Sabtu, 19 April 2014

Bohong


Walau pada dasarnya, berbohong hukumnya haram, tetapi dalam keadaan tertentu, Islam memberikan kelonggaran. Namun, ia bukan dalam konteks yang terlalu ketat. Rasulullah SAW menyatakan, seseorang yang berbohong dengan niat ingin mendamaikan orang lain atau untuk tujuan kebaikan dalam masyarakat, dia tidak dianggap berbohong, jadi hukumnya boleh, bahkan bisa hukmunya jadi wajib berbohong bila tujuannya untuk menyelamtakan jiwa sesorang.

Berbohong Menurut Pandangan Islam


Berbohong menurut pandangan Islam berdasarkan Al Qur’an dan Hadis:
HR. Bukhari Muslim dari Ibnu Mas’ud: “Kejujuran menuntun pada kebajikan, kebajikan dapat menghantarkan ke surga. Sesungguhnya kebohongan itu menyeret manusia pada kejahatan , sedang kejahatan itu dapat menyeret pada neraka.” (berbohong hukumnya haram)
HR. Bukhari dari Ibnu Abas: ” Barangsiapa mengaku bermimpi sesuatu padahal dia tidak memimpikannya maka ia akan dituntut untuk menyambung dua ujung rambut.”
Bahkan berbohong dalam Islam dipandang sebagai salah satu sifat kekufuran dan kemunafikan. Di dalam Al-Qur’an Alloh SWT berfirman, “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah mereka yang tidak mengimani (mempercayai) tanda-tanda kekuasaan Alloh. Mereka adalah kaum pendusta”. (An-Nahl: 105)
Rasulullah SAW pun menggolongkan mereka yang berdusta termasuk orang-orang yang memiliki karekteristik kemunafikan. Beliau bersabda, “Empat hal jika semuanya ada pada seseorang ia adalah munafik semurni-murninya munafik. Jika satu di antara yang empat itu ada pada dirinya maka padanya terdapat saru sifat kemunafikan hingga ia dapat membuangnya; Jika berbicara ia berduta, jika diberi amanah ia khianat, jika berjanji ia melanggar dan jika membantah ia berbohong.” (HR. Bukhori Muslim)
Bohong Adalah Sifat Orang Munafik
Mungkin kita sering mendengar kata munafik di dalam kehidupan sehari-hari kita. Kata munafik atau muna mungkin kita anggap tidak begitu kasar di telinga kita karena kata itu jarang kita dipublikasikan di media massa. Namun sebenarnya munafik adalah suatu sifat seseorang yang sangat buruk yang bisa menyebabkan orang itu dikucilkan dalam masyarakat.
Hadits Nabi Muhammad SAW Tentang Orang-Orang Munafik “Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya”.(Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim).
1. Berbohong
Bohong adalah mengatakan sesuatu yang tidak benar kepada orang lain. Jadi apabila kita tidak jujur kepada orang lain maka kita bisa menjadi orang munafik. Contoh bohong dalam kehidupan keseharian kita yaitu seperti menerima telepon dan mengatakan bahwa orang yang dituju tidak ada tetapi pada kenyataannya orang itu ada. Contoh lainnya seperti ada anak ditanya dari mana oleh orang tuanya dan anak kecil itu mengatakan tempat yang bukan dikunjunginya.
2. Ingkar Janji
Seseorang terkadang suka membuat suatu perjanjian atau kesepakatan dengan orang lain. Apabila orang itu tidak mengikuti janji yang telah disepakati maka orang itu berarti telah ingkat janji. Contohnya seperti janjian ketemu sama pacar di warung kebab bang piih tetapi tidak datang karena lebih mementingkan bisnis. Misal lainnya yaitu seperti para siswa yang telah menyepakati janji siswa namun tidak dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab.
3. Berhianat
Khianat mungkin yang paling berat kelasnya dibandingkan dengan sifat tukang bohong dan tukang ingkar janji. Khianat hukumannya bisa dijauhi atau dikucilkan serta tidak akan mendapatkan kepercayaan orang lagi bahkan bisa dihukum penjara dan denda secara pidana. Contoh berkhianat yaitu seperti oknum anggota TNI yang menjadi mata-mata bagi pihak asing atau teroris. Contoh lainnya yaitu seperti seorang pegawai yang dipercaya sebagai pejabat pajak seperti Gayus Tambunan, namun dalam pekerjaannya dia menyalahgunakan jabatan yang digunakan dengan cara menilep uang setoran pajak.
Bohong Yang Dibolehkan
Dalil-dalil di atas menunjukan dengan tegas bagaimana kecaman Islam terhadap kebohongan dan orang-orang yang melakukannya. Namun demikian Rasulullah SAW memberikan pengecualian terhadap tiga kebohongan yang boleh (mubah) dilakukan oleh seorang muslim
Hadits-hadits shahih tentang bolehnya berbohong pada kasus-kasus tertentu
1. Hadits Ummu Kultsum:
عن أم كلثوم بنت عقبة أخبرته : أنها سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس فينمي خيرا أو يقول خيرا
Artinya:
Dari Ummu Kultsum binti Uqbah mengabarkan bahwa dia mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan antara manusia (yang bertikai) kemudian dia melebih-lebihkan kebaikan atau berkata baik”. [Muttafaqun 'Alaih]
Di dalam riwayat Al Imam Muslim ada tambahan:
ولم أسمع يرخص في شيء مما يقول الناس كذب إلا في ثلاث الحرب والإصلاح بين الناس وحديث الرجل امرأته وحديث المرأة زوجها
Artinya:
“Dan aku (Ummu Kultsum) tidak mendengar bahwa beliau memberikan rukhsah (keringanan) dari dusta yang dikatakan oleh manusia kecuali dalam perang, mendamaikan antara manusia, pembicaraan seorang suami pada istrinya dan pembicaraan istri pada suaminya“.
2. Hadits Asma’ binti Yazid
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِى الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ ». وَقَالَ مَحْمُودٌ فِى حَدِيثِهِ « لاَ يَصْلُحُ الْكَذِبُ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ لاَ نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَسْمَاءَ إِلاَّ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ خُثَيْمٍ.
Artinya:
Dari Asma’ binti Yazid dia berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Bohong itu tidak halal kecuali dalam tiga hal (yaitu) suami pada istrinya agar mendapat ridho istrinya, bohong dalam perang, dan bohong untuk mendamaikan diantara manusia”.
Tiga Keadaan Seseorang Boleh Berbohong
Dari Ummu Kultsum RA ia berkata:”Saya tidak pernah mendengar Rasulullah SAW memberi kelonggaran berdusta kecuali dalam tiga hal: [1] Orang yang berbicara dengan maksud hendak mendamaikan, [2] orang yang berbicara bohong dalam peperangan dan [3] suami yang berbicara dengan istrinya serta istri yang berbicara dengan suaminya (mengharapkan kebaikan dan keselamatan atau keharmonisan rumah tangga)”. (HR. Muslim)
Tidak mungkin dapat diterima jika orang yang hendak mendamaikan pihak-pihak yang berselisih menyampaikan apa yang oleh satu pihak kepada pihak lain. Itu pasti akan lebih mengobarkan api yang sedang menyala. Ia harus berusaha meredakan suasana, jika perlu ia boleh menambah-nambah dengan berbagai perkataan yang manis dan tidak menyebut cercaan atau umpatan pihak yang satu terhadap pihak yang lain.
Dalam suasana perang pun tidak masuk akal jika orang memberi informasi kepada musuh, membuka rahasia pasukannya sendiri, atau memberitahu musuh tentang informasi-informasi yang mereka butuhkan. Rasulullah SAW bersabda, “Perang itu adalah tipu daya”
Demikian pula, tidak bijaksana jika seorang istri berkata terus terang kepada suaminya tentang perasaan kasih sayangnya terhadap lelaki lain sebelum pernikahannya dengan suami sekarang padahal perasaan itu sendiri sudah hilang ditelan waktu.Atau pun suami mengkritik secara terbuka makanan yang dengan susah payah dimasakan oleh istrinya bahwa ini tidak enak, kurang sedap, atau terlalu asin misalnya.. Akan lebih bijaksana jika suami mengatakan makanan ini sangat lezat (meskipun pada kenyataannya memang enak) hanya saja mungkin perlu tambahan ini dan itu.

Hukum Berbohong & Tauriyyah

 Berbohong secara tegas hukumnya haram berdasarkan nash Al-Qur’an yang qoth’i. Dan keharamanya termasuk persoalan-persoalan agama yang diketahui secara pasti. Tidak ada perbedaan antara berbohong demi kemaslahatan umat Islam, agama atau karena yang lain. Banyak nash menyatakan keharamannya secara umum, mutlak dan pasti serta tidak disertai illat. Allah berfirman;

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ

"Sesungguhnya yang mengada-ada kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah" (Q.S. Al-Nahl: 105), dan ayat
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ

Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah[1] kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta (Q.S. Al-Imron: 61).

Larangan keras, mutlak dan umum ini tidak mempunyai ‘illat[2], dibatasi dan ditakhsis (dikhususkan) kecuali oleh nash yang lain. Peranan akal hanya untuk memahami nash, dan tidak lebih dari itu. Dan tak ditemukan nash yang menunjukkan penta’lilan atau pentaqyidan (pembatasan), baik dalam al-Qur’an maupun Hadits. Tetapi terdapat nash lain yang mentakhsis nash diatas. Dalam nash tersebut ada beberapa kondisi tertentu yang dikecualikan dari keharaman berbohong, dan ini tidak boleh keluar dari yang telah disebutkan dalam beberapa hadits.
لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِي خَيْرًا قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ الْحَرْبُ وَالْإِصْلَاحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا

"Bukanlah termasuk pendusta orang yang mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, yang berkata demi kebaikan, dan yang membangkitkan (mengingatkan) kebaikan." lbnu Syihab (salah satu perawi hadits) berkata; ‘Saya tidak pernah mendengar diperbolehkannya dusta yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal, yaitu; dusta dalam peperangan, dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, dan dusta suami terhadap istri atau istri terhadap suami[3] (untuk meraih kebahagiaan atau menghindari keburukan) (HR. Muslim dari Ummu Kultsum)

Dari Asma binti Yazid, ia berkata; Rasulullah berkhutbah:
أَيُّهَا النَّاسُ مَا يَحْمِلُكُمْ عَلَى أَنْ تَتَابَعُوا فِي الْكَذِبِ كَمَا يَتَتَابَعُ الْفَرَاشُ فِي النَّارِ كُلُّ الْكَذِبِ يُكْتَبُ عَلَى ابْنِ آدَمَ إِلَّا ثَلَاثَ خِصَالٍ رَجُلٌ كَذَبَ عَلَى امْرَأَتِهِ لِيُرْضِيَهَا أَوْ رَجُلٌ كَذَبَ فِي خَدِيعَةِ حَرْبٍ أَوْ رَجُلٌ كَذَبَ بَيْنَ امْرَأَيْنِ مُسْلِمَيْنِ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمَا

"Wahai sekalian manusia, apa yang mendorong kalian ikut-ikutan berdusta sebagaimana anai-anai berebut ke api, setiap perbuatan dusta akan dicatat atas anak adam kecuali tiga hal; seorang suami yang berbohong kepada isterinya supaya isterinya ridla, atau seseorang yang berdusta dalam rangka strategi perang dan seseorang yang berbohong di antara kedua belah pihak dari kaum muslimin untuk mendamaikan keduanya." (HR. Ahmad dan at Thabrani)

Oleh sebab itu, berbohong hukumnya haram kecuali dalam tiga hal: 1) seseorang yang berbohong kepada istrinya demi ingin melihat istrinya senang, 2) seseorang yang berbohong dalam situasi perang, karena perang itu penuh muslihat dan 3) seseorang yang berbohong untuk mendamaikan mereka yang sedang bertikai". Ketiga hal ini adalah pengecualian dari keharaman berbohong dengan nash yang shohih. Maka tidak boleh berbohong selain 3 kasus diatas. Karena tidak ada pengecualian dari keumuman satu nash kecuali yang telah ditentukan oleh dalil. Kata -kata "saat perang" dalam hadits diatas hanya mempunyai makna satu, tidak lebih dari itu. Yaitu situasi perang nyata dalam persoalan perang. Maka sama sekali tidak diperbolehkan berbohong dalam keadaaan bukan perang.

Sementara riwayat yang menyatakan "bahwa Nabi ketika hendak berperang, beliau menyembunyikannya dengan yang lain", itu yang dimaksud adalah bahwa ketika menginginkan suatu hal, beliau tidak menampakkan hal itu. Seperti saat beliau berperang melalui arah timur, beliau malah bertanya tentang satu hal di arah barat dan bersiap-siap untuk melakukan perjalanan. Sehingga orang yang melihat dan mendengarnya menduga ia akan melewati arah barat. Dan tidak ada pernyataan yang tegas bahwa beliau ingin ke barat sementara maksudnya ke timur, artinya beliau tidak memberikan informasi yang berlawanan dengan realita, tetapi ini termasuk dari tauriyah (hal melahirkan diluar yang dimaksudkan). Lebih dari itu, kasus diatas termasuk dalam kondisi peperangan dan dalam urusan perang, karena pergi menuju medan pertempuran untuk memerangi musuh. Dan itu termasuk khid’ah, tipuan yang terdapat dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, الْحَرْبُ خَدْعَةٌ:(perang adalah tipu muslihat).

Adapun hadits yang diriwayatkan dari Jabir tentang perkataan Muhammad bin Maslamah yang mau membunuh Ka’ab Bin Asyraf (musuh yg hendak dibunuhnya), dan diizinkan Nabi SAW, dg perkataan:
إِنَّ هَذَا الرَّجُلَ قَدْ أَرَادَ صَدَقَةً وَقَدْ عَنَّانَا

Sungguh laki-laki ini -maksudnya adalah Rasulullah saw.- telah membebaniku dan meminta kepadaku sedekah.

Kasus ini terjadi saat perang. Meskipun teks hadits menyatakan bahwa ucapan Muhamad ibn Musallamah adalah benar, dan bukan bohong, tetapi sebenarnya itu adalah ungkapan ta’ridl (sindiran). Dia meminta kepada Nabi saw. untuk dapat mengatakan apapun, dan Nabi saw. memberinya izin mengatakan apapun, termasuk berbohong secara talwih dan tasrih. Dan itu terjadi saat perang.

Adapun hadits yang diriwayatkan Ahmad dan An Nasa’i dari haditsnya Anas dalam kasus Al-Hajjaj ibn ‘Ilath yang meminta izin pada Rasulullah untuk dapat mengatakan apa yang dia kehendaki demi untuk menyelamatkan hartanya dari kaum Makkah, lalu Nabi memberinya izin dan menginformasikan kepada kaum Makkah bahwa kelompok Khaibar telah mengalahkan umat Islam, itu karena dianggap dalam kategori perang, karena penduduk Makkah sedang terjadi kontak senjata dengan umat Islam. Al-Hajjaj ibn ‘Ilath adalah orang Islam. Dia berjalan diantara orang-orang kafir yang sedang melakukan kontak senjata dengan umat Islam, maka boleh berbohong kepada mereka. Karena, diperbolehkannya berbohong tidak hanya terbatas pada mereka yang ikut berperang, tetapi juga boleh bagi umat Islam lainnya untuk berbohong kepada para musuh, orang-orang kafir yang sedang berperang dengan umat Islam.

Adapun hadits Riwayat Al-Bazzar yang menyebutkan,
الْكَذِبُ مَكْتُوبٌ إلاَّ مَا نُفِعَ بِهِ مُسْلِمٌ، أَوْ دَفَعَ بِهِ عَنْهُ

"berbohong itu sudah dicatat (sebagai dosa) kecuali yang bermanfaat bagi orang Islam atau bisa melindunginya”.

Hadits ini adalah hadits dlo’if (lemah) yang tidak bisa dipakai hujjah, Al Bazzar mengatakan:
لا نَعْلَمُهُ بِهَذَا اللَّفْظِ إِلا بِهَذَا الإِسْنَادِ، وَرِشْدِينُ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ لَمْ يَكُونَا بِالْحَافِظَيْنِ

Aku tidak mengetahui dg lafadz ini kecuali dari sanad ini, Riysdin dan Abdurrahman (dua perowi hadits ini) bukanlah orang yang baik hafalannya.

Al Baberkata pemilik kitab Majma’uz Zawaid: dalam sanad hadits diatas terdapat nama Risydin dan yang lainnya yang termasuk perowi yg dlo’if[4].
Hukum Tauriyyah

Tauriyah adalah kalimat yang mengandung makna ganda;. Makna dekat (mudah ditangkap) dan makna jauh (sulit dijangkau). Dan pembicara menghendaki makna yang jauh, sementara pendengar memahaminya makna yang dekat. Maka dalam kasus ini, meskipun pendengar menangkap makna yang tidak dimaksud pembicara, tetapi ia tidak memahaminya sebagai sesuatu yang berlawanan dengan realita. Nabi pun pernah melakukan tauriyah. Dalam Shohih Bukhori disebutkan bahwa Anas ibn Malik RA berkata; berjalan Nabi Allah SAW menuju Madinah, beliau mengikuti Abu Bakar, Abu Bakar adalah seorang kakek yang terkenal, sementara Nabi Allah SAW seorang pemuda yang belum dikenal. Anas berkata: lalu salah seorang menemui Abu Bakar dan bertanya: wahai Abu Bakar, siapakah pemuda yang bersamamu? Lalu Abu Bakar menjawab; dialah yang menunjukkanku jalan. Anas berkata: orang mengira bahwa yang dimaksud adalah jalan dalam arti yang sebenarnya (yakni guide/pekerja penunjuk jalan), meskipun maksud Abu Bakar adalah jalan kebaikan.

Adapun Tauriyah selain saat perang, jika dipahami oleh pendengar sebagai yang berlawanan dengan fakta, seperti penggunaan kalimat yang tidak menunjukkan pada fakta dan lainya baik secara etimologi mauapun terminologi dan itu diyakini kedua belah pihak; pembicara dan pendengar, maka itu adalah kebohongan yang tidak diperbolehkan. Contohnya seperti satu golongan yang membuat terma (istilah) tertentu, kemudian mereka ungkapkan pada orang yang tidak mengerti istilah itu, atau itu adalah istilah khusus bagi pembicara yang tidak dimengerti oleh si pendengar, maka itu adalah kebohongan. Sebab, meskipun bagi pembicara itu adalah tauriyah, tetapi pendengar memahaminya sebagai ucapan yang bertabrakan dengan realita, maka hal itu tidak bisa dikategorikan sebagai tauriyah.

Berbeda jika lafadz tersebut bisa dipahami oleh realita dan lainnya, maka itu termasuk dari seni bahasa (balaghoh), dan itu bukan suatu kebohongan. Seperti ungkapan orang Arab pada seseorang yang bermata satu, "mudah-mudahan kedua matanya sama", kalimat ini bermakna ganda, bisa mendoakan kesembuhannya (kedua matanya bisa melihat), tetapi bisa pula berarti mendoakan jelek (kedua matanya menjadi buta). Allahu A’lam.

[1] Mubahalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda pendapat mendoakan kepada Allah dengan sungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw

[2] sesuatu yang keberadaannya menyebabkan adanya hukum atau perkara yang memunculkan suatu hukum (Taisirul Wushul Ilal Ushul hal. 90)

[3] Dusta krn sayang, bukan dusta untuk mengurangi haknya, kalau dusta untuk mengurangi haknya maka haram. Syarh an nawawi : وَأَمَّا كَذِبُهُ لِزَوْجَتِهِ وَكَذِبُهَا لَهُ فَالْمُرَادُ بِهِ فِي إِظْهَارِ الْوُدِّ وَالْوَعْدِ بِمَا لَا يَلْزَمُ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَأَمَّا الْمُخَادَعَةُ فِي مَنْعِ مَا عَلَيْهِ أو عليها أو أخذ ماليس لَهُ أَوْ لَهَا فَهُوَ حَرَامٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ

[4] وَفِيهِ رِشْدِينُ وَغَيْرُهُ مِنَ الضُّعَفَاءِ

Contoh :

Ketika seseorang ditawarkan makan, biasanya orang yang ketimuran itu suka sungkan/malu-malu. Seperti ilustrasi berikut :

Tuan rumah : Mari silahkan makan...

Tamu : Terima kasih saya sudah makan (padahal belum, bohong pertama)...

Tuan rumah : oh iya ?.... Makan di mana ?...

Tamu : Oh itu tadi saya makan di perjalanan ketika menuju kesini (bohong kedua)

Tuan rumah : Wah di rumah makan mana ?

Tamu : oh itu rumah makan Padang (bohong ketiga sambil agak gelegepan)

Tuan rumah : Makan apa di sana tadi ?

Tamu : oh rendang, dendeng dan sayur (bohong keempat)

Dan bohong-bohong selanjutnya.....

Adapun bohong merupakan dosa besar dan ditunjukkan oleh dalil-dalil sebagai berikut :

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” [HR. Muslim no. 2607]

Dalam hadits yang lain :

فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوبٍ مِنْ حَدِيدٍ ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِى أَحَدَ شِقَّىْ وَجْهِهِ فَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ ، وَمَنْخِرَهُ إِلَى قَفَاهُ وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ - قَالَ وَرُبَّمَا قَالَ أَبُو رَجَاءٍ فَيَشُقُّ - قَالَ ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الآخَرِ ، فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ الأَوَّلِ ، فَمَا يَفْرُغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يَصِحَّ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ ، ثُمَّ يَعُودُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ الْمَرَّةَ الأُولَى . قَالَ قُلْتُ سُبْحَانَ اللَّهِ مَا هَذَانِ... وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِى أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلَى قَفَاهُ ، وَمَنْخِرُهُ إِلَى قَفَاهُ ، وَعَيْنُهُ إِلَى قَفَاهُ ، فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُو مِنْ بَيْتِهِ فَيَكْذِبُ الْكَذْبَةَ تَبْلُغُ الآفَاقَ.

“lalu kami berangkat mendatangi seseorang yang berbaring terlentang, dan seorang lagi berdiri di sampingnya sambil memegang serokan besi pengait bara, lalu menghampiri muka temannya dan mengoyak mulut hingga ke tengkuknya dan tulang hidungnya hingga ke tengkuknya, dan matanya hingga ke tengkuknya, lalu dia berpindah ke sisi tubuh temannya bagian yang lain, lalu melakukan hal yang serupa, tatkala selesai mengoyak bagian kedua, sisi tubuh bagian pertama kembali seperti sedia kala, dan dia mengulanginya lagi seperti kali pertama, aku berkata: “Subhanallah (Maha suci Allah)! Siapa mereka berdua?”…”Adapun lelaki yang mulut, hidung dan matanya dikoyak hingga tengkuknya, adalah seorang yang keluar dari rumahnya, lalu memberitakan kabar bohong yang sampai ke seluruh penjuru dunia”. [HR. Bukhari]

 BOHONG ITU HARAM MENURUT ISLAM

Pada dasarnya berbohong atau berkata dusta atau berperilaku tidak jujur haram hukumnya dalam Islam. Al Quran dan al hadits secara tegas mencela mereka yang suka berbohong.

Al Quran menganggap berbohong adalah perilaku orang yang tidak beriman.



إنما يفتري الكذب الذين لا يؤمنون بآيات الله وأولئك هم الكاذبون

Artinya: Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah oran gyang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah pembohong. (QS An Nahl 16:105)

Rasulullah menegaskan haramnya berdusta dan menjadi salah satu tanda orang munafik:


آية المنافق ثلاثة : إذا حدث كذب , وإذا وعد أخلف , وإذا اؤتمن خان

Artinya: Tanda orang munafik ada tiga: berkata bohong, ingkar janji, mengkhianati amanah (HR Bukhari & Muslim).

KAPAN BOLEH DUSTA

Ada saat dan kondisi tertentu di mana berbohong itu dibolehkan. Yaitu, di saat terpaksa dan dalam situasi darurat.


من كفر بالله بعد إيمانه إلا من أكره وقلبه مطمئن بالإيمان. ولكن من شرح بالكفر صدراً فعليهم غضب من الله ولهم عذاب عظيم

Artinya: Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar. (QS An Nahl 16:106)

BOLEH BOHONG DALAM 3 (TIGA) PERKARA

Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin jilid IV/284 mengutip sebuah hadits Nabi yang membolehkan seseorang berdusta dalam 3 (tiga) perkara:


ما سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يرخص فى شئ من الكذب إلا قى ثلاث: الرجل يقول القول يريد به الصلاح، والرجل يقول القول فى الحرب، والرجل يحدث امرأته، والمرأة تحدث زوجها

Artinya: Rasulullah tidak mentolerir suatu kebohongan kecuali dalam tiga perkaran: (a) untuk kebaikan; (b) dalam keadaan perang; (c) suami membohongi istri dan istri membohongi suami (demi menyenangkan pasangannya).

Dalam hadits lain yang serupa dikatakan


كل الكذب يٌكتب على إبن آدم لا محالة إلا أن يكذب الرجل فى الحرب فإن الحرب خدعة أو يكون بين الرجلين شحناء فيصلح بينهما أو يحدث امرأته فيرضيها

Artinya: Setiap kebohongan itu terlarang bagi anan cucu Adam kecuali (a) dalam peperangan. Karena peperangan adalah tipu daya. (b) menjadi juru damai di antara dua orang yang sedang bertikai; (c) suami berbohong untuk menyenangkan istri.

KESIMPULAN

Bersifat jujur adalah wajib bagi seorang muslim. Karena itu, bohong atau berkata dusta adalah haram. Namun demikian, dalam situasi tertentu bohong dibolehkan (ditolerir). Misalnya, dalam keadaan terpaksa. Atau dalam beberapa situasi yang di mana berbohong justru akan membawa kebaikan dibanding kalau berkata jujur. Seperti untuk menyenangkan istri dengan mengatakan masakannya enak, walaupun sebenarnya tidak enak, dst.

Nasehat Rasul " Jangan Bohong "

Rasulullah pernah memberi nasihat kepada seorang muallaf yang baru saja mengucapkan syahadatain. Dia meminta nasihat. Nabi memberinya pesan pendek, jangan berbohong, la tahdzab. Pesan singkat itu bahkan diulangi hingga tiga kali. Pesan sederhana nan konsisten.

Dalam situasi tertentu, bohong sebagai strategi meraih kebaikan, bisa dibenarkan. Saat nabi melindungi seorang muslim dari ancaman pembunuhan kaum kafir, dalam sebuah hadist, rasulullah dikisahkan pernah “berbohong.”

Saat itu Nabi yang duduk di bawah sebuah pohon ditanya, apakah dia melihat seorang berlalu di dekatnya. “Sejak saya berdiri di sini, saya tak melihat siapa-siapa kecuali Anda,” jawab Rasulullah yang menyambut si pembunuh dengan berdiri.

Para ulama pun kemudian mengistilahkannya dengan ‘bohong kecil” yang bermanfaat dalam kondisi darurat dan untuk kemaslahatan yang lebih besar.

Apakah itu, menjadi rujukan untuk tidak jujur? Tidak! Meski dia terbilang dosa kecil, namun jika bertumpuk dan selalu, tentu akan menjadi hal besar. Ahli konseling punya prinsip, bohong pertama akan diikuti bohong-bohong lanjutan.

Kunci sukses seseorang, bukan dari hal besar melainkan hal kecil. Dasar hukum Islam, usul fiqhi, telah mengajarkan satu kaidah hukum yang kongret. Apa yang besarnya diharamkan, maka kecilnya juga haram.


Bohong yang Dibolehkan

Tidak ada keringanan untuk berdusta dalam Islam, kecuali karena darurat atau kebutuhan yang mendesak. Itu pun dengan batas yang sangat sempit. Seperti tidak dijumpai lagi cara yang lain untuk mewujudkan tujuan yang baik itu, selain harus bohong. Ada satu cara yang mirip dengan dusta tapi bukan dusta. Dalam kondisi ‘kepepet’, seseorang bisa menggunakan cara ini untuk mewujudkan keinginannya tanpa harus terjerumus ke jurang kedustaan. Cara itu, bernama  ma’aridh atau tauriyah. Bentuknya, seseorang menggunakan kata yang ambigu, dengan harapan agar dipahami lain oleh lawan bicara.

Sebagai contoh, disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

Suatu ketika Nabi Ibrahim pernah bersama istrinya Sarah. Mereka berdua melewati daerah yang dipimpin oleh penguasa yang zhalim. Ketika rakyatnya melihat istri Ibrahim, mereka lapor kepada raja, di sana ada lelaki bersama seorang wanita yang sangat cantik –sementara penguasa ini punya kebiasaan, merampas istri orang dan membunuh suaminya– Penguasa itu mengutus orang untuk menanyakannya. “Siapa wanita ini?” tanya prajurit. “Dia saudariku.” Jawab Ibrahim. Setelah menjawab ini, Ibrahim mendatangi istrinya dan mengatakan,

يا سارة ليس على وجه الأرض مؤمن غيري وغيرك، وإن هذا سألني فأخبرته أنك أختي فلا تكذبيني

“Wahai Sarah, tidak ada di muka bumi ini orang yang beriman selain aku dan dirimu. Orang tadi bertanya kepadaku, aku sampaikan bahwa kamu adalah saudariku. Karena itu, jangan engkau anggap aku berbohong… dst.”

Nabi Ibrahim ‘alahis salam dalam hal ini menggunakan kalimat ambigu. Kata “saudara” bisa bermakna saudara seagama atau saudara kandung. Yang diiginkan Ibrahim adalah saudara seiman/seagama, sementara perkataan beliau ini dipahami oleh prajurit, saudara kandung.

Inilah bohong yang dibolehkan, yakni bohong untuk mewujudkan kemaslahatan atau menghindari bahaya yang lebih besar. Diriwayatkan dari Ummu Kultsum binti Uqbah, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس فينمي خيرا أو يقول خيرا

“Bukan seorang pendusta, orang yang berbohong untuk mendamaikan antar-sesama manusia. Dia menunbuhkan kebaikan atau mengatakan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Yang dimaksud menumbuhkan kebaikan:

Ketika ada dua kubu, A dan B yang berseteru, datang C. Dia sampaikan bahwa kepada A tentang B, yang membuat A ridha dan mau memaafkan kesalahan B, dan sebaliknya. Meskipun bisa jadi, C tidak pernah mendengarnya. Semua itu dalam rangka perdamaian. Demikian keterangan di Syarh Sunnah Al-Baghawi.

Dalam riwayat yang lain:

ولم أسمعه يرخص في شيء مما يقول الناس إلا في ثلاث: تعني الحرب، والإصلاح بين الناس، وحديث الرجل امرأته، وحديث المرأة زوجها.

“Belum pernah aku dengar, kalimat (bohong) yang diberi keringanan untuk diucapkan manusia selain dalam 3 hal: Ketika perang, dalam rangka mendamaikan antar-sesama, dan suami berbohong kepada istrinya atau istri berbohong pada suaminya (jika untuk kebaikan).” (HR. Muslim)

Yang dimaksud berbohong antar-suami istri adalah berbohong dalam rangka menampakkan rasa cinta, menggombal, dengan tujuan untuk melestarikan kasih sayang dan ketenangan keluarga. Seperti memuji istrinya hingga tersanjung, atau menampakkan kesenangan bersamanya sampai pasangannya tersipu malu, dst.

Satu yang perlu diberi garis tebal, bukan termasuk bohong yang dibolehkan dalam hadis ini, berbohong untuk mengambil hak pasangannya atau lari dari tanggung jawab. Demikian keterangan An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.

Al-Hafidz ibnu hajar mengatakan,

وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِالْكَذِبِ فِي حَقّ الْمَرْأَة وَالرَّجُل إِنَّمَا هُوَ فِيمَا لَا يُسْقِط حَقًّا عَلَيْهِ أَوْ عَلَيْهَا أَوْ أَخْذ مَا لَيْسَ لَهُ أَوْ لَهَا

“Ulama sepakat bahwa yang dimaksud bohong antar-suami istri adalah bohong yang tidak menggugurkan kewajiban atau mengambil sesuatu yang bukan haknya.” (Fathul Bari, 5:300)

Sementara bohong ketika perang bentuknya dengan pura-pura menampakkan kekuatan atau menipu musuh dengan strategi perang dst. Dan tidak termasuk bagian ini adalah mengkhianati perjanjian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar