allah tidak akan asing dengan hadits berikut ini, karena ia memiliki matan (redaksi) yang sama dengan salah satu hadits sebelumnya. Imam Bukhari memberikan judul bab untuk hadits ke-21 ini " باب مَنْ كَرِهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى فِى النَّارِ مِنَ الإِيمَانِ". Mengambil makna dari sana, kita singkat judul pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-21 ini menjadi: "Benci Kekafiran". Berikut ini matan lengkap hadits Shahih Bukhari ke-21:
عَنْ أَنَسٍ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَمَنْ أَحَبَّ عَبْدًا لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَمَنْ يَكْرَهُ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى فِى النَّارِ
Dari Anas r.a., dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda: "Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka." Penjelasan dan Pelajaran Hadits Jika kita perhatikan, tampaklah bahwa matan (redaksi) hadits di atas sangat mirip dengan hadits ke-16: manisnya iman. Imam Bukhari memang seringkali membawakan hadits yang matan (redaksinya) mirip atau bahkan sama di dua atau lebih tempat (bab, bahkan kitab) yang berbeda. Karenanya kemudian ada ulama seperti Imam Adz-Dzahabi atau Syaikh Al-Albani yang membuat mukhtashar (ringkasan) Shahih Bukhari. Mukhtashar-mukhtashar itu biasanya hanya menyertakan satu hadits sekali saja. Tanpa mengulangnya. Namun demikian, Imam Bukhari memiliki maksud tersendiri ketika menempatkan hadits dengan matan serupa di tempat yang berbeda. Pertama, karena hadits tersebut mengandung pelajaran yang tidak cukup hanya dipaparkan pada satu bab saja. Kenyataannya, memang banyak hadits Nabi yang memuat sejumlah kandungan berbeda. Ia berbicara tentang aqidah, sekaligus juga menerangkan tentang ibadah dan akhlak, misalnya. Kedua, Imam Bukhari berkeinginan agar umat Islam yang mempelajari kitab shahihnya mendapatkan penekanan kembali mengenai hal yang sangat penting, yang dirasa kemanfaatannya sangat banyak jika hadits dengan matan yang mirip itu ditampilkan. Kemungkinan hal kedua ini yang menjadi alasan hadits ke-21 yang mirip dengan hadits ke-16 ini sama-sama dimuat dalam Kitabul Iman. Karenanya Imam Bukhari memberikan judul yang berbeda. Ketiga, Sesungguhnya Imam Bukhari tidak pernah mengulang hadits dengan matan dan sanad yang sama persis. Kalaupun matannya sama, sanadnya pasti berbeda. Demikian pula dengan hadits ini. Meskipun hadits ke-21 dan hadits ke-16 diriwayatkan dari Anas r.a namun perawi sesudahnya (sampai bersambung ke Imam Bukhari) berbeda. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, hadits ke-21 ini diriwayatkan oleh para perawi yang semuanya adalah orang-orang Bashrah. Karena matan hadits ke-21 ini tidak jauh berbeda dengan hadits ke-16: manisnya iman, maka pembaca bisa membaca hadits ke-16: manisnya iman, untuk melihat penjelasan dan pelajaran hadits. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Hadits 22: Iman Kunci Masuk Surga
Alhamdulillah, kini pembahasan hadits Shahih Bukhari memasuki hadits ke-22. Hadits yang akan kita bahas ini masih termasuk dalam kitab Al-Iman, kitab kedua dalam Shahih Bukhari setelah kitab Bad'il Wahyi.
Imam Bukhari memberikan judul bab hadits ke-22 ini باب تَفَاضُلِ أَهْلِ الإِيمَانِ فِى الأَعْمَالِ (Tingkatan orang-orang beriman dalam beramal). Untuk memudahkan pembaca, karena isi hadits ini menceritakan orang beriman yang dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke surga meskipun imannya sangat kecil, kita berikan judul "Iman Kunci Masuk Surga." Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-22:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ ، وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ ، ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَخْرِجُوا مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ . فَيُخْرَجُونَ مِنْهَا قَدِ اسْوَدُّوا فَيُلْقَوْنَ فِى نَهَرِ الْحَيَا - أَوِ الْحَيَاةِ ، شَكَّ مَالِكٌ - فَيَنْبُتُونَ كَمَا تَنْبُتُ الْحِبَّةُ فِى جَانِبِ السَّيْلِ ، أَلَمْ تَرَ أَنَّهَا تَخْرُجُ صَفْرَاءَ مُلْتَوِيَةً . قَالَ وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا عَمْرٌو الْحَيَاةِ . وَقَالَ خَرْدَلٍ مِنْ خَيْرٍ
Dari Abu Said Al-Khudri r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Setelah penduduk surga masuk ke surga dan penduduk neraka masuk ke neraka, maka Allah Ta'ala pun berfirman, 'Keluarkanlah dari neraka orang-orang yang dalam hatinya terdapat iman walaupun sebesar biji sawi.' Mereka pun dikeluarkan dari neraka. Hanya saja tubuh mereka telah hitam legam bagaikan arang. Oleh karena itu, mereka dilemparkan ke sungai Haya' atau hayat –terdapat keraguan dari Imam Malik. Kemudian tubuh mereka berubah bagaikan benih yang tumbuh setelah banjir. Tidakkah engkau melihat benih tersebut tumbuh berwarna kuning dan berlipat-lipat." Wuhaib berkata, "Amr menceritakan kepada kami, "Sungai Al-Hayat"dan Wuhaib berkata, "kebaikan sebesar biji sawi." Penjelasan Hadits
يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ ، وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ ، ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَخْرِجُوا مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ
Setelah penduduk surga masuk ke surga dan penduduk neraka masuk ke neraka, maka Allah Ta'ala pun berfirman, 'Keluarkanlah dari neraka orang-orang yang dalam hatinya terdapat iman walaupun sebesar biji sawi.' Hadits ini menjelaskan bahwa kelak, orang-orang yang masuk ke surga berdiam di sana. Abadi dalam nikmat Allah SWT. Sementara, orang-orang yang masuk neraka akan "diseleksi" lagi. Diantara mereka ada "penduduk tetap" yang kekal di neraka, yaitu orang-orang kafir dan munafik; yang tidak memiliki keimanan sedikitpun. Sedangkan orang-orang mukmin yang masuk neraka karena kemaksiatannya namun masih memiliki iman, mereka menjadi "penduduk sementara". Suatu saat, dengan kehendak-Nya Allah SWT mengeluarkan mereka dari neraka. Allah memberi perintah : أَخْرِجُوا مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ 'Keluarkanlah dari neraka orang-orang yang dalam hatinya terdapat iman walaupun sebesar biji sawi.' مِثْقَالُ حَبَّةٍ (walaupun sebesar biji sawi) maksudnya adalah iman yang paling kecil. Al-Khatabi menjelaskan bahwa kata itu tidak bermaksud menunjukkan berat, namun standar dalam pengetahuan, karena mengungkapkan sesuatu yang terlintas dalam pikiran dengan sesuatu yang terlihat menjadikannya lebih mudah dipahami. Jika diketahui benda yang paling kecil saat ini adalah nukleus (inti atom), bahkan proton atau neutron, maka itupun bisa dipakai untuk memaknai maksud "habbah".
فَيُخْرَجُونَ مِنْهَا قَدِ اسْوَدُّوا فَيُلْقَوْنَ فِى نَهَرِ الْحَيَا - أَوِ الْحَيَاةِ ، شَكَّ مَالِكٌ –
Mereka pun dikeluarkan dari neraka. Hanya saja tubuh mereka telah hitam legam bagaikan arang. Oleh karena itu, mereka dilemparkan ke sungai Haya' atau hayat –terdapat keraguan dari Imam Malik. Setelah diperintahkan oleh Allah, orang-orang yang memiliki keimanan -meskipun dengan keimanan yang paling kecil- itu pun dikeluarkan dari neraka. Yang menjadi masalah, setelah sekian lama "terbakar" di neraka, tubuh mereka menjadi hitam legam. Wallaahu a'lam bagaimana hakikatnya, karena kondisi akhirat jelas berbeda dengan kondisi di dunia. Yang pasti, tubuh yang hitam seperti arang ini menjadi masalah dan perlu "diperbaiki" sebelum masuk surga. Karenanya ia "dicuci" di sungai hayaa atau hayaat. Imam Malik –yang menjadi salah satu rawi hadits ini hingga sampai ke Imam Bukhari- ragu-ragu mana diantara dua nama ini yang benar. Kata hayaa (الْحَيَا) artinya hujan yang dapat menumbuhkan tanaman. Dinamakan demikian karena sungai ini begitu dimasuki, tubuh yang tadinya hitam seperti arang berubah segar, seperti tanaman yang tumbuh setelah hujan. Sedangkan kata hayat (الْحَيَاةِ) berarti kehidupan. Disebut sungai kehidupan karena ia menghidupkan tubuh yang tadinya hitam legam, tidak hidup dan tidak mati akibat siksa neraka, menjadi hidup kembali dengan sempurna. Di akhir hadits ini Imam Bukhari menyebutkan ketegasan rawi lain –yaitu Wuhaib- yang tanpa ragu-ragu menyebutkan bahwa yang benar adalah hayat (sungai kehidupan).
فَيَنْبُتُونَ كَمَا تَنْبُتُ الْحِبَّةُ فِى جَانِبِ السَّيْلِ ، أَلَمْ تَرَ أَنَّهَا تَخْرُجُ صَفْرَاءَ مُلْتَوِيَةً
Kemudian tubuh mereka berubah bagaikan benih yang tumbuh setelah banjir. Tidakkah engkau melihat benih tersebut tumbuh berwarna kuning dan berlipat-lipat. Kata الْحِبَّةُ berarti benih tumbuh-tumbuhan. Jadi setelah "dicuci" di sungai hayat, tubuh mereka laksana buih yang tumbuh; segar, berwarna kuning (warna kulit yang indah), dan berlipat-lipat bagusnya. Dikatakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, bahwa hadits ini ditempatkan di kitabul iman sebagai hujjah yang membantah keyakinan golongan murji'ah yang berpendapat bahwa iman tidak bisa bertambah dan berkurang. Padahal di dalam hadits ini dijelaskan bahwa ada orang yang imannya sangat kecil, mereka masuk neraka terlebih dahulu. Hadits ini juga membantah keyakinan golongan mu'tazilah yang menyatakan bahwa orang yang berbuat maksiat akan kekal di neraka. Pelajaran Hadits Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut: 1. Keimanan manusia bertingkat-tingkat, ada yang sempurna, ada yang besar, dan ada pula yang kecil, bahkan sangat kecil; 2. Orang yang beriman namun bermaksiat dan belum mendapat ampunan dari Allah SWT, maka ia akan dimasukkan ke neraka terlebih dahulu; 3. Orang yang memiliki iman, meskipun sangat kecil, tidak akan kekal di neraka. Ia akan dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke surga; 4. Di akhirat ada sungai hayat (sungai kehidupan) yang fungsinya mencuci orang yang dikeluarkan dari neraka, mengubah mereka dari kondisi yang semula hitam legam tubuhnya menjadi segar, kekuning-kuningan seperti benih yang baru tumbuh; 5. Siksa di akhirat sangat pedih dan keras hingga menjadikan tubuh berwarna hitam seperi arang, meskipun kulitnya selalu diganti begitu hancur karena api neraka itu; 6. Diperbolehkan menggunakan analogi untuk memudahkan tersampainya ilmu dan menjadikan orang lain lebih memahami maksudnya; 7. Jika seseorang ragu-ragu antara dua hal yang diingatnya (mana yang benar), hendaklah ia menyebutkan keduanya seperti yang dilakukan Imam Malik dalam meriwayatkan hadits ini; 8. Iman adalah kunci masuk surga. Orang yang beriman terbagi menjadi dua golongan dalam memasuki surga. Pertama, langsung masuk surga tanpa masuk neraka. Kedua, masuk neraka terlebih dahulu baru kemudian masuk surga. Sedangkan orang yang tidak beriman, mereka akan kekal di neraka. Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-22: Iman Kunci Masuk Surga. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga kita istiqamah dalam iman dan amal shalih, dan kita berdoa kepada Allah semoga termasuk orang mukmin yang dimasukkan surga tanpa mampir ke neraka terlebih dahulu. Allaahumma aamiin. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Hadits 23: Kualitas Beragama Manusia Bertingkat-tingkat
Kali ini kita membicarakan hadits yang ke-23, biidznillah. Yakni hadits ke-23 dalam Shahih Bukhari (صحيح البخارى), di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Imam Bukhari tidak memberi judul tersendiri untuk hadits ke-23 ini, melainkan satu judul dengan hadits sebelumnya; باب تَفَاضُلِ أَهْلِ الإِيمَانِ فِى الأَعْمَالِ (Tingkatan orang-orang beriman dalam beramal). Untuk memudahkan pembaca, menyesuaikan dengan konteks hadits ini kita berikan judul pembahasannya: "Kualitas Beragama Manusia Bertingkat-tingkat"
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-23:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُ النَّاسَ يُعْرَضُونَ عَلَىَّ ، وَعَلَيْهِمْ قُمُصٌ مِنْهَا مَا يَبْلُغُ الثُّدِىَّ ، وَمِنْهَا مَا دُونَ ذَلِكَ ، وَعُرِضَ عَلَىَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلَيْهِ قَمِيصٌ يَجُرُّهُ . قَالُوا فَمَا أَوَّلْتَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الدِّينَ
Dari Abu Said Al-Khudri r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Aku bermimpi dalam tidurku seakan-akan aku melihat manusia di hadapankan kepadaku. Baju mereka diantaranya ada yang sebatas buah dada dan ada yang kurang dari itu. Dan kulihat pula Umar bin Khattab memakai baju yang dihela-helanya karena sangat panjang." Rasulullah ditanya, "Apakah takwil mimpi Anda ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "agama."
Penjelasan Hadits
بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُ النَّاسَ يُعْرَضُونَ عَلَىَّ
Aku bermimpi dalam tidurku seakan-akan aku melihat manusia di hadapankan kepadaku.
Dalam hadits ini Rasulullah SAW menceritakan mimpinya. Dan sebagaimana telah diketahui bahwa mimpi Rasulullah adalah benar. Ia tidak seperti mimpi bagi manusia pada umumnya, yang tidak bisa dijadikan hujjah.
وَعَلَيْهِمْ قُمُصٌ مِنْهَا مَا يَبْلُغُ الثُّدِىَّ ، وَمِنْهَا مَا دُونَ ذَلِكَ
Baju mereka diantaranya ada yang sebatas buah dada dan ada yang kurang dari itu.
Kalimat الثدي adalah bentuk jamak dari ثدي , artinya buah dada. Kalimat itu merupakan bentuk mudzakkar, meskipun ada pula ahli bahasa yang mengatakan sebagai bentuk mu'annats. Namun yang benar, kalimat الثدي bisa digunakan untuk menyebutkan baik laki-laki maupun perempuan. Terlebih dalam lanjutan hadits ini disebutkan nama Umar bin Khatab.
، وَعُرِضَ عَلَىَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلَيْهِ قَمِيصٌ يَجُرُّهُ
Dan kulihat pula Umar bin Khattab memakai baju yang dihela-helanya karena sangat panjang
Disebutkan secara khusus nama Umar di sini juga untuk menunjukkan keutamaan Umar bin Khatab. Bahwa beliau dengan segala kelebihannya, yang tegas terhadap kebenaran, kokoh dalam membela Islam hingga diberikan gelar Al-Faruq memang memiliki keutamaan yang luar biasa. Salah satunya adalah persaksian Rasulullah SAW dalam mimpinya ini.
. قَالُوا فَمَا أَوَّلْتَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
Rasulullah ditanya, "Apakah takwil mimpi Anda ya Rasulullah?"
Inilah para sahabat. Mereka sangat antusias dalam menerima pelajaran dari Rasulullah SAW dan sangat bersemangat untuk beramal. Meskipun pada dasarnya mereka tidak banyak bertanya, namun jika mereka belum menangkap secara jelas maksud Rasulullah maka mereka akan bertanya. Dan dalam kesempatan ini mereka melakukannya. Lalu Rasulullah menjawab dengan jawaban singkat, namun dipahami para sahabat: الدِّينَ "agama"
Bahwa baju dalam mimpi tersebut adalah takwil dari agama. Artinya, orang-orang mukmin memiliki kualitas beragama yang bertingkat-tingkat. Ada yang rendah, ada yang tinggi, dan ada yang sangat tinggi seperti Umar. Bukankah di hadits sebelumnya telah dibahas bahwa iman seseorang juga ada yang sangat kecil hingga ia menjadi penghuni surga yang datang terakhir ke sana?
Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Mimpi Rasulullah SAW adalah benar. Apa yang diceritakan Rasulullah SAW dari mimpinya adalah wahyu yang perlu diketahui oleh para sahabat dan umatnya untuk diambil sebagai pelajaran dan tuntunan;
2. Manusia dalam bergama memiliki tingkatan kualitas yang berbeda-beda;
3. Agama dilambangkan dengan baju bisa diartikan bahwa agama adalah pelindung bagi seseorang dari teriknya siksa dan hinanya murka Allah, serta merupakan kehormatan hakiki bagi hambaNya;
4. Hadits ini menunjukkan salah satu keutamaan Umar bin Khatab.
Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-23. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga kita bisa menjadi hamba-Nya yang senantiasa meningkatkan kualitas beragama. Allaahumma aamiin.
Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Hadits 24: Malu adalah Sebagian dari Iman
Alhamdulillah, pembahasan Hadits Shahih Bukhari kali ini memasuki hadits yang ke-24, biidznillah. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Sebagaimana judul yang bab yang diberikan oleh Imam Bukhari pada hadits ini " باب الْحَيَاءُ مِنَ الإِيمَانِ " pembahasan hadits ini juga diberikan judul yang sama dalam bahasa Indonesianya, yaitu "Malu adalah Sebagian dari Iman"
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-24:
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ
Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu. Maka Rasulullah SAW bersabda, 'Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.'"
Penjelasan Hadits
Ayah dari Salim yang dimaksud dalam hadits ini tidak lain adalah Abdullah bin Umar bin Khattab.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ
Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu
Kata يَعِظُ berarti menasehati, menakut-nakuti, atau mengingatkan. Dalam hadits Shahih Bukhari yang lain (bab adab, yang insya Allah akan kita bahas nantinya jika sampai di sana) disebutkan dengan kalimat وَهْوَ يُعَاتَبُ فِى الْحَيَاءِ (ia mencela sifat malu saudaranya). Mungkin dalam bahasa kita, laki-laki ini mengatakan "Engkau sangat pemalu" atau "Sifat malu itu membahayakanmu."
Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan kemungkinan bahwa laki-laki tersebut sangat pemalu hingga ia tidak ingin meminta haknya. Karena itu ia dicela oleh saudaranya.
Namun ternyata, sikap laki-laki yang mencela atau menasehati saudaranya dari rasa malu itu tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW yang saat itu lewat di depan mereka.
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ
Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman
Inilah salah satu sifat Rasulullah. Bahwa beliau tidak membiarkan sesuatu yang salah di hadapannya. Beliau tidak mendiamkan sesuatu yang keliru, kecuali menegurnya. Sebaliknya, segala hal yang terjadi atau diucapkan di hadapan Rasulullah SAW, sedangkan beliau membiarkan atau mendiamkannya, maka itu dianggap sebagai persetujuan Rasulullah SAW yang memiliki legitimasi hukum di dalam Islam. Dalam istilah hadits yang demikian itu disebut "hadits taqriri" yakni persetujuan dari Rasulullah SAW.
Maka dalam hadits ini Rasulullah SAW mengingatkan bahwa yang benar justru adalah tidak menghilangkan rasa malu dalam diri saudaranya. Biarkan saja seseorang memiliki sifat malu. Ia adalah akhlak yang disunnahkan. Malu adalah sebagian dari iman.
"Kalaupun sifat malu itu menghalangi seseorang dari meminta haknya," tulis Ibnu hajar dalam Fathul Bari, "maka dia akan diberi pahala sesuai dengan hak yang ditinggalkannya."
Karena sifat malu itu, menurut Ibnu Qutaibah, "Dapat menghalangi seseorang untuk melakukan kemaksiatan sebagaimana iman."
Malu didefinisikan sebagai sikap menahan diri dari perbuatan buruk atau hina. Sifat malu ini merupakan gabungan dari sifat takut dan iffah (menjaga kesucian diri).
Pendapat lain mengatakan bahwa malu adalah takut akan dosa karena melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Ada juga yang berpendapat bahwa malu berarti menahan diri karena takut melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal, maupun adat kebiasaan. Pengertian yang disebutkan terakhir ini lebih umum dan mencakup definisi yang cukup luas.
Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Kaum muslimin hendaknya selalu memiliki semangat untuk menasehati saudaranya, mengingatkannya dengan penuh kasih sayang, dan tidak berdiam diri dari kesalahan;
2. Salah satu sifat Rasulullah adalah meluruskan ketika ada kekeliruan yang beliau ketahui, dan membetulkan kesalahan yang beliau dapati. Sehingga ketika Rasulullah diam terhadap sesuatu yang diketahui beliau, maka itu berarti taqrir (persetujuan) dari beliau;
3. Hendaklah seorang muslim memiliki rasa malu dan menjaga sifat itu tetap ada pada dirinya;
4. Malu adalah sebagian dari iman.
Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-24. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga kita bisa menjadi hamba-Nya yang senantiasa memiliki semangat berdakwah dan memiliki rasa malu. Allaahumma aamiin.
Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Hadits 25: Memerangi Manusia Hingga Bersyahadat, Shalat dan Zakat
Terorisme masih saja menghangat hingga kini. Terkadang, aksi terorime diakibatkan oleh pemahaman yang keliru terhadap hadits yang akan kita bahas sekarang ini, insya Allah. Yaitu hadits ke-25 dalam Shahih Bukhari. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Pembahasan hadits ke-25 ini diberi judul "Memerangi Manusia Hingga Bersyahadat, Shalat dan Zakat". Kami berharap pembaca tidak hanya membaca judulnya karena dikhawatirkan terjadi misinterpretasi terhadap hadits ini. Sebaliknya, kami merekomendasikan pembaca membaca keseluruhan penjelasan hadits di bawah ini.
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-25:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga bersaksi bahwa tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan supaya mereka menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukan itu maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali karena alasan-alasan hukum Islam. Sedangkan perhitungan terakhir mereka terserah kepada Allah.
Penjelasan Hadits
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاة
Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga beraksi bahwa tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan supaya mereka menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat
Jika ada kata-kata أُمِرْتُ (aku diperintah) yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, maka maksudnya adalah diperintah Allah, karena hanya Dia-lah yang memerintah Rasulullah SAW. Sedangkan jika kata-kata أُمِرْتُ (aku diperintah) diucapkan oleh sahabat maka artinya adalah diperintah oleh Rasulullah, kata-kata itu tidak mengandung interpretasi "Aku diperintah oleh sahabat yang lain." Karena selama mereka adalah mujtahid maka mereka tidak menjadikan perintah mujtahid lain sebagai hujjah.
Kalimat حَتَّى يَشْهَدُوا (hingga mereka bersaksi) menjelaskan bahwa tujuan memerangi adalah adanya sebab-sebab yang disebutkan dalam hadits. Ini sekaligus berarti bahwa orang yang sudah bersyahadat, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat akan dijamin jiwanya. Tidak boleh diperangi.
Menegakkan shalat (يُقِيمُوا الصَّلاَة) artinya mengerjakan shalat wajib secara kontinyu dengan memenuhi syarat dan rukunnya.
Dalam hadits ini dipakai istilah أقاتل (aku memerangi) bukan أقتل (aku membunuh). Keduanya berbeda. Dan dalam kerangka hadits inilah Abu Bakar memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Tidak ada satupun riwayat yang menunjukkan beliau membunuh mereka.
، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ
Jika mereka melakukan itu maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali karena alasan-alasan hukum Islam
Jika mereka telah bersyahadat, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat, maka mereka mendapat perlindungan dari Rasulullah atau pemerintah Islam. عَصَمُوا (mereka dalam lindunganku) artinya terjaga atau terlindungi. Al 'Ishmah berasal dari Al 'Ishaam, yaitu tali untuk mengikat mulut ghirbah (tempat air dari kulit binatang) agar airnya tidak mengalir.
Kecuali karena alasan-alasan hukum Islam (إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ) maksudnya adalah, meskipun dalam kondisi normal seseorang dilindungi dalam Islam, namun jika ia melakukan kejahatan maka hukuman hadud tetap dilaksanakan. Misalnya jika seorang muslim yang telah menikah terbukti berzina dengan terpenuhi empat saksi yang melihatnya, maka ia dirajam.
Demikian pula mereka tidak boleh diperangi kecuali dengan alasan yang disyahkan hukum Islam. Misalnya, melakukan bughat (pemberontakan kepada pemerintahan Islam yang sah).
وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
Sedangkan perhitungan terakhir mereka terserah kepada Allah.
Yaitu dalam hal-hal yang rahasia, khususnya yang lolos dari hukum. Karena hukum dalam Islam ditetapkan atas bukti zhahir. Adapun batinnya, atau jika ada kesalahan dalam putusan hukum, maka Allah yang akan mengadilinya di akhirat kelak.
Ibnu Hajar Al Asqalani menegaskan bahwa hadits ini menjadi dalil untuk tidak mengkafirkan ahli bid'ah yang mengikrarkan tauhid dan melaksanakan syariat. Hadits ini juga menjadi dalil diterimanya taubat orang kafir, terlepas dari kekafirannya sebelum itu bersifat dzahir atau batin.
Ibnu Hajar Al Asqalani juga menjawab keraguan sebagian orang yang merasakan pertentangan antara hadits ini yang dianggap menuntut untuk memerangi orang-orang yang menolak tauhid dengan ketentuan terhadap orang yang membayar jizyah atau mu'ahadah (terikat perjanjian damai) tidak diperangi.
Beliau menjawab bahwa ada enam jawaban untuk pertanyaan di atas. Pertama, hadits ini dinasakh dengan hukum penarikan jizyah dan mu'ahadah. Kedua, hadits ini bersifat umum lalu dikhususkan dengan hadits lain tentang jizyah dan mu'ahadah bahwa keduanya tidak diperangi. Ketiga, konteks hadits ini bersifat umum namun memiliki maksud tertentu. Maksud dari an-naas (manusia) dalam hadits ini adalah kaum musyrikin, bukan ahli kitab. Namun pendapat ini lemah sebab orang yang terikat perjanjian damai bisa saja orang musyrik. Keempat, maksud syahadah dalam hadits ini adalah menegakkan agama Islam dan menundukkan pembangkang. Tujuan itu bisa dicapai dengan berperang, atau mereka membayar jizyah, atau dengan mu'ahadah. Kelima, bahwa tuntutan dari perang tersebut adalah agar mereka bertauhid atau membayar jizyah sebagai pengganti. Keenam, tujuan diwajibkannya jizyah adalah mendesak mereka untuk memeluk Islam. Seakan-akan Rasulullah bersabda, "hingga mereka memeluk Islam atau melaksanakan perbuatan yang mengharuskan mereka memeluk Islam." Jawaban terakhir ini dikatakan oleh Ibnu hajar sebagai jawaban yang paling baik.
Yusuf Qardhawi membahas hadits ini secara panjang lebar dalam Fiqih Jihad dengan maksud agar tidak disalah pahami oleh umat Islam. Agar jangan sampai umat salah memahami bahwa melalui hadits ini Islam diwajibkan memerangi manusia non muslim seluruhnya. Bukan. Bukan seperti itu maksudnya.
Maka Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa konteks hadits ini adalah peperangan terbatas. An-naas yang disebutkan dalam hadits ini secara khusus mengacu kepada orang-orang musyrik yang telah menindas dakwah di Makkah dan selalu menzalimi kaum muslimin.
Yusuf Qardhawi di dalam Fiqih Jihad juga menjelaskan bahwa perang-perang yang dilakukan oleh umat Islam di masa Rasulullah, baik ghazwah maupun sariyah, hampir semuanya didahului oleh penyerangan dari pihak musuh, rencana penyerangan dari pihak musuh (diantaranya dengan memobilisasi kekuatan), atau pengkhianatan pihak musuh (misalnya Yahudi Bani Qainuqa', Quraidhah, dan Nadhir). Bisa dikatakan bahwa peperangan Rasulullah bersifat difa'iyah (defensif).
Yusuf Qardhawi juga mengutip pendapat banyak ulama secara detail khusus untuk membahas satu hadits ini, termasuk pendapat Ibnu Hajar di atas dan pendapat Al Jashash.
Yusuf Qardhawi juga mengutip penjelasan Ibnu Taimiyah. Diantaranya adalah penjelasan Ibnu Taimiyah dalam Al-Qaidah fi Qital Al Kafir bahwa maksud hadits ini adalah "Aku tidak diperintahkan untuk berperang kecuali hingga sampai pada tujuan ini. Bukan bermaksud aku diperintah untuk memerangi semua orang hingga tercapai tujuan ini. Penafsiran ini bertentangan dengan nash dan ijma'. Beliau tidak melakukan itu tetapi sebagaimana pada sirahnya, bahwa orang yang berdamai dengan beliau tidak akan diperangi."
Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah, yang diperintah oleh Allah adalah peperangan yang terbatas pada orang-orang non muslim, khususnya yang memerangi, menzalimi, atau mengkhianati Islam ;
2. Orang-orang yang telah bersyahadat, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat tidak boleh diperangi, kecuali dengan alasan hukum Islam (misalnya melakukan bughat);
3. Harta dan jiwa kaum muslimin yang telah bertauhid, shalat dan zakat dilindungi oleh pemerintah Islam kecuali karena adanya hukum Islam yang dilanggar (misalnya zina);
4. Bagi kesalahan yang tidak terjamah hukum, atau lolos dari pengadilan Islam, maka tetap ada pengadilan lain yang akan mengadilinya yaitu pengadilan Allah SWT.
Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-25. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga istiqamah dalam tauhid, menegakkan shalat dan menunaikan zakat serta kita dijauhkan dari pemahaman yang salah terhadap hadits. Allaahumma aamiin.
Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Hadits 26: Amal yang Paling Utama
Setelah hampir satu setengah bulan terhenti, Alhamdulillah, dengan izin Allah kini pembahasan hadits Shahih Bukhari bisa kita lanjutkan. Kita akan membahas hadits ke-26 dalam Shahih Bukhari, yang masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Pembahasan hadits ke-26 ini diberi judul "Amal yang Paling Utama", mengacu pada pertanyaan kepada Rasulullah tentang hal itu. Judul Asli yang diberikan Imam Bukhari dalam hadits ini adalah مَنْ قَالَ إِنَّ الإِيمَانَ هُوَ الْعَمَلُ (Orang yang mengatakan "Iman adalah Perbuatan").
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-26:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - سُئِلَ أَىُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW ditanya, "Amal apakah yang paling utama?" Maka beliau menjawab, "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya." Ditanyakan lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "Jihad di jalan Allah." Ditanyakan lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "haji yang mabrur."
Penjelasan Hadits
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - سُئِلَ أَىُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ
bahwa Rasulullah SAW ditanya, "Amal apakah yang paling utama?"
Di dalam hadits ini dipakai kata سُئِلَ (ditanya), tidak disebutkan siapa yang bertanya. Orang yang bertanya tersebut tidak lain adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Insya Allah nanti kita akan bertemu dengan keterangan tentang hadits ini berikut Abu Dzar yang tercantum sebagai penanya dalam bab Al-Itqu, nomor hadits 2518.
Abu Dzar bertanya kepada Rasulullah mengenai amal yang paling utama. Dalam kesempatan ini Rasulullah menjawab "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya". Jawaban inilah yang dijadikan dalil oleh Imam Bukhari untuk memberikan judul bab hadits ini: مَنْ قَالَ إِنَّ الإِيمَانَ هُوَ الْعَمَلُ (Orang yang mengatakan "Iman adalah Perbuatan"). Bahwa iman, dalam arti tashdiq (membenarkan) adalah termasuk amal (perbuatan). Demikian pula, perkataan juga termasuk amal (perbuatan). Maksudnya, keyakinan adalah perbuatan hati, dan perkataan adalah perbuatan lisan. Karenanya pada pertanyaan berikutnya kita akan mendapati jawaban Rasulullah adalah "jihad fi sabilillah" dan "haji mabrur", padahal keduanya adalah termasuk bagian dari iman sebagaimana yang telah dijelaskan pada hadits-hadits sebelumnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa iman yang dimaksud dalam hadits ini adalah tashdiq, amal hati.
قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
Ditanyakan lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "Jihad di jalan Allah."
Pada pertanyaan kedua ini dipakai kata ثم (kemudian). Ini menunjukkan perbedaan dan urutan. Perbedaan maksudnya amal yang kedua tidak sama dengan amal yang pertama. Urutan maksudnya amal yang pertama lebih utama dari amal yang kedua. Jika ada yang bertanya "Bukankah digunakan ثم (kemudian) yang menunjukkan perbedaan, ini berarti jihad dan haji bukan termasuk iman, karena kalau termasuk iman tidak perlu dikatakan lagi?" Maka jawabannya adalah seperti penjelasan sebelumnya. Bahwa iman yang dimaksud dalam hadits ini adalah tashdiq, amal hati.
Kita perhatikan juga, pada jawaban kedua ini Rasulullah menjawab dengan jihad dalam bentuk ma'rifat (definit, memakai "al"): الحهاد. Sedangkan pada jawaban iman dan haji digunakan bentuk nakirah (indefinit, tidak memakai "al"). Al Karmani berpendapat, itu menunjukkan iman dan haji tidak perlu diulang, sedangkan jihad itu berulang-ulang. Namun hal ini dibantah oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani bahwa itu tidak benar, penggunaan makrifat dan nakirah hanyalah penyampaian. Nakirah juga bisa menunjukkan arti ta'zhim yang berarti kesempurnaan, sedangkan makrifat menunjukkan arti al-ahdu, sesuatu yang telah diketahui.
قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ
Ditanyakan lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "haji yang mabrur."
Pada pertanyaan ketiga ini, Rasulullah menjawabnya dengan "haji yang mabrur". Haji yang mabrur adalah haji yang diterima. Haji yang tidak dicampuri dengan riya' dan perbuatan dosa. Tidak ada yang tahu apakah haji seseorang itu mabrur atau tidak, namun meningkatnya ibadah dan kebaikan seseorang setelah haji dapat dipakai sebagai salah satu indikatornya.
Hadits pertanyaan Abu Dzar Al-Ghifari ini bukanlah satu-satunya hadits mengenai "amal yang paling utama." Ada beberapa sahabat yang menanyakan pula kepada Rasulullah mengenai amal yang paling utama, namun oleh Rasulullah SAW dijawab dengan amal yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa tingkat keutamaan amal di sini tidak mutlak. Bahwa setelah iman, amal yang paling utama adalah jihad kemudian haji mabrur, sementara amal-amal yang lain berada di bawahnya. Bukan, bukan begitu. Namun Rasulullah menjawab pertanyaan beda penanya beda jawaban itu adalah berdasarkan kondisi dan kebutuhan si penanya.
Ketika Abdullah Ibnu Mas'ud bertanya dengan pertanyaan yang sama: أي العمل أفضل (amal apa yang paling utama), Rasulullah menjawab dengan mendahulukan shalat tepat pada waktunya, kemudian birrul walidain, baru jihad fi sabilillah. Hadits itu juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Sedangkan ketika Abu Amamah (dalam riwayat An-Nasa'i) bertanya hal yang sama, dijawab Rasulullah SAW dengan : "puasa".
Penjelasan lebih lengkap sekaligus renungan tentang perbedaan jawaban ini bisa juga kita lihat DI SINI.
Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Iman dalam makna tashdiq (membenarkan, meyakini) adalah amal hati, sebagaimana ikrar atau ucapan juga merupakan amal lisan;
2. Para sahabat adalah orang-orang yang sangat antusias dengan amal shalih dan sangat bersemangat dengan kebaikan. Pertanyaan-pertanyaan mengenai amal yang paling utama, apa yang paling baik, dan sebagainya menunjukkan antusiasme dan semangat itu;
3. Boleh bagi kita untuk menyampaikan suatu pelajaran dalam peristiwa tertentu tanpa menyebut nama pelakunya;
4. Iman kepada Allah dan Rasul-Nya, jihad fi sabilillah dan haji mabrur adalah termasuk amal-amal yang paling utama;
5. Tngkat keutamaan amal bergantung pada kondisi dan kebutuhan masing-masing orang;
6. Rasulullah menjawab pertanyaan sahabat –dalam hal ini- berdasarkan kondisi dan kebutuhan mereka sehingga menjadi solusi terbaik bagi perbaikan diri dan peningkatan ketaqwaan mereka. Tampak jelas pula bahwa Rasulullah sangat memahami keadaan para sahabat. Demikian pula hendaknya para dai meneladani beliau untuk memahami mad'unya dan berorientasi solusi dalam membimbing mereka.
Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-26. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga istiqamah dalam iman, perbaikan diri dan peningkatan ketaqwaan. Allaahumma aamiin.
Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Hadits 27: Mukmin atau Muslim? Memberi itu Perlu Prioritas
Tertarik dengan judul di atas? Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya dapat hadir kembali. Kali ini kita akan membahas hadits ke-27, yang masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Pembahasan hadits ke-27 ini diberi judul "Mukmin atau Muslim? Memberi itu Perlu Prioritas", karena pada hadits ini nanti kita akan mendapatkan dua pelajaran utama yaitu tentang hakikat seseorang apakah mukmin atau muslim, dan bagaimana Rasulullah SAW mempertimbangkan sesuatu dalam menyusun skala prioritas pemberian/hadiah.
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-27:
عَنْ سَعْدٍ رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَعْطَى رَهْطًا وَسَعْدٌ جَالِسٌ ، فَتَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - رَجُلاً هُوَ أَعْجَبُهُمْ إِلَىَّ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ عَنْ فُلاَنٍ فَوَاللَّهِ إِنِّى لأَرَاهُ مُؤْمِنًا . فَقَالَ أَوْ مُسْلِمًا . فَسَكَتُّ قَلِيلاً ، ثُمَّ غَلَبَنِى مَا أَعْلَمُ مِنْهُ فَعُدْتُ لِمَقَالَتِى فَقُلْتُ مَا لَكَ عَنْ فُلاَنٍ فَوَاللَّهِ إِنِّى لأَرَاهُ مُؤْمِنًا فَقَالَ أَوْ مُسْلِمًا . ثُمَّ غَلَبَنِى مَا أَعْلَمُ مِنْهُ فَعُدْتُ لِمَقَالَتِى وَعَادَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ثُمَّ قَالَ يَا سَعْدُ ، إِنِّى لأُعْطِى الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْهُ ، خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللَّهُ فِى النَّارِ
Dari Sa'ad r.a. bahwa Rasulullah SAW pernah membagi-bagikan hadiah kepada beberapa orang. Pada saat itu Sa'ad sedang duduk di dekat mereka. Akan tetapi Rasulullah tidak memberikannya kepada seorang laki-laki, dan hal tersebut sangat menarik perhatianku. Aku bertanya kepada Rasulullah, "Apa sebabnya engkau tidak memberikan hadiah tersebut kepada si fulan? Demi Allah! Menurutku ia adalah seorang Mukmin." Maka Rasulullah bersabda, "atau seorang Muslim?"Aku terdiam sebentar. Kemudian pengetahuan tentang orang itu mendesakku untuk bertanya lagi. "Apa sebabnya engkau tidak memberikan hadiah tersebut kepada si fulan? Demi Allah! Menurutku ia adalah seorang Mukmin." Maka Rasulullah bersabda, "atau seorang Muslim?" Kemudian pengetahuan tentang orang itu mendesakku untuk bertanya lagi dan Rasulullah memberikan jawaban yang sama. Lalu beliau bersabda, "Hai Sa'ad, sesungguhnya aku akan memberi orang itu, akan tetapi aku lebih suka memberikannya kepada orang lain untuk menjaga orang yang diberi itu jangan sampai ditelungkupkan di neraka."
Penjelasan Hadits
عَنْ سَعْدٍ رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَعْطَى رَهْطًا وَسَعْدٌ جَالِسٌ
Dari Sa'ad r.a. bahwa Rasulullah SAW pernah membagi-bagikan hadiah kepada beberapa orang. Pada saat itu Sa'ad sedang duduk di dekat mereka.
Yang dimaksud dengan Sa'ad paa hadits ini adalah Sa'ad bin Abi Waqash.
Kata رَهْطًا artinya adalah sekelompok orang yang terdiri dari dari 3 sampai 10 orang. Bisa juga berarti sekelompok orang dari Bani atau Kabilah yang sama.
Jadi saat itu Rasulullah membagi-bagikan hadiah kepada sekelompok orang. Dan demikianlah kedermawanan Rasulullah. Beliau adalah orang yang paling dermawan, suka memberi, dan tidak menolak permintaan selagi beliau bisa memenuhi permintaan itu. Namun kali ini, ada pemandangan ganjil yang ditangkap oleh Sa'ad bi Abi Waqash.
فَتَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - رَجُلاً هُوَ أَعْجَبُهُمْ إِلَىَّ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ عَنْ فُلاَنٍ فَوَاللَّهِ إِنِّى لأَرَاهُ مُؤْمِنًا
Akan tetapi Rasulullah tidak memberikannya kepada seorang laki-laki, dan hal tersebut sangat menarik perhatianku. Aku bertanya kepada Rasulullah, "Apa sebabnya engkau tidak memberikan hadiah tersebut kepada si fulan? Demi Allah! Menurutku ia adalah seorang Mukmin."
Itulah pemandangan ganjil yang ditangkap Sa'ad. Tersisa satu orang dari kelompok itu yang tidak diberi oleh Rasulullah SAW. Di sini, perhatian Sa'ad terusik. Keheranannya muncul. Di samping, ia juga terdorong untuk menanyakan kepada Rasulullah SAW barangkali beliau terlupa atau ada alasan tertentu.
Sa'ad yang memiliki asumsi kuat (zhannul ghalib) terhadap orang itu kemudian bertanya kepada Rasulullah sekaligus mempersaksikan asumsinya dengan bersumpah (فَوَاللَّهِ). Atas dasar ini muncullah pendapat bahwa sumpah diperbolehkan meskipun hanya didasari asumsi yang kuat, karena Rasulullah SAW tidak melarang Sa'ad untuk bersumpah. "Demi Allah! Menurutku ia adalah seorang Mukmin." Inilah persaksian Sa'ad sekaligus alasannya agar orang tersebut semestinya juga diberi karena ia mukmin.
Namun, mendengar pertanyaan dan pernyataan tersebut, Rasulullah SAW justru balik bertanya.
أَوْ مُسْلِمًا
Atau ia seorang Muslim?
Inilah pertanyaan Rasulullah. Beliau ingin agar Sa'ad mengevaluasi persaksiannya yang seakan-akan memastikan kalau seseorang itu mukmin. Benarkah ia mukmin atau baru muslim?
فَسَكَتُّ قَلِيلاً ، ثُمَّ غَلَبَنِى مَا أَعْلَمُ مِنْهُ فَعُدْتُ لِمَقَالَتِى فَقُلْتُ مَا لَكَ عَنْ فُلاَنٍ فَوَاللَّهِ إِنِّى لأَرَاهُ مُؤْمِنًا فَقَالَ أَوْ مُسْلِمًا
"Aku terdiam sebentar. Kemudian pengetahuan tentang orang itu mendesakku untuk bertanya lagi. "Apa sebabnya engkau tidak memberikan hadiah tersebut kepada si fulan? Demi Allah! Menurutku ia adalah seorang Mukmin."
Sa'ad berfikir sebentar. Namun asumsinya yang kuat terhadap orang itu mendorongnya untuk bertanya dengan pertanyaan yang sama. Memberikan persaksian dengan sumpah yang sama. Bahwa orang itu adalah mukmin.
أَوْ مُسْلِمًا
Atau ia seorang Muslim?
Rasulullah SAW juga menjawab dengan bertanya balik. Pertanyaan yang sama.
Tanya jawab ini kemudian terulang sekali lagi. Hingga akhirnya Rasulullah menjelaskan alasannya mengapa satu orang itu tidak diberi oleh Rasulullah SAW.
يَا سَعْدُ ، إِنِّى لأُعْطِى الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْهُ ، خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللَّهُ فِى النَّارِ
"Hai Sa'ad, sesungguhnya aku akan memberi orang itu, akan tetapi aku lebih suka memberikannya kepada orang lain untuk menjaga orang yang diberi itu jangan sampai ditelungkupkan di neraka."
Itulah alasannya. Rasulullah SAW juga berkeinginan memberi orang itu. Namun beliau memiliki pertimbangan lain untuk memprioritaskan siapa yang diberi dan siapa yang tidak. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa sekelompok orang yang ada si situ bersama orang ini adalah mualaf. Mereka baru masuk Islam. Dan untuk menguatkan keislaman mereka, Rasulullah memperbesar perhatian kepada mereka dalam bentuk pemberian itu. Maka jadilah keislaman mereka makin kuat. Mereka merasa diapresiasi oleh Rasulullah. Mereka merasa mendapatkan kepastian jaminan hidup dalam Islam. Persis seperti apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW pasca perang Hunain yang saat itu beliau memberikan bagian ghanimah yang sangat besar kepada para mualaf, namun tidak memberikan bagian kepada kaum Anshar yang telah kuat keimanannya. Dan kondisi orang yang satu ini, yang tidak diberi oleh Rasulullah saat ini, juga seperti itu. Ia bukan mualaf. Ia muslim yang kuat. Kalaupun tidak diberi, tidak mengapa bagi dia yang telah memiliki keimanan.
Namun demikian, seseorang seperti Sa'ad tidak boleh memastikan orang itu mukmin hanya dari pandangan zhahir saja. Karenanya ketika Sa'ad bersumpah bahwa orang itu mukmin, Rasulullah bertanya apakah ia mukmin atau muslim. Dalam riwayat Ibnu Arabi ada lafadz tambahan bahwa Rasulullah bersabda kepada Sa'ad: لا تقل مؤمن بل مسلم ("Jangan katakan mukmin, tapi katakanlah muslim").
Dari sana tahulah Sa'ad, dan juga kita, bahwa jawaban Rasulullah SAW mengandung hikmah yang dalam. Bahwa tidak seyogyanya seseorang memuji dan mempersaksikan keimanan orang lain dari zhahirnya, karena iman adalah perkara batin. Kedua, bahwa Rasulullah SAW memberikan kepada mereka (orang-orang mualaf) pemberian itu untuk menguatkan keislaman mereka. Dikhawatirkan, jika mereka tidak diberi seperti itu mereka akan murtad dan murtad itu menyebabkan mereka ditelungkupkan ke neraka. Inilah makna sabda Nabi "akan tetapi aku lebih suka memberikannya kepada orang lain untuk menjaga orang yang diberi itu jangan sampai ditelungkupkan di neraka".
Dalam riwayat-riwayat yang lain dijelaskan bahwa orang yang tidak diberi oleh Rasulullah itu bernama Ja'il. Ia seorang muhajirin. Kedudukannya mulia dalam pandangan Rasulullah SAW. Suatu saat Rasulullah bertanya kepada Abu Dzar, "Bagaimana pendapatmu tentang Ja'il?". Abu Dzar menjawab, "Seperti muhajirin lainnya." Kemudian Rasulullah bertanya, "Bagaimana pendapatmu tentang si fulan?". Abu Dzar menjawab, "Ia adalah pemimpin kaum". Lalu Rasulullah SAW bersabda, "Jika demikian, Ja'il lebih baik dari dirinya."
Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah adalah orang yang dermawan, beliau biasa membagi-bagikan hadiah/pemberian;
2. Diperbolehkan bertanya kepada qiyadah/pemimpin terkait hal-hal yang tidak dipahami dan diperbolehkan pula untuk menyampaikan usul atau pendapat demi memperoleh maslahat (kebaikan bersama);
3. Diperbolehkan untuk menegaskan satetemen/pernyataan dengan sumpah. Sebagian ulama berpendapat bahwa sumpah diperbolehkan meskipun hanya didasari asumsi yang kuat;
4. Tidak diperbolehkan memastikan seseorang telah mukmin hanya berdasarkan zahirnya saja, karena iman adalah masalah hati yang tidak dapat diketahui orang lain secara pasti;
5. Boleh memastikan seseorang dengan menyebutnya sebagai muslim, bahkan dianjurkan, karena keislaman seseorang bisa dipastikan dari syahadat yang telah ia ikrarkan atau amal jasadiyah yang ia kerjakan;
6. Secara terminologi, iman tidak sama dengan islam. Seorang muslim (yang telah bersyahadat) belum tentu mukmin (hatinya benar-benar beriman), namun seorang mukmin sudah pasti muslim;
7. Diantara bentuk pengajaran adalah dialog, diantaranya dengan bertanya kembali kepada murid agar ia merenung dan berfikir tentang pertanyaan itu;
8. Dalam memberikan sesuatu, hendaklah memiliki prioritas berdasarkan kemanfaatan yang lebih besar. Sehingga diperbolehkan memberi sesuatu kepada sebagian orang dan tidak memberikannya kepada sebagian yang lain. Dalam hadits ini Rasulullah membagikan pemberian kepada sekelompok orang yang masih mualaf dan tidak kepada Ja'il yang telah mukmin agar mereka semakin kuat keislamannya. Sementara Ja'il yang termasuk muhajirin, tidak diberi hadiah itu pun tidak masalah. Hal yang sama juga dilakukan Rasulullah pasca perang Hunain. Rasulullah membagikan ghanimah yang banyak kepada Mualaf Mekah agar keislamannya semakin kuat, sementara kaum Anshar tidak diberi sejumlah ghanimah.
Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-27. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga bisa menjadi seorang mukmin, serta mampu mengambil ibrah dan hikmah dari segala ilmu dan pengalaman.
Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Hadits 28: Menyebarkan Salam Bagian Dari Islam
Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-28, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Pembahasan hadits ke-28 ini diberi judul "Menyebarkan Salam Bagian Dari Islam", sesuai dengan judul asli yang diberikan oleh Imam Bukhari (باب إِفْشَاءُ السَّلاَمِ مِنَ الإِسْلاَمِ).
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-28:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
Dari Abdullah bin Amr, bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Islam bagaimanakah yang lebih baik?" Maka beliau menjawab, "Memberi makan dan mengucap salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak engkau kenal."
Penjelasan Hadits
Matan hadits ini persis dengan hadits kita bahas sebelumnya yakni Hadits 12: Humanisme Islam. Kedua hadits tersebut diriwayatkan Abdullah bin Amr. Baik pertanyaannya maupun jawaban Rasulullah SAW, keduanya sama persis.
Namun demikian, seperti dijelaskan pada hadits sebelumnya, ketika Imam Bukhari mencantumkan dua hadits yang matan (redaksi) nya sama, beliau memiliki maksud tersendiri ketika menempatkan hadits dengan matan serupa di tempat yang berbeda. Pertama, karena hadits tersebut mengandung pelajaran yang tidak cukup hanya dipaparkan pada satu bab saja. Kenyataannya, memang banyak hadits Nabi yang memuat sejumlah kandungan berbeda. Ia berbicara tentang aqidah, sekaligus juga menerangkan tentang ibadah dan akhlak, misalnya.
Kedua, Imam Bukhari berkeinginan agar umat Islam yang mempelajari kitab shahihnya mendapatkan penekanan kembali mengenai hal yang sangat penting, yang dirasa kemanfaatannya sangat banyak jika hadits dengan matan yang mirip itu ditampilkan. Kemungkinan hal kedua ini yang menjadi alasan hadits ke-12 yang matannya sama dengan hadits ke-28 ini sama-sama dimuat dalam Kitabul Iman. Karenanya Imam Bukhari memberikan judul yang berbeda. Hadits ke-12 diberinya judul (باب إِطْعَامُ الطَّعَامِ مِنَ الإِسْلاَمِ), penekanannya pada memberi makan. Sedangkan hadits ke-28 ini diberinya judul (باب إِفْشَاءُ السَّلاَمِ مِنَ الإِسْلاَمِ), penekanannya pada mengucap/menyebarkan salam.
Ketiga, Sesungguhnya Imam Bukhari tidak pernah mengulang hadits dengan matan dan sanad yang sama persis. Kalaupun matannya sama, sanadnya pasti berbeda. Demikian pula dengan hadits ini. Meskipun hadits ke-12 dan hadits ke-28 diriwayatkan dari dari Laits, dari Yazid, dari Abul Khair, dari Abdullah bin Amr, namun Imam Bukhari menerima hadits ke-12 dari Amru bin Khalid, sedangkan hadits ke-28 diterimanya dari Qutaibah.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Islam memiliki nilai humanisme yang sangat tinggi. Sebab Islam bukan hanya mengatur hubungan kepada Allah, melainkan juga pada sesama.
2. Memberikan makan kepada fakir miskin dan upaya meningkatkan kesejahteraan mereka merupakan salah satu ajaran Islam yang sekaligus menunjukkan betapa tingginya humanisme Islam;
3. Muslim hendaknya menciptakan kedamaian di manapun ia berada. Menyebarkan salam kepada siapapun, baik yang dikenal maupun tidak adalah bagian dari upaya ini, sepanjang tidak dikhawatirkan mereka itu orang kafir;
4. Rasulullah adalah teladan terbaik yang sangat luar biasa. Beliau menjawab pertanyaan dengan jawaban yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan penanya.
Demikian hadits ke-28 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita, memotivasi kita untuk memperbaiki kualitas keislaman kita, hingga menjadikan kita termasuk muslim yang baik yang diantara indikatornya adalah gemar memberi makan orang lain dan menyebarkan salam. Wallaahu a'lam bish shawab.
Hadits 29: Durhaka Kepada Suami = Kufur?
Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-29, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Imam Bukhari memberi judul bab untuk hadits ini dengan باب كُفْرَانِ الْعَشِيرِ وَكُفْرٍ دُونَ كُفْرٍ (Kufur Kepada Suami dan Kufur Duna Kufrin). Jika kemudian pembahasan hadits ini diberi judul "Durhaka Kepada Suami = Kufur?" ini semata-mata untuk memudahkan saja. Selamat membaca.
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-29:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ . قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Diperlihatkan neraka kepadaku. Ketika itu aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita." Seseorang bertanya, "Apakah mereka kufur kepada Allah?" Rasulullah menjawab, "Mereka kufur kepada suami dan tidak berterima kasih atas kebaikan yang diterimanya. Walaupun sepanjang masa engkau telah berbuat baik kepada mereka, begitu mereka melihat sedikit kesalahan darimu, maka mereka berkata, 'Aku tak pernah melihat kebaikan darimu'"
Penjelasan Hadits
Hadits ke-29 ini sebenarnya adalah potongan dari hadits panjang yang secara lengkap bisa dicantumkan pada hadits ke-1052 pada bab Shalat Gerhana Berjama'ah dan hadits ke-5197 pada bab Kufur kepada suami. Dari sinilah Ibnu Hajar Al-Asqalani menyimpulkan bahwa Imam Bukhari membolehkan memotong hadits ketika menyampaikan, baik yang di depannya maupun di belakangnya, asalkan tidak merusak makna hadits itu.
أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ
Diperlihatkan neraka kepadaku. Ketika itu aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita
Jamak diketahui bahwa Rasulullah SAW diperlihatkan surga dan neraka ketika Mi'raj. Pada saat itu diantara pemandangan yang beliau lihat ialah banyaknya wanita yang masuk neraka. Ada sebagian orientalis yang menjadikan hadits-hadits seperti ini sebagai alat untuk menuduh Islam tidak memuliakan wanita. Padahal jika dihubungkan dengan populasi umat manusia, sebenarnya hadits ini sangat wajar. Bukankah populasi wanita lebih banyak dari laki-laki? Andai pun prosentase laki-laki dan wanita yang masuk neraka sama, secara kuantitas jumlah perempuan tampak lebih besar. Namun demikian, tentu ada sebab mengapa banyak wanita yang masuk neraka. Dan di sinilah kecerdasan para sahabat terlihat. Kecerdasan spiritual yang membuat mereka mengajukan pertanyaan agar mengetahui sebabnya lalu mengkondisikan istri dan putri mereka agar terhindar dari sebab itu.
قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ
Seseorang bertanya, "Apakah mereka kufur kepada Allah?"
Inilah pertanyaan sahabat. Karena mereka memahami bahwa faktor penyebab utama masuk ke dalam neraka adalah kekufuran; kufur kepada Allah. Sebagaimana faktor utama masuk surga adalah tauhid.
قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ
Rasulullah menjawab, "Mereka kufur kepada suami dan tidak berterima kasih atas kebaikan yang diterimanya.
Inilah jawaban Rasulullah SAW. Mereka bukan kufur kepada Allah alias kafir sebagai lawan dari iman. Namun mereka durhaka kepada suami. Durhaka kepada suami disebut kufur karena ia termasuk kemaksiatan, sebagaimana ketaatan juga bisa disebut iman. Abu Bakar bin Al Arabi menjelaskan dalam syarah-nya bahwa Imam Bukhari memberi judul bab ini dengan kata "kufur" maksudnya bukanlah kufur yang menyebabkan seseorang keluar dari agama. Karenanya pula, pada judul bab ada istilah "Kufr duuna kufrin" (kufur yang bukan kekafiran) sebuah istilah yang dipopulerkan Ibnu Abbas khususnya saat mengingkari fitnah kaum khawarij.
Hadits ini semestinya menjadi peringatan bagi kaum wanita agar tidak durhaka kepada suami, dalam hal-hal yang yang tidak bertentangan dengan syariat. Demikian pula agar para istri membiasakan mengucapkan terima kasih kepada suami atas kebaikan-kebaikannya.
Bukan berarti para suami lantas menuntut terima kasih dan ketaatan dari istrinya setelah mengetahui hadits ini tanpa berbuat hal yang sama. Sungguh Islam telah mengatur kehidupan berumah tangga dengan cara yang sangat indah dan mulia. Bagi seorang suami ada kewajiban yang harus dipenuhi, ada pula hak baginya. Pun bagi istri, ada kewajiban yang harus dijalankannya, ada pula hak baginya. Jika masing-masing mampu menunaikan kewajibannya, maka hak keduanya akan tercapai dengan sendirinya. Jika masing-masing saling berterima kasih atas kebaikan, bahkan saat selesai berhubungan seksual, tentu keduanya akan hidup dalam keharmonisan; sakinah mawaddah wa rahmah.
لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
Walaupun sepanjang masa engkau telah berbuat baik kepada mereka, begitu mereka melihat sedikit kesalahan darimu, maka mereka berkata, 'Aku tak pernah melihat kebaikan darimu'
Inilah diantara bentuk kedurhakaan istri kepada suami. Mungkin karena menuruti perasaan/emosi, seorang istri begitu saja melupakan kebaikan-kebaikan suaminya hanya karena satu kesalahan, lantas menyebutnya tak pernah berbuat baik. Ibarat peribahasa, akibat setitik nila rusak susu sebelanga atau panas setahun dihapus hujan sehari. Dan betapa banyak kasus yang telah terjadi, karena hal seperti ini kemudian timbul masalah dalam kehidupan berumah tangga, bahkan sampai terjadi cerai. Na'udzubillah.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Rasulullah SAW diberi keistimewaan oleh Allah SWT untuk melihat neraka, khususnya pada saat Mi'raj;
2. Kebanyakan penduduk neraka adalah wanita. Ini sejalan pula dengan populasi wanita di dunia yang lebih banyak dari laki-laki;
3. Kecerdasan spiritual para sahabat yang bertanya mengenai sebab masuk neraka sehingga dengan mengetahui sebab itu bisa berhati-hati dan berusaha menghindarinya;
4. Diantara sebab wanita masuk neraka adalah durhaka kepada suami dan tidak pandai berterima kasih atas kebaikannya;
5. Durhaka kepada suami termasuk perbuatan kufur, namun bukan kufur yang mengeluarkan seseorang dari agamanya;
6. Boleh menyampaikan hadits secara tidak lengkap, asalkan tidak merusak maknanya;
7. Ketika mendapati kesalahan suami, hendaknya seorang istri tidak bersikap seolah-olah suaminya tidak pernah berbuat kebaikan kepadanya.
Demikian hadits ke-29 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dihindarkan dari durhaka kepada suami, serta mampu menjaga istri dan anak kita dari hal itu. Demikian pula sebagai suami semoga mampu saling memenuhi kewajiban kepada istri sehingga terwujudlah keluarga sakinah mawaddah wa rahmah di dunia, serta dikumpulkan kembali di surga.
Hadits 30: Maksiat adalah Perbuatan Jahiliyah, Islam itu Indah
Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-30, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Hadits yang berisi pengalaman Abu Dzar ditegur keras oleh Rasulullah SAW ini mengajarkan kepada kita bahwa kemaksiatan, seperti mencaci seseorang dengan menghina ibunya adalah perbuatan jahiliyah yang harus ditinggalkan. Sebaliknya, Islam mengajarkan interaksi yang sangat indah kepada sesama, termasuk hamba sahaya. Karenanya, pembahasan hadits ke-30 Shahih Bukhari ini kita beri judul: Maksiat adalah Perbuatan Jahiliyah, Islam itu Indah.
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-30:
عَنِ الْمَعْرُورِ قَالَ لَقِيتُ أَبَا ذَرٍّ بِالرَّبَذَةِ ، وَعَلَيْهِ حُلَّةٌ ، وَعَلَى غُلاَمِهِ حُلَّةٌ ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ إِنِّى سَابَبْتُ رَجُلاً ، فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ ، فَقَالَ لِىَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ ، إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ ، جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ ، فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ ، وَلاَ تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ ، فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ
Dari Al-Ma'rur bahwa ia berkata, "Saya bertemu dengan Abu Dzar di Rabadzah. Beliau dan hamba sahayanya mengenakan pakaian (mantel) yang serupa. Kemudian saya bertanya apa sebabnya mereka mengenakan pakaian yang serupa. Abu Dzar menjawab, 'Aku pernah memaki seseorang dengan menghina ibunya. Lalu Nabi SAW berkata kepadaku, "Wahai Abu Dzar, apakah kau memaki dia dengan menghina ibunya? Rupanya masih ada dalam dirimu karakteristik jahiliyah. Para hambamu adalah saudara-saudaramu yang Allah titipkan di bawah tanggungjawabmu. Oleh karena itu, barangsiapa memiliki hamba sahaya, hendaklah hamba sahaya itu diberikan makanan yang dimakan dan diberi pakaian yang dipakai serta janganlah mereka dibebani dengan pekerjaan yang berada di luar kemampuan mereka. Jika mereka terpaksa mengerjakannya maka bantulah mereka."
Penjelasan Hadits
لَقِيتُ أَبَا ذَرٍّ بِالرَّبَذَةِ ، وَعَلَيْهِ حُلَّةٌ ، وَعَلَى غُلاَمِهِ حُلَّةٌ ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ
Saya bertemu dengan Abu Dzar di Rabadzah. Beliau dan hamba sahayanya mengenakan pakaian (mantel) yang serupa. Kemudian saya bertanya apa sebabnya mereka mengenakan pakaian yang serupa.
Abu Dzar yang dimaksud di sini adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Sedangkan Rabadzah adalah sebuah perkampungan yang berjarak 3 mil dari Madinah.
Lihatlah Abu Dzar Al Ghifari ini! Demikianlah para sahabat. Mereka mengamalkan apa yang telah diajarkan Sang Nabi meskipun berlawanan dengan tradisi dan dinilai banyak orang sebagai sesuatu yang merendahkan diri. Namun bagi orang yang mulia karena keimanan, tidak masalah jika pakaiannya sama dengan pakaian budak, apalagi sekadar anak buah atau bawahan. Justru dengan kerelaan memakai dan memberikan pakaian yang sama, nyatalah Islam mempersamakan derajat setiap manusia. Bahkan antara budak dan tuannya. Di kemudian hari, melalui berbagai upaya termasuk kaffarat, Islam secara besar-besaran menghapus perbudakan.
Lihatlah Al-Ma'rur. Demikianlah semestinya para pecinta ilmu dan kebenaran. Ia menanyakan hal yang tak diketahuinya, yang besar sekali kemungkinannya ia mendapatkan manfaat dari sana: ilmu agama, juga pengamalannya.
فَقَالَ إِنِّى سَابَبْتُ رَجُلاً ، فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ
Abu Dzar menjawab, 'Aku pernah memaki seseorang dengan menghina ibunya.
Lihatlah Abu Dzar Al Ghifari sekali lagi! Ia tidak malu untuk menceritakan kesalahannya asalkan orang lain dapat belajar dari dirinya. Ia tidak menyembunyikan ilmu agar terhadap hadits Rasulullah SAW ini semua umat tahu. Meski dalam cerita itu ada kesalahan Abu Dzar. Sebab sahabat seperti Abu Dzar sadar bahwa orang yang baik bukanlah orang yang suci sama sekali dari kesalahan, namun orang yang menyadari kesalahannya, lalu memperbaiki diri dan tidak mengulangi.
Dan itulah yang pernah dilakukan oleh Abu Dzar Al-Ghifari. Ia memaki seseorang. Dalam sebuah riwayat, orang itu adalah Bilal bin Rabah, ketika Abu Dzar berselisih dengannya. Maka Abu Dzar yang kala itu marah memaki Bilal; يا بن السوداء (wahai anak orang Negro).
Makian seperti itu mungkin dianggap wajar oleh manusia di zaan sekarang. Namun Islam menegaskan bahwa segala makian bisa menyakiti perasaan, apalagi ketika nadanya menghina ibu yang seharusnya dimuliakan.
فَقَالَ لِىَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ
Lalu Nabi SAW berkata kepadaku, "Wahai Abu Dzar, apakah kau memaki dia dengan menghina ibunya? Rupanya masih ada dalam dirimu karakteristik jahiliyah.
Kini lihatlah Rasulullah! Rasulullah demikian marah dengan hinaan seperti itu keluar dari lisan orang beriman seperti Abu Dzar. Maka beliau menegaskan bahwa menghina ibu seseorang adalah perbuatan jahiliyah. Betapa tegasnya Rasulullah dan betapa tegasnya Islam itu. Ia tak pandang bulu. Siapa yang salah harus dibetulkan. Siapa yang bengkok harus diluruskan. Dan hakikat sesuatu harus diungkapkan. Bahwa hinaan seperti itu adalah perbuatan jahiliyah yang harus dihindari dan ditiadakan.
Mengapa? Sebab Islam –sekali lagi- sejak pertama kali didakwahkan telah membuat aturan istimewa bahwa semua manusia berderajat sama. Baik orang Arab maupun non Arab. Baik yang berkulit putih maupun hitam. Islam datang dalam rangka menghapuskan penghambaan dan penyembahan manusia kepada manusia lainnya. Dan penghambaan itu biasanya bermula dari pemuliaan satu kelompok manusia dan penghinaan kelompok lainnya. Islam tidak memperbolehkan perbuatan jahiliyah semacam itu.
Namun demikian, meskipun menghina yang merupakan kemaksiatan dan segala kemaksiatan merupakan perbuatan jahiliyah, ia tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam; sepanjang bukan kesyirikan. Inilah aqidah Islam. Inilah yang diajarkan Rasulullah yang tetap memperlakukan dan menyayangi Abu Dzar setelah mengingatkannya. Dan inilah yang ingin disampaikan Imam Bukhari dalam hadits ini. Bahwa klaim khawarij tidak benar dan tidak dapat dibenarkan. Khawarij menyatakan bahwa segala kemaksiatan, segala perbuatan jahiliyah, mengeluarkan manusia dari Islam dan membuatnya kekal di neraka.
إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ ، جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ ، فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ ، وَلاَ تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ ، فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ
Para hambamu adalah saudara-saudaramu yang Allah titipkan di bawah tanggungjawabmu. Oleh karena itu, barangsiapa memiliki hamba sahaya, hendaklah hamba sahaya itu diberikan makanan yang dimakan dan diberi pakaian yang dipakai serta janganlah mereka dibebani dengan pekerjaan yang berada di luar kemampuan mereka. Jika mereka terpaksa mengerjakannya maka bantulah mereka.
Subhaanallah! Lihatlah ajaran Islam ini! Ajaran mana yang lebih indah daripada ajaran ini. Ideologi mana yang lebih humanis daripada ideologi ini. Petunjuk mana yang lebih mulia daripada petunjuk ini.
Bahkan budak dipersamakan derajatnya dengan saudara dan harus diperlakukan dengan mulia. Lalu bagaimana halnya dengan pembantu, anak buah, bawahan, pegawai, dan karyawan? Bukankah mereka lebih berhak untuk diperlakukan secara manusiawi dan didekati dengan interaksi yang memuliakan?
Oh, di manakah kebaikan paham komunis yang menghendaki kemenangan kaum proletar di atas puing-puing kehancuran kelompok lainnya. Dan dimanakah kebaikan paham kapitalis yang demi keuntungan korporasi membiarkan rakyat kecil terampas hak-haknya. Kalau demikian, mengapa kita tidak bergerak untuk memperjuangkan kembali Islam yang indah ini. Apakah kita menunggu orang lain yang kita sebut pahlawan untuk datang dan membantu? Percayalah, mereka takkan pernah datang. Bahkan, mereka telah hadir di sini. Sebagiannya sedang membaca hadits ini.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Diantara karakteristik para sahabat adalah mengamalkan dengan sungguh-sungguh hadits Rasulullah SAW yang telah didengarnya serta memperbaiki diri dari kesalahan yang pernah dilakukannya;
2. Tidak boleh memaki seseorang dengan menghina ibunya;
3. Menghina ibu adalah perbuatan jahiliyah. Demikian pula kemaksiatan dalam arti yang luas, baik mendurhakai perintah maupun melanggar larangan Allah;
4. Kemaksiatan atau perbuatan jahiliyah tidaklah mengeluarkan pelakunya dari agama, kecuali kemaksiatan atau perbuatan yang tergolong kesyirikan;
5. Derajat manusia dalam Islam adalah setara. Tidak ada manusia yang boleh dihina oleh manusia lainnya baik dengan alasan warna kulit maupun suku bangsa;
6. Islam mengajarkan agar memperlakukan budak secara manusiawi dan terhormat, apalagi kepada orang-orang merdeka;
7. Tidak boleh membebani budak dengan pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakannya, apalagi terhadap pegawai atau karyawan yang bukan budak. Kalaupun terpaksa melakukan pekerjaan yang memberatkan, hendaklah pimpinan/majikan juga turut membantunya sehingga pekerjaan itu menjadi ringan karena ditanggung bersama.
Demikian hadits ke-30 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dihindarkan dari perbuatan jahiliyah, dimudahkan untuk menjalankan Islam yang begitu indah, serta ikut berkontribusi dalam memperjuangkannya melalui dakwah. Wallaahu a'lam bish shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar