Hadits 31: Dua Muslim yang Saling Membunuh, Keduanya Masuk Neraka
Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-31, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Imam Bukhari memberi judul hadits ini
باب ( وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ) فَسَمَّاهُمُ الْمُؤْمِنِينَ (Bab "Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!" Allah menyebut tetap mereka mukmin). Untuk memudahkan, pembahasan hadits ke-31 Shahih Bukhari ini kita beri judul: Dua Muslim yang Saling Membunuh, Keduanya Masuk Neraka.
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-31:
عَنِ الأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ ذَهَبْتُ لأَنْصُرَ هَذَا الرَّجُلَ ، فَلَقِيَنِى أَبُو بَكْرَةَ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قُلْتُ أَنْصُرُ هَذَا الرَّجُلَ . قَالَ ارْجِعْ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِى النَّارِ . فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ
Dari Al-Ahnaf bin Qais bahwa ia berkata, "Pada suatu ketika saya hendak pergi menolong seseorang yang sedang berkelahi. Secara kebetulan saya bertemu Abu Bakar, ia pun berkata, "Mau ke mana kau?" Kujawab, "Aku akan menolong orang itu." Ia berkata lagi, "Kembalilah! Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Apabila dua orang muslim berkelahi dan masing-masing mempergunakan pedang maka si pembunuh dan yang terbunuh, keduanya masuk neraka." Aku bertanya, "Hal itu bagi pembunuh, bagaimana dengan yang terbunuh?" Beliau menjawab, "Karena orang yang terbunuh itu juga berusaha untuk membunuh saudaranya."
Penjelasan Hadits
عَنِ الأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ ذَهَبْتُ لأَنْصُرَ هَذَا الرَّجُلَ ، فَلَقِيَنِى أَبُو بَكْرَةَ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قُلْتُ أَنْصُرُ هَذَا الرَّجُلَ
Dari Al-Ahnaf bin Qais bahwa ia berkata, "Pada suatu ketika saya hendak pergi menolong seseorang yang sedang berkelahi. Secara kebetulan saya bertemu Abu Bakar, ia pun berkata, "Mau ke mana kau?" Kujawab, "Aku akan menolong orang itu."
Dalam hadits ini tidak disebutkan dialog awal antara Al-Ahnaf dan Abu Bakar. Kita tidak mendapatkan ucapan salam ketika keduanya bertemu karena tidak ada keharusan untuk menceritakan kisah secara lengkap dalam periwayatan. Yang penting adalah dialog yang relevan dengan pembahasan hadits yang hendak disampaikan.
Pada hadits ke-29 yang telah dibahas sebelumnya, bahkan diperbolehkan bagi perawi untuk menyampaikan hadits secara tidak lengkap (mencuplik sebagian), asalkan tidak merusak maknanya.
قَالَ ارْجِعْ
Ia berkata lagi, "Kembalilah!"
Riwayat Al-Ahnaf ini menunjukkan potret kehidupan sahabat Nabi yang peduli dengan sesamanya. Baik Al-Ahnaf maupun Abu Bakar. Bedanya, Al-Ahnaf belum mengetahui bagaimana hukum perkelahian yang dilakukan oleh dua orang tersebut. Kepedulian Abu Bakar tidak kalah besar. Setelah tahu tujuan Al-Ahnaf, Abu Bakar mencegahnya agar tidak menolong salah satunya. Larangan Abu Bakar ini dimungkinkan ia mengetahui lebih detail bahwa kedua orang tersebut tak bisa lagi dilerai.
قَالَ ارْجِعْ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِى النَّارِ
Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Apabila dua orang muslim berkelahi dan masing-masing mempergunakan pedang maka si pembunuh dan yang terbunuh, keduanya masuk neraka."
Di sinilah poin penting yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin. Bahwa kepedulian terbesar seorang muslim kepada muslim lainnya adalah mengupayakannya agar berada di atas petunjuk; mengajaknya agar menetapi Al-Qur'an dan sunnah. Dan itulah yang dilakukan Abu Bakar kepada Al-Ahnaf. Ia menunjukkan sabda Rasulullah SAW terkait kasus kedua orang yang berkelahi itu.
Korelasi sabda Rasulullah SAW ini dengan masalah iman adalah bahwa ada perbuatan-perbuatan maksiat atau dosa yang bisa menjerumuskan seorang muslim ke neraka. Misalnya adalah perbuatan dua orang yang berkelahi dan saling membunuh. Namun demikian, selama kedua orang tersebut tidak melakukan kesyirikan, keduanya masih dikategorikan sebagai muslim. Bahkan, dalam QS. Al-Hujurat ayat 9 disebutkan bahwa dua pihak yang berperang masih disebut mukmin; dan itulah yang dijadikan judul oleh Imam Bukhari dalam hadits ini.
Jika perkelahian itu benar-benar saling membunuh, lalu salah satunya terbunuh, maka kedua-duanya masuk neraka. Inilah yang harus diwaspadai oleh kaum muslimin agar tidak sampai terbawa emosi dan tersulut amarah kemudian terlibat persengketaan dan perkelahian dengan sesama muslim.
فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ
Aku bertanya, "Hal itu bagi pembunuh, bagaimana dengan yang terbunuh?"
Abu Bakar bertanya mengapa yang terbunuh juga masuk neraka. Kalau yang membunuh, ia pantas masuk neraka karena perbuatan buruknya itu; menghilangkan nyawa seorang muslim. Tapi yang terbunuh? Bagaimana penjelasannya?
Sikap Abu Bakar ini –sebagaimana sikap sahabat yang lain dalam hadits sebelumnya- juga merupakan potret karakter para sahabat yang mengamalkan wahyu; فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ "bertanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak mengetahui" (QS. Al-Anbiya' : 7). Dan lihatlah, pertanyaat mereka adalah pertanyaan emas. Pertanyaan yang begitu jawabannya diketahui membawa efek/perubahan bagi amal mereka.
قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ
Beliau menjawab, "Karena orang yang terbunuh itu juga berusaha untuk membunuh saudaranya."
Inilah jawabannya. Karena ia (yang tebunuh), juga berusaha membunuh. Jika ada yang bertanya, bukankah ada hadits lain yang menjelaskan bahwa seorang yang berniat jelek tidak dihitung dosa sebelum melakukannya? Jawabannya adalah, orang ini bukan hanya niat, tetapi juga telah berbuat. Yaitu ia juga berusaha membunuh. Kalau saja bukan karena kedahuluan ia terbunuh, tentu dialah yang membunuh.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Diantara karakteristik para sahabat adalah peduli dengan sesama muslim, selalu berusaha membantu dan menolong mereka. Dan kepedulian terbesar adalah membuat seorang muslim berada di atas petunjuk Al-Qur'an dan sunnah;
2. Wajib menyampaikan ilmu yang telah diketahui, khususnya jika kebutuhannya mendesak dan jika tidak disampaikan akan menimbulkan kemudharatan;
3. Tidak boleh bagi seorang muslim berkelahi dengan muslim yang lainnya, apalagi sampai pada tingkat saling berusaha membunuh;
4. Dua orang muslim yang berkelahi dan saling membunuh, maka keduanya diancam masuk neraka, baik yang membunuh maupun terbunuh;
5. Ada perbuatan-perbuatan maksiat, seperti berkelahi ini, yang menyebabkan seorang muslim masuk neraka tetapi tidak otomatis mengeluarkannya dari agama.
Demikian hadits ke-31 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dihindarkan dari permusuhan sesama muslim, apalagi sampai pada taraf saling membunuh. Semoga Allah senantiasa menjaga kita berada dalam ukhuwah Islamiyah; saling mencintai, saling menyayangi. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Hadits 32: Syirik adalah Kezaliman Terbesar
Alhamdulillah, pembahasan Hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-32, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Hadits ini membahas tafsir QS. Al-An'am ayat 83, khususnya istilah zalim pada ayat itu. Para sahabat mengkhawatirkan diri mereka terancam keimanannya karena sadar bahwa tidak seorang pun suci dari perbuatan zalim. Kemudian dijelaskanlah kepada mereka apa "zalim" yang dimaksudkan dalam ayat tersebut. Karenanya, pembahasan Hadits Shahih Bukhari ke-32 ini kita beri judul "Syirik adalah Kezaliman Terbesar".
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-32:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتِ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Dari Abdullah bahwa ia berkata, "Ketika turun ayat 'Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman' (QS. Al-An'am : 82) para sahabat bertanya "Siapa diantara kita yang tidak berbuat zalim?" Maka Allah menurunkan ayat 'Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang besar' (QS. Luqman : 13)"
Penjelasan Hadits
Jika sebelumnya, seluruh hadits mulai dari hadits ke-1 hingga hadits ke-31 kita mendapati matan (redaksi) nya berbentuk hadits qauli (perkataan Rasulullah), hadits fi'li (perbuatan Rasulullah yang diceritakan oleh sahabat), atau gabungan keduanya; maka pada hadits ke-32 ini seakan-akan kita tidak melihat matan hadits ini dinisbatkan kepada Rasulullah, baik secara perkataan maupun perbuatan.
Secara tekstual matan hadits di atas menjelaskan perbuatan para sahabat. Hadits semacam ini lebih dikenal dengan istilah atsar. Namun yang perlu diingat, setiap atsar yang terjadi ketika Rasulullah SAW masih hidup (perkataan atau perbuatan sahabat itu diketahui Rasulullah), lalu Rasulullah SAW mendiamkannya, maka diamnya Rasulullah SAW itu merupakan taqrir (persetujuan). Selain hadits qauli dan hadits fi'li, hadits taqriri merupakan jenis ketiga.
Kembali ke hadits ke-32 ini, sebenarnya ada hadits lain yang hampir sama namun matannya berbeda. Diantaranya adalah hadits ke-3360. Ketika kita bertemu hadits itu, kita akan mendapati di dalamnya disebutkan bahwa Rasulullah SAW menjawab kekhawatiran mereka dengan mengingatkan pada QS. Luqman ayat 13.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتِ ( الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ ) قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ
Dari Abdullah bahwa ia berkata, "Ketika turun ayat 'Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman' (QS. Al-An'am : 82) para sahabat bertanya "Siapa diantara kita yang tidak berbuat zalim?"
Perhatikanlah hadits ini! Demikianlah para sahabat mengkhawatirkan keimanan mereka. Ada sikap khauf yang sangat besar pada diri para sahabat, sebagaimana mereka juga memiliki sikap raja' yang juga besar. Kehati-hatian para sahabat inilah yang membedakannya dengan generasi kita sekarang.
Para sahabat, meskipun mereka adalah mukmin terbaik, mereka tetap khawatir terjadi sesuatu dengan iman mereka. Sementara generasi kita saat ini, ada yang sedemikian 'yakin' bahwa imannya tak akan goyah hingga mengatakan "Iman yang kuat tak akan takut pada keraguan. Iman yang dangkal dan dogmatis selalu was-was pada pertanyaan dan keragu-raguan."
Maka ketika turun ayat ke-82 surat Al-An'am :
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-An'am : 82)
Para sahabat bersedih. " أَيُّنَا لَمْ يَظْلِم ْ" (siapakah yang tidak berbuat zalim?). Pertanyaan ini mengisyaratkan kekhawatiran para sahabat kalau-kalau mereka tidak mendapatkan jaminan keamanan dari Allah dan tidak mendapat petunjuk dariNya karena sangat berat menjadi orang yang benar-benar bersih dari zhulmun (perbuatan zalim).
Lihatlah di sini. Bukankah para sahabat tidak mengklaim diri mereka sebagai orang yang suci. Para sahabat tidak menyatakan bahwa diri mereka bebas dari kesalahan. Lalu mengapa kita yang bukan siapa-siapa merasa sebagai orang bersih dan suci?
Pertanyaan sahabat itu juga mengindikasikan bahwa mereka memahami kata "dhulm" pada ayat di atas sebagai kezaliman secara umum. Kezaliman yang berarti meletakkan sesuatu/perkara bukan pada tempatnya. Dalam bahasa Indonesia, zalim disepadankan dengan kata aniaya. Di sini kekhawatiran para sahabat mendapatkan pembenarannya. Bukankah tidak memenuhi hak diri sendiri (baik jasadiyah, fikriyah maupun ruhiyah) dengan tepat adalah zalim; zalim terhadap diri sendiri? Bukankah tidak memenuhi hak istri dengan sempurna juga bisa dikatakan zalim? Bukankah tidak memenuhi hak anak dan orang tua dengan semestinya juga bisa disebut zalim? Makna zalim secara umum yang semula dipahami sahabat saat itu juga mendapatkan alasan karena kata "zhulmun" pada ayat di atas dalam bentuk nakirah (indefinitif).
"Menurut pendapatku," tulis Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, "para sahabat menafsirkan kata 'zhulmun' secara umum yaitu mencakup syirik dan perbuatan maksiat lainnya, hal ini juga sebagaimana dikehendaki oleh Imam Bukhari."
يَظْلِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Maka Allah menurunkan ayat 'Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang besar' (QS. Luqman : 13)"
Inilah tafsir ayat QS. Al-An'am : 82 itu. Bahwa "zhulmun" yang dimaksudkan adalah syirik (mempersekutukan Allah SWT). Dan inilah langkah pertama dalam metode tafsir bil ma'tsur; menafsirkan Al-Qur'an dengan ayat lain yang menjelaskannya.
Dijelaskan dalam hadits yang lain bahwa setelah mengetahui bahwa "zhulmun" yang dimaksudkan adalah syirik, para sahabat menjadi tenang; kesedihannya hilang.
Lalu bagaimana kita mengkorelasikan hadits ini dengan hadits yang lain? Pada hadits ini para sahabat mengetahui tafsirnya setelah diturunkan QS. Luqman ayat 13, sedangkan pada hadits yang lain Rasulullah mengingatkan mereka pada ayat tersebut. Di sini dapat disimpulkan bahwa sesudah QS. Al-An'am : 82 turunlah QS. Luqman : 13. Lalu Rasulullah mengingatkan para sahabat dengan ayat tersebut sebagai tafsirnya.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Diantara karakteristik para sahabat adalah menjadikan keimanan dan permasalahan akhirat sebagai orientasi hidup mereka. Maka kesedihan maupun ketenangan hidupnya selalu didasarkan pada kondisi iman;
2. Para sahabat memiliki sikap khauf (takut kepada Allah, mengkhawatirkan akhiratnya) yang sangat besar;
3. Para sahabat tidak menganggap (mengklaim) diri mereka bersih dan suci dari semua kesalahan/kezaliman dalam maknanya yang umum;
4. Segala hal yang tidak benar dan tidak tepat menurut syariat bisa disebut zalim. Maka baik syirik maupun perbuatan maksiat, semuanya masuk dalam istilah zalim secara umum;
5. Kata "zhulmun" dalam QS. Al-An'am ayat 82 maknanya adalah syirik;
6. Syirik adalah kezaliman terbesar;
7. Iman dan syirik (besar) tidak mungkin berkumpul dalam diri seseorang.
Demikian hadits ke-32 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dilindungi Allah SWT dari kezaliman terbesar yaitu syirik serta kezaliman secara umum yaitu segala perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Allah SWT. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Hadits 33: Tanda-tanda Munafik (1)
Pembahasan Hadits Shahih Bukhari, biidznillah, kini memasuki hadits ke-33. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Sebagaimana judul yang diberikan oleh Imam Bukhari " باب عَلاَمَةِ الْمُنَافِقِ", pembahasan Hadits Shahih Bukhari ke-33 ini kita beri judul "Tanda-tanda Munafik".
Berikut ini matan (redaksi) Hadits Shahih Bukhari ke-33:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat"
Penjelasan Hadits
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga:
Hadits ini adalah hadits yang sangat populer, sekaligus hadits yang sangat penting untuk memperingatkan kita agar waspada terhadap kemunafikan; jangan sampai penyakit itu menjangkiti kita.
Munafik (المنافق) artinya adalah orang yang nifaq (النفاق). Nifaq secara bahasa berarti ketidaksamaan antara lahir dan batin. Jika ketidaksamaan itu dalam hal keyakinan, hatinya kafir tetapi mulutnya mengatakan beriman, maka ia termasuk nifaq i'tiqadi. Pada zaman Rasulullah SAW, di Madinah ada munafik-munafik jenis ini dengan gembongnya bernama Abdullah bin Ubay bin Salul. Nifaq jenis ini seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah : 8)
Karena kemunafikan itu masalah hati yang tersembunyi, maka tidak seorangpun yang bisa memastikan seseorang itu munafik atau bukan. Bahkan sahabat sekaliber Umar bin Khatab pun tidak mengetahuinya. Hanya seorang sahabat yang tahu satu per satu orang-orang munafik di Madinah waktu itu. Dialah Hudzaifah Ibnul Yaman. Hudzaifah mengetahui siapa orang-orang munafik karena Rasulullah SAW memberitahukan kepadanya. Itu merupakan salah satu keutamaan Hudzaifah sehingga ia dijuluki pemegang rahasia Rasulullah.
Meskipun tidak dapat diketahui secara pasti, kemunafikan bisa diwaspadai dari tanda-tandanya. Dalam hadits ini Rasulullah SAW menjelaskaskan bahwa tanda-tanda munafik itu ada tiga.
Jika tanda-tanda munafik ini ada pada seseorang, hendaklah orang itu diwaspadai supaya tidak dijadikan pemimpin bagi umat Islam. Namun yang lebih penting, dengan memperhatikan tiga tanda-tanda munafik ini kita mewaspadai diri kita agar jangan sampai kemunafikan hinggap dalam jiwa.
Tanda Munafik yang Pertama
إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ
jika berbicara ia berbohong
Inilah tanda munafik yang pertama; gemar berbohong. Semakin sering berbohong, semakin dekat dengan kemunafikan.
Dalam hadits lain Rasulullah SAW pernah mensifati seorang mukmin. Bahwa mungkin saja seorang mukmin itu penakut, mungkin saja bakhil, tetapi tidak mungkin seorang mukmin itu pembohong.
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ جَبَانًا فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ بَخِيلًا فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا فَقَالَ لَاََََ
Ditanyakan kepada Rasulullah Saw: “Apakah seorang mukmin bisa menjadi penakut?” Beliau menjawab: ‘Ya.” Lalu ditanya lagi: “Apakah seorang mukmin bisa menjadi bakhil?” Beliau menjawab: “Ya.” Lalu ditanyakan lagi: “Apakah seorang mukmin bisa menjadi pembohong?” Beliau menjawab: “Tidak!” (HR. Malik dari Sofwan bin Sulaim dalam Al-Muwatha')
Tanda Munafik yang Kedua
وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
jika berjanji ia mengingkari
Inilah tanda munafik yang kedua; gemar mengingkari janji. Semakin sering mengingkari janji, semakin dekat dengan kemunafikan. Karenanya, berhati-hatilah dengan janji.
Tanda munafik yang kedua ini tidak lebih mudah dihindari daripada tanda munafik pertama. Sering kali seorang muslim sudah mampu menjaga agar perkataannya benar, menghindari berbohong, tetapi ia masih mudah berjanji padahal ia tahu dirinya sulit memenuhi janji itu. Apalagi jika seseorang menjadi pemimpin; dorongan untuk berjanji biasanya lebih besar. Maka intensitas memberikan janji semakin besar. Lihatlah praktik kampanye di zaman sekarang. Bukankah dalam satu pertemuan saja bisa dicatat sekian banyak janji? Berhati-hatilah.
Tanda Munafik yang Ketiga
وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
dan jika diberi amanah ia berkhianat
Ini tanda munafik yang ketiga; mengkhianati amanah. Semakin sering dilakukan, semakin dekat dengan kemunafikan. Semakin besar amanah yang dikhianati, semakin jelas tanda kemunafikan. Sekali lagi, meskipun kita tidak bisa memastikan.
Amanah bentuknya bisa bermacam-macam. Bisa jadi ia adalah pekerjaan atau profesi yang di dalamnya ada kewajiban yang seharusnya kita penuhi. Bisa jadi ia adalah kepemimpinan yang dipercayakan kepada kita. Bahkan titipan barang dari orang lain agar kita menjaganya, atau rahasia dari orang lain agar kita menyimpannya, semua itu termasuk amanah.
Maka, marilah kita melakukan introspeksi diri agar tidak terjerumus dalam kemunafikan. Jika selama ini kita kurang komit terhadap kejujuran, mudah mengingkari janji atau menganggap remeh amanah, marilah kita bertaubat dan memperbaiki diri.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Munafik adalah orang yang nifaq, antara lahir dan batinnya tidak sama (bertolak belakang). Yang paling parah adalah ketika secara dzahir mengatakan beriman tetapi hatinya kafir ;
2. Meskipun orang munafik tidak dapat diketahui secara pasti, namun tanda-tandanya dapat dikenali;
3. Tanda-tanda orang munafik ada tiga yaitu jika berbicara ia dusta, jika berjanji ia mengingkari dan jika diberi amanah ia berkhianat.
Demikian Hadits ke-33 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dilindungi Allah SWT dari kemunafikan dan orang munafik, serta dikaruniai taufiq agar terjauh dari tanda-tanda munafik. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Hadits 34: Tanda-tanda Munafik (2)
Pembahasan hadits Shahih Bukhari, biidznillah, kini memasuki hadits ke-34. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Sebagaimana hadits ke-33, hadits ke-34 ini juga membicarakan tanda-tanda munafik. Bedanya, jika pada hadits ke-33 disebutkan tiga tanda, pada hadits ini ada empat. Karenanya, pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-34 ini kita beri judul "Tanda-tanda Munafik (2)".
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-34:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
Dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, "Empat hal, barangsiapa memilikinya maka ia adalah munafik tulen. Barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat itu, maka ia memiliki karakter munafik hingga ia melepaskannya: Jika dipercaya ia berkhianat, jika berbicara ia bohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika berdebat ia bertindak tak terpuji."
Penjelasan Hadits
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا
Empat hal, barangsiapa memilikinya maka ia adalah munafik tulen. Barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat itu, maka ia memiliki karakter munafik hingga ia melepaskannya:
Kita mungkin bertanya, mengapa pada hadits sebelumnya disebutkan tiga tanda munafik sedangkan pada hadits ini disebutkan ada empat hal? Imam Al Qurthubi menjawab, "Ada kemungkinan Rasulullah SAW baru mengetahui sifat tambahan itu." Namun, pendapat ini tidak disetujui oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa kedua hadits di atas (hadits ke-33 dan ke-44) tidak ada pertentangan. Karena sifat yang menunjukkan karakter orang munafik belum tentu tanda-tanda munafik. Karena bisa saja tanda-tanda tersebut merupakan sifat asli munafik. Dan jika ditambahkan sifat yang lain maka kemunafikannya akan semakin sempurna (tulen).
Dalam riwayat Muslim ada tambahan kata مِنْ (dari) sehingga berbunyi مِنْ عَلاَمَاتِ الْمُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ (diantara tanda-tanda munafik itu ada tiga). Riwayat Muslim dari Abu Hurairah tersebut malah mengindikasikan tidak adanya pembatasan terhadap tanda-tanda munafik. Masih ada tanda lain di luar tiga itu, meskipun tiga tanda yang telah disebutkan pada hadits ke-33 adalah tanda-tanda pokok atau utama.
Empat hal yang akan disebutkan dalam lanjutan hadits ini jika terhimpun dalam diri seseorang, maka itu menjadi indikator bahwa orang tersebut adalah munafik tulen. Jika salah satu atau sebagiannya dimiliki seseorang, maka ia termasuk berkarakter munafik, sampai ia meninggalkan atau melepaskan sifat-sifat tersebut.
Apa saja keempat sifat itu?
إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
Jika dipercaya ia berkhianat, jika berbicara ia bohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika berdebat ia bertindak tak terpuji
Tiga hal yang disebutkan pertama adalah sama dengan tiga tanda-tanda munafik yang disebutkan pada hadits ke-33. Seperti disebutkan di awal, itulah tanda-tanda utama. Mengapa? Sebab domain amal seseorang hanya tiga; perkataan, perbuatan dan niat. Dusta itu merusak perkataan, khianat itu merusak perbuatan, mengingkari janji itu merusak niat. Sedangkan jika janji tidak terpenuhi tanpa sengaja (sebenarnya sudah berusaha tapi tidak berhasil), maka ia tidak dikategorikan sebagai tanda munafik, sebagaimana dijelaskan Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin.
Hal baru dalam hadits ini yang tidak disebutkan sebagai tanda munafik dalam hadits sebelumnya adalah bertindak "fujur" ketika berdebat. Fujur yang dimaksud dalam hadits ini adalah meninggalkan kebenaran dan menggunakan tipu daya untuk menolaknya. Sebenarnya karakter ini bisa dimasukkan dalam kategori berdusta dalam berbicara.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Tanda-tanda munafik yang pokok ada tiga. Namun, selain yang tiga itu ada sifat lain yang dimiliki oleh munafik, diantaranya bersikap buruk ketika berdebat dengan berdusta dan menggunakan tipu daya untuk menolak kebenaran;
2. Jika seseorang secara sempurna memiliki tanda-tanda munafik atau sifat munafik, maka ia adalah munafik tulen. Jika sebagian sifat yang dimiliki sedangkan yang lainnya tidak, maka ia memiliki sebagian kemunafikan;
3. Selain tiga tanda kemunafikan yaitu jika berbicara ia dusta, jika berjanji ia mengingkari dan jika diberi amanah ia berkhianat, orang yang munafik memiliki sifat fujur ketika berdebat (meninggalkan kebenaran dan menggunakan tipu daya untuk menolak kebenaran itu).
Demikian hadits ke-34 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dilindungi Allah SWT dari kemunafikan dan orang munafik, serta dikaruniai taufiq agar terjauh dari tanda-tanda munafik. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Hadits 35: Korelasi Iman dan Shalat pada Lailatul Qadar
Setelah membahas tanda-tanda munafik pada hadist sebelumnya, kita kini akan membahas kembali tanda-tanda keimanan dan kebaikannya.
Hadits yang akan kita bahas berikut adalah hadits ke-35, masih berada di bawah kitab iman. Ia berbicara mengenai keutamaan (fadhilah) menghidupkan lailatul Qadar. Dalam kaitannya dengan iman, menghidupkan lailatul Qadar adalah salah satu bagiannya. Karenanya, Imam Bukhari memberikan judul "Menegakkan Shalat pada Lailatul Qadar adalah sebagian dari Iman."
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-35:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Dari Abu Hurairah, ia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa menegakkan shalat pada Qadar karena iman dan mengharapkan perhitungan (pahala), maka diampuni dosanya yang telah lalu"
Penjelasan Hadits
Setelah Imam Bukhari menyebutkan hadits mengenai tanda-tanda kemunafikan, beliau kembali menyebutkan hadits mengenai tanda-tanda iman dan kebaikan/keutamaannya, karena pembicaraan tentang iman adalah tujuan utama dari kitabul iman. Maka di hadits ini beliau menjelaskan tentang shalat pada lailatul qadar adalah sebagian dari iman. Pada hadits selanjutnya nanti beliau menyebutkan shalat malam pada Ramadhan dan puasa Ramadhan adalah juga sebagian dari iman.
Berbeda dengan perawi lain yang menyebutkan matan hadits ini dengan fi'il madhi, matan hadits ke-35 Shahih Bukhari ini menggunakan fiil mudhari (kata kerja bentuk sekarang) pada kalimat syarat dan fi'il madhi (kata kerja bentuk lampau) pada kalimat jawab/konsekuensinya. Fi'il madhi pada kalimat jawab merupakan isyarat kepastian balasan dari Allah. Sedangkan fi'il mudhari pada kalimat syarat di hadits ini mengisyaratkan bahwa shalat pada lailatul qadar itu tidak dapat dipastikan. Ini berbeda dengan shalat malam dan puasa pada bulan Ramadhan pada hadist selanjutnya (37 dan 38). Keduanya dapat dipastikan sehingga haditsnya memakai fi'il madhi.
مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ
Menegakkan shalat pada lailatul Qadar
Inilah yang tidak dapat dipastikan. Selain Rasulullah, tidak ada manusia yang dapat memastikan bahwa saat itu adalah lailatul Qadar, meskipun dari berbagai hadita yang ada dapat diketahui tanda-tandanya dan malam keberapa di bulan Ramadhan yang lebih berpeluang menjadi waktu turunnya lailatul Qadar.
Yang dapat dilakukan adalah bermujahadah (sungguh-sungguh) untuk mendapatkan lailatul Qadar dengan memegakkan shalat pada malam-malam Ramadhan, terutama pada malam ganjil pada sepuluh hari terakhir. Dengan demikian, ketika turun lailatul Qadar, ia akan mendapatkan balasan/keutamaan yang ada pada hadita ini sebab ia pada saat itu terhitung menegakkan shalat di malam Qadar.
إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا
karena iman dan mengharapkan perhitungan (pahala)
Artinya dengan ikhlas. Seseorang menegakkan shalat karena iman dan mengharap ridha serta perhitungan (pahala) dari Allah, bukan mengharapkan sesuatu dari selain-Nya seperti pujian, dikatakan kuat beribadah dan lain-lain. Hadits ini dan yang sejenis juga menjadi dalil bahwa seorang hamba yang beribadah dengan mengharapkan pahala serta ingin memperoleh surga tetap masuk dalam kategori ikhlas. Tidak seperti klaim sebagian sufi yang mengatakan bahwa beribadah dengan mengharap surga dan takut neraka berarti tidak ikhlas.
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Diampuni dosanya yang telah lalu
Subhaanallah... adakah balasan lain yang lebih hebat daripada ini. Sungguh Allah maha pengampun lagi penyayang. Dia berkenan mengampuni dosa-dosa hambaNya dengan wasilah shalat malam pada lailatul Qadar. Jika seorang hamba telah mendapatkan ampunan, bukankah tempat kembalinya adalah surga? Adakah yang lebih hebat dari ini? Jika demikian, berarti lelah dan beratnya mujahadah untuk mencari lailatul Qadar dengan menegakkan shalat di malam-malam Ramadhan tidaklah seberapa dibandingkan dengan dahsyatnya balasan yang akan diterimanya
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Menegakkan shalat pada lailatul Qadar adalah sebagian dari iman;
2. Ibadah harus ikhlas dengan dilandasi iman, jika tidak ikhlas maka tidak akan diterima Allah SWT;
3. Diantara keutamaan shalat pada lailatul Qadar dengan ikhlas adalah diampuninya dosa yang telah lalu.
Demikian hadits ke-35 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita dimudahkan Allah untuk beribadah, diantaranya berupaya mencari lailatul qadar dengan menegakkan shalat pada malam-malam Ramadhan. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Hadits 36: Jihad adalah Sebagian dari Iman, Menang atau Syahid adalah Kebaikan
Senada dengan hadits ke-35, hadits ke-36 ini juga mengetengahkan bagian dari Iman. Meskipun secara eksplisit kita tidak menemukan kalimat seperti itu dalam hadits ini, Imam Bukhari memberikan judul باب الْجِهَادُ مِنَ الإِيمَانِ (Bab Jihad adalah sebagian dari Iman) untuk hadits ini.
Untuk lebih mengarahkan pembaca pada tekstual hadits, pembahasan hadits ke-36 ini judulnya diperpanjang menjadi "Jihad adalah Sebagian dari Iman, Menang atau Syahid adalah Kebaikan"
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-36:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ انْتَدَبَ اللَّهُ لِمَنْ خَرَجَ فِى سَبِيلِهِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ إِيمَانٌ بِى وَتَصْدِيقٌ بِرُسُلِى أَنْ أُرْجِعَهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيمَةٍ ، أَوْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَلَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى مَا قَعَدْتُ خَلْفَ سَرِيَّةٍ ، وَلَوَدِدْتُ أَنِّى أُقْتَلُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Allah menggembirakan hati orang yang berperang di jalan Allah, yakni orang yang berperang semata-mata karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya, bahwa ia akan kembali membawa kemenangan dan ghanimah, atau dimasukkan ke dalam surga. Andaikata tidak menyulitkan umatku, niscaya aku akan selalu ikut berperang. Aku ingin mati terbunuh di jalan Allah, kemudian hidup kembali dan terbunuh, kemudian hidup lagi dan terbunuh pula"
Penjelasan Hadits
انْتَدَبَ اللَّهُ لِمَنْ خَرَجَ فِى سَبِيلِهِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ إِيمَانٌ بِى وَتَصْدِيقٌ بِرُسُلِى
Allah menggembirakan hati orang yang berperang di jalan Allah, yakni orang yang berperang semata-mata karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya
Maksud dari "Allah menggembirakan hati" (انْتَدَبَ اللَّهُ) adalah segera memberikan balasan yang baik, atau mengabulkan keinginan. Bahwa bagi orang yang berjihad fi sabilillah, Allah akan memberikan satu dari dua hal yang akan disebutkan di belakang nanti.
Siapakah mujahid fi sabilillah (orang yang berperang di jalan Allah)? Hadits ini memberikan definisi bahwa mujahid fi sabilillah yang mendapatkan janji balasan kebaikan itu adalah orang yang berperang semata-mata karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Indikasi orang yang berperang karena keimanan semacam itu adalah, tujuannya berperang tidak lain adalah untuk meninggikan agama Allah.
Dalam hadits yang lain disebutkan,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ ، فَمَنْ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِىَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW lalu bertanya: "Ada orang berperang untuk mendapatkan ghanimah (rampasan perang), ada orang berperang supaya disebut-sebut (namanya), ada orang berperang supaya dilihat kedudukannya, maka manakah yang dapat disebut fi sabilillah?" Rasulullah menjawab: "Siapa yang berperang supaya kalimat Allah SWT menjadi tinggi, maka dia-lah yang berperang fi sabilillah" (HR. Bukhari)
Bagi orang-orang yang demikianlah, ada kabar gembira dari Allah, ada janji, ada balasan kebaikan yang akan didapatkan; baik ia menang maupun syahid. Apa itu balasannya?
أَنْ أُرْجِعَهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيمَةٍ ، أَوْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ
bahwa ia akan kembali membawa kemenangan dan ghanimah, atau dimasukkan ke dalam surga
Inilah balasannya. Sungguh, bagi mujahid fi sabilillah, ia menang maupun syahid, kedua-duanya adalah kebaikan. Jika ia menang maka ia akan kembali dengan membawa kemenangan dan ghanimah. Dengan kemenangan, dakwah akan semakin kokoh, Islam semakin kuat dan aturan-aturan Allah lebih luas dapat diterapkan. Sedangkan jika ia syahid, maka ia akan masuk surga.
Tak sekedar masuk surga seperti mukmin yang lain, orang yang syahid fi sabilillah memiliki keistimewaan khusus. Dalam sejumlah riwayat lainnya, termasuk dalam kitab jihad yang hadits-haditsnya insya Allah akan kita bahas pada gilirannya nanti, dapat diketahui bahwa keutamaan orang yang syahid fi sabilillah itu luar biasa. Diantaranya adalah tidak merasakan sakitnya mati kecuali seperti sakitnya digigit semut, mudah hisabnya karena dosanya diampuni kecuali hutang, dan sangat cepat dalam melintasi shirath menuju surga.
وَلَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى مَا قَعَدْتُ خَلْفَ سَرِيَّةٍ ، وَلَوَدِدْتُ أَنِّى أُقْتَلُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ
Andaikata tidak menyulitkan umatku, niscaya aku akan selalu ikut berperang. Aku ingin mati terbunuh di jalan Allah, kemudian hidup kembali dan terbunuh, kemudian hidup lagi dan terbunuh pula
Subhaanallah. Tidak ada keinginan Rasulullah untuk mati berkali-kali kecuali untuk mencapai syahid. Ini menggambarkan betapa besarnya pahala jihad dan mati syahid.
Rasulullah juga ingin untuk selalu ikut berperang. Namun beliau khawatir itu akan memberatkan umatnya, terlebih jika jihad dijadikan fardhu ain bagi setiap muslim pada setiap perang. Karenanya pada sebagian perang, khususnya perang-perang besar Rasulullah ikut, tetapi pada sebagiannya lagi Rasulullah menetap di Madinah, tidak ikut berperang. Perang Badar, Uhud, Ahzab, Khaibar, Fathu Makkah, dan Hunain, semuanya diikuti oleh Rasulullah. Tetapi pada beberapa ekspedisi (sariyah) Rasulullah cukup mengutus pasukan tanpa keikutsertaan beliau. Demikian juga pada perang Muktah, Rasulullah juga tidak ikut serta.
Begitu besarnya keutamaan mati syahid, hingga ketika orang yang syahid telah berada di surga, mereka juga memiliki keinginan seperti Rasulullah, seandainya bisa hidup lagi, berjihad lalu mati syahid lagi.
مَا أَحَدٌ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ يُحِبُّ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا وَلَهُ مَا عَلَى الأَرْضِ مِنْ شَىْءٍ ، إِلاَّ الشَّهِيدُ ، يَتَمَنَّى أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا فَيُقْتَلَ عَشْرَ مَرَّاتٍ ، لِمَا يَرَى مِنَ الْكَرَامَةِ
Tidak seorangpun yang masuk surga namun dia suka untuk kembali ke dunia padahal dia hanya mempunyai sedikit harta di bumi, kecuali orang yang mati syahid. Dia berangan-angan untuk kembali ke dunia kemudian berperang lalu terbunuh hingga sepuluh kali karena dia melihat keistimewaan karamah (mati syahid). (HR. Al-Bukhari)
Karena itu, sebagai seorang muslim kita harus memancangkan niat untuk ikut berjihad fi sabilillah. Meskipun pada kenyataannya nanti tidak ada kesempatan untuk berjihad, niat yang ikhlas dan jujur itu akan membawanya meraih syahadah (pahala atau kedudukan mati syahid).
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ طَلَبَ الشَّهَادَةَ صَادِقًا أُعْطِيَهَا وَلَوْ لَمْ تُصِبْهُ
Barangsiapa yang memohon syahadah (mati syahid) dengan jujur, maka dia akan diberikan (pahala) syahadah meskipun dia tidak mati syahid. (HR. Muslim)
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Untuk mengokohkan kaum mukminin, Allah SWT menunjukkan keutamaan sebagian ibadah, termasuk jihad fi sabilillah;
2. Jihad fi sabilillah dalam pandangan Allah adalah jihad yang dilandasi iman;
3. Jihad fi sabilillah senantiasa berakhir dengan kebaikan. Jika menang, mujahid mendapatkan kemenangan dan ghanimah. Sedangkan jika syahid, ia mendapatkan surga;
4. Keutamaan jihad dan mati syahid sangat besar. Begitu besarnya hingga Rasulullah SAW secara khusus menginginkan bisa mati syahid berkali-kali.
Demikian hadits ke-36 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita termasuk hamba-Nya yang memiliki niat untuk berjihad fi sabilillah, berdoa mendapatkan kemuliaan mati syahid dan mempersiapkan diri meraihnya. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Hadits 37: Ikhlas Shalat Malam pada Ramadhan adalah Sebagian dari Iman
Pembahasan hadits Shahih Bukhari, biidznillah, kini memasuki hadits ke-37. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Sebagaimana hadits ke-35 dan hadits ke-36, hadits ke-37 ini juga membicarakan bagian dari iman. Karenanya pada hadits-hadits tersebut Imam Bukhari memberikan judul yang selalu berakhiran dengan "minal iman" (bagian dari iman). Hadits ke-37 ini oleh Imam Bukhari diberi judul باب تَطَوُّعُ قِيَامِ رَمَضَانَ مِنَ الإِيمَانِ, yang diterjemahkan menjadi judul pembahasan hadits ini: "Ikhlas Shalat Malam pada Ramadhan adalah Sebagian dari Iman"
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-37:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa menegakkan shalat di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap perhitungan (pahala), maka diampuni dosanya yang telah lalu"
Penjelasan Hadits
Sebagaimana para ulama ahlus sunnah wal jama'ah lainnya, Imam Bukhari berkeyakinan bahwa amal shalih merupakan bagian dari iman dan dapat meningkatkan/mempertebal iman. Iman bisa bertambah dan berkurang. Perbuatan atau amal shalih dapat menambah iman, sebaliknya maksiat dapat menurunkan iman. Demikianlah aqidah yang lurus, yang berbeda dengan paham murji'ah yang berpendapat bahwa iman hanyalah pembenaran di hati, tanpa amal anggota badan.
Imam Bukhari agaknya ingin menekankan aqidah itu dalam kitab iman ini sehingga empat hadits berturut-turut, termasuk hadits ke-37 ini beliau beri judul yang selalu berakhiran dengan "minal iman" (bagian dari iman). Maka, beliau memberi judul باب قِيَامُ لَيْلَةِ الْقَدْرِ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-35, باب الْجِهَادُ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-36, باب تَطَوُّعُ قِيَامِ رَمَضَانَ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-37 ini, dan باب صَوْمُ رَمَضَانَ احْتِسَابًا مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-38 nanti.
قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا
Barangsiapa menegakkan shalat di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap perhitungan (pahala)
Seperti disebutkan pada hadits ke-35 yang merupakan pengecualian, semua hadits yang berisi kalimat syarat dan balasan/konsekuensi seperti ini keduanya menggunakan fi'il madhi. Khusus hadits ke-35 menggunakan fiil mudhari (kata kerja bentuk sekarang) pada kalimat syarat dan fi'il madhi (kata kerja bentuk lampau) pada kalimat jawab/konsekuensinya karena hadits itu mengisyaratkan bahwa shalat pada lailatul qadar itu tidak dapat dipastikan. Sedangkan pada hadits ini, kalimat syarat menggunakan fi'il madhi karena shalat malam pada bulan Ramadhan bisa dipastikan, sebagaimana dapat diketahui bahwa malam itu adalah Ramadhan.
Hadits ke-37 ini menjelaskan keutamaan shalat malam pada bulan Ramadhan, namun keutamaan itu hanya bisa didapatkan jika shalat malam itu dikerjakan dengan ikhlas, semata-mata karena iman dan mengharapkan balasan dari Allah.
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
diampuni dosanya yang telah lalu
Inilah keutamaan itu. Keutamaan yang luar biasa, diampuninya dosa-dosa yang telah lalu. Adakah ganjaran yang lebih hebat dari ini? Bukankah ini adalah kemurahan dan kasih sayang Allah untuk hamba-hambaNya yang beriman? Jika dosa sudah diampuni, itu berarti Allah meridhaiNya dan tempat kembalinya adalah surga.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Iman bukan sebatas pengakuan di hati, tetapi juga mewujud dalam amal. Sehingga amal yang baik akan menambah iman, sebaliknya amal yang jelek (kemaksiatan) akan mengurangi iman;
2. Menegakkan shalat pada bulan Ramadhan adalah sebagian dari iman;
2. Allah SWT hanya menerima ibadah yang ikhlas;
3. Diantara keutamaan shalat malam pada bulan Ramadhan dengan ikhlas adalah diampuninya dosa yang telah lalu.
Demikian hadits ke-37 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT sehingga senantiasa berusaha menjaga dan meningkatkan iman serta bersemangat dalam beribadah, termasuk shalat malam pada bulan Ramadhan. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Hadits 38: Puasa Ramadhan dengan Ikhlas adalah Sebagian dari Iman
Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits ke-38. Seperti hadits sebelumnya, hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Untuk hadits ke-38 ini, Imam Bukhari memberi judul باب صَوْمُ رَمَضَانَ احْتِسَابًا مِنَ الإِيمَانِ, yang diterjemahkan menjadi judul pembahasan hadits ini: "Puasa Ramadhan dengan Ikhlas adalah Sebagian dari Iman"
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-38:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap perhitungan (pahala), maka diampuni dosanya yang telah lalu"
Penjelasan Hadits
Sebagaimana disinggung pada hadits sebelumnya, hadits ke-38 ini merupakan salah satu dari empat hadits berturut-turut yang diberi judul oleh Imam Bukhari dengan berakhiran "minal iman" (bagian dari iman). Imam Bukhari memberi judul باب قِيَامُ لَيْلَةِ الْقَدْرِ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-35, باب الْجِهَادُ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-36, باب تَطَوُّعُ قِيَامِ رَمَضَانَ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-37, dan باب صَوْمُ رَمَضَانَ احْتِسَابًا مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-38 ini.
Empat hadits itu –sesuai judulnya- sengaja diletakkan pada urutan ini oleh Imam Bukhari untuk menegaskan bahwa iman itu bukan semata-mata keyakinan dalam hati, tetapi juga dibuktikan dengan amal. Dan amal-amal yang disebutkan dalam hadits ini merupakan bagian dari iman. Jika ia dilakukan, maka itu menjadikan iman semakin sempurna. Sebaliknya, jika ia tidak dilakukan, maka itu menandakan imannya kurang.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا
Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap perhitungan (pahala)
Matan hadits ini (hadits ke-38), hanya berbeda satu huruf dengan hadits sebelumnya (hadits ke-37). Jika pada hadits ke-37 menggunakan "qaf", hadits ini menggunakan "shad." Pada hadits ke-37, lafadz "Qaama" berarti shalat malam, lafadz "Shaama" pada hadits ke-38 ini artinya berpuasa. Itulah bedanya. Yang pertama adalah amal di malam hari, yang kedua amal di siang hari. Namun, kedua-duanya baru akan bernilai di sisi Allah jika dilandasi keikhlasan. Dan keduanya akan mendapatkan balasan yang sama-sama luar biasa.
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
diampuni dosanya yang telah lalu
Inilah balasan yang luar biasa itu. Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Allah SWT hanya menerima ibadah yang ikhlas;
2. Orang yang berpuasa Ramadhan dengan ikhlas, ia akan diganjar oleh Allah Ta'ala dengan diampuninya dosa yang telah lalu.
Demikian hadits ke-38 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT sehingga senantiasa berusaha menjaga dan meningkatkan iman serta bersemangat dalam beribadah, termasuk berpuasa dengan ikhlas pada bulan Ramadhan. Wallaahu a'lam bish shawab
Hadits 39: Islam itu Mudah
Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits ke-39. Hadits ke-39 ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Imam Bukhari memberi judul باب الدِّينُ يُسْرٌ (Agama itu Mudah) untuk hadits ini. Senada dengan itu, pembahasan hadits ke-39 ini kita beri judul: "Islam itu Mudah"
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-39:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya dan bergembiralah (dengan pahala Allah) dan mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam"
Penjelasan Hadits
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
Sesungguhnya agama itu mudah
Inilah karakter agama Islam sebagai agama yang telah diridhai Allah dan diturunkan dalam kesempurnaan kepada umat terakhir.
Ada pendapat yang mengatakan Islam dikatakan mudah karena ia berbeda dengan agama-agama sebelumnya, di mana Allah telah menghilangkan kesulitan-kesulitan yang dibebankan kepada umat terdahulu. Dicontohkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam hal taubat misalnya. Untuk diterima taubatnya, umat terdahulu ada yang diharuskan bunuh diri. Sedangkan bagi kaum muslimin cukup dengan menyesali dosanya, berjanji tidak mengulangi dan memperbanyak kebaikan.
Pada dasarnya, Islam adalah agama yang mudah karena ia diturunkan oleh Allah SWT yang Maha Tahu karakter dan kemampuan manusia. Manusia adalah ciptaan Allah dan Dialah yang paling tahu apa yang tepat serta mudah bagi ciptaan-Nya itu. Dia tidak memberikan beban atau kewajiban yang tidak sanggup ditanggung oleh hamba-Nya.
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. Al-Baqarah : 286)
Dalam hal aqidah, aqidah Islam yang pokoknya adalah tauhid merupakan keyakinan yang sejalan dengan fitrah, menenangkan hati dan memuaskan akal. Sehingga sangat mudah bagi manusia yang mau berfikir untuk mengikuti aqidah ini, tanpa kesulitan. Tidak seperti filsafat yang rumit dan juga tidak seperti politheisme yang membingungkan.
Dalam hal ibadah, ibadah Islam adalah ibadah yang mudah. Shalatnya lima waktu dalam sehari semalam merupakan ibadah yang pertengahan. Ia tidak seperti shalat umat terdahulu yang sampai puluhan kali dalam sehari dengan jangka waktu lama. Tidak pula terlalu jarang seperti peribadatan pekanan dalam agama selain Islam. Shalat bisa dilakukan di bumi mana saja, dengan baju yang mana saja asalkan menutupi aurat dan tidak melanggar syariah, dan dengan imam siapa saja dari kaum muslimin.
Puasa juga mudah. Ia hanya terbentang dari fajar hingga matahari terbenam. Satu bulan dalam satu tahun. Tidak seberat puasa kaum terdahulu. Selain mendekatkan kepada Allah, puasa juga menyehatkan pencernaan dan melatih kepekaan sosial.
Zakat dan haji juga demikian. Kedua ibadah yang sangat memerlukan harta ini hanya diwajibkan bagi kaum muslimin yang mampu. Mampu menunaikan zakat karena memiliki harta yang telah mencapai nishab dan haul, mampu menunaikan haji karena memiliki biaya serta aman dan kondusif dalam melaksanakannya.
Taubat bisa dilakukan siapa saja dengan cara yang juga mudah. Ia tidak seperti dipraktikkan agama lainnya yang mengharuskan seseorang yang berdosa untuk mengumumkan aibnya di depan orang lain dan membayar dengan sejumlah uang. Taubat dalam Islam bisa dilakukan oleh masing-masing orang hanya kepada Allah. Taubat dalam Islam berhak didapatkan oleh siapapun tanpa membedakan ia miskin atau kaya, banyak harta atau tidak memilikinya.
Muamalah dalam Islam juga sesuatu yang mudah. Ia sejalan dengan fitrah manusia dan tidak pernah memberatkan. Mulai dari jual beli dan berbagai bentuk interaksi sesama yang bertumpu pada prinsip keadilan, kasih sayang dan saling menguntungkan. Menikah juga mudah dilakukan. Islam tidak memberatkan mahar, namun menyerahkannya kepada kesepakatan antara kedua belah pihak calon suami dan istri sehingga mudah dipenuhi.
Allah SWT berfirman :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (QS. Al-Hajj : 78)
وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan
Siapa yang menentang Islam, ia akan kalah sendiri. Karena karakter agama Islam itu mudah, maka siapa yang menyulitkan diri sendiri ia akan kalah. Siapa yang berlebih-lebihan dalam agama ini ia akan kalah. Artinya, ia takkan mampu menjalankan agama ini dengan sempurna. Justru akan futur, jatuh dan tenggelam di tengah jalan.
Misalnya dicontohkan dalam sebuah hadits di mana ada tiga orang yang bertanya kepada Aisyah mengenai amal Rasulullah. Lalu mereka menyimpulkan bahwa mereka harus berusaha lebih karena Rasulullah telah diampuni dosanya. Maka orang pertama bertekad untuk qiyamullail sepanjang malam tanpa tidur. Orang kedua bertekad akan berpuasa setiap hari tanpa kecuali. Dan orang ketiga bertekad membujang selamanya, tanpa menikah.
Rasulullah SAW yang kemudian mengetahui perkara ini meluruskan mereka agar mengikuti sunnah Rasulullah. Bahwa qiyamullail dijalankan tetapi ada waktu untuk istirahat. Puasa tidak setiap hari, tetapi maksimalnya adalah puasa Dawud (sehari puasa sehari tidak). Dan seorang muslim hendaklah menikah, tidak membujang.
Apa yang diingatkan Rasulullah SAW itu tidak lain adalah mengikuti karakter agama ini. Bahwa Islam itu mudah. Dan seorang muslim tidak boleh berlebihan, memaksakan diri, atau memperberat yang akhirnya justru ia cepat bosan lalu berhenti, atau terhalang dari kewajiban dan keutamaan lain dari agama ini.
فَسَدِّدُوا
Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya,
Yaitu amalkanlah Islam itu sebagaimana mestinya, dengan baik dan benar, tanpa berlebihan dan tanpa menguranginya
وَقَارِبُوا
atau mendekati semestinya
Jika tidak mampu, berusahalah mendekati mestinya. Senantiasa berusaha mendekati kesempurnaan sebagaimana yang telah ditunjukkan Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur'an dan hadits
وَأَبْشِرُوا
dan bergembiralah (dengan pahala Allah)
Bergembiralah, karena dengan mengamalkan Islam sebagaimana adanya itu engkau akan mendapatkan pahala dari Rabbmu. Bergembiralah, sebab dengan menjalankan Islam yang mudah itu engkau akan mendapatkan ganjaran dan kebaikan dari Tuhanmu. Dan amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus meskipun ia sedikit. Ketidakmampuan seseorang dalam menjalankan perintah Allah tanpa kesengajaan tidaklah mengurangi pahalanya, dan sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada banyak amalan tetapi bid'ah.
وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
dan mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam
Al-Ghadwah (الْغَدْوَةِ) artinya permulaan siang. Ar-Rauhah (الرَّوْحَة) artinya setelah terbenamnya matahari. Ad-Duljah (الدُّلْجَةِ) artinya akhir malam.
Maksudnya adalah, mintalah pertolongan kepada Allah SWT dengan beribadah pada waktu-waktu yang telah ditentukan, utamanya adalah permulaan siang (Dzuhur), Maghrib dan waktu-waktu qiyamullail. Mintalah pertolongan kepada Allah dalam segala hal, baik urusan dunia maupun urusan akhirat, khususnya dalam bab ini adalah agar diisitiqamahkan dalam menjalankan Islam yang mudah, yang sesuai sunnah. Tanpa berlebih-lebihan sekaligus tanpa pengurangan.
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa hadits ini memiliki korelasi yang erat dengan hadits-hadits sebelumnya. Yakni jika hadits sebelumnya menunjukkan bahwa shalat, puasa dan jihad merupakan bagian dari iman dan memiliki keutamaan besar, hadits ini mengingatkan agar dalam menjalankan ketiganya kita tetap berada dalam koridor sunnah, sesuai dengan karakter Islam yang mudah. Tidak mempersulit diri dan berlebih-lebihan.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Islam itu agama yang mudah. Ia diturunkan dengan sempurna sesuai dengan fitrah dan kemampuan manusia;
2. Seorang muslim harus menjalankan Islam sesuai karakternya yang mudah, tidak mempersulit diri atau berlebih-lebihan;
3. Orang yang berlebih-lebihan dan mempersulit diri dalam beragama cenderung akan jatuh dalam kekalahan, baik itu bosan, futur atau terjebak pada ghuluw dan bid'ah;
4. Seorang muslim harus berusaha menjalankan Islam sebagaimana ia diperintahkan, jika tidak mampu hendaklah berusaha mendekatinya;
5. Seorang muslim harus optimis dengan pahala dan kebaikan yang akan diberikan kepadanya sebagai balasan atas komitmennya terhadap Islam dan sunnah;
6. Seorang muslim hendaklah senantiasa memohon kepada Allah dengan terus beribadah kepada-Nya;
7. Seorang muslim hendaklah memanfaatkan waktu-waktu utama dan memperhatikan kesempatannya untuk meraih momentum terbaik dalam beribadah dan beramal.
Demikian hadits ke-39 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT sehingga kita mampu menetapi Islam yang pada hakikatnya mudah ini. Semoga Allah menjadikan kita istoqmah, tanpa sikap berlebihan dan pengurangan. Karena, Islam itu Mudah. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Hadits 40: Nuansa Iman dalam Sejarah Perpindahan Kiblat
Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits ke-40. Hadits ke-40 ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Karena redaksinya menjelaskan sejarah perpindahan kiblat serta memasukkan amal ke dalam iman, pembahasan hadits ke-40 ini kita beri judul: "Nuansa Iman dalam Sejarah Perpindahan Kiblat"
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-40:
عَنِ الْبَرَاءِ أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ أَوَّلَ مَا قَدِمَ الْمَدِينَةَ نَزَلَ عَلَى أَجْدَادِهِ - أَوْ قَالَ أَخْوَالِهِ - مِنَ الأَنْصَارِ ، وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا ، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا ، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ ، وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلاَّهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ ، وَهُمْ رَاكِعُونَ فَقَالَ أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قِبَلَ مَكَّةَ ، فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ ، وَكَانَتِ الْيَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ يُصَلِّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ ، وَأَهْلُ الْكِتَابِ ، فَلَمَّا وَلَّى وَجْهَهُ قِبَلَ الْبَيْتِ أَنْكَرُوا ذَلِكَ . قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ فِى حَدِيثِهِ هَذَا أَنَّهُ مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ رِجَالٌ وَقُتِلُوا ، فَلَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
Dari Barra' bahwa Rasulullah SAW pertama kali datang ke Madinah tinggal di rumah kakek atau paman-paman beliau dari kalangan Ansar. Ketika itu Rasulullah shalat menghadap Baitul Maqdis (Al Quds atau Yerusalem) antara 16 atau 17 bulan lamanya. Sesungguhnya Rasulullah lebih suka Baitullah (Ka'bah) sebagai kiblatnya. Rasulullah SAW pertama kali melaksanakan shalat dengan menghadap Ka'bah adalah shalat Asar yang dilaksanakannya secara berjamaah. Kemudian salah seorang yang selesai bermakmum kepada Nabi keluar dan pergi melewati sebuah masjid pada saat jamaahnya sedang ruku' menghadap Baitul Maqdis. Lantas orang itu berkata, "Demi Allah, baru saja saya shalat bersama Rasulullah SAW menghadap ke Baitullah di Makkah." Maka dengan segera mereka mengubah kiblat menghadap ke Baitullah. Orang Yahudi dan ahli kitab mulanya sangat bangga ketika Nabi dan para pengikutnya shalat menghadap Baitul Maqdis. Tetapi setelah umat Islam beralih ke Baitullah mereka mencela perubahan itu. Zuhair berkata, Abu Ishaq mengatakan dari Barra' dalam hadits ini, bahwa banyak orang yang telah meninggal di masa kiblat masih ke Baitul Maqdis dan banyak juga yang terbunuh setelah kiblat menghadap ke Baitullah. Kami tidak mengerti bagaimana hukumnya shalat itu. Lalu turunlah ayat, "Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu."(QS. Al Baqarah : 143)
Penjelasan Hadits
Sebutan kakek atau paman adalah bahasa kiasan (majaz) untuk menunjukkan hubungan kekerabatan Rasulullah dengan kaum Ansar. Di mana ibu dari kakek Rasulullah (Abdul Muthalib) adalah Salma binti Amru yang berasal dari Bani Adi bin Najjar, Yatsrib, yang kini menjadi kaum Ansar. Saat pertama-tama di Madinah, Rasulullah tinggal di Bani Malik bin Najjar.
وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا ، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ
Ketika itu Rasulullah shalat menghadap Baitul Maqdis (Al Quds atau Yerusalem) antara 16 atau 17 bulan lamanya. Sesungguhnya Rasulullah lebih suka Baitullah (Ka'bah) sebagai kiblatnya.
Ketika di Makkah pun sebenarnya kiblat menghadap ke Baitul Maqdis. Hanya saja di sana bisa 'disiasati' dengan mengambil tempat shalat di antara dua sudut Ka'bah sehingga Ka'bah berada di antara diri beliau dan Baitul Maqdis. Dengan demikian beliau shalat sekaligus menghadap Ka'bah dan Baitul Maqdis.
Setelah hijrah ke Madinah, hal itu tidak mungkin dilakukan. Maka selama 16 atau 17 bulan beliau menghadap ke Baitul Maqdis, meski Rasulullah lebih suka menghadap Ka'bah. Tapi inilah ibadah, dan inilah contoh ketundukan Rasulullah kepada perintah Allah. Ibadah harus sesuai dengan perintah Allah, dan ibadah tak bisa dikalahkan oleh perasaan.
Munculnya angka 16 bulan atau 17 bulan ini adalah keraguan riwayat Zuhair dalam Shahih Bukhari ini. Hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dasar perhitungan. Dihitung 16 bulan jika dimulai dari bulan kedatangan Rasulullah hingga perpindahan kiblat. Sedangkan 17 bulan jika memasukkan seluruh bulan dalam rentang itu, sebab keduanya terjadi pada pertengahan bulan. Rasulullah tiba di Madinah pada 12 Rabiul Awal, sedangkan perpindahan kiblat ini terjadi pada pertengahan Rajab tahun kedua hijrah.
وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلاَّهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ ، وَهُمْ رَاكِعُونَ فَقَالَ أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قِبَلَ مَكَّةَ ، فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ
Rasulullah SAW pertama kali melaksanakan shalat dengan menghadap Ka'bah adalah shalat Asar yang dilaksanakannya secara berjamaah. Kemudian salah seorang yang selesai bermakmum kepada Nabi keluar dan pergi melewati sebuah masjid pada saat jamaahnya sedang ruku' menghadap Baitul Maqdis. Lantas orang itu berkata, "Demi Allah, baru saja saya shalat bersama Rasulullah SAW menghadap ke Baitullah di Makkah." Maka dengan segera mereka mengubah kiblat menghadap ke Baitullah.
Inilah sejarah perpindahan kiblat. Ia dimulai pada shalat Asar di hari itu, pertengahan Rajab tahun 2 H. Itulah untuk pertama kalinya di Masjid Nabawi, shalat berjamaah menghadap Ka'bah. Dan seperti turunnya perintah lain melalui wahyu, para sahabat segera menyebarkannya agar bisa diketahui dan dilaksanakan kaum muslimin dengan segera.
Seseorang yang disebutkan dalam hadits ini, yang segera mengumumkan kepada jama'ah shalat di tempat lain adalah Abbad bin Bisyr. Jama'ah shalat Asar yang ditemui Abbad dalam hadits ini adalah Bani Salamah. Dan subhaanallah, mereka pun langsung mengubah arah kiblatnya, meskipun saat itu dalam kondisi ruku'. Masjid inilah yang kini disebut dengan Masjid Qiblatain (Masjid dengan dua kiblat), karena saat itu para sahabat shalat Asar menghadap baitul maqdis kemudian mengubah arah kiblatnya menghadap ke Ka'bah.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa sahabat Nabi itu memiliki sifat adil, sehingga hadits yang dibawanya harus dipercayai, apalagi ketika ia menguatkan ucapannya dengan sumpah. Ini yang membedakan ahlus sunnah dengan syi'ah. Ahlus sunnah meyakini semua sahabat itu adil (haditsnya bisa diterima).
Hadits ini sekaligus menunjukkan karakter sahabat yang bersegera dalam beramal. Mereka memiliki ruhul istijabah yang luar biasa. Menyambut Al-Qur'an sebagaimana prajurit menyambut instruksi komandan; dinantikan, begitu datang perintah langsung dilaksanakan. Sahabat bukan generasi yang banyak bicara. Sahabat bukan generasi yang banyak berwacana. Mereka adalah generasi beramal (qaumun 'amaliyun). Dalam terminologi Sayyid Qutb, mereka adalah generasi Qur'ani yang unik (jailul Qur'anil farid).
َكَانَتِ الْيَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ يُصَلِّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ ، وَأَهْلُ الْكِتَابِ ، فَلَمَّا وَلَّى وَجْهَهُ قِبَلَ الْبَيْتِ أَنْكَرُوا ذَلِكَ
Orang Yahudi dan ahli kitab mulanya sangat bangga ketika Nabi dan para pengikutnya shalat menghadap Baitul Maqdis. Tetapi setelah umat Islam beralih ke Baitullah mereka mencela perubahan itu.
Inilah kondisi ahlul kitab, terutama Yahudi. Mulanya mereka membanggakan diri karena kaum Muslimin satu kiblat dengan mereka. Mereka merasa bangga, merasa besar, merasa dicontoh. Namun begitu Allah mengubah kiblat kaum Muslimin, perasaan itu dengan serta merta berganti dongkol dan benci. Perasaan itu pun meluap ke lisan berbentuk celaan dan caci maki.
قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ فِى حَدِيثِهِ هَذَا أَنَّهُ مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ رِجَالٌ وَقُتِلُوا ، فَلَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
Zuhair berkata, Abu Ishaq mengatakan dari Barra' dalam hadits ini, bahwa banyak orang yang telah meninggal di masa kiblat masih ke Baitul Maqdis dan banyak juga yang terbunuh setelah kiblat menghadap ke Baitullah. Kami tidak mengerti bagaimana hukumnya shalat itu. Lalu turunlah ayat, "Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu."(QS. Al Baqarah : 143)
Di sinilah kandungan bab Iman dalam hadits ini. Para sahabat bertanya-tanya tentang shalat mereka yang meninggal sebelum perpindahan kiblat. Bagaimana hukumnya? Yang mereka maksud terutama adalah sepuluh Muslim yang meninggal sebelum perpindahan kiblat. Yakni Abdullah bin Syihab, Muthalib bin Azhar, Sakran bin Amru yang ketiganya dari kalangan Quraisy. Yang meninggal di Habasyah adalah Huthab bin Harits, Amru bin Umayyah, Abdullah bin Harits, Urwah bin Abdul Izzi, dan Adi bin Nadhlah. Sedangkan dari kalangan Ansar adalah Barra' bin Ma'rur dan As'ad bin Zurarah.
Menjawab pertanyaan itu, Allah SWT menurunkan firmanNya dalam QS. Al Baqarah ayat 143: وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ (Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu). Di sini Allah menggunakan kata "iman" untuk menjawab pertanyaan "shalat." Ini menjadi dalil bahwa amal (termasuk shalat) adalah bagian dari iman. Ini berbeda dengan pandangan kelompok Murji'ah yang mengingkari bahwa amal dalam agama adalah iman.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Rasulullah memiliki hubungan kekerabatan dengan kaum Ansar, yakni dari ibu kakek beliau;
2. Selama di Madinah, Rasulullah menghadap kiblat Baitul Maqdis selama 16-17 bulan lamanya, sebelum Allah memindahkan kiblat ke Baitullah Makkah;
3. Hadits ini menunjukkan keutamaan Rasulullah, di mana Allah kemudian memindahkan kiblat ke arah Ka'bah, sejalan dengan keinginan Rasulullah;
4. Para sahabat adalah generasi yang bersegera dalam beramal dan seperti itulah seharusnya kaum muslimin;
5. Para sahabat adalah orang yang adil, haditsnya diterima walaupun ia seorang diri (ahad);
6. Hadits ini menunjukkan bahwa amal adalah termasuk iman, ini sekaligus menjadi bantahan bagi kelompok murji'ah yang berpandangan sebaliknya;
7. Kaum Yahudi memiliki kebencian terhadap Islam, terutama ketika umat Islam teguh memegang agamanya.
Demikian hadits ke-40 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT sehingga bersegera dalam beramal sebagaimana karakteristik sahabat yang tercermin dalam hadits ini. Wallaahu a'lam bish shawab.
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
(Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu). Di sini Allah menggunakan kata "iman" untuk menjawab pertanyaan "shalat." Ini menjadi dalil bahwa amal (termasuk shalat) adalah bagian dari iman. Ini berbeda dengan pandangan kelompok Murji'ah yang mengingkari bahwa amal dalam agama adalah iman.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Rasulullah memiliki hubungan kekerabatan dengan kaum Ansar, yakni dari ibu kakek beliau;
2. Selama di Madinah, Rasulullah menghadap kiblat Baitul Maqdis selama 16-17 bulan lamanya, sebelum Allah memindahkan kiblat ke Baitullah Makkah;
3. Hadits ini menunjukkan keutamaan Rasulullah, di mana Allah kemudian memindahkan kiblat ke arah Ka'bah, sejalan dengan keinginan Rasulullah;
4. Para sahabat adalah generasi yang bersegera dalam beramal dan seperti itulah seharusnya kaum muslimin;
5. Para sahabat adalah orang yang adil, haditsnya diterima walaupun ia seorang diri (ahad);
6. Hadits ini menunjukkan bahwa amal adalah termasuk iman, ini sekaligus menjadi bantahan bagi kelompok murji'ah yang berpandangan sebaliknya;
7. Kaum Yahudi memiliki kebencian terhadap Islam, terutama ketika umat Islam teguh memegang agamanya.
Demikian hadits ke-40 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT sehingga bersegera dalam beramal sebagaimana karakteristik sahabat yang tercermin dalam hadits ini. Wallaahu a'lam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar