Tasawwuf, obyek yang teraniaya dan senantiasa dicurigai, sangat minim mereka yang bersikap adil dalam menyikapinya. Justru sebagian kalangan dengan keterlaluan dan tanpa rasa malu mengkategorikannya dalam daftar karakter negatif yang mengakibatkan gugurnya kesaksian dan lenyapnya sikap adil, dengan mengatakan, “Fulan bukan orang yang bisa dipercaya dan informasinya ditolak.” Mengapa? Karena ia seorang sufi. Anehnya, saya melihat sebagian mereka yang menghina tasawwuf, menyerang dan memusuhi pengamal tasawwuf bertindak dan berbicara tentang tasawwuf, kemudian tanpa sungkan mengutip ungkapan para imam tasawwuf dalam khutbah dan ceramahnya di atas mimbar-mimbar Jum’at kursi-kursi pengajaran. Dengan gagah dan percaya diri ia mengatakan, “Berkata Fudhail ibn ‘Iyadh, al-Junaid, al-Hasan al-Bashri, Sahl at-Tusturi, al-Muhasibi, dan Bisyr al-Hafi.” Fudhail ibn ‘Iyadh, al-Junaid, al-Hasan al-Bashri, Sahl at-Tusturi, al-Muhasibi, dan Bisyr al-Hafi adalah tokoh-tokoh tasawwuf yang kitab-kitab tasawwuf penuh dengan ucapan, informasi, kisah-kisah teladan, dan karakter mereka. Jadi, saya tidak mengerti, apakah ia bodoh atau pura-pura bodoh? Buta atau pura-pura buta? Saya ingin mengutip pandangan para tokoh tasawwuf menyangkut syari’ah Islam agar kita mengetahui sikap mereka sesungguhnya.
Karena yang wajib adalah kita mengetahui seseorang lewat pribadinya sendiri dan manusia adalah orang terbaik yang berbicara mengenai pandangannya dan yang paling dipercaya mengungkapkan apa yang dirahasiakan. Al-Imam Junaid ra. berkata : “Semua jalan telah tertutup bagi makhluk kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah, sunnahnya dan setia pada jalan ditempuh beliau. Karena semua jalan kebaikan terbuka untuk Nabi dan mereka yang mengikuti jejak beliau."
Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Yazid al-Basthomi suatu hari berbicara pada para muridnya, “Bangunlah bersamaku untuk melihat orang mempopulerkan dirinya sebagai wali.” Lalu Abu Yazid dan murid-muridnya berangkat untuk mendatangi wali tersebut. Kebetulan wali tersebut hendak menuju masjid dan meludah ke arah kiblat. Abu Yazid pun berbalik pulang dan tidak memberi salam. “Orang ini tidak dapat dipercaya atas satu etika dari beberapa etika Rasulullah saw., maka bagaimana mungkin ia dapat dipercaya atas klaimnya tentang kedudukan para wali dan shiddiqin?“ kata Abu Yazid.
Dzunnun al-Mishri berkata, "Poros dari segala ungkapan (madar al- Kalam) ada empat; Cinta kepada Allah Yang Maha Agung, benci kepada yang sedikit, mengikuti al-Quran, dan khawatir berubah menjadi orang celaka. Salah satu indikasi orang yang cinta kepada Allah adalah mengikuti kekasih Allah saw. dalam budi pekerti, tindakan, perintah dan sunnahnya."
As-Sirri as-Siqthi berkata, “Tasawwuf adalah identitas untuk tiga makna; Shufi (pengamal tasawwuf) adalah orang yang cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya, tidak berbicara menggunakan bathin menyangkut ilmu yang bertentangan dengan pengertian lahirial al-Kitab dan as-Sunnah, dan karomahnya tidak mendorong untuk menyingkap tabir-tabir keharaman Allah swt."
Abu Nashr Bisyr ibn al-Harits al-Hafi berkata, “Saya bermimpi bertemu Nabi saw.: “Wahai Bisyr, tahukah kamu kenapa Allah meninggikan derajatmu mengalahkan teman-temanmu? Tanya Beliau.“Tidak tahu, Wahai Rasulullah,” Jawabku. “Sebab Engkau mengikuti sunnahku, mengabdi kepada orang salih, memberi nasihat pada teman-temanmu dan kecintaanmu kepada para sahabat dan keluargaku. Inilah faktor yang membuatmu meraih derajat orang-orang yang baik (Abror).”
Abu Yazid ibn ‘Isa ibn Thoifur al-Bashthomi berkata, “Sungguh terlintas di hatiku untuk memohon kepada Allah swt. agar mencukupi biaya makan dan biaya perempuan, kemudian saya berkata. “Bagaimana boleh saya memohon ini kepada Allah swt. padahal Rasulullah saw. tidak pernah memohon demikian.” Akhirnya saya tidak memohon ini kepada Allah swt. Kemudian Allah swt. mencukupi biaya para perempuan hingga saya tidak peduli, apakah perempuan menghadapku atau tembok."
Abu Yazid juga pernah berkata, “Jika engkau memandang seorang laki-laki diberi beberapa karomah hingga ia mampu terbang di udara, maka janganlah engkau tertipu sampai engkau melihat bagaimana sikapnya menghadapi perintah dan larangan Allah, menjaga batas-batas yang digariskan Allah dan pelaksanaannnya terhadap syari’ah.”
Sulaiman Abdurrahaman ibn ‘Athiah ad-Darani berkata, “Terkadang, selama beberapa hari terasa di hatiku satu noktah dari beberapa noktah masyarakat. Saya tidak menerima isi dari hati saya kecuali dengan dua saksi adil ; al-Qur’an dan as-Sunnah.
Abul Hasan Ahmad ibn Abi al-Hawari berkata, “Siapapun yang mengerjakan perbuatan tanpa mengikuti sunnah Rasulullah saw. maka perbuatan itu sia-sia.” Abu Hafsh Umar ibn Salamah al-Haddaad berkata, “Barangsiapa yang tidak mengukur semua tindakannya setiap saat dengan al-Kitab dan as-Sunnah, dan tidak berburuk sangka dengan apa yang terlintas dalam hatinya, maka janganlah ia dimasukkan dalam daftar para tokoh besar (diwan ar-Rijal).
Abul Qasim al-Junaid ibn Muhammad berkata, “Siapapun yang tidak memperhatikan al-Qur’an dan tidak mencatat al-Hadits, ia tidak bisa dijadikan panutan dalam bidang ini (tasawwuf), karena ilmu kita dibatasi dengan al-Kitab dan as-Sunnah.” Ia juga berkata, “ Madzhabku ini dibatasi dengan prinsip-prinsip al-Kitab dan as-Sunnah dan ilmuku ini dibangun di atas fondasi hadits Rasulullah saw.”
Abu ‘Utsman Sa’id ibn Ismail al-Hairi berkata, “Saat sikap Abu Utsman berubah, maka anaknya, Abu Bakar merobek-robek qamis yang melekat pada tubuhnya, lalu Abu ‘Utsman membuka matanya dan berkata, “Wahai Anakku, mempraktekkan sunnah dalam penampilan lahiriah itu indikasi kesempurnaan batin.”
Ia juga berkata, “Bersahabat dengan Allah swt. itu dengan budi pekerti yang luhur dan senantiasa takut kepadaNya. Bersahabat dengan Rasulullah saw. itu dengan mengikuti sunnahnya dan senantiasa mempraktekkan ilmu lahiriah. Bersahabat dengan para wali dengan menghormati dan mengabdi. Bersahabat dengan keluarga itu dengan budi pekerti yang baik. Bersahabat dengan kawan-kawan itu dengan senantiasa bermuka manis sepanjang bukan perbuatan dosa. Dan bersahabat dengan orang bodoh itu dengan mendoakan dan rasa belas kasih."
Ia juga berkata, “Barangsiapa yang memposisikan as-Sunnah sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan hikmah. Dan barangsiapa memposisikan hawa nafsu sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan bid’ah. Allah swt. berfirman: وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا "Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk." (QS. an-Nur:54)
Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad an-Nawawi mengatakan, “Jika engkau melihat orang yang mengklaim kondisi bersama Allah swt. yang membuatnya terlepas dari batasan ilmu syari’at maka janganlah engkau mendekatinya.”
Abul Fawaris Syah ibn Syuja’ al-Karmani berkata, “Barangsiapa memejamkan matanya dari hal-hal yang diharamkan, mengendalikan nafsunya dari syahwat, menghidupkan bathinnya dengan senantiasa merasakan kehadiran Allah swt. (muraqabat) dan menghidupkan keadaan lahiriahnya dengan mengikuti sunnah, dan membiasakan diri memakan barang halal, maka firasatnya tidak akan meleset.”
Abul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Sahl ibn Atha’ mengatakan, “Barangsiapa menekan dirinya untuk mengamalkan etika-etika syari’at maka Allah swt. akan menerangi hatinya dengan cahaya ma’rifat dan dianugerahi kedudukan mengikuti al-Habib Rasulullah saw. dalam segala perintah, larangan dan budi pekerti beliau saw.”
Ia juga mengatakan, “Semua yang ditanyakan kepadaku carilah pada belantara syari’at. Jika engkau tidak menemukannya, carilah di medan hikmah. Jika tidak menemukannya, takarlah dengan tauhid. Dan jika tidak menemukannya di tiga tempat pencarian ini, maka lemparkanlah ia ke wajah setan.”
Abu Hamzah al-Baghdadi al-Bazzar mengatakan, “Siapapun yang mengetahui jalan Allah swt. maka Dia akan memudahkan untuk menempuhnya. Dan tidak ada petunjuk jalan menuju Allah swt. kecuali mengikuti Rasulullah saw. dalam sikap, tindakan dan ucapan beliau.” Abu Ishaq Ibrahim ibn Dawud ar-Ruqi mengatakan, “ Indikator cinta kepada Allah swt. adalah memprioritaskan ketaatan kepada Allah swt. dan mengikuti NabiNya saw.”
Mamsyad ad-Dinawari berkata, “Etika murid adalah selalu dalam menghormati masyayikh (guru), membantu kawan-kawan, terlepas dari faktor-faktor penyebab, dan menjaga etika syari’at untuk dirinya.”
Abu Abdillah ibn Munazil berkata, “Tidak ada seseorangpun yang menelantarkan salah satu kefardhuan Allah swt. kecuali Allah swt. akan menimpakan musibah dengan menyia-nyiakan sunnah. Dan Allah swt. tidak menimpakan musibah seseorang dengan menelantarkan sunnah kecuali ia hendak diberi musibah dengan bid’ah.”.
Sumber :
Kitab MAFAHIM YAJIB AN TUSHOHHAH (PAHAM-PAHAM YANG HARUS DILURUSKAN) Prof. DR. Al-'Alim Al-'Allamah Al-Muhaddits As-Sayyid Muhammad Bin Alwi Bin Abbas Bin Abdul Aziz Al-Maliki Al-Hasani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar