Kamis, 03 April 2014

Saudara Rasulullah


Jadilah saudara-saudara  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Diriwayatkan dari Abu Jum’ah ra yang berkata “Suatu saat kami pernah makan siang bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ketika itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah ra yang berkata “Wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau”. Beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab “Ya ada, yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaku padahal mereka tidak melihatku”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 106 hadis no 17017. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan Ad Darimi juz 2 hal 398 hadis no 2744 dengan sanad yang shahih.
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu, diriwayatkan suatu ketika selepas shalat shubuh, seperti biasa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam duduk menghadap para sahabat.
Kemudian beliau bertanya, “Wahai manusia siapakah makhluk Tuhan yang imannya paling menakjubkan?”.
“Malaikat, ya Rasul,” jawab sahabat.
“Bagaimana malaikat tidak beriman, sedangkan mereka pelaksana perintah Tuhan?” Tukas Rasulullah.
“Kalau begitu, para Nabi ya Rasulullah” para sahabat kembali menjawab
“Bagaimana nabi tidak beriman, sedangkan wahyu dari langit turun kepada mereka?” kembali ujar Rasul.
“Kalau begitu para sahabat-sahabatmu, ya Rasul”.
“Bagaimana sahabat-sahabatku tidak beriman, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan. Mereka bertemu langsung denganku, melihatku, mendengar kata-kataku, dan juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri tanda-tanda kerasulanku.” Ujar Rasulullah.
Lalu Nabi Shallallahu alaihi wasallam terdiam sejenak, kemudian dengan lembut beliau bersabda, “Yang paling menakjubkan imannya,” ujar Rasul “adalah kaum yang datang sesudah kalian semua. Mereka beriman kepadaku, tanpa pernah melihatku.
Mereka membenarkanku tanpa pernah menyaksikanku. Mereka menemukan tulisan dan beriman kepadaku. Mereka mengamalkan apa-apa yang ada dalam tulisan itu. Mereka mengamalkan apa-apa yang ada dalam tulisan itu. Mereka membela aku seperti kalian membelaku. Alangkah inginnya aku berjumpa dengan saudara-saudaraku itu.”
Kemudian, Nabi Shallallahu alaihi wasallam meneruskan dengan membaca surat Al-Baqarah ayat 3,   “Mereka yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, dan menginfakan sebagian dari apa yang Kami berikan kepada mereka.”
Lalu Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Berbahagialah orang yang pernah melihatku dan beriman kepadaku” Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengucapkan itu satu kali. “Berbahagialah orang yang beriman kepadaku padahal tidak pernah melihatku.” Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengucapkan kalimat kedua itu hingga tujuh kali.
Dalam riwayat Ahmad dari Anas r.a, katanya : Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Aku sangat suka untuk bertemu dengan saudara-saudaraku yang beriman denganku walaupun mereka tidak pernah melihatku”.
Siapakah saudara-saudara dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam ?
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi pekuburan lalu bersabda: “Semoga keselamatan terlimpahkah atas kalian penghuni kuburan kaum mukminin, dan sesungguhnya insya Allah kami akan bertemu kalian, sungguh aku sangat gembira seandainya kita dapat melihat saudara-saudara kita”.
Para Sahabat bertanya, “Tidakkah kami semua saudara-saudaramu wahai Rasulullah? “
Beliau menjawab dengan bersabda: “Kamu semua adalah sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita ialah mereka yang belum berwujud”.
Sahabat bertanya lagi, “Bagaimana kamu dapat mengenali mereka yang belum berwujud dari kalangan umatmu wahai Rasulullah? “
Beliau menjawab dengan bersabda: “Apa pendapat kalian, seandainya seorang lelaki mempunyai seekor kuda yang berbulu putih di dahi serta di kakinya, dan kuda itu berada di tengah-tengah sekelompok kuda yang hitam legam. Apakah dia akan mengenali kudanya itu?”’
Para Sahabat menjawab, “Sudah tentu wahai Rasulullah.’
Beliau bersabda lagi: ‘Maka mereka datang dalam keadaan muka dan kaki mereka putih bercahaya karena bekas wudlu. Aku mendahului mereka ke telaga. Ingatlah! Ada golongan lelaki yang dihalangi dari datang ke telagaku sebagaimana dihalaunya unta-unta sesat‘. Aku memanggil mereka, ‘Kemarilah kamu semua‘. Maka dikatakan, ‘Sesungguhnya mereka telah menukar ajaranmu selepas kamu wafat‘. Maka aku bersabda: Pergilah jauh-jauh dari sini. (HR Muslim 367)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits diatas mencirikan Ahlussunah wal Jama’ah atau saudara-saudara Beliau dan kelak bergabung di telaganya adalah kaum muslim yang keadaan muka dan kaki mereka putih bercahaya karena bekas wudlu artinya kaum muslim yang dengan sholatnya terhindar dari perbuatan keji dan mungkar yakni kaum muslim yang sholeh, kaum muslim berakhlakul karimah, kaum muslim yang ihsan, kaum muslim yang bermakrifat, kaum muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka.
Allah berfirman yang artinya,
Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45)
Sesungguhnya sholat itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“,  yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah
Kaum muslim yang khusyu’ dalam sholatnya maka akan tertanam dalam dirinya akan pengawasan Allah ta’ala atau yang terbaik  adalah mereka yang berjumpa dengan Rabb  mereka dan menyaksikanNya  dengan hati  (ain bashiroh)
Kaum Muslim yang meyakini dalam pengawasan Allah Azza wa Jalla atau kaum muslim yang bermakrifat atau dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hatinya (ain bashiroh) maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, mencegah dirinya dari perbuatan maksiat, mencegah dirinya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Sehingga terwujud dalam berakhlakul karimah. Inilah tujuan Rasulullah diutus oleh Allah ta’ala
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Kaum muslim beragama adalah merupakan upaya meneladani akhlak manusia yang paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
Saudara-saudara Rasulullah adalah manusia yang meneladani Rasulullah dengan  mentaati Allah Azza wa Jalla dan RasulNya
Seorang muslim yang dikatakan telah mentaati Allah dan RasulNya adalah minimal muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh dan mereka akan berkumpul dengan orang-orang yang meraih maqom disisiNya, orang-orang telah diberi ni’mat oleh Allah Azza wa Jalla sehingga selalu berada dalam kebenaran, selalu berada pada jalan yang lurus.
Hanya 4 golongan manusia yang meraih maqom disisiNya yakni para Nabi (Rasulullah yang utama), para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh
Firman Allah ta’ala yang artinya,
Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik untuk bukan Nabi dan meraih maqom disisiNya sehingga menjadi kekasih Allah (wali Allah) dengan mencapai shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah/
Semakin dekat kita kepada Allah sehingga menjadi kekasihNya (Wali Allah)
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Utsman bin Karamah telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal telah menceritakan kepadaku Syarik bin Abdullah bin Abi Namir dari ‘Atho` dari Abu Hurairah menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah berfirman; Siapa yang memusuhi wali-KU, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan, jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah, maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (HR Bukhari 6021)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Swt seorang dari shahabatnya berkata, siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka. Nabi Saw menjawab dengan sabdanya: Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.”Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Yunus [10]:62 )
Para Wali Allah adalah yang dekat denganNya dan menyaksikanNya
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَآهُ بِقَلْبِهِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata, “Beliau melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257)
Jika belum dapat bermakrifat yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Rasulullah bersabda yang artinya “jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.
Untuk dapat termasuk kedalam golongan Ahlussunnah wal Jama’ah atau menjadi saudara-saudara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah dengan mengikuti apa yang disampaikan oleh ulama-ulama yang sholeh dari kalangan Ahlul Bait atau kalangan Alawiyin, para Habib atau para Sayyid , para ulama keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena mereka mendapatkan pengajaran agama dari orang tua-orang tua mereka terdahulu yang tersambung kepada Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatkan pengajaran agama dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Para ulama dari kalangan Ahlul Bait telah sepakat bahwa apa yang disampaikan oleh pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) yakni Imam Mazhab yang empat telah sesuai dengan pengajaran agama yang telah mereka dapatkan dari orang tua-orang tua mereka terdahulu yang tersambung kepada Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatkan pengajaran agama dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Marilah kita mengikuti apa yang disampaikan oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahman Al Attos dan yang setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddin, kemudian Al Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan orang orang yang setingkat mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru besar Al Fagih Almuqoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutthoriqoh dan orang orang yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Al Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa dan orang orang yang setingkat dengannya.
Sejak abad 7 H di Hadramaut (Yaman), dengan keluasan ilmu, akhlak yang lembut, dan keberanian, Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra beliau berhasil mengajak para pengikut Khawarij untuk menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang mutakbaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal”, karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Berhati-hatilah dalam memilih dan mengikuti hasil pemahaman (ijtihad) seorang ulama. Apalagi jika hasil pemahaman (ijtihad) ulama tersebut sering dikritik atau dibantah oleh banyak ulama lainnya.
Apalagi mengikuti pendapat seorang ulama yang sudah dinyatakan oleh ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai ulama yang dapat menyesatkan kaum muslim sebagaimana yang terurai dalam tulisan pada http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=22475&catid=9
Jangan menimbulkan penyesalan di akhirat kelak karena salah mengikuti ulama.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (QS al Baqarah [2]: 166)
Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al Baqarah [2]: 167)
Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
About these ads

Tidak ada komentar:

Posting Komentar