Hadits 1: Semua Amal Tergantung Niatnya
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِىَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ - رضى الله عنه - عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ »
Dari ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi bahwa ia berkata, “Aku mendengar Umar bin Khattab RA berkata di atas mimbar, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju”
Hadits di atas adalah hadits ke-1 dalam Shahih Bukhari (صحيح البخارى), di bawah Kitab Bad’il Wahyi (كتاب بدء الوحى) (Permulaan Turunnya Wahyu), Bab Cara Permulaan Turunnya Wahyu Kepada Rasulullah
(باب كَيْفَ كَانَ بَدْءُ الْوَحْىِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ).
عَلَى الْمِنْبَرِ : Yakni mimbar masjid Nabawi, Madinah
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
إِنَّمَا adalah adatul-Hashr (untuk membatasi), yakni menetapkan sesuatu yang disebut setelahnya dan menafikan sesuatu yang tidak disebut. Dengan demikian, hadits ini menunjukkan bahwa tidak ada amal perbuatan yang sah atau sempurna hukumnya kecuali berdasarkan niat. بِالنِّيَّاتِ : Huruf ba’ menunjukkan arti mushahabah (menyertai) dan ada juga yang mengartikan sababiyah (menunjukkan sebab). Niyyaat adalah bentuk jama’ dari kata niyat. Secara etimologi bermakna ‘kehendak’ dan secara terminologi bermakna ‘kehendak yang dibarengi dengan perbuatan nyata’. Para ahli fikih berselisih pendapat untuk menentukan apakah niat itu termasuk rukun atau syarat? Dalam hal ini pendapat yang paling kuat adalah, bahwa niat di awal pekerjaan adalah rukun, sedangkan menyertakannya dalam pekerjaan adalah syarat.
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
امْرِئٍ
Manusia, baik laki-laki maupun perempuan Jika kalimat pertama di atas menunjukkan apa saja yang termasuk amal, maka kalimat kedua ini menunjukkan akibat atau hasil dari amal itu. Kalimat pertama menjelaskan bahwa perbuatan itu harus disertai niat, kalimat kedua ini menegaskan bahwa seseorang tidak mendapatkan dari perbuatannya kecuali apa yang ia niatkan.
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Dalam hadits ini tidak terdapat kalimat sebagaimana hadits-hadits lain yang lebih populer dan lebh banyak dihafal umat Islam. Ini dimungkinan karena riwayat Humaidi sampai kepada Imam Bukhari seperti lafadz hadits di atas. Imam Al-Karmani berkata: “Hadits ini terkadang diriwayatkan secara lengkap dan terkadang tidak, hal itu disebabkan perawi yang meriwayatkannya juga berbeda. Memang setiap perawi telah meriwayatkan hadits sesuai dengan apa yang dia dengar tanpa ada yang dihilangkan, sedang Bukhari menulis riawayt hadits ini sesuai dengan judul yang dibicarakan.”
Memang prinsip Imam Bukhari dalam menulis hadits adalah tidak menulis satu hadits yang berbeda periwayatannya dalam satu tempat. Apabila ada hadits yang mempunyai sanad lebih dari satu, maka ia menulisnya pada tempat yang berbeda pula, dan tidak pernah beliau menulis hadits dengan menghilangkan sebagiannya, sedang pada tempat yang lain beliau menulis secara lengkap. Juga tidak dijumpai satu hadits pun dengan sanad dan matan yang sama dan lengkap ditulis pada beberapa tempat, kecuali sebagian kecil saja, yakni kurang lebih dua puluh tempat.
هِجْرَتُهُ : Hijrah secara etimologi bermakna ‘meninggalkan’ dan secara terminologi bermakna ‘meninggalkan negeri kafir ke negeri Islam untuk menghindari hal-hal yang buruk.’ Adapun yang dimaksud dengan hijrah dalam hadits ini adalah perpindahan dari kota Makkah dan kota-kota lain ke kota Madinah, sebelum fathu Makkah.
هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا : Untuk mendapatkan keuntungan duniawi
Kata dunya berasal dari Ad-dunuw yang berarti dekat. Dinamakan demikian karena dunia lebih dahulu dari pada akhirat atau karena dunia sangat dekat dengan kehancuran/kebinasaan.
إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا : Untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahi
Disebutkannya kata wanita secara khusus setelah kata umum (dunia) adalah untuk menekankan bahwa bahaya dan fitnah yang ditimbulkan oleh wanita sangat besar. Ini juga berkaitan dengan sababul wurud hadits ini. Imam At-Thabrani meriwayatkan dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dengan sanad yang bisa dipercaya, bahwa Ibnu Mas’ud berkata: “Diantara kami ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita bernama Ummu Qais. Namun, wanita itu menolak sehingga ia berhijrah ke Madinah. Maka laki-laki tersebut ikut hijrah dan menikahinya. Karena itu kami memberinya julukan Muhajir Ummu Qais.”
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ : Maka hijrahnya sesuai dengan apa yang ia tuju
Seseorang yang melakukan amal ibadah tetapi niatnya bukan karena Allah, tetapi ingin mendapatkan dunia atau wanita maka ia tidak mendapatkan pahala dari Allah. Inilah yang termasuk syirik asghar. Namun dalam konteks hijrah pada hadits ini, jika diniatkan menjauhi kekufuran dan menikahi wanita, hijrahnya kurang sempurna dibandingkan dengan orang yang berhijrah dengan niat yang tulus. Meskipun, niat menikahi wanita –baik hijrah atau tidak- akan mendapatkan pahala jika pernikahannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena pernikahan adalah anjuran agama Islam.
Hal ini seperti peristiwa masuk Islamnya Thalhah, sebagaimana diriwayatkan oleh Nasa’i dan Anas, ia berkata, “Abu Thalhah telah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar masuk Islam, karena Ummu Sulaim telah masuk Islam lebih dahulu dari pada Abu Thalhah. Maka ketika melamarnya, Ummu Sulaim berkata, “Aku sudah masuk Islam, seandainya kamu masuk Islam, maka saya bersedia dinikahi.” Lalu Abu Thalhah masuk Islam dan menikahi Ummu Sulaim.
Imam Ghazali menggaris bawahi apabila keinginan untuk memperoleh dunia lebih besar dari keinginannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka orang itu tidak mendapatkan pahala, begitu pula apabila terjadi keseimbangan antara keduanya, ia tetap tidak mendapatkan pahala. Akan tetapi apabila seseorang berniat untuk ibadah dan mencampurnya dengan keinginan selain ibadah yang dapat mengurangi keikhlasan, maka Abu Ja’far bin Jarir Ath-Thabari telah menukil perkataan ulama salaf, bahwa yang harus menjadi tolak ukur adalah niat awal, apabila ia memulai dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka perubahan niat tidak menggugurkan pahalanya. Wallaahu a’lam bish shawab.
Hadits 2: Cara Turunnya Wahyu
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ - رضى الله عنها - أَنَّ الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ - رضى الله عنه - سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْىُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « أَحْيَانًا يَأْتِينِى مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ - وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَىَّ - فَيُفْصَمُ عَنِّى وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ ، وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِىَ الْمَلَكُ رَجُلاً فَيُكَلِّمُنِى فَأَعِى مَا يَقُولُ » . قَالَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْىُ فِى الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ ، فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا
Dari Aisyah Ummul Mukminin r.a. bahwa Harits bin Hisyam r.a. bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, "Ya Rasulullah, bagaimana caranya wahyu turun kepada Anda?" Rasulullah menjawab, "kadang-kadang wahyu itu datang kepadaku seperti bunyi lonceng. Itulah yang sangat berat bagiku. Setelah bunyi itu berhenti, aku baru mengerti apa yang disampaikannya. Kadang-kadang malaikat menjelma seperti seorang laki-laki menyampaikan kepadaku dan aku mengerti apa yang disampaikannya," Aisyah berkata, "Aku pernah melihat Nabi ketika turunnya wahyu kepadanya pada suatu hari yang amat dingin. Setelah wahyu itu berhenti turun, kelihatan dahi Nabi bersimpah peluh." Hadits di atas adalah hadits ke-2 dalam Shahih Bukhari (صحيح البخارى), di bawah Kitab Bad’il Wahyi (كتاب بدء الوحى) (Permulaan Turunnya Wahyu). Meskipun Imam Bukhari tidak memberikan bab pada hadits kedua ini, dari matannya terlihat jelas bahwa ia memuat cara turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW. أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ : Adalah gelar bagi istri-istri Nabi. Kata ini diambil dari firman Allah SWT, "istri-istri Nabi adalah ibu-ibu mereka (kaum muslimin)." Artinya dalam menghormati mereka dan larangan menikahinya. Harits bin Hisyam adalah seorang dari bani Makhzumi, saudara kandung Abu Jahal bin Hisyam. Ia masuk Islam pada Fathu Makkah, termasuk tokoh dari kalangan sahabat. Ia meninggal pada waktu penaklukan negeri Syam.
كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْىُ
Pertanyaan ini dimaksudkan untuk menanyakan sifat wahyu, sifat pembawa wahyu, atau yang lebih umum dari itu. Sehingga Rasulullah menjawab pertanyaan ini dengan dua cara turunnya wahyu kepada beliau yang juga mengandung sifat wahyu dan sifat pembawanya.
أَحْيَانًا يَأْتِينِى مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ - وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَىَّ - فَيُفْصَمُ عَنِّى وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ
أَحْيَانًا : Bentuk jamak dari حين yang berarti waktu yang banyak atau sedikit. Seakan-akan Nabi berkata أَوْقَاتًا يَأْتِينِي (beberapa kali dia datang kepadaku).
مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ : Shalshalah adalah suara yang dihasilkan dari benturan antara besi, kemudian kata tersebut dinisbatkan kepada semua yang menimbulkan dengung. Sedangkan Jaras adalah lonceng kecil atau kerincingan yang digantungkan pada hewan.
وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَىَّ : Itulah yang sangat berat bagiku. Memahami perkataan dengan bunyi lonceng lebih sulit daripada memahami perkataan secara langsung. Sebagian ulama mengatakan bahwa berat atau sulitnya menerima wahyu bertujuan agar Nabi lebih konsentrasi. Ulama lain mengatakan biasanya cara seperti ini ketika wahyu yang turun membicarakan masalah adzab, namun pendapat ini diperselisihkan.
فَيُفْصَمُ عَنِّى وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ: (Setelah bunyi itu berhenti aku baru mengerti apa yang disampaikannya). Artinya, Rasulullah SAW mengerti perkataan yang disampaikan setelah bunyi itu berhenti. Inilah yang menguatkan bahwa turunnya wahyu melalui perantaraan malaikat.
وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِىَ الْمَلَكُ رَجُلاً فَيُكَلِّمُنِى فَأَعِى مَا يَقُولُ يَتَمَثَّلُ لِىَ الْمَلَكُ رَجُلاً
Malaikat menjelma seperti seorang laki-laki. Hadits ini sekaligus menjadi dalil bahwa malaikat dapat menyerupai manusia. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa perubahan ini hanyalah perubahan bentuk saja, bukan dzat malaikat. Contoh yang sangat terkenal dalam hal ini adalah ketika Jibril datang bertanya kepada Rasulullah tentang Islam, Iman, dan Ihsan. Yaitu hadits yang juga dicantumkan Imam Nawawi dalam Kitab Arbain nomor kedua.
فَيُكَلِّمُنِى : Lafazh inilah yang banyak digunakan oleh para perawi. Karena malaikat menyerupai manusia, maka perkatannya pun sebagaimana perkataan manusia umumnya sehingga mudah dipahami begitu saja.
يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْىُ فِى الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ ، فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا
(ketika turun wahyu kepada Rasulullah pada suatu hari yang amat dingin, setelah wahyu itu berhenti turun, kelihatan dahi Nabi bersimpah peluh)
Inilah kesaksian Aisyah yang menyaksikan bertanya Rasulullah dalam menerima wahyu sehingga dahi beliau penuh keringat walaupun berada di musim dingin. Lelah, dan sangat serius menerima perkara besar yang menjadi petunjuk bagi manusia demi keselamatan mereka di dunia dan akhirat.
[Diringkas dari Fathul Baari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani]
Hadits 3: Wahyu yang Turun Pertama Kali
Kali ini kita membahas hadits yang ke-3. Yakni hadits ke-3 dalam Shahih Bukhari (صحيح البخارى), di bawah Kitab Bad’il Wahyi (كتاب بدء الوحى) (Permulaan Turunnya Wahyu). Hadits ini cukup panjang. Meskipun Imam Bukhari tidak memberikan judul bab pada hadits ketiga ini, dari matan-nya terlihat jelas bahwa ia memuat wahyu yang turun pertama kali kepada Rasulullah SAW.
Berikut ini adalah matan hadits tersebut:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مِنَ الْوَحْىِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِى النَّوْمِ ، فَكَانَ لاَ يَرَى رُؤْيَا إِلاَّ جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ، ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلاَءُ ، وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ - وَهُوَ التَّعَبُّدُ - اللَّيَالِىَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ ، وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ ، فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا ، حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِى غَارِ حِرَاءٍ ، فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ اقْرَأْ . قَالَ « مَا أَنَا بِقَارِئٍ » . قَالَ « فَأَخَذَنِى فَغَطَّنِى حَتَّى بَلَغَ مِنِّى الْجَهْدَ ، ثُمَّ أَرْسَلَنِى فَقَالَ اقْرَأْ . قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ . فَأَخَذَنِى فَغَطَّنِى الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّى الْجَهْدَ ، ثُمَّ أَرْسَلَنِى فَقَالَ اقْرَأْ . فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ . فَأَخَذَنِى فَغَطَّنِى الثَّالِثَةَ ، ثُمَّ أَرْسَلَنِى فَقَالَ ( اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ * خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ * اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ ) » . فَرَجَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَرْجُفُ فُؤَادُهُ ، فَدَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ بِنْتِ خُوَيْلِدٍ رضى الله عنها فَقَالَ « زَمِّلُونِى زَمِّلُونِى » . فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنْهُ الرَّوْعُ ، فَقَالَ لِخَدِيجَةَ وَأَخْبَرَهَا الْخَبَرَ « لَقَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِى » . فَقَالَتْ خَدِيجَةُ كَلاَّ وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا ، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ ، وَتَقْرِى الضَّيْفَ ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ . فَانْطَلَقَتْ بِهِ خَدِيجَةُ حَتَّى أَتَتْ بِهِ وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى ابْنَ عَمِّ خَدِيجَةَ - وَكَانَ امْرَأً تَنَصَّرَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ يَكْتُبُ الْكِتَابَ الْعِبْرَانِىَّ ، فَيَكْتُبُ مِنَ الإِنْجِيلِ بِالْعِبْرَانِيَّةِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكْتُبَ ، وَكَانَ شَيْخًا كَبِيرًا قَدْ عَمِىَ - فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ يَا ابْنَ عَمِّ اسْمَعْ مِنَ ابْنِ أَخِيكَ . فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ يَا ابْنَ أَخِى مَاذَا تَرَى فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - خَبَرَ مَا رَأَى . فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ هَذَا النَّامُوسُ الَّذِى نَزَّلَ اللَّهُ عَلَى مُوسَى - صلى الله عليه وسلم - يَا لَيْتَنِى فِيهَا جَذَعًا ، لَيْتَنِى أَكُونُ حَيًّا إِذْ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « أَوَمُخْرِجِىَّ هُمْ » . قَالَ نَعَمْ ، لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلاَّ عُودِىَ ، وَإِنْ يُدْرِكْنِى يَوْمُكَ أَنْصُرْكَ نَصْرًا مُؤَزَّرًا . ثُمَّ لَمْ يَنْشَبْ وَرَقَةُ أَنْ تُوُفِّىَ وَفَتَرَ الْوَحْىُ
Dari Aisyah Ummul Mukminin r.a. bahwa ia berkata, "Pertama turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW secara mimpi yang benar waktu beliau tidur. Biasanya mimpi itu terlihat jelas oleh beliau, seperti jelasnya cuaca pagi. Semenjak itu hati beliau tertarik untuk mengasingkan diri ke Gua Hira. Di situ beliau beribadah beberapa malam, tidak pulang ke rumah istrinya. Untuk itu beliau membawa perbekalan secukupnya. Setelah perbekalan habis, beliau kembali kepada Khadijah, untuk mengambil lagi perbekalan secukupnya. Kemudian beliau kembali ke Gua Hra, hingga suatu ketika datang kepadanya kebenaran (wahyu), yaitu sewaktu beliau masih berada di Gua Hira. Malaikat datang kepadanya, lalu berkata, "Bacalah"Nabi menjawab, "Aku tidak bisa membaca". Nabi menceritakan, "Maka aku ditarik dan dipeluknya hingga aku kepayahan. Lalu aku dilepaskannya dan disuruh membaca. Malaikat berkata "bacalah" aku menjawab "aku tidak bisa membaca." Maka aku ditarik dan dipeluknya hingga aku kepayahan. Lalu aku dilepaskannya dan disuruh membaca. "Bacalah" kujawab menjawab "aku tidak bisa membaca." Maka aku ditarik dan dipeluknya untuk kali ketiga. Kemudian aku dilepaskan seraya ia berkata "Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan. Yang menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Demi Tuhanmu yang Maha Mulia." Setelah itu Nabi pulang ke rumah Khadijah binti Khuwailid, lalu berkata, "Selimuti aku, selimuti aku!" Khadijah menyelimutinya hingga hilang rasa takutnya. Kata Nabi kepada Khadijah binti Khuwailid (setelah mennceritakan semua kejadian yang dialami Nabi), "Sesungguhnya aku cemas atas diriku."Khadijah menjawab, "Jangan takut, demi Allah, Tuhan tidak akan membinasakan engkau. Engkau selalu menyambung tali persaudaraan, membantu orang yang sengsara, mengusahakan barang keperluan yang belum ada, memuliakan tamu, menolong orang yang kesusahan karena menegakkan kebenaran." Setelah itu Khadijah pergi bersama Nabi menemui Waraqah bin naufal bin Asad bin Abdul Uzza, yaitu anak paman Khadijah, yang telah memeluk agama Nasrani pada masa jahiliyah itu. Ia pandai menulis buku dalam bahasa ibrani. Maka disalinnya Kitab Injil dari bahasa Ibrani seberapa yang dikehendaki Allah dapat disalin. Usianya kini telah lanjut dan matanya telah buta. Khadijah berkata kepada Waraqah, "wahai anak pamanku. Dengarkan kabar dari anak saudaramu ini." Waraqah bertanya kepada Nabi, "Wahai anak saudaraku. Apa yang terjadi atas dirimu?" Nabi menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya. Waraqah berkata, "Inilah Namus yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Duhai, semoga saya masih hidup ketika kamu diusir oleh kaummu." Nabi bertanya, "Apakah mereka akan mengusir aku?" Waraqah menjawab, "Ya, betul. Belum ada seorang pun yang diberi wahyu seperti engkau yang tidak dimusuhi orang. Jika aku masih mendapati hari itu niscaya aku akan menolongmu sekuat-kuatnya." Tidak berapa lama kemudian Waraqah meninggal dunia dan wahyu pun terputus untuk sementara. Penjelasan Hadits
أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مِنَ الْوَحْىِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِى النَّوْمِ
Pertama turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW secara mimpi yang benar waktu beliau tidur Lafazh min (من) di sini mengandung makna tab'idh, artinya sebagian wahyu. Turunnya wahyu berupa mimpi sebelum wahyu yang pertama di Gua Hira adalah dalam rangka latihan bagi Nabi. Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa saat Nabi sadar, beliau dapat melihat cahaya serta mendengar suara batu-batu kerikil memberi salam kepadanya.
فَكَانَ لاَ يَرَى رُؤْيَا إِلاَّ جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ
Biasanya mimpi itu terlihat jelas oleh beliau, seperti jelasnya cuaca pagi. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa "seperti jelasnya cuaca pagi" (مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ) adalah malaikat yang turun membawa wahyu itu bagaikan cahaya di pagi hari. Setelah itu Nabi gemar mengasingkan diri ke Gua Hira, yaitu salah satu gua yang ada di Makkah. Di sini dipakai istilah tahannuts (يَتَحَنَّثُ) yaitu mengikuti ajaran agama Nabi Ibrahim. Lamanya berapa hari tidak dapat ditentukan secara pasti karena masih diperselisihkan para ulama. Yang pasti, tahannuts saat menerima wahyu di Gua Hira terjadi di bulan Ramadhan. Hingga malam itu, malaikat yang tidak lain adalah Jibril datang kepada beliau untuk menyampaikan wahyu. Setelah sebelumnya menampakkan diri kepada Nabi di Ajyad (paska fase mimpi yang benar) dalam wujud yang asli. Sebagaimana dijelaskan dalam shahih muslim, riwayat lain dari Aisyah, Nabi berkata "Aku belum pernah melihat Jibril dalam bentuknya yang asli kecuali hanya dua kali." Pertama di Ajyad dan kedua di Sidratul Muntaha saat Isra'. Penyampaian wahyu pertama ini diawali dengan dialog 3 kali. Malaikat jibril menyuruh nabi membaca (اقْرَأْ) dan Nabi menjawab bahwa beliau tidak bisa membaca (مَا أَنَا بِقَارِئٍ). Begitu Nabi menjawab, Jibril mendekapnya hingga Nabi kepayahan. Setelah tiga kali Jibril baru menyampaikan wahyu pertama, QS. Al-Alaq ayat 1 – 3:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan. Yang menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Demi Tuhanmu yang Maha Mulia Tentu saja ini adalah hal yang sangat berat bagi Nabi. Melihat Jibril dan mendapat wahyu adalah sesuatu yang belum biasa bagi beliau. Maka beliau pulang kepada Khadijah dalam kondisi ketakutan, disertai fisik yang lelah, payah, dan keringat dingin bercucuran. Karenanya beliau meminta diselimuti oleh Khadijah (زَمِّلُونِى زَمِّلُونِى). Setelah cukup membaik, nabi menceritakan kepada Khadijah, sekaligus mengatakan kekhawatiran dan ketakutannya:
لَقَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِى
Sungguh aku cemas atas diriku sendiri. Para ulama berbeda pendapat tentang lafazh khasyyah (خَشِيتُ). Ada 12 arti lafazh ini. (1) Gila, (2) kecemasan, (3) ketakutan, (4) sakit, (5) sakit terus-menerus, (6) ketidakmampuan memegang amanah kenabian, (7) ketidakmampuan melihat bentuk malaikat, (8) tidak memiliki kesabaran atas siksaan orang-orang kafir, (9) orang kafir akan membunuh nabi, (10) meninggalkan tanah airnya, (11) kedustaan orang kafir terhadap nabi, dan (12) cemoohan mereka atas nabi. Ibnu Hajar membenarkan 3 diantaranya, yakni bermakna (3) ketakutan, (4) sakit, dan (5) sakit terus-menerus. Namun Khadijah adalah istri yang luar biasa. Ia mengerti apa yang harus dilakukannya. Pada saat seperti itu motivasi istri benar-benar sangat dibutuhkan. Karenanya Khadijah menampik ketakutan nabi dan mengingatkannya dengan kebaikan-kebaikan yang dilakukannya.
كَلاَّ وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا ، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ ، وَتَقْرِى الضَّيْفَ ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
"Jangan takut, demi Allah, Tuhan tidak akan membinasakan engkau. Engkau selalu menyambung tali persaudaraan, membantu orang yang sengsara, mengusahakan barang keperluan yang belum ada, memuliakan tamu, menolong orang yang kesusahan karena menegakkan kebenaran." Hal lain yang kemudian dilakukan Khadijah adalah mengajak Nabi kepada waraqah. Mengkonsultasikan peristwa itu pada Waraqah. Sebab waraqah adalah ahli kitab yang terpercaya, yang tidak hanya baik akhlaknya tetapi juga alim mengenai Injil. Di sinilah Waraqah memberi kesaksian bahwa yang datang kepada Nabi adalah wahyu. Melalui Namus (malaikat), sebagaimana telah datang kepada Musa sebelumnya. Dalam kesempatan lain Waraqah juga mengatakan "Namus Isa" kepada Khadijah. Dan keduanya adalah benar. Ini juga menjadi bukti bahwa kerasulan Muhammad telah ada dalam kitab suci sebelumnya sehingga ahli kitab seperti Waraqah bisa mengetahui tanda-tandanya. Lalu Waraqah menambahkan keterangan bahwa salah satu resiko kenabian adalah permusuhan dan pengusiran dari kaumnya. Kelak apa yang disampaikan waraqah ini benar-benar terbukti. Namun keinginan Waraqah untuk menolong Nabi tidak bisa dipenuhi sebab tidak berapa lama setelah itu ia meninggal dunia. Pelajaran Hadits: Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah: 1. Sebelum mendapatkan wahyu di Gua Hira, terlebih dulu Rasulullah mendapatkan wahyu dalam bentuk mimpi yang benar, sebagai latihan bagi beliau 2. Wahyu yang pertama turun kepada beliau adalah QS. Al-Alaq 1-3, melalui malaikat Jibril di Gua Hira pada malam bulan Ramadhan 3. Istri yang baik adalah yang bisa menenangkan suami saat ketakutan, memotivasinya saat sang suami membutuhkan motivasi, dan membantu mencarikan solusi saat suami menghadapi masalah 4. Kerasulan Muhammad telah disebutkan dalam kitab-kitab suci sebelum Al-Qur'an, termasuk injil. Juga sebagian tanda-tandanya. 5. Salah satu resiko kenabian adalah permusuhan dari orang-orang kafir, salah satunya dalam bentuk pengusiran. Resiko ini juga bisa menimpa amal-amal dakwah yang merupakan penerus misi kenabian. Demikian hadits ke-3 Shahih Bukhari dan penjelasannya yang telah diringkas dari Fathul Baari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani disertai tambahan penjelasan seperlunya dan kesimpulan atau pelajaran hadits. Wallaahu a'lam bish shawab. []
Hadits 4: Wahyu Turun Berturut-turut Setelah Terputus Sementara
عَنْ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ الأَنْصَارِىَّ قَالَ - وَهُوَ يُحَدِّثُ عَنْ فَتْرَةِ الْوَحْىِ فَقَالَ - فِى حَدِيثِهِ : بَيْنَا أَنَا أَمْشِى إِذْ سَمِعْتُ صَوْتًا مِنَ السَّمَاءِ ، فَرَفَعْتُ بَصَرِى فَإِذَا الْمَلَكُ الَّذِى جَاءَنِى بِحِرَاءٍ جَالِسٌ عَلَى كُرْسِىٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ ، فَرُعِبْتُ مِنْهُ ، فَرَجَعْتُ فَقُلْتُ زَمِّلُونِى . فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ * قُمْ فَأَنْذِرْ ) إِلَى قَوْلِهِ ( وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ ) فَحَمِىَ الْوَحْىُ
Jabir bin Abdullah Al-Anshari berkata, Rasulullah menceritakan tentang terputusnya wahyu dengan sabdanya: "Pada suatu hari ketika aku sedang berjalan-jalan, tiba-tiba terdengar suatu suara dari langit. Maka kuangkat pandanganku ke arah datangnya suara itu. Kelihatan olehku malaikat yang pernah datang kepadaku di gua Hira dahulu. Dia duduk di kursi antara langit dan bumi. Aku terperanjat karenanya, lalu pulang. Aku berkata kepada Khadijah, 'Selimuti aku!' Lalu Allah menurunkan ayat, "Hai orang-orang yang berselimut! Bangunlah! Maka berilah peringatan dan agungkanlah Tuhanmu. Bersihkanlah pakaianmu dan jauhilah berhala.' Maka semenjak itu wahyu turun berturut-turut." Hadits di atas adalah hadits ke-4 dalam Shahih Bukhari (صحيح البخارى), di bawah Kitab Bad’il Wahyi (كتاب بدء الوحى) (Permulaan Turunnya Wahyu). Hadits tersebut menceritakan mengenai turunnya wahyu berturut-turut setelah terputus untuk sementara.
Penjelasan Hadits Sebagaimana disebutkan pada hadits ke-3, bahwa setelah Muhammad SAW menerima wahyu di Gua Hira lalu diajak Khadijah menemui Waraqah, setelah itu wahyu terputus untuk sementara waktu. Wahyu kemudian turun lagi kepada Muhammad SAW. Berupa surat Al-Muddatsir ayat 1-5:
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ * قُمْ فَأَنْذِرْ * وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ * وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ * وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah! dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, (QS. Al-Muddatstsir : 1-5) Banyak ulama yang menjelaskan bahwa Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi dengan wahyu "Iqra" di gua hira, dan beliau diangkat menjadi Rasul dengan Surat Al-Muddatsir ayat 1-5 ini. Ibnu Qayyim termasuk yang berpendapat seperti ini. Mengenai ayat yang turun kepada beliau ini, Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury menjelaskan: 1. Tujuan diperintahkannya beliau untuk memberi peringatan adalah agar tidak tersisa seorang pun yang menyelisihi Allah di alam ini, kecuali sudah mendapatkan peringatan tentang akibatnya yang besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala (adzab). 2. Tujuan diagungkannya Allah adalah agar tidak tersisa pada seorang pun kesombongan di muka bumi ini kecuali akan hancur kekuatannya. 3. Tujuan disucikannya pakaian dan dijauhinya kejelekan adalah agar mencapai kesucian (tazkiyyah) lahir dan batin hingga menjadi teladan tinggi bagi manusia. Ibnu Hajar Al-Asqalani saat menjelaskan hadits ini di dalam Fathul Bari tidak mengemukakan penjelasan yang panjang sebagaimana hadits-hadits sebelumnya. Dalam keterangannya yang singkat, Ibnu Hajar mengemukakan bahwa ada pendapat yang mengatakan bahwa pakaian (ثِيَابَكَ) dalam ayat ini berarti jiwa, maka dari itu cara membersihkannya adalah dengan menjauhi perangai yang buruk dan sifat-sifat yang tercela. Sedangkan lafazh rajzu (َالرُّجْزُ) berarti berhala. Menurut bahasa rajzu artinya adzab atau siksaan, dan berhala dinamakan razju, karena penyembahan berhala menyebabkan orang mendapat siksa. Wahyu turun berturut-turut (فَحَمِىَ الْوَحْىُ) menurut Ibnu Hajar artinya adalah wahyu datang terus menerus dan berangsur-angsur. Pelajaran Hadits: Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah: 1. Setelah ayat "Iqra'" turun di gua hira dan Muhammad SAW mengetahui kenabiannya, wahyu terputus untuk sementara waktu 2. Malaikat bisa memposisikan diri diantara langit dan bumi dengan izin Allah, namun hakikatnya (cara duduknya, wujudnya, dan sebagainya) bukan wilayah akal kita 3. Wahyu yang turun setelah sebelumnya terputus adalah surat Al-Muddatstsir ayat 1-5 yang sekaligus mengangkat Muhammad SAW sebagai Rasul dan memulai dakwahnya 4. Allah mewahyukan Rasulullah di awal misinya sebagai Nabi dan Rasul dengan hal-hal yang paling mendasar berupa tauhid dan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). 5. Setelah turunnya surat Al-Muddatstsir ini, wahyu kemudian turun kepada Rasulullah secara terus menerus dengan cara berangsur-angsur. Demikian hadits ke-4 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita. Wallaahu a'lam bish shawab. []
Hadits 5: Jangan Terburu-buru Menghafal Al-Qur'an
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِى قَوْلِهِ تَعَالَى ( لاَ تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ ) قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُعَالِجُ مِنَ التَّنْزِيلِ شِدَّةً ، وَكَانَ مِمَّا يُحَرِّكُ شَفَتَيْهِ - فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَأَنَا أُحَرِّكُهُمَا لَكُمْ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُحَرِّكُهُمَا . وَقَالَ سَعِيدٌ أَنَا أُحَرِّكُهُمَا كَمَا رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يُحَرِّكُهُمَا . فَحَرَّكَ شَفَتَيْهِ - فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( لاَ تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ* إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ ) قَالَ جَمْعُهُ لَهُ فِى صَدْرِكَ ، وَتَقْرَأَهُ ( فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ ) قَالَ فَاسْتَمِعْ لَهُ وَأَنْصِتْ ( ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ ) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا أَنْ تَقْرَأَهُ . فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - بَعْدَ ذَلِكَ إِذَا أَتَاهُ جِبْرِيلُ اسْتَمَعَ ، فَإِذَا انْطَلَقَ جِبْرِيلُ قَرَأَهُ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - كَمَا قَرَأَهُ
Dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: "Jangan kamu gerakkan lidahmu dalam membaca Al-Qur'an dengan terburu-buru." Berkata Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW berusaha mengatasi kesulitan ketika menerima wahyu dengan menggerakkan kedua bibirnya. Ibnu Abbas berkata, "Aku menggerakkan kedua bibirku ini di hadapan kalian sebagaimana Nabi menggerakkan bibirnya." Sa'id berkata, "Saya menggerakkannya seperti Ibnu Abbas menggerakkan," maka turunlah ayat Al-Qur'an, "Jangan kamu gerakkan lidahmu dalam membaca Al-Qur'an dengan terburu-buru, sesungguhnya Kami telah mengumpulkannya (Al-Qur'an)." Dia berkata, "Allah telah mengumpulkan Al-Qur'an di dalam hatimu dan membacakannya." Allah berfirman, "Apabila Kami membacakan Al-Qur'an ikutilah bacaannya." Atau "dengarkanlah dan diam," Allah berfirman, "Kemudian Kami yang memberi penjelasan," kemudian kepada kami kamu membacanya (Al-Qur'an). Setelah itu Rasulullah SAW apabila telah didatangi oleh Jibril barulah beliau membacanya sebagaimana Jibril membaca. Hadits di atas adalah hadits ke-5 dalam Shahih Bukhari (صحيح البخارى), di bawah Kitab Bad’il Wahyi (كتاب بدء الوحى) (Permulaan Turunnya Wahyu). Hadits tersebut menceritakan upaya Rasulullah untuk segera menghafal wahyu yang diterimanya, namun Allah membetulkan caranya. Penjelasan Hadits Hadits ini menjelaskan tentang asbabun nuzul QS. Al-Qiyamah ayat 15-19. Lafazh "mimmaa" (مِمَّا)dalam hadits ini bermakna "rubamaa" (رُبَماَ), menurut para ulama. Yang artinya adalah, kadang-kadang. Jadi, kadang-kadang Rasulullah menggerakkan bibirnya (seperti yang diperagakan oleh Ibnu Abbas, lalu diperagakan Said bin Jubair) agar beliau lebih cepat menghafalkan wahyu yang turun. Upaya menggerakkan bibir untuk cepat menghafal ini merupakan bentuk tanggungjawab Rasulullah SAW yang begitu besar akan wahyu yang diterimanya. Namun, cara ini tidak dikehendaki oleh Allah SWT. Allah memberitahukan Rasulullah sikap yang lebih baik dalam menerima wahyu. Yakni tidak menggerakkan bibir kecuali ketika Jibril telah selesai menyampaikan wahyu itu. Adapun tentang hafalan dan pemahaman, Allah SWT menjamin melalui ayat ini bahwa Allah-lah yang memberi kuasa untuk itu. Maka setelah itu, Rasulullah tidak lagi menggerakkan bibir untuk menghafal sewaktu Jibril masih dalam kondisi menyampaikan wahyu. Pada awal hadits ini Ibnu Abbas menyebutkan (وَكَانَ مِمَّا يُحَرِّكُ شَفَتَيْهِ) "Rasulullah menggerakkannya (lisan dan bibirnya)" sementara pada kalimat berikutnya (رَأَيْتُ) "aku melihat". Seakan-akan ada pertentangan karena Ibnu Abbas sendiri baru berusia tiga tahun saat surat Al-Qiyamah ini turun. Dalam masalah ini Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa yang benar adalah Ibnu Abbas mendapatkan hadits ini sekligus peragaannya oleh Rasulullah SAW. Pelajaran Hadits: Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah: 1. Tanggung jawab kenabian (mas'uliyah nubuwah) yang sangat besar pada diri Rasulullah SAW sehingga beliau khawatir jika ada bagian wahyu yang terlupakan sehingga tidak tersampaikan kepada umatnya. Mas'uliyah seperti ini juga perlu dimiliki oleh para ulama' dan para dai (meski bukan tanggungjawab kenabian melainkan tanggungjawab dakwah) sehingga para ulama dan dai benar-benar totalitas dalam mengemban amanah dakwah dan gerakan penyelamatan umat (harakatul inqad) 2. Allah SWT senantiasa menjaga Rasulullah dan menyelamatkannya dari kesalahan sekecil apapun. Maka ketika ada yang salah dalam sikap Rasulullah, Allah segera membetulkannya. Inilah yang menjadikan Rasulullah memiliki sifat maksum (terbebas dari kesalahan) 3. Allah senantiasa menjaga keotentikan Al-Qur'an sejak pertama ia diturunkan. Maka Allah memudahkan Rasulullah untuk memahami dan menghafalkannya. Demikian hadits ke-5 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita serta memperkuat mas'uliyah kita. Wallaahu a'lam bish shawab. []
Hadits 6: Tadarus Al-Qur'an setiap Ramadhan
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَجْوَدَ النَّاسِ ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ ، فَلَرَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: "Rasulullah SAW adalah orang yang paling murah hati, lebih-lebih ketika bertemu Jibril di bulan Ramadhan. Beliau bertemu Jibril pada pada setiap malam bulan Ramadhan untuk tadarus Al-Qur'an. Maka sifat murah hati Rasulullah melebihi hembusan angin." Hadits di atas adalah hadits ke-6 dalam Shahih Bukhari (صحيح البخارى), di bawah Kitab Bad’il Wahyi (كتاب بدء الوحى) (Permulaan Turunnya Wahyu). Hadits ini, di samping menjelaskan sifat murah hati Rasulullah (terlebih saat Ramadhan), juga menginformasikan bahwa Rasulullah melakukan tadarus Al-Qur'an bersama Jibril pada malam bulan Ramadhan. Penjelasan Hadits
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَجْوَدَ النَّاسِ
(Rasulullah SAW adalah orang yang paling murah hati) Kalimat (جُوْد) artinya adalah memberi sesuatu kepada yang berhak menerimanya. Ia lebih umum daripada sedekah. Sifat ini adalah sifat Allah SWT yang Ia sukai jika manusia juga memilikinya.
إن الله جواد يحب الجود
Sesungguhnya Allah Maha Pemurah, Dia mencintai orang yang bermurah hati. (HR. Tirmidzi) Sebaik-baik manusia yang dicintai oleh Allah adalah Rasulullah. Dan beliau manusia terbaik pemilik sifat ini. Maka banyak kita dapatkan riwayat yang menjelaskan sifat murah hati beliau. Misalnya dalam riwayat Anas bin Malik:
أنا أجود ولد آدم وأجودهم بعدي رجل علم علما فنشر علمه ورجل جاد بنفسه في سبيل الله
Saya adalah keturunan anak Adam yang paling bermurah hati dan orang yang paling bermurah hati setelahku adalah orang yang memiliki ilmu dan menyebarkan ilmunya serta orang yang menyerahkan dirinya untuk berjuang di jalan Allah. Dalam riwayat yang lain Anas bin Malik menyebutkan:
كان النبي صلى الله عليه و سلم أشجع الناس وأجود الناس
Nabi SAW adalah orang yang paling berani dan paling murah hati
وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ
(Rasulullah lebih pemurah lagi ketika bertemu Jibril di bulan Ramadhan) Sifat murah hati Rasulullah yang demikian besar, bertambah hebat lagi pada waktu bulan Ramadhan. Pada hari biasa saja kedermawanan Rasulullah sulit untuk dilakukan. Seperti dalam riwayat Ahmad: "Tidak ada sesuatu yang diminta dari beliau kecuali beliau memberikannya." Sedangkan riwayat dari Jabir "Tidak pernah ada sesuatu yang diminta dari beliau lalu dijawab 'tidak'"
وَكَانَ يَلْقَاهُ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
(Beliau bertemu Jibril pada pada setiap malam bulan Ramadhan untuk tadarus Al-Qur'an) Kalimat inilah yang menyebabkan mengapa hadits ini ditaruh pada kitab bad'il wahyi (permulaan turunnya wahyu). Sebab Rasulullah SAW biasa melakukan tadarus bersama Jibril pada setiap Ramadhan. مدرسه menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani artinya adalah menghafal Al-Qur'an. Pada prakteknya, Rasulullah membaca Al-Qur'an (tentu saja dengan menghafalnya) di hadapan Jibril dan Jibril yang mengeceknya. Ini untuk memastikan bahwa tidak ada satu huruf pun yang salah. Seluruh Al-Qur'an harus sama sebagaimana adanya di lauh mahfudz. Tidak boleh ada perbedaan sedikitpun. Maka proses ini merupakan upaya berikutnya setelah pada hadits sebelumnya dijelaskan bagaimana Rasulullah dimudahkan Allah dalam menghafal Al-Qur'an, tanpa diperkenankan untuk langsung menirukan Jibril hingga Jibril selesai menyampaikan ayat-ayat yang diturunkan pada saat itu. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, hadits ini juga menjadi bukti bahwa Al-Qur'an diturunkan pertama kali pada bulan Ramadhan. Lalu setiap Ramadhan dicek, bahkan pada Ramadhan terakhir sebelum Rasulullah wafat, pengecekan (tadarus) ini berlangsung dua kali.
فَلَرَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
(Maka sifat murah hati Rasulullah –di bulan Ramadhan- melebihi hembusan angin) الْمُرْسَلَةِ artinya adalah berhembus dengan cepat. Digambarkan demikian karena kedermawanan Rasulullah lebih cepat dari hembusan angin. Dan kedermawanan Rasulullah selalu ada sebagaimana hembusan angin yang selalu ada pula. Pelajaran Hadits: Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah: 1. Kesempurnaan Rasulullah SAW yang memiliki akhlak agung (akhlaq adhimah). Salah satunya adalah murah hati (kedermawanan). Dalam hal ini, Rasulullah paling murah hati (dermawan) dibandingkan dengan manusia manapun. 2. Rasulullah bertemu dengan Jibril setiap bulan Ramadhan untuk melakukan tadarus. Dalam proses ini ada penjaminan keotentikan Al-Qur'an. Meskipun Rasulullah SAW adalah seorang yang maksum dan telah dimudahkan serta dijamin Allah dalam menghafal Al-Qur'an proses ini tetap dilakukan untuk memperkuat dan memastikan keotentikan Al-Qur'an. Agar tidak ada satu huruf pun dari Al-Qur'an yang keliru saat disampaikan kepada umatnya. 3. Kedermawanan (murah hati) Rasulullah SAW bertambah hebat ketika bulan Ramadhan. Ini mengajarkan kepada umat beliau bahwa Ramadhan sebagai bulan yang paling utama dengan pelipatgandaan pahala amal kebajikan hendaklah dioptimalkan dengan memperbanyak ibadah dan meningkatkan kualitasnya. Demikian Demikian hadits ke-6 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman Islam kita serta memotivasi kita untuk menjadi murah hati, meningkatkan amal pada bulan Ramadhan, serta bersungguh-sungguh dalam berinteraksi dengan Al-Qur'an. Wallaahu a'lam bish shawab. []
Hadits 7: Tanda-tanda Kenabian dan Prediksi Kemenangan Islam telah Dikenali Ahli Kitab
Seringkali lompatan yang tinggi atau lonjakan tajam, membuat seseorang terhenti dari kesinambungan amal. Kita mungkin mengalaminya saat halaqah awal dulu. Semangat kita untuk menghafal Arbain Nawawi secara berurutan tiba-tiba terhenti oleh hadits kedua yang panjang. Sebab yang serupa terjadi pada Hadits ke-7 yang sangat panjang membuat rubrik hadits ini terhenti sampai hampir dua bulan.
Namun alhamdulillah, Allah memberi kemudahan pada hari ini sehingga hadits ke-7 ini selesai ditulis. Semoga hadits berikutnya nanti bisa rutin hadir setiap selasa mengingat pendeknya hadits-hadits itu. Mari kita ikuti hadits ke-7 berikut ini:
أَنَّ أَبَا سُفْيَانَ بْنَ حَرْبٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ هِرَقْلَ أَرْسَلَ إِلَيْهِ فِى رَكْبٍ مِنْ قُرَيْشٍ - وَكَانُوا تُجَّارًا بِالشَّأْمِ - فِى الْمُدَّةِ الَّتِى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَادَّ فِيهَا أَبَا سُفْيَانَ وَكُفَّارَ قُرَيْشٍ ، فَأَتَوْهُ وَهُمْ بِإِيلِيَاءَ فَدَعَاهُمْ فِى مَجْلِسِهِ ، وَحَوْلَهُ عُظَمَاءُ الرُّومِ ثُمَّ دَعَاهُمْ وَدَعَا بِتَرْجُمَانِهِ فَقَالَ أَيُّكُمْ أَقْرَبُ نَسَبًا بِهَذَا الرَّجُلِ الَّذِى يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِىٌّ فَقَالَ أَبُو سُفْيَانَ فَقُلْتُ أَنَا أَقْرَبُهُمْ نَسَبًا . فَقَالَ أَدْنُوهُ مِنِّى ، وَقَرِّبُوا أَصْحَابَهُ ، فَاجْعَلُوهُمْ عِنْدَ ظَهْرِهِ . ثُمَّ قَالَ لِتَرْجُمَانِهِ قُلْ لَهُمْ إِنِّى سَائِلٌ هَذَا عَنْ هَذَا الرَّجُلِ ، فَإِنْ كَذَبَنِى فَكَذِّبُوهُ . فَوَاللَّهِ لَوْلاَ الْحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوا عَلَىَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَنْهُ ، ثُمَّ كَانَ أَوَّلَ مَا سَأَلَنِى عَنْهُ أَنْ قَالَ كَيْفَ نَسَبُهُ فِيكُمْ قُلْتُ هُوَ فِينَا ذُو نَسَبٍ . قَالَ فَهَلْ قَالَ هَذَا الْقَوْلَ مِنْكُمْ أَحَدٌ قَطُّ قَبْلَهُ قُلْتُ لاَ . قَالَ فَهَلْ كَانَ مِنْ آبَائِهِ مِنْ مَلِكٍ قُلْتُ لاَ . قَالَ فَأَشْرَافُ النَّاسِ يَتَّبِعُونَهُ أَمْ ضُعَفَاؤُهُمْ فَقُلْتُ بَلْ ضُعَفَاؤُهُمْ . قَالَ أَيَزِيدُونَ أَمْ يَنْقُصُونَ قُلْتُ بَلْ يَزِيدُونَ . قَالَ فَهَلْ يَرْتَدُّ أَحَدٌ مِنْهُمْ سَخْطَةً لِدِينِهِ بَعْدَ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ قُلْتُ لاَ . قَالَ فَهَلْ كُنْتُمْ تَتَّهِمُونَهُ بِالْكَذِبِ قَبْلَ أَنْ يَقُولَ مَا قَالَ قُلْتُ لاَ . قَالَ فَهَلْ يَغْدِرُ قُلْتُ لاَ ، وَنَحْنُ مِنْهُ فِى مُدَّةٍ لاَ نَدْرِى مَا هُوَ فَاعِلٌ فِيهَا . قَالَ وَلَمْ تُمْكِنِّى كَلِمَةٌ أُدْخِلُ فِيهَا شَيْئًا غَيْرُ هَذِهِ الْكَلِمَةِ . قَالَ فَهَلْ قَاتَلْتُمُوهُ قُلْتُ نَعَمْ . قَالَ فَكَيْفَ كَانَ قِتَالُكُمْ إِيَّاهُ قُلْتُ الْحَرْبُ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ سِجَالٌ ، يَنَالُ مِنَّا وَنَنَالُ مِنْهُ . قَالَ مَاذَا يَأْمُرُكُمْ قُلْتُ يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ ، وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ . فَقَالَ لِلتَّرْجُمَانِ قُلْ لَهُ سَأَلْتُكَ عَنْ نَسَبِهِ ، فَذَكَرْتَ أَنَّهُ فِيكُمْ ذُو نَسَبٍ ، فَكَذَلِكَ الرُّسُلُ تُبْعَثُ فِى نَسَبِ قَوْمِهَا ، وَسَأَلْتُكَ هَلْ قَالَ أَحَدٌ مِنْكُمْ هَذَا الْقَوْلَ فَذَكَرْتَ أَنْ لاَ ، فَقُلْتُ لَوْ كَانَ أَحَدٌ قَالَ هَذَا الْقَوْلَ قَبْلَهُ لَقُلْتُ رَجُلٌ يَأْتَسِى بِقَوْلٍ قِيلَ قَبْلَهُ ، وَسَأَلْتُكَ هَلْ كَانَ مِنْ آبَائِهِ مِنْ مَلِكٍ فَذَكَرْتَ أَنْ لاَ ، قُلْتُ فَلَوْ كَانَ مِنْ آبَائِهِ مِنْ مَلِكٍ قُلْتُ رَجُلٌ يَطْلُبُ مُلْكَ أَبِيهِ ، وَسَأَلْتُكَ هَلْ كُنْتُمْ تَتَّهِمُونَهُ بِالْكَذِبِ قَبْلَ أَنْ يَقُولَ مَا قَالَ فَذَكَرْتَ أَنْ لاَ ، فَقَدْ أَعْرِفُ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِيَذَرَ الْكَذِبَ عَلَى النَّاسِ وَيَكْذِبَ عَلَى اللَّهِ ، وَسَأَلْتُكَ أَشْرَافُ النَّاسِ اتَّبَعُوهُ أَمْ ضُعَفَاؤُهُمْ فَذَكَرْتَ أَنَّ ضُعَفَاءَهُمُ اتَّبَعُوهُ ، وَهُمْ أَتْبَاعُ الرُّسُلِ ، وَسَأَلْتُكَ أَيَزِيدُونَ أَمْ يَنْقُصُونَ فَذَكَرْتَ أَنَّهُمْ يَزِيدُونَ ، وَكَذَلِكَ أَمْرُ الإِيمَانِ حَتَّى يَتِمَّ ، وَسَأَلْتُكَ أَيَرْتَدُّ أَحَدٌ سَخْطَةً لِدِينِهِ بَعْدَ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ فَذَكَرْتَ أَنْ لاَ ، وَكَذَلِكَ الإِيمَانُ حِينَ تُخَالِطُ بَشَاشَتُهُ الْقُلُوبَ ، وَسَأَلْتُكَ هَلْ يَغْدِرُ فَذَكَرْتَ أَنْ لاَ ، وَكَذَلِكَ الرُّسُلُ لاَ تَغْدِرُ ، وَسَأَلْتُكَ بِمَا يَأْمُرُكُمْ ، فَذَكَرْتَ أَنَّهُ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَعْبُدُوا اللَّهَ ، وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَيَنْهَاكُمْ عَنْ عِبَادَةِ الأَوْثَانِ ، وَيَأْمُرُكُمْ بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ . فَإِنْ كَانَ مَا تَقُولُ حَقًّا فَسَيَمْلِكُ مَوْضِعَ قَدَمَىَّ هَاتَيْنِ ، وَقَدْ كُنْتُ أَعْلَمُ أَنَّهُ خَارِجٌ ، لَمْ أَكُنْ أَظُنُّ أَنَّهُ مِنْكُمْ ، فَلَوْ أَنِّى أَعْلَمُ أَنِّى أَخْلُصُ إِلَيْهِ لَتَجَشَّمْتُ لِقَاءَهُ ، وَلَوْ كُنْتُ عِنْدَهُ لَغَسَلْتُ عَنْ قَدَمِهِ . ثُمَّ دَعَا بِكِتَابِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الَّذِى بَعَثَ بِهِ دِحْيَةُ إِلَى عَظِيمِ بُصْرَى ، فَدَفَعَهُ إِلَى هِرَقْلَ فَقَرَأَهُ فَإِذَا فِيهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ . مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ . سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى ، أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الإِسْلاَمِ ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ ، يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ وَ ( يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لاَ نَعْبُدَ إِلاَّ اللَّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ ) قَالَ أَبُو سُفْيَانَ فَلَمَّا قَالَ مَا قَالَ ، وَفَرَغَ مِنْ قِرَاءَةِ الْكِتَابِ كَثُرَ عِنْدَهُ الصَّخَبُ ، وَارْتَفَعَتِ الأَصْوَاتُ وَأُخْرِجْنَا ، فَقُلْتُ لأَصْحَابِى حِينَ أُخْرِجْنَا لَقَدْ أَمِرَ أَمْرُ ابْنِ أَبِى كَبْشَةَ ، إِنَّهُ يَخَافُهُ مَلِكُ بَنِى الأَصْفَرِ . فَمَا زِلْتُ مُوقِنًا أَنَّهُ سَيَظْهَرُ حَتَّى أَدْخَلَ اللَّهُ عَلَىَّ الإِسْلاَمَ . وَكَانَ ابْنُ النَّاظُورِ صَاحِبُ إِيلِيَاءَ وَهِرَقْلَ سُقُفًّا عَلَى نَصَارَى الشَّأْمِ ، يُحَدِّثُ أَنَّ هِرَقْلَ حِينَ قَدِمَ إِيلِيَاءَ أَصْبَحَ يَوْمًا خَبِيثَ النَّفْسِ ، فَقَالَ بَعْضُ بَطَارِقَتِهِ قَدِ اسْتَنْكَرْنَا هَيْئَتَكَ . قَالَ ابْنُ النَّاظُورِ وَكَانَ هِرَقْلُ حَزَّاءً يَنْظُرُ فِى النُّجُومِ ، فَقَالَ لَهُمْ حِينَ سَأَلُوهُ إِنِّى رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ حِينَ نَظَرْتُ فِى النُّجُومِ مَلِكَ الْخِتَانِ قَدْ ظَهَرَ ، فَمَنْ يَخْتَتِنُ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ قَالُوا لَيْسَ يَخْتَتِنُ إِلاَّ الْيَهُودُ فَلاَ يُهِمَّنَّكَ شَأْنُهُمْ وَاكْتُبْ إِلَى مَدَايِنِ مُلْكِكَ ، فَيَقْتُلُوا مَنْ فِيهِمْ مِنَ الْيَهُودِ . فَبَيْنَمَا هُمْ عَلَى أَمْرِهِمْ أُتِىَ هِرَقْلُ بِرَجُلٍ أَرْسَلَ بِهِ مَلِكُ غَسَّانَ ، يُخْبِرُ عَنْ خَبَرِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَلَمَّا اسْتَخْبَرَهُ هِرَقْلُ قَالَ اذْهَبُوا فَانْظُرُوا أَمُخْتَتِنٌ هُوَ أَمْ لاَ . فَنَظَرُوا إِلَيْهِ ، فَحَدَّثُوهُ أَنَّهُ مُخْتَتِنٌ ، وَسَأَلَهُ عَنِ الْعَرَبِ فَقَالَ هُمْ يَخْتَتِنُونَ . فَقَالَ هِرَقْلُ هَذَا مَلِكُ هَذِهِ الأُمَّةِ قَدْ ظَهَرَ . ثُمَّ كَتَبَ هِرَقْلُ إِلَى صَاحِبٍ لَهُ بِرُومِيَةَ ، وَكَانَ نَظِيرَهُ فِى الْعِلْمِ ، وَسَارَ هِرَقْلُ إِلَى حِمْصَ ، فَلَمْ يَرِمْ حِمْصَ حَتَّى أَتَاهُ كِتَابٌ مِنْ صَاحِبِهِ يُوَافِقُ رَأْىَ هِرَقْلَ عَلَى خُرُوجِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَأَنَّهُ نَبِىٌّ ، فَأَذِنَ هِرَقْلُ لِعُظَمَاءِ الرُّومِ فِى دَسْكَرَةٍ لَهُ بِحِمْصَ ثُمَّ أَمَرَ بِأَبْوَابِهَا فَغُلِّقَتْ ، ثُمَّ اطَّلَعَ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الرُّومِ ، هَلْ لَكُمْ فِى الْفَلاَحِ وَالرُّشْدِ وَأَنْ يَثْبُتَ مُلْكُكُمْ فَتُبَايِعُوا هَذَا النَّبِىَّ ، فَحَاصُوا حَيْصَةَ حُمُرِ الْوَحْشِ إِلَى الأَبْوَابِ ، فَوَجَدُوهَا قَدْ غُلِّقَتْ ، فَلَمَّا رَأَى هِرَقْلُ نَفْرَتَهُمْ ، وَأَيِسَ مِنَ الإِيمَانِ قَالَ رُدُّوهُمْ عَلَىَّ .
وَقَالَ إِنِّى قُلْتُ مَقَالَتِى آنِفًا أَخْتَبِرُ بِهَا شِدَّتَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ ، فَقَدْ رَأَيْتُ . فَسَجَدُوا لَهُ وَرَضُوا عَنْهُ ، فَكَانَ ذَلِكَ آخِرَ شَأْنِ هِرَقْلَ
Abu Sufyan mengabarkan bahwa Hiraklius menyuruh dia datang ke Syam bersama kafilah saudagar Quraisy. Waktu itu Rasulullah SAW sedang dalam perjanjian damai dengan Abu Sufyan dan orang-orang Quraisy. Mereka datang menghadap Hiraklius di Ilia, lalu masuk di dalam majelisnya di hadapan pembesar-pembesar Romawi. Kemudian Hiraklius memanggil orang-orang Quraisy itu beserta juru bahasanya. Hiraklius berkata, "Siapa diantara Anda yang paling dekat hubungan kekeluargaannya dengan laki-laki yang mengaku sebagai Nabi itu?" Abu Sufyan menjawab, "Saya keluarga terdekatnya." Hiraklius berkata kepada juru bicaranya, "Suruh dia mendekat kepadaku, dan suruh pula para sahabatnya duduk di belakangnya." Kemudian dia berkata kepada juru bicaranya, "katakan kepada mereka aku akan bertanya kepadanya (Abu Sufyan). Jika dia berdusta, suruhlah mereka mengatakan bahwa dia berdusta." Kata Abu Sufyan: "Demi Tuhan! Jika tidaklah aku takut akan mendapat malu karena aku dikatakan pendusta, niscaya maulah aku berdusta." Pertanyaan pertama, "Bagaimanakah garis nasabnya di kalanganmu?" Aku jawab, "Dia turunan bangsawan di kalangan kami." Hiraklius bertanya lagi, "Pernahkah orang lain sebelumnya mengatakan apa yang dikatakannya?" Aku menjawab, "Tidak" "Adakah diantara nenek moyangnya yang menjadi raja?" "Tidak," "Apakah pengikutnya terdiri dari orang-orang mulia ataukah orang-orang dhuafa?" "Hanya terdiri dari orang-orang dhuafa," "Apakah pengkutnya semakin bertambah atau berkurang?" "Bahkan selalu bertambah" "Adakah diantara mereka yang murtad karena benci kepada agama yang dipeluknya?" "Tidak" "Pernahkah dia melanggar janji?" "Tidak dan sekarang kami sedang dalam perjanjian damai dengan dia, kami tidak tahu apa yang diperbuatnya dengan perjanjian itu" "Pernah kamu berperang dengannya?" "Pernah" "Bagaimana peperanganmu itu?" "Kami kalah dan menang silih berganti. Dikalahkannya kami dan kami kalahkan pula dia" "Apakah yang diperintahkannya kepada kamu sekalian?" "Dia menyuruh kami menyembah Allah semata dan jangan mempersekutukan-Nya. Tinggalkan apa yang diajarkan nenek moyang kami! Disuruhnya kami menegakkan shalat, berlaku jujur, sopan (teguh hati) dan mempererat persaudaraan." Heraklius berkata, "Katakan kepadanya (Abu Sufyan), saya tanyakan padamu tentang turunannya Muhammad, kamu jawab dia bangsawan yang tinggi. Begitulah Rasul-rasul yang terdahulu, diutus dari kalangan bangsa tinggi kaumnya. Aku bertanya adakah salah seorang diantara kamu yang mengumandangkan ucapan sebagaimana diucapkannya sekarang, engkau menjawab tidak. Kalau ada seorang yang pernah mengucapkan apa yang dikatakannya sekarang niscaya aku katakan kalau dia hanya meniru-niru ucapan yang diucapkan orang terdahulu itu. Aku tanyakan adakah diantara nenek moyangnya yang menjadi raja dan kamu menjawab tidak ada. Kalau ada diantara nenek moyangnya yang menjadi raja, niscaya aku katakan dia hendak menuntut kembali kerajaan nenek moyangnya. Aku bertanya adakah kamu menaruh curiga kepadanya bahwa ia dutsa, sebelum mengucapkan apa yang diucapkannya sekarang dan kamu menjawab tidak. Saya yakin dia tidak berbohong kepada manusia apalagi kepada Allah. Aku bertanya apakah pengikutnya terdiri dari orang-orang mulia atau orang-orang dhuafa? Engkau jawab orang dhuafa. Memang mereka jualah yang menjadi pengikut Rasul-rasul. Aku bertanya apakah pengikutnya makin bertambah atau berkurang dan kamu jawab mereka bertambah banyak. Begitulah halnya iman yang sempurna. Aku bertanya adakah diantara mereka yang murtad karena benci kepada agama yang dipeluknya, setelah mereka masuk ke dalamnya dan kamu jawab tidak. Begitulah iman apabila ia telah mendarah daging sampai ke jantung hati. Aku bertanya apakah ia ingkar janji, kamu jawab tidak. Begitu pula semua rasul yang terdahulu, mereka tidak suka melanggar janji. Aku bertanya apa yang diperintahkannya kepadamu, kamu jawab ia menyuruh menyembah Allah dan melarang mempersekutukan-Nya. Dilarangnya pula menyembah berhala, disuruhnya menegakkan shalat, berlaku jujur dan sopan (teguh hati). Jika yang kamu terangkan itu betul semuanya, niscaya dia akan berpijak di kedua telapak kakiku ini. Sesungguhnya aku tahu bahwa dia akan lahir. Tetapi aku tidak mengira bahwa dia akan lahir diantara kamu sekalian. Sekiranya aku yakin akan dapat bertemu dengannya, walaupun dengan susah payah aku akan berusaha datang untuk menemuinya. Kalau aku telah berada di dekatnya akan kucuci kedua telapak kakinya." Kemudian Hiraklius meminta surat Rasulullah SAW yang diantarkan oleh Dihyah kepada pembesar negeri Bashra, yang kemudian diteruskan kepada Hiraklius. Lalu dibacanya surat itu, yang isinya sebagai berikut:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ . مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ . سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى ، أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الإِسْلاَمِ ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ ، يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ وَ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لاَ نَعْبُدَ إِلاَّ اللَّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya kepada Hiraklius, kaisar Romawi. Kesejahteraan kiranya untuk orang-orang yang mengikuti petunjuk. Kemudian sesungguhnya saya mengajak anda memenuhi panggilan Islam. Masuklah Islam! Pasti anda selamat, dan Allah memberi pahala kepada anda dua kali lipat. Tetapi jika anda enggan niscaya anda akan memikul dosa seluruh rakyat. "Hai ahli kitab! Marilah kita bersatu dalam satu kalimat yang sama antara kita yaitu supaya kita tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun, dan janganlah sebagian kita menjadikan sebagian yang lain menjadi tuhan selai Allah. Apabila engkau enggan menuruti ajakan ini, maka saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang muslim."
Abu Sufyan berkata, "Ketika ia mengucapkan perkatannya dan membaca surat itu, ruangan menjadi heboh dan hiruk pikuk. Kami disuruh keluar. Maka aku berkata kepada kawan-kawan, 'Sungguh anak Abu Kabsyah telah membuat masalah besar, sehingga raja bangsa kulit kuning itu pun takut kepadanya.' Tapi aku yakin, Muhammad pasti menang, sehingga karenanya Allah memasukkan Islam ke dalam hatiku." Ibnu Nathur, pembesar negeri Iliya, sahabat Hiraklius dan uskup Nasrani di Syam menceritakan, "Ketika Hiraklius datang ke Iliya, ternyata pikirannya sedang kacau. Oleh sebab itu banyak diantara pendeta yang berkata, 'Kami sangat heran melihat sikap anda.'" Selanjutnya Ibnu Nathur berkata, "Hiraklius adalah seorang ahli nujum yang selalu memperhatikan perjalanan bintang-bintang. Dia pernah menjawab pertanyaan para pendeta yang bertanya kepadanya pada suatu malam ketika Raja Khitan muncul. "Siapakah diantara umat ini yang dikhitan?" Jawab para pendeta, "Yang dikhitan hanyalah orang Yahudi. Tapi anda jangan risau dengan mereka. Perintahkan saja ke seluruh negeri dalam kerajaan anda supaya orang-orang yahudi di negeri itu dibunuh." Pada suatu ketika dihadapkan kepada Hiraklius seorang utusan raja Bani Ghassan untuk menceritakan perihal Rasulullah. Setelah selesai bercerta, Hiraklius memerintahkan agar dia diperiksa, apakah dia dikhitan atau tidak. Setelah diperiksa ternyata memang dia dikhitan lalu diberitahukannya kepada Hiraklius. Kemudian Hiraklius bertanya kepada orang itu tentang orang-orang Arab lainnya, "Apakah mereka dikhitan atau tidak?" jawabnya, "Orang-orang Arab semuanya dikhitan." Hiraklius berkata, "Inilah raja ummat, sesungguhnya dia telah lahir." Kemudian Hiraklius berkirim surat kepada seorang sahabatnya yang ilmunya setaraf dengannya. Kemudian Hiraklius menceritakan tentang kelahiran Nabi Muhammad. Sementara itu, ia meneruskan perjalanannya ke negeri Hamas. Tetapi sebelum dia sampai di Hamas balasan surat dari sahabatnya telah tiba terlebih dahulu. Sahabatnya itu menyetujui pendapat Hiraklius bahwa Muhammad telah lahir dan beliau memang seorang Nabi. Hiraklius mengundang para pembesar Romawi supaya datang ke tempatnya di Hamas. Setelah semuanya hadir, Hiraklius memerintahkan supaya mengunci setiap pintu. Kemudian ia berkata, "Wahai bangsa Romawi, maukah kamu semua mendapat kemenangan dan kemjuan yang gilang gemilang, sedangkan kerajaan tetap utuh di tangan kita? Kalau mau akuilah Muhammad adalah seorang Nabi." Mendengar ucapan itu mereka lari bagaikan keledai liar padahal semua pintu telah terkunci. Melihat keadaan demikian Hiraklius menjadi putus harapan untuk mengajak mereka beriman. Lalu ia memerintahkan supaya mereka kembali ke tempat mereka masing-masing seraya berkata, "Sesungguhnya aku mengucapkan perkataan ini hanya sekedar menguji keteguhan hati kalian semua. Kini aku melihat keteguhan itu." Lalu mereka sujud di hadapan hiraklius dan mereka senang kepadanya. Demikianlah akhir kisah Hiraklius.
Hadits di atas adalah hadits ke-7 dalam Shahih Bukhari (صحيح البخارى), di bawah Kitab Bad’il Wahyi (كتاب بدء الوحى) (Permulaan Turunnya Wahyu). Hadits ini merupakan salah satu hadits terpanjang dalam Shahih Bukhari, dan merupakan hadits paling panjang dalam Fathul Bari jilid pertama.
Hadits ini menceritakan kisah Hiraklius yang dialami oleh Abu Sufyan sebelum masuk Islam. Abu Sufyan lalu menceritakannya setelah ia masuk Islam. Meskipun belum masuk Islam, Abu Sufyan telah mengatakan dengan jujur perihal Rasulullah. Karena ia malu dikatakan sebagai pendusta. Dan inilah salah satu karakter positif bangsa Arab sebagaimana disebutkan Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury dalam Ar-Rakhiqul Makhtum.
Pelajaran Hadits:
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Kabar tentang datangnya Nabi Muhammad telah diberitakan dalam kitab suci sebelumnya, khususnya Injil yang merupakan kitab suci yang diturunkan kepada nabi Isa dan diyakini orang-orang Nasrani seperti Hiraklius
2. Tanda-tanda atau karakter kenabian Muhammad telah dikenali oleh ahli kitab seperti Hiraklius, sebagaimana jawaban Abu Sufyan atas seluruh pertanyaannya
3. Usaha Rasulullah untuk mendakwahkan Islam dengan segenap kemampuan dan memanfaatkan berbagai kesempatan dan sarana, termasuk mengirim surat dakwah kepada para raja. Diantaranya adalah kepada kaisar Romawi Hiraklius, yang suratnya dibahas dalam hadits di atas. Surat ini dikirim oleh Rasulullah setelah perjanjian Hudaibiyah. Di mana pada masa itu negara Madinah tidak disibukkan oleh perang dengan kafir Quraisy, sehingga Rasulullah bebas melakukan dakwah di luar jazirah Arab dengan tenang. Maka demikianlah harusnya aktifi dan jamaah dakwah. Tidak lelah berdakwah, dan memanfaatkan setiap kesempatan untuk menyebarluaskan dakwah
4. Kemenangan Islam adalah kepastian. Bahkan ahli kitab seperi Hiraklius pun meyakini tentang kemenangan ini
5. Kepastian datangnya kemenangan atau aura kemenangan dakwah bisa menjadi wasilah (sarana) bagi seseorang untuk menerima hidayah, sebagaimana kesaksian Abu Sufyan pada hadits di atas
6. Kekuasaan bisa menjadi halangan bagi hidayah. Hiraklius yang tadinya ingin masuk Islam dan mengajak para pembesar mendukungnya tidak jadi melakukan karena kekhawatiran hilangnya kekuasaan darinya. Ini terjadi setelah mereka menolak ajakan Hiraklius dengan berlarian ke penjuru ruangan yang telah terkunci, hingga akhirnya Hiraklius menarik kata-katanya dengan diplomatis: "Aku hanya menguji keteguhan hati kalian"
Demikian hadits ke-7 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita, menguatkan semangat dakwah dan memperkokoh keyakinan kita akan kemenangan Islam. Wallaahu a'lam bish shawab.
Hadits 8: Rukun Islam dengan Puasa Ramadhan Disebut Terakhir
Alhamdulillah, hadits-hadits dalam Kitab Bad’il Wahyi (كتاب بدء الوحى) (Permulaan Turunnya Wahyu), telah kita selesaikan dengan diakhiri oleh hadits ke-7 yang sangat panjang pada pekan lalu.
Kini kita akan mulai membahas hadits-hadits Shahih Bukhari dalam Kitab Iman (كتاب الايمان). Hadits ke-8 yang akan kita kaji ini diberi bab doamu adalah imanmu (باب دُعَاؤُكُمْ إِيمَانُكُمْ) oleh Imam Bukhari. Namun untuk lebih memudahkan dan familiar dengan matan haditsnya, memberikan judul Rukun Islam dengan Puasa Ramadhan Disebut Terakhir untuk hadits ini, sebagaimana judul bab yang disebutkan Imam Bukhari di awal kitab Iman, kemudian diikuti oleh ayat-ayat Al-Qur'an sebagai mukaddimahnya.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ » .
Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Islam dibangun di atas lima dasar: bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, menunaikan ibadah haji, dan puasa Ramadhan." Penjelasan Hadits
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ
Islam dibangun di atas lima (dasar) Lima dasar yang disebutkan setelah hadits ini dikenal sebagai rukun Islam, sebagaimana Muslim memberikan judul untuk hadits serupa dengan ini dalam Shahih-nya. Diantaranya pada bab kelima dalam kitab Iman. Ketika memberikan penjelasan hadits ini di Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani menjawab pertanyaan mengapa jihad tidak dimasukkan rukun Islam. Ini menggambarkan perbedaan yang cukup jauh antara umat Islam hari ini dengan para salafusshalih ataupun zaman Ibnu Hajar. Jika mereka dulu sangat antusias dengan jihad dan memahaminya sebagai perkara sangat besar hingga pantaslah kiranya dimasukkan sebagai rukun Islam, umat Islam di masa sekarang justru alergi terhadap istilah itu. Ghazwul fikri yang dilancarkan barat ternyata menampakkan hasilnya. Bagaimana jawaban Ibnu Hajar? "Jihad tidak masuk dalam hadits ini," kata beliau, "karena hukum jihad adalah fardhu kifayah dan jihad tidak diwajibkan kecuali dalam waktu dan kondisi tertentu." Lalu beliau menegaskan bahwa jawaban ini merupakan jawaban Ibnu Umar juga. Sementara jawaban lain diberikan oleh Ibnu Bathal yang berargumen jihad tidak disebutkan karena hadits ini muncul pada periode awal Islam sebelum diwajibkannya jihad. Namun argumen ini dikritik karena sampai akhir hayat Rasulullah pun tidak ada hadits lain yang menasakh hadits di atas sehingga rukun Islam tetap lima.
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah Dasar Islam yang pertama adalah kesaksian bahwa tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah. Syahadat. Jika ditanyakan mengapa tidak disebutkan iman kepada malaikat, hari kiamat, dan lainnya, Ibnu Hajar menjawab karena syahadat yang membenarkan Muhammad sebagai Rasulullah berarti juga membenarkan seluruh ajarannya, termasuk dalam hal aqidah atau keimanan terhadap berbagai hal yang disebutkan dalam rukun Iman.
وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ
mendirikan shalat, membayar zakat Shalat dan zakat adalah dua hal yang seiring dan sejalan. Baik dalam hadits maupun dalam Al-Qur'an. Shalat merupakan ibadah yang berdimensi hablun minallah, sementara zakat lebih dominan pada hablun minannas karena dengannya bisa terwujud keharmonisan dalam masyarakat antara si kaya dan si miskin, mengurangi kesenjangan antara keduanya, dan upaya pemerataan kesempatan yang ideal.
وَالْحَجِّ
menunaikan haji Yakni bagi yang mampu
، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Dan puasa Ramadhan Puasa Ramadhan disebutkan setelah haji dalam hadits, menurut Ibnu Hajar bukan karena Rasulullah melafadzkan hadits ini dalam dua bentuk yang berbeda dari lainnya (kadang puasa dulu, kadang haji disebutkan dulu). Akan tetapi hadits riwayat Handhalah, dari Abu Sufyan, dari Ikrimah bin Khalid, dari Ibnu Umar yang dikeluarkan Imam Bukhari ini merupakan hadits bil makna, yaitu hadits yang diriwayatkan berdasarkan maknanya, bukan berdasarkan lafazh yang diriwayatkan dari Rasulullah. Hadits yang sama dengan puasa Ramadhan disebutkan sebelum haji diriwayatkan oleh Imam Muslim dari riwayat Sa'ad bin Ubaidah dari Ibnu Umar. Di sana seseorang berkata "Haji dan puasa Ramadhan," lalu Ibnu Umar membetulkan, "Tidak, puasa Ramadhan dan haji." Pelajaran Hadits: Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah: 1. Dasar/rukun Islam ada 5, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa Ramadhan, dan haji. Barangsiapa meninggalkan atau melanggar 5 rukun ini Islamnya tidak sah. Misalnya seseorang yang tidak mau shalat, atau tidak mau zakat padahal hartanya sudah mencapai nishab dan haul. 2. Sesuai lafazh hadits di atas, "buniyal Islam", hadits ini tidak membatasi Islam hanya terdiri dari 5 hal itu. Sebagaimana kalimat "rumah itu dibangun di atas lima pilar", maka rumah bukan hanya terdiri dari lima pilar itu melainkan masih ada bagian atau unsur lainnya seperti dinding, atap, jendela, dan sebagainya. 3. Boleh meriwayatkan hadits bil makna. Ini berbeda dengan Al-Qur'an yang dalam periwayatannya harus bil lafdzi juga (lafadz sebagaimana yang difirmankan Allah). Demikian hadits ke-8 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita, dan mengingatkan kita untuk menetapi Islam dengan menjalankan rukun Islam dan seluruh ajaran Rasulullah SAW. Wallaahu a'lam bish shawab. []
Hadits 9: Cabang-cabang Iman
Diposkan oleh Admin BeDa pada Selasa, 14 September 2010 | 12.00 WIB
Alhamdulillah, pada posting pertama bulan Syawal 1431 H ini bisa dihadirkan pembahasan hadits Shahih Bukhari kembali. Kini kita memasuki hadits yang ke-9, masih termasuk dalam Kitab Iman (كتاب الايمان).
Hadits ke-9 Shahih Bukhari yang akan kita kaji ini cukup singkat, tetapi menjelaskan hal yang sangat penting. Bahwa iman memiliki cabang-cabang yang banyak, yang jumlahnya disebutkan dalam hadits ini disertai penegasan bahwa malu adalah salah satu cabang iman. Karenanya memberi judul untuk pembahasan hadits ke-9 ini "Cabang-cabang Iman".
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ » .
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda, "Iman mempunyai lebih dari enam puluh cabang. Dan malu adalah salah satu cabang dari iman." Penjelasan Hadits
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً
Iman mempunyai lebih dari enam puluh cabang Banyak ulama yang menjelaskan definisi bidh'un (بِضْعٌ). Al-Qazzaz mengartikannya bilangan antara tiga sampai sembilan. Ibnu Saidah mengartikannya tiga sampai sepuluh. Ada pula yang mengatakan satu sampai sembilan, dua sampai sepuluh, atau empat sampai sembilan. Yang paling banyak dipakai oleh para mufassir adalah pendapat Al-Qazzaz sebagaimana mereka menafsirkan kata yang sama pada QS. Yusuf ayat 42. Kata syu'bah (شُعْبَةً) artinya adalah potongan. Pada hadits ini arti yang lebih tepat adalah cabang atau bagian. Jadi, iman itu memiliki banyak cabang, sejumlah 63 sampai 69 cabang. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, banyak orang yang telah mencoba merumuskan cabang-cabang iman itu, tetapi yang paling mendekati kebenaran adalah rumusan Ibnu Hibban. Ibnu Hibban merinci cabang iman menjadi 69 cabang sebagai berikut: 1. Perbuatan hati yang terdiri dari 24 cabang keimanan. Yaitu iman kepada dzat, sifat, keesaan dan kekekalan Allah, iman kepada malaikat, kitab-kitab, Rasul, qafha dan qadar, hari Akhir, alam kubur, hari kebangkitan, dikumpulkannya semua orang di padang mahsyar, hari perhitungan, perhitungan pahala dan dosa, surga dan neraka. Kemudian kecintaan kepada Allah, kecintaan kepada sesama, kecintaan kepada Nabi, keyakinan akan kebesarannya, shalawat kepada Nabi dan melaksanakan sunnah. Keikhlasan yang mencakup meninggalkan riba dan kemunafikan, taubat, rasa takut, harapan, syukur, amanah, sabar, ridha terhadap qadha, tawakkal, rahmah, kerendahan hati, meninggalkan kesombongan, iri, dengki, dan amarah. 2. Perbuatan lisan yang terdiri dari 7 cabang keimanan. Yaitu melafakan tauhid, membaca Al-Qur'an, mempelajari ilmu, mengajarkan ilmu, doa, dzikir, istighfar, dan menjauhi perkataan-perkataan yang tidak bermanfaat. 3. Perbuatan jasmani yang terdiri dari 38 cabang keimanan. Terkait dengan badan, ada 15 cabang, yaitu bersuci dan menjauhi segala hal yang najis, menutup aurat, shalat wajib dan sunnah, zakat, membebaskan budak, dermawan, puasa wajib dan sunnah, haji dan umrah, thawaf, i'tikaf, mencari lailatul qadar, mempertahankan agama seperti hijrah dari daerah syirik, melaksanakan nadzar dan melaksanakan kafarat. Terkait dengan orang lain, ada 6 cabang, yaitu iffah (menjaga kesucian diri) dengan menikah, menunaikan hak anak dan keluarga, berbakti kepada kedua orang tua, mendidik anak, silaturahim, taat kepada pemimpin dan berlemah lembut kepada pembantu. Terkait dengan kemaslahatan umum, ada 17 cabang, yaitu berlaku adil dalam memimpin, mengikuti kelompok mayoritas, taat kepada pemimpin, mengadakan ishlah seperti memerangi para pembangkang agama, membantu dalam kebaikan seperti amar ma'ruf dan nahi munkar, melaksanakan hukum Allah, jihad, amanah dalam denda dan hutang serta melaksanakan kewajiban hidup bertetangga. Kemudian menjaga perangai dan budi pekerti yang baik dalam berinteraksi dengan sesama seperti mengumpulkan harta di jalan yang halal, menginfakkan sebagian hartanya, menjauhi foya-foya dan menghambur-hamburkan harta, menjawab salam, mendoakan orang yang bersin, tidak menyakiti orang lain, serius dan tidak suka main-main, serta menyingkirkan duri di jalanan.
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
Dan malu adalah salah satu cabang dari iman Secara bahasa al-hayaa' (الْحَيَاءُ) adalah perubahan yang ada pada diri seseorang karena takut melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan aib. Sedangkan secara terminologi, berarti perangai yang mendorong untuk menjauhi sesuatu yang buruk dan mencegah untuk tidak memberikan suatu hak kepada pemiliknya. Disebutkannya malu secara khusus dalam hadits ini adalah karena sifat malu adalah motivator yang akan memunculkan cabang iman yang lain, sebab dengan malu seseorang merasa takut melakukan perbuatan yang buruk di dunia dan akhirat sehingga malu bisa berfungsi untuk memerintah dan menghindari atau mencegah. Demikian dijelaskan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Baari. Dalam hadits yang lain, yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, bisa dilihat betapa sifat malu ini memang luar biasa sehingga ia tidak menghiasi siapapun kecuali dengan kebaikan.
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ
Pelajaran Hadits: Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah: 1. Iman memiliki cabang yang banyak. Dalam hadits di atas disebutkan lebih dari 60 cabang. Ini menegaskan bahwa iman bukan hanya pernyataan secara lisan semata. Sekaligus mendorong kita untuk mengejar kesempurnaan iman dengan memenuhi cabang-cabangnya. 2. Salah satu cabang iman yang istimewa adalah malu. Karena dengan sifat malu, seseorang bisa terjaga dari perbuatan buruk dan hina yang bisa merendahkannya di hadapan Allah kemudian di hadapan manusia. Demikian hadits ke-9 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita, mengingatkan keimanan kita, serta memotivasi kita memenuhi cabang-cabangnya. Wallaahu a'lam bish shawab. []
Hadits 10: Hakikat Muslim dan Muhajir (Orang yang Berhijrah)
Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits ke-10. Hadits ini masih termasuk dalam Kitab Iman (كتاب الايمان).
Hadits ke-10 Shahih Bukhari yang akan kita kaji ini akan memaparkan karakter muslim secara singkat. Di samping itu, ia juga menjelaskan hakikat muhajir (orang yang berhijrah) dalam maknanya yang luas. Karenanya Bersama Dakwah memberi judul untuk pembahasan hadits ke-10 ini "Hakikat Muslim dan Muhajir (Orang yang Berhijrah)".
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو - رضى الله عنهما - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Dari Abdullah bin Umar r.a. Nabi SAW bersabda, "Muslim adalah orang yang menyelamatkan semua orang muslim dari lisan dan tangannya. Dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah" Penjelasan Hadits
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Muslim adalah orang yang menyelamatkan semua orang muslim dari lisan dan tangannya Matan hadits ini menjelaskan salah satu karakter muslim. Sebagaimana salah satu makna Islam adalah "selamat" yang diambil dari asal kata salima, seorang muslim adalah seorang yang menyelamatkan. Tidak mencelakakan orang lain, terlebih sesama muslim. Maka itulah karakter muslim yang juga menjadi hakikat muslim sejati. Ia tidak membahayakan muslim yang lain, tidak pula mencelakakan mereka. Ia tidak membuat sesama muslim yang pada hakikatnya adalah saudaranya sendiri menjadi binasa karena lisan dan tangannya. Lisan berarti adalah ucapan dan perkataan. Sedangkan tangan adalah perbuatan, sikap, juga keputusan-keputusannya. Seorang muslim sejati akan benar-benar menjaga lisan dan tangannya agar tidak sampai menyakiti sesama muslim. Lisannya ia jaga agar jangan sampai mengeluarkan perkataan yang menyakitkan, ucapan yang membuat hati terluka, kebohongan yang mendatangkan keburukan, ghibah yang menjatuhkan harga diri, umpatan yang memicu kemarahan, celaan yang mendatangkan penghinaan, apalagi fitnah yang mencelakakan. Tangannya juga ia jaga sebaik-baiknya. Agar jangan sampai tangannya memukul sesama muslim, memecah belah persatuan mereka, mendatangkan kerusakan dalam kehidupan mereka, menzhalimi hak-hak mereka, menindas mereka yang lemah, merongrong stabilitas umat, dan sebagainya. Disebutkannya tangan di sini bukan hanya terbatas pada tangan secara fisik yang merugikan orang lain. Lebih strategis dari itu adalah tangan dalam arti kekuasaan sebagaimana dalam hadits lain:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan/kekuasaannya. Jika tidak mampu, hendaklah mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu hendaklah mengubah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman. (HR. Muslim) Maka jika seorang muslim memiliki kekuasaan, ia harus menjaganya agar jangan sampai kekuasaan itu menyakiti kaum muslimin, menzhalimi, menindas, atau merampas hak mereka. Matan hadits di atas juga menunjukkan bahwa hakikat Islam bukan hanya baiknya hubungan manusia dengan Rabbnya (hablun minallah), tetapi juga harus baik hubungannya dengan sesama manusia (hablun minannas). Dan salah satu indikasi baiknya hubungan dengan sesama manusia, khususnya sesama muslim, adalah terjaganya kaum muslimin dari gangguan lisan dan tangannya.
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah Muhajir adalah orang yang berhijrah. Dalam bentuk jamak, kata muhajir akan berubah menjadi muhajirin, "orang-orang yang berhijrah." Ketika istilah "hijrah" dan "muhajirin" disebutkan dalam Al-Qur'an, hampir bisa dipastikan maknanya adalah hijrah (berpindahnya) seorang muslim dari negeri kufur ke negeri Islam atau negeri yang aman untuk agamanya. Dalam sirah nabawiyah, dikenal dua hijrah. Yang pertama adalah hijrah ke Habasyah, dan yang kedua adalah hijrah ke Madinah. Hijrah pertama untuk menyelamatkan agama dari tribulasi dakwah yang dilancarkan kaum kafir Quraisy, sementara hijrah ke Madinah lebih besar lagi untuk membangun basis agama Islam sekaligus pendirian negara Islam di Madinah. Setelah futuhnya Makkah, Rasulullah SAW bersabda tentang dihapuskannya hijrah, khususnya dari Makkah:
لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ
Tidak ada hijrah sesudah fathu Makkah (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan demikian, muhajir dalam matan hadits ini adalah muhajir dalam maknanya yang luas. Yakni orang yang berpindah dari kondisi mendurhakai Allah atau peluang bermaksiat kepada Allah menuju ketaatan yang lebih baik. Lebih tepatnya, meninggalkan larangan-larangan Allah SWT. Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa ada dua bentuk hijrah. Pertama, hijrah zhahirah. Yaitu pergi meninggalkan tempat untuk menghindari fitnah demi mempertahankan agama. Kedua, hijrah bathinah. Yaitu meninggalkan perbuatan yang dibisikkan oleh nafsu amarah dan syetan. Seakan-akan orang yang berhijrah diperintahkan seperti itu, agar hijrah yang mereka lakukan tidak hanya berpindah tempat saja, tetapi lebih dari iru, mereka benar-benar melaksanakan perintah syariat dan meninggalkan larangannya. Orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah berarti ia telah melaksanakan hakikat hijrah. Pelajaran Hadits Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah: 1. Islam bukan hanya mengajarkan dan memerintah memperbaiki hubungan dengan Allah (hablun minallah), tetapi juga hubungan dengan manusia (hablun minannas) 2. Salah satu karakter muslim adalah menjaga lisan dan tangannya agar tidak menyakiti atau mencelakai sesama muslim 3. Dalam hadits, kadang satu istilah dipakai untuk makna yang berbeda, yakni makna secara sempit dan makna secara luas 4. Hakikat hijrah adalah meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT. Demikian hadits ke-10 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita, memotivasi kita untuk memperbaiki kualitas keislaman kita, dan menjadikan kita sebagai muslim dan muhajir sejati. Wallaahu a'lam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar