Muslimedianews.com ~ Di program acara Islam Corner Radio Madina
FM – radio Masjid Agung Jami’ Malang, saya pernah mendapatkan pertanyaan
seperti ini: “Mau tanya, bagaimana menentukan laki-laki yang bisa jadi
kepala rumah tangga setelah menikah nanti? Terima kasih.”
Pertanyaan senada, meski agak berbeda, saya terima di ponsel. Bunyinya – setelah saya edit format tulisan ala SMS yang banyak singkatannya, “Assalamu’alaikum. Kami mau tanya, sebenarnya aku sudah berkeluarga tapi aku suka atau kagum sama orang yang pintar mengaji, terimakasih.”
Saya sudah kasih jawaban melalui SMS juga pada si penanya. Kurang lebih, “Kagumi ilmu, mengaji dan amaliahnya, untuk ditiru. Bukan kagum dalam hal lain untuk tujuan lain.”
Saudari penanya membalas, “Jujur pernah muncul di hati seandainya aku punya imam seperti itu, yang bisa mendidikku tentang ilmu agama yang lebih dalam. Betapa tenangnya hati ini.”
Mendapatkan dua pertanyaan dari dua penanya yang berbeda itu, saya punya kesimpulan, seorang wanita pastinya mengharapkan seorang lelaki shalih untuk menjadi suaminya. Hal ini tentu baik. Namun, ketika dia sudah mendapatkan seorang suami, apakah masih pantas dia membayangkan lelaki lain untuk menjadi suaminya, meski dengan alasan lelaki lain itu – menurut pandangan pribadinya – lebih baik dari suaminya? Kita khawatir perasaan seperti ini akan menjadikan seseorang tidak mengalah pada takdirnya, setelah sebelumnya dia sudah berikhtiar.
Saya ingin menuliskan inti jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut di sini, untuk berbagi dengan yang lain. Semoga bermanfaat.
Nabi Muhammad, dalam hidupnya, juga sering menjadi tukang jodoh. Banyak riwayat yang menjelaskan hal itu, misalnya kisah perjodohan Julaibib dan lainnya. Nah, setelah mengamati apa yang dilakukan Nabi, berikut keterangan-keterangan dalam agama, kita sampai pada satu kesimpulan, ternyata dalam penilaian Nabi, lelaki shalih itu belum tentu menjadi suami shalih. Dengan ujaran lain, tidak semua lelaki baik, dapat menjadi suami yang baik!
Suami shalih, maknanya lebih luas dari pada lelaki shalih. Lelaki shalih adalah orang yang selalu melaksanakan perintah Allah baik lahir maupun batin. Misalnya, ia selalu berjama’ah di masjid, perilaku dan tutur katanya islami, meninggalkan hal-hal yang haram. Namun, dalam memberikan penilaian tentang siapa lelaki shalih itu, yang bisa kita lakukan hanya dari sisi lahiriahnya.
Secara lahiriah seseorang dapat dinilai sebagai orang beragama. Namun bisa saja dia ternyata tipe orang yang mudah marah, sering menghina dan merendahkan orang, ucapannya pahit, dan sebagainya. Hal ini tentu dapat menganggu ketenangan dan kebahagiaan rumah tangga.
Saya tandaskan pada saudari penanya, seseorang kelihatannya beragama dan berakhlaq baik. Namun ia memiliki beberapa sifat yang tidak cocok bagi Anda. Sebaliknya, justru ia cocok untuk orang lain, bukan untuk Anda.
Misalnya, lelaki itu bawaannya serius, sangat pendiam, melankonis, sulit tertawa, memiliki pergaulan sosial terbatas. Sedang Anda memiliki karakter sebaliknya: seorang sosialita, aktifis muslimah yang senang bergaul dengan yang lain, suka humor, dan sebagainya.
Saya tidak mengatakan sifat lelaki tersebut jelek. Namun sifat itu bagi Anda yang memiliki sifat yang saya contohkan tadi, bisa membuat Anda kurang nyaman dalam mengarungi rumah tangga.
Karena itulah, Nabi mengatakan (yang artinya): “Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tak kau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang panjang.” (HR Turmudzi dan Ibnu Majah)
Perhatikan, Nabi tidak mengatakan “Jika datang padamu lelaki beragama dan akhlaknya baik”. Namun Nabi mengatakan, “Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai agama dan perangainya”.
Apa bedanya?
Pernyataan pertama – dan itu tidak diucapkan Nabi – bermakna, orang tua harus menikahkan anaknya dengan lelaki shalih, dan bahwa lelaki shalih itu pasti akan menjadi suami shalih. Namun pernyataan kedua – yang diucapkan Nabi – memberikan pengertian pada kita bahwa orang tua dalam memilih calon menantu, syaratnya harus ridha terhadap agama dan perangainya, karena memang tidak semua lelaki shalih, kau setujui cara beragama dan perangainya. Jadi, ada unsur penilaian manusia di sini. Sedang penilaian manusia itu hanya terbatas pada sesuatu yang lahiriah atau yang tampak.
Kisah Fathimah binti Qays akan menjelaskan hal ini. Suatu saat, ia dilamar dua lelaki. Tak tanggung tanggung, yang melamar beliau adalah dua pembesar sahabat, yaitu Mu’awiyah dan Abu al-Jahm. Setelah dikonsultasikan kepada Rasulullah, apa yang terjadi? Nabi menjelaskan, baik Mu’awiyah maupun Abu al-Jahm, tidak cocok untuk menjadi suami Fathimah binti Qays.
Apa yang kurang dari Mu’awiyah dan Abu al-Jahm? Padahal keduanya adalah lelaki shalih dan memiliki keyakinan agama yang baik. Namun Nabi tidak menjodohkan Fathimah dengan salah satu dari keduanya, karena Nabi mengetahui karakter Fathimah, juga karakter Mu’awiyah dan Abu al-Jahm.
Lebih lanjut, Nabi menawarkan agar Fathimah menikah dengan Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang sebelumnya tidak masuk “nominasi” Fathimah. Setelah Fathimah menikah dengan pilihan Nabi itu, apa yang dikatakannya setelah itu? Fathimah mengatakan, “Allah melimpahkan kebaikan yang banyak pada pernikahan ini dan aku dapat mengambil manfaat yang baik darinya.”
Jadi, kepala rumah tangga yang ideal bagi Anda dan seluruh wanita muslimah adalah: Pertama, lelaki shalih. Kedua, memiliki perangai yang sesuai dengan karakter Anda, dan ini nisbi atau relatif, yang tidak mungkin bisa dijawab kecuali oleh Anda sendiri.
Keshalihan seorang lelaki memang menjadi syarat bagi wanita yang ingin menikah. Namun, itu saja tak cukup. Perlu dilihat kemudian munasabah (kesesuaian gaya hidup, meski tak harus sama), musyakalah (kesesuaian kesenangan, meski tak harus sama), muwafaqah (kesesuaian tabiat dan kebiasaan). Sekali lagi, aspek kedua ini sifatnya relatif, tidak bisa dijawab kecuali oleh wanita yang akan menikah dan keluarganya. Oleh karena itu, kalau ada yang datang melamar, tanyakanlah karakter dan perangainya pada orang-orang yang mengetahuinya, baik dari kalangan keluarga atau teman-temannya.
Terakhir, bagi yang belum menikah dan sedang “mencari jodoh”, agama mensyari’atkan adanya musyawarah dan istikharah. Lakukanlah keduanya! Sementara bagi yang sudah menikah, terimalah keberadaan suami Anda apa adanya, karena menikah itu “satu paket”: paket kelebihan dan paket kekurangan dari pasangan. Tinggal bagaimana Anda menyikapi kelebihan dan kekurangan itu. Orang bijak menyikapi kelebihan dengan syukur, menyikapi kekurangan dengan sabar. Orang bijak itu “pandai mengubah kotoran yang tidak bermanfaat menjadi pupuk yang bermanfaat”.
Sesuatu yang baik dari suami, ajaklah dia untuk makin meningkatkannya. Sedang yang jelek darinya, bersama Anda, hilangkan dari lembar kehidupannya. Janganlah memikirkan lelaki lain. Karena boleh jadi lelaki lain itu dalam pandangan Anda baik, namun ternyata ia tak baik dan tak cocok untuk menjadi suami Anda.
Boleh jadi Anda melihat sepasang suami istri yang hidupnya bahagia. Lalu, Anda berkhayal seandainya lelaki itu yang menjadi suami Anda, pasti hidup Anda akan bahagia. Wah, itu belum tentu. Karena ternyata, bisa jadi lelaki itu memang cocok untuk perempuan yang sekarang menjadi istrinya, namun tidak sesuai bila menjadi suami Anda.
Satu yang pasti, percayalah bahwa pasangan hidup Anda adalah manusia terbaik yang diberikan Allah untuk Anda!
Pertanyaan senada, meski agak berbeda, saya terima di ponsel. Bunyinya – setelah saya edit format tulisan ala SMS yang banyak singkatannya, “Assalamu’alaikum. Kami mau tanya, sebenarnya aku sudah berkeluarga tapi aku suka atau kagum sama orang yang pintar mengaji, terimakasih.”
Saya sudah kasih jawaban melalui SMS juga pada si penanya. Kurang lebih, “Kagumi ilmu, mengaji dan amaliahnya, untuk ditiru. Bukan kagum dalam hal lain untuk tujuan lain.”
Saudari penanya membalas, “Jujur pernah muncul di hati seandainya aku punya imam seperti itu, yang bisa mendidikku tentang ilmu agama yang lebih dalam. Betapa tenangnya hati ini.”
Mendapatkan dua pertanyaan dari dua penanya yang berbeda itu, saya punya kesimpulan, seorang wanita pastinya mengharapkan seorang lelaki shalih untuk menjadi suaminya. Hal ini tentu baik. Namun, ketika dia sudah mendapatkan seorang suami, apakah masih pantas dia membayangkan lelaki lain untuk menjadi suaminya, meski dengan alasan lelaki lain itu – menurut pandangan pribadinya – lebih baik dari suaminya? Kita khawatir perasaan seperti ini akan menjadikan seseorang tidak mengalah pada takdirnya, setelah sebelumnya dia sudah berikhtiar.
Saya ingin menuliskan inti jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut di sini, untuk berbagi dengan yang lain. Semoga bermanfaat.
Nabi Muhammad, dalam hidupnya, juga sering menjadi tukang jodoh. Banyak riwayat yang menjelaskan hal itu, misalnya kisah perjodohan Julaibib dan lainnya. Nah, setelah mengamati apa yang dilakukan Nabi, berikut keterangan-keterangan dalam agama, kita sampai pada satu kesimpulan, ternyata dalam penilaian Nabi, lelaki shalih itu belum tentu menjadi suami shalih. Dengan ujaran lain, tidak semua lelaki baik, dapat menjadi suami yang baik!
Suami shalih, maknanya lebih luas dari pada lelaki shalih. Lelaki shalih adalah orang yang selalu melaksanakan perintah Allah baik lahir maupun batin. Misalnya, ia selalu berjama’ah di masjid, perilaku dan tutur katanya islami, meninggalkan hal-hal yang haram. Namun, dalam memberikan penilaian tentang siapa lelaki shalih itu, yang bisa kita lakukan hanya dari sisi lahiriahnya.
Secara lahiriah seseorang dapat dinilai sebagai orang beragama. Namun bisa saja dia ternyata tipe orang yang mudah marah, sering menghina dan merendahkan orang, ucapannya pahit, dan sebagainya. Hal ini tentu dapat menganggu ketenangan dan kebahagiaan rumah tangga.
Saya tandaskan pada saudari penanya, seseorang kelihatannya beragama dan berakhlaq baik. Namun ia memiliki beberapa sifat yang tidak cocok bagi Anda. Sebaliknya, justru ia cocok untuk orang lain, bukan untuk Anda.
Misalnya, lelaki itu bawaannya serius, sangat pendiam, melankonis, sulit tertawa, memiliki pergaulan sosial terbatas. Sedang Anda memiliki karakter sebaliknya: seorang sosialita, aktifis muslimah yang senang bergaul dengan yang lain, suka humor, dan sebagainya.
Saya tidak mengatakan sifat lelaki tersebut jelek. Namun sifat itu bagi Anda yang memiliki sifat yang saya contohkan tadi, bisa membuat Anda kurang nyaman dalam mengarungi rumah tangga.
Karena itulah, Nabi mengatakan (yang artinya): “Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tak kau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang panjang.” (HR Turmudzi dan Ibnu Majah)
Perhatikan, Nabi tidak mengatakan “Jika datang padamu lelaki beragama dan akhlaknya baik”. Namun Nabi mengatakan, “Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai agama dan perangainya”.
Apa bedanya?
Pernyataan pertama – dan itu tidak diucapkan Nabi – bermakna, orang tua harus menikahkan anaknya dengan lelaki shalih, dan bahwa lelaki shalih itu pasti akan menjadi suami shalih. Namun pernyataan kedua – yang diucapkan Nabi – memberikan pengertian pada kita bahwa orang tua dalam memilih calon menantu, syaratnya harus ridha terhadap agama dan perangainya, karena memang tidak semua lelaki shalih, kau setujui cara beragama dan perangainya. Jadi, ada unsur penilaian manusia di sini. Sedang penilaian manusia itu hanya terbatas pada sesuatu yang lahiriah atau yang tampak.
Kisah Fathimah binti Qays akan menjelaskan hal ini. Suatu saat, ia dilamar dua lelaki. Tak tanggung tanggung, yang melamar beliau adalah dua pembesar sahabat, yaitu Mu’awiyah dan Abu al-Jahm. Setelah dikonsultasikan kepada Rasulullah, apa yang terjadi? Nabi menjelaskan, baik Mu’awiyah maupun Abu al-Jahm, tidak cocok untuk menjadi suami Fathimah binti Qays.
Apa yang kurang dari Mu’awiyah dan Abu al-Jahm? Padahal keduanya adalah lelaki shalih dan memiliki keyakinan agama yang baik. Namun Nabi tidak menjodohkan Fathimah dengan salah satu dari keduanya, karena Nabi mengetahui karakter Fathimah, juga karakter Mu’awiyah dan Abu al-Jahm.
Lebih lanjut, Nabi menawarkan agar Fathimah menikah dengan Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang sebelumnya tidak masuk “nominasi” Fathimah. Setelah Fathimah menikah dengan pilihan Nabi itu, apa yang dikatakannya setelah itu? Fathimah mengatakan, “Allah melimpahkan kebaikan yang banyak pada pernikahan ini dan aku dapat mengambil manfaat yang baik darinya.”
Jadi, kepala rumah tangga yang ideal bagi Anda dan seluruh wanita muslimah adalah: Pertama, lelaki shalih. Kedua, memiliki perangai yang sesuai dengan karakter Anda, dan ini nisbi atau relatif, yang tidak mungkin bisa dijawab kecuali oleh Anda sendiri.
Keshalihan seorang lelaki memang menjadi syarat bagi wanita yang ingin menikah. Namun, itu saja tak cukup. Perlu dilihat kemudian munasabah (kesesuaian gaya hidup, meski tak harus sama), musyakalah (kesesuaian kesenangan, meski tak harus sama), muwafaqah (kesesuaian tabiat dan kebiasaan). Sekali lagi, aspek kedua ini sifatnya relatif, tidak bisa dijawab kecuali oleh wanita yang akan menikah dan keluarganya. Oleh karena itu, kalau ada yang datang melamar, tanyakanlah karakter dan perangainya pada orang-orang yang mengetahuinya, baik dari kalangan keluarga atau teman-temannya.
Terakhir, bagi yang belum menikah dan sedang “mencari jodoh”, agama mensyari’atkan adanya musyawarah dan istikharah. Lakukanlah keduanya! Sementara bagi yang sudah menikah, terimalah keberadaan suami Anda apa adanya, karena menikah itu “satu paket”: paket kelebihan dan paket kekurangan dari pasangan. Tinggal bagaimana Anda menyikapi kelebihan dan kekurangan itu. Orang bijak menyikapi kelebihan dengan syukur, menyikapi kekurangan dengan sabar. Orang bijak itu “pandai mengubah kotoran yang tidak bermanfaat menjadi pupuk yang bermanfaat”.
Sesuatu yang baik dari suami, ajaklah dia untuk makin meningkatkannya. Sedang yang jelek darinya, bersama Anda, hilangkan dari lembar kehidupannya. Janganlah memikirkan lelaki lain. Karena boleh jadi lelaki lain itu dalam pandangan Anda baik, namun ternyata ia tak baik dan tak cocok untuk menjadi suami Anda.
Boleh jadi Anda melihat sepasang suami istri yang hidupnya bahagia. Lalu, Anda berkhayal seandainya lelaki itu yang menjadi suami Anda, pasti hidup Anda akan bahagia. Wah, itu belum tentu. Karena ternyata, bisa jadi lelaki itu memang cocok untuk perempuan yang sekarang menjadi istrinya, namun tidak sesuai bila menjadi suami Anda.
Satu yang pasti, percayalah bahwa pasangan hidup Anda adalah manusia terbaik yang diberikan Allah untuk Anda!
Oleh : Ustadz Faris Khairul Anam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar