إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى
النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk
Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al Ahzab: 56).Assalamu’alaikum wr wb.
Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang kami hormati. Setiap bulan Rabiul Awal, umat Islam di berbagai belahan dunia, khususnya umat Islam Indonesia, merayakan hari kelahiran Nabi saw yang diisi dengan aneka ragam kebajikan dan sedekah. Pada saat yang sama, ada juga sebagian kecil umat Islam, setiap bulan Rabiul Awal tiba, menyebarkan isu bahwa merayakan maulid Nabi saw hukumnya bid’ah tercela, haram dan dilarang agama, karena Nabi saw tidak pernah merayakan hari kelahirannya, dan tidak ada hadits shahih yang secara tegas menganjurkan umat Islam agar merayakan Maulid Nabi saw. Ustadz yang kami hormati, bagaimana sebenarnya hukum merayakan Maulid Nabi saw menurut para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah? Terima kasih atas jawabannya. Wassalam.
Wa’alaikumussalam wr wb.
Saudara penanya –semoga dimuliakan Allah-. Pernyataan sebagian kelompok kecil bahwa merayakan hari kelahiran Nabi saw adalah bid’ah tercela dan haram, dengan alasan Nabi saw tidak pernah melakukan dan tidak ada hadits shahih yang menganjurkan, adalah keliru dan tidak benar berdasarkan alasan-alasan berikut ini:
Pertama, merayakan Maulid Nabi saw, bukan termasuk bid’ah tercela dan haram, bahkan termasuk bid’ah hasanah dan dianjurkan dalam agama, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama dari berbagai madzhab dan kalangan, termasuk para ulama ahli hadits. Al-Imam al-Hafizh Abu Syamah al-Maqdisi, guru al-Imam al-Nawawi, berkata dalam kitabnyaal-‘Baits fi Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits sebagai berikut:
أَفْضَلُ ذِكْرَى فِيْ أَيَّامِنَا هِيَ ذِكْرَى
الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ. فَفِيْ هَذَا الْيَوْمِ يُكْثِرُ النَّاسُ مِنَ
الصَّدَقَاتِ وَيَزِيْدُوْنِ فِي الْعِبَادَاتِ وَيُبْدُوْنَ كَثِيْراً
مِنَ الْمَحَبَّةِ لِلنَّبِيِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَيَحْمَدُوْنَ اللهَ تَعَالىَ كَثِيْراً بِأَنْ أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ
رَسُوْلَهُ لِيَحْفَظَهُمْ عَلىَ سُنَّةِ وَشَرِيْعَةِ اْلإِسْلاَمِ.
“Peringatan paling utama pada masa sekarang adalah peringatan
Maulid Nabi saw. Pada hari tersebut, manusia memperbanyak mengeluarkan
sedekah, meningkatkan aktifitas ibadah, mengekspresikan kecintaan kepada
Nabi saw secara maksimal, memuji Allah Subhanahu wata’ala dengan lebih
meriah karena telah mengutus Rasul-Nya kepada mereka untuk menjaga
mereka di atas Sunnah dan Syariat Islam.”Demikian pernyataan Al-Imam Abu Syamah dalam kitabnya al-Ba’its fi Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits. Kitab ini sangat dikagumi oleh kaum Salafi-Wahabi yang anti Maulid, karena pandangannya dalam persoalan bid’ah.
Kedua, seandainya Nabi saw memang tidak pernah merayakan hari kelahirannya, dan tidak ada hadits shahih yang secara tekstual menganjurkan merayakan Maulid, maka hal ini tidak serta merta menjadi alasan untuk mengharamkan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menganggapnya sebagai bid’ah yang tercela. Dalam hal ini masih harus melihat dalil-dalil agama yang lain, seperti Qiyas, Ijma’ dan pemahaman secara kontekstual terhadap dalil-dalil syar’i. Oleh karena itu, meskipun telah dimaklumi bahwa Nabi saw tidak pernah merayakan Maulid dan tidak ada hadits shahih yang secara tekstual menganjurkan Maulid, para ulama fuqaha dan ahli hadits dari berbagai madzhab tetap menganggap baik dan menganjurkan perayaan Maulid Nabi saw, berdasarkan pemahaman secara kontekstual (istinbath/ijtihad) terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan hadits.
Ketiga, di antara ayat al-Qur’an yang menjadi dasar perayaan Maulid adalah ayat berikut:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (107)
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya’ : 107).Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menegaskan bahwa dirinya merupakan rahmat Allah yang dipersembahkan kepada umat Islam. (HR. al-Hakim, dalam al-Mustadrak 1/83). Ayat al-Qur’an dan hadits di atas, merupakan penegasan bahwa Rasulullah saw adalah rahmat bagi semesta alam. Sementara dalam ayat yang lain, Allah juga memerintahkan untuk bergembira dengan rahmat tersebut. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا (58)
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (QS. Yunus : 58).Ayat di atas memerintahkan kita agar bergembira dengan karunia Allah dan rahmat-Nya yang diberikan kepada kita. Sahabat Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat tersebut berkata: “Karunia Allah adalah ilmu agama, sedangkan rahmat-Nya adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam”. (Al-Hafizh al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur 7/668). Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa merayakan hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pengejawantahan dari ayat dan hadits di atas yang memerintahkan kita bergembira dengan rahmat Allah.
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman tentang Nabi Isa AS:
قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ
عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا
وَآخِرِنَا وَآيَةً مِنْكَ وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
(114)
“Isa putra Maryam berdoa: “Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya
kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi
hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang
datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri
rezekilah kami, dan Engkaulah Pemberi rezeki Yang Paling Utama”. (QS.
al-Maidah : 114).Dalam ayat di atas, Allah SWT menegaskan bahwa turunnya hidangan dari langit yang dimohonkan oleh Nabi Isa ‘Alaihissalam, layak dijadikan hari raya bagi para pengikut Isa AS. Sudah barang tentu, lahirnya Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wasallam, lebih utama dari pada turunnya hidangan dari langit tersebut. Apabila turunnya hidangan dari langit tersebut layak menjadi hari raya bagi pengikut Nabi Isa ‘alaihissalam, tentu saja lahirnya Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wasallam lebih layak lagi menjadi hari raya bagi umatnya yang dirayakan dalam setiap tahun. Pemahaman kontenkstual semacam ini, dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan Qiyas Aula.
Keempat, selain didasarkan kepada dua ayat di atas, perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, juga didasarkan pada hadits-hadits shahih. Antara lain hadits berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ
الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ
صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى
تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللهُ
فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى
شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ».
فَصَامَهُ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Ibnu Abbas RA meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam datang ke Madinah, kaum Yahudi sedang berpuasa Asyura.
Rasulullah saw bertanya: “Hari apa kalian berpuasa ini?” Mereka
menjawab: “Ini hari agung, Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya,
menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, lalu Musa berpuasa karena bersyukur
kepada Allah, maka kami juga berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam: “Kami lebih berhak mensyukuri Musa dari pada kalian.” Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa dan memerintahkan
umatnya berpuasa.” (HR. Muslim).Dalam hadits shahih di atas, selamatnya Nabi Musa ‘alaihissalam dari kejaran Raja Fir’aun, serta tenggalamnya Fir’aun dan kaumnya, telah dijadikan momentum oleh Nabi Musa ‘alaihissalam dan kaumnya untuk dirayakan setiap tahun dengan cara berpuasa. Lalu Nabi saw membenarkan puasa tersebut, dan bahkan beliau melakukan dan memerintahkan umat Islam agar berpuasa pada hari Asyura setiap tahun. Sudah barang tentu, lahirnya Nabi saw lebih utama untuk dijadikan momentum sebagai hari raya, dalam setiap tahun, karena derajat beliau yang lebih mulia dan lebih utama dari pada nabi-nabi yang lain termasuk Nabi Musa ‘alaihissalam. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata:
“فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ للهِ عَلىَ مَا
مَنَّ بِهِ فِيْ يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إِسْدَاءِ نِعْمَةٍ، أَوْ دَفْعِ
نِقْمَةٍ، وَيُعَادُ ذَلِكَ فِيْ نَظِيْرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلَّ
سَنَةٍ، وَالشُّكْرُ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ… وَأَيُّ
نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنَ النِّعْمَةِ بِبُرُوْزِ هَذاَ النَّبِيِّ نَبِيِّ
الرَّحْمَةِ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ”.
“Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan tentang perbuatan
bersyukur kepada Allah karena karunianya pada hari tertentu berupa
datangnya kenikmatan atau tertolaknya malapetaka, dan perbuatan syukur
tersebut diulangi pada hari yang sama dalam setiap tahunnya. Bersyukur
dapat terlaksana dengan beragam ibadah… Kenikmatan apa yang kiranya
lebih agung dari pada kenikmatan dengan lahirnya Nabi pembawa rahmat
shallallahu ‘alaihi wasallam.”Pemahaman kontekstual semacam ini, dalam ilmu ushul fiqih, disebut dengan Qiyas Aula, dimana hukum yang dianalogikan lebih kuat dari pada hukum asal yang menjadi patokan analogi. Syaikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya (jua 21 hal. 207), menganggap bahwa hukum yang disimpulkan dari pemahaman kontekstual (mafhum) melaluiQiyas Aula, lebih kuat dari pada hukum yang diambil pemahaman tekstualnya (manthuq). Menurutnya, penolakan terhadap hukum yang dihasilkan melalui Qiyas Aula, termasuk bid’ah kaum literalis (zhahiriyah) yang tercela.
Kesimpulan.
Dari paparan di atas dapatlah disimpulkan, bahwa perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk bid’ah hasanah yang dianjurkan dalam agama berdasarka ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih. Sedangkan pendapat sebagian kalangan, yang menganggap bahwa perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, termasuk bid’ah tercela dan haram, adalah keliru dan memandang persoalan dari perspektif yang sempit dan terbatas. Syaikh Ibnu Taimiyah berkata:
“Mengagungkan maulid dan menjadikannya sebagai tradisi, pahalanya agung, karena tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, hal. 621).
Wallahu a’lam.
Dalil Dan Bukti Legalitas Amalan Maulid Nabi dalam Kitab Imam Ahlusunnah
1. Kitab Bidayah Wannihah (Ibnu Katsir)
ibnu katsir memuji amalan maulid khalifah sultan almuzaffar (saudara ipar shalhuddin al ayubi) yang buat maulid diseluruh negeri tiap tahunnya.
2. Imam Dhahabi (Kitab Tarikh al-Islam: wa-tabaqat al-mashahir wa-al-a`lam)
ibnu katsir dan adzahabi memuji amalan maulid khalifah sultan almuzaffar (saudara ipar shalhuddin al ayubi) yang buat maulid diseluruh negeri tiap tahunnya.
3. Kitab Al Hawi lil Fatawi (Imam Jalal al-Din al-Suyuti)
4. Husn al-Maqsad fi Amal al-Mawlid, (Imam Jalal al-Din al-Suyuti)
5. Kitab Syarah al ‘alamah Azzarqani
6. Dalil Dalil Keutamaan Maulid
http://salafytobat.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar