Jumat, 03 Januari 2014

SHOHIH BUKHORI 11 - 20

Hadits 11: Bagaimanakah Islam yang Paling Baik?

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits ke-11. Hadits ini masih termasuk dalam Kitab Iman (كتاب الايمان).

Pada hadits ke-11 Shahih Bukhari yang akan kita kaji ini, kita akan mendapatkan jawaban dari Rasulullah ketika ada seseorang yang bertanya kepada beliau tentang bagaimana Islam yang paling baik. Sebagaimana Imam Bukhari memberikan judul bab "Bagaimanakah Islam yang Paling Baik" untuk hadits ke-11 ini, Bersama Dakwah juga memberikan judul yang sama "Bagaimanakah Islam yang Paling Baik".

عَنْ أَبِى بُرْدَةَ عَنْ أَبِى مُوسَى - رضى الله عنه - قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الإِسْلاَمِ أَفْضَلُ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Dari Abi Musa radhiyallaahu anhu, "mereka bertanya, 'Ya Rasulullah, bagaimanakah Islam yang paling utama?' Rasulullah menjawab: 'Seorang muslim yang menyelamatkan kaum muslimin dari lisan dan tangannya.' Penjelasan Hadits Kata Islam (الإسلام) pada matan hadits di atas menggunakan bentuk tunggal (singular), sedangkan kata sesudah أي seharusnya berbentuk jamak (plural). Ini dikarenakan ada bagian kata yang dihapus, yaitu ذوي. Sehingga lengkapnya pertanyaan dalam hadits itu berbunyi: أي ذوي الإسلام. Redaksi semakna akan didapatkan pada hadits shahih Muslim dengan lafadz أي المسلمين أفضل. Dengan demikian, makna pertanyaan ini adalah bagaimanakah keislaman yang paling utama, atau orang Islam yang paling utama itu yang bagaimana? Menjawab pertanyaan ini Rasulullah menjelaskan dengan sabda yang sama dengan hadits sebelumnya, yakni قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ 'Seorang muslim yang menyelamatkan kaum muslimin dari lisan dan tangannya.' Mengenai penjelasan matan hadits yang menjadi jawaban Rasulullah ini, pembaca bisa membaca kembali hadits ke-10: Hakikat Muslim dan Muhajir (Orang yang Berhijrah). Yang intinya, sebagaimana salah satu makna Islam adalah "selamat" yang diambil dari asal kata salima, karakter muslim adalah menyelamatkan. Tidak mencelakakan orang lain, terlebih sesama muslim. Baik dengan tangan maupun lisannya. Pelajaran Hadits Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah: 1. Hadits juga menggunakan gaya bahasa Arab yang tinggi 2. Hendaklah seorang alim atau dai memberikan jawaban ketika ditanya oleh umat khususnya pertanyaan yang serius menyangkut keislaman dan kemanfaatan umat 3. Islam sangat memperhatikan kebaikan hubungan sesama (hablun minannas) sehingga ia dimasukkan dalam kategori keislaman yang paling utama 4. Orang yang hendak mencapai derajat utama di dalam Islam, haruslah menjaga tangan dan lisannya sehingga tidak menyakiti, melukai, dan mencelakakan muslim yang lain. Sebaliknya, ia harus menjamin keselamatan kaum muslimin dari bahaya akibat tangan dan lisannya. Demikian hadits ke-11 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita, memotivasi kita untuk memperbaiki kualitas keislaman kita, hingga menjadikan kita termasuk orang Islam yang utama. Wallaahu a'lam bish shawab.

Hadits 12: Humanisme Islam

Alhamdulillah, kini kita akan membahas Shahih Bukhari hadits ke-12. Hadits ini masih termasuk dalam Kitab Iman (كتاب الايمان).

Hadits ke-12 Shahih Bukhari yang akan kita bahas ini memiliki redaksi awal yang hampir sama dengan hadits ke-11 pekan lalu, yakni pertanyaan sahabat yang kemudian dijawab Rasulullah. Imam Bukhari memberikan judul bab "Memberi Makan adalah Perangai Islam" untuk hadits ke-12 ini. Dengan pertimbangan bahwa ada hal lain dalam hadits ini selain memberikan makan, memberikan judul yang lebih luas: "Humanisme Islam".

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو - رضى الله عنهما - أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, "Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW: 'Bagaimanakah Islam yang paling baik?' Nabi SAW menjawab: 'Memberi makan (orang-orang miskin), mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang tidak engkau kenal.'" Penjelasan Hadits Kita lihat pertanyaan ini hampir sama dengan pertanyaan sahabat Nabi pada hadits ke-11. Bedanya, hadits ke-11 menggunakan kata "afdhal" dan pada hadits ini menggunakan kata "khair". Menurut Al-Karmani, afdhal (lebih utama) berarti yang paling banyak pahalanya, dan khair (baik) berarti banyak manfaatnya. Kata yang pertama berkenaan dengan kuantitas, kata kedua berkenaan dengan kualitas. Akan tetapi, jawaban yang diambil oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani tentang berbedanya jawaban pada dua hadits yang berurutan ini bukan pada perbedaan kata itu. Artinya, baik khair maupun afdhal, keduanya bisa bermakna sama. Yang membedakan perbedaan jawaban Rasulullah adalah berbedanya orang yang bertanya dan para pendengarnya. Rasulullah bermaksud memberikan jawaban yang paling tepat bagi orang yang bertanya. Yang tidak lain merupakan celah bagi orang itu untuk memperbaiki dirinya agar menjadi lebih sempurna.

تُطْعِمُ الطَّعَامَ
Memberi makan Maksudnya adalah, memberi makan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Berarti pula menjamu tamu. Dalam pengertian yang lebih luas, keislaman yang baik itu adalah yang memiliki kepekaan terhadap problem sosial, khususnya kesejahteraan. Ini sangat diperhatikan oleh Islam. Sebab Islam adalah agama yang sempurna. Bukan hanya mengatur hubungan dengan Allah, melainkan juga memberikan kemanfaatan kepada sesama. Menolong kaum dhuafa', mereka yang lemah. Bentuk sederhananya adalah memberi makan, bentuk luasnya adalah meningkatkan kesejahteraan sesama. Subhaanallah, betapa tingginya nilai humanisme Islam.

تَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang tidak engkau kenal Sebab Islam adalah agama kedamaian. Salam merupakan simbol perdamaian. Orang lain didoakan supaya selamat setiap bertemu dan berpisah. Saling mendoakan adalah bentuk merealisasikan perdamaian. Ia juga melahirkan kedamaian dan ketentraman, baik bagi yang mengucapkan maupun yang diucapkan salam padanya. Ini sisi humanisme Islam yang lain. Hebatnya lagi, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk mengucapkan salam pada siapa saja baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Khususnya dalam masyarakat Islam. Jadi, bila tidak ada kekhawatiran yang signifikan bahwa orang yang dihadapi adalah non muslim, Rasulullah menganjurkan untuk mengucapkan salam. Kenal ataupun tidak kenal. Pelajaran Hadits Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah: 1. Islam memiliki nilai humanisme yang sangat tinggi. Sebab Islam bukan hanya mengatur hubungan kepada Allah, melainkan juga pada sesama. 2. Memberikan makan kepada fakir miskin dan upaya meningkatkan kesejahteraan mereka merupakan salah satu ajaran Islam yang sekaligus menunjukkan betapa tingginya humanisme Islam; 3. Muslim hendaknya menciptakan kedamaian di manapun ia berada. Menyebarkan salam kepada siapapun, baik yang dikenal maupun tidak adalah bagian dari upaya ini, sepanjang tidak dikhawatirkan mereka itu orang kafir; 4. Rasulullah adalah teladan terbaik yang sangat luar biasa. Beliau menjawab pertanyaan dengan jawaban yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan penanya. Demikian hadits ke-12 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita, memotivasi kita untuk memperbaiki kualitas keislaman kita, hingga menjadikan kita termasuk muslim yang baik dan banyak manfaatnya. Wallaahu a'lam bish shawab.

Hadits 13: Cinta dalam Kesempurnaan Iman

Mungkin judulnya terasa romantis. Tapi itulah yang akan kita bahas dalam Shahih Bukhari hadits ke-13. Hadits ini masih termasuk dalam Kitab Iman (كتاب الايمان).

Berikut ini matan haditsnya :

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Dari Anas r.a. bahwa Nabi SAW bersabda, "Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri" Imam Bukhari memberikan judul bab untuk hadits ini مِنَ الإِيمَانِ أَنْ يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (Termasuk kesempurnaan iman adalah mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri).
Penjelasan Hadits

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ

Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian

Maksud dari kalimat ini adalah kesempurnaan iman. Artinya, apa yang disebutkan setelah kalimat ini merupakan syarat kesempurnaan iman seseorang. Jika sifat itu tidak ada pada diri seseorang, maka imannya tidak sempurna. Bukan berarti ia tidak beriman alias kafir. Kita perlu berhati-hati dengan hal-hal seperti ini karena kesalahan dalam memahami hakikat kesempurnaan iman bisa mengakibatkan seseorang terperosok dalam pemikiran takfir (mengkafirkan orang lain).

Dalam hadits riwayat Ibnu Hibban dijelaskan لا يبلغ عبد حقيقة الايمان (seseorang tidak akan mencapai hakikat derajat keimanan). Ibnu Hajar Al Asqalani juga menjelaskan: "maksudnya adalah kesempurnaan iman".

حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri

Subhaanallah… betapa indahnya iman yang sempurna. Dan betapa beratnya ia bagi kebanyakan manusia. Salah satu tanda kesempurnaan itu adalah mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Saudara (أخيه) di sini bukanlah saudara kandung, sedarah, atau senasab, melainkan saudara seaqidah. Maka siapapun dia, dari suku dan bangsa manapun, warna kulit apapun, dengan status keduniaan yang betapapun, selama ia memiliki aqidah yang sama maka ia adalah saudara. Dan mencintainya seperti mencintai diri sendiri adalah tanda sekaligus syarat kesempurnaan iman!

"Cinta adalah kecenderungan terhadap sesuatu yang diingini", kata Imam Nawawi, "Sesuatu yang dicintai tersebut dapat berupa sesuatu yang diindera, seperti bentuk atau dapat juga berupa perbuatan seperti kesempurnaan, keutamaan, mengambil manfaat atau menolak bahaya."

Maka mencintai dalam kesempurnaan iman berarti mencintai apa yang terjadi pada dirinya, terjadi pula pada saudaranya. Mencintai jika saudaranya mendapatkan kebahagiaan sebagaimana ia mencintai kebahagiaan itu. Sekali lagi ini berat. Bahkan Umar bin Khatab pernah menyatakan bahwa ia mencintai Rasulullah melebihi siapapun selain dirinya. Setelah dikoreksi Rasulullah, barulah ia mencintai Rasulullah di atas mencintai dirinya.

Itu antara Umar dan Rasulullah. Lalu bagaimana kita mencintai saudara kita sesama muslim seperti mencintai diri kita sendiri? Bukankah ini pekerjaan yang berat. Namun, seperti kata Imam Nawawi: ia adalah pilihan (ikhtiyari). Bukan berarti Umar belum sampai pada kesempurnaan iman di saat itu, sebab yang dituntut Rasulullah adalah kecintaan yang lebih tinggi, bukan cinta yang sama kadarnya.

Maka sejarah umat ini juga memberi teladan terbaik bagi kita. Lihatlah peristiwa hijrah. Sesampainya di Madinah, para sahabat muhajirin dipersaudarakan dengan anshar. Diantara mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Namun dalam kesempurnaan iman, cinta antara mereka tumbuh dengan cepat, kokoh batangnya, lebat daunnya, dan ranumlah buahnya. Diantara buah yang manisnya dicatat umat hingga kini adalah cinta antara Abdurrahman bin Auf dan saudaranya, Sa'ad bin Rabi. Cinta dalam kesempurnaan iman membawa Sa'ad bin Rabi membagi dua segala miliknya. Namun cinta dalam kesempurnaan iman juga yang membuat Abdurrahman bin Auf menolaknya.

Pelajaran Hadits

Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:

1. Iman bisa bertambah dan berkurang. Iman juga bisa sempurna dan bisa tidak sempurna.

2. Iman bukan semata-mata keyakinan kepada Allah dan bagaimana membangun hubungan dengan-Nya (hablun minallah), tetapi juga berkaitan langsung dengan hubungan sesama (hablun minannas). Iman yang sempurna mensyaratkan ini.

3. Mencintai sesama muslim sebagaimana mencintai dirinya sendiri adalah tanda kesempurnaan iman sekaligus syaratnya. Jika hal ini belum ada pada diri seseorang maka keimanannya belum sempurna.

Demikian penjelasan hadits ke-13 Shahih Bukhari ini, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita. Dan semoga kita dimudahkan Allah SWT untuk mencintai saudara kita sebagaimana mencintai diri kita sendiri lalu kita dijadikan-Nya memiliki iman yang sempurna. Wallaahu a'lam bish shawab.

Hadits 14: Mencintai Rasul-Nya Melebihi Anak dan Orang Tua

Pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits yang ke-14, biidznillah. Pembahasan hadits ke-14 ini kita beri judul “Mencintai Rasul-Nya Melebihi Anak dan Orang Tua”. Judul ini hanya untuk memudahkan saja. Imam Bukhari memberikan judul bab untuk hadits ini dan setelahnya dengan kalimat “Mencintai Rasulullah sebagian dari Iman”.

Tentu, maksud pemberian judul yang berbeda ini bukan untuk menyelisihi Imam Bukhari. Bahkan perbedaan dengan matan hadits ke-14 yang didahului dengan orang tua dulu baru anak, sedangkan pada judul pembahasan ini mendahulukan anak dulu baru orang tua juga tanpa maksud apa-apa selain memperindah bahasa agar lebih enak kita baca dalam bahasa Indonesia. Pada hadits yang lain nanti kita akan menjumpai lafazh anak didahulukan sebelum orang tua. Langsung saja, berikut matan hadits ke-14 Shahih Bukhari:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian sampai ia mencintai aku melebihi kedua orang tuanya dan anaknya.”

Penjelasan Hadits

قَالَ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ

Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya

Rasulullah mengawali sabdanya dengan sumpah. Ini menunjukkan bahwa apa yang akan disampaikan beliau benar-benar sangat penting. Orang yang mendengar sumpah Rasulullah perlu memperhatikan dengan ekstra bahwa ada taklimat atau instruksi yang khusus dan istimewa. Termasuk dalam hadits ini. Ibnu Hajar berdalil dengan hadits ini untuk memperbolehkan sumpah terhadap sesuatu dengan niat menguatkannya.

Siapakah Dzat yang jiwa Rasulullah berada di tangan-Nya? Dzat itu tidak lain adalah Allah. Kadang kita jumpai terjemahan yang kurang tepat dalam bahwa Indonesia dengan mengartikannya menjadi “demi jiwaku yang berada dalam kekuasaan-Nya”. Padahal kita dilarang untuk bersumpah dengan selain Allah.

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ

tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian

Sebagaimana dijelaskan dalam hadits sebelumnya, arti kalimat ini adalah “tidak sempurnya keimanan seseorang”. Makna kesempurnaan iman lebih tepat dari pada sahnya iman. Sebab jika yang dimaksud hadits ini adalah sahnya iman, yang berarti hilangnya iman atau menjadi kafir ketika kecintaan kepada Rasulullah tidak sempurna maka sungguh sedikit orang yang beriman. Sebagian besar muslim dituduh kafir dengan kurangnya kecintaan kepada Rasulullah. Ini bisa menjadi sebab takfir yang berbahaya.

حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ

sampai ia mencintai aku melebihi kedua orang tuanya dan anaknya

Inilah cinta yang dituntut dari seorang mukmin agar keimanannya sempurna. Ia harus mencintai Rasulullah melebihi kecintaannya pada orang tua dan anak. Mengapa disebutkan orang tua dahulu baru anak? Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat karena setiap orang pasti memiliki orang tua, namun tidak semua orang memiliki anak. Urutan penyebutan ini berbeda dengan hadit berikutnya. Pada hadits lainnya, anak didahulukan melebihi orang tua. “Karena,” kata Ibnu Hajar Al Asqalani melanjutkan, “umumnya orang lebih mencintai anak dari pada orang tua.”

Hadits ini singkat, tetapi sangat berat pengamalannya. Seorang mukmin harus mencintai Rasulullah melebihi orang tua dan anaknya. Jika cinta kepada orng tua melahirkan hormat serta bakti, dan cinta kepada anak berarti memenuhi permintaan-permintaannya, maka cinta kepada Rasulullah harus lebih hebat dari pada itu. Cinta kepada Rasulullah melebihi kecintaan kepada orang tua berarti mentaati Rasulullah melebihi kepatuhannya kepada orang tua. Pun demikian dengan cinta Rasulullah yang melebihi kecintaan kepada anak berarti menjalankan sunnah-sunnah Rasulullah melebihi bersegeranya ayah memenuhi permintaan anak-anaknya.

Pelajaran Hadits

Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:

1. Keimanan bukan hanya bisa hilang atau batal tetapi juga bisa sempurna atau sebaliknya, tidak sempurna;

2. Salah satu syarat sempurnanya iman adalah mencintai Rasulullah melebihi orang tua dan anak;

3. Boleh bersumpah terhadap sesuatu, terutama jika hal itu menyangkut permasalahan yang sangat penting atau perlu dikuatkan dan ditegaskan;

4. Untuk bersumpah harus tetap dengan nama Allah, tidak dengan selainnya.

Demikian penjelasan hadits ke-14 Shahih Bukhari ini, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman serta meningkatkan keimanan kita dengan mencintai Rasulullah SAW secara sempurna. Wallahu a’lam bish shawab.[]

Hadits 15: Mencintai Rasul-Nya Melebihi Semua Manusia

Pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits yang ke-15, biidznillah. Pembahasan hadits ke-15 ini kita beri judul “Mencintai Rasul-Nya Melebihi Semua Manusia”. Nanti kita akan melihat bahwa matan hadits ke-15 ini tidak jauh berbeda dari hadits ke-14, hanya terdapat tambahan وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (dan manusia seluruhnya).

Berikut ini matan lengkap hadits Shahih Bukhari ke-15:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Dari Anas r.a. ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak sempurna keimanan seseorang diantara kalian hingga ia lebih mencintai aku daripada kedua orangtuanya, anaknya, dan manusia semuanya." Penjelasan Hadits

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ

Tidak sempurna keimanan seseorang diantara kalian hingga ia lebih mencintai aku daripada kedua orangtua dan, anaknya

Penjelasan matan ini telah ditulis dalam pembahasan hadits ke-14. Lafadznya sama persis, kecuali adanya sumpah yang mendahului pada hadits ke-14. Pembaca bisa merujuknya kembali.

وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

dan manusia semuanya

Jadi kesempuraan iman itu menuntut kecintaan yang sempurna pula. Kecintaan yang berpangkal pada pemahaman, cinta yang tumbuh dari kesadaran dan mujahadah. Bukan kecintaan sebagai tabiat semata.

Jika manusia mencintai orang tua karena keduanya telah melahirkan, mendidik, dan membesarkannya, sesungguhnya ketiga hal itu takkan pernah terjadi kalau bukan karena Rahmat Allah. Maka kecintaan kepada Allah sudah seharusnya menjadi cinta yang paling utama. Lalu Allah memerintahkan hamba-Nya untuk mencintai Rasulullah, atas dasar cinta seorang hamba akan memenuhi perintah untuk mencintai Rasul-Nya melebihi mereka. Dan, bukankah orang tua hanya memberikan nafkah lahir sementara Rasulullah telah menyampaikan petunjuk Allah kepada umatnya hingga manusia terselamatkan dari kesesatan? Argumentasi ini menjadi dasar logika kecintaan kepada Rasulullah melebihi mereka.

Demikian pula anak. Secara tabiat manusia memiliki cinta padanya. Sebab ia adalah buah hati, penyejuk mata, dan harapan bagi orang tua untuk meneruskan garis keluarga, nasab, dan menjadi saham yang akan berbuah ketika lanjut usia menyapa dan di alam barzakh yang ia nantikan doanya. Lalu bagaimana dengan Rasulullah yang memiliki hak syafaat? Bukankah harapan itu jauh lebih besar. Dan tanpa dakwah Rasulullah, apalah gunanya memiliki anak dengan bergelimang dalam kesesatan? Argumentasi ini juga menjadi pondasi logika kecintaan kepada Rasulullah melebihi mereka.

Ada sebagian orang yang mencintai orang lain melebihi orang tua dan anak-anaknya. Bisa jadi mereka yang dicintai itu pemimpin, guru, atau orang yang berjasa dalam hidupnya, atau orang-orang yang dikaguminya. Hadits ini kemudian memberi standar bahwa siapapun orang itu, kecintaan kepada Rasulullah harus melebihi kecintaan kepadanya.

Sebenarnya dalam diri semua manusia ada kecintaan kepada satu orang yang dalam kondisi umum manusia selalu mencintainya melebihi siapapun. Ia maafkan kesalahannya. Ia puji kebaikannya meskipun hanya sedikit. Ia kagumi ia. Ia tempatkan di tempat yang terhormat. Selalu dijaga dan selalu dibela. Orang itu adalah dirinya sendiri. Namun dalam kesempurnaan iman, kecintaan kepada Rasulullah juga harus melebihi kecintaan kepada dirinya sendiri. Bukankah diri sendiri juga termasuk dalam kalimat "manusia seluruhnya"? maka hadits ini tidak mengkecualikannya.

Alangkah indahnya hidup dan alangkah berbahagianya ketika manusia mampu mengubah cintanya menjadi iman yang sempurna dengan mencintai Rasulullah melebihi semua manusia termasuk dirinya sendiri. Dan Umar bin Khattab, mampu mengubah cintanya menjadi seperti itu hanya dalam beberapa saat.

Ibnu Hajar Al Asqalani ketika menjelaskan hadits ini menggunakan kasus hawa nafsu sebagai pengganti diri sendiri. Betapa banyak orang yang menjadikan hawa nafsunya paling dicintai, namun iman yang sempurna harus menundukkannya hingga menjadi nafsu muthmainnah, dengan menjadikan Rasulullah lebih dicintai dari siapapun juga.

Pelajaran Hadits

Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:

1. Salah satu syarat sekaligus tanda sempurnanya iman adalah mencintai Rasulullah melebihi orang tua, anak, dan seluruh manusia;

2. Kecintaan kepada Rasulullah yang melebihi kecintaan pada manusia seluruhnya itu juga berarti lebih mencintai Rasulullah daripada dirinya sendiri atau hawa nafsunya.

Wallahu a’lam bish shawab.

Hadits 16: Manisnya Iman

Kini kita akan memasuki pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-16. Pembahasan hadits ke-16 ini kita beri judul “Manisnya Iman”. Terjemah dari judul yang telah diberikan oleh Imam Bukhari yaitu باب حَلاَوَةِ الإِيمَانِ. Hadits ini masih termasuk dalam kitab Al-Iman, kitab kedua dalam Shahih Bukhari.

Berikut ini matan lengkap hadits Shahih Bukhari ke-16:

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ

Dari Anas, dari Nabi SAW beliau bersabda: "Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka." Penjelasan Hadits

قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ

Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman

Dalam hadits ini dipakai istilah حَلاَوَةُ الإِيمَانِ (manisnya iman). Dalam ilmu balaghah, istilah seperti ini disebut isti'arah takhyiliyyah, yaitu majaz (kiasan) yang dibangun dari tasybih (penyerupaan) imajinasi. Semacam majas metafora dalam bahasa Indonesia. Bahwa iman itu terasa manis.

Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, ini mengindikasikan bahwa tidak semua orang bisa merasakannya. Sebagaimana manisnya madu hanya akan dirasakan oleh orang yang sehat, sedangkan orang yang sakit kuning tidak mampu merasakan manisnya. Demikian pula manisnya iman. Ia hanya didapatkan oleh orang-orang yang imannya "sehat". Diantaranya adalah yang memenuhi kriteria yang disebutkan dalam penggalan hadits berikutnya.

Manisnya iman (حَلاَوَةُ الإِيمَانِ) juga mengingatkan kita ibarat pohon, iman itu memiliki buah manisnya bisa dirasakan oleh seorang mukmin. Tentu saja pohon baru bisa berbuah ketika akarnya teguh dan pohonnya kuat. Jadi ia tidak mudah dirasakan oleh setiap orang.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ * تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS. Ibrahim : 24-25)

Sebagian ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan manisnya iman (حَلاَوَةُ الإِيمَانِ) merasakan lezatnya ketaatan dan memiliki daya tahan menghadapi rintangan dalam menggapai ridha Allah, lebih mengutamakan ridha-Nya dari pada kesenangan dunia, dan merasakan lezatnya kecintaan kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا

menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya

Inilah hal pertama yang membuahkan manisnya iman: mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi selainnya. Seorang mukmin haruslah menyempurnakan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, baru ia mendapati manisnya iman. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya tidak cukup hanya sekedarnya, tetapi harus melebihi dari yang selainnya.

Manusia akan merasakan kebahagiaan besar ketika sedang mencintai. Maka manisnya iman menjadi buah yang dirasakan seorang mukmin ketika ia mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan sempurna. Inilah yang menjelaskan mengapa Bilal sanggup menahan panasnya pasir dan terik surya, beratnya batu yang menindihnya, serta hinaan menyakitkan Umayyah dan kawan-kawannya. Dalam kondisi demikian, Bilal tetap melantunkan manisnya iman melalui lisannya: "ahad, ahad..."

Manisnya iman buah cinta ini pula yang membuat Khabab bin Al Art seakan tak merasakan luka-luka menganga di tubuhnya yang disalib. Maka ketika diminta pendapatnya bagaimana jika Rasulullah yang menggantikannya, ia menjawab dalam nada manisnya iman: "Bahkan aku tak rela jika kaki Rasulullah tertusuk duri"

Dalam manisnya iman pula, sahabat-sahabat Ansar rela pulang tangan kosong tanpa ghanimah dalam Perang Hunain. Isak tangis mengharu biru ketika mereka tersadar bahwa Rasulullah hendak meneguhkan Islam para muallaf Makkah. Sementara mereka pulang membawa Rasulullah, biarlah orang lain pulang membawa unta dan kambing.

وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ

Dan mencintai seseorang semata-mata karena Allah

Jika kecintaan kepada Allah adalah yang pertama dan tidak boleh terkalahkan oleh selainnya, demikian pula Rasulullah sebagai manusia yang paling dicintai, bukan berarti kita tidak diperkenankan mencintai sesama. Cinta itu fitrah manusia. Maka mencintai kedua orang tua, anak, saudara, sahabat, dan sesama mukmin juga dibutuhkan. Dan tatkala cinta itu karena Allah semata, maka iman akan manisnya iman akan bisa dirasakan.

Generasi pertama umat ini adalah generasi yang sukses dalam membina cinta karena Allah ini. Maka dengan cinta lillah, suku Aus dan Khazraj yang semula bermusuhan menjadi bersaudara di bawah satu bendera: Ansar. Pada saat itu, mereka merasakan manisnya iman. Lalu, muhajirin dan anshar yang belum pernah bersua pun, tiba-tiba menjadi saling berbagi. Membagi harta menjadi dua, membagi kebun dan rumah agar bisa sama-sama hidup layak dalam perjuangan bersama. Pada saat itu, mereka merasakan manisnya iman.

وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ

Dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka

Jika dua hal yang pertama adalah pekerjaan mencintai, hal ketiga yang membawa manisnya iman ini adalah pekerjaan sebaliknya: membenci. Yakni membenci kekufuran. Khususnya kekufuran yang telah ditinggalkannya dan diganti dengan Islam.

Dalam riwayat Muslim, redaksi hadits tentang manisnya iman (حَلاَوَةُ الإِيمَانِ) ini pada poin ketiga berbunyi :

وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Dan benci kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah, sebagaimana kebenciannya dilempar ke dalam api neraka

Dan itulah yang, lagi-lagi, kita dapati pada generasi sahabat Nabi. Maka ketika Sayyid Quthb memotret tiga karakter sahabat yang menjadi faktor utama keberhasilan mereka, salah satunya ia catat: "Saat mereka masuk Islam dan mendapat Al-Qur'an seketika mereka melepas seluruh kejahiliyahan"

Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan juga mengingatkan para sahabat agar jangan sampai kembali kepada kejahiliyahan, meskipun hanya sebagian sifatnya. Maka Rasulullah mengingatkan kaum Anshar ketika hampir saja mereka bermusuhan kembali antara suku Aus dan Khazraj seperti perang bu'ats. Rasulullah juga pernah mengingatkan Abu Dzar tatkala berselisih dengan Bilal lalu mencelanya dengan nada sentimen kesukuan. "Sungguh dalam dirimu ada perilaku jahiliyah" tegur Rasulullah yang selalu dikenang Abu Dzar. Dan sejak saat itu ia lebih mencintai dan menghormati Bilal.

Pelajaran Hadits

Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:

1. Bolehnya memakai majaz dalam menasehati, memberi pelajaran, dan dakwah dengan tujuan agar lebih mudah dipahami dan diterima pelajarannya;

2. Iman memiliki buah yang manis yang bisa dirasakan mukmin ketika memenuhi kriteria atau syarat-syaratnya, sebaliknya tidak semua orang bisa merasakan manisnya iman ini;

3. Manisnya iman bisa dirasakan seorang mukmin yang mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi selainnya, mencintai orang lain karena Allah semata, dan membenci kembali kepada kekufuran.

Wallahu a’lam bish shawab.

Hadits 17: Diantara Tanda Keimanan dan Kemunafikan

Setelah disebutkan tanda-tanda keimanan pada beberapa hadits sebelumnya, kini kita akan membahas hadits Shahih Bukhari ke-17 yang juga berbicara mengenai tanda keimanan. Kali ini pembahasannya lebih khusus, mengenai korelasi sikap seseorang terhadap kaum Anshar. Hadits ini masih berada dalam kitab iman (كتاب الإيمان).

Karena matan (redaksi) hadits yang berbicara mengenai korelasi sikap orang terhadap Anshar sebagai tanda keimanan atau kemunafikan, maka kita memberi judul pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-17 ini "Diantara Tanda Keimanan dan Kemunafikan" Berikut ini matan lengkap hadits Shahih Bukhari ke-17:

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَبْرٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الإِيمَانِ حُبُّ الأَنْصَارِ ، وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الأَنْصَارِ

Telah memberitahu kami Abul Walid, ia berkata telah meberitahu kami Syu'bah, ia berkata telah mengabarkan kepada kami Adullah bin Abdullah bin Jabr, ia berkata, aku mendengar dari Anas bahwa Nabi SAW bersabda: "Diantara tanda-tanda iman adalah mencintai kaum Anshar dan di antara tanda-tanda munafik adalah membencinya."

Penjelasan Hadits

آيَةُ الإِيمَانِ حُبُّ الأَنْصَارِ

Diantara tanda-tanda iman adalah mencintai kaum Anshar

Kata ayat (اية) berarti "tanda" (علامة). Tanda (علامة) adalah khashah (ciri khusus) yang terdapat pada beberapa benda/hal.

Dalam hadits sebelumnya (hadits 13) disebutkan bahwa mencintai saudara sesama mukmin adalah tanda dan syarat kesempurnaan iman. Sedangkan pada hadits ini, kita mendapati kaum anshar yang disebutkan secara khusus. Dalam hadits sebelum ini (hadits 16) juga disebutkan bahwa mencintai orang lain karena Allah merupakan sebab manisnya iman. Lalu dalam hadits ke-17 ini disebutkan cinta kepada kaum Anshar yang tidak lain adalah cinta karena Allah. Jadi di sana kita mendapati obyek umum, sedangkan di sini kita mendapati obyek khusus; Anshar!

Mungkin timbul pertanyaan, apakah jika seorang yang telah berikrar syahadat lalu tidak mencintai kaum Anshar berarti menjadi kafir/munafik? Bukankah kaum Anshar itu banyak dan boleh jadi seseorang, terutama yang sezaman dengan mereka, karena persoalan "manusiwai" kemudian tidak mencintai mereka? Ibnu Hajar Al Asqalani berpendapat bahwa jika sebabnya adalah karena mereka menolong Rasulullah, maka orang itu termasuk munafik. Demikian pula pendapat banyak ulama. Bahkan seseorang bisa menjadi kafir karena membenci Anshar lantaran mereka menolong Rasulullah SAW.

Anshar (الأنصار) merupakan bentuk jamak (plural) dari kata ناصر atau نصير yang berarti "penolong." Huruf lam yang ada pada kata itu untuk membatasi istilah dalam hadits ini dan juga dalam terminologi Islam, bahwa Anshar itu berarti penolong Rasulullah SAW. Mereka adalah suku Aus dan suku Khazraj yang sebelumnya dikenal dengan Ibnay Qailah (dua anak Qailah), nenek moyang mereka. Karena pertolongannya yang begitu besar kepada Rasulullah SAW dan para muhajirin, khususnya sejak hijrah, maka Rasulullah menamakan mereka "Anshar".

Dengan pertolongan yang diberikan kepada Rasulullah, Anshar menjadi dibenci dan dimusuhi oleh banyak kabilah. Oleh karena itu Rasulullah mengingatkan agar kaum muslimin mencintai mereka. Bahkan menjadikan kecintaan itu sebagai tanda keimanan.

Tentu saja, kecintaan itu juga harus dimiliki oleh orang-orang yang datang pada generasi berikutnya, termasuk di zaman kita. Dan bagaimana mungkin kita mampu mencintai sahabat-sahabat Anshar jika kita tidak mengenal mereka? Karenanya, dalam hadits ini secara eksplisit juga terdapat anjuran bagi generasi kita hari ini untuk membaca sejarah mereka hingga kemudian kita mengenal mereka dan mencintainya.

وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الأَنْصَارِ

dan di antara tanda-tanda munafik adalah membenci kaum Anshar

Ada hadits lain yang sejalan dengan hadits ini dan menjelaskannya. Diantaranya adalah hadits riwayat syaikhain berikut ini:

الأَنْصَارُ لاَ يُحِبُّهُمْ إِلاَّ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يُبْغِضُهُمْ إِلاَّ مُنَافِقٌ ، فَمَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللَّهُ ، وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللَّهُ

Anshar. Tidak ada yang mencintai mereka kecuali orang beriman, dan tidak ada yang membencinya kecuali orang munafik. Barang siapa mencintai Anshar, maka Allah akan mencintainya. Dan barang siapa membenci Anshar, maka Allah akan memurkainya. (HR. Bukhari Muslim, ini adalah redaksi Bukhari)

Lalu adakah orang yang membenci Anshar yang luar biasa itu? Kadang-kadang tanpa disadari seorang muslim terperosok dalam kebencian kepada sahabat –termasuk Anshar- ketika ia "lancang" memberikan penilaian kepada para shahabat dengan hal-hal yang tak pantas bagi mereka radhiyallaahu anhum. Khususnya kepada mereka yang terlibat pada masa fitnah. Hingga kemudian kita dapati sebagian kaum muslimin mencela sahabat atau memberikan penilaian negatif kepadanya. Semoga kita dihindarkan Allah dari hal yang demikian.

Pelajaran Hadits

Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:

1. Keimanan dan kemunafikan memiliki tanda-tanda;

2. Diantara tanda keimanan adalah mencintai Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membencinya;

3. Tuntunan agar kita mencintai Anshar;

4. Di zaman kita sekarang, agar dapat mencintai Anshar maka kita perlu mempelajari sejarah mereka agar dapat mengenal dan mencintai mereka.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-17. Semoga Allah memberikan hidayah hingga kita lebih paham dengan agama ini dan menjadi orang yang beriman, yang mencintai kaum Anshar dan terhindar dari perasaan benci kepada mereka. Wallaahu a'lam bish shawab. []

Hadits 18: Klausul Baiat Aqabah I

Alhamdulillah, kini kita memasuki pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-18. Hadits ini masih berada dalam kitab iman (كتاب الإيمان).

Matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-18 ini menjelaskan tentang klausul baiat (janji) Aqabah yang diperintahkan Rasulullah kepada sahabat-sahabat Anshar generasi awal yang hadir pada saat itu untuk diamalkan. Imam Bukhari tidak memberikan judul untuk hadits ini dalam Shahih-nya kecuali menuliskan "bab" yang menurut sebagian ulama itu dimaksudkan karena pembahasannya masih dalam domain bab sebelumnya. Namun, untuk memudahkan pembahasan kita berikan judul bab "Klausul Baiat Aqabah I" untuk hadits ke-18 ini. Berikut ini matan hadits Shahih Bukhari ke-18:

أَنَّ عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ - رضى الله عنه - وَكَانَ شَهِدَ بَدْرًا ، وَهُوَ أَحَدُ النُّقَبَاءِ لَيْلَةَ الْعَقَبَةِ - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ « بَايِعُونِى عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا ، وَلاَ تَسْرِقُوا ، وَلاَ تَزْنُوا ، وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ ، وَلاَ تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ ، وَلاَ تَعْصُوا فِى مَعْرُوفٍ ، فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِى الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ ، وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ » . فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِكَ
Dari Ubadah bin Shamit radhiyallaahu anhu, salah seorang yang mengikuti perang Badar dan salah seorang utusan dalam pertemuan Aqabah, bahwa Rasulullah SAW sedang dikelilingi oleh para sahabatnya dan beliau bersabda, "Berbaiatlah (berjanji) kalian semua kepadaku untuk: (1) Tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun, (2) Tidak mencuri, (3) Tidak berzina, (4) Tidak membunuh anak-anakmu, (5) Tidak membuat fitnah di antara kalian, (6) Tidak durhaka terhadap perintah kebaikan. Barangsiapa yang menepati perjanjian itu maka ia akan diberi pahala oleh Allah dan barangsiapa yang melanggar salah satu dari perjanjian itu, maka ia akan dihukum di dunia ini. Hukuman itu menjadai kafarah (tebusan) baginya, dan barangsiapa yang melanggar salah satunya kemudian ditutup oleh Allah, maka perkaranya terserah kepada Allah. Jika Dia berkehendak untuk mengampuninya, maka akan diampuni dan jika Dia berkehendak untuk menghukumnya, maka Dia akan menghukumnya." Maka kami pun berbaiat kepada Rasulullah atas yang demikian itu. Penjelasan Hadits

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -
Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan bahwa dalam kalimat ini ada kata yang dihilangkan (diringkas) namun maknanya bisa dipahami sebagaimana tata bahasa Arab yang sudah dimaklumi. Yaitu kata قال sebelum kalimat di atas. Maksudnya Ubadah bin Shamit berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda hadits ini. Ubadah bin Shamit adalah salah seorang sahabat Nabi yang berasal dari Anshar. Ia termasuk salah seorang tokoh sahabat dan termasuk pertama masuk Islam dari kalangan Anshar. Ikut serta dalam baiat Aqabah I dan baiat Aqabah II serta perang badar. Pada hadits ini Ubadah bin Shamit meriwayatkan hadits Rasulullah ketika beliau mengambil janji (membaiat) para sahabat Ansar yang berjumlah 12 orang di Aqabah. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai baiat Aqabah I.

وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ
Dan di sisinya ada sekumpulan sahabatnya Kata عِصَابَةٌ berarti kelompok yang berjumlah antara 10 sampai 40 orang. Dan seperti keterangan di atas, sahabat Anshar yang turut serta dalam baiat Aqabah I saat itu berjumlah 12 orang.

بَايِعُونِى عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا
Berbaiatlah (berjanjilah) kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun Penggunaan istilah مبابعة, dalam hadits di atas berbentuk fi'il amar بَايِعُونِى dari kata البيع (jual beli) yang berarti perjanjian adalah termasuk bentuk majaz yaitu diqiyaskan dengan transaksi jual beli. Jual beli antara Allah SWT dengan para hamba-Nya. Inti dari aqidah Islam adalah tauhid, tidak menyekutukan Allah SWT. Karenanya ia menjadi klausul awal dalam baiat aqabah ini, sebelum perintah-perintah yang lain. Tauhid juga menjadi kunci bagi Islam dan segala amal menjadi sia-sia belaka tanpa tauhid yang benar. Di awal dakwah Rasulullah, hal yang pertama dibangun adalah tauhid yang benar ini. Aqidah yang selamat. Salimul aqidah. Bagi sahabat Anshar, yang mereka baru pertama bertemu langsung dengan Rasulullah, tauhid ini ditegaskan kembali. Agar mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.

وَلاَ تَسْرِقُوا
Tidak mencuri Setelah hubungan dengan Allah SWT. Klausul baiat Aqabah kedua ini terkait dengan hak Adam dalam hal bagaimana mendapatkan harta dengan cara yang baik. Dalam hubungan dengan Allah kita dilarang berbuat zalim dengan syirik, dalam hubungan dengan manusia pun kita dilarang berbuat zalim. Maka Allah mengharamkan mencuri. Rasulullah melarang mencuri.

وَلاَ تَزْنُوا
Tidak berzina Ini klausul baiat aqabah yang ketiga. Larangan berzina. Jika klausul pertama menjaga hak Allah, klausul kedua menjaga harta, maka klausul ketiga ini menjaga keturunan dan kehormatan.

وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ
Tidak membunuh anak-anakmu Diantara kebiasaan orang jahiliyah di waktu itu adalah membunuh anak, diantaranya yang paling populer adalah dengan modus mengubur anak perempuan. Maka kaum muslimin diperintahkan untuk berbaiat agar tidak membunuh anak-anaknya. Ini sekaligus larangan kepada seluruh kaum muslimin agar tidak membunuh anak-anak. Urusan jiwa adalah milik Allah, manusia tidak berhak membunuhnya tanpa alasan yang benar. Demikian pula rezeki juga urusan Allah. Maka orangtua tidak boleh takut lapar dan takut miskin dengan adanya anak-anak.

وَلاَ تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ
Tidak membuat fitnah di antara kalian Kata بهتان (fitnah) berarti kebohongan yang dapat menjadikan pendengarnya tersentak. Kata افتراء (bohong) digunakan secara khusus bagi tangan dan kaki. Banyak penjelasan mengenai kalimat بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ dalam hadits ini. Sebagian ulama menjelaskan maksudnya adalah antara tangan dan kaki, yakni hati. Sebagian lain, seperti Abu Muhammad bin Abu Hamzah menjelaskan bahwa baina aidiikum berarti seketika, sedangkan arjulikum itu masa yang akan datang. Sedangkan Al Karmani menjelaskan bahwa kaki dipergunakan sebagai penguat tangan.

وَلاَ تَعْصُوا فِى مَعْرُوفٍ
Tidak durhaka terhadap perintah kebaikan Maksudnya dari المعروف adalah kebaikan yang berasal dari Allah baik berupa perintah maupun larangan. Imam Nawawi menyebutkan kemungkinan lain yang lebih luas: "Maksudnya adalah jangan kalian menentangku atau salah seorang pemimpin kalian dalam kebaikan."

فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
Barangsiapa yang menepati perjanjian itu maka ia akan diberi pahala oleh Allah Ini adalah konsekeunsi logis yang dikabarkan Rasulullah kepada para sahabat bahwa jika mereka mentaati isi baiat itu, maka mereka mendapatkan pahala dari Allah SWT, yang dalam riwayat yang lain disebutkan lafal jannah. Mendapatkan surga.

، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِى الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ
barangsiapa yang melanggar salah satu dari perjanjian itu, maka ia akan dihukum di dunia ini Ini menyangkut klausul yang kedua sampai keenam. Bukan tentang syirik. Karena hadits ini secara umum ditujukan kepada kaum muslimin. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hudud (hukuman-hukuman dalam Islam) adalah sebagai kafarah (tebusan dosa) dengan mengambil dasar dari hadits ini. Akan tetapi sebagian lainnya bependapat hudud bukan berfungsi sebagai kafarah secara pasti. Pendapat terakhir didasarkan pada hadits lain dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Saya tidak tahu apakah hudud adalah sebagai kafarat bagi penderitanya atau tidak." Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, pendapat yang kuat adalah pendapat pertama. Dengan taubat dan kerelaan menerima hudud, maka itu menjadi kafarah bagi dosa terkait yang dilakukan seorang mukmin. Adapun hadits Abu Hurairah itu disampaikan sebelum hadits Abu Ubadah, sehingga ia dinasakh dengan hadits ini.

وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ ، وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ
Dan barangsiapa yang melanggar salah satunya kemudian ditutup oleh Allah, maka perkaranya terserah kepada Allah. Jika Dia berkehendak untuk mengampuninya, maka akan diampuni dan jika Dia berkehendak untuk menghukumnya, maka Dia akan menghukumnya. Ada kalanya seseorang melanggar hukum Islam tetapi tidak dikenai hudud karena pengadilan tidak tahu dan tidak ada yang melaporkannya. Maka bagi orang yang demikian, keputusannya sepenuhnya di tangan Allah. Ada kalanya diampuni, ada kalanya dihukum di akhirat nanti. Meskipun orang tersebut bertaubat kepada Allah SWT.

. فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِكَ
Maka kami pun berbaiat kepada Rasulullah atas yang demikian itu. Inilah para sahabat. Mereka tidak perlu melakukan tawar menawar atau keberatan atas segala klausul baiat yang telah disabdakan Rasulullah SAW. Maka pada malam itu, terjadilah peristiwa yang monumental: baiat aqabah I. Kelak ia, dilanjutkan baiat Aqabah II, menjadi pondasi bagi bangunan Madinah yang siap menerima dan melindungi Rasulullah. Siap menjadi basis sosial Islam. Lalu Rasulullah dan para sahabat dari Makkah pun hijrah dan Islam memulai babak baru dalam sejarahnya. Periode Madinah. Pelajaran Hadits Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut: 1. Adanya baiat yang dilakukan para sahabat kepada Rasulullah di Aqabah dengan klausul sebagaimana di atas dan kemudian dikenal dengan nama Baiat Aqabah I; 2. Dilarang syirik, mencuri, berzina, membunuh anak, membuat fitnah, dan tidak mendurhakai kebaikan; 3. Dalam Islam ada hudud (hukuman-hukuman) yang dijatuhkan kepada pelanggar hukum Islam (tertentu, seperti mencuri dan berzina). Bagi orang yang rela menjalani hudud itu -disertai taubat- ia menjadi kafarah (tebusan) atas dosa itu; 4. Ada kalanya dalam Islam, seseorang lolos dari pengadilan agama atau hudud. Jika demikian halnya, maka ia akan berhadapan dengan pengadilan Allah di akhirat nanti. Bisa jadi ia diampuni, bisa jadi ia dijatuhi hukuman; 5. Karakter para sahabat yang dengan serta merta mentaati Rasulullah termasuk dalam klausul perjanjian ini;. Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-18. Semoga Allah memberikan hidayah hingga kita lebih paham dengan agama ini dan menjadi hamba-Nya yang tunduk pada aturannya serta setia pada ajaran Rasulullah, termasuk klausul baiat aqabah ini. Wallaahu a'lam bish shawab. []

Hadits 19: Menghindari Fitnah, Menyelamatkan Agama

Alhamdulillah, kini kita memasuki pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-19. Hadits ini masih berada dalam kitab iman (كتاب الإيمان).

Imam Bukhari memberikan judul bab hadits ini مِنَ الدِّينِ الْفِرَارُ مِنَ الْفِتَنِ "menghindar dari fitnah merupakan bagian dari agama". Imam Nawawi menjelaskan bahwa judul ini bisa menimbulkan kritikan. Namun ia berpendapat bahwa Imam Bukhari benar, sebab yang dimaksudkannya adalah menjaga agama. Bahwa menghindar dari fitnah merupakan upaya untuk menjaga agama, maka Imam Bukhari menyebutnya dengan agama. Untuk memudahkan pembaca dan lebih mengarahkan ke muatan dan kandungan hadits, pembahasan hadits ke-19 Shahih Bukhari ini diberi judul "Menghindari Fitnah, Menyelamatkan Agama" Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-19:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الْمُسْلِمِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ ، يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الْفِتَنِ
Dari Abu Sa’id Al Khudri r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Akan datang suatu masa, sebaik-baik harta orang muslim adalah kambing (biri-biri). Digembalakan di puncak-puncak bukit dan di tempat-tempat air hujan berkumpul (lembah-lembah). Dia menghindarkan agamanya dari bencana.” Penjelasan Hadits

يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الْمُسْلِمِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ
Akan datang suatu masa, sebaik-baik harta orang muslim adalah kambing (biri-biri). Digembalakan di puncak-puncak bukit dan di tempat-tempat air hujan berkumpul (lembah-lembah). ُوشِكُ artinya (akan datang) dalam waktu dekat. شَعَفَ artinya puncak bukit atau puncak gunung. مَوَاقِعَ الْقَطْرِ artinya tempat-tempat air hujan berkumpul, yaitu dasar lembah Tidak ada ketentuan pasti mengenai berapa persis lamanya waktu dekat dalam hadits-hadits Rasulullah SAW. Bahkan dalam salah satu haditsnya Rasulullah pernah bersabda bahwa beliau di utus di waktu yang dekat dengan hari kiamat. Bisa jadi yang dimaksud dekat di sini adalah masa kekhilafahan paska khulafaur rasyidin. Di mana pada periode tertentu masa kekhilafahan Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah terdapat kezaliman dari penguasa. Atau bisa jadi masa itu adalah masa modern. Atau bahkan masa itu belum datang.

يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الْفِتَنِ
ia menghindarkan agamanya dari bencana يَفِرُّ بِدِينِهِ artinya menghindarkan agamanya. Jadi penggembalaan yang dilakukan muslim pada hadits di atas adalah dalam rangka uzlah; mengasingkan diri. Upaya itu ditempuh dengan tujuan menghindarkan agamanya, menyelamatkan imannya, mengamankan keyakinannya. Dari fitnah. Apa yang dimaksud dengan الْفِتَنِ (fitnah) dalam hadits ini? الْفِتَنِ merupakan bentuk jamak dari fitnah. Kata فتنة (fitnah) sendiri di dalam Al-Qur'an disebutkan sebanyak 28 kali. 22 kali kata fitnah disebutkan dalam bentuk nakirah (فتنة). Dan 6 kali disebutkan dalam bentuk makrifat (الفتنة). Ia memiliki banyak arti. Diantara arti fitnah adalah ujian bagi iman seseorang. Apakah ia kuat mempertahankan keimanan dengan adanya ujian tersebut, atau justru imannya goyah dan tumbang. Pengertian ini misalnya kita dapati pada QS. Al-Baqarah : 102 dan QS. Al-Anfal : 28. Arti fitnah yang lain adalah kekacauan yang dibuat oleh orang-orang kafir, kezaliman yang mereka usung di muka bumi, dan segenap upaya mereka menghalang-halangi manusia dari agama Allah. Pengertian ini misalnya terdapat dalam firman-Nya:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah : 193) Atau dalam firman-Nya:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. (QS. Al-Anfal : 73) Fitnah juga bisa berarti bencana, adzab, dan sejenisnya yang ditimpakan Allah kepada orang-orang kafir maupun para ahli maksiat. Misalnya dalam firman-Nya:

وَحَسِبُوا أَلَّا تَكُونَ فِتْنَةٌ فَعَمُوا وَصَمُّوا ثُمَّ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ثُمَّ عَمُوا وَصَمُّوا كَثِيرٌ مِنْهُمْ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ
Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi suatu bencanapun (terhadap mereka dengan membunuh nabi-nabi itu), maka (karena itu) mereka menjadi buta dan pekak, kemudian Allah menerima taubat mereka, kemudian kebanyakan dari mereka buta dan tuli (lagi). Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Maidah : 71) Atau dalam firman-Nya:

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Anfal : 25) Fitnah dalam hadits ini lebih cenderung mengacu pada irisan pengertian pertama dan kedua. Maksudnya adalah, ujian keimanan bagi seorang mukmin yang timbul dari lingkungan yang tidak islami atau penguasa zalim. Ia memiliki irisan dengan pengertian kedua, tetapi tidak selalu yang menimbulkan fitnah itu adalah orang kafir. Bahkan ketika yang menyulut fitnah adalah orang kafir, orang mukmin diwajibkan berjihad untuk menghilangkan fitnah tersebut. Pada titik ini, ketika seorang mukmin berdiam diri di wilayah tersebut ia tidak mampu melakukan perubahan, bahkan dikhawatirkan ia terbawa dalam kemaksiatan atau kekufuran. Sementara untuk melawan ia tidak memiliki kekuatan. Dengan demikian, jalan yang tetap pada kondisi demikian adalah uzlah untuk menghindari fitnah dan menyelamatkan agamanya. Atau kondisi lain di mana kaum muslimin berada dalam perpecahan dan permusuhan antara dua pihak yang sama-sama kuat. Misalnya mereka sama-sama mengklaim sebagai pemerintah Islam yang sah dan karenanya terjadi peperangan besar antar kaum muslimin yang hanya menjadikan kaum muslimin berguguran dalam perang saudara. Dalam kondisi demikian, beruzlah untuk menghindarkan diri dari perang saudara –jika keduanya tidak jelas mana yang berada di pihak yang benar- dan menyelamatkan agama lebih utama. Wallaahu a'lam bish shawab. Pelajaran Hadits Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut: 1. Bolehnya beruzlah jika ada sebab tertentu dan membawa kemaslahatan; 2. Akan datang suatu masa di mana fitnah meraja lela, pada saat itu seorang mukmin dianjurkan untuk beruzlah dalam rangka menghindari fitnah dan menyelamatkan agamanya; 3. Seorang mukmin harus selalu berorientasi akhirat. Pertimbangan utama dalam berbuat sesuatu adalah agama/imannya. Apakah sesuatu itu membawa manfaat dan kebaikan bagi agamanya atau justru menggerus imannya. Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-19. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga kita memiliki kekuatan iman dan menjadikannya sebagai orientasi kita. Dan semoga Allah SWT menyelamatkan kita dari fitnah yang berakibat buruk bagi agama kita. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 20: Beramal Sesuai Sunnah, Tidak Memberatkan Diri Agar Bisa Istiqamah

Judul pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-20 ini agak panjang. Hadits yang kita bahas ini masih berada dalam kitab iman (كتاب الإيمان) dalam Shahih Bukhari.

Imam Bukhari memberi judul hadits ini bab قَوْلِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِاللَّهِ "sabda Nabi SAW: aku paling mengetahui Allah diantara kalian". Hadits ini berisikan dialog Rasulullah bersama sahabatnya sebagaimana didengar oleh Aisyah. Karena isinya bermuatan tuntunan Rasulullah kepada para sahabat agar menjalankan hal-hal yang sanggup dikerjakan dan tidak memberatkan diri, maka kita jadikan judul hadits ke-20 ini "Beramal Sesuai Sunnah, Tidak Memberatkan Diri Agar Bisa Istiqamah" dengan harapan begitu membaca judul ini pembaca langsung mengerti arah hadits ke-20 Shahih Bukhari ini. Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-20:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا أَمَرَهُمْ أَمَرَهُمْ مِنَ الأَعْمَالِ بِمَا يُطِيقُونَ قَالُوا إِنَّا لَسْنَا كَهَيْئَتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ . فَيَغْضَبُ حَتَّى يُعْرَفَ الْغَضَبُ فِى وَجْهِهِ ثُمَّ يَقُولُ إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ بِاللَّهِ أَنَا

Dari Aisyah r.a. bahwa ia berkata, apabila Rasulullah SAW menyuruh para sahabatnya, maka beliau menyuruhnya untuk mengerjakan amalan-amalan yang sanggup mereka kerjakan. Akan tetapi kemudian mereka berkata, "Ya Rasulullah, kami ini tidak sepertimu. Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang." Maka, mendengar ucapan mereka itu, Rasulullah SAW marah hingga terlihat tanda kemarahan di wajahnya. Beliau bersabda, "Sesungguhnya yang paling bertaqwa dan yang mengetahui tentang Allah diantara kamu sekalian adalah aku." Penjelasan Hadits

إِذَا أَمَرَهُمْ أَمَرَهُمْ مِنَ الأَعْمَالِ بِمَا يُطِيقُونَ
Apabila Rasulullah SAW menyuruh para sahabatnya, maka beliau menyuruhnya untuk mengerjakan amalan-amalan yang sanggup mereka kerjakan Inilah kebiasaan Rasulullah SAW dalam memerintah para sahabat untuk beramal. Dan inilah tuntunan Islam. Bahwa seorang muslim tidak dianjurkan memperberat diri dalam beribadah. Ketika Islam memberikan tugas dan kewajiban kepada umatnya, maka beban itu telah diukur agar sesuai dengan kemampuan mereka. Itulah yang dilakukan Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan sesuatu yang mudah, bukan sesuatu yang sulit dan berat. Agar para sahabat dan umatnya sanggup menjalankannya secara terus menerus (istiqamah). Dalam hadits lain dijelaskan bahwa amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang terus menerus.

وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ

Dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus meskipun sedikit. (Muttafaq 'alaih) Karena itu kita dapati hadits lain yang membatasi amal sunnah agar tidak memberatkan umat Islam. Misalnya tilawah Al-Qur'am maksimal khatam satu kali dalam tiga hari. Tidak boleh lebih cepat dari itu. Puasa sunnah dibatasi yang paling tinggi adalah puasa daud, satu hari puasa satu hari tidak. Tidak boleh berpuasa terus menerus. Demikian pula untuk shalat malam disunnahkan agar tetap memiliki waktu istirahat, tidak shalat terus-menerus sepanjang malam.


قَالُوا إِنَّا لَسْنَا كَهَيْئَتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ
Akan tetapi kemudian mereka berkata, "Ya Rasulullah, kami ini tidak sepertimu. Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang." Dengan ungkapan ini para sahabat menyampaikan keberatannya. Para sahabat meminta amal yang berat karena mereka yakin semakin berat amal makin tinggi derajat mereka di sisi Allah dan mereka mendapatkan ampunan atas dosa-dosa mereka. Inilah mereka para sahabat yang begitu antusias dalam menyambut seruan Islam. Inilah mereka para sahabat yang sangat bersemangat dalam menyongsong amal. Maka mereka mengungkapkan alasan yang membuat mereka merasa berhak mendapatkan kewajiban yang lebih berat. Argumen yang membuat merasa merasa tidak cukup dengan amal-amal yang diperintahkan Rasulullah dan menyediakan diri jika ada pilihan amal yang lebih berat. Bahwa amal itu cukup untuk diri Rasulullah sebab Allah telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang telah lalu maupun yang akan datang. Sementara mereka? Mereka merasa tidak ada jaminan ampunan sehingga mereka harus beramal keras dan berat agar mendapatkan ampunan itu.


فَيَغْضَبُ حَتَّى يُعْرَفَ الْغَضَبُ فِى وَجْهِهِ ثُمَّ يَقُولُ إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ بِاللَّهِ أَنَا
Maka, mendengar ucapan mereka itu, Rasulullah SAW marah hingga terlihat tanda kemarahan di wajahnya. Beliau bersabda, "Sesungguhnya yang paling bertaqwa dan yang mengetahui tentang Allah diantara kamu sekalian adalah aku." Rasulullah marah dengan jawaban para sahabat. Bukan karena argumennya bahwa amal ibadah bisa mendatangkan ampunan dari Allah, tetapi karena Rasulullah mengkhawatirkan jika mereka justru tidak mampu istiqamah dan terus menerus beramal seandainya amal yang diperintahkan itu lebih berat. Juga agar umat Islam sepanjang generasi mencukupkan diri dengan sunnah. Apa yang dilakukan Rasulullah dengan amal-amal –yang kelihatannya ringan menurut sahabat saat itu- sekaligus diperintahkan hal yang sama bagi sahabatnya bukan karena Rasulullah telah diampuni hingga boleh beringan-ringan dalam beramal. Namun itu justru karena Rasulullah adalah orang yang paling bertaqwa; seharusnya itu pula yang dilakukan oleh orang lain, yang ketaqwaannya masih berada di bawah Rasulullah SAW. Demikian pula, Rasulullah SAW adalah orang yang paling makrifat (mengetahui) Allah SWT dan beliau paling tahu bahwa Allah mencintai amal seperti itu; meksipun ringan atau sedikit namun dilakukan terus menerus dan sesuai sunnah. Pelajaran Hadits Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut: 1. Amal shalih bisa mendatangkan ampunan Allah, menghapus dosa orang yang melakukan, dan meningkatkan derajat; 2. Dianjurkan untuk melakukan hukum azimah (hukum asal) ataupun rukhshah (keringanan) sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan syariat. Melakukan sesuatu yang lebih ringan tapi sesuai syariat adalah lebih baik daripada melakukan sesuatu yang lebih berat tapi bertentangan dengan syariat; 3. Ibadah yang paling utama adalah yang dilakukan terus-menerus; 4. Hadits ini menunjukkan betapa besar semangat para sahabat dalam beribadah dan menambah kebaikan; 5. Diperbolehkan marah jika melihat sesuatu yang bertentangan dengan syariat, sekaligus dianjurkan untuk mengingatkan (nahi munkar); 6. Boleh menyampaikan kebaikan atau kelebihan diri sesuai kebutuhan dan bisa mendatangkan manfaat dengan syarat tidak berniat membesar-besarkan; 7. Rasulullah adalah orang yang mencapai tingkat kesempurnaan karena telah menghimpun dua hal sekaligus yaitu ketaqwaan (amal tertinggi) dan makrifat (ilmu). Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-20. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga kita senantiasa bersemangat beramal sesuai sunnah, tanpa memberatkan diri dan bisa menjalankannya dengan istiqamah. Wallaahu a'lam bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar