Dalam rangka menyambut Ramadhan,
banyak orang berziarah kubur. Pada awalnya, ziarah kubur dilarang,
karena masih terdapat unsur-unsur yang merupakan tradisi Jahiliyah.
Ketika unsur-unsur tersebut masih ada, larangan tetap berlaku. Unsur
tersebut misalnya dalam bentuk meratap (niyahah). Meratap itu dilarang
dalam agama. Maka Rasulullah mengatakan,”Kuntu nahaytukum ‘an ziyaratil qubur ala tazuruha – Dahulu aku melarang kalian ziarah kubur (karena memang ada hal-hal yang mengarah kepada syirik), sekarang ini ziarahlah kalian.”
Mengapa kemudian diperintahkan? “Liannaha tudzakkirul maut – Karena ziarah kubur itu bisa mengingatkan kalian akan mati.” Jadi, ziarah kubur itu dianjurkan, bahkan diperintahkan.
Pertanyaannya, apakah itu berlaku untuk semua? Bolehkah kaum wanita berziarah kubur? Karena
kaum wanita termasuk dalam kelompok orang yang kurang bisa menahan
emosinya, kurang bisa menahan rasa kasihannya kepada yang lebih
mendahuluinya mati, mereka dilarang berziarah kubur. Kecuali kalau bisa
menahan emosi, mereka diperbolehkan.
Alasan
kedua wanita tidak diperbolehkan berlama-lama di kubur, sebab
dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah. Siti Aisyah RA diriwayatkan
selalu menziarahi saudaranya yang bernama Abdurrahman. Ketika ditegur
oleh sahabat lainnya, “Mengapa engkau ziarahi dia,
sementara wanita itu dilarang menziarahi kubur?”, Siti Aisyah menjawab,
“Ya, dulu memang Rasulullah melarang ziarah itu, tapi sekarang sudah
tidak dilarang lagi.” Maksud “tidak dilarang lagi” adalah ketika wanita
bisa menjaga diri dari hal-hal yang bisa menimbulkan fitnah.
Maka
ketika mau berziarah, diaturlah agar rapi pakaiannya, tidak mengundang
tatapan pihak lain, sehingga bisa mengalihkan perhatian orang lain itu.
Wanita yang berziarah juga tidak boleh menggunakan pakaian-pakaian yang
ketat, yang menggambarkan bentuktubuhnya. Juga dilarang memakai warna
yang mencolok. Yang dianjurkan adalah pa- kaian warna gelap atau hitam.
Jika wanita ikut berziarah, harus dipisahkan tempatnya. Tidak boleh bercampur antara pria dan wanita. Sekali lagi, untuk mencegah timbulnya fitnah.
Dalam ziarah ini, ada tata cara yang diatur oleh agama yaitu:
1. Pertama, ketika kita berziarah, yang pertama kali kita ucapkan adalah salam. Kepada Nabi, kita ucapkan salam Assalamu alayka ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wabarakatuh… (dan seterusnya dengan berbagai variasi doa ziarah yang ada). Kemudian mendoakan si mayit. Doa yang biasa kita baca di antaranya adalah Rabbanaghfirlana
wali ikhwaninalladzma sabaquna bil-iman, wala taj’al fi qulubina
ghillal-lilladzina amanu, rabbana, innaka raufur-rahim.
Amalan lainnya adalah bacaan Al- Qur’an, misalnya membaca surah Ya-Sin, surah Al-Fatihah, atau yang lainnya.
Dalam hal
ini, ada tiga perkara yang disepakati, yaitu dijamin pahalanya sampai
kepada yang bersangkutan. Ketiganya adalah doa, permohonan ampun, dan
pelunasan utang-piutang.
Mengenai
yang lainnya, seperti membaca Al-Qur’an, tahlil, dan dzikir, ada
perdebatan. Kelompok pertama diwakili oleh golongan Mu’tazilah dan
madzhab Abu Hanifah, yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan selain
tiga pekara itu tadi tidak sampai dan tidak akan memberi manfaat kepada
yang meninggal dunia.
Alasan pertama,
ayat 39-41 surah An-Najm, yang artinya, “Dan bahwasanya seorang manusia
tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya
usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi
balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempuma.” Mereka memahami
dari ayat ini bahwa amal dan usaha orang lain yang disampaikan untuk
orang yang sudah meninggal itu tidak sampai kepadanya.
Alasan kedua adalah hadits riwayat Imam Muslim, yaitu Idza
matabnu ada-ma inqatha’a ‘amaluhu illa min tsalatsin, shadaqatin
jariyatin aw ‘ilmin yuntafa’u bihi aw waladin shalihin yad’u lah.
“Apabila manusia meninggal, putuslah seluruh amal perbuatannya kecuali
tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang pernah disampaikannya dan
dimanfaatkan oleh orang lain, dan anak yang shalih yang senantiasa
mendoakannya.”
Sedangkan
amalan yang lain tidak sampai. Mereka yang menggunakan hadits ini secara
tekstual memahami bahwa apa yang kita lakukan dalam bentuk membaca
Al-Qur’an, yakni Ya-Sin, tahlil, dan lainnya, tidak sampai kepada orang
yang meninggal.
Kelompok
kedua adalah kelompok madzhab Maliki, madzhab Hanbali, dan kebanyakan
dari madzhab Syafi’i. Mereka mengatakan, usaha orang yang masih hidup
ketika diniatkan kepada orang yang sudah meninggal dunia, pahalanya itu
sampai kepada orang yang dituju.
Mengenai
ayat di atas, mereka menjawab bahwa memang manusia itu tidak mendapatkan
sesuatu kecuali dari hasil usahanya, tapi tidak tertutup kemungkinan
usaha orang lain bisa juga sampai kepadanya.
Mereka
mengambil beberapa contoh. Ada sahabat yang pernah datang menghadap
Rasulullah yang mengadukan bahwa orangtuanya sudah udzur. Orangtuanya
itu mempunyai nadzar untuk melaksanakan ibadah haji tapi ternyata ia
tidak mampu melakukan. Kemudian Rasulullah ditanya, “Apakah aku bisa
mengerjakan haji untuknya?”
Rasulullah kemudian bertanya, “Kalau sekiranya orangtuamu itu punya utang-piutang, siapa yang akan melunasinya?”
Dia menjawab, “Ya saya, sebagai anaknya.”
Rasulullah berkata, “Utang kepada Allah itu lebih berhak untuk dilunasi.”
Begitu
juga kasus seorang wanita yang mendatangi Rasulullah dan mengatakan
bahwa ibunya pada tahun sebelumnya berkeinginan untuk bertiaji pada
tahun itu (tahun saat wanita itu menghadap Rasulullah) tapi ia meninggal
sebelum melaksanakan ibadah haji- nya. Bisakah digantikan? Ternyata di-
jawab dengan jawaban yang sama.
Karena
itulah, salah seorang tokoh dari madzhab Hanbali, Syaikhul Islam ibnu
Taimiyah (meninggal dunia tahun 728 H/1327 M), mengatakan, “Barang siapa
berpendapat bahwa amalan orang yang masih hidup ketika ia niatkan untuk
orang yang sudah meninggal dunia tidak bermanfaat atau tidak sampai
pahalanya, pendapatnya menyalahi kesepakatan para ulama.”
Tata cara ziarah yang kedua,
apabila yang kita ziarahi itu orang-orang yang shalih atau para wali,
itu lebih dianjurkan. Dengan tujuan, agar kita dapat mengambil pelajaran
darl ziarah itu. Menurut Imam Ghazali, di situ ada i’tibar-nya
(pelajaran) dan juga ada keberkahannya. Keberkahan itu berhubungan
dengan tawassul. Apakah kita bisa minta dari kubur atau tidak, itu
permasalahannya. Kalau kita meminta kepada kubur, itu yang tidak boleh,
karena berarti sudah melakukan perbuatan syirik. Namun kita menjadikan
ahli kubur dari para wali atau orang-orang shalih itu sebagai sarana
saja, kita tetap meminta kepada Allah. Tapi karena kita adalah manusia
yang penuh dosa, banyak kesalahan, banyak melakukan pelanggaran,
permintaan itu tidak langsung kepada Allah. Jadi permintaan itu melalui
tawassul tersebut.
Oleh: Prof. Dr. Said Agil Husin AI-Munawa
Simak di: http://www.sarkub.com/2012/ziarah-kubur-menjelang-ramadhan/#ixzz2v15PGLOq
Powered by Menyansoft
Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | Sarkub.Center on Facebook
Semoga saudara pernah membaca Qur’an terutama beberapa ayat berikut :
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Wahai Rabb Kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian terhadap orang-orang yang beriman (berada) dalam hati kami. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ محمد: ١٩
“Dan memohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) kaum mukminin, baik yang laki-laki maupun perempuan.” (Muhammad: 19)رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ إبراهيم: ٤١
“Wahai Rabb kami, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan segenap orang-orang yang beriman pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (Ibrohim: 41)
Kalimat do’a diatas adalah jama’ untuk semua orang beriman baik yang hidup maupun yang sudah meninggal.
Mengenai ziarah qubur khususnya ke makam orangtua, ulama’ dan orang-orang yang berjasa dalam mengemban syi’ar Islam tentulah sangat dianjurkan.
Kebenaran hakiki hanya milik Allah
Hamba Allah yang dhaif dan faqir
Dzikrul Ghafilin bersama Mas Derajad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar