Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
لَمْ يَبْقَ مِنْ النُّبُوَّةِ إِلَّا الْمُبَشِّرَاتُ قَالُوا وَمَا الْمُبَشِّرَاتُ قَالَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ
“Kenabian tidak ada lagi selain berita-berita gembira.” Para sahabat
bertanya, “Apa yang di maksud dengan kabar-kabar gembira?” Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Mimpi yang baik.”
(HR. Al-Bukhari no. 6990)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلْمٍ لَمْ يَرَهُ كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيرَتَيْنِ وَلَنْ يَفْعَلَ وَمَنْ اسْتَمَعَ إِلَى حَدِيثِ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ أَوْ يَفِرُّونَ مِنْهُ صُبَّ فِي أُذُنِهِ الْآنُكُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ صَوَّرَ صُورَةً عُذِّبَ وَكُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا وَلَيْسَ بِنَافِخٍ
“Barangsiapa menyatakan sebuah mimpi yang dia tidak bermimpi
dengannya maka dia akan dibebani untuk membuat simpul dengan dua helai
rambut padahal dia tak akan bisa melakukannya. Barangsiapa yang mencuri
dengar pembicaraan suatu kaum padahal mereka tidak menyukai atau telah
menyingkir untuk menghindarinya, maka telinganya akan dialiri cairan
tembaga pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menggambar maka dia akan
disiksa dan dibebani untuk menghidupkannya padahal dia tidak akan
mampu.” (HR. Al-Bukhari no. 7042)
Maksud membuat simpul dengan dua helai rambut adalah: Pada hari kiamat dia akan dibebani untuk mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin agar siksaannya bertambah lama karena dia tidak akan sanggup mengerjakannya.
Maksud membuat simpul dengan dua helai rambut adalah: Pada hari kiamat dia akan dibebani untuk mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin agar siksaannya bertambah lama karena dia tidak akan sanggup mengerjakannya.
Penjelasan ringkas:
Mimpi mempunyai kedudukan yang agung dalam Islam, bagaimana tidak padahal Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menjadikannya sebagai isyarat akan datangnya kabar gembira. Bahkan dalam hadits yang lain beliau shallallahu alaihi wasallam telah bersabda:
الرُّؤْيَا الْحَسَنَةُ مِنْ الرَّجُلِ الصَّالِحِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ
“Mimpi baik yang berasal dari seorang yang saleh adalah satu bagian dari 46 bagian kenabian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Menjelaskan hadits yang semakna dengan di atas, Asy-Syaikh Muhammad Al-Utsaimin rahimahullah berkata, ” Makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِيْنَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ
adalah apa yang diimpikan seorang mukmin akan terjadi dengan benar, karena mimpi tersebut merupakan permisalan yang dibuat bagi orang yang bermimpi. Terkadang mimpi itu adalah berita tentang sesuatu yang sedang atau akan terjadi. Kemudian sesuatu itu benar terjadi persis seperti yang diimpikan. Dengan demikian, dari sisi ini mimpi diibaratkan seperti nubuwwah dalam kebenaran apa yang ditunjukkannya, walaupun mimpi berbeda dengan nubuwwah. Karena itulah mimpi dikatakan satu dari 46 bagian nubuwwah. Kenapa disebut 46 bagian, karena hal ini termasuk perkara tauqifiyyah (yang ditetapkan hanya dengan wahyu). Tidak ada yang mengetahui hikmahnya sebagaimana halnya bilangan-bilangan rakaat dalam shalat.
Adapun ciri orang yang benar mimpinya adalah seorang mukmin yang jujur, bila memang mimpinya itu mimpi yang baik/bagus. Jika seseorang dikenal jujur ucapannya ketika terjaga, ia memiliki iman dan takwa, maka secara umum mimpinya benar. Karena itulah hadits ini pada sebagian riwayatnya datang dengan menyebutkan adanya syarat, yaitu mimpi yang baik/bagus dari seorang yang shalih. Dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَصْدَقُهُمْ رُؤْيًا أَصْدَقُهُمْ حَدِيْثًا
“Orang yang paling benar mimpinya adalah orang yang paling jujur ucapannya.”
Akan tetapi perlu diketahui di sini bahwa mimpi yang dilihat seseorang dalam tidurnya itu ada tiga macam:
Pertama: Mimpi yang benar lagi baik. Inilah mimpi yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu dari 46 bagian kenabian. Secara umum, mimpinya itu tidak terjadi di alam nyata. Namun terkadang pula terjadi persis seperti yang dilihat dalam mimpi. Terkadang terjadi di alam nyata sebagai penafsiran dari apa yang dilihat dalam mimpi. Dalam mimpi ia melihat satu permisalan kemudian ta’bir dari mimpi itu terjadi di alam nyata namun tidak mirip betul. Contohnya seperti mimpi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa waktu sebelum terjadi perang Uhud. Beliau mimpi di pedang beliau ada rekahan/retak dan melihat seekor sapi betina disembelih. Ternyata retak pada pedang beliau tersebut maksudnya adalah paman beliau Hamzah radhiyallahu ‘anhu akan gugur sebagai syahid. Karena kabilah (kerabat/keluarga) seseorang kedudukannya seperti pedangnya dalam pembelaan yang mereka berikan berikut dukungan dan pertolongan mereka terhadap dirinya. Sementara sapi betina yang disembelih maksudnya adalah beberapa sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum akan gugur sebagai syuhada. Karena pada sapi betina ada kebaikan yang banyak, demikian pula para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka adalah orang-orang yang berilmu, memberi manfaat bagi para hamba dan memiliki amal-amal shalih.
Kedua: Mimpi yang dilihat seseorang dalam tidurnya sebagai cermin dari keinginannya atau dari apa yang terjadi pada dirinya dalam hidupnya. Karena kebanyakan manusia mengimpikan dalam tidurnya apa yang menjadi bisikan hatinya atau apa yang memenuhi pikirannya ketika masih terjaga (belum tidur) dan apa yang berlangsung pada dirinya saat terjaga (tidak tidur). Mimpi yang seperti ini tidak ada hukumnya3.
Ketiga: Gangguan dari setan yang bermaksud menakut-nakuti seorang manusia, karena setan dapat menggambarkan dalam tidur seseorang perkara yang menakutkannya, baik berkaitan dengan dirinya, harta, keluarga, atau masyarakatnya. Hal ini dikarenakan setan memang gemar membuat sedih kaum mukminin
sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ
“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu dari setan, dengan tujuan agar orang-orang beriman itu bersedih hati, padahal pembicaraan itu tidaklah memberi mudarat sedikitpun kepada mereka kecuali dengan izin Allah ….” (Al-Mujadilah: 10)
Setiap perkara yang dapat menyusahkan seseorang dalam hidupnya dan mengacaukan kebahagiaan hidupnya merupakan target yang dituju oleh setan. Ia sangat bersemangat untuk mewujudkannya, baik orang yang hendak diganggunya itu tengah terjaga atau sedang larut dalam mimpinya. Karena memang setan merupakan musuh sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا
“Sesungguhnya setan itu merupakan musuh bagi kalian maka jadikanlah ia sebagai musuh.” (Fathir: 6)
(Dinukil dari Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadhilatisy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, 1/327-330 via: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=504)
Pembagian mimpi yang Asy-Syaikh sebutkan di atas disebutkan dalam riwayat Imam Muslim no. 4200 dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu secara marfu’:
إِذَا اقْتَرَبَ الزَّمَانُ لَمْ تَكَدْ رُؤْيَا الْمُسْلِمِ تَكْذِبُ وَأَصْدَقُكُمْ رُؤْيَا أَصْدَقُكُمْ حَدِيثًا وَرُؤْيَا الْمُسْلِمِ جُزْءٌ مِنْ خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ وَالرُّؤْيَا ثَلَاثَةٌ فَرُؤْيَا الصَّالِحَةِ بُشْرَى مِنْ اللَّهِ وَرُؤْيَا تَحْزِينٌ مِنْ الشَّيْطَانِ وَرُؤْيَا مِمَّا يُحَدِّثُ الْمَرْءُ نَفْسَهُ فَإِنْ رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يَكْرَهُ فَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ وَلَا يُحَدِّثْ بِهَا النَّاسَ
“Apabila hari kiamat telah dekat, maka jarang sekali mimpi seorang muslim yang tidak benar. Dan orang yang paling benar mimpinya di antara kalian adalah yang paling benar ucapannya. Mimpi seorang muslim adalah sebagian dari 45 macam nubuwwah (wahyu). Mimpi itu ada tiga macam: (1) Mimpi yang baik sebagai kabar gembira dari Allah. (2) mimpi yang menakutkan atau menyedihkan, datangnya dari syetan. (3) dan mimpi yang timbul karena ilusi angan-angan, atau khayal seseorang. Karena itu, jika kamu bermimpi yang tidak kamu senangi, bangunlah, kemudian shalatlah, dan jangan menceritakannya kepada orang lain.”
Maka dari penjelasan di atas kita bisa melihat bahwa mimpi sekalipun yang baik dan berasal dari Allah maka itu hanya bersifat membawa kabar gembira kepada sang pemilik mimpi atau orang yang berada di sekitarnya. Karenanya mimpi tidaklah dapat dijadikan sebagai patokan syariat. Dalam artian dengan mimpi itu seseorang tidak boleh menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, mengamalkan sebuah ibadah yang baru maupun meninggalkan suatu ibadah yang sudah pasti pensyariatannya. Karena hal itu berarti menjadikan mimpinya sebagai pembuat syariat, padahal syariat sudah baku dengan wafatnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, tidak akan mungkin berubah dan tidak akan ada yang diganti. Karenanya siapa saja yang mengadakan perubahan atau penambahan dalam syariat Islam dengan beralasan dia menerima hal itu dalam mimpi ketika dia bertemu Nabi shallallahu alaihi wasallam maka sungguh dia adalah orang yang tertipu dengan setan dan apa yang dia lihat di dalam mimpinya pastilah bukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sebagai tambahan keterangan berikut kami bawakan nukilan yang bermanfaat dari: http://fadhlihsan.wordpress.com/2010/05/02/risalah-seputar-mimpi:
Tanda-tanda untuk Mengenal Sebuah Mimpi
Yang pertama: Tanda-tanda Mimpi yang Benar
1. Bersih dari mimpi kosong, bayangan-bayangan yang menakutkan dan meresahkan.
2. Dapat dipahami ketika terjaga. Yang bermimpi tidak melihat dalam tidurnya sesuatu yang bertolak belakang, seperti mimpi melihat orang berdiri dalam keadaan duduk.
3. Tidur dalam keadaan pikirannya jernih, tidak disibukkan oleh satu persoalan pun. Karena pada umumnya, mimpi orang yang seperti ini adalah karena bisikan jiwanya (angan-angannya) sebelum tidur. Misalnya dia dalam keadaan haus lalu tertidur dan dalam tidurnya dia mimpi sedang minum. Atau lapar lalu mimpi sedang makan dan sebagainya.
4. Mimpi tersebut dapat dita’wil dan sesuai dengan yang ada di dalam Lauhul Mahfuzh. Kalau mimpi itu kadang terlihat begini atau kadang begitu, maka itu tidaklah dinamakan mimpi yang baik dan benar. Karena mimpi yang benar itu harus tersusun rapi yang sesuah dan memungkinkan untuk dita’wilkan (ditafsirkan).
Yang pertama: Tanda-tanda Mimpi yang Benar
1. Bersih dari mimpi kosong, bayangan-bayangan yang menakutkan dan meresahkan.
2. Dapat dipahami ketika terjaga. Yang bermimpi tidak melihat dalam tidurnya sesuatu yang bertolak belakang, seperti mimpi melihat orang berdiri dalam keadaan duduk.
3. Tidur dalam keadaan pikirannya jernih, tidak disibukkan oleh satu persoalan pun. Karena pada umumnya, mimpi orang yang seperti ini adalah karena bisikan jiwanya (angan-angannya) sebelum tidur. Misalnya dia dalam keadaan haus lalu tertidur dan dalam tidurnya dia mimpi sedang minum. Atau lapar lalu mimpi sedang makan dan sebagainya.
4. Mimpi tersebut dapat dita’wil dan sesuai dengan yang ada di dalam Lauhul Mahfuzh. Kalau mimpi itu kadang terlihat begini atau kadang begitu, maka itu tidaklah dinamakan mimpi yang baik dan benar. Karena mimpi yang benar itu harus tersusun rapi yang sesuah dan memungkinkan untuk dita’wilkan (ditafsirkan).
Yang Kedua: Mimpi yang Diperbuat oleh Syaithan
Mimpi ini sangat berbeda dengan yang telah kami paparkan. Sehingga kalau mimpi itu meliputi berbagai perkara yang mendatangkan duka cita, keresahan, ketakutan dan sebagainya, maka tidak perlu diperhatikan karena itu adalah buatan syaithan.
Al-’Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan:
“Perbedaan antara ahlam (mimpi-mimpi yang tidak benar) yang merupakan mimpi-mimpi kosong dan tidak bisa dita’wil, seperti orang yang bermimpi dalam keadaan dia sibuk berpikir dan berangan-angan terhadap suatu persoalan. Maka kebanyakan yang dilihatnya dalam tidurnya adalah sejenis dengan apa yang dipikirkannya ketika dia dalam keadaan jaga. Jenis ini biasanya adalah mimpi kosong yang tidak ada ta’wilnya.
Demikian juga bentuk lain yang dilemparkan syaithan kepada ruh orang yang tidur, berupa mimpi dusta dan makna-makna yang kacau. Ini juga mimpi yang tidak ada ta’wilnya. Dan tidak perlu menyibukkan pikirannya dengan hal ini. Bahkan sebaiknya dia membiarkannya begitu saja.
Adapun mimpi yang benar, maka itu adalah ilham yang diberikan Allah kepada ruh ketika dia lepas dari jasad pada waktu tidur. Atau tamsil (permisalan) yang dibuat oleh malaikat bagi seorang manusia agar dia memahami apa yang sesuai dengan tamsil itu. Yakni, kadang dia melihat sesuatu sesuai hakekatnya, dan ta’birnya adalah apa yang dilihatnya dalam tidurnya.” [Al-Majmu’atul Kamilah li Mu’allafat Ibnu Sa’di, (1/108)]
Mimpi ini sangat berbeda dengan yang telah kami paparkan. Sehingga kalau mimpi itu meliputi berbagai perkara yang mendatangkan duka cita, keresahan, ketakutan dan sebagainya, maka tidak perlu diperhatikan karena itu adalah buatan syaithan.
Al-’Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan:
“Perbedaan antara ahlam (mimpi-mimpi yang tidak benar) yang merupakan mimpi-mimpi kosong dan tidak bisa dita’wil, seperti orang yang bermimpi dalam keadaan dia sibuk berpikir dan berangan-angan terhadap suatu persoalan. Maka kebanyakan yang dilihatnya dalam tidurnya adalah sejenis dengan apa yang dipikirkannya ketika dia dalam keadaan jaga. Jenis ini biasanya adalah mimpi kosong yang tidak ada ta’wilnya.
Demikian juga bentuk lain yang dilemparkan syaithan kepada ruh orang yang tidur, berupa mimpi dusta dan makna-makna yang kacau. Ini juga mimpi yang tidak ada ta’wilnya. Dan tidak perlu menyibukkan pikirannya dengan hal ini. Bahkan sebaiknya dia membiarkannya begitu saja.
Adapun mimpi yang benar, maka itu adalah ilham yang diberikan Allah kepada ruh ketika dia lepas dari jasad pada waktu tidur. Atau tamsil (permisalan) yang dibuat oleh malaikat bagi seorang manusia agar dia memahami apa yang sesuai dengan tamsil itu. Yakni, kadang dia melihat sesuatu sesuai hakekatnya, dan ta’birnya adalah apa yang dilihatnya dalam tidurnya.” [Al-Majmu’atul Kamilah li Mu’allafat Ibnu Sa’di, (1/108)]
Pembagian Golongan Manusia Menurut Mimpi
Telah kami uraikan pembagian mimpi ini menurut mimpi itu sendiri. Sedangkan menurut orang yang melihatnya (yang bermimpi), juga terbagi menjadi beberapa bagian. Dan ini sesuai dengan jujur tidaknya orang yang bermimpi. Berdasarkan keadaan orang yang bermimpi, ahli ilmu membagi keadaan manusia sehubungan dengan mimpi ini menjadi lima bagian, yaitu:
1. Para Nabi
2. Shalihun (orang-orang shalih)
3. Masturun (yang tidak diketahui keadaannya)
4. Fasaqah (orang-orang fasik)
5. Kuffar (orang-orang kafir)
Telah kami uraikan pembagian mimpi ini menurut mimpi itu sendiri. Sedangkan menurut orang yang melihatnya (yang bermimpi), juga terbagi menjadi beberapa bagian. Dan ini sesuai dengan jujur tidaknya orang yang bermimpi. Berdasarkan keadaan orang yang bermimpi, ahli ilmu membagi keadaan manusia sehubungan dengan mimpi ini menjadi lima bagian, yaitu:
1. Para Nabi
2. Shalihun (orang-orang shalih)
3. Masturun (yang tidak diketahui keadaannya)
4. Fasaqah (orang-orang fasik)
5. Kuffar (orang-orang kafir)
1. Mimpi para nabi
Mereka adalah manusia-manusia yang paling jujur (benar) mimpinya, dan ini tidak diragukan lagi. Karena mereka adalah orang-orang yang paling benar (jujur) ucapan dan perbuatannya. Sebab itulah mimpi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam bagaikan cahaya subuh (pagi) yang terang, karena mimpi beliau adalah wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau.
Mereka adalah manusia-manusia yang paling jujur (benar) mimpinya, dan ini tidak diragukan lagi. Karena mereka adalah orang-orang yang paling benar (jujur) ucapan dan perbuatannya. Sebab itulah mimpi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam bagaikan cahaya subuh (pagi) yang terang, karena mimpi beliau adalah wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau.
2. Mimpi orang-orang shalih
Mereka berada pada urutan kedua setelah para nabi dan rasul Allah. Yang dominan pada mimpi mereka adalah kebenaran. Namun di antaranya ada yang perlu dita’birkan dan ada pula yang tidak perlu, (karena mimpi itu) sudah menunjukkan suatu perkara yang sangat jelas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Yang paling benar mimpinya adalah yang paling benar ucapannya.”
Dan beliau juga bersabda:
“Mimpi yang baik dari orang yang shalih adalah satu dari 46 bagian kenabian (nubuwwah).” (HSR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Mereka berada pada urutan kedua setelah para nabi dan rasul Allah. Yang dominan pada mimpi mereka adalah kebenaran. Namun di antaranya ada yang perlu dita’birkan dan ada pula yang tidak perlu, (karena mimpi itu) sudah menunjukkan suatu perkara yang sangat jelas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Yang paling benar mimpinya adalah yang paling benar ucapannya.”
Dan beliau juga bersabda:
“Mimpi yang baik dari orang yang shalih adalah satu dari 46 bagian kenabian (nubuwwah).” (HSR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim)
3. Mimpi para masturin (orang yang tidak dikenal keadaannya)
Yaitu orang-orang yang tidak diketahui apakah dia melakukan shalat, berzakat, haji dan ketaatan lainnya, mereka kurang dalam sebagian amalan dan mempunyai dosa yang lebih rendah dari syirik. Mereka ini juga mempunyai mimpi, namun kadang dari Allah dan kadang dari syaithan.
Yaitu orang-orang yang tidak diketahui apakah dia melakukan shalat, berzakat, haji dan ketaatan lainnya, mereka kurang dalam sebagian amalan dan mempunyai dosa yang lebih rendah dari syirik. Mereka ini juga mempunyai mimpi, namun kadang dari Allah dan kadang dari syaithan.
4. Mimpi orang-orang fasik
Mimpi mereka sangat sedikit benarnya, yang paling dominan adalah mimpi-mimpi kosong yang merupakan permainan syaithan.
Mimpi mereka sangat sedikit benarnya, yang paling dominan adalah mimpi-mimpi kosong yang merupakan permainan syaithan.
5. Mimpi orang yang kafir
Mimpi mereka sangat jarang benarnya. Hal ini karena kekejian dan kekafiran mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan pada umumnya mimpi mereka adalah dari syaithan. Akan tetapi kadang mereka melihat mimpi yang benar. Namun demikian dipertanyakan, apakah mimpi tersebut berasal dari wahyu atau kita katakan satu dari 46 bagian kenabian?
Al-Imam Al-Qurthubi menjawab hal ini, beliau mengatakan: “Jika dikatakan bahwa mimpi yang benar itu adalah satu bagian dari kenabian, bagaimana mungkin orang yang kafir dan pendusta serta kacau keadaannya memperoleh atau bisa mendapatkannya?
Jawabnya ialah bahwasanya orang yang kafir, fajir (jahat), fasik dan pendusta itu, meskipun suatu ketika mimpi mereka benar, itu bukanlah dari wahyu dan bahkan juga bukan dari nubuwwah. Karena tidaklah semua yang benar dalam berita tentang perkara ghaib, lantas beritanya merupakan nubuwwah. Dan sudah dijelaskan dalam surat Al-An’am bahwa seorang dukun atau yang lainnya (paranormal dan sejenisnya) kadang-kadang menyampaikan suatu berita dengan pernyataan yang benar (haq) lalu dibenarkan (dipercayai). Akan tetapi hal itu sangat jarang dan sedikit sekali. Demikian pula mimpi mereka ini.” [Tafsir Al-Qurthubi, (9/124)]
Mimpi mereka sangat jarang benarnya. Hal ini karena kekejian dan kekafiran mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan pada umumnya mimpi mereka adalah dari syaithan. Akan tetapi kadang mereka melihat mimpi yang benar. Namun demikian dipertanyakan, apakah mimpi tersebut berasal dari wahyu atau kita katakan satu dari 46 bagian kenabian?
Al-Imam Al-Qurthubi menjawab hal ini, beliau mengatakan: “Jika dikatakan bahwa mimpi yang benar itu adalah satu bagian dari kenabian, bagaimana mungkin orang yang kafir dan pendusta serta kacau keadaannya memperoleh atau bisa mendapatkannya?
Jawabnya ialah bahwasanya orang yang kafir, fajir (jahat), fasik dan pendusta itu, meskipun suatu ketika mimpi mereka benar, itu bukanlah dari wahyu dan bahkan juga bukan dari nubuwwah. Karena tidaklah semua yang benar dalam berita tentang perkara ghaib, lantas beritanya merupakan nubuwwah. Dan sudah dijelaskan dalam surat Al-An’am bahwa seorang dukun atau yang lainnya (paranormal dan sejenisnya) kadang-kadang menyampaikan suatu berita dengan pernyataan yang benar (haq) lalu dibenarkan (dipercayai). Akan tetapi hal itu sangat jarang dan sedikit sekali. Demikian pula mimpi mereka ini.” [Tafsir Al-Qurthubi, (9/124)]
Larangan Berdusta Tentang Mimpi
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Barangsiapa yang mengaku telah bermimpi sesuatu padahal sebenarnya tidak maka ia akan dipaksa untuk duduk di antara dua helai rambut dan ia pasti tidak akan mampu melakukannya.” (HR. Bukhori no. 7042)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kedustaan yang paling besar ialah seorang laki-laki yang mengaku telah bermimpi melihat sesuatu padahal ia tidak melihatnya.” (HR. Bukhori no. 7043)
Ada beberapa hadits lain yang termasuk dalam bab ini, yaitu dari Ali, Abu Hurairah, Abu Syuraih dan Watsilah radhiyallahu ‘anhum.
Dari hadits di atas bisa diambil pelajaran:
1. Haram berdusta tentang mimpi dan perbuatan itu termasuk dosa besar yang terbesar, karena ia telah berdusta terhadap Allah. Adapun dusta yang dilakukan saat terjaga adalah dusta terhadap makhluk.
2. Mimpi itu dari syaitan, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menamakan al-hulm bukan ru’ya. Dan hulm (mimpi) di sini adalah dusta dan itu berarti dari syaitan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Barangsiapa yang mengaku telah bermimpi sesuatu padahal sebenarnya tidak maka ia akan dipaksa untuk duduk di antara dua helai rambut dan ia pasti tidak akan mampu melakukannya.” (HR. Bukhori no. 7042)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kedustaan yang paling besar ialah seorang laki-laki yang mengaku telah bermimpi melihat sesuatu padahal ia tidak melihatnya.” (HR. Bukhori no. 7043)
Ada beberapa hadits lain yang termasuk dalam bab ini, yaitu dari Ali, Abu Hurairah, Abu Syuraih dan Watsilah radhiyallahu ‘anhum.
Dari hadits di atas bisa diambil pelajaran:
1. Haram berdusta tentang mimpi dan perbuatan itu termasuk dosa besar yang terbesar, karena ia telah berdusta terhadap Allah. Adapun dusta yang dilakukan saat terjaga adalah dusta terhadap makhluk.
2. Mimpi itu dari syaitan, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menamakan al-hulm bukan ru’ya. Dan hulm (mimpi) di sini adalah dusta dan itu berarti dari syaitan.
[Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim
bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah
an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan
As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm.
3/515-515]
Mimpi yang Sama
Jika ada sekelompok orang melihat mimpi yang sama, ini dinamakan kesesuaian, meskipun ungkapannya berbeda-beda.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menerangkan makna hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ada beberapa shahabat bermimpi malam lailatul qadar pada 7 malam terakhir…
Kata beliau: “Faedah dari hadits ini menunjukkan bahwa kesesuaian (kesamaan) mimpi pada sekelompok orang, menegaskan tentang tepat dan benarnya mimpi itu. Sebagaimana diambil faedah tentang kuatnya suatu berita yang bersumber dari satu kelompok.” [Fathul Bari (12/380)]
Jika ada sekelompok orang melihat mimpi yang sama, ini dinamakan kesesuaian, meskipun ungkapannya berbeda-beda.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika menerangkan makna hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ada beberapa shahabat bermimpi malam lailatul qadar pada 7 malam terakhir…
Kata beliau: “Faedah dari hadits ini menunjukkan bahwa kesesuaian (kesamaan) mimpi pada sekelompok orang, menegaskan tentang tepat dan benarnya mimpi itu. Sebagaimana diambil faedah tentang kuatnya suatu berita yang bersumber dari satu kelompok.” [Fathul Bari (12/380)]
Apakah Mimpi Itu akan Terjadi Segera setelah Dita’birkan?
Sebagian orang menunggu terjadinya ta’bir mimpi yang dilihatnya. Ini jelas tidak benar. Karena tercapainya tujuan mimpi yang mungkin saja tertunda satu atau beberapa tahun. Tidakkah anda lihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat mimpi pembebasan kota Makkah sebelum ditaklukkan, satu tahun sebelumnya? Bahkan Nabi Yusuf ‘alaihi salam tidak melihat bukti ta’bir mimpinya kecuali setelah lebih dari 30 tahun. Maka terjadinya kejadian yang bersifat kodrati ini adalah dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala pada waktuknya yang telah tertulis di sisi-Nya di Lauhul Mahfuzh.
Terburu-buru mengharapkan terjadinya, bukanlah tuntutan yang semestinya. Akan tetapi yang perlu diperhatijan adalah kesiapan jiwa untuk menghadapi bukti mimpi tersebut, kalau di dalamnya terdapat berita gembira (busyra) yang ditunggu, atau peringatan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sebagian orang menunggu terjadinya ta’bir mimpi yang dilihatnya. Ini jelas tidak benar. Karena tercapainya tujuan mimpi yang mungkin saja tertunda satu atau beberapa tahun. Tidakkah anda lihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat mimpi pembebasan kota Makkah sebelum ditaklukkan, satu tahun sebelumnya? Bahkan Nabi Yusuf ‘alaihi salam tidak melihat bukti ta’bir mimpinya kecuali setelah lebih dari 30 tahun. Maka terjadinya kejadian yang bersifat kodrati ini adalah dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala pada waktuknya yang telah tertulis di sisi-Nya di Lauhul Mahfuzh.
Terburu-buru mengharapkan terjadinya, bukanlah tuntutan yang semestinya. Akan tetapi yang perlu diperhatijan adalah kesiapan jiwa untuk menghadapi bukti mimpi tersebut, kalau di dalamnya terdapat berita gembira (busyra) yang ditunggu, atau peringatan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[Referensi: Kamus Tafsir Mimpi (judul
asli: Qamusu Tafsirul Ahlam) karya Khalid bin ‘Ali bin Muhammad Al
‘Anbari, alih bahasa oleh Abu Muhammad Harits Abrar Thalib, penerbit:
Pustaka Ar Rayyan]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar